0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
553 tayangan

Laporan BIofar 5

Dokumen tersebut membahas tentang pengujian difusi suatu zat dari sediaan transdermal menggunakan alat uji difusi Franz. Prinsipnya adalah mengambil sample pada sel difusi per interval waktu untuk menentukan kadar obat yang dapat berdifusi melalui membran. Juga dibahas anatomi kulit manusia, teori dasar difusi, dan prosedur pengujian difusi menggunakan piroksikam sebagai contoh zat uji.

Diunggah oleh

Syamsul Rizal M
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
553 tayangan

Laporan BIofar 5

Dokumen tersebut membahas tentang pengujian difusi suatu zat dari sediaan transdermal menggunakan alat uji difusi Franz. Prinsipnya adalah mengambil sample pada sel difusi per interval waktu untuk menentukan kadar obat yang dapat berdifusi melalui membran. Juga dibahas anatomi kulit manusia, teori dasar difusi, dan prosedur pengujian difusi menggunakan piroksikam sebagai contoh zat uji.

Diunggah oleh

Syamsul Rizal M
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 24

I.

Tujuan dan Prinsip


1.1 Tujuan
Mahasiswa mengetahui prinsip dan cara pengujian difusi suatu zat dari
sediaan transdermal/topikal.
1.2 Prinsip
Menggunakan alat uji difusi Franz, dengan mengambil sample pada
sel difusi per interval waktu tertentu untuk ditentukan kadar obat yang
mampu berdifusi menembus membran.

II. Teori Dasar


2.1 Anatomi Kulit Manusia
Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling luar
yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan hidup manusia dan
merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu kira–kira
15% dari berat tubuh dan luas kulit orang dewasa 1,5 m2. Kulit sangat
kompleks, elastis dan sensitif, serta sangat bervariasi pada keadaan iklim,
umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh serta memiliki variasi
mengenai lembut, tipis, dan tebalnya. Rata-rata tebal kulit 1-2 m. Paling
tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm)
terdapat di penis. Kulit merupakan organ yang vital dan esensial serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Djuanda, 2007).
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama
yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis.
Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis
ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan
lemak (Tortora, Derrickson, 2009).
a. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum
korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa
lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah
berubah menjadi keratin (zat tanduk). Stratum lusidum terdapat langsung
di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti
dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki (Djuanda,
2007).
b. Lapisan Dermis
Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan
dermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas
lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel
rambut. Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare
yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah, dan pars retikulare yaitu bagian bawahnya yang
menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut
penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin (Djuanda,
2007).
c. Lapisan Subkuis (Hipodermis)
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak
merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma
lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan
satu dengan yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak
disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di
lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah
bening. (Djuanda, 2007).
2.3 Membran Sintetis
Membran sisntesis yang digukan pada pengujian sel difusi franz
menggukan membran selulosa berukuran 0,45 µm. Adapula cara pembutan
membran sentesis dengan menggunakan kertas whatman no.1. Kertas
Whatman no.1 dibacam atau disemprotkan dengan cairan Spangler.
Komposisi Cairan Spangler : minyak kelapa 15%, asam oleat 15%, vaselin
putih 5%, olesterol 5%, asam stearat 5%, skualen 5%, parafin cair 10%, asam
palmitat 10% dan minyak zaitun 20%. Seluruh bahan dileburkan diawali
dengan bahan bertitik lebur tertinggi. (Sharma S. 2008)
2.4 Monografi Piroksikam
Data Monografi
Struktur Kimia

Rumus Molekul C15H13N3O4S


Pemerian Serbuk, hampir putih atau coklat terang atau
kuning terang; tidak berbau. Bentuk
monohidrat berwarna kuning
Kelarutan Sangat sukar larut dalam air, dalam asam-asam
encer dan sebagian besar pelarut organik; sukar
larut dalam etanol dan dalam larutan alkali
mengandung air
Dosis 0,5-1%
BM 331,35
Stabilitas Kurang dari 300 C
Khasiat Analgetik-antipiretik, antiinflamasi
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus
cahaya
Indikasi Rasa nyeri, inflamasi dan kekakuan pada
rematoit arthritis, osteoarthritis.
Efek Samping Gangguan kulit, sindrom nefrotik dan nefritis
interstisial.
(Farmakope Indonesia edisi IV:683).
Piroksikam adalah anti inflamasi non steroid yang mempunyai
aktifitas anti inflamasi, analgesik dan antipiretik. Interaksi beberapa tahap
respon imun dan inflamasi, antara lain: penghambatan enzim siklo-
oksigenase pada biosintesa prostaglandin, penghambatan agregasi netrofil
dalam pembuluh darah, penghambatan migrasi polimorfonuklear (PMR) dan
monosit ke daerah inflamasi. (Robert, L.2007)
2.5. Spektro UV-vis
Spektrofofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis
spektroskopi yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet
dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai
instrumen spektrofotometer. (Day, 1998).
2.7 Sel Difusi
Prinsip dari sel difusi memperkirakan jumlah obat yang dapat
melewati membran biologis dengan menggunakan sel difusi yang
memisahkan kompartemen reseptor (buffer pH tertentu) dan donor (mebran
yang diolesi gel). Membran yang digunakan dapat berupa membrane
selulosa ataupun kulit tikus (Abrar, 2012).
2.9 Proses Absorpsi
Mekanisme kerja obat pemberian secara perkutn harus mampu
berpenetrasi kedalam kulit memalui stratum koneum, terjadi proses difussi
pasif. Difusi dapat terjadi memalui stratum korneum (jalur transdermal atau
dapat juga melalui kelenjar keringat, minyak atau melalui folikel rambut
(jalur transpendagel). Difusi pasif meruoakan proses perpindahan dari
tempat berkosentrasi tnggi ke tempat yang berkosentrasi rendah
(Aiache,1993).

III. Alat dan Bahan

Alat Bahan
Spektrofotometer UV Gel piroxicam
Stopwatch Dapar fosfat pH 7,4
Neraca analitik Membran uji
Gelas kimia
Spuit
Spin bar

IV. Prosedur

Ditentukan panjang gelombang 354 nm piroxicam dengan dibuat larutan


piroxicam dengan konsentrasi 5 ppm dalam dapar fosfat pH 7,4. Kemudian
dibuat kurva kalibrasi piroxicam dengan dibuat larutan konsentrasi 1000
ppm/10 ml. Setelah itu diukur serapannya. Lalu masukkan dapar fosfat ke
dalam alat uji difusi, melalui pipa yang besar. Kemudian dimasukkan stirring
bar ke alat uji difusi. Setelah itu membran diletakkan di larutan dapar fosfat pH
7,4. Kemudian membran dikeluarkan, dan alat uji difusi dikeluarkan. Alat uji
difusi dipanaskan pada suhu 60°C hingga suhu cairan dalam alat difusi menjadi
37°C. Jika telah mencapai suhu 37°C, suhu diturunkan menjadi 45°C. Setelah
itu ditimbang gel piroxicam sebanyak 2 gram, dan dioleskan di membran
kemudian dijepit di alat uji difusi. Kemudian dilakukan pengujian selama 2,5
jam, cuplikandiambil menggunakan spluit 2 ml dengan selang waktu 15, 30,
60, 90, 120, dan 150 menit. Setelah itu sampel diukur serapannya pada panjang
gelombang maksimum, ditentukan kadar zat terdifusi setiap interval waktu
pengujian dan dilakukan perhitungan faktor koreksi.

V. Data pengamatan dan perhitungan

 Larutan Induk / Stok

Larutan Induk 1000 ppm dalam 10 ml dapar fospat

1000 ppm = 10.000 μg

10.000 μg = 10 mg/ ml

 Pengenceran Larutan Induk

V1 . N1 = Larutan Induk / Stok

V2 . N2 = Larutan Seri

 7,5 ppm = V1 . N1 = V2 . N2

= V1 . 1000 ppm = 10 ml . 7,5 ppm

= 0,075 ml

 10 ppm = V1 . N1 = V2 . N2

= V1 . 1000 ppm = 10 ml . 10 ppm

= 0,1 ml
 12,5 ppm = V1 . N1 = V2 . N2

= V1 . 1000 ppm = 10 ml . 12,5 ppm

= 0,125 ml

 15 ppm = V1 . N1 = V2 . N2

= V1 . 1000 ppm = 10 ml . 15 ppm

= 0,15 ml

 17,5 ppm = V1 . N1 = V2 . N2

= V1 . 1000 ppm = 10 ml . 17,5 ppm

= 0,175 ml

 20 ppm = V1 . N1 = V2 . N2

= V1 . 1000 ppm = 10 ml . 20 ppm

= 0,2 ml

 Gel yang di timbang

Gel = 0,5 gram

Dilebihkan 20% = 0,6 gram


 Persamaan Linier

Konsentrasi : y = bx + a

Y = 0,0383x + -0,009

Konsentrasi dapar Fospat 15 ml

t15 : 0,175 = 0,038 x – 0, 009

x = 4,842 ppm

Konsentrasi dalam dapar = 8,482 mg/ml x 15 ml

= 72,63 μg

t30 : 0,167 = 0,038 x – 0, 009

x = 4,631 ppm

Konsentrasi dalam dapar = 4,631 ppm x 15 ml

= 69,465 μg

t60 : 0,241 = 0,038 x – 0, 009

x = 6,578 ppm

Konsentrasi dalam dapar = 6,578 ppm x 15 ml

= 98,67 μg

t90 : 0,430 = 0,038 x – 0, 009

x = 11,552 ppm

Konsentrasi dalam dapar = 11,552 ppm x 15 ml

= 173,28 μg

t120 : 0,342 = 0,038 x – 0, 009


x = 9,236 ppm

Konsentrasi dalam dapar = 9,236 ppm x 15 ml

= 138,54 μg

t150 : 0,351 = 0,038 x – 0, 009

x = 9,473 ppm

Konsentrasi dalam dapar = 9,473 ppm x 15 ml

= 142,095 μg

 Faktor Koreksi

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑢𝑝𝑙𝑖𝑘𝑎𝑛
C = C +( 𝑥 𝐶 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎 )
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑟

C 15 = 72,63 μg

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑢𝑝𝑙𝑖𝑘𝑎𝑛
C 30= C 30 + ( 𝑥 C 15 )
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑟

2 𝑚𝑙
= 69,465 + ( 15 𝑚𝑙 𝑥 72,63 )

= 69,465 + 9,684

= 79,149 μg

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑢𝑝𝑙𝑖𝑘𝑎𝑛
C 60= C 60 + ( 𝑥 C 15 + C 30)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑟

2 𝑚𝑙
= 98,67 + ( 15 𝑚𝑙 𝑥 72,63 + 69,465)

= 98,67 + 18,946
= 117,616 μg

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑢𝑝𝑙𝑖𝑘𝑎𝑛
C 90= C 90 + ( 𝑥 C 15 + C 30 + C 60)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑟

2 𝑚𝑙
= 173,28 + ( 15 𝑚𝑙 𝑥72,63 + 69,465 + 98,67)

= 173,28 + 32,102

= 205,382 μg

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑢𝑝𝑙𝑖𝑘𝑎𝑛
C 120 = C 120 +( 𝑥 C 15 + C 30 + C 60 + C 90)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑟

2 𝑚𝑙
= 138,54 + ( 15 𝑚𝑙 𝑥 72,63 + 69,465 + 98,67 + 173,28)

= 138,54+ 55,206

= 193,746 μg

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑢𝑝𝑙𝑖𝑘𝑎𝑛
C 150 = C 150 + ( 𝑥 C 15 + C 30 + C 60 + C 90 +
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑟

C 120 )

2 𝑚𝑙
= 142,095+ ( 15 𝑚𝑙 𝑥72,63 + 69,465 + 98,67 + 173,28 +

138,54)

= 142,095 + 73,678

= 215,773 μg

 Luas lingkaran
LO = 𝜋 . 𝑟2
= 3,14 × 12
= 3,14 cm
 Menghitung nilai Fluks
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖
Fluks = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛

72,63 𝑥 10−3 𝑚𝑔
Fluks C15= = 23,130 𝑥 10−3 𝑚𝑔/𝑐𝑚2
3,14 𝑐𝑚

69,465 𝑥 10−3 𝑚𝑔
Fluks C30= = 22,122 𝑥 10−3 𝑚𝑔/𝑐𝑚2
3,14 𝑐𝑚

117,616 𝑥 10−3 𝑚𝑔
Fluks C60= = 37,457 𝑥 10−3 𝑚𝑔/𝑐𝑚2
3,14 𝑐𝑚

205,382 𝑥 10−3 𝑚𝑔
Fluks C90= = 65,408𝑥 10−3 𝑚𝑔/𝑐𝑚2
3,14 𝑐𝑚

193,746 𝑥 10−3 𝑚𝑔
Fluks C120= = 61,702 𝑥 10−3 𝑚𝑔/𝑐𝑚2
3,14 𝑐𝑚

215,773 𝑥 10−3 𝑚𝑔
Fluks C150= = 68,717 𝑥 10−3 𝑚𝑔/𝑐𝑚2
3,14 𝑐𝑚

 % Zat berdifusi
Tiap 1 gram gel mengandung 5 mg piroksikam

Yang ditimbang: 0,5 gram

0,5 𝑔
Dosis : 𝑥5 mg = 2,5 mg
1𝑔

𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖


% berdifusi = 𝑥100%
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 /𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛

68,717 𝑥 10−3 𝑚𝑔/𝑐𝑚


= 𝑥100%
2,5 𝑚𝑔/3,14

= 8,63%
 Persamaan Linier dari kurva Baku

Konsentrasi Absorbansi (A)

7,5 ppm 0,281

10 ppm 0,375

12,5 ppm 0,470

15 ppm 0,552

17,5 ppm 0,660

20 ppm 0,763

Grafik Kurva Kalibrasi antara Konsentrasi dengan


absorbansi
0.9
y = 0.0383x - 0.0091 0.763
0.8
R² = 0.9986 0.66
0.7
0.552
0.6
absorbansi

0.47
0.5
0.375
0.4
0.281
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25
konsentrasi

Gambar V.1 kurva kalibrasi antara konsentrasi larutan seri dengan absorbansi
 Regresi Linier

a = -9 x 10-3

b = 0,0383

r = 0,999

Waktu ( t ) Absorbansi (A)

15 0,175

30 0,167

60 0,241

90 0,430

120 0,342

150 0,351

Grafik antara nilai Fluks dengan Waktu


0.5
0.45 y = 0.0016x + 0.1582
0.4 R² = 0.6403
nilai Fluks (mg/cm2)

0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
t (menit)

Gambar V.11 Grafik antara nilai Fluks dengan waktu


VI. Pembahasan

Penggunaan obat pada kulit atau disebut juga pemberian obat secara

perkutan dari sediaan transdermal atau topical. Untuk mencapai efek obat zat

aktif perlu bertemu dengan reseptornya. Akan tetapi pada obat dengan cara

pemberian ini harus melewati stratum korneum yang mana merupakan bagian

terluar pada struktur kulit yang juga sebagai barier utama perlindungan tubuh

dari zat asing yang akan masuk kedalam tubuh. Stratum korneum memiliki

komponen yang sulit untuk ditembus. Pada uji difusi ini bertujuan untuk

mengetahui kadar obat yang terdifusi atau yang terserap oleh kulit. Uji secara

in vitro yaitu uji yang dilakukan di luar tubuh atau di luar sel makhluk hidup

tetapi dengan kondisi atau keadaan menyerupai keadaan tubuh. Uji in vitro

merupakan cara yang paling sederhana dan hemat untuk mengetahui profil

absorbsi penetrasi obat ke kulit (Witt & Bucks, 2003).

Sediaan transdermal yang digunakan adalah gel yang mengandung

piroksikam 5 mg/mL. Piroksikam merupakan salah satu turunan oksikam yang

memiliki aktivitas antiradang, analgetik dan antipiretik (Robert dan Jason,

2007: 692). Piroksikam merupakan obat anti inflamasi non-steroid yang bekerja

sistemik dengan mekanisme menghambat enzim siklooksigenase sehingga

prostaglandin yang merupakan mediator nyeri tidak terbentuk (Mycek, 2001).

Sediaan gel piroksikam dapat menutupi kekurangan dari bentuk sediaan oral

karena sediaan gel tidak akan menyebabkan obat mengalami first pass effect
sehingga bioavaibilitas obat tinggi dan tidak menyebabkan obat meningkatkan

resiko pada saluran pencernaan (tukak lambung, gastritis dan lain-lain).

Prinsip pengujian gel piroksikam adalah difusi pasif dimana zat

dengan konsentrasi tinggi akan berpindah ke kompartemen dengan zat yang

berkonsentrasi rendah melalui membran tanpa menggunakan tekanan atau

dorongan hingga tercapai kesetimbangan di antara dua kompartemen (Martin,

2008).

Pengujian difusi secara in vitro dapat menggunakan komponen

penyusun alat yang berupa sel difusi dan membran difusi. Pada praktikum kali

ini pengujian difusi obat menggunakan sel difusi franz. Sel difusi franz adalah

suatu sel difusi tipe vertikal untuk mengetahui penetrasi zat secara in vitro. Cara

melakukan uji penetrasi dengan sel difusi franz adalah sejumlah zat

diaplikasikan pada membran dan dibiarkan berpenetrasi secara difusi pasif

melalui membran. Untuk mengetahui jumlah zat yang berpenetrasi dan laju

penetrasi zat dilakukan sampling cairan di kompartemen reseptor selama waktu

tertentu sampai keadaan mencapai keadaan tunak (Sinko, 2011).

Alat uji yang digunakan adalah sel difusi franz dengan prinsip alatnya

yaitu meletakkan membran difusi di antara kompartemen donor dan

kompartemen reseptor, membran yang digunakan adalah membran HT Tuffryn

dan memiliki struktur seperti stratum korneum yang terdiri dari brick (berupa

korneosit yang mengandung faktor pelembab alami dan tersusun oleh protein,

air dan lipid) dan mortar (lapisan rangkap lipid) yang bersifat hirofil-hidrofob-
hidrofil. Kompartemen donor diibaratkan sebagai permukaan kulit tempat

sediaan gel dioleskan sedangkan kompartemen reseptor yang berisi larutan

dapar fosfat pH 7,4 diibaratkan sebagai cairan tubuh yang berada di bawah

stratum korneum.

Sel Difusi Franz

Selain membran HT Tuffryn, membran lain yang dapat digunakan yaitu

membran kulit ular. Namun pengguaan membran kulit ular selain harganya

mahal dikarenakan cara memperoleh kulit ular yang sulit dibanding telinga

kulit babi.

Pertama-tama semua komponen alat difusi dipasang, kemudian

ditentukan terlebih dahulu panjang gelombang maksimum dari piroksikam,

dengan membuat larutan piroksikam dengan konsentrasi 5 ppm dalam dapar

fosfat pH 7,5. Hal ini dilakukan untuk memastikan panjang gelombang

maksimum dari piroksikam karena yang tertera dari literartur yang sudah ada

terkadang akan berbeda dengan pada sa-at praktikum karena adanya perbedaan

kondisi baik dari zatnya maupun dari pengaruh lain sehingga perlu adanya
penentuan panjang gelombang maksimum dari piroksikam terlebih dahulu serta

sebagai medium reseptornya. selain itu dilakukan pembuatan larutan seri

dengan konsentrasi 7,5;10;12,5;15;17,5 dan 20 ppm untuk membuat kurva

kalibrasi dengan metode regresi linier, diperoleh persamaan y=0,0383x+(-

0,0091) dimana x merupakan konsentrasi larutan uji dan y adalah absorbansi

larutan uji dengan nilai regresi (r2) 0,999 yang menunjukkan koefisien relasi

antara absorbansi dengan konsentrasi adalah besar sehingga linearitas dari

kurva adalah baik, dimana semakin tinggi konsentrasi maka semakin besar pula

nilai absorbansinya (Marzuki, 2012).

Lalu sebanyak 0,6 gram gel dioleskan secara merata pada membran

sintesis dan dilakukan pengujian. Alasan penggunaan 0,6 gram, penimbangan

ditambahkan 20% dari 0,5 gram yang mengandung 5 gram piroksikam karena

ditakutkan sediaan yang dioleskan kurang dari 0,5 gram karena pasti ada yang

tertinggal di perkamen saat penimbangan dan dispatel sebelum pengolesan oleh

karena itu dilakukan penambahan 20% menjadi 0,6 gram, kemudian membran

HT tuffryn direndam dalam larutan dapar pH 7,4 selama 30 menit untuk

membasahi dan memudahkan gel piroksikam berpenetrasi, membran lain yang

dapat digunakan adalah kulit ular namun membran ini mudah sobek. Suhu yang

digunakan adalah 320 C sesuai dengan suhu kulit dan kecepatan pengadukan

600 rpm sesuai dengan kecepatan aliran darah di kulit. Kemudian sediaan

dioleskan diatas membran pada kompartemen donor lalu diamati selama tiga
jam dengan interval waktu 15, 30, 60, 90, 120 dan 150 menit dengan tujuan

untuk melihat kadar piroksikam per interval waktu.

Gel piroksikam dioleskan pada bagian atas membran sesuai dengan

cara penggunaan di atas kulit untuk melihat apakah gel tersebut dalam melewati

membran dan bercampur dengan pelarut yang digunakan seperti gel yang akan

menembus stratum korneum dan masuk ke tubuh untuk berikatan dengan

resepetor sehingga dapat memberikan efek yang diinginkan.

Setiap selang waktu 15, 30, 60, 90, 120 dan 150 menit cuplikan di

ambil dengan menggunakan skuit 2 ml dan setiap pengambilan cuplikan

digantikan dengan dapar fosfat pH 7,4. Cairan yang digunakan dapar fosfat pH

7.4 karena untuk mengkondisikan cairan seperti tubuh normal dimana pH

cairan tubuh manusia normal berkisar 7,35-7,45 sehingga diharapkan dalam

pengujian ini menghasilkan nilai pengukuran yang mendekati atau sama dengan

bila pengujiannya dilakukan terhadap manusia. Pengujian dilakukan dengan

mengunakan pengadukan magnetik stirrer yang bertujuan untuk

menghomogenkan cairan yang akan diuji.

Setelah itu sampel diukur menggunakan spekrofometer UV. Metode

spektrofotometer UV digunakan untuk analisis kualitatif dan analisis

kuantitatif. Pada analisis kualitatif untuk menentukan ada atau tidaknya zat

piroksikam pada sampel uji ditunjukan dengan adanya panjang gelombang

piroksikam, jika ada artinya telah terjadi difusi. Sedangkan analisis kuantitatif

untuk menentukan seberapa banyak zat piroksikam yang berdifusi pada selang
waktu tertentu yang ditunjukan dengan absorbansi. Alasan pemilihan metode

spektrofotometri UV karena piroksikam memiliki gugus kromofor. Gugus

kromofor yaitu ikatan atau gugus fungsi spesifik dalam molekul yang

bertanggng jawab atas penyerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu

yang terdeteksi oleh detektor UV lalu di ubah menjadi sinyal listrik yang dibaca

oleh red out yang kemudian digambarkan oleh monitor dalam bentuk

absorbansi (Syah, 2005).

struktur piroksikam

Dari keenam interval waktu tersebut diperoleh absorbansi berturut-

turut yaitu 0,175;0,167;0,241;0,430;0,342 dan 0,351A dimana absorbansi di

waktu ke 15 dan 30 menit berada di bawah 0,2 A sehingga tidak memenuhi

syarat absorban yang baik (0,2-0,8 A), absorban dibawah 0,2 A menunjukkan

konsentrasi larutan uji yang terlalu encer dikarenakan jumlah piroksikam yang

baru sedikit berpenetrasi dalam larutan uji. Nilai absorbansi untuk 120 dan 150

yang dihasilkan cenderung menurun, padahal absorbansi semestinya

berbanding lurus dengan konsentrasi yang ada. Semakin lama waktu pengujian

maka semestinya semakin banyak jumlah piroksikam yang terkandung.

Menurut Neldawati (2013:78), nilai absorbansi ini akan bergantung pada kadar
zat yang terkandung di dalamnya, semakin banyak kadar zat yang terkandung

dalam suatu sampel maka semakin banyak molekul yang akan menyerap

cahaya pada panjang gelombang tertentu sehingga nilai absorbansi semakin

besar atau dengan kata lain nilai absorbansi akan berbanding lurus dengan

konsentrasi zat yang terkandung didalam suatu sampel.

Konsentrasi yang diperoleh selanjutnya dikalikan dengan faktor

pengenceran (15 ml), pengenceran dilakukan untuk membuat larutan menjadi

tidak terlalu pekat sehingga dapat memiliki absorbansi di rentang 0,2-0,8 A.

Selanjutnya dilakukan perhitungan faktor koreksi untuk memperoleh nilai

konsentrasi yang sebenarnya dari larutan uji dengan rumus Creal= C + (Volume

cuplikan/Volume dapar x Csebelumnya). Data konsentrasi sebenarnya yang

diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan laju difusi untuk

menentukan konsentrasi obat per luas permukaan membran (3,14 cm2) dengan

rumus J= Creal/ luas permukaan membran, nilai J (fluks) meningkat seiring

bertambahnya waktu yang menunjukkan penyerapan obat semakin tinggi

seiring berjalannya waktu. perhitungan ini dilakukan sebagai ukuran luas

penampang yang digunakan karena yang dilihat adalah kadar obat yang

berdifusi perluas penampang tertentu.

Terakhir dilakukan perhitungan % difusi untuk mengetahui kebutuhan

sediaan terhadap penetrant enhancer dengan rumus

𝐽 (𝑙𝑎𝑗𝑢 𝑑𝑖𝑓𝑢𝑠𝑖)𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
x 100%, nilai laju difusi tertinggi yang didapat
𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 / 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑎𝑎𝑛
sebesar 68,717 µg/cm2 pada menit ke 150 dan dosis piroksikam adalah 2,5 mg

sehingga diperoleh % difusi sebesar 8,63%. Diketahui bahwa tmaks piroksikam

adalah 3-5 jam dengan t1/2nya 1,5-2,5 jam dan pada percobaan ini dilakukan

pengamatan selama 2,5 jam sehingga % difusi seharusnya tidak kurang dari

50%, maka sediaan ini membutuhkan penetrant enhancer.

Pada pengujian yang dilakukan selama 2,5 jam seharusnya dapat

diperikaran konsentrasi yang didapatkan sudah mencapai setengahnya pada

umumnya % difusi tertinggi memperoleh hasil 50% tetapi pada pengujian ini

hasil yang diperoleh kurang dari 50% hal ini menunjukan bahwa sediaan gel

piroksikam kemungkinan membutuhkan zat peningkat penetrasi atau larutan

yang digunakan sudah dalam keadaan jenuh. Peningkat penetrasi yang

digunakan pada formulasi obat transdermal bertujuan untuk memperbaiki fluks

obat yang melewati membran. Fluks obat yang melewati membran dapat

dipengaruhi oleh koefisien difusi membran melalui stratum corneum,

konsentrasi efektif obat yang terlarut dalam pembawa, koefisien partisi antar

obat dengan stratum corneum dan tebal lapisan membran. Peningkat penetrasi

yang efektif dapat meningkatkan koefisien difusi obat ke dalam stratum

corneum dengan cara mengganggu sifat penghalangan stratum corneum

(Williams, 2004). Peningkat penetrasi dapat bekerja melalui tiga mekanisme,

yaitu dengan cara merusak struktur stratum corneum, berinteraksi dengan


protein intraseluler dan memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent

kedalam stratum corneum (Swarbrick, 2000).

Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi

antara lain air, sulfoksida, senyawa-senyawa azone, pyrollidones, asamasam

lemak, alkohol dan glikol, surfaktan, urea, minyak atsiri, terpen dan fosfolipid

(Swarbrick, 2000; dan Williams, 2004).

VII. Kesimpulan

Kadar piroksikam yang berpetrasi kedalam kulit setelah pengujian selama

2,5 jam adalah 8,63% yang artinya gel membutuhkan penentrant enhencer

untuk membentu penetrasi obat.


Daftar Pustaka

Abrar, M. 2012. Isolasi, Karakterisasi, dan Aktivasi Biologi Hemaglutinin


Staphylococcus aureus dalam Proses Adesi pada Permukaan Sel
Epitelambing Sapi Perah. Institut Pertanian Bogor
Aiache, J. M., dan Devissaguet J. Ph. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi diterjemahkan
oleh Dr. Widji Soeratri, Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press
Alfred et.al. 2008. Farmasi Fisik Jilid Kedua Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press
DepKes RI. 1995. Farmakope Indonesia. edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Djuanda, Adhi. dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. edisi Kelima. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.
Marzuki, Asnah. (2012). Kimia Analisis Farmasi, Dua Satu Press, Makassar.

Mycek, Mary. J. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya

Medika

Neldawati, Ratnawulan dan Gusnedi. 2013. Analisis Nilai Absorbansi dalam


Penentuan Kadar Flavonoid untuk Berbagai Jenis Daun Tanaman Obat. Padang:
Universitas Negeri Padang. Pillar Of Physics, Vol. 2, 76-83.
R. A. Day dan A. L. Underwood. 1998. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Robert, L. Jackson dan Morrow, Jason D. (2007). Dasar Farmakologi Terapi Volume
1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Robert, L. Jackson dan Morrow, Jason D. (2007). Dasar Farmakologi Terapi Volume
1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Sharma S. 2008. Topical drug delivery system: A review. Pharmaceut. Rev.Martin,
Sinko, P. J., (2011). Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika edisi 5,
diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, 706, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Swarbrick, J. dan Boylan, J., (2000), Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of

Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York

Syah. (2005). Buku Ajar Diagnostik Fisik dengan Intrumen, Salemba. Jakarta

Tortora, G. J. dan Derrickson B. H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th


ed. Asia: John Wiley and Sons

Williams, A.C., dan Barry, B.W. (2004). Penetration Enhancers. Advanced Drug

Delivery Reviews. 5(6): 603-618

Witt, Krista, D. Bucks. (2003). Studying in Vitro Skin Penetration and Drug Release
to Optimize Dermatological Formulations. Dalam: Pharmaceutical Technology,
Advanstar Communication Inc, New York

Anda mungkin juga menyukai