Cerpen
Cerpen
Cerpen
Kelas:
Mapel:Bhs.Indonesia
Di sebuah kota yang sangat padat penduduknya, tinggalah seorang gadis yang duduk di bangku
SMP terfavorit di kotanya. Dia tahu kewajiban setiap umat Islam bagi perempuan, sehingga ketika
di manapun ia berada termasuk di sekolah, ia selalu menutup mahkotanya dengan jilbab. Ia
berwajah putih ditambah lesung pipi yang membuat wajahnya bertambah cantik. Ia termasuk
anak yang berasal dari keluarga yang berada. Keluarganya sangat ingin dia menjadi anak yang
berprestasi. Hingga suatu saat, keinginan keluarganya pun terwujud. Berbagai kejuaraan ia raih,
tentunya berbagai perlombaan yang diikuti oleh sekolahnya, ia selalu yang mewakili sekolahnya.
Orangtuanya pun sangat bangga padanya.
Di perjalanan, Aku sibuk membaca buku Scienceku. Sedangkan adikku, Shirin sedang memakan
roti sandwich buatan Mama.
“Kak, nanti ada ulangan, ya?” tanya Shirin.
“Iya,” balasku santai sambil tetap memandangi deretan huruf yang makin lama membuatku
pusing.
“Oo.. semangat!” seru Shirin menyemangatiku. Aku hanya tersenyum.
Sesekali Aku menengok ke jendela mobil untuk melihat ke luar disaat lampu merah menyala. Di
saat itu, Aku melihat seorang gadis yang sebaya denganku, dia sedang menjual Koran di pinggir
jalan, lalu ia menawarkan ke Papaku. Papaku menolak untuk memebelinya. Kasihan, gumamku.
Apakah dia tidak sekolah? Apakah dia ingin sekolah? Apakah dia menjual koran untuk sekolah?
pertanyaan pun bertubi tubi muncul di benakku.
Sesampainya di sekolah
“Salsa, udah belajar belum?” tanya teman dekatku, Syifa.
“Insya Allah udah,” balasku mantap.
“Salsa enggak usah ditanya, udah atau belum, pasti nanti juga bisa,” balas Syifa sembari
menyenggol lenganku, lalu tersenyum kepadaku. Aku hanya tersenyum malu sambil memandangi
buku Science-ku.
Teeett… teeett… teeet.. bel sekolah berbunyi. Guru mata pelajaran IPA, Bu Hani pun masuk ke
dalam kelasku. Sebelumnya kami berdo`a dahulu sebelum pelajaran di mulai. Selesai berdo`a,
kami pun langsung mengerjakan soal ulangan IPA yang diberikan oleh Bu Hani.
“Oke, anak-anak, mingu lalu Ibu sudah bilang kepada kalian. Hari ini akan diadakan ulangan IPA.
Apakah anak-anak sudah siap?” tanya Bu Hani.
“Siap!” teriak kami serempak.
Ketika Aku selesai mengerjakan, aku menoleh ke arah jendela. Tak sengaja, Aku melihat seorang
anak perempuan yang tadi kutemui di jalan. Dia mengintip kami yang sedang mengerjakan
ulangan sambil membawa sisa koran yang dijual tadi pagi. Aku merasa kasihan dengannya.
Mungkin dia ingin sekolah, gumamku.
Akhirnya bel pulang sekolah pun berbunyi, Aku pun segera berlari ke luar gerbang sekolah.
Kudapati anak perempuan itu sedang menangis di bawah pohon angsana yang berada di depan
sekolahku. Aku mengamatinya sejenak dari jauh. Hingga akhirnya Aku pun memutuskan untuk
menghampirinya. Pelan pelan aku berjalan ke arahnya.
“Namamu siapa? Kenapa kamu menangis?” tanyaku. Dia tak menjawab. Aku pun bertanya sekali
lagi. Dia diam sejenak, lalu membalas perkataanku.
“Namaku Shania,” balasnya lirih.
“Aku ingin sekali sekolah,” balasnya sambil menundukkan kepalanya. Aku hanya mengangguk
paham.
“Oo.. kamu ingin sekolah, apakah orangtuamu masih ada?,” tanyaku pelan pelan. Anak itu
menggeleng. Seolah-olah mulutku tercengang. Hatiku sontak kaget mendengarnya. Aku merasa
bersalah telah menanyakan hal itu.
“Dulu, ayahku pergi dari rumah untuk mencari pekerjaan namun sampai sekarang tidak kembali,
hingga saat ini, Aku tidak tahu ke mana Ayahku pergi. Saat itu, tinggal aku dan ibu yang ada di
rumah. Tak lama setelah ayahku pergi, ibuku mengalami penyakit asma yang cukup parah, Aku
sedih sekali. Saat itu, Aku berusaha mencari uang untuk berobat. Namun, menurutku itu harus
butuh jangka waktu yang lama. Aku mencari uang dengan menjual semua majalah yang dulu
pernah aku beli setiap satu minggu sekali di saat kelas 5 SD. Sepulang dari berjualan aku melihat
ibuku terbaring lemas, aku mencari nadi di tangannya. Tidak berdenyut. Seketika Aku menangis
tersedu-sedu. Aku segera meminta tolong tetanggaku. Kini, tidak ada lagi yang bisa membiayaiku
sekolah,” jelasnya lirih panjang lebar seraya mengusap air matanya yang jatuh perlahan. Mataku
terlihat berkaca kaca.
“Maaf ya, aku telah mengungkit masalah pribadimu,” ucapku merasa bersalah. Ia hanya
mengangguk pelan.
“Terus sekarang sebenarnya kamu kelas berapa?”
“Kelas 2 SMP,”
“Sekarang kamu tinggal bersama siapa?” tanyaku lagi.
“Aku tinggal bersama teman-teman di panti asuhan,” balasnya.
“Oo.. terus mengapa kamu berjualan koran?” tanyaku ingin tahu.
“Eemmm.. hanya untuk ditabung saja dan kalau sudah cukup, aku ingin melanjutkan sekolahku.”
balasnya lalu tersenyum. Aku terharu mendengar cerita anak perempuan itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil, Aku menoleh ke arah datangnya bunyi klakson tersebut.
Ternyata itu mobil Papaku.
“Besok kamu ke sini lagi ya, ada yang mau aku bicarain ke kamu. Daah.. duluan ya,” kataku
cepat, lalu melambaikan tanganku. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.
Dari dalam mobil, Ayah melihatku heran. Aku pun menjelaskan dan menceritakan semuanya
tentang Shania kepada Papa. Aku juga mengemukakan keinginanku kepada Papa. Akhirnya
keinginanku disetujui oleh Papa, Shania disekolahkan di sekolah yang sama sepertiku.
Keinginanku yang ke dua, Shania tinggal di rumah bersama kami, namun Papa masih
mempertimbangkan itu.
Pada akhirnya, kini Shania telah mendapat izin dari pihak panti asuhan untuk tinggal bersamaku.
Dan sekarang dia menjadi temanku di rumah. Yeee.. aku bersorak riang, kini aku memiliki teman
bermain dan belajar di rumah, walaupun sebenarnya aku mempunyai adik di rumah. Tetapi
setidaknya Shania kan sebaya denganku.
Keesokan harinya, Papa dan Mama telah mendaftarkan Shania untuk bersekolah, Shania sangat
berterimakasih kepada kami. Karena, kami telah membantunya untuk bersekolah lagi. Akhirnya
sekolahku menerima Shania sebagai murid baru. Shania menempati kelasku. Setelah beberapa
hari sekolah, kulihat perkembangan belajar Shania, ia mampu mengerjakan soal hitung-hitungan
seperti matematika juga fisika dan nilai yang didapat juga bagus. Apakah ini kelebihan Shania?
tanyaku di dalam hati. Selain itu, menurutku ia juga mampu menguasai dan memahami semua
pelajaran. Sungguh hebat!
Tiba di waktu menjelang ulangan kenaikan kelas, Aku dan Shania selalu belajar bersama. Jika ada
materi pelajaran yang tidak paham kami saling tanya menanyakan.
Ulangan Kenaikan Kelas (UKK)
Aku mengerjakan soal dengan teliti dan cermat. Begitu pula Shania, ia mengerjakannya dengan
sungguh sungguh sekali. Hingga akhirnya UKK telah usai, tiba waktunya pengambilan rapot. Mama
yang mengambil rapotku juga rapot Shania.
Menjelang olimpiade matematika, Aku dan Shania meminta do`a dan dukungan kepada guru-guru
dan seluruh teman-teman di sekolahku. Peserta olimpiade matematika cukup banyak. Setelah
olimpiade matematika berakhir, Aku mempersiapkan untuk olimpiade Sains yang diadakan minggu
depan.
Tiba di waktu olimpiade Sains. Aku mengerjakan dengan sungguh-sungguh begitu pula Shania.
Peserta yang mengikuti olimpiade Sains cukup banyak juga, seperti olimpiade sebelumnya.
Pengumuman pemenang diumumkan minggu depan.
Olimpiade matematika dan sains telah kulewati dengan lancar, walaupun hanya beberapa soal
yang sedikit meragukan jawabannya. Karena olimpiade berikutnya masih bulan depan yaitu
olimpiade Fisika. Kami pun memutuskan untuk berkunjung ke sebuah tempat wisata yang tidak
jauh dari rumah sebagai refreshing.
Lima hari lagi. Ya, lima hari lagi olimpiade Fisika dimulai. Sungguh capek, kini kami harus belajar
fisika lebih serius lagi. Menurutku peserta olimpiade fisika ini banyak sekali dan itu berarti banyak
sekali saingannya. Hingga pada akhirnya olimpiade fisika ini kami lalui dengan sedikit rasa kesal,
karena kami tidak mempelajari salah satu materi yang diajukan di saat olimpiade.
“Akhirnya, semua olimpiade berlalu.” kata Shania, lalu menyalakan AC yang berada di ruang
keluarga.
“Alhamdulillah Shania, semoga kita menang terus kita bisa dapat beasiswa ke luar negeri,”
“Amiiiinn,”
Tiba pengumuman pemenang olimpiade matematika, aku mencari namaku di kertas pengumuman
yang ditempel di mading pengumuman. Mana namaku, Salsabila Putri Amelia?, tanyaku dalam
hati. Aku hanya melihat nama Shania, lengkapnya Shania Nasywa Anindita. Shania langsung
melonjak kaget, dia gembira sekali. “Selamat ya!” ucapku. Di samping nama Shania tertera tulisan
juara 1 dan hadiahnya berupa beasiswa ke Jerman, trophy, dan sertifikat, tak lupa uang tunai
juga.
Shania berangkat ke Jerman bulan depan. Aku sedikit iri dengan Shania. Aku berharap menjadi
juara pertama ketika olimpiade Sains atau Fisika.
Minggu ini pengumuman lomba olimpiade sains telah ada. Untuk kedua kali ini, aku tidak menang.
Namaku tidak tertera di pengumuman, begitu pula nama Shania. Rasa pesimisku mulai muncul.
Namun aku berusaha untuk menghilangkannya.
“Tidak apa-apa, jangan mengeluh. Tunggu pengumuman olimpiade fisika, Sal,” kata Shania
menghiburku lalu tersenyum.
Sebulan kemudian tepat pengumuman olimpiade fisika. Aku berharap semoga aku menjadi juara
pertama.
Segera aku memberitahu kepada Mama dan Papa. Ketika Mama dan Papa mendengar berita
bahwa Aku menang olimpiade Fisika dan mendapat beasiswa ke Australia, mereka sangat senang
juga bangga.
“Wah.. kalian benar benar hebat! sekolah yang baik ya, di sana!” kata Papa. Aku dan Shania
mengangguk bersamaan.
“Shania kurang 5 hari lagi, lho! ayo siap-siap dari sekarang,” ujar Mama.
“Iya, ini lagi siap-siap,”
“Salsa, sudah packing baju?.” tanya Mama.
“Belum, kan masih lama, kurang 10 hari,” balasku lalu tersenyum meringis.
Aku tidak menyangka, karena aku bisa meraih juara olimpiade fisika yang sebelumnya menurutku
sulit. Dan aku bisa mendapat beasiswa ke Sydney, Australia. Rasa senangku tidak berakhir di sini,
aku masih senang sekali lagi. Aku senang karena, bisa menolong Shania yang awalnya hanya
seorang penjual Koran hingga akhirnya bisa sekolah dan juga meraih juara olimpiade matematika
berkat bantuanku dan orangtuaku. Shania kini merasa, segala yang ia inginkan dari dulu telah
terwujud. Mulanya ia ingin sekolah, lalu mendapat beasiswa. Semua itu terwujud. Aku berharap
dengan diberi beasiswa, Shania bisa melanjutkan ke perguruan yang lebih tinggi dan menjadi
orang yang sukses. Begitu pula denganku.