Proses Meteorologis Banjir (Tjasyono, DKK) PDF
Proses Meteorologis Banjir (Tjasyono, DKK) PDF
Proses Meteorologis Banjir (Tjasyono, DKK) PDF
DI INDONESIA
Abstrak
Bencana banjir harus diatasi dari segala aspek. Awan konvektif jenis cumulonimbus dapat menyebabkan
bencana banjir lokal. Sistem cuaca skala meso seperti zona konvergensi intertropis (ZKI) dan siklon tropis dapat
menyebabkan bencana banjir skala luas. Pada bulan Desember, Januari dan Februari (DJF) zona konvergensi
intertropis berada di atas wilayah Indonesia belahan bumi selatan. Siklon tropis yang bergerak dekat dengan
perairan Indonesia mampu meningkatkan intensitas bencana banjir. Baik hujan konveksional, hujan konvergensi,
maupun hujan siklon tropis, ketiganya diakibatkan oleh sel tekanan udara rendah pada pusat konveksi, zona
konvergensi intertropis dan mata siklon tropis. Hujan konveksional terjadi setelah insolasi maksimum. Sebagai
wilayah monsun, Indonesia mengalami hujan lebat terutama pada musim panas dan gugur belahan bumi. Efek
orografik di daerah monsun juga dapat meningkatkan jumlah curah hujan pada lereng di atas angin.
Kata kunci : Curah hujan, monsun, zona konvergensi, bencana banjir, sel tekanan rendah.
Abstract
Flood disaster must be overcomed from the whole aspects. Convective clouds of cumulonimbus type cause local
flood disaster, while meso – scale weather system, such as intertropical convergence zone (ICZ), and tropical
cyclone result in large scale flood disaster. In the months of December, January, February, the intertropical
convergence zone lies over the southern hemisphere Indonesian region. Track of tropical cyclone near the
Indonesian waters is able to increase the intensity of flood disaster. Either convectional or convergence rainfall
as well as tropical cyclone rainfall, the three of them in consequence of the low air pressure at the convection
center, the intertropical convergence zone and the tropical cyclone eye. Convectional rainfall occures after the
maximum insolation. As a monsoon region, Indonesia suffer heavy rainfall especially in hemisphere summer and
autumn. Orographic effect in monsoonal region can also increase the amount of rainfall in the windward slope.
Keywords : rainfall, monsoon, convergence zone, flood disaster, low pressure cell.
_________________________________
*) Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian – ITB,
Bandung.
**) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Bandung.
***) Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), Jakarta.
_______________ 1
Proses Meteorologis
1. Pendahuluan
Banjir adalah fenomena alam yang sumbernya dari curah hujan dengan intensitas
tinggi dan durasi lama pada daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan lingkungan, perubahan
fisik permukaan tanah menyebabkan penurunan daya tampung dan daya simpan air hujan,
sehingga sebagian besar curah hujan dialirkan sebagai air limpasan (runoff) yang sangat
berpotensial menjadi bencana banjir terutama pada daerah hilir. Bencana banjir sering
diberitakan dalam media massa cetak dan elektronik, tetapi bagaimana proses fisisnya masih
belum mendapat perhatian yang serius. Faktor meteorologis yang menyebabkan bencana
banjir yaitu unsur iklim curah hujan yang terdiri dari jumlah, durasi, intensitas dan distribusi
hujan. Hujan torensial (torrential rains) merupakan jenis hujan utama penyebab fenomena
banjir (Ramage, 1971).
Insolasi yang kuat menyebabkan densitas udara permukaan menjadi kecil, sehingga
terjadi sel tekanan rendah. Dalam sistem cuaca lokal, hal ini mengakibatkan arus udara keatas
(updraft) yang membawa udara lembap dari tempat di sekitar sel tekanan rendah ke paras
kondensasi. Alih panas permukaan yang dibawa oleh partikel-partikel udara disebut konveksi.
Dalam arus konveksi udara lembap yang kuat maka terjadi awan konvektif jenis cumulus.
Dalam pertumbuhannya cumulus menjadi awan cumulonimbus yang dapat menghasilkan
hujan deras (shower), batu es hujan, guruh, dan kilat, dan kemungkinan terjadi puting beliung
(Roger and Yau, 1989). Cuaca dalam kondisi ini disebut cuaca ekstrim atau “cuaca buas”
(wild weather).
Karakteristik utama wilayah Indonesia adalah campuran permukaan darat (30%), laut
(70%) dan pegunungan. Komposisi campuran seperti ini, menimbulkan variasi iklim lokal
yang besar, terutama bergantung pada monsun dan ketinggian tempat. Pola curah hujan harian
jam-jaman pada umumnya menunjukkan maksimum setelah insolasi maksimum atau setelah
pukul 12.00 waktu lokal. Pola curah hujan harian jam-jaman kadang-kadang dipengaruhi oleh
karakter maritim yaitu curah hujan maksimum terjadi ketika lewat tengah malam sampai dini
hari (Lim and Suh, 2000; Bayong Tjasyono et al., 2005).
Hujan torensial di atas zona konvergensi intertropis (ZKI) dapat menyebabkan
bencana banjir skala luas. Pada bulan Desember, Januari dan Februari atau musim panas
belahan bumi selatan (BBS), zona konvergensi intertropis berada di atas Indonesia belahan
bumi selatan (LAPAN 2005, 2006). Kebanyakan siklon tropis terjadi pada musim panas, dan
tempat-tempat yang dekat dengan jalur siklon akan mendapat peningkatan jumlah curah hujan
(Anthes, 1982; Bayong Tjasyono, 1999).
_______________ 2
Proses Meteorologis
Indonesia sebagai wilayah ekuatorial maka analisis arus udara sangat penting dibandingkan
analisis isobarik. Hal ini disebabkan wilayah ekuatorial adalah daerah angin lemah (doldrum)
dan gradien tekanannya kecil, sehingga analisis isobarik akan menghasilkan kesalahan yang
besar, sedangkan analisis arus udara lebih cocok dipakai di wilayah ekuatorial.
Data pluviogram sangat penting untuk analisa bencana banjir, karena data ini dapat
dianalisa kapan hujan mulai dan kapan hujan berhenti, lamanya hujan berlangsung, jumlah
curah hujan, dengan demikian dapat dihitung intensitas hujan (jumlah curah hujan per satuan
waktu, biasanya dalam milimeter per jam). Pias (chart) pluviogram dapat diinterpretasikan
menjadi data kuantitatif yang sangat penting untuk mengetahui debit air hujan yang
dicurahkan dari sebuah awan dalam satuan volume air hujan per satuan luas per satuan waktu.
Dari pengolahan dan analisis data kemudian dirumuskan mekanisme bencana alam banjir.
Estimasi jumlah curah hujan harian diperoleh dari data OLR (Outgoing Longwave
Radiation), mengikuti persamaan (LAPAN, 2005) berikut :
R = – 0,106073 x OLR + 29,782 (1)
keterangan :
OLR : data radiasi gelombang panjang yang keluar dalam Wm-2
R : estimasi jumlah curah hujan harian dalam mm/hari
Estimasi jumlah curah hujan bulanan (mm/bulan) dihitung dari jumlah curah hujan harian
dikalikan dengan jumlah hari dalam bulan yang dimaksud (Januari = 31 hari, Februari = 28
atau 29 hari, Maret = 31 hari, April = 30 hari, dan seterusnya). Model estimasi jumlah curah
hujan dibangun berdasarkan pengamatan OLR tahun 1982 sampai dengan 2003 atau selama
22 tahun.
3. Kajian Kepustakaan
Pemahaman distribusi curah hujan geografis akan memberikan kejelasan pada
distribusi sumber panas global yang menggerakan mesin atmosferik global. Curah hujan di
Indonesia menunjukkan variasi secara temporal dan spasial dalam hal distribusi musiman dan
harian, intensitas, durasi dan frekuensinya. Curah hujan juga variabel yang sangat penting
dalam menentukan iklim Indonesia, jumlah curah hujan tahunan berbeda dari tahun ke tahun
dan dari tempat ke tempat. Sumber curah hujan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
formasinya akan menentukan tipe hujan (Mc. Gregor and Nieuwolt, 1998).
Ada dua tipe utama dan dua tipe penting sumber curah hujan di Indonesia. Tipe utama
terdiri dari curah hujan konveksional dan curah hujan orografik. Sedangkan tipe penting
berkaitan dengan curah hujan siklonik disekitar perairan Indonesia dan curah hujan
konvergensi oleh zona konvergensi intertropis yang bergerak keselatan dan ke utara ekuator
mengikuti migrasi tahunan matahari. Untuk area ekuator seperti Pontianak, distribusi curah
hujan bulanan menunjukkan maksima ganda, ini disebabkan area ekuator mempunyai dua kali
ekinoks yaitu pada tanggal 21 Maret dan 23 September (Bayong Tjasyono and Musa, 2000).
Ketika terjadi ekinoks, area ekuator menerima insolasi maksimum kemudian berkurang ke
arah lintang tinggi.
Curah hujan konveksional disebabkan oleh gaya apung konveksi akibat pemanasan
permukaan bumi oleh radiasi matahari. Hujan konveksional berasal dari awan konvektif yang
mempunyai radius antara 2 dan 10 km atau mempunyai skala luas antara 10 dan 300 km2,
sehingga hujan konveksional mempunyai variabilitas yang besar (Oshawa et al., 2001). Awan
konvektif dapat menghasilkan hujan lebat, batu es, dan petir.
_______________ 3
Proses Meteorologis
Curah hujan orografik disebabkan oleh kondensasi dan pembentukan awan dari udara
lembap yang dipaksa naik oleh barisan pegunugan. Di Indonesia, pembentukan curah hujan
orografik sering dibantu oleh proses konvektif (Mc Gregor and Nieuwolt, 1998; Bayong
Tjasyono, 1982). Untuk pegunungan di daerah monsun, maka distribusi geografik curah hujan
orografik dapat berubah dengan tegas karena lereng di atas angin (windward slopes) pada
musim yang satu, menjadi lereng di bawah angin (leeward sides) pada musim yang lain.
Curah hujan siklonik disebabkan oleh sirkulasi dengan pusat tekanan rendah yang
mempunyai vortisitas maksimum. Siklon tropis menguat pada lintang 100 dimana gaya
Coriolis minimal telah dilampaui. Di daerah ekuatorial, hujan siklonik dapat terjadi karena
vorteks siklonik. Baik siklon maupun vorteks mempunyai vortisitas dan menurut dinamika
atmosfer, vortisitas siklonik berkaitan dengan divergensi negatif atau konvergensi massa
udara lembap yang berarti terjadi akumulasi uap air.
Konvergensi angin pasat yang berasal dari kedua belahan bumi dapat menimbulkan
hujan lebat di Indonesia. Hujan lebat ini terjadi disepanjang pita zona konvergensi intertropis
(ZKI). Zona ini merupakan daerah sumber energi yang menggerakan sirkulasi umum di dalam
atmosfer tropis dan membawa energi melalui awan konvektif jenis cumulonimbus di atas ZKI
ke lintang tinggi sebagai energi potensial yang diubah menjadi energi panas terutama oleh
subsidensi di sekitar lintang 300 pada kedua belahan bumi. Zona konvergensi intertropis
ditandai oleh konveksi aktif dari awan cumulus yang menjulang tinggi mendekati lapisan
tropopause.
_______________ 4
Proses Meteorologis
Tabel 1. Data Pluviogram di Kampus ITB, Bandung.
R(mm)
b a. R = 0 mm
b. R = 27,9 mm/j
a c. R = 1,4 mm/j
t (waktu)
17.00 18.00 19.00 20.15
Gambar 1. Ilustrasi pertumbuhan awan dan hujan konvektif berdasarkan data pluviogram
tanggal 12 Desember 2000, Kampus ITB – Bandung. a). Taraf cumulus (tidak ada
hujan), b). taraf dewasa (hujan lebat), dan c). taraf disipasi (hujan ringan), lihat
tabel 1.
cuaca
awan cerah
non konvektif
awan
konvektif
awan
konvektif
Gambar 2. Profil vertikal temperatur potensial ekivalen (θe) di atas Jakarta pada bulan
Januari (a) dan Juli (b).
_______________ 5
Proses Meteorologis
Curah
hujan
3 jam–an
Waktu Lokal
Gambar 3. Jumlah curah hujan rata-rata 3 jam-an dari pukul 00.00 sampai 24.00 W.L.,
Kampus ITB – Bandung.
Hujan konveksional yang lebat sering menimbulkan banjir lokal. Rekaman data curah
hujan dari pluviograf di Kampus ITB, Bandung pada tanggal 20 Maret 2003, menunjukkan
hujan konveksional sangat lebat yang berasal dari dua sel awan konvektif dengan intensitas
hujan masing-masing 68,6 mm/jam dan 73,2 mm/jam. Dengan intensitas hujan sebesar itu,
dapat dipastikan area Bandung mengalami resiko bencana banjir lokal, lihat tabel 1.
_______________ 6
Proses Meteorologis
Distribusi frekuensi curah hujan musiman menunjukkan bahwa dalam wilayah monsun
kebanyakan hujan terjadi pada musim panas dan musim gugur belahan bumi. Curah hujan
maksimum dalam musim panas berkaitan dengan intensifikasi sel tekanan rendah udara. Pada
musim panas, massa udara lembap datang dari osean yang masuk siklonal ke kontinen,
sebaliknya pada musim dingin, massa udara kurang lembap datang dari kontinen secara
antisiklonal. Akibatnya pada wilayah monsun, musim panas identik dengan musim basah atau
musim hujan dan musim dingin belahan bumi identik dengan musim kering atau musim
kemarau, lihat tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 3. Distribusi frekuensi hujan musiman untuk semua sifat hujan di di Kampus ITB,
Bandung.
Musim
DJF MAM JJA SON
Tahun
2003 81 63 11 69
2004 91 63 17 35
Rata-rata 86,0 63,0 14,0 52,0
Catatan : Desember, Januari, Februari (DJF) dan Juni, Juli, Agustus (JJA) masing-masing
adalah musim panas dan musim dingin belahan bumi selatan.
Estimasi curah hujan dari citra satelit menggunakan persamaan (1) yang
menghubungkan jumlah curah hujan harian dalam mm/hari dan radiasi gelombang panjang
yang keluar (outgoing longwave radiation OLR) dalam watt per m2. Menurut hukum radiasi
Stefan–Boltzmann, radiasi gelombang panjang yang diemisikan keatas (keluar) oleh permukaan
tanah dan puncak awan adalah :
Keterangan :
OLR : radiasi gelombang panjang yang diemisikan keatas (Wm-2)
σ : konstanta Stefan – Boltzmann = 5,67 x 10-8 Wm-2 K-4
T : temperatur (K) puncak awan jika langit berawan atau permukaan tanah jika
langit cerah.
ε : emisivitas benda, ε = 1, jika dianggap benda hitam.
Nilai OLR maksimum atau minimum menunjukkan nilai curah hujan minimum atau
maksimum. Musim hujan ditandai oleh nilai OLR minimum atau curah hujan maksimum,
sebaliknya musim kemarau ditandai oleh nilai OLR maksimum atau liputan awan dan curah
hujan minimum. Wilayah Indonesia sebagai daerah monsun mempunyai variasi OLR sangat
besar dengan nilai tertinggi pada musim kemarau (liputan awan dan curah hujan sedikit)
sampai nilai terendah selama musim hujan (liputan awan besar dan curah hujan berlimpah).
Musim hujan di daerah monsun ditandai oleh nilai ambang OLR = 240 Wm-2 yang ditinjau
sebagai nilai kritis untuk Monsun Indonesia – Australia Utara (Murakami, 2000).
_______________ 7
Proses Meteorologis
Nilai OLR rata-rata (Wm-2), estimasi curah hujan rata-rata (mm/bulan) dalam tengah
musim panas dan musim dingin belahan bumi ditunjukkan pada tabel 4. Pada bulan Januari
nilai OLR disebagian besar wilayah Indonesia lebih rendah dibandingkan OLR bulan Juli dan
curah hujannya lebih besar dibandingkan pada bulan Juli. Ini berarti jumlah liputan awan dan
curah hujan lebih besar pada tengah musim panas belahan bumi selatan (Januari) dari pada
tengah musim dinginnya (Juli).
Zona konvergensi intertropis (ZKI) adalah pita tekanan rendah akibat pemanasan
permukaan bumi yang berlebihan di daerah ekuatorial. Setelah tengah hari daerah yang dilalui
pita ZKI mengalami hujan deras akibat konveksi kuat. Zona ini dikenal sebagai sabuk angin
tenang ekuatorial (belt of equatorial calms). Selama musim panas belahan bumi selatan
(BBS) sabuk tekanan rendah ekuatorial bergerak kearah selatan akibat efek pemanasan benua
Australia yang berlebihan. Tetapi selama musim panas belahan bumi utara (BBU), ketika
matahari berada di utara ekuator, terjadi gerakan sabuk tekanan rendah ekuatorial agak jauh
keutara akibat pemanasan berlebihan daerah kontinental (benua Asia) yang lebih luas.
Kondisi ini disebabkan distribusi darat–laut antara belahan bumi utara dan selatan tidak
simetris.
Tabel 4. Nilai OLR rata-rata (1982 – 2003) dan estimasi curah hujan rata-rata pada bulan
Januari dan Juli (LAPAN, 2006).
Estimasi
OLR Curah
Bulan Wilayah
(Wm-2) Hujan
(mm/bulan)
Januari < 235 > 150 Seluruh Indonesia
175 – 205 250 – 350 Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan,
Bangka Belitung, Banten, Jawa Timur, Bali, NTB,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, Maluku, Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah,
dan Irian Jaya Timur.
< 90 > 300 Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
DI Yogyakarta.
Juli > 265 < 50 Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT
235 – 265 150 – 50 Bangka Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan
Maluku.
< 235 > 150 Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo,
Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Irian Jaya Barat, Irian
Jaya Tengah, dan Irian Jaya Timur.
175 – 205 250 – 350 NAD (Nanggroe Aceh Darussalam)
_______________ 8
Proses Meteorologis
Dari pemantauan liputan awan di wilayah Indonesia (LAPAN, 2004), dapat dianalisis
kedudukan zona konvergensi intertropis musiman. Selama musim panas (DJF) belahan bumi
selatan (BBS) posisi ZKI berada disebelah selatan ekuator yang berkaitan dengan posisi
migrasi tahunan matahari di BBS. Zona konvergensi ini adalah zona awan hujan lebat,
sehingga tempat-tempat yang dilalui oleh sabuk zona konvergensi akan berpeluang tinggi
terjadi hujan lebat yang cenderung menimbulkan banjir dan longsor seperti Sumatera bagian
selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa, dan lain-lain, terutama di wilayah barat
Indonesia. Pada musim DJF (Desember – Januari – Februari) di wilayah Indonesia BBS
terjadi monsun barat laut yang mempunyai komponen barat. Sebaliknya pada musim JJA
(Juni – Juli – Agustus) secara rata-rata posisi ZKI berada di utara ekuator yang bersesuaian
dengan posisi migrasi tahunan matahari di BBU. Keterlambatan gerakan sabuk zona
konvergensi intertropis (ZKI) ke utara ekuator menyebabkan anomali curah hujan pada
musim JJA untuk beberapa tempat di Wilayah Indonesia BBS. Kasus ini terjadi misalnya
pada bulan Juli 2004, dimana Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT memasuki musim kemarau
tetapi beberapa tempat lain masih mendapat curah hujan cukup lebat. Untuk musim MAM
(Maret – April – Mei) dan SON (September – Oktober – November) posisi ZKI di atas
wilayah Indonesia berada pada posisi antara musim DJF (Desember – Januari – Februari) dan
musim JJA (Juni – Juli – Agustus).
Secara umum posisi ZKI berubah-ubah secara bulanan dan musiman, gerakan zona
konvergensi ini disebabkan oleh migrasi tahunan matahari antara lintang tropis Cancer (23,50
U) dan lintang tropis Capricorn (23,50 S). Pembentukan awan dan hujan dipengaruhi oleh
zona konvergensi intertropis (ZKI) yaitu pertemuan kedua massa udara tropis yang panas dan
lembap. Uap air dari udara lembap yang memusat (konvergen) akan naik dan
mengkondensasi menjadi partikel-partikel awan.
Badai tropis mempunyai vortisitas siklonik yang menyebabkan konvergensi massa
udara lembap atau akumulasi uap air. Jika kecepatan angin melebihi 64 knot (1 knot ~
0,5 ms-1) maka badai meningkat intensitasnya menjadi siklon tropis. Wilayah Indonesia dapat
dikatakan bebas dari jejak siklon tropis, tetapi tempat-tempat yang dekat dengan jalur siklon
tropis dapat dipengaruhi kondisi cuacanya terutama peningkatan jumlah curah hujan dan
kecepatan angin. Tabel 5, menunjukkan depresi tropis yaitu bentuk awal badai tropis dalam
tengah musim panas dan musim dingin belahan bumi selatan.
Tabel 5. Kejadian depresi tropis dari Citra Satelit dalam tengah musim panas (Januari) dan
musim dingin (Juli) belahan bumi selatan (LAPAN, 2004).
Bulan, Tahun Tanggal Wilayah Dampak depresi tropis
Januari, 2004 1 Laut Arafuru Hujan di Sumatera dan Kalimantan
21 Laut Banda Hujan di Pantura Jawa
21 Laut Seram Hujan di Sumatera bagian barat
30 Laut Jawa Hujan di P. Jawa
30 Laut Flores Hujan di Indonesia bagian timur
1, 21, 26–29, 31 Samudera Hindia Hujan di Sulawesi bagian selatan
1, 6–7, 21–22 Samudera Pasifik Hujan di Sumatera bagian timur
Juli, 2004 26 Laut Cina Selatan Hujan di Kalimantan bagian utara
_______________ 9
Proses Meteorologis
5. Pembahasan dan Hasil Penelitian
Curah hujan konveksional terjadi setelah insolasi maksimum, biasanya setelah pukul
12.00 waktu lokal. Curah hujan ini berasal dari awan konvektif yang mempunyai tiga fasa
yaitu fasa cumulus atau fasa pertumbuhan awan, fasa dewasa atau fasa hujan lebat dan fasa
disipasi atau fasa hujan ringan sampai awan melenyap. Kadang-kadang hujan konveksional
disebabkan oleh lebih dari satu sel awan konvektif seperti kasus pada tanggal 20 Maret 2003
terdiri dari 2 sel awan konvektif dengan intensitas hujan masing-masing 68,6 mm/jam dan
73,2 mm/jam.
Banjir terjadi jika debit air hujan melampaui kapasitas penampung sungai. Jika data
pluviogram (tabel 1) tanggal 20 Maret 2003 dimana curah hujan berlangsung selama 1 jam
(pukul 20.15 – 21.15) dengan intensitas hujan (R) 73,2 mm/jam dianalisis dan jika hujan
berasal dari sel awan konvektif dengan radius (r) = 5 km maka dapat dihitung debit air
hujannya (D) sebagai berikut :
D = πr2 x R = 3,14 x (5000 m)2 x 73,2 x 10-3 m/jam
= 3,14 x 25 x 106 m2 x 73,2 x 10-3 m/jam
= 78,5 x 103 x 73,2 m3/jam = 5.746,2 x 103 m3/jam
Artinya pada tanggal 20 Maret 2005 selama 1 jam (pukul 20.15 – 21.15), volume hujan yang
dicurahkan sebesar 5.746.200 m3 dan debit air hujannya sebesar 1.596,17 m3 per sekon atau
1.596.170 liter per sekon dalam area luas dasar awan (area hujan) = πr2 = 3,14 x (5 km)2
= 78,5 km2. Sifat hujan ini tergolong sangat lebat dan dapat menyebabkan bencana banjir
besar.
Curah hujan yang sangat lebat akan mempunyai tetes hujan besar, tetapi dalam bentuk
cair, radius tetes paling besar 3 mm, di atas ukuran ini tetes hujan akan pecah kecuali dalam
bentuk partikel es dapat mempunyai radius dalam ukuran centimeter. Karena tetes berukuran
besar maka seolah-olah pori-pori permukaan tanah akan tertutup sehingga infiltrasi air hujan
sangat kecil sebaliknya limpasan air hujan menjadi sangat besar. Deforestasi, degradasi
lingkungan dan pembangunan kota yang penuh dengan bangunan beton dan jalan-jalan aspal
tanpa memperhitungkan drainase, daerah resapan dan tanpa memperhatikan data intensitas
hujan dapat menyebabkan bencana alam banjir.
Bencana alam banjir erat kaitannya dengan curah hujan. Selain curah hujan faktor
lingkungan yang tidak tertata dengan baik, misalnya saluran limpasan yang tersumbat atau
semakin menyempit dan mengalami pendangkalan. Dengan mengabaikan faktor lingkungan
dan kondisi permukaan tanah, bencana alam banjir disebabkan oleh hujan lebat (10,1 – 20,0
mm/j) dan hujan sangat lebat (> 20,0 mm/j). Curah hujan di daerah monsun Indonesia
disebabkan oleh awan cumulus (Cu) atau cumulonimbus (Cb) jika geser angin (wind shear)
dan konvergensi troposferik bawah keduanya lemah, hujannya disebut “hujan deras (shower)
dan oleh awan nimbostratus (Ns) besar dibarengi dengan cumulonimbus (Cb) jika geser angin
dan konvergensi troposferik bawah keduanya besar, hujannya berbentuk hujan normal (rain).
Banjir merupakan fenomena alam akibat badan air atau sungai tidak dapat
menampung aliran air sehingga meluap dan menggenangi daerah sekitarnya. Akibat daya
dukung (kapasitas) dan kemampuan sistem prasarana pengendali serta daya dukung alam dan
lingkungan terlampaui, terjadi masalah banjir dan genangan air yang dapat berdampak pada
kerusakan prasarana seperti jalan, fasilitas umum yang mengganggu kehidupan masyarakat,
aktivitas ekonomi dan degradasi kualitas lingkungan. Akhir-akhir ini fenomena banjir
semakin meningkat baik frekuensi, besar maupun intensitasnya. Degradasi hutan dan
lingkungan baik kuantitas maupun kualitas dapat menimbulkan banjir meskipun jumlah curah
_______________ 10
Proses Meteorologis
hujan tidak besar. Jika kondisi topografi rendah sehingga air limpasan tidak segera masuk ke
DAS (daerah aliran sungai), maka lokasi banjir disebabkan oleh genangan air. Besarnya debit
banjir sangat dipengaruhi oleh besarnya intensitas hujan dan karakteristik DAS, sedangkan
durasi genangan air bergantung pada sistem drainase jaringan sungai dan durasi hujannya.
Kebanyakan siklon tropis (65%) terbentuk di daerah antara lintang 100 dan 200 dari
ekuator, sedikit sekali (+ 13%) yang muncul pada lintang geografis 220 dan siklon tropis tidak
muncul di daerah lintang kurang dari 50 dari ekuator. Tidak munculnya siklon tropis di daerah
ekuatorial menunjukkan bahwa besarnya vortisitas bumi (2 Ω sin φ) dan gaya Coriolis (2 Ω
sin φ . v) sangat penting dalam pembentukan siklon tropis, dimana Ω adalah kecepatan sudut
rotasi, φ adalah lintang tempat dan v adalah kecepatan angin. Wilayah Indonesia dapat
dikatakan bebas dari jejak siklon tropis. Tetapi siklon tropis dapat meningkatkan jumlah curah
hujan dan kecepatan angin diberbagai tempat di Indonesia yang dekat dengan jalur siklon
tropis (Anthes, 1982; Bayong Tjasyono, 1999). Jumlah curah hujan dapat meningkat sampai
300% dari curah hujan normal, terutama pada tempat-tempat yang dekat dengan jalur siklon
tropis.
Tabel 5 menunjukkan bahwa dalam tengah musim panas (midsummer) belahan bumi
lebih banyak terjadi depresi tropis di perairan Indonesia bagian selatan dibandingkan depresi
tropis dalam tengah musim dingin (midwinter). Hal ini menunjukkan pentingnya energi
termik laut dan gaya Coriolis sebagai energi kinetik dan sirkulasi sirkular siklon tropis.
Depresi tropis terjadi di atas laut sehingga udara troposferik menengah cukup lembap. Uap air
yang terkandung dalam udara lembap ini merupakan salah satu bahan bakar siklon tropis
melalui panas laten yang dilepaskan ketika uap air mengkondensasi menjadi tetes-tetes awan.
Energi panas laten kemudian diubah menjadi energi kinetik siklon tropis.
Baik hujan konveksional dan konvergensi maupun hujan siklon tropis, ketiganya
disebabkan oleh sel tekanan rendah di pusat konveksi, zona konvergensi intertropis dan sel
tekanan rendah pada mata siklon tropis. Sel tekanan rendah ini menyebabkan konvergensi
arus udara dan gerak udara lembab keatas (updraft) yang membawa uap air. Baik awan
konvergensi maupun awan siklon tropis mempunyai sistem cuaca skala meso atau makro
yang dapat menyebabkan banjir skala luas jika terjadi ketidakseimbangan antara curah hujan,
infiltrasi dan limpasan.
Intensitas banjir meningkat jika bersamaan dengan peristiwa La Niña. La Niña adalah
episode dingin Samudera Pasifik Tengah, sehingga angin pasat diperkuat dan mendorong air
permukaan hangat mengalir ke arah barat (Trenberth, 1996). Dalam kondisi semacam ini
awan-awan konvektif di Samudera Pasifik bagian barat memperoleh masukan uap air dari
perairan permukaan panas. Pada tahun La Niña awan konvektif di atas Indonesia (Pasifik
bagian barat) dapat menghasilkan badai hujan atau hujan lebat. Sirkulasi Walker (zonal) pada
tahun La Niña konvergen di atas Indonesia yang menghasilkan akumulasi uap air dan arus
udara keatas.
Bencana alam banjir merupakan masalah yang kompleks dan tidak dapat ditinjau dari
satu aspek saja. Jumlah curah hujan yang sama mungkin menyebabkan banjir ditempat yang
satu tetapi belum tentu banjir ditempat lain. Menjaga keseimbangan air (water balance)
merupakan salah satu langkah yang sebaiknya dilakukan. Perkembangan kota tanpa ditunjang
data iklim terutama intensitas hujan kemungkinan dilanda banjir jika jalan atau bangunan
tidak dilengkapi saluran (drainase) yang memadai. Apalagi jika perkembangan kota tanpa
diimbangi oleh lahan-lahan yang disediakan untuk hutan kota atau daerah resapan, maka daya
resap tanah terhadap air hujan semakin rendah sehingga pori-pori permukaan tanah tidak
mampu meresapkan air hujan lebat dan sangat lebat yang mempunyai ukuran tetes lebih besar
dari pada hujan normal.
_______________ 11
Proses Meteorologis
Penanganan bencana banjir harus dilakukan secara terpadu, multidisiplin dan
interdisiplin. Peranan tanaman di dataran tinggi dan rendah sangat penting untuk mereda
limpasan permukaan, yaitu sebagai simpanan air permukaan, sebagai arus keluar melalui
transpirasi, mengikat tanah melalui akar-akarnya sehingga tanah tidak mudah erosi atau
longsor dan mereda energi kinetik tetes-tetes hujan yang jatuh dari dasar awan.
6. Kesimpulan
Dari analisis data cuaca dan pembahasannya, beberapa hasil penelitian tentang
mekanisme bencana alam banjir di Indonesia dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
• Penyebab utama bencana alam banjir di Indonesia adalah sistem cuaca ekstrim basah yang
disebabkan oleh hujan konveksional, konvergensi dan pengaruh siklon tropis. Sistem
cuaca di atas Indonesia ketika terjadi peristiwa La Niña juga meningkatkan intensitas
bencana alam banjir di Indonesia.
• Baik awan konveksi, awan konvergensi dan awan siklon tropis mempunyai sistem cuaca
skala lokal dan meso atau makro yang dapat menyebabkan banjir skala lokal dan skala
luas. Ketiga sistem per–awanan ini disebabkan oleh sel tekanan udara rendah. Bahkan
sistem cuaca ketika terjadi peristiwa La Niña, disebabkan oleh sel tekanan rendah di atas
Pasifik bagian barat dan di atas benua maritim Indonesia.
• Kebanyakan hujan konveksional terjadi setelah insolasi maksimum atau setelah tengah
hari sampai malam hari. Tetapi dalam pengaruh maritim aktivitas konvektif dapat
meningkat di atas laut pada larut malam yang menghasilkan hujan lebat pagi hari.
• Hujan lebat dan sangat lebat dengan intensitas lebih dari 10 mm/jam lebih sering terjadi
pada musim panas dan musim gugur belahan bumi.
• Bencana banjir disebabkan oleh ketidakseimbangan antara aliran masuk (inflow) intensitas
hujan (debit volume air hujan) yang lebih besar dari pada aliran keluar (outflow)
evapotranspirasi, infiltrasi, dan limpasan, terutama jika drainase (saluran air) dan daerah
resapan tidak berfungsi dengan baik.
• Sebagai wilayah monsun yang periodik, maka bencana alam banjir dibeberapa tempat di
Indonesia juga periodik. Wilayah Indonesia dilalui oleh zona konvergensi intertropis
(ZKI) yang bergerak kesebelah utara dan selatan ekuator secara periodik mengikuti
migrasi tahunan (gerak semu) matahari bolak balik dari tropis Cancer (lintang 23,50 U) ke
tropis Capricorn (lintang 23,50 S). Wilayah yang dilalui oleh ZKI akan mengalami hujan
torensial (torrential rains) sekala luas
Daftar Pustaka
Anthes, R. A., Hurricanes : Their formation, structure, and likely role in the tropical
circulation, Meteorology over the tropical oceans, Roy. Meteor. Soc. (1982).
Bayong Tjasyono HK., The Impact of tropical storm on the weather over Indonesia. The
second International Conference on Science and Technology, BPPT, Jakarta
(1999).
_______________ 12
Proses Meteorologis
Bayong Tjasyono HK., Characteristics of Cloud and Rainfall in the Indonesian Monsoonal
Region, International Roundtable on Understanding and Prediction of
Summer and Winter Monsoons, Organized by NAM Science and
Technology Center India, BMG Indonesia, Jakarta (2005).
Bayong Tjasyono HK., and Musa A. M., Seasonal rainfall variation over monsoonal areas,
JTM, 7, 215 – 221 (2000).
Bayong Tjasyono HK., Orographic Effect on the Rainfall over Java in the Southeast Monsoon
Period, Proc. of The International Converence on The Scientific Result of
The Monsoon Experiment, WMO, BMG, Denpasar, Bali (1982).
LAPAN, Pemantauan cuaca dan iklim di Indonesia, Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh, LAPAN, Jakarta (2004).
LAPAN, Pemantauan cuaca dan iklim di Indonesia, Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh, LAPAN, Jakarta (2005)
LAPAN, Pemantauan cuaca dan iklim di Indonesia, Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh, LAPAN, Jakarta (2006).
Lim, G. H. and A. S. Suh, Diurnal and Semidiurnal in the Time Series of 3–hourly
Assimilated Precipitation by NASA GEOS–1, American Meteor. Soc.
(2000).
Mc Gregor, G. R., and S. Nieuwolt, An Introduction to the climates of the Low Latitudes,
John Wiley & Sons, New York (1998).
Murakami, M., Analisis of the deep convective activity over the western Pacific and
Southeast Asia, J. Meteor. Soc. Japan, 61, 77 – 90 (1983).
Oshawa T., H. Ueda, T. Hayashi, A. Watanabe, J. Matsumoto, Diurnal Variation of
Convective Active and Rainfall in Tropical Asia, J. Meteor. Soc. Japan, 79,
333 – 352 (2001).
Ramage, C. S. Monsoon Meteorology, Academic Press, New York (1971).
Roger, R. R., and M. Y. Yau, A Short Course in Cloud Physics, Pergamon Press, Oxford
(1989).
Trenberth K. E., El Niño–Southern Oscillation, Workshop on ENSO and Monsoon,
SMR/930–1, ICTP, Italy (1996).
_______________ 13
Proses Meteorologis