Kultur Mikrospora
Kultur Mikrospora
Kultur Mikrospora
mikrospora)
DAFTAR ISI :
Pengantar ……………………………………………………………………….. 1
Pembahasan …………………………………………………………………….. 2
A. Efek penambahan reduced ascorbate (ASC) dan reduced gluthatione
(GSH) dalam meningkatkan embryogenesis kultur mikrospora (Zeng et
al., 2017) ………………………………………………………………. 2
B. Efek histone deacetylase inhibitors pada embryogenesis mikrospora
(Zhang, et al., 2016) …………………………………………………… 5
C. Efek kultur shaking (culture shaking) pada embryogenesis mikrospora
(Yang, et al., 2013) …………………………………………………….. 7
Kesimpulan ……………………………………………………………………… 9
Daftar pustaka ……………………………………………………………………. 9
Pengantar :
Umumnya embriogenesis terjadi ketika sel gamet jantan dan betina bertemu
membentuk zigot uniselular, demikian pula halnya pada tanaman. Namun saat ini
embryogenesis pada tanaman juga dapat dibentuk tanpa melibatkan penyatuan
kedua sel gamet tersebut, proses ini salah satunya dikenal sebagai kultur haploid.
Istilah kultur haploid ini disebabkan embrio berkembang dari generasi sel gametofit
pada tanaman yang hanya membawa separuh dari jumlah kromosom fase hidup
sporofit tanaman. Kultur haploid ini muncul seiring perkembangan ilmu biologi
khususnya bidang bioteknologi semakin hari semakin meningkat didorong oleh
manfaatnya yang luar biasa dalam perkembangan genetik, pemuliaan tanaman,
studi fisiologi tanaman dan embriologi.
Sejak tahun 1970 penelitian yang ekstensif tentang kultur haploid
dilakukan. Umumnya kultur haploid dapat dihasilkan dari regenerasi gamet betina
atau gamet jantan. Ada dua metode untuk produksi kultur in vitro dari gamet jantan
(androgenic haploid) yaitu kultur anther dan kultur polen/mikrospora. Kultur
anther merupakan salah satu protocol yang mudah dalam produksi tanaman haploid,
1
spesies yang berbeda ataupun kultivar yang berbeda tidak memerlukan kondisi atau
protocol tertentu dengan menggunakan kultur anther ini. Akan tetapi dalam kultur
anther kerap ditemui masalah berupa kalus kontaminan pada dinding ather bersama
dengan polen selain itu tanaman dari antera seringkali merupakan populasi
heterogen serta pada beberapa spesies ditemukan bahwa asynchronous pollen
berkembang dari kultur anther. Kendala pada kultur anther ini menyebabkan
berkembangnya kultur mikrospora (Mishra & Goswami, 2014). Pada makalah ini
akan dibahas tentang kultur haploid utamanya kultur mikrospora mengenai
beberapa penelitian terbaru dalam meningkatkan embryogenesis dalam kultur
mikrospora diantaranya melalui penambahan reduced ascorbate dan reduced
glutathione (Zeng, et al., 2017), histone deacetylase inhibitor (Zhang, et al., 2016)
dan penerapan kultur shaking (culture shaking) (Yang, et al., 2013)
Pembahasan :
A. Efek penambahan reduced ascorbate (ASC) dan reduced gluthatione
(GSH) dalam meningkatkan embryogenesis kultur mikrospora (Zeng et
al., 2017)
Kultur mikrospora dan kultur anthera sama-sama dapat dilakukan hanya
saja kultur mikrospora lebih sering dilakukan oleh para ahli dikarenanakan kultur
mikrospora memiliki kelebihan dibanding kultur anthera. Walaupun unggul
dibandingkan kultur anther bukan berarti kultur mikrospora tidak memiliki kendala.
Salah satu kendala kultur mikrospora adalah kematian sel saat proses kultur. Dalam
penelitiannya Zeng et al., (2017) melihat pengaruh dua antioksidan yaitu reduced
ascorbate (ASC) dan reduced glutathione (GSH) dalam meningkatkan
embryogenesis pada kultur mikrospora tanaman brokoli (Brassica oleracea L. Var.
Italica) utamanya dalam mengatasi banyaknya kematian kultur sel selama produksi
double haploid homozygous line pada isolated microspore culture (IMC). Salah
satu masalah besar pada kultur mikrospora brokoli adalah embrio yang dihasilkan
masih sagat rendah. Alasan utamanya adalah karena banyaknya mikrospora mati
pada tahap awal induksi, dan sebagian besar struktur sporophytic berhenti
berkembang setelah beberapa kali pembelahan dan kemudian mengalami kematian.
Mikrospora ini mati dengan cepat setelah mengalami stress sengatan panas yang
2
berdampak 80-90% sel mati setelah 3 hari dalam kultur. Kekurangan ini terjadi
sebagai akibat penyimpangan struktural dan fisiologis yang dianggap berasal dari
kondisi kultur yang kurang optimal.
Usaha peningkatan keberhasilan kultur mikrospora brokoli dilakukan Zeng,
et al., (2017) dengan melihat kombinasi konsentrasi penambahan ASC dan GSH ke
dalam kutur mikrospora. Tiga hybrid kultivar brokoli digunakan dalam penelitian
ini diantaranya ‘B415’, ‘B429’ dan ‘B844’ dan berdasarkan eksperimen dilakukan
penambahan ASC atau GSH ke media kultur mikrospora pada konsentrasi spesifik
yaitu 1, 5, 10, 20, 50 atau 100 mg/l. Sebelum diinduksi dengan perlakuan ASC atau
GSH, sel diberi perlakuan stress panas pada 32,5 ° C selama 24 jam menunjukkan
jumlah kematian sel mencapai sekitar 80% setelah 2 hari. Penambahan 10 mg/l
ASC dan 20 mg/l GSH secara signifikan menurunkan kematian mikrospora dan
memiliki efek yang kuat terhadap jumlah embrio yang dihasilkan. Efek
penambahan ASC atau GSH pada induksi embryogenesis mikrospora dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Efek penambahan ASC dan GSH pada induksi embryogenesis mikrospora
brokoli (Zeng et al., 2017)
3
rendah pada ketiga jenis genotip/kultur. Peningkatan konsentrasi 5 hingga 10 mg/l
menunjukkan hasil yang positif dalam menurunkan kematian sel. Penurunan angka
kematian mikrospora secara positif mempengaruhi jumlah mikrospora yang viable
dengan persentase tinggi untuk terjadinya pembelahan dan mencapai tahap
multiselular (embryogenesis).
Berdasarkan hasil penelitian genotipe 'B415', embrio yang dihasilkan dari
kultur mikrospora meningkat sekitar 1,2 kali lipat dan 2,5 kali lipat setelah
penambahan 10 mg/l ASC dan 20 mg/l GSH (Gambar 1), selain itu penambahan
ASC dan GSH juga berpengaruh positif terhadap tingkat regenerasi tanaman yang
masing-masing meningkat sebesar 4,2% dan 9,7%. Semakin tinggi konsentrasi
ASC maupun GSH yang ditambahkan menghasilkan tingkatan induksi mikrospora
yang lebih tinggi, terutama penambahan GSH pada 10 mg/l secara signifikan
meningkatkan embrio yang dihasilkan dari 0 sampai 4,9 pada genotip 'B844'.
4
perkembangan embrio, yang terjadi akibat keseimbangan antara masing-masing
bentuk tereduksi (reduced askorbat (ASC) dan glutathione (GSH)) dan bentuk
teroksidasi (radikal bebas askorbat, glutathione teroksidasi dan dehidroaskorbat).
Meskipun penambahan ASC dan GSH pada meningkatkan embryogenesis
pada kultur mikrospora brokoli, namun penambahannya hingga dosis tertentu dapat
menurunkan jumlah embrio. Penambahan 50 mg/l GSH mengurangi jumlah embrio
dari mikrospora dibandingkan dengan kontrol, dan diperoleh lebih sedikit embrio
yang dapat bertahan setelah transfer. Struktur multiseluler masih dapat berkembang
hingga penambahan 100mg/l namun gagal membentuk struktur mirip embrio hal
ini menunjukkan bahwa penambahan GSH dalam konsentrasi tinggi memberikan
efek terhadap perkembangan embrio dari kultur mikrospora. Sehingga diketahui
bahwa penambahan ASC maupun GSH dalam konsentrasi tertentu dapat
meningkatkan embryogenesis pada kultur mikrospora namun konsentrasi dan
keseimbangan dalam penambahan keduanya harus diperhatikan (Zeng et al., 2017).
5
medium NLN-13 untuk meningkatkan embriognesis mikrospora dan regenerasi
tanaman Pakchoi tanpa terbentuknya fase kalus intervensi (intervening callus)
(Tabel 2). Ketiga genotip Pakchoi ini memiliki kapabilitas embryogenesis
mikrospora yang berbeda, sehingga ketiganya digunakan untuk menunjukkan
respon terhadap penambahan histone deacetylase inhibitors, dari hasil penelitian
menunjukkan ketiganya memberikan respon yang positif terhadap histone
deacetylase inhibitors. Aplikasi TSA secara signifikan meningkatkan jumlah
embrio kultur mikrospora, dan frekuensi embriogenesis meningkat sebesar 2,31 -
1,46 - dan 2,48 kali lipat, dibandingkan dengan kontrol masing-masing pada tiga
genotip. Konsentrasi optimum TSA untuk genotipe 424 adalah 0,05 μM dalam
medium NLN-13, yang menghasilkan hasil embrio terbesar dan frekuensi
regenerasi tanaman tertinggi. SAHA memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan laju embrio dan juga dalam mengurangi laju pembentukan kalus.
Embrio yang diproduksi dalam medium NLN-13 yang disuplementasi dengan
SAHA (0,05 µM dan 0,10 µM), memiliki tingkat regenerasi tanaman tertinggi
masing-masing 75,01% dan 87,30% dan konsentrasi optimum NaB dalam medium
NLN-13 adalah 2 µM pada tiga genotype untuk menghasilkan induksi embrio
tertinggi.
Tabel 2. Efek TSA dan SAHA dalam menginduksi pembentukan embrio dari
mikrospora (Zhang et al., 2016)
6
penambahan histone deacetylase inhibitors - TSA, SAHA, dan NaB - di medium
NLN-13. Efek TSA pada embryogenesis microspore dapat menyebabkan
peningkatan besar dalam proporsi sel yang beralih dari serbuk sari ke pertumbuhan
embriogenik. Selain itu terdapat efek yang berbeda pada genotip tanaman yang
berbeda dengan jenis histone deacetylase inhibitors yang berbeda pula, hal ini
mengindikasikan bahwa respon tiap individu berbeda tergantung dari jenis individu
itu sendiri atau jenis perlakuan yang diberikan. Namun secara umum dapat dilihat
bahwa penambahan histone deacetylase inhibitors ke media NLN-13 dapat
meningkatkan embriogenesis mikrospora dan frekuensi regenerasi tanaman secara
langsung, sehingga penambahan histone deacetylase inhibitors dapat digunakan
secara rutin untuk kultur mikrospora tanaman Pakchoi.
7
dalam meningkatkan embriogenesis dalam 'Huaguan' (Tabel 4), Sedangkan laju
pembentukan kotiledon embrio meningkat dalam kondisi shaking pada frekuensi
rendah (40 rpm, 50 rpm). Saat frekuensi getar dinaikkan hingga 80 rpm atau 100
rpm, maka pembentukan embrio kotiledon akan mengalami penurunan.
Tabel 3. Efek kultur shaking terhadap embryogenesis mikrospora dan
perkembangan embrio B. rapa (Yang, et al., 2013)
8
memperpendek waktu kultur antara 1-4 hari. Peningkatan embryogenesis
mikrospora pada kultur shaking disebabkan karena perlakuan aerasi mungkin dapat
menghilangkan inhibitor, yang terakumulasi di media. Beberapa mikrospora pada
kultur utamanya mikrospora yang tua seringkali mengakumulasi inhibitor atau
toksik di dalam medium yang menyebabkan mikrospora tersebut tidak dapat
berkembang menjadi embrio. Perlakuan aerasi melalui kultur shaking dapat
menghilangkan inhibitor atau toksik yang terakumulasi dalam media sehingga
terjadi peningkatan embryogenesis pada kultur mikrospora.
Kesimpulan :
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa beberapa perlakuan dapat
dilakukan dalam usaha peningkatan embryogenesis mikrospora. Beberapa
perlakuan tersebut adalah penambahan reduced ascorbate dan reduced glutathione,
histone deacetylase inhibitor dan penerapan kultur shaking (culture shaking).
Penambahan perlakuan tersebut masing-masing dapat meningkatkan
embryogenesis mikrospora namun penambahannya hingga tingkatan tertentu juga
dapat menghambat embryogenesis mikrospora sehingga haruslah diperhatikan
komposisi yang tepat tiap perlakuan tersebut untuk menunjukkan peningkatan
embryogenesis mikrospora yang optimum.
DAFTAR PUSTAKA :
Mishra, V.K. and R. Goswami. 2014. Haploid Production in Higer Plant. IJCBS
Review Paper. 1(issue 1): 25-45.
Yang, S., X. Liu, Y. Fu, X. Zhang, Y. Li, Z. Liu, and H. Feng. 2013. The Effect of
Culture Shaking on Microspore Embryogenesis and Embryonic
Development in Packoi (Brassica rapa L. ssp. chinensis). Scientia
Hortculturae. 15(2013): 70-73.
Zeng, A., L. Song, Y. Cui, and J. Yan. 2017. Reduced Ascorbate and Reduced
Glutathione Improve Embryogenesis in Broccoli Microspore Culture.
South African Journal of Botany. 109(2017): 275-280.
Zhang, L., Y. Zhang, Y. Gao, X. Jiang, M. Zhang, H. Wu, Z. Liu, and H. Feng.
2016. Effect of Histone Deacetylase Inhibitors on Microspore
Embryogenesis and Plant Regeneration in Pakchoi (Brassica rapa ssp.
chinensis L.). Scientia Hortculturae. 209(2016):61-66.