Adaptasi Gulma Kirinyuh
Adaptasi Gulma Kirinyuh
Adaptasi Gulma Kirinyuh
Cahaya1*)
Darma Eka Putra2, Gilang Silmaulidia2, Taris Shabrina3, Esyi Nur Aisyah4, Risky
Hasanah4, Adisyahputra5
*)
Corresponding author: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Jl. Pemuda No. 10
Rawamangun, Jakarta Timur. Kode Pos 10570, DKI Jakarta, Indonesia. Tel.: +62 21 4894909
E-mail address: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Taman Wisata Alam Pangandaran merupakan kawasan objek wisata hutan yang ada di
Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Keadaan topografi sebagian besar landai dan di beberapa
tempat terdapat tonjolan bukit kapur yang terjal. Cagar alam seluar 530 hektar, yang
diantaranya termasuk wisata seluas 37,70 hektar berada dalam pengelolaan SBKSDA Jawa
Barat II. Kawasan hutan ini direncanakan sebagai lokasi kuliah kerja lapangan mahasiswa
biologi pada tahun 2016. Salah satu kegiatannya adalah pengamatan adaptasi gulma terhadap
cahaya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana strategi tumbuhan gulma untuk
tetap dapat bertahan hidup di lingkungan dengan intensitas cahaya tinggi. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini dengan metode survey dengan membandingkan keragaan
gulma yang tumbuh ditempat dengan kondisi intensitas cahaya tinggi dan gulma yang tumbuh
ditempat dengan kondisi intensitas cahaya sedang.
ABSTRACT
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Tumbuhan merupakan salah satu organisme hidup yang struktur selnya memiliki
dinding sel tersusun atas selulosa. Selama penyelesaian siklus hidupnya, tumbuhan kerap
dihadapkan pada faktor abiotik dan biotik. Cahaya merupakan salah satu faktor lingkungan
abiotik yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Fitter dan Hay, 1992).
Pengaruh cahaya bagi tanaman terutama terhadap proses fotosintesis dan transpirasi. Setiap
tanaman atau jenis pohon mempunyai toleransi yang berlainan terhadap cahaya matahari.
Ada tanaman yang tumbuh baik ditempat terbuka, sebaliknya ada beberapa tanaman yang
dapat tumbuh dengan baik ditempat teduh/bernaungan (Soekotjo, 1976). Ada pula tanaman
yang memerlukan intensitas cahaya yang berbeda sepanjang periode hidupnya (Abdi,1994).
Pada kebanyakan tanaman, kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman naungan
tergantung pada kemampuannya dalam melanjutkan fotosintesis dalam kondisi defisit cahaya.
Adaptasi terhadap naungan pada dasarnya dapat melalui dua cara yaitu meningkatkan luas
daun sebagai upaya mengurangi penggunaan metabolit yang dialokasikan untuk pertumbuhan
akar dan mengurangi jumlah cahaya ditransmisikan (Halle dan Orchut, 1987). Adaptasi
anatomi dan morfologi tanaman dari karakteristik tanaman yang beraklimatisasi terhadap
intensitas cahaya rendah yaitu daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar
daripada daun yang ditanam pada areal terbuka dengan intensitas cahaya tinggi, hal ini
disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Anderson dan Evans
1988). Selain itu, anatomi daun seperti ukuran palisade, klorofil dan stomata sangat
menentukan efisiensi fotosintesis.\
Definisi gulma secara antropsentris tanaman yang tumbuh dan berkembang akibat
adanya .Gulma memiliki sifat-sifat khusus diantaranya yaitu tumbuhan ini memiliki
kecepatan tumbuh yang amat tinggi, berkembangbiak dengan cepat, dan gulma memiliki daya
kompetisi yang amat tinggi disertai kemampuan untuk bertahan yang kuat, sehingga benarbenar mampu beradaptasi secara efisien. Gulma bersifat fioner dan rakus (Jody Moenandir,
1993).
Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran memiliki beberapa ekosistem yang unik,
salah satunya ialah ekosistem hutan dataran rendah. Kawasan hutan dataran rendah TWA
Pangandaran memiliki iklim dengan curah hujan rata-rata 3.196 mm/tahun dan suhu berkisar
25-30oC dan kelembapan udara antara 80-90%. Dengan suhu mencapai 30oC, sebagian gulma
dapat bertahan hidup pada intensitas cahaya tinggi dengan mengatur beberapa strategi. Salah
satu strategi yang paling mencolok adalah pada cara tumbuhan mengumpulkan air sebanyak-
banyaknya dan menahannya untuk keluar kembali (Cazarez 2010). Sehingga gulma tidak
mengalami transpirasi yang berlebihan dan menjaga osmolaritas sel.
Studi tentang pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman serta terganggunya berbagai proses metabolisme tanaman telah banyak
dilakukan, misalnya pada tanaman padi gogo (Watanabe et al., 1993; Chozin et al., 1999, dan
Sulistiyono et al., 1999 ) dan kedelai (Baharsjah, 1980 dan Sopandie et al., 2003). Kajian
mekanisme adaptasi jenis gulma terhadap perubahan intensitas cahaya belum mendapat
perhatian terutama dilakukan untuk mengetahui perubahan morfologi, anatomi, dan fisiologis,
dalam kaitannya dengan adaptasi, toleransi, serta daya persaingannya.
Mengetahui bagaimana cara tumbuhan dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat
tinggalnya membuat kita semua mengetahui bagaimana cara mengkonservasinya (wanxia et
al. 2012).
b. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana strategi
tumbuhan gulma untuk tetap dapat bertahan hidup di tempat ternaungi maupun di tempat
yang terkena cahaya matahari dan perbedaan ataupun perubahan morfolgi, anatomi, fisiologi
tumbuhan gulma di lingkungan dengan intensitas cahaya tinggi dan sedang (ternaungi).
c. Manfaat
Penelitian ini bermanfaat untuk (1) menambah pengetahuan dan wawasan bagi
mahasiswa mengenai strategi yang dimiliki tumbuhan dalam bertahan hidup di lingkungan
intensitas cahaya tinggi ataupun rendah (ternaungi) yang ditinjau dari segi fisiologi, anatomi
maupun morfologi tumbuhan tersebut. (2) Sebagai bahan informasi khususnya untuk
pengelola hutan di kawasan TWA Pangandaran dan untuk
masyarakat.
BAHAN DAN METODE
a. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran, Ciamis, Jawa
Barat, Indonesia yang akan dilakukan selama empat hari yaitu pada tanggal 25 29 April
2016. Lokasi yang dipilih untuk penelitian lapangan adalah di tempat yang terkena cahaya
dan di tempat yang ternaungi. Untuk pengamatan lanjutan terhadap karakter fisiologi dan
anatomi dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi FMIPA UNJ.
b. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah luxmeter untuk mengukur intensitas
cahaya, lampu LED, hemositometer untuk menghitung jumlah stomata, kutex untuk melihat
jumlah stomata, termometer untuk mengukur perubahan suhu, kertas minyak untuk
penyimpanan spesimen hasil imprint stomata daun, jangka sorong untuk mengukur diameter
batang, penggaris sebagai alat ukur, kertas label, botol, kamera untuk dokumentasi, kain
putih/ hitam, soilmeter, spirtus, alumunium foil, dan timbangan digital digunakan untuk
mengukur massa kandungan bahan organik, larutan buffer Hepes.
c. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif dengan teknik
pengambilan sampel yaitu purpose sampling. Fokus dalam penelitian ini adalah tumbuhan
gulma yang khususnya berada di tempat terkena cahaya dan di tempat ternaungi. Karakter
yang diukur berupa karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kuantitatif berupa panjang dan
lebar daun, diameter batang, panjang internodus pada batang, dan diameter pohon, pH tanah,
dan jumlah stomata. Sedangkan untuk parameter kualitatif berupa bentuk daun, serta untuk
morfologi dilihat secara fisik.
d. Deskripsi Wilayah
Cagar Alam Pananjung Pangandaran atau yang lebih dikenal sebagai Taman Wisata
Alam (TWA) Pangandaran merupakan satu-satunya objek wisata hutan yang ada di
Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Keadaan topografi sebagian besar landai dan di beberapa
tempat terdapat tonjolan bukit kapur yang terjal. Cagar alam seluar 530 hektar, yang
diantaranya termasuk wisata seluas 37,70 hektar berada dalam pengelolaan SBKSDA Jawa
Barat II. Memiliki berbagai flora dan fauna langka seperti Bunga Raflesia Padma, Banteng,
Rusa dan berbagai jenis Kera. Selain itu, terdapat pula gua-gua alam dan gua buatan seperti:
Gua Panggung, Gua Parat, Gua Sumur Mudal, Gua Lanang, Gua Jepang serta sumber air
Rengganis dan Pantai Pasir Putih dengan Taman Lautnya. Untuk Taman Wisata Alam (TWA)
dikelola Perum Perhutani Ciamis.
Cagar Alam Pananjung Pangandaran memiliki kekayaan sumber daya hayati berupa
flora dan fauna serta keindahan alam. Hutan sekunder yang berumur 50-60 tahun dengan jenis
dominan antara lain laban, kisegel, merong, dan sebagainya. Juga terdapat beberapa jenis
pohon peninggalan hutan primer seperti pohpohan kondang, dan benda . Hutan pantai hanya
terdapat di bagian timur dan barat kawasan, ditumbuhi pohon formasi Barringtonia, seperti
butun, ketapang. Dengan berbagai ragam flora, kawasan TWA Pangandaran merupakan
habitat yang cocok bagi kehidupan satwa-satwa liar, antara lain tando, monyet ekor panjang,
lutung, kalong, banteng, rusa, dan landak. Sedangkan jenis burung antara lain burung
cangehgar, tulungtumpuk, cipeuw, dan jogjog. Jenis reptilia adalah biawak, tokek, dan
beberapa jenis ular, antara lain ular pucuk.
Selain memiliki kekayaan sumber daya hayati berupa flora dan fauna, Cagar Alam
Pananjung Pangandaran memiliki berbagai daya tarik lainnya, seperti Batu Kalde, salah satu
peninggalan sejarah zaman Hindu. Daya tarik lainnya yang berada di TWA, baik yang berada
di kawasan cagar alam darat maupun cagar alam laut adalah Batu Layar, Cirengganis, Pantai
Pasir putih di kawasan cagar alam laut. Lalu, padang pengembalaan Cikamal, yang
merupakan areal padang rumput dan semak seluas 20 ha sebagai habitat banteng dan rusa. Air
terjun yang berada di kawasan cagar alam bagian selatan, dapat ditempuh dengan jalan kaki
selama 2 jam melalui jalan setapak.
e. Struktur dan jumlah stomata
Penghitungan stomata dilakukan pada daun kelima dari pucuk untuk setiap cabang
tanaman tersampel. Untuk melihat struktur daun dan jumlah stomata yaitu dengan
membersihkan daun dari debu atau kotoran. Penghitungan stomata dilakukan secara tidak
langsung dengan tehnik imprint, yaitu mencetak stomata daun menggunakan kuteks (cat
kuku). Imprint dilakukan dengan mengoleskan cat kuku trasparan dari arah tulang daun
menuju tepi daun untuk dikotil dan memanjang searah helai daun untuk monokotil bagian
bawah dengan lebar sekitar 0,5 cm. Setelah kering cat kuku dilepas secara hati-hati dari daun
dan hasil imprint dilekatkan pada kertas label yang telah diberi kode asal daun. Hasil imprint
dikoleksi dalam album foto hingga dilakukan penghitungan stomata menggunakan
mikroskop.
f. Pengukuran Luas Daun
Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam mengukur luas daun adalah ketepatan
hasil pengukuran dan kecepatan pengukuran. Metode pengukuran luas daun yang dapat
diterapkan pada penelitian ini adalah Metode Kertas Milimeter.
Metode ini menggunakan kertas milimeter dan peralatan menggambar untuk
mengukur luas daun. Metode ini dapat diterapkan cukup efektif pada daun dengan bentuk
daun relatif sederhana dan teratur. Pada dasarnya, daun digambar pada kertas milimeter yang
dapat dengan mudah dikerjakan dengan meletakkan daun diatas kertas milimeter dan pola
daun diikuti. Luas daun ditaksir berdasarkan jumlah kotak yang terdapat dalam pola daun.
Sekalipun metode ini cukup sederhana, waktu yang dibutuhkan untuk mengukur suatu luasan
daun relatif lama, sehingga ini tidak cukup praktis diterapkan apabila jumlah sampel banyak.
g. Pengukuran Kadar Klorofil
intensitas cahaya optimum berkisar pada 2.761 lux. Intensitas cahaya yang diterima tanaman
pada tempat terang lebih besar jika dibandingkan dengan intensitas cahaya pada areal
naungan (Tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata pengamatan pengaruh naungan terhadap iklim mikro pada tumbuhan gulma
Terang
Iklim mikro
Naungan
75
82
69.280
2.761
47
34
Deskripsi Morfologi
Terang
Naungan
Rata-rata SD
5,84 0,71
Rata-rata SD
8,84 1,23
0,36 0,03
1,95 0,12
65,33 16,89
106,25 12,58
0,036 0,011
0,018 0,004
Hasil uji Anova menunjukkan bahwa luas daun, panjang buku, tebal daun berbeda
nyata pada tumbuhan gulma di tempat terang dan ternaungi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa panjang buku di tempat ternaungi lebih besar dibandingkan di tempat terang.
Perbedaan panjang buku disebabkan oleh besarnya intensitas cahaya yang diterima oleh
tanaman dan berkaitan dengan hormon tanaman yaitu auksin. Tanaman gulma di termpat
ternaungi atau dengan intensitas cahaya rendah rata-rata memiliki daun yang tipis yaitu 0,018
mm, sedangkan daun yang paling tebal didapatkan pada tumbuhan gulma di tempat terang
yaitu 0,036 mm. Ini merupakan mekanisme adaptasi terhadap kekurangan cahaya melalui
pengurangan tebal daun agar lebih efisien dalam menggunakan energi cahaya untuk
perkembangannya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tumbuhnya gulma di bawah naungan dengan
intensitas cahaya rendah mengakibatkan peningkatan luas daun. Morfologi daun yang lebar
dan tipis diperlukan pada kondisi lingkungan cahaya yang kurang untuk dapat menangkap
cahaya sebanyak mungkin dengan cahaya yang direfleksikan serendah mungkin. Peningkatan
luas daun memungkinkan peningkatan luas bidang tangkapan dan juga menyebabkan daun
menjadi lebih tipis karena sel-sel palisade hanya terdiri dari satu atau dua lapis (Khumaida
2002).
Daun di tempat ternaung biasanya lebih lebar dan tipis untuk memungkinkan
penangkapan cahaya lebih banyak dan diteruskan ke bagian bawah daun dengan cepat, Hal ini
membuat kegiatan fotosintesis berlangsung maksimal. Penipisan daun disebabkan oleh
berkurangnya lapisan palisade pada sel mesofil daun (Taiz dan Zeiger 1991). Selanjutnya,
adaptasi tumbuhan gulma naungan ditunjukkan dengan pengurangan lapisan palisade yang
lebih besar, sehingga menyebabkan daun menjadi lebih tipis. Perubahan karakter tersebut
diduga merupakan bentuk mekanisme adaptasi terhadap cahaya rendah (Khumaida 2002,
Sopandie et al. 2003). Respons menghindar (shade avoidance response) pada tanaman yang
mengalami
cekaman
intensitas
cahaya
rendah
dilakukan
dengan
memaksimalkan
penangkapan cahaya dengan cara mengubah anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis
yang efisien (Evans dan Poorter 2001).
Tabel 3. Nilai absorbansi daun Kirinyuh di tempat terang dan tempat ternaung
menggunakan spektrofotometer.
Panjang Gelombang Terang
Ternaungi
663 (nm)
0,318
0,124
645 (nm)
0,586
0,232
% Penipisan
Tabel 4. Rata-rata respons anatomi tumbuhan gulma di tempat terang dan ternaungi
Deskripsi Anatomi
Terang
Naungan
Jumlah Stomata
5 0,84
3 0,63
Klorofil a (mg/l)
3,99
6,81
Klorofil b (mg/l)
1,35
2,56
5,05
9,38
tanaman menghasilkan daun lebih besar, lebih tipis dengan lapisan epidermis tipis, jaringan
palisade sedikit, ruang antar sel lebih lebar dan jumlah stomata lebih banyak. Sebaliknya pada
tanaman yang menerima intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang lebih kecil, lebih
tebal, lebih kompak dengan jumlah stomata lebih sedikit, lapisan kutikula dan dinding sel
lebih tebal dengan ruang antar sel lebih kecil dan tekstur daun keras. Berdasarkan hasil
penelitian, dapat diketahui bahwa jumlah stomata daun di tempat terang lebih banyak
dibandingkan di tempat naungan. Didapatkan jumlah stomata per 50 mm2 daun adalah 5 untuk
tempat terang dan 3 untuk ternaungi. Hasil penelitian. Hal ini diduga bahwa tumbuhan di
tempat terang dan ternaungi akan mempunyai tingkat kehijauan daun lebih hijau
dibandingkan dengan tumbuhan gulma ternaungi, dengan daun yang lebih hijau maka
kandungan kloroplas semakin banyak sehingga kepadatan stomatanya juga makin tinggi
sehingga tanaman dapat melakukan proses fotosintesis dengan baik dan respirasi semakin
lancar kerena pengaruh kepadatan stomata yang tinggi.
Dari data pengamatan didapatkan bahwa kadar klorofil total pada daun di tempat
ternaungi lebih besar dibandingkan dengan kadar klorofil daun di tempat terang. Pada tempat
terang kadar klorofil total adalah 5,05 dan pada tempat ternaungi adalah 9,38. Perbandingan
kadar klorofil total pada tempat terang dan tempat ternaungi adalah 1 : 1,8 dimana kadar
klorofil total pada tempat ternaungi hampir 2 kali lipat dibandingkan di tempat terang. Hal
yang sama terjadi pada kadar klorofil a, pada tempat terang konsentrasi klorofil a adalah
sebesar 3,99 mg/l semetara pada tempat ternaungi kadarnya 6,81 mg/l. Pada pengukuran
klorofil b kadar klorofil b tempat terang adalah 1,35 mg/l dan pada tempat ternaungi adalah
sebesar 2,56 mg/l.
Hal ini sesuai dengan referensi. Valladares, et al (2008) dalam Beneragama dan Goto
(2010) menjelaskan bahwa pada tanaman toleran naungan, terdapat karakteristik berupa
penurunan respirasi gelap (dark respiration), titik kompensasi cahaya, dan titik saturasi
cahaya. Karakteristik ini hanya ada pada spesies toleran naungan. Untuk memaksimalkan
penangkapan cahaya, Givnish (1998) dalam Beneragama (2010) menjelaskan pada hipotesis
naungan memiliki rasio klorofil b dan klorofil a yang lebih tinggi dibandingkan dengan
spesies yang intoleran terhadap naungan (Malavasi, 2001). Rasio konsentrasi klorofil a dan
klorofil b menurun seiring dengan penurunan irradiasi cahaya (Boardman, 1977., dan Waller,
1986., dalam Malavasi, 2001).
Menurut Malavasi (2001), Biasanya klorofil a 2-3 kali lebih melimpah dibandingkan
dengan klorofil b. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dimana klorofil a pada kedua
kondisi tumbuhan 2 kali lebih banyak dibandingkan klorofil b. Manurut Kramer dan
Kozlowski (1979), adanya introduksi stress pada tanaman tidak langsung mengubah rasio
kedua klorofil secara proporsional.
Menurut Day dan Underwood (1998), Spektrofotometer sangat berhubungan dengan
pengukuran jauhnya pengabsorbansian energi cahaya oleh suatu sistem kimia sebagai fungsi
panjang gelombang dengan absorban maksimum dari suatu unsur atau senyawa. Konsentrasi
unsur atau senyawa dapat dihitung dengan menggunakan kurva standar yang diukur pada
panjang gelombang absorban tersebut, yaitu panjang gelombang yang diperoleh dari hasil
nilai absorbansi yang tertinggi.
Menurut Lorenzen, C.J. (1967), spektrum absorban selain bergantung pada sifat dasar
kimia, juga bergantung pada faktor-faktor lain. Perubahan pelarut sering menghasilkan
pergesaran dari pita absorbansi. Larutan pembanding dalam spektrofotometri pada umumnya
adalah pelarut murni atau suatu larutan blanko yang mengandung sedikit zat yang akan
ditetapkan atau tidak sama sekali. Pengukuran konsentrasi klorofil menggunakan panjang
gelombang 663 dan 645 nm karena klorofil a dan b dapat menangkap gelombang yang
memiliki panjang gelombang tersebut, sehingga larutan ekstrak dapat mengabsorpsi sinar
secara maksimum.
Menurut Raven (2005), Klorofil a merupakan bentuk spesifik dari klorofil yang
digunakan untuk fotosintesis oksigenik. Klorofil a menyerap energi pada cahaya dengan
panjang gelombang sekitar violet-biru dan merah-orange, serta memantulkan cahaya
hijau/kuning yang banyak berkontribusi pada warna hijau dari tanaman. Klorofil a merupakan
pigmen
fotosintesis
yang
esensial
pada
organisme
eukaryot,
cyanobakteria
dan
prochlorophyta karena pigmen ini memiliki peran utama dalam donor elektron didalam proses
metabolisme rantai transpor elektron. Klorofil a juga mentransfer energi yang beresonansi
dalam kompleks antena, reaksi dimana klorofil spesifik P680 dan P700 berada.
Menurut Koolman, et al. (2002), Klorofil a sangat esensial bagi kebanyakan
organisme fotosintetik untuk melepaskan energi kimia namun bukan satu-satunya pigmen
yang digunakan untuk fotosintesis. Semua organisme fotosintetik oksigenik menggunakan
klorofil a, klorofil b dan pigmen lain seperti karatenoid. Klorofil a terdapat di semua
tumbuhan dan juga terdapat dalam jumlah kecil di bakteri sulfuric (green sulfur bacteria)
yang merupakan bakteri anaerob photoautotroph. Organisme seperti green sulfur bacteria
menggunakan bacterioclorophyll dan sejumlah kecil chlorophyll a namun tidak memproduksi
oksigen. Photosintesis anoksigenik adalah istilah yang digunakan untuk proses ini, tidak
seperti fotosintesis oksigenik dimana oksigen diproduksi selama reaksi terang fotosintesis.
Pada mayoritas tanaman darat, baik klorofil a maupun klorofil b keduanya digunakan
untuk memaksimalkan tangkapan cahaya yang tersedia dengan panjang gelombang berbeda
untuk menghasilkan energi. Perbedaan klorofil a dan klorofil b terletak pada komposisi
molekul keduanya. Klorofil a memiliki rantai CH3 sementara klorofil b rantai sampingnya
adalah gugus CHO.
Klorofil b merupakan bentuk dari klorofil yang membantu dalam proses fotosintesis
dengan cara menyerap energi dari panjang gelombang cahaya. Klorofil b lebih larut (more
soluble) dibandingkan klorofil a didalam pelarut polar dikarenakan adanya gugus karbonil
didalam rantai molekulnya. Klorofil b berwarna kuning dan umumnya menyerap cahaya biru.
Pada tanaman, antena penangkap cahaya di sekitar photosistem II banyak mengandung
klorofil b. Itulah sebabnya kloroplas yang teradaptasi oleh intensitas rendah cahaya/ dibawah
naungan akan memiliki kenaikan rasio antara photosistem II dibandingkan dengan fotosistem
I. Terdapat rasio yang lebih tinggi antara klorofil b terhadap klorofil a. Ini merupakan respon
adaptif fisiologis tanaman, kenaikan klorofil b berjalan linier terhadap kenaikan panjang
gelombang yang diserap oleh kloroplas yang ternaungi dari cahaya.
Menurut Gautier (1992), Chromolaena odonata (Siam weed) atau nama lokalnya
adalah Kirinyuh merupakan spesies invasif dan merupakan spesies introduksi dari Amerika
Latin. Kirinyuh merupakan tanaman herbaceous yang toleran terhadap naungan. Toleransinya
terhadap naungan menjadikan rasio klorofil b pada daun tanaman kirinyuh ternaung tidak
lebih tinggi dibandingkan rasio klorofil a nya.
KESIMPULAN
Laju transpirasi pada tempat ternaungi lebih lambat dibanding laju transpirasi pada
tempat terang.
Intensitas cahaya yang diterima pada tempat terang lebih tinggi dibanding tempat
ternaung dan berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang diserap oleh daun pada
masing-masing tempat.
Pertumbuhan gulma tempat ternaung seperti panjang buku, diameter batang dan luas
daun lebih tinggi dibanding tempat terang, sebaliknya pada tempat terang memiliki
daun yang lebih tebal dibandingkan pada tempat ternaung.
Kandungan klorofil total pada daun di tempat ternaungi lebih besar dibandingkan
dengan kandungan klorofil daun di tempat terang.
DAFTAR PUSTAKA
Bolhar-Nordenkampf HR, Draxler G (1993) Functional leaf anatomy. Dalam: Hall DO,
Scurlock JMO,85
Campbell, dkk. 2002. Biologi Jilid 1 Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga
Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumajo S, & Sumarno. 1999. Physiology & Genetic of
Upland Rice Adaptation to Shade. Final Report of Graduate Team Research Grant,
URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and
Culture
Day, R.A, dan A.L. Underwood. 1998. Kimia Analisa Kuantitatif. Jakarta: Erlangga
Gautier L, 1992. Taxonomy and distribution of a tropical weed : Chromolaena odorata (L.) R.
King & H. Robinson. Candollea, 47: 645-662
Hale, M. G., & D. M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plants Under Stress. John Willey and
Sons, New York. 206 p.
Hendry, G. A. F., & J. P. Grime., 1993. Methods on Comparative Plant Ecology, a Laboratory
Manual. Chapman and Hill, London.
Http://www.cabi.org/isc/datasheet/23248#20057037246 (diakses tanggal 20 Mei 2016 Pukul
20.35 WIB)
Koolman, Jan., et al. 2005. Color Atlas of Biochemistry Second Edition : Revised and
Enlarged. Stuttgart : Thieme
Kramer, P.J. and T. Kozlowski. 1979. Physiology of wood plants. New York: Academic
Press, page 811.
Larcher, W. 1987. Physiological Plant Ecology, 3rd ed. Springer-Verlag, Berlin.
Lorenzen. C. J., Determination of chlorophyll and pheopigments: Spectrophotometric
equations. Limnol. Oceanogr. 12: 343-346, (1967)
Mahfudz. 2005. Kajian Sifat Ekofisiologi Tiga Jenis Gulma Di Bawah Naungan. Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako, Palu.
Lampiran 1.
Hasil Pengamatan
PDT
11
11
11,2
LDT
6
5,5
5,8
PDG
13,4
14
14
LDG
8,2
6,8
9
ST
2877
2569
2689
SG
1942
1742
2123
LUDT
66
60,5
64,96
LUDG
109,88
95,2
126
TST
660
605
519,68
TSG
439,52
571,2
756
10,5
7
10,7
6
8,2
3,6
13
7,3
11,5
5,5
11,5
7
10
5,6
TOTAL
Keterangan:
14,3
14
14,5
15
14,3
13,9
13,5
7,5
7,8
6,5
8,5
6,8
7,5
6,8
3014
2679
876
3013
2456
2987
2456
2561,6
1833
2225
1700
2456
1801
1827
1687
1933,6
73,5
64,2
29,52
94,9
63,25
80,5
56
65,333
107,25
109,2
94,25
127,5
97,24
104,25
91,8
106,257
588
385,2
354,24
949
632,5
644
448
578,562
643,5
436,8
754
765
583,44
417
550,8
591,726
(a)
(b)