Case Nefrolitiasis
Case Nefrolitiasis
Case Nefrolitiasis
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. A
Umur : 44 Tahun
Alamat : Malangbong
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Tanggal Masuk RS : 08 Januari 2018
Tanggal Operasi : 09 Januari 2018
Ruangan : Marjan Bawah
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama :
Nyeri pinggang sebelah kiri sejak ± 2 minggu SMRS
1
menetes. Tidak didapatkan adanya demam, BAK tidak tuntas, BAK terputus,
nyeri saat BAK, sulit memulai dan mengakhiri BAK, BAK yang bersifat tiba –
tiba, dan peningkatan frekuensi BAK.
2
IV. STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephali, conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening ataupun tiroid
Thorak :
- Inspeksi : Simetris kanan dan kiri
- Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor kanan = kiri
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-, BJ 1 dan 2
normal. Gallop dan Murmur (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Datar dan Simetris
- Auskultasi : Bising Usus Normal
- Palpasi : Defans Muscular (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok CVA -/+
- Perkusi : Timpani, Pekak hepar (+)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Nama Test Hasil Nilai Normal
DARAH RUTIN
Hemoglobin 12,9 g/dL 12,0 – 16,0
Hematokrit 39% 35 – 47
Lekosit 7.770/mm3 3.800-10.600
Trombosit 225.000/mm3 150.000-440.000
Eritrosit 4,41 juta/mm3 3,6 – 5,8
KIMIA KLINIK
AST (SGOT) 51 U/L s/d 31
ALT (SGPT) 35 U/L s/d 31
Ureum 29 mg/dL 15 – 30
Kreatinin 0,9 mg/dL 0,3 – 1,3
Glukosa Darah Sewaktu 100 mg/dL < 140
ELEKTROLIT
Natrium 138 mEq/L 135 – 145
3
Kalium 3,6 mEq/L 3,6 – 5,5
Klorida 101 mEq/L 88 – 108
Kalsium 5,15 mEq/L 4,7 – 5,2
Rontgen
4
USG KUB
- Hasil Pemeriksaan
Ginjal kanan dan kiri
Ukuran ginjal tampak normal, echogenitas parenkim normal. Batas tekstur
parenkim dengan central echocomplek jelas. Tampak bayangan hiperekhoik
multiple dengan acoustic shadow berdiameter lk 2,2 cm dan 2,19 cm di ginjal
kiri. Sistem pelvokalises kiri melebar, kanan tidak melebar. Ureter
tidakterdeteksi.
Vesica Urinaria
Tidak terisi penuh, dinding tidak menebal regular, tidak tampak batu/massa.
- Kesan
1. Nefrolithiasis multiple kiri disertai bendungan
2. USG ginjal kanan dan vesica urinaria masih tampak dalam batas normal
5
VI. RESUME
Pasien perempuan, 44 tahun datang ke poli Bedah RSU dr. Slamet
Garut dengan keluhan nyeri pinggang sebelah kiri sejak ± 2 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri pinggang dirasakan menjalar sampai ke kaki kiri
dan nyeri dirasakan terus – menerus. Pada awalnya, nyeri pinggang dirasakan
sejak 10 bulan yang lalu dan bersifat hilang – timbul dan semakin lama
intensitas nyeri meningkat, kemudian sebelum ke poli pasien mengatakan
hanya berobat ke puskesmas. Pasien mengatakan urin berwarna kuning keruh
dan seperti berpasir. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri ketok
CVA di sebelah kiri. Kemudian pada pemeriksaan penunjang didapatkan di
hasil USG yaitu nefrolithiasis multiple kiri disertai bendungan.
X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/
Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal,
lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di
sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang
membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang
memperdarahi jaringan ginjal) Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1)
nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif
9
jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada
medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak
di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan
pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.
Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari
aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah
memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris
yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior,
anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis
ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus
imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral.
Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.
b. Ureter
10
Ureter diperdarahi oleh cabang dari a.renalis, aorta abdominalis, a.iliaca
communis, a.testicularis/ovarica serta a.vesicalis inferior. Sedangkan persarafan
ureter melalui segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus,
serta pleksus hipogastricus superior dan inferior.
c. Vesica urinaria
Vesica urinaria, sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan
tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk
selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui
mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic
floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian
usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan saraf.
Dalam keadaan kosong vesica urinaria berbentuk tetrahedral yang terdiri
atas tiga bagian yaitu apex, fundus/basis dan collum. Serta mempunyai tiga
permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi
(anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Dinding vesica urinaria terdiri
dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Terdapat trigonum vesicae
pada bagian posteroinferior dan collum vesicae. Trigonum vesicae merupakan
suatu bagian berbentuk mirip-segitiga yang terdiri dari orifisium kedua ureter dan
collum vesicae, bagian ini berwarna lebih pucat dan tidak memiliki rugae
walaupun dalam keadaan kosong.
Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun
pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis.
Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan
parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus
imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis
melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan
motorik.
d. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria
menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita.
Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ
seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita
panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu
11
m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan
m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada
wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).
Pada pria, uretra dapat dibagi atas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars
membranosa dan pars spongiosa.
Pars pre-prostatika (1-1.5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan aspek
superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi otot m. sphincter urethrae
internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai oleh
persarafan simpatis.
Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus kelenjar
prostat. Bagian ini dapat lebih dapat berdilatasi/melebar dibanding bagian
lainnya.
Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan tersempit.
Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis melintasi diafragma
urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m.sphincter urethrae eksternal
yang berada di bawah kendali volunter (somatis).
Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang, membentang
dari pars membranosa sampai orifisium di ujung kelenjar penis. Bagian ini
dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.
Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3.5 cm) dibanding uretra
pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara pada
orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m. spchinter
urethrae yang bersifat volunter di bawah kendali somatis, namun tidak seperti uretra
pria, uretra pada wanita tidak memiliki fungsi reproduktif.
b. Fisiologi 4
Fungsi ginjal adalah a) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat
toksis atau racun, b) mempertahankan suasana keseimbangan cairan, c)
mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan d)
12
mengeluarkan sisa – sisa metabolism akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
Tahap pembentukan urin adalah :
1. Proses Filtrasi
Di glomerulus terjadi di penyerapan darah, yang tersaring adalah
bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh
simpai bowmen yang terdisi dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,
bikarbonat, dll. Diteruskan ke tubulus ginjal, cairan yang disaring disebut
filtrate glomerulus.
2. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari
glukosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya
terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) ditubulus proximal, sedangkan pada
tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila
diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorpsi fakultatif) dan
sisanya dialirkan pada papilla renalis.
3. Proses Sekresi
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke
papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar
2 Nefrolitiasis
2.1 Definisi
Nefrolithiasis adalah keadaan yang ditandai dengan adanya batu ginjal (Renal
Kalkuli). Nefrolithiasis merupakan penumpukan garam mineral berupa kalsium oksalat,
kalsium fosfat, asam urat dan lain – lain yang terdapat pada kaliks atau pelvis dan bila
akan keluar dapat berhenti di ureter.9,10
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sampai 16% pria dan 8% wanita akan memiliki 1 atau lebih batu
simtomatik pada usia 70 tahun. Meskipun pria terus memiliki risiko nefrolitiasis yang
lebih tinggi, dalam 2 dekade terakhir, rasio antara laki-laki dan perempuan telah
berubah dari 3: 1 menjadi sekitar 2: 1, yang mungkin merupakan akibat perubahan gaya
hidup. Lebih mencolok lagi, prevalensi batu ginjal meningkat secara substansial: pada
13
tahun 1994, dilaporkan sebesar 5,2% (1 dari 20 orang), namun pada tahun 2012, hampir
mendekati 10% (1 dari 11 orang).5
Survei cross-sectional nasional menunjukkan bahwa prevalensi seumur hidup batu
ginjal bervariasi menurut wilayah geografis di Amerika Serikat, meningkat dari Utara
ke Selatan dan dari Barat ke Timur, menghasilkan "sabuk batu" di North and South
Carolina, Georgia, Alabama, Mississippi, dan Tennessee. Faktor klimatologi, diet, dan
gaya hidup tampaknya memainkan peran utama berkenaan dengan risiko batu ginjal
dan mungkin menjelaskan distribusi geografis, yang ditinjau lebih rinci pada bagian
selanjutnya.5
Beberapa studi epidemiologi telah mempelajari hubungan antara nephrolithiasis dan
sifat sindrom metabolik. Risiko relatif untuk mengembangkan batu ginjal meningkat
untuk berat peserta.220 lb dibandingkan dengan berat badan 140 lb dan mereka yang
memiliki indeks massa tubuh .30 versus 21 kg / m2, menunjukkan bahwa penambahan
berat badan dan obesitas adalah faktor risiko independen untuk pengembangan ginjal.
batu. Besarnya asosiasi lebih besar untuk wanita dibandingkan dengan pria, yang
mungkin menjadi salah satu penjelasan untuk meningkatnya kejadian nefrolitiasis di
kalangan wanita dan perubahan rasio pria terhadap wanita di negara maju. Demikian
pula, telah ditunjukkan bahwa diabetes melitus dikaitkan dengan peningkatan risiko
pembentukan batu ginjal. Pasien diabetes memiliki pH urin lebih rendah, yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya asam urat. Demikian juga, jumlah oksalat urin dalam
jumlah yang lebih tinggi telah terdeteksi pada pasien diabetes. Orang mungkin
menduga bahwa prevalensi penyakit batu dapat terus meningkat karena diabetes
mellitus tipe 2 menjadi lebih umum. Meskipun nephrolithiasis nampaknya merupakan
faktor risiko untuk pengembangan hipertensi kejadian, risiko kejadian nephrolithiasis
tidak berbeda pada mereka yang memiliki dan tanpa riwayat hipertensi. Singkatnya,
pengamatan yang dijelaskan menunjukkan bahwa nephrolithiasis adalah kelainan
metabolik sistemik.5
Karena pembentukan batu ginjal tergantung pada sifat fisikokimia urin, perubahan
komposisi urin dapat berkontribusi pada peningkatan kejadian nefrolitiasis. Oleh karena
itu, kebiasaan makan dan pengobatan perlu dievaluasi saat mengevaluasi pasien dengan
batu ginjal. Asupan cairan yang rendah menyebabkan konsentrasi tinggi zat lithogenic
dalam urin dan dapat menjelaskan mengapa penghuni yang hidup dalam iklim panas
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan batu ginjal. Asupan kalsium diet
yang lebih besar secara independen terkait dengan risiko rendah untuk batu ginjal
14
simtomatik. Kalsium dianggap mengikat oksalat dalam lumen usus, mengurangi jumlah
oksalat yang larut yang tersedia untuk penyerapan. Oleh karena itu, umumnya diterima
bahwa diet rendah kalsium tidak direkomendasikan sebagai alat pencegahan batu
kalsium. Serupa dengan asupan kalsium, konsumsi makanan kaya potassium
berbanding terbalik dengan batu ginjal yang terjadi pada pria dan wanita lanjut usia.
Efek asupan potasium yang lebih tinggi kemungkinan besar terkait dengan kation yang
disertai anion organik (misalnya sitrat), yang merupakan beban alkali. Selain itu,
defisiensi kalium merangsang penyerapan tubulus sitrat proksimal, sehingga
mengurangi ekskresi sitrat urin.5
Sebaliknya, asupan protein hewani tinggi adalah sumber asam utama dalam tubuh
manusia dan menurunkan pH urin, yang kemudian meningkatkan risiko batu asam urat.
Namun, studi epidemiologi yang meneliti hubungan asupan protein dan risiko
pembentukan batu kejadian belum menunjukkan hubungan dengan batu kalsium
oksalat. Diet tinggi garam meningkatkan kalsium urin karena kalsium sejajar dengan
reabsorpsi natrium di tubulus proksimal. Setelah asupan garam tinggi, reabsorpsi
natrium dan kalsium berkurang, mengakibatkan ekskresi kalsium urin yang lebih tinggi
dan dengan demikian meningkatkan risiko nefrolitiasis. Ekskresi oksalat oksalat yang
lebih tinggi merupakan faktor risiko penting lainnya untuk nefrolitiasis. Hiperoksaluria
dapat menjadi sekunder akibat asupan oksalat yang tinggi dan umumnya terkait dengan
sindroma usus pendek, operasi bariatrik malabsorptif, atau insufisiensi pankreas. Obat
yang mengkristal dalam urin (seperti atazanavir, indinavir, asiklovir, sulfadiazin,
metotreksat, triameter, kuinolon, atau aminopenisilin) juga dapat menyebabkan
nefrolitiasis. Selain itu, obat yang mengubah pH urin (topiramate dan acetazolamide)
dapat menjadi predisposisi pembentukan batu ginjal.5
2.3 Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran
urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain
yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor
yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu
adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor
ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan sekitarnya.6
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :6
1.Herediter (keturunan) : Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
15
2.Umur : Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
3.Jenis kelamin : Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.
2.4 Patofisiologi
Saturasi dan Pertumbuhan Batu
Memahami penyebab nephrolithiasis yang mendasar sangat penting untuk
membangun perawatan medis dan untuk pencegahan batu ginjal di masa depan. Garam
dapat larut dalam larutan yang diberikan sampai mencapai kesetimbangan antara fasa
padat dan air pada pH dan suhu yang ditentukan. Supersaturasi yang cukup tinggi untuk
menginduksi kristalisasi, yang disebut sebagai batas atas metastabilitas, diperlukan
untuk pembentukan batu ginjal. Inhibitor meningkatkan batas, sedangkan promotor
menurunkannya.5
Seperti ditunjukkan pada Gambar 2, nukleasi kristal meliputi proses ion bebas yang
membentuk gugus longgar. Tipe sel khusus (misalnya sel epitel ginjal) dan gips dapat
bertindak sebagai pusat nukleasi. Ketika sebuah nukleus terbentuk, komponen kristal
tambahan dapat ditambahkan ke inti yang ada dalam proses yang didefinisikan sebagai
16
pertumbuhan kristal. Partikel kristal yang lebih besar digabungkan dalam proses yang
disebut agregasi kristal.5
17
pembentukan plak berpotensi meningkatkan kemampuan kita untuk memilih perawatan
yang tepat untuk pasien kita.5
19
4. Teori Blocked lymphatic : Teori ini menjelaskan bahwa sistem limfatik ginjal
mengalirkan pelvis ginjal dan mencegah pertambahan dan agregasi garam
pengendapan di ginjal. Tetapi jika terjadi penghancuran limfatik ginjal ini,
endapan garam cenderung tumbuh menjadi konkret besar selama perjalanan
mereka melalui pembuluh getah bening dan terhalang pada fornices calyces
tepat di luar sistem pengumpul dimana konkret akhirnya menggiling membran
sekitarnya yang akhirnya menyebabkan perkolasi urin dan kemudian tumbuh
menjadi batu ginjal besar dengan tetap berhubungan dengan garam dan zat
organik lainnya dalam urin
20
2.5 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis variasi dari batu ginjal, yaitu :
1. Batu Kalsium
Batu yang paling sering terjadi pada kasus batu ginjal. Kandungan batu jenis ini
terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran dari kedua unsur
tersebut. Faktor – faktor terbentuknya batu kalsium adalah :
a. Hiperkalsiuri
Terbagi menjadi hiperkalsiuri absorptif, hiperkalsiuri renal, dan
hiperkalsiuri resorptif. Hiperkalsiuri absorptifterjadi karena adanya
peningkatan absorbsi kalsium melalui usus, hiperkalsiuri renal terjadi
akibat adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalui
tubulus ginjal dan hiperkalsiuri reasorptif terjadi karena adanya
peningkaran resorpsi kalsium tulang.8
Hiperkalsiuri, yaitu kadar kalsium di dalam urin lebih besar
dari 250-300 mg/24 jam. Menurut Pak (1976) terdapat tiga macam
penyebab terjadinya hiperkalsiuri, antara lain:
a. hiperkalsiuri absortif yang terjadi karena adanya peningkatan
absorbsi kalsium melalui usus.
21
b. hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal.
c. hiperkalsiuri resorbtif terjadi karena adanya peningkatan
resorpsi kalsium tulang yang banyak terjadi pada hiperparatiroidisme
primer atau tumor paratiroid.
b. Hiperoksaluri
Merupakan eksresi oksalat urin yang melebihi 45 gram perhari.
c. Hiperurikosuria
Kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 850mg/24 jam
d. Hipositraturia
Sitrat yang berfungsi untuk menghalangi ikatan kalsium dengan
oksalat atau fosfat sedikit.
e. Hipomagnesiuria
Magnesium yang bertindak sebagai penghambat timbulnya batu
kalsium kadarnya sedikit dalam tubuh. Penyebab tersering
hipomagnesiuria adalah penyakit inflamasi usus yang diikuti dengan
gangguan malabsorbsi.
2. Batu Struvit
Batu struvit, disebut juga batu infeksi, karena terbentuknya batu ini
disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Batu dapat tumbuh menjadi lebih
besar membentuk batu staghorn dan mengisi seluruh pelvis dan kaliks ginjal.
Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan kuman pemecah urea atau urea
splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan merubah urine menjadi
bersuasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak, seperti pada reaksi:
CO(NH2)2+H2O 2NH3+CO2.1
Sekitar 75% kasus batu staghorn, didapatkan komposisi batunya adalah
matriks struvit-karbonat-apatit atau disebut juga batu struvit atau batu triple
phosphate, batu fosfat, batu infeksi, atau batu urease, walaupun dapat pula
terbentuk dari campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat.1
22
suasana basa ini yang memudahkan garam-garam magnesium, ammonium, fosfat
dan karbonat membentuk batu magnesium amoniun fosfat (MAP) atau (Mg
NH4PO4.H2O) dan karbonat apatit (Ca10[PO4]6CO3. Karena terdiri atas 3 kation
Ca++ Mg++ dan NH4+) batu jenis ini dikenal dengan nama batu triple-phosphate.
Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea diantaranya adalah Proteus spp,
Klebsiella, Serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus. Meskipun E.coli
banyak menyebabkan infeksi saluran kemih, namun kuman ini bukan termasuk
bakteri pemecah urea.1
3. Batu Asam Urat
Biasanya diderita pada pasien – pasien penyakitgout, penyakit mieloproliferatif,
pasien yang mendapatkan terapi anti kanker, dan yang banyak digunakan untuk
urikosurik sepertu sulfinpirazon, thiazid, dan salisilat.
4. Batu Jenis Lain
Batu sistin, batu xanthine, batu triamteran dan batu silikat sangat jarang dijumpai.
23
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis
atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok pada
daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-
tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam-
menggigil.4
2.7 Diagnosis
Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan jasmani untuk menegakkan diagnosis,
penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan radiologik, laboratorium dan
penunjang lain untuk menentukan kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih,
infeksi dan gangguan faal ginjal. Secara radiologik, batu dapat radioopak atau
radiolusen. Sifat radioopak ini berbeda untuk berbagai jenis batu sehingga dari sifat ini
dapat diduga jenis batu yang dihadapi.5
Batu kalsium akan memberikan bayangan opak, batu magnesium amonium fosfat
akan memberikan bayangan semiopak, sedangkan batu asam urat murni akan
memberikan bayangan radiolusen. Batu staghorn dapat diidentifikasi dengan foto polos
abdomen karena komposisinya yang berupa magnesium ammonium sulfat atau
campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat sehingga akan nampak bayangan
radioopak.6
Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mencari kelainan kemih yang dapat
menunjang adanya batu di saluran kemih, menentukan fungsi ginjal, dan menentukan
sebab terjadinya batu.
Pemeriksaan renogram berguna untuk menentukan faal kedua ginjal secara terpisah
pada batu ginjal bilateral atau bila kedua ureter tersumbat total. Cara ini dipakai untuk
memastikan ginjal yang masih mempunyai sisa faal yang cukup sebagai dasar untuk
melakukan tindak bedah pada ginjal yang sakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat untuk
melihat semua jenis batu, menentukan ruang dan lumen saluran kemih, serta dapat
digunakan untuk menentukan posisi batu selama tindakan pembedahan untuk
mencegah tertingggalnya batu.6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan
rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu
radio opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat
24
radio opak dan paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan batu asam urat
bersifat non opak (radio lusen).
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV
dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang tidak dapat
terlihat oleh foto polos abdomen. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah
pemeriksaan pielografi retrograd.
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu pada
keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada
wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau
di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau
pengkerutan ginjal.
4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan Kristal.
5. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk menilai fungsi ginjal.
6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.
7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein, fosfatase alkali
serum.3
25
2.9 Komplikasi
Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut yang
sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian, kehilangan ginjal, kebutuhan
transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang tidak direncanakan. Data kematian,
kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko
sangat rendah. Komplikasi akut dapat dibagi menjadi yang signifikan dan kurang
signifikan. Yang termasuk komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ
pencernaan, sepsis, trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru dan
urinoma. Sedang yang termasuk kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal,
ileus, stein strasse, infeksi luka operasi, ISK dan migrasi stent.
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya disebabkan
oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu, terutama yang
melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari yang ditemukan karena
secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita tidak dilakukan evaluasi
radiografi (IVP) pasca operasi. 15
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya
hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis yang berakhir
dengan kegagalan faal ginjal yang terkena. Komplikasi lainnya dapat terjadi saat
penanganan batu dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya adalah pielonefritis dan
sepsis yang dapat terjadi melalui pembedahan terbuka maupun noninvasif seperti
ESWL. Biasanya infeksi terjadi sesaat setelah dilakukannya PNL, atau pada beberapa
saat setelah dilakukannya ESWL saat pecahan batu lewat dan obstruksi terjadi. Cidera
pada organ-organ terdekat seperti lien, hepar, kolon dan paru serta perforasi pelvis
renalis juga dapat terjadi saat dilakukan PNL, visualisasi yang adekuat, penanganan
yang hati-hati, irigasi serta drainase yang cukup dapat menurunkan resiko terjadinya
komplikasi ini.
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah, demam, dan terapi
nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih sedikit dan berbeda secara
bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL. Demikian pula ESWL dapat
dilakukan dengan rawat jalan atau perawatan yang lebih singkat dibandingkan PNL.
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi keseluruhan. Dari meta-
analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi terapi sama (< 20%). Kebutuhan
transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali pada hematom perirenal yang besar.
Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan
26
jarang, namun dapat dijumpai, khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau
mengalami sepsis dan komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di
Indonesia, risiko kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.
Komplikasi ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%), urosepsis (1,1%)
dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma parietal dan viseral. Hasil
studi pada hewan tidak menunjukkan adanya kelainan lanjut yang berarti. Dalam
evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL, dijumpai adanya perubahan fungsi
tubular yang bersifat sementara yang kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data
mengenai efek jangka panjang pasca ESWL pada anak.
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang memerlukan
transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus akibat perdarahan
intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada satu kasus dilaporkan terjadi
hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi terbuka meliputi leakage urin (9%),
infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan perdarahan pascaoperasi (1,2%). Pedoman
penatalaksanaan batu ginjal pada anak adalah dengan ESWL monoterapi, PNL, atau
operasi terbuka.
2.10 Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan atau terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena suatu indikasi sosial.
Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau
hidronefrosis dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera
dikeluarkan.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit seperti diatas, namun
diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya (misalkan batu yang diderita oleh
seorang pilot pesawat terbang) memiliki resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan
saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang menjalankan profesinya dalam hal
ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih. Pilihan terapi antara lain :
27
1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti disebutkan
sebelumnya, batu ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi bertujuan untuk
mengurangi nyeri, memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum, berupa :
b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
c. α - blocker
d. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat lain
untuk observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan
obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan observasi bukan merupakan
pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu
(misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada
toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi.
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip kerjanya semua
sama, terdapat perbedaan yang nyata antara mesin generasi lama dan baru, dalam terapi
batu ureter. Pada generasi baru titik fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan
flouroskopi, sehingga memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu
ureter. Hal ini yang tidak terdapat pada mesin generasi lama, sehingga pemanfaatannya
untuk terapi batu ureter sangat terbatas. Meskipun demikian mesin generasi baru ini
juga punya kelemahan yaitu kekuatan tembaknya tidak sekuat yang lama, sehingga
untuk batu yang keras perlu beberapa kali tindakan.
Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi obat penangkal
nyeri. Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan dikenakan gelombang kejut untuk
memecahkan batunya Bahkan pada ESWL generasi terakhir pasien bisa dioperasi dari
ruangan terpisah. Jadi, begitu lokasi ginjal sudah ditemukan, dokter hanya menekan
tombol dan ESWL di ruang operasi akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang
atau telungkup sesuai posisi batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah akan keluar
bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan dapat langsung pulang.
ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis. Pada Tahun 1971,
Haeusler dan Kiefer memulai uji coba secara in-vitro penghancuran batu ginjal
menggunakan gelombang kejut. Tahun 1974, secara resmi pemerintah Jerman memulai
proyek penelitian dan aplikasi ESWL. Kemudian pada awal tahun 1980, pasien pertama
batu ginjal diterapi dengan ESWL di kota Munich menggunakan mesin Dornier
28
Lithotripter HMI. Kemudian berbagai penelitian lanjutan dilakukan secara intensif
dengan in-vivo maupun in-vitro. Barulah mulai tahun 1983, ESWL secara resmi
diterapkan di Rumah Sakit di Jerman. Di Indonesia, sejarah ESWL dimulai tahun 1987
oleh Prof.Djoko Raharjo di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi
terbaru Perancis ini sudah dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti
Rumah Sakit Advent Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis yaitu
elektrohidrolik, piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing generator
mempunyai cara kerja yang berbeda, tapi sama-sama menggunakan air atau gelatin
sebagai medium untuk merambatkan gelombang kejut. Air dan gelatin mempunyai sifat
akustik paling mendekati sifat akustik tubuh sehingga tidak akan menimbulkan rasa
sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut
antara 15-22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat
dipecahkan oleh ESWL, masih harus ditinjau efektivitas dan efisiensi dari alat ini.
ESWL hanya sesuai untuk menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm
serta terletak di ginjal atau saluran kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali
yang terhalang oleh tulang panggul). Hal laim yang perlu diperhatikan adalah jenis batu
apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu yang keras (misalnya kalsium
oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan. ESWL tidak boleh
digunakan oleh penderita darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan darah dan
fungsi ginjal, wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga
harus dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan terjadi kerusakan pada
ovarium. Meskipun belum ada data yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun
sebaiknya diinformasikan sejelas-jelasnya
3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu
saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari
saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu
dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai energi hidraulik,
energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
29
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang
berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem
kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih
dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
PNL yang berkembang sejak dekade 1980-an secara teoritis dapat digunakan sebagai
terapi semua batu ureter. Tapi dalam prakteknya sebagian besar telah diambil alih oleh
URS dan ESWL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan
melekat masih ada tempat untuk PNL. Prinsip dari PNL adalah membuat akses ke kalik
atau pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut kita masukkan
nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil
secara utuh atau dipecah dulu.
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti dapat diambil atau
dihancurkan; fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas.
Prosesnya berlangsung cepat dan dengan segera dapat diketahui berhasil atau tidak.
Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi. Sebagian besar
pusat pendidikan lebih banyak menekankan pada URS dan ESWL dibanding PNL.
b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan
alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
c. ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah tidak bisa
untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu
seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu
tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat
tersebut.
d. ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat
keranjang Dormia).
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis terapi
batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan
pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter. Juga batu ureter dapat diekstraksi
langsung dengan tuntunan URS. Dikembangkannya semirigid URS dan fleksibel URS
telah menambah cakupan penggunaan URS untuk terapi batu ureter.
4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan-
tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan
30
melalui pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi
atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk
batu di ureter. Tidak jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau
pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah
(pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami pengkerutan akibat batu
saluran kemih yang menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan.
Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi
pada flank, dorsal atau anterior. Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada
batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita
dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar.
5. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter terkadang memegang
peranan penting sebagai tindakan tambahan dalam penanganan batu ureter. Misalnya
pada penderita sepsis yang disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu.
Juga pada batu ureter yang melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang tidak kalah
pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan
batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.
2.11 Prognosis
Setelah episode nephrolithiasis, risiko kekambuhan tinggi: setelah melewati batu
ginjal pertama, pasien memiliki risiko 15% untuk mengembangkan batu kedua dalam
setahun dan berisiko hampir 50% dalam waktu 10 tahun. Untuk memperkirakan risiko
kekambuhan, Rule et al memperkenalkan nomogram ROKS yang ditunjukkan pada
Gambar 1. Menggunakan 11 gambaran klinis dan faktor risiko pasien individual,
nomogram memperkirakan risiko kekambuhan simtomatik setelah kejadian pertama
dan mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapat manfaat dari medis intervensi.5
31
32
Daftar Pustaka
1. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.
2. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US: FA Davis
Company; 2007.
3. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill Companies; 2001.
4. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. EGC:
Jakarta
5. Pfau, Anja MD, et al. 2016. Update on Nephrolithiasis : Core Curriculum 2016. Core
Curriculum in Nephrology. AJKD
6. Purnomo, Basuki. 2007. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Sagung seto: Jakarta
7. MedCrave. 2017. Nephrolithiasis – An updated Review in Relation to Diagnosis,
Prevention, and Treatment. Open Access Journal of Translational Medicine and
Reaserch.
8. http://medicastore.com/penyakit/90/Batu_Saluran_Kemih.html. akses tanggal 28
September 2011.
9. Purnomo, Basuki 2010. Dasar-dasar Urologi. edisi ketiga. Sagung seto: Jakarta
10. Soeparman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Hlmn 378. Balai Penerbit FKUI
: Jakarta
11. Sjamsuhidayat. De jong, wim. Buku ajar ilmu Bedah. Hlmn 1024-1034. EGC :
Jakarta.
12. http://www.emedicine.com/med/topic1599.htm/nefrolitiasis. akses tanggal 28
September 2011.
13. Glenn, James F. 1991. Urologic Surgery Ed.4. Philadelphia : Lippincott-Raven
Publisher.
14. Oswari, Jonatan; Adrianto, Petrus. 1995. Buku Ajar bedah, EGC: Jakarta
15. Rasyad, Syahriar, dkk. 1998. Radiologi Diagnostik, Ed.4, Balai Penerbit FKUI:
Jakarta.
16. Shires, Schwartz. Intisari prinsip – prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC : Jakarta. 588-589
17. http://www.aku.edu/akuh/health_awarness/pdf/Stones-in-the-Urinary-Tract.pdf. akses
tanggal 28 September 2011.
33