Geologi Dan Studi Analisis Jenis Struktur Lipatan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 138

GEOLOGI DAN STUDI ANALISIS JENIS STRUKTUR LIPATAN

BERDASARKAN INTERLIMB ANGLE DAN HINGESURFACE


DAERAH MALAUMKARTA DAN SEKITARNYA
DISTRIK MAKBON KABUPATEN SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT

SKRIPSI

Oleh :
FRANSISKUS K POILADO
04 321 002

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI DAN KEBUMIAN
UNIVERSITAS SAINS DAN TEKNOLOGI JAYAPURA

JAYAPURA

2011
GEOLOGI DAN STUDI ANALISIS JENIS STRUKTUR LIPATAN
BERDASARKAN INTERLIMB ANGLE DAN HINGESURFACE
DAERAH MALAUMKARTA DAN SEKITARNYA
DISTRIK MAKBON KABUPATEN SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT

FRANSISKUS K POILADO
04 321 002

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI DAN KEBUMIAN
UNIVERSITAS SAINS DAN TEKNOLOGI JAYAPURA

JAYAPURA

2011
HALAMAN PERSETUJUAN

GEOLOGI DAN STUDI ANALISIS JENIS STRUKTUR LIPATAN


BERDASARKAN INTERLIMB ANGLE DAN HINGESURFACE
DAERAH MALAUMKARTA DAN SEKITARNYA
DISTRIK MAKBON KABUPATEN SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
Pada Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknologi Industri dan Kebumian
Universitas Sains dan Teknologi Jayapura

Oleh:
FRANSISKUS K POILADO
04 321 002

Disetujui oleh :

Dosen pembimbing I Dosen pembimbing II

Lukman N Reliubun, M.Eng Theodora Ngaderman, ST


HALAMAN PENGESAHAN

GEOLOGI DAN STUDI ANALISIS JENIS STRUKTUR LIPATAN


BERDASARKAN INTERLIMB ANGLE DAN HINGESURFACE
DAERAH MALAUMKARTA DAN SEKITARNYA
DISTRIK MAKBON KABUPATEN SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam rangka memperoleh
gelar Sarjana Teknik Geologi Fakultas Teknologi Industri dan Kebumian
universitas Sains dan Teknologi Jayapura

Oleh:
FRANSISKUS K. POILADO
04 321 002

Telah disetujui dan disahkan pada ujian meja


Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknologi Industri dan Kebumian
Universitas Sains dan Teknologi Jayapura

Pembimbing I Pembimbing II

Lukman N Reliubun, M.Eng Theodora Ngaderman, ST

Penguji

1. Penguji utama : Roberth Awie, MT (....................................)

2. Penguji anggota : Theodora Ngaderman, ST (....................................)

Mengetahui, Mengesahkan,
Fakultas Teknologi Industri dan Kebumian Program Studi Teknik Geologi
Dekan Ketua

Samuel P. Siregar, MT Lukman N Reliubun, M.Eng


HALAMAN MOTO

“Segala Perkara Dapat Kutanggung Didalam Dia


Yang Memberikan Kekuatan Kepadaku”
( Filipi 4 : 13 )

“Karena Masa Depan Sungguh Ada dan


Harapanmu Tidak Akan Hilang”.
(Amsal 23:18)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Kepada ALlah, sang kasih agung “


Tugas akhir ini kupersembahkan kepada :

 Bapak dan Mama tercinta “Vester Poilado dan Fransina” Fadan mereka
adalah Pahlawanku yang selalu membimbing aku didalam doa agar setiap
langkahku dipimpin oleh sang penebus dosa Yesus Kristus.
 Kakak – kakak ku : Kk Fransiska.Poilado, Noldy Maynary, Martinus Smy dan
Lindawati Osok, Yahan Malalu dan Adomina Osok, Estepanus
Mambringgofok dan Yohan Osok, Luter Gisim dan Natalia Anggaloli.
 Kekasih ku : Elda Lorina Su, yang selalu mendampinggiku dalam suka
maupu duka.
 Adik – adik ku : Daniel. Poilado, Christin Sawaki, Theresia. Poilado dan
Lukas. Poilado.
 Keponakan – keponakanku : Fredi Smy, Fredrik. Smy, Alex Smy, Novela.
Smy, Neles. Smy, Sonya Smy, Yahya. Malalu, Sepi. Malalu, Safira Malalu,
Lodia. Malalu, Daniel. Malalu,: Efendi Mambringgofok, Dina,
Mambringgofok, Salo. Mambringgofok, Farlin Gisim, Basten. Gisim, yang
imoet “ Christin Maynary"
 Om dan sekeluarga : (Om Marthen. Fadan, tanta Yuli. Hu dan Sarah. Smy, Kk
Vince. Fadan, Bapa ade Abu. Ulim dan Anak Salomo. Ulim, Frengki. Fadan,
Sipora. Fadan, Delince. Fadan, Abdon Fadan, Mesia. Fadan, Ian. Fadan dan
Delano. Fadan), (Om Manase. Fadan, tanta Korina. Samolo dan Hagar.
Kokmala, adik Sereptura. Fadan, Valentina. Fadan, Papua. Fadan), (Om
Dominggus. Fadan, tanta Rahel. Dam, adik Yakob. Fadan, Yusup. Fadan,
Marcelin. Fadan, Dora. Fadan), (Om Soleman. Fadan, tanta Jasia, adik Juita.
Fadan, Satri. Fadan, Brian. Fadan), (Om Sadrak. Fadan, tanta Rahel. Semugu,
adik Ina. Fadan, Maklon. Fadan, Demas. Fadan, Else. Fadan), (Om Jefri.
Fadan, tanta Yakoba. Kokmala, adik Ulis. Fadan, Eka. Fadan), (Om Petrus.
Fadan tanta Sandra. Korwa)
 Bapak Lurans. Su dan Mama Naomi. Do, adik Mike. Su, Yulce. Su, Kostan.
Su, Refael. Su.
 Sahabatku Elon. Fadan, tanta Linda. Kolin, adik Diego. Fadan.
 Almamaterku USTJ.

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan perlindungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan peyusunan Skripsi ini
dengan baik.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Industri dan
Kebumian, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura
Skripsi ini berjudul “ Geologi dan Studi Analisis Jenis Struktur Lipatan
berdasarkan Interlimb Angle (sudut dalam) dan Hingesurface (bidang sumbu
lipatan) daerah Kampumg Malaumkarta dan Sekitarnya Distrik Makbon
Kabupaten Sorong Propinsi Papua Barat”
Pada kesempatan ini Penulis juga inigin menyampaikan ucapan terima kasih
Kepada :
1. Samuel P. Siregar.MT Selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri dan
Kebumian Universitas Sains dan Teknologi Jayapura.
2. Lukman N. Reliubun. M.Eng Selaku Ketua Program Studi Jurusan Teknik
Geologi Fakultas Teknologi Industri dan Kebumian Universitas Sains dan
Teknologi Jayapura.
3. Bapak, Fredrick S. Howay, ST Selaku dosen Pembimbing
4. Seluruh Staf Dosen dilingkungan Program Studi Teknik Geologi Fakultas
Teknologi Industri dan Kebumian Universitas Sains dan Teknologi
Jayapura.
5. Adik – Adikku (Caken. Mulu, Marlon. Nauw, Ifan. Ohee, Yanto.
Rumbewas, Q-lo “2006”) (Jimmy. Kalasuat, Fay. Ugaje, Andreas.
Asmuruf 2009”) yang telah membantu dan memfasilitasi penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
6. Tiem Mapping Geologi (Nelson. Su, Yance. Magablo, Terianus, Raymon.
Mobalen, Matius. Mobalen).
7. Rekan – rekan “ Ompreng 2004”, Erick H. Beda, ST. Allen Saiba, ST;
Lidya. Wakum, ST; Jimmy Korwa, Frengky. Malak, Jimmy Yaas, dan
Elon Fadan yang senasib dan seperjuangan dalam bangku perkuliahan.
8. Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Dalam penulisan Skripsi ini, Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat
kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran kritik dari pembaca
guna penyempurnaan Skripsi ini.
Demikian skripsi ini penulis ajukan, semoga dapat menjadi sumber informasi.
Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Jayapura, 04 Januari 2010

Penulis


Fransiskus K. Poilado

SARI
Laporan ini merupakan hasil pemetaan Geologi di daerah Malaumkarta
dan sekitarnya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat. Secara
Astronomis, daerah ini terletak pada kedudukan 131o31’00” – 131o35’00” Bujur
Timur dan 0o46’00” – 0o50’00” Lintang Selatan, dengan luas daerah peneltian
adalah 7 x 8 km atau sekitar 56 Km2 pada skala peta 1 : 25.000.
Geomorfologi daerah Malaumkarta dan sekitarnya terdiri dari satuan
bentang alam perbukitan bergelombang struktural, satuan bentang alam
perbukitan denudasional, satuan pedataran fluvial dan satuan pedataran marine.
Berdasarkan singkapan batuan yang dijumpai di lapangan, maka
stratigrafi daerah ini dikelompokan berdasarkan keseragaman ciri fisik,
komposisi, dominasi serta hubungan antar litologi menjadi tujuh satuan batuan
yang secara berurutan dari tua ke muda adalah satuan batuan granit, satuan
batuan Batulempung pasiran, satuan serpentinit, endapan asal marine dan
endapan aluvial.
Kondisi geologi yang nampak saat ini di Malaumkarta adalah implikasi
dari aktifitas geologi yang berlangsung sejak Kala Eosen-Oligosen akhir hingga
Miosen awal akibat kolisi lempeng samudera Pasifik dan lempeng benua
Australia yang menyebabkab obduksi Utara-Selatan dan terangkatnya busur
muka lempeng samudera ke atas busur lempeng benua yang disertai erosi
tektonik dan pemalihan batuan dengan protolit busur kontinen dan kerak
samudera. Selama obduksi berlangsung, sejak awal Kala Oligosen hingga Miosen
tengah terjadi pengangkatan sehingga batuan granit yang berumur karbon awal
teangkat ke permukaan, sementara proses pengangkatan terjadi, proses
sedimentasi pun berlangsung pada cekungan muka busur sehingga mengahsilkan
batulempung pasiran dan selama proses sedimentasi pada cekungan muka busur,
diikuti pengangkatan yang terus berlanjut hingga Kala Pliosen sehingga
mengakibatkan batuan kerak samudra serpentinit terangkat dan muncul ke
permukaan yang merupakan puncak dari fase tektonik.
Dua proses tektonik terakhir ini bertanggung jawab membentuk struktur
lipatan Kalain yang kemudian menyebabkan gaya kompresif utara – selatan
sehingga membentuk struktur sesar anjak Teluk Dore.
Pada Kala Holosen iklim kemudian berperan menghasilkan pelapukan dan
erosi sehingga memungkinkan suksesi geologi kuarter berupa transportasi
material didarat sebagai endapan fluvial yang masuk ke cekungan pengendapan
didarat oleh aktivitas transport disungai dalam bentuk dataran banjir dan dari
aktivitas arus dilaut sebagai dataran pasang surut membentuk endapan aluvial
asal marine dan masih giat hingga saat ini,
Potensi bahan galian dijumpai hanya pada daerah shore line dari daerah
penelitian berupa endapan pasir.
Kata Kunci : Geologi, Analisis Jenis Struktur Lipatan, Interlimb Angle,
Hingesurface,Kabupaten Sorong.
ABSTRACT
This report is the result of geological mapping in the area and
surrounding Malaumkarta, Makbon District, Sorong in West Papua Province. In
Astronomically, this area lies in the position 131o31'00 "- 131o35'00" East
Longitude and 0o46'00 "- 0o50'00" south latitude, with an area of a study area is
7 x 8 km or about 56 km2 on the map scale 1: 25,000.
Malaumkarta local geomorphology and the surrounding landscape unit
consists of undulating hills of the structural, landscape unit denudational hill,
units plain plain fluvial and marine units.
Based on rock outcrops found in the field, the stratigraphy of this area can
be sorted by the uniformity of physical characteristics, composition, dominance
and the relationship between lithology into seven rock units that sequentially from
old to young is a unit of granite, sandy claystone lithologies, serpentinite unit, the
sediment from marine and alluvial deposits.
Geological conditions which appear today in Malaumkarta are the
implications of geological activity that took place since the Eocene-Oligocene
Kala end until the early Miocene due kolisi Pacific oceanic plates and continental
plates obduksi menyebabkab Australia's North-South and the lifting arc oceanic
plate faces upward arc continental shelf accompanied by tectonic erosion and
pemalihan protolit arc rocks with continental and oceanic crust. During obduksi
progress, since the early Oligocene to Miocene Kala was going on so that the
appointment of an old granite teangkat initial carbon to the surface, while the
appointment process occurs, the process of sedimentation also took place in the
forearc basin that produces a rich sandy claystone and during the process of
sedimentation in the forearc basin, followed by the appointment that continues to
Kala Pliocene resulting serpentinite rocks uplifted oceanic crust and come to the
surface which is the peak of tectonic phases.
Two recent tectonic processes responsible for forming the Gulf factoring
Kalain fold which then causes the compressive force northeast - southheast to
form sesar Anjak Teluk Dore.
In times of Climate Holosen then act to produce the weathering and
erosion, allowing a quarter of a succession of geological material transportation
on land as fluvial sediments that enter the basin of deposition on land by river
transport activity in the form of flood plains and of the current activities at sea as
the tidal plains formed from marine sediment and still active today,
Potential minerals are found only on the shore line area of the research area of
sand deposition.

Keyword : Geologi, Analysis of type fold Interlimb Angle Hingesurface


Kabupaten Sorong.
DAFTAR ISI
Halaman judul

Halaman Tujuan

Halaman Pengesahan

Halaman Moto

Halaman Persembahan

Kata Pengantar ....………………………………………………………...... i

Sari ................................................................................................................ iii

Abstract ......................................................................................................... iv

Daftar Isi ......………………………………………………………………. v

Daftar Gambar ....………………………………………………………....... ix

Daftar Tabel .....……………………………………………………………. xii

Daftar Foto .................................................................................................... xiii

Daftar Lampiran............................................................................................. xvi

Bab 1 Pendahuluan ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang …………………………………………….... 1

1.2. Maksud dan Tujuan ................................................................ 2

1.3. Letak, Luas dan Kesampaian Daerah ………………............. 2

1.4. Waktu dan Kesamapian Daerah............................................... 4

1.5. Metode Penelitian ................................................................... 5

1.5.1 Tahap Persiapan .......................................................... 5

1.5.2 Tahap penelitian lapangan........................................... 5

1.5.3 Tahap Analisa Laboratorium ...................................... 6

1.5.4 Tahap Pemetaan Ulang................................................. 6


1.5.5 Tahap penyusunan skripsi .......................................... 6

1.6. Alat dan Bahan ...................................................................... 8

1.7 Peneliti Terdahulu .................................................................. 8

Bab 2 Geomorfologi .................................................................................. 11

2.1. Geomorfologi Regional ............................................................ 11

2.2. Geomorfologi Daerah Penelitian ............................................... 13

2.2.1. Satuan Perbukitan Struktural (S8)................................ 16

2.2.2. Satuan Perbukitan Denudasional (D1)........................... 19

2.2.3. Satuan Pedaataran Fluvial (F10) .................................... 22

2.2.4. Satuan Pedataran Asal Marin (M13) ............................. 24

2.3. Sungai ........................................................................................ 25

2.3.1 Klasifikasi Sungai.......................................................... 25

2.3.2 Pola Aliran Sungai........................................................ 26

2.3.3 Tipe Genetik Sungai..................................................... 27

2.3.4. Tahapan Sungai............................................................ 29

2.4 Stadia Daerah Malaumkarta..................................................... 31

Bab 3 Stratigrafi ....................................................................................... 33

3.1. Stratigrafi regional .................................................................... 33

3.2. Stratigrafi Daerah Malaumkarta Dan Sekitarnya....................... 35

1.2.1 Satuan Batulempung......................................................... 36

1.2.1.1 Litologi................................................................ 38

2.2.1.2 Penentuan Umur dan Penafsiran Lingkungan


Pembentukan.................................................. 40

2.2.1.3 Hubungan Antara Satuan Batuan......................... 41

2.2.2 Satuan Batuan Granit.......................................................... 41


2.2.2.3 Litologi.................................................................. 42

2.2.2.4 Penentuan Umur dan Penafsiran Lingkungan


Pembentukan..................................................... .. 44

2.2.2.5 Hubungan Antara Satuan Batuan........................ 45

2.2.3 Satuan Batuan Serpentinit.................................................. 46

2.2.3.1 Litologi.................................................................. 46

2.2.3.2 Penentuan Umur dan Penafsiran Lingkungan


Pembentukan.................................................... ... 49

2.2.3.3 Hubungan Antara Satuan Batuan........................ 50

2.2.4 Endapan Aluvial................................................................ 51

2.2.5 Endapan Aluvial Asal Marine................................... 52

Bab 4 Struktur Geologi .............................................................................. 56

4.1.Struktur Geologi dan Tataan Tektonik Regional ........................ 56

4.2.Struktur geologi Lokal Daerah Penelitian ................................... 61

4.2.1 Struktur Lipatan................................................................. 62

4.2.1.1 Lipatan Kalain....................................................... 63

4.2.2 Strkutur Sesar ..................................................................... 65

4.2.2.1 Sesar Anjak Teluk Dore.......................................... 65

4.2.3 Penentuan mekanisme dan umur Struktur.......................... 67

4.2.3.1 Mekanisme............................................................... 67

4.2.3.1.1. Periode I...................................................... 71

4.2.3.1.2 Periode II.................................................... 72

4.2.3.2 Umur......................................................................... 74

Bab 5 Sejarah Geologi .................................................................................... 75

Bab 6 Bahan Galian ...................................................................................... 77


Bab 7 Analisis Jenis Struktur Lipatan Berdasarkan Interlimb
(Sudut dalam) dan Hingesurface (Bidang Sumbu Lipatan)
Daerah Malaumkarta dan Sekitarnya Distrik Makbon
Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat ................................... 80

7.1. Latar Belakang....................................................................... 80

7.2. Maksud dan Tujuan ............................................................... 81

7.3. Batasan Masalah .................................................................... 82

7.4. Metode Penelitian .................................................................. 82

7.5 Tinjauan Pustaka.................................................................... 82

7.5.1 Unsur – Unsur Geometri Lipatan................................. 84

7.5.2 Pengelompokan Lipatan............................................... 86

7.5.3 Hubungan antara Lipatan, Pola Singkapan dan


Topografi..................................................................... 92

7.5.4 Klasifikasi Lipatan...................................................... 95

7.6 Klasifikasi Lipatan pada daerah Penelitian........................... 100

7.6.1 Tahap Pengolahan Data............................................... 100

7.6.2 Tahap Klasifikasi.......................................................... 105

7.7 Kesimpulan............................................................................ 107

Bab 8 Penutup........................................................................................... 108

8.1 Kesimpulan................................................................................ 108

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Indeks Lokasi Lembar Peta.............................................. 3

Gambar 1.2 Petunjuk Nomor Peta....................................................... 3

Gambar 1.3 Batas Daerah Secara administratif................................... 4

Gambar 1.4 Skema Tahap Penelitian.................................................. 7

Gambar 2.1 Lingkungan georgrafi dan bagian-bagian yang


menyerupaiburung............................................................ 12

Gamabr 2.2 Fisiografi Papua (Dow dan Sukamto,1988)..................... 13

Gambar 3.1 Peta geologi sebagian lembar Sorong............................... 34

Gambar 3.2 Korelasi satuan peta lembar sorong.................................. 35

Gambar 4.1 Perkembangan stadia tektonik Papua sejak kala


Eosen hingga Miosen akhir.............................................. 60

Gambar 4.2 Perkembangan stadia tektonik Papua sejak kala


Eosen hingga Miosen akhir.............................................. 60

Gambar 4.3 Asosiasi keterakan elips regional dari prinsip


gerusan Riedel untuk semua jenis deformasi
yang memperlihatkan hubungan antara struktur-
struktur yang terbentuk pada periode I oleh
simple shear mendatar – mengiri..................................... 69

Gambar 4.4 Asosiasi keterakan struktur regional untuk semua


Jenis deformasi yang memperlihatkan hubungan
Antara struktur – struktur yang terbentuk pada
Periode I oleh Pure shear................................................ 70

Gambar 4.5 Proyeksi sterografis dari bidang sesar anjak


Teluk Dore pada stasiun 10 untuk penentuan
Tegasan maksimum yang mempengaruh
Pembentukan struktur geologi pada periode I.................. 72

Gambar 4.6 Mekanisme Pembentukan struktur lipatan


Oleh tegasam maksimum lokal timur –
Barat yang adalah tegasan maksimum
Regional master fault Sorong Yapen................................ 72
Asosiasi keterakan elips regional dari prinsip

Gambar 4.7 Mekanisme Pembentukan struktur sesar anjak Teluk


Dore oleh tegasam maksimum utara –
selatan yang adalah tegasan maksimum
Regional master fault Sorong Yapen................................ 73

Gambar 7.1 Dua (2) macam mekanisme gaya pembentukan


bidang lengkungan........................................................... 83

Gambar 7.2 Unsur geometri utama yang digunakan untuk


Mendeskripsikan suatu lipatan tunggal............................ 86

Gambar 7.3 Beberapa variasi lipatan antiklin....................................... 87

Gambar 7.4 Beberapa variasi lipatan sinklin........................................ 88

Gambar 7.5 Beberapa variasi lipatan didasarkan pada


Sumbu lipatan................................................................... 90

Gambar 7.6 Beberapa variasi lipatan berdasarkan mekanisme


Pembentukan dan perubahan susunan dalamlapisan........ 91

Gambar 7.7 Pola singkapan dengan lipatan tanpa Penunjaman........... 93

Gambar 7.8 Lipatan dengan penunjaman............................................. 94

Gambar 7.9 Hubungan antara kedudukan perlapisan batuan


Dengan topografi............................................................ 96

Gambar 7.10 Klasifikasi lipatan secara dua (2) dimensi


Menurut Fleuty, 1964..................................................... 97

Gambar 7.11 Diagram Klasifikasi Lipatan tiga (3) dimensi


Menurut Fleuty, 1964..................................................... 98

Gambar 7.12 Klasifikasi lipatan menurut Rickard, 1971..................... 99

Gambar7.13a Pengolahan data kedudukan perlapisan batuan.............. 101

Gambar7.13b Perhitungan kerapatan dan pengonturan........................ 102

Gambar7.14 Penentuan sumbu dan sudut dalam


(interlimb) lipatan dengan diagram Pi(π)....................... 103

Gambar 7.15 Penentuan sumbu dan sudut dalam


(interlimb) lipatan dengan diagram Be(β)...................... 104

Gambar 7.16 Penentuan bidang sumbu lipatan berdasarkan


Diagram Pi (π) dan diagram Be (π)................................ 104

Gambar 7.17 Klasifikasi lipatan secara dua (2) dimensi dengan


Sudut dalam 34o Menurut Fleuty, 1964.......................... 105

Gambar 7.18 Klasifikasi lipatan pada daerah peneltian dengan


Bidang sumbu lipatan N 176o/80, sumbu lipatan
52o, N 356oE dan sudut dalam lipatan 34o...................... 106

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kelas lereng dengan sifat – sifat proses alamiah yang
Kemudian terjadi usulan warna untuk peta serta klasifiksi
secara umum (oleh van Zuidam)............................................. 15

Tabel 2.2 Klasifikasi pewarnaan satuan geomorfologi


(ITC,1986)............................................................................... 16

Tabel 3.1 Penentuan Umur relatif satuan batulempung.......................... 40

Tabel 3.2 Penentuan Lingkungan Pengendapan..................................... 41

Tabel 7.1 Data pengukuran kedudukan perlapisan batuan...................... 100

DAFTAR FOTO
Foto 2.1 Tampak sebagian satuan perbukitan Struktural (x), satuan
Denudasional (xx) dan satuan pedataran asal Marine (xxx).
Difoto pada arah N 280oE relatif barat.................................... 17

Foto 2.2 Kenampakan satuan batulempung pasiran yang


Nampak mengalami pelapukan didaerah
Sungai Kilis difoto pada arah N 180oE relatif ke selatan........ 19

Foto 2.3 Tampak sebagian satuan denudasional


Malaumkarta (xx) didaerah Teluk Dore difoto pada
arah N127oE relatif ke timur.................................................... 20

Foto 2.4 Tampak gerakan tanah tipe luncuran


Didaerah Kwadaz. Difoto pada stasiun ST 24 arah
N 139oE relatif ke timur........................................................... 20

Foto 2.5 Tampak soil feldasperd dengan ketebalan


0 – 2 meter didaerah Malaumkarta. Difoto pada
ST 04 arah N 155oE relatif tenggara........................................ 21

Foto 2.6 Tampak satuan serpentinit yang nampak lapuk


Dan alur – alur erosi didaerah Bainkete. Difoto
Pada ST 36 arah N 194o relatif keselatan................................. 22

Foto 2.7 Tampak Floodpland (dataran banjir) sebagai


Endapan pinggir sungai didaerah sungai Kalain.
Difoto pada ST 66 arah N 225oE relatif ke barat daya........... 23

Foto 2.8 Tampak satuan batulempung pasiran yang


Mengalami pelapukan didaerah sungai Kilis. Di
Foto pada arah N 180oE relatif ke selatan............................... 23

Foto 2.9 Kenampakkan sebagian satuan pedataran asal


Marine didaerah Kwadaz. Difoto pada ST 34 arah
N 271oE relatif barat................................................................ 24

Foto 2.10 Tampak perlapisan satuan batulempung pasiran


Dengan kedudukan N 30oE/48o yang tidak searah dengan arah
aliran sungai didaerah sungai Kilis.
Difoto pada ST 67 arah N 68oE relatif ke Timur laut.............. 28

Foto 2.11 Tampak perlapisan satuan batulempung pasiran


Dengan kedudukan N 130oE/28o yang searah dengan arah
aliran sungai didaerah sungai Kilis. Difoto pada ST 61 arah N
314oE relatif ke Barat laut.................................................... 28

Foto 2.12 Tampak material endapan tengah sungai (Chanel bar)


Dan bentuk sungai “U” didaerah sungai Kalabek.
Difoto pada ST 08 arah N 340oE relatif ke
baratlaut.................................................................................... 30

Foto 2.13 Tampak endpan pinggir sungai dan bentuk Sungai


“U” didaerah dungai Kalain. Difoto pad ST 66
Arah N 149oE relatif ke tenggara............................................. 31

Foto 3.1 Tampak litologi satuan batulempung pasiran


Dengan sisipan batupasir (1 meter) dengan
Kedudukan N 45oE/54o didaerah sungai Kilis 37
Difoto pada ST 54 arah N 120oE relatif ke
Tenggara............................................................................

Foto 3.2 Tampak singkapan satuan batulempung pasiran


Dengan kedudukan N 60o E/44o didaerah sungai
Kilis yang nampak kesan perlapisan. Foto pada 39
ST 52 arah N 265oE relatif baratdaya..............................

Foto 3.3 Kenampakkan mikroskopis satuan batulempung


Pasiran (packstone) pada ST 52 memperlihatkan
Mineral kalsit, mkrit dan fosil........................................... 39

Foto 3.4 Tampak singkapan satuan batuan granit didaerah


Sungai Kalabo. Difoto pada ST 28 N 195oE
Relatif ke selatan...................................................................... 43

Foto 3.5 Kenampakkan mikroskopis satuan batuan granit


ST 28 yang memperlihatkan mineral kuarsa,
plagioklas, muskovit................................................................ 43

Foto 3.6 Tampak singkapan satuan granit didaerah sungai


Kalabo yang nampak lapuk. Difoto pada ST 19
Arah N 180oE relatif ke selatan............................................... 45

Foto 3.7 Tampak singkapan satuan batuan serpentinit


Di daerah Kwadaz . difot pada ST 29 arah N 77oE
Relatif ke timur................................................................. 47

Foto 3.8 Kenampakkan mikroskopis satuan batuan serpentinit


Daidaerah Kwadaz. Difoto pada ST 29 yang
Memperlihatkan mineral serpentin, piroksin, dan opak.......... 48
Foto 3.9 Tampak singkapan satuan batuan serpentinit didaerah
Bainkete, yang terdrformasi, lapuk dan hancur.
Difoto pada ST 35 arah N 165oE relatif ke
Tenggara........................................................................... 48

Foto 3.10 Tampak singkapan satuan batuan serpentinit


Didaerah Sungai Kalawos, nampak terbresikan
Difoto pada ST 03 arah N 133oE relatif ke
Tenggara........................................................................... 49

Foto 3.11 Tampak kontak struktur antara satuan batuan


Serpentinit (xx) dan satuan batuan granit (x) di
Sungai Kalabek. Difoto pada ST 10 arah N 185oE
Relatif ke selatan...................................................................... 51

Foto 4.1 Tampak dragfold pada satuan batulempung


Pasiran didaerah sungai Kalain. Difoto pada ST
55 arah N 74oE relatif ke timur................................................ 64

Foto 4.2 Tampak kedudukan singkapan satuan batulempung


pada stasiun 54,61,77 dan 52 yang menunjukkan
indikasi perlipatan..................................................................... 64

Foto 4.3 Tampak bidang sesar dan gores garis


Pada singkapan satuan batuan serpentinit didaerah
Sungai Kalabek. Difoto pada ST 07 arah N 30oE 66
relatif ke utara........................................................................

Foto 4.4 Kenampakan bidang gerusan breksi dan efek bucking


Pada singkapan batuan serpentinit didaerah sungai
Kalawos. Difoto pada ST 03 N 333oE relatif ke barat........... 67

DAFTAR LAMPIRAN
1. LAMPIRAN TERJILID

Analisis Petrografi perconto batuan ............................................ 112

 Satuan Batuan Granit No 1.............................................. 112

 Satuan Batulempung Pasiran No 2................................... 113

 Satuan Batuan Serpentinit No 3........................................ 114

Penentuan Umur No 4................................................................... 115

Lingkungan Pengendapan No 5.................................................... 116

2. LAMPIRAN DALAM SAMPUL TERPISAH

Peta Lintasan Pemetaan Geologi skala 1 : 25.000

Peta Geomorfologi skala 1 : 25.000

Peta Pola Struktur Geologi skala 1 : 25.000

Peta Geologi skala 1 : 25.000

Peta Sebaran bahan Galian skala 1 : 50.000

Peta Pola Aliran Sungai skala 1 : 50.000

Peta Morfometri skala 1 : 50.000

Kolom Stratigrafi Daerah Malaumkarta skala tidak sebenarnya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Daerah Malaumkarta dan sekitarnya merupakan daerah pemukiman yang

terletak di sepanjang pantai Teluk Dore Distrik Makbon, Kabupaten Sorong

Provinsi Papua Barat. Daerah ini sangat kompleks dengan kondisi geologi baik

secara geomorfologi, stratigrafi dan struktur yang berkembang didaerah ini.

Dengan corak yang berbeda-beda secara bentuk permukaan dan litologi penyusun

dilengkapi dengan corak struktur tekntonik regional.

Geologi yang menggunakan bumi sebagai laboratoriumnya merupakan

ilmu kebumian dan sekaligus merupakan ilmu terapan yang dapat memberikan

sumbangan praktis bagi pembagunan suatu wilayah. Pemetaan geologi dapat

bermanfaat sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan

pembagunan disuatu daerah dengan melihat aspek geologi.

Penelitian geologi dengan studi khusus tentang struktur geologi pada

daerah Kampung Malaumkarta dan sekitarnya Distrik Makbon, Kabupaten

Sorong, Provinsi Papua Barat, diharapkan dalam penerapannya berhubungan

dengan pekerjaan – pekerjaan geologis , khususnya dalam melakukan rekonstruksi

struktur geologi.

Informasi yang akurat tentang kondisi geologi dari suatu daerah sangat

membantu dalam proses pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan

ilmu kebumian.
Dengan alasan tersebut di atas penelitian ini diharapkan dapat menambah

kemampuan penulis dalam bidang geologi dan dapat memberikan informasi dalam

proses pembangunan khususnya pembangunan pada daerah penelitian.

1.2 Maksud dan Tujuan

Penelitian geologi yang dilakukan pada daerah Kampung Malaumkarta

dan sekitarnya dimaksudkan untuk mengadakan pemetaan geologi dengan skala 1

: 25.000.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi dari daerah

yang diteliti, yang meliputi kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi,

bahan galian, sejarah geologi dan klasifikasi struktur lipatan yang terdapat pada

daerah penelitian.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran

tentang kondisi geologi yang telah terjadi dan proses – proses geologi pada masa

yang akan datang.

1.3 Letak, Luas dan Kesampaian Daerah.

Secara administratif daerah penelitian mencakup satu (1) wilayah Distrik

yaitu Distrik Makbon dan tiga (3) Kampung antara lain: Kampung Malaumkarta,

Kampung Kwadaz dan Kampung Bainkete. Daerah penelitan berada pada bagian

selatan dari Distrik Makbon

Secara astronomis daerah penelitian terletak antara 131o 32’ 00’’ - 131o

35’ 00’’ Bujur Timur dan 00o 46’ 00’’ – 00o 50’ 00’’ Lintang Selatan.
Daerah penelitian termasuk dalam regional lembar Sorong dengan lembar

peta 7523 – IV. Luas daerah penelitian adalah 7 x 8 Km atau sekitar 56 Km2.

Namun 3,59 atau 6,41% Km2 adalah daerah laut, maka luas daerah penelitian

yang dipetakan sekitar 51,41 atau 93,59% Km2, daerah ini akan dipetakan dengan

menggunakan peta dasar berskala 1 : 25.000

Gambar 1.1 Indeks Lokas Lembar

Gambar 1.2 Petunjuk nomor peta


Gambar 1.3 Batas Daerah secara Administratif

1.4 Waktu Penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan sejak tanggal 10 Maret - 10 April 2010 yang

meliputi pengambilan data selama kurang lebih satu bulan dengan tahap

pengolahan dan penyusunan skripsi selama enam (6) bulan.

Kesampaian daerah penelitian (aksesibilitas) dapat di capai dengan

menggunakan kapal laut. Lama perjalanan yang di tempuh dengan menggunakan

kapal laut adalah selama tiga (3) hari perjalanan Jayapura – Sorong. Lokasi

pengambilan data dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan bermotor baik

roda dua (2) maupun roda empat (4), dengan jarak kurang lebih 53 Km dari kota

ke stasiun terjauh, dengan kondisi jalan raya yang baik kecuali pada beberapa titik

– titik pengambilan data yang hanya dapat di tempuh dengan berjalan kaki melalui

jalan – jalan setapak dan melintasi sungai.


1.5 Metode Penelitian

Metode peneltian yang dilakukan adalah meliputi pemetaan geologi

permukaan, dengan pengamatan dan pengambilan conto batuan, serta pencatatan

data lapangan yang dilanjutkan dengan analisis dan penulisan skripsi.

Dalam melakukan pemetaan geologi permukaan di lakukan beberapa

tahapan untuk mencapai sasaran atau tujuan dari pemetaan ini, yaitu:

1.5.1 Tahapan Persiapan

Studi pustaka, tahapan ini dilakukan untuk mempelajari laporan

peneliti terdahulu dan teori – teori yang berhubungan dengan

penelitian ini. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keadaan geologi

dan kondisi sosial budaya masyarakat pada daerah penelitian secara

umum.

Pengadaan peta topografi, dengan skala 1: 25.000 dan interval kontur

12,5.

Administrasi atau perizinan, yang meliputi pengurusan administrasi di

kampus dan pengurusan surat izin oleh pemerintah daerah setempat.

1.5.2 Tahapan Penelitian Lapangan

Pemetaan pendahuluan, merupakan orientasi untuk memberikan

gambaran umum tentang daerah penelitian.

Pemetaan detail, tahapan ini merupakan pengumpulan data – data

lapangan yang terdiri data – data geomorfologi, litologi atau

stratigrafi, struktur geologi, bahan galian serta pengambilan gambar

pada lokasi pengamatan yang dianggap mewakili penelitian ini.


1.5.3 Tahapan Analisa Labotorium

Analisis petrografi dan analisis paleontologi secara tidak langsung

oleh penulis tetapi conto batuan di kirim untuk dianalisis di

laboratorium Kampus UGM.

Analisa Struktur Geologi, tahapan ini adalah dengan menganalisa

serta menginterpretasi kondisi struktur geologi daerah penelitian

berdasarkan data yang telah diperoleh di lapangan.

Analisa Geomorfologi, tahapan ini juga merupakan tahapan awal

dalam proses pembuatan peta geomorfologi, dimana dalam tahapan ini

seluruh data geomorfologi yang telah diambil di lapangan dianalisa

untuk penggambaran dalam peta serta dibahas secara sistematis.

1.5.4 Tahapan Pemetaan Ulang

Merupakan suatu tahapan data yang diperoleh dan dianalisa, selanjutnya

dilakukan pengecekan kembali dan sesuai dengan keadaan sesungguhnya

dilapangan.

1.5.5 Tahapan Penyusunan Skripsi

Merupakan tahapan akhir dari rangkaian penelitian dimana dalam tahapan

ini seluruh data dikomplikasikan, yang selanjutnya disusun secara

sistematik berdasarkan kriteria yang ada.


Tahapan
Persiapan

Studi Pengadaan Admnistrasi/


Pustaka Peta Topografi Perizinanan

Tahap
Penelitian Lapangan

Pemetaan Pemetaan
Pendahuluan Detail

Tahap Analisa
Laboratorium

Analisa Analisa Analisa Analisa


Petrografi Paleontologi Geologi Struktur Geomorfologi

Pemetaan
Ulang

Pengolahan
Data

Tahap Peneyelesaian
Skripsi

Skripsi

Gambar 1.3 Skema Tahap Penelitian.


1.6 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang dipergunakan selama melakukan penelitian

dilapangan maupun laboratorium adalah:

Palu geologi

Kompas geologi

Klip board

Loupe

Pita ukur

Komprator butir

Kantong sampel

Larutan HCL (),1)

Peta dasar topografi dengan skala 1 : 25.000

Tas Lapangan

Kamera Digital

GPS

Buku catatan lapangan

Kertas HVS

1.7 Peneliti Terdahulu

Daerah Kampung Malaumkarta dan sekitarnya sebelumnya telah di

petakan oleh beberapa ahli geologi terdahulu, diantaranya:

1. Dow D.B, Robinson G P, Hartono U dan Ratman N, pada tahun 1986,

membuat peta geologi Irian Jaya Indonesia dengan skala 1 : 1.000.000 yang
diterbitkan oleh pusat peneliti dan pengembangan geologi, Departemen

Pertambangan dan Energi, Bandung bekerja sama dengan Bureau Of mineral

Risorces and Energy, Geologi and Geophysies, Departemen Of Risources and

Enhergy, Canbera Australia.

2. Dow D.B, Robinson G P, Hartono U dan Ratman N, pada tahun 1988,

membuat laporan yang berjudul “ Geology Of Irian Jaya” dan diterbitkan oleh

Preliminary geological report, Indonesia – Australia geological Mapping

Project Geological Reseach and Development Center, Indonesia.

3. Direktorat Geologi (Pelopor PPPG) melakukan penyelidikan geologi

pendahuluan.

4. Dengan mendapat persetujuan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1935,

maka Nederlandsche New Gunea petroleum maatchappij (NNGPM) yang

sekarang menghasilkan minyak di Nederlandsche New Guinea dan sekarang

Irian Jaya dibagi menjadi penjajak di Kepala Burung (Sorong).

5. Penyelidikan Geologi Masa lalu didaerah Sorong dilakukan oleh Jawatan

Pemerintah Hindia Belanda meliputi bagian kepala burung Sorong tentang

adanya petunjuk minyak didaerah Klamono dan Klasafet pada tahun 1924.

6. Penyelidikan pola pergerakan sistim sesar sorong, Oleh Tjia (1973 a,b), yang

menyelidiki tentang kelurusan sistim sesar sorong itu merupakan Bancuh dan

kemungkinan terdapat Sumber Daya Mineral dan Energi.

7. Penyelidikan dengan terdapatnya Sumber Daya Mineral Nikel pada pulau

Waigeo dan beberapa pulau dekatnya, oleh PT Pacific Nikel Indonesia, 1969
1973 dan terdapat juga mineral nikel di pulau Fam, oleh Reynolds dan Drr,

1973.

8. Pieters, P E, Ryubun, RJ dan Trail, DS, 1979, membahas mengenai Geology

Reconnaisance Of Irian Jaya.

9. Pieters P E, Pigram C J, Trail, DS, Dow, DB, Ratman N dan Sukamto R, 1983

membahas tentang stratigrafi Irian Jaya.

10. Semua Hasil penyelidikan NNGPM yang bagus dalam Laporan Lengkap dan

disertai peta – peta geologi berskala 1 : 500.000, oleh Viser dan Hermes 1962.

11. Visser dan Hermes, 1962, melakukan penyelidikan Geologi dalam rangka

ekpolorasi Minyak Bumi di Netherland New Guinea (Pupua Sekarang),

dipulikasikan oleh Veth Van Het Koninklijke Netherland Geol Mijn Gennot.
BAB II
GEOMORFOLOGI

2.1 Geomorfologi dan Fisiografi Papua

Lingkungan geografis dan fisiografi Papua terlihat pada gambar 01 dan 02.

Daerah Papua mirip dengan seekor burung dimana daerah – daerahnya terbagi

atas, kepala (Head), Leher (neek), dan Badan (Body). Menurut DOW, et.al, 1988,

geomorfologi regional daerah penelitian terletak pada kepala. Daerah kepala atas

terbagi atas 6 (enam) bagian, yaitu :

“Bukit Bertonjolan” yang berarah timur – timurlaut berkembang di pantai

utara daerah Papua, dan pulau Batanta serta Salawati utara puncak tertingginya,

dibagian utara pulau Salawati, 931 m diatas permukaan laut, dengan timbulan

yang kuat. Sungai Warsamsun, dengan lembahnya yang lebar terbentang sejajar

dengan perbukitan kasar itu, memotong didaratan Papua di timur secara tiba-tiba

15 Km di timur Kota Sorong bertukar arah alirannya, dan sambil mengalir dari

sana ke Samudra Pasifik di utara, menoreh jurang terjal. Setempat dibagian bawah

jurang itu berkembang riam dan air terjun. Dipulau Batanta, perbukitan yang kasar

sepanjang pantai utara tercirikan oleh sisi selatan yang curam dan lereng utara

yang landai.

“Lembah Antargunung” sesuai dengan dua lembah yang terpengaruh

akibat struktur pensesaran dibagian timurlaut daratan Papua. Lembah Warsamsun

dan lembah Dore Hum (di barat teluk Dote Hum). Lembah Warsamsun

berdampingan dengan sistem sesar Sorong. Lembah itu ditempati dengan sungai
Warsamsun yang banyak kelokannya, lebar sungainya sekitar ± 100 meter.

Diatasnya terdapat penutupan endapan danau berupa lumpur, pasir, kerikil dan

gambut yang terhampar luas.

“Perbukitan dan pegunungan Mengkeras” berkembang pada batugamping

yang tersingkap dipegunungan Morait dibaratdayanya, dipulau Batanta bagian

tengah dan barat, dan pulau mansure. Medan itu dikuasai oleh tonjolan dan

lekukan sempit memanjang, puncak tertingginya sekitar 1183 m diatas permukaan

air laut.

“Daerah perbukitan Rendah” yang meluas ke barat meliputi daerah

salawati menempati jalur yang berarah ke barat sampai kebaratdaya meliputi

bagian tengah dataran Papua di Kampung Klasaman dan Lapangan minyak

klamogun, mencangkup gugusan kepulauan Fam.

Gambar 2.1. Lingkungan geografi dan bagian


bagian yang menyerupai burung dari pulau Papua
Gambar 2.2. Fisiografi Papua (DOW &
SUKAMTO, 1988)

2.2 Geomorfologi Daerah Malaumkarta dan Sekitarnya

Geomorfologi adalah salah satu cabang ilmu geologi yang mempelajari

tentang bagaimana bentuk lahan atau bentuk bentang alam suatu daerah, proses-

proses geologi yang mempengaruhinya, asal mula proses pembentukannya

(“genesis”) dan kaitanya dengan lingkungan dalam ruang dan waktu.

Pengelompokan satuan geomorfologi secara umum sangatlah bervariasi

hal ini dipengaruhi oleh aspek – aspek geologi yang menjadi dasar dalam

pengelompokan bentang alam.

Untuk membagi morfologi suatu daerah para ahli telah membuat beberapa

pendekatan yaitu dengan cara membuat beberapa klasifikasi. Klasifikasi ini

didasarkan pada aspek-aspek geologi tertentu yang dipergunakan sesuai dengan

kebutuhannya. Berdasarkan hasil penelitian Thornbury, 1969, geomorfologi suatu


daerah harus didasarkan atas beberapa faktor-faktor geologi yaitu stadia, jenis

batuan dan struktur geologi. Terdapat dua (2) macam proses yang mempengaruhi

pembentukan bentang alam yaitu:

Proses eksogen, merupakan proses yang terjadi pada permukaan bumi dan

bersifat meratakan, proses ini terjadi pada masa sekarang.

Proses endogen, merupakan proses yang berasal dari dalam bumi dan

bersifat membangun. Proses ini berlangsung pada masa lampau yang

mempengaruhui jenis batuan dan struktur geologi.

Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian didasarkan atas

beberapa klasifikasi tergantung tujuan dan aplikasi. Pengklasifikasian berdasarkan

kelas lereng dengan sifat proses dan kondisi alamiah serta klasifikasi relief antara

lain oleh Van Zuidam (1985 & 1986).


Tabel 2.1.Kelas lereng dengan sifat–sifat proses, kondisi alamiah yang
kemungkinan terjadi dan usulan warna untuk peta serta klasifikasi
secara umum (diringkas dari Van Zuidam, 1985 dan 1986).
Kelas Lereng Sifat – Sifat, Kondisi Alamiah dan Satuan Relief Warna
0º - 2º Datar sampai hampir datar, tidak ada proses
Hijau
( 0 – 2 %) denudasi yang berarti
2º - 4º Agak miring, gerakan tanah kecepatan rendah,
Hijau
(2 – 7 %) erosi lembar dan erosi alur. Rawan erosi
muda
(bergelombang/miring landai
4º - 8º Miring sama dengan diatas, tetapi dengan besaran
(7 – 15 %) yang lebih tinggi, sangat rawan erosi tanah Kuning
(begelombang/Miring).
8º - 16º Agak curam; banyak terjadi gerakan tanah dan
(15 – 30 %) erosi, terutama longsor yang bersifat mendatar Jingga
(berbukit bergelombang/ miring).
16º - 35º Curam ; proses denudasi intensif, erosi dan gerakan Merah
( 30 – 70 % ) tanah sering terjadi (berbukit tersayat tajam) muda
35º - 55º Sangat Curam; Batuan umumnya mulai tersingkap,
( 70 – 140 %) proses denudasi sangat intensif, sudah mulai
Merah
menghasilkan endapan rombakan
(koluvial).(pegunungan tersayat tajam)
> 55º Curam sekali; batuan tersingkap; proses denudasi
( >140 %) sangat kuat, rawan jatuhan batuan, tanaman yang Ungu
tumbuh (terbatas), (pegunungan/sangat curam).

Ada pula klasifikasi yang menggunakan simbol warna daerah untuk

morfogenesa (table 2.2), yang kebanyakan digunakan juga sebagai acuan dalam

pengklasifikasian. Sistem ini adalah klasifikasi ITC (International Institute

Aerospace Survey and Earth Science) (Vestappen & Van Zuidam, 1986).

Klasifikasi ini dapat menguraikan bahwa untuk menginterpertasi geomorfologi

suatu daerah harus memperhatikan beberapa gatra yaitu morfogenesa, morfologi,

morfokronologi dan morfoarasemen kemudian dihubungkan dengan batuan

pembentuknya. Untuk mengambarkan kondisi geomorfologi suatu daerah agar

terwakili bisa dilakukan dengan cara menampilkan warna, lambang, huruf dan

garis.
Tabel.2.2. Klasifikasi pewarnaan satuan geomorfologi (ITC.1986)

Bentuk Asal Warna

Struktural Ungu

Vulkanik Merah

Denudasional Coklat

Marine Hijau

Fluvial Biru tua

Glacial Biru muda

Aeolian Kuning

Karts Orange

Berdasarkan sistem klasifikasi ITC (1986), pembagian satuan morfologi

suatu daerah hendaknya memuat aspek relief dan genetik. Maka satuan

geomorfologi daerah penelitian dapat terbagi menjadi empat (4) satuan yaitu.

1. Satuan Perbukitan Struktural Sungai Kilis

2. Satuan Perbukitan Denudasional Malaumkarta

3. Satuan Pedataran Fluvial Klain

4. Satuan Pedataran asal Marine

2.2.1 Satuan Perbukitan Struktural Sungai Kilis.

Satuan ini menempati hampir sebagian besar daerah penelitian, yaitu

sekitar 43,09 % dari daerah penelitian dengan luas areal 22,15 km². Satuan
perbukitan struktural Kilis secara genetis dikategorikan kedalam subsatuan

perbukitan lipatan (S1) (Van Zuidam, 1983, dalam Handayana et al., 1994).

Satuan ini sebagian besar terletak didaerah sungai Kilis dan Kilus, membentang

dari timur ke barat dan relatif melebar ke selatan dari daerah penelitian.

Berbatasan langsung dengan satuan pedataran fluvial Kalain dan satuan pedataran

denudasional Malaumkarta. Bentuk relief curam dengan nilai presentase antara 30

- 70 % yang terletak pada ketinggian 100-350 meter dengan ketinggian absolut

575 meter dari permukaan air laut. Secara umum satuan ini dikontrol oleh struktur

pengkekaran, dan perlipatan. Satuan geomorfologi ini di dominasi oleh satuan

batulempung .

X
XX

XXX

Foto. 2.1 Tampak sebagian satuan struktural (x),


satuan denudasional (xx), dan satuan Asal Marine
(xxx) pada daerah Kampung Malaumkarta dan
sekitarnya. Difoto pada arah N 280oE relatif ke
Baratlaut.

Satuan geomorfologi ini dicirikan oleh tekstur permukaan yang sedang

hingga terjal, dimana bentuk lembah dan puncak pada satuan ini berbentuk “V”

tumpul hingga “U”. Pada peta topografi memperlihatkan pola kontur yang rapat
dan melingkar, beberapa puncak, beberapa titik – titik elevasi tanpa garis kontur.

Sifat batuan yang kurang resisten menyebabkan tingkat pelapukan yang cukup

tinggi, hal ini ditunjukan dengan oleh ketebalan soil 1- 3 meter

Aktivitas aliran permukaan menyebabkan proses erosi yang berkembang

pada satuan ini cukup kuat dimana erosi vertikal lebih dominan dibandingkan

dengan erosi lateral. Tingkat erosi yang cukup tinggi dapat dilihat dari banyaknya

alur-alur erosi dan adanya aliran air permukaan berupa aliran sungai yang

menghasilkan erosi vertikal maupun lateral. Pada sungai peringkat muda banyak

dijumpai erosi ke hulu sampai ke ranting-ranting sungai yang akan menambah

luas cekungan hidrografinya.

Tingkat pelapukan yang berkembang terutama pelapukan fisika ditandai

dengan dijumpai kenampakan satuan batulempung yang mengalami pelapukan.

Selain itu pelapukan yang tinggi ditandai juga dengan tebal soil dari beberapa

sentimeter di beberapa tempat dan dapat mencapai ketebalan maksimum. Keadaan

soil pada daerah penelitian sebagian besar dikontrol oleh keadaan iklim yang

panas serta vegetasi yang lebat.

Pergerakan masa batuan juga terjadi pada beberapa tempat, khususnya

pada lereng – lereng yang terjal hal ini disebabkan karena proses pelapukan

sehingga batuan terpecah dalam bentuk bongkah – bongkah yang jatuh karena

gaya berat batuan tersebut, juga aktivitas sesar dan lipatan yang melalui satuan

tersebut. Hal ini nampak dari beberapa stasiun pengamatan dijumpai hancuran

batuan dan pergerakan masa batuan maupun tanah.


Foto 2.2 Kenampakan Satuan Batulempung Pasiran
yang nampak mengalami pelapukan fisika pada
daerah Sungai Kilis difoto arah N 180oE relatif ke
Selatan.

2.2.2 Satuan Perbukitan Denudasional Malaumkarta

Satuan ini menempati hampir sebagian besar daerah penelitian sekitar

18,02 Km2 dari total luas daerah penelitian. Satuan ini menempati sebagian besar

daerah penelitian dibagian utara dan berbatasan dengan satuan perbukitan

struktural dibagian selatan melampar dari timur - barat pada daerah penelitian.

Secara genetis satuan ini dimasukan sebagai subsatuan perbukitan denudasional

(D2) (Van Zuidam, 1983). Satuan perbukitan denudasional ini ditunjukkan

dengan adanya lereng-lereng dengan kemiringan curam hingga landai dengan

persentase kemiringan lereng 2% -70%, pada ketinggian 12- 575 meter diatas

permukaan air laut. Bentuk puncak dominan cembung, namun sebagian masih

nampak meruncing dan bentuk lereng yang masih berbentuk “V” dan setempat

berbentuk “ U “.
Proses geomorfologi yang bekerja berupa pelapukan, erosi dan gerakan

tanah (“land slide” ) nampak pada satuan morfologi ini (foto 2.4).

XX

Foto 2.3 Tampak sebagian satuan denudasional


Kampung Malaumkarta didaerah teluk Dore. Difoto
pada ST 82 arah N 127oE relatif ke tenggara.

XX

Foto 2.4 Kenampakan gerakan tanah tipe luncuran


(xx) didaerah Kwadaz difoto pada arah N 139oE
relatif ke timur
Aktifitas pelapukan juga sangat tinggi, dibuktikan dengan ketebalan soil

antara 1-5 meter disepanjang alur-alur erosi, alur-lur sungai dan punggungan

perbukitan. Tingkat pelapukan yang dominan adalah pelapukan fisika, dibuktikan

dengan, dijumpainya pelapukan pada satuan litologi batuan serpentinit dan satuan

batuan Granit . Hal ini dicirikan dengan jenis soil feldasperd yang berwarna coklat

kemerah – merahan merupakan asosiasi dari unsur feromagnesium (foto 2.5).

XX

Foto 2.5 Kenampakan Soil feldasperd (xx) dengan


ketebalan 0 – 2 meter pada daerah Kampung
Malaumkarta. Difoto pada arah N 155oE

Setempat-setempat juga nampak alur-alur erosi berupa sheet erosion

dengan kedalaman antara 0 - 50 sentimeter, lebar 10 sentimeter (foto 2.6). Litologi

penyusun dari satuan geomorfologi ini adalah satuan batuan serpentinit dan satuan

batuan granit. Tata guna lahan, satuan ini dijadikan oleh masyarakat setempat

sebagai lokasi pertanian, perkebunan.


XX

Foto 2.6 Kenampakan Satuan serpentinit yang


nampak mengalami pelapukan fisika (xx) & alur-alur
erosi (x) didaerah Kampung Bainketa . Difoto pada
arah N 194oE relatif ke tenggara.

2.2.3 Satuan Pedataran Fluvial Klain

Satuan geomorfologi ini terlatak di bagian selatan dari daerah penelitian

memanjang dari tmur- barat . Secara genetis, satuan ini termasuk dalam subsatuan

“floodplain” dan sungai (F3) (Foto 2.7) (VAN ZUIDAM, 1983). Satuan

pedataran fluvial ini menempati luasan sekitar 17,89% atau 9,20 Km2 Satuan ini

ditandai dengan bentuk topografi yang landai – hampir datar sampai datar pola

kontur pedataran dengan kemiringan lereng antara 0-2%, berada pada ketinggian

0-50 meter dari permukaan air laut dan tergenang pada waktu debit air sungai

meningkat. Satuan ini didominasi oleh vegetasi yang heterogen berupa hutan,

rumput dan semak belukar. Litologi penyusun merupakan endapan aluvial hasil

pelapukan dari batuan yang telah ada sebelumnya yaitu batulempung. Proses –

proses geologi yang berkembang pada daerah ini adalah erosi, dimana erosi lateral
lebih dominan dibadingkan dengan erosi vertikal. Hal ini ditandai dengan mulai

berkeloknya sungai pada daerah selatan dari daerah penelitian. Oleh masyarakat

setempat dijadikan sebagai daerah berburu dan meramu makanan, daerah ini

masih merupakan daerah yang jarang untuk dikunjungi.

Foto 2.7 Kenampakan floodpland (dataran banjir)


pada sungai Kalain yang mana juga merupakan
endapan pinggir sungai (pointbar) Difoto pada arah
N 225oE relatif ke barat daya.

Foto 2.8 Kenampakan satuan batulempung pasiran


yang nampak lapuk didaerah sungai Kilis. Difoto
pada arah N 180oE relatif ke selatan.
2.2.4 Satuan Pedataran Asal Marine

Satuan geomorfologi ini terletak di wilayah pesisir Teluk Dore. Secara

genetik satuan ini termasuk dalam subsatuan dataran aluvial pantai tergenang

(M13). (VANZUIDAM, 1983, dalam Handayana et al., 1994). Satuan pedataran

asal marine terletak di bagian utara daerah penelitian dan berbatasan langsung

dengan satuan Denudasional Malaumkarta dibagian selatan, dengan luas wilayah

sekitar 3,97% dari luas daerah penelitian atau sekitar 2,04 Km2.

Satuan ini merupakan daerah pedataran dengan kemiringan lereng antara 0-

2%. Berada pada ketinggian antara 0-12,5 meter dari permukaan air laut di

dominasi oleh vegetasi yang hetorogen berupa hutan bakau dan rumput alang -

alang. Litologi penyusun berupa endapan pasir yang merupakan material hasil

pelapukan dari batuan granit yang telah ada sebelumnya dan endapan sungai yang

kemudian telah tertransport kembali ke daratan pada saat pasang atau bila terjadi

tidal flood kemudian terendapkan di daerah pantai membentuk suatu daratan.

XXX

XX

Foto 2.9 Kenampakan sebagian satuan asal marine


(xxx) dan satuan denuadisonal (xx) di daerah
Kampung Kwadas. Difoto pada stasiun 34 N 271oE
relatif ke Barat
Oleh pemerintah dan masyarakat telah dibangun pemukiman penduduk

selain itu di daerah ini juga oleh Pemerintah dan Masyarakat setempat dijadikan

sebagai areal wisata.

2.2.3 Sungai

Pembahasan sungai didaerah penelitian mencakup klasifikasi, pola aliran,

tipe genetik, stadia sungai dan tahap perkembangan sungai sehingga dapat

diketahui stadia daerah penelitian.

2.3.1 Klafikasi Sungai

Berdasarkan debit air sungai yang mengalir pada daerah penelitian maka,

sungai-sungai yang ada didaerah penelitian dibagi menjadi dua yaitu sungai

periodis dan sungai episodis. Sungai periodis adalah sungai yang volume airnya

bertambah pada musim penghujan dan berkurang pada musim kemarau. Sungai

episodis adalah sungai yang hanya mengalir pada musim penghujan dan kering

pada musim kemarau (THORNBURY, 1969).

Sungai-sungai besar yang berada didaerah penelitian seperti Sungai

Kalawilis, Sungai Kalaluk dan Sungai Kalain. Ketiga sungai ini merupakan sungai

periodis dan mengalir melewati satuan litologi batulempung dan satuan morfologi

pedataran Fluvial hingga bermuara ke Sungai Warsamsun. Sungai Kalawilis

merupakan sungai yang berada di bagian barat daya daerah penelitian, kemudian

Sungai Kalain berada dibagian timur daerah penelitian dan Sungai Kalaluk di

bagian tengah dari lokasi penelitian. Sungai – sungai periodis tersebut sangat

berpengaruh dalam pembentukan satuan morfologi pedataran fluvial Kalain.


Sungai - sungai episodis tersebar tidak merata pada lokasi penelitian

dibagian baratlaut, utara dan timur laut daerah penelitian. Sungai – sunagi ini

mengalir melewati satuan batuan serpentinit, satuan mrofologi Denudasional

Malaumkarta dan satuan pedataran asal marine hingga bermuara ke Laut. Sungai

– sungai ini sangat berpengaruh terhadap pembentuk satuan morfologi pedataran

asal marine.

2.3.2 Pola Aliran Sungai

Yang dimaksud dengan pola aliran sungai adalah sistem pengaliran sungai

disuatu daerah yang relatif luas, bisa dapat dikenal langsung dilapangan atau

melalui peta topografi.

Pola aliran yang berkembang pada suatu daerah baik lokal maupun

regional selalu dikontrol oleh kemiringan permukaan, jenis serta kedudukan

batuan yang dilalui, dan kerapatan vegetasi serta kondisi iklim.

Kemiringan topografi disini dapat dikontrol oleh litologi, struktur geologi,

kondisi erosi dan sejarah geomorfik dari cekungan pola pengaliran (VAN

ZUIDAM, 2983 dan THORNBURY, 1969). Penentuan jenis pola aliran sungai

pada daerah penelitian mengacu kepada tipe atau jenis batuan yang ada dibawah

atau struktur geologi yang mengontrolnya (A.D. HOWARD, 1967 dalam VAN

ZUIDAM, 1986). Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisis peta

topografi maka, diketahui bahwa pola aliran sungai yang berkembang didaerah

penelitian adalah pola aliran dendritik dan pola aliran Trelis


Pola aliran dendritik adalah pola aliran sungai yang cabang-cabangnya

menyerupai struktur pohon. (A. D. HOWARD, 1967 dalam VAN ZUIDAM,

1983). Pola aliran dendritik berkembang dibagian baratlaut, utara dan timurlaut

daerah penelitian meliputi daerah Kampung Malaumkarta, Kampung Kwadaz,

Bainkete dan sekitarnya. Pola aliran sungai ini melewati satuan batuan serpentinit

dengan kemiringan lereng sedang hingga terjal.

Pola aliran Trelis adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar (trellis)

dan dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan sinklin dan antilin. Sungai

trellis dicirikan oleh saluran – saluran air yang berpola sejajar, mengalir searah

kemiringan lereng dan tegak lurus dengan saluran utamanya. Pola aliran ini

terdapat pada bagian selatan dari daerah penelitian. Pola aliran sungai ini

cenderung berarah utara - selatan dan bermuara langsung diSungai Warsamsun.

Sungai-sungai ini mengalir dan melawati diatas satuan batulempung, dan endapan

aluvial pada daerah Sungai Kalaluk dan Sungai Kalain.

Pola aliran ini sedikit dikontrol oleh struktur kekar dan lipatan

disamping itu dipengaruhi juga oleh kemiringan lereng dan iklim didaerah

penelitian yang beriklim tropis.

2.3.3 Tipe Genetik Sungai

Menurut SAMPURNO, 1894 dan THORNBURY, 1986, penentuan suatu

tipe genetik sungai harus didasarkan pada hubungan antara kedudukan perlapisan

batuan terhadap arah aliran sungai, dalam hal ini batuan sedimen normal dengan

arah aliran.
Dengan demikian, sehingga tipe genetik sungai ideal akan nampak pada

sungai-sungai yang melewati batuan sedimen dengan kemiringan perlapisan

batuan yang baik.

Foto 2.10 Tampak perlapisan pada satuan


Batulempung pasiran dengan kedudukan N 30/48 0 E
yang tidak searah dengan arah aliran sungai. Difoto
pada ST. 67 arah N 680E.dan arah aliran sungai N
134E

Foto 2.11. Tampak perlapisan pada satuan


Batulempung pasiran dengan kedudukan N 45/440
yang searah dengan arah aliran sungai. Difoto dari
ST. 6 Kearah N 680E.
Sungai- sungai yang berada didaerah penelitian dan mengalir melewati

batuan sedimen yaitu Sungai Kalaluk, Sungai Kalawilis dan Sungai Kalain,

sehingga jelas terdapat suatu tipe genetik sungai tertentu. Dengan demikian tipe

genetik sungai yang berkembang dilokasi penelitian dikategorikan sebagai tipe

genetik sungai Konsekuen dan Subsekuen.

2.3.4 Tahapan Sungai

Tahapan atau stadia sungai dapat diartikan sebagai tingkat perkembangan

sungai disuatu daerah dengan berbagai proses dan corak sehingga dapat

membangun perkembangan stadia tersebut.

Stadia sungai suatu daerah dapat diketahui dengan cara memperhatikan

beberapa aspek geomorfologi yaitu memperhatikan hasil kerja dari gaya-gaya

eksogen yang bekerja didaerah penelitian seperti bentuk topografi, lembah sungai

dan endapan material aluvial.

Perkembangan stadia suatu sungai juga ditentukan oleh berbagai faktor

yaitu topografi, resistensi batuan dasar terhadap erosi, kehadiran struktur, vegetasi

dan iklim. (SHARPE, 1983 dalam THORNBURY, 1969).

Berdasarkan beberapa faktor-faktor perkembangan sungai, maka stadia

sungai daerah penelitian dapat dikategorikan kedalam tahapan dewasa menjelang

tua. Tahapan tersebut dapat ditentukan berdasarkan hasil penelitian lapangan

dengan ciri-ciri berupa:

1. Gradien sungai besar sampai dengan sedang. Sungai yang bergradien

besar yaitu sungai-sungai yang berada dibagian selatan daerah


penelitian dan bermuara ke Sungai Warsamsun, sedangankan sungai-

sungai yang bergradien sedang berada bagian utara daerah penelitian

dan bermura di laut.

Foto 2.12 Tampak material endapan tengah sungai


(Chanel Bar) (x) dan bentuk sunagai “ U” didaerah
sungai Kalabek Difoto pada arah N 340 E relatif
baratdaya.

2. Dominan erosi lateral dibeberapa sungai bergardien besar. Namun

pada daerah hulu dan beberapa percabangan sungai lainnya masih

memperlihatkan erosi vertikal. Nampak erosi vertikal berimbang

dengan erosi horizontal disertai dengan sedimentasi setempat-

setempat.

3. Profil sungai berbentuk huruf “ V dan U”

4. Dibeberapa sungai kecil dijumpai sungai berlembah sempit sehingga

memiliki kontur sangat rapat atau tebingnya curam


XX

Foto 2.12. Tampak material endapan pinggir sungai


(Point Bar) (x) dan bentuk sunagai “ U” (xx)
didaerah sungai Kalabek Difoto pada arah N 149 E
relatif tenggara.

5. Pada beberapa sungai-sungai besar dibagian utara mengalir meleawti

satuan morfologi pedataran asal marine dan dihulu sungai dijumpai

pemukiman penduduk, tetapi kearah hilir sungai sudah tidak dijumpai

daerah pemukiman penduduk.

6. Sungai - sungai besar dibagian selatan mengalir melewati satuan

geomorfologi pedataran Fluvial Klain.

2.4 Stadia Daerah Malaumkarta dan Sekitarnya.

Stadia daerah penelitian di tentukan berdasarkan pada stadia erosi dan

pelapukan, yaitu berbagai proses lanjutan yang dialami daerah tersebut mulai dari

saat terangkat hingga terjadinya perataan. Hal ini terlihat dari tingkat erosi yang di

tentukan oleh stadia sungai dan kenampakan morfologi permukaan


(THORNBURY, 1969). Dari hasil pembahasan diatas diperoleh data – data antara

lain:

Kenampakan bentang alam daerah penelitian berupa perbukitan dan sedikit

pedataran, bentuk puncak cembung, bentuk lembah menyerupai ” V ”

halus hingga ” U ” lebar, lereng yang terjal hingga landai.

Sungai – sungai yang mengalir pada daerah penelitian berstadia muda

menjelang dewasa.

Proses pelapukan yang dominan dibandingkan dengan proses erosi,

sehingga mudah dijumpai singkapan batuan.

Berdasarkan ciri yang nampak di lapangan, yaitu seperti yang telah

dibahas di atas, maka daerah penelitian disimpulkan berada pada tahapan muda

menjelang dewasa.
BAB III
STRATIGRAFI

3.1. Stratigrafi Regional

Secara regional, stratigrafi daerah penelitian menurut Ch.Amri, B H

Harahap (GRDC). P E. Pieter & G M Blandon (BMR) dalam Geologi Regional

Lembar Sorong, Irian Jaya, 1990 masuk kedalam 7 Formasi yaitu : Bancuh Tak

Terpisahkan Didalam Sistem Sesar Sorong (SFx), Kalsilutit didalam sesar sorong

(SFc), Batuan Ultramafik Didalam Sistem Sesar Sorong (SFu), Batuan Gunung

Api Dore(Tmdo), Batugamping Faumai (Tef), Ql dan Qa.

Penjelasan tiap formasi berturut-turut berdasarkan umur formasi dari yang

muda ke tua seperti dijelaskan di bawah ini.

1. Qa (Endapan Alluvium dan Litoral) pasir, kerikil, lumpur, bahan

tumbuhan dan gambut

2. Ql (Endapan Danau) lumpur, pasir, kerikil, dan gambut.

3. SFx (Bancuh Tak Terpisahkan Didalam Sistem Sesar Sorong) Terdiri

atas : Bancuh sesar terdiri dari kepingan dan matriks terutama berasal

dari sumber asing tetapi juga dari Blok Tambarau dan blok Kemum.

Batuan yang sering terdapat : Batugamping, Batulumpur gampingan,

Arenit litik, Arenit kuarsa, Konglomerat, Arkosa, Sedimen Malih, dan

setempat Serpentinit, Peridotit, Piroksinit, Batuan gunung api mafik,


4. SFc (Kalsilutit didalam sesar sorong) : Terdiri atas Kalsilutit,

Batugamping Mikritik, Breksi Batugamping, sedikit Kalsirudit.

5. SFu (Batuan Ultramafik Didalam Sistem Sesar Sorong) : Terdiri atas

Serpentinit, Piroksinit, Gabro dan Basal.

6. Tmdo (Batuan Gunung Api Dore) Terdiri atas : Lava, Breksi Lava, Tufa

Andesitan sampai basalan dan batuan gunung api klastika, tubuh kecil

terobosan diorite.

7. Tef (Batugamping Faumai) terdiri atas : Kalkarenit, Batulumpur

Gampingan, sedikit Konglomerat.

Gambar 3.1 Peta geologi sebagian lembar Sorong,


diadaptasi dari Ch.Amri, B.H Harahap (GRDC), P.E
Pieters, & G.M. Bladon (BMR), 1990, Bandung
Gambar 3.2 Korelasi satuan peta lembar Sorong,
diadaptasi dari Ch.Amri, B.H Harahap (GRDC), P.E
Pieters, & G.M. Bladon (BMR), 1990, Bandung

3.2. Stratigrafi Daerah Malaumkarta dan Sekitarnya

Secara umum, litologi daerah penelitian disusun oleh batuan beku, batuan

sedimen dan endapan permukaan yang tidak terkonsilidasi dari hasil aktivitas

sungai dan pasang surut air laut. Setiap batuan pada daerah penelitian memiliki

ciri tersendiri dan sifat litologinya.

Satuan litologi pada daerah penelitian merupakan satuan yang terdapat

didalam sistem sesar Sorong dan merupakan jalur bancuh (Tjia,1973b),

mencangkup kepingan batuan sedimen klastika, karbonat, granit, dan ultramafik

dan batuan gunung api, dengan ukuran yang berkisar dari kerakal sampai bongkah
dengan panjang beberapa kilometer. Kepingan itu menempati kedudukannya yang

satu terhadap yang lain sekarang ini disebabkan oleh pergerakan sistem sesar

sorong antara Miosen Akhir sampai Kuarter. Beberapa bongkah ini nisbi dan

terpadu, terpetakan dalam skala 1: 250.000, dan nyata berasal dari geologi yang

berdampingan yaitu bongkah Kemun dan bongkah Tambrau.

Menurut William, Tuner dan Gilbert (1982) batuan beku adalah batuan

yang terbentuk karena proses pembekuan magma. Batuan sedimen adalah batuan

yang terbentuk dari material – material yang telah terbentuk sebelummnya akibat

proses pelapukan, erosi dan transportasi yang kemudian diendapkan pada

cekungan sedimentasi, terkonsilidasi dengan material–material organik.

Pembagian dan penamaan batuan pada daerah penelitian berdasarkan atas

satuan litostratigrafi tidak resmi (Sandi Stratigrafi Indonesia,1996), yang

bersendikan pada ciri fisik serta dominasi litologi, yang meliputi jenis batuan,

keseragaman ciri litologi di lapangan, dan dapat dipetakan pada skala 1 : 25.000.

maka satuan batuan penyusun daerah penelitian dibagi dalam 5 satuan yang

diurutkan dari tua ke muda adalah satuan batulempung (packstone), satuan batuan

granit, satuan batuan serpentinit, serta endapan aluvial dan endapan asal marine.

3.2.1. Satuan Batulempung (Packstone)

Satuan ini terletak dibagian selatan dari lokasi penelitian (Lampiran peta

goologi), satuan ini berbatasan langsung dengan satuan batuan serpentinit dan

endapan aluvial . Satuan ini melampar relatif memanjang dari timur - barat
berbatasan langsung dengan satuan batuan serpentinit di bagian barat, utara-

timurlaut dan endapan aluvial di bagian tenggara, selatan- baratdaya.

Satuan batuan ini menempati luasan sekitar 22.30 Km2 atau 43.38% dari

total luas daerah penelitian. Satuan batuan ini merupakan bagian dari satuan

geomorfologi perbukitan struktural sunagi Kilis. Satuan ini tersingkap bersamaan

dengan satuan litologi batupasir yang berukuran antara pasir sedang – pasir kasar.

Hanya saja kenampakkan lapangan dari ketebalan litologi batupasir ini tidak

memenuhi syarat untuk dijadikan satuan tersendiri sehingga satuan ini di masukan

menjadi anggota dari satuan litologi batulempung.

X XX X XX

Foto. 3.1 Tampak litologi batulempung pasiran (X)


dan sisipaan batupasir (XX) dengan kedudukan N
45oE/54o didaerah sungai Kilis. Difoto pada ST 54
arah N 120oE relater ke tenggara.
3.2.1.1 Litologi

Penamaan satuan batuan ini didasarkan atas ciri fisik litologi berupa

tekstur, struktur dan komposisi mineral sebagai landasan untuk penamaan satuan

batuan ini. Dalam kondisi segar di lapangan, batuan ini menunjukkan warna

coklat kemerahan dan bila dalam keadaan lapuk berwarna coklat kehitaman

sampai abu-abu. Ukuran butir lempung – pasir sedang , membulat sampai

membulat tanggung. Tekstur klastik dengan struktur berlapis, meskipun

kenampakan lapangan tidak terlalu jelas. Nama lapangan dari satuan litologi ini

adalah batulempung pasiran. Kenampakan mikroskopis sayatan tipis (ST. 52)

batulempung bertekstur klastik, grain-supported, ukuran butir 0- 0,2 mm, tersusun

atas mikrit (lumpur karbonat) dan butiran kalsit, dan fosil. Mikrit, berwarna

coklat, warna interferensi coklat kekuning-kuningan, ukuran butir <0.01 mm,

kehadiran melimpah, penyebaran merata (41%). Kalsit, tidak berwarna, warna

interferensi putih, ukuran butir 0.05 – 0.1 mm, bentuk butir subangular-

subrounded, kehadiran melimpah, penyebaran merata (47%). Fosil, berwarna

kecoklat-coklatan, ukuran 0.05 – 0.1 mm, kehadiran cukup melimpah, penyebaran

merata (12%). Penamaan mikroskopis dari conto batuan ini adalah “Packestone”

(Dunham, 1962) (foto 3.3).


Foto. 3.2. Tampak singkapan satuan batulempung
pasiran dengan kedudukan N 60oE/44o didaerah
sungai Kilis yang nampak kesan berlapis. Difoto
pada stasiun 52 N 265oE relatif baratdaya.

Foto : nikol bersilang


A B C D E F G H I J K L M N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Foto. 3.3 Kenampakan mikroskopis


“packestone” (ST. 52) memperlihatkan mineral
kalsit, mikrit dan fosil
3.2.1.2 Penentuan Umur dan Penafsiran Lingkungan Pengendapan

Penentuan umur pada satuan litologi ini didasarkan pada analisa data

lapangan, analisa fosil dan disebadingkan dengan regional lembar daerah sorong.

Kondisi lapangan bila dilakukan percobaan dengan larutan asam klorida (HCL)

satuan batulempung akan bereaksi atau gecos, maka diketahui bahwa batuan ini

mengandung karbonat. Data analisis fosil menunjukan satuan litologi ini berumur

Miosen Tengah bagian atas – Miosen Akhir bagian Tengah yang mana telah

ditunjukan pada zonasi Blow berkisar antar N13 – N17, (lihat tabel 3.1). Satuan

litologi ini juga disebandingkan dengan regional lembar daerah Sorong yang mana

satuan ini merupakan formasi Sfc, didalam sistem sesar Sorong terdiri dari

Kalsilutit kelabu gelap sampai terang, batugampping mikritan kelabu, breksi

batugamping, dan sedikit kalsirudit putih. Dengan mengacu pada bukti – bukti

diatas maka dapat ditafsirkan umur satuan litologi ini berumur Miosen Tengah

bagian atas – Miosen Akhir bagian Tengah. Satuan litologi ini terendapkan

dilingkungan pengendapan laut zona netritik Luar dengan kedalaman antara 100-

3000 meter (Wringht dan Boltovsky, 1979)(table 3.2).

MIOSEN
KUARTER

OLIGOSEN PLIOSEN SPESIES FORAMINIFERA


PLANTONIK

Bawah Tengah Atas

) ,
Orbulina universa D ORBIGNY)

) ,
Globorotalia menardi D ORBIGNY)

)
Globigerinoides conglobatus BRADY)
)
Globigerina seminulina SCHWAGER)

N 21 N 22
6
N 11 N 13 N1 6 6
BLOW, 1 6
6
N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N N 10 N 12 N 14 N 15 N 16 N 17 N 18 N 20 N 23

Tabel 3.1 Penentuan Umur Relatif Satuan Batulempung ST 52


)
L in g ku n g an P e n g e n d ap an B o lto vs ky an d W r ig h t, 17 6 )
Z on a Z on a N e rit ik Z o n a N er itik Z o na N e r itik B at hy al Ba th y a l
S P E S IE S F O R A M IN IF E R A T r an s is i Te p i Te n ga h Lu a r A ta s - Te n ga h A ta s
B E N T O N IK
0 0 - 3 0 M tr 3 0 - 1 0 0 M tr 1 0 0 - 13 0 M tr 1 3 0 - 3 0 0 0 M tr 3 0 0 0 - 5 0 0 0 M tr

G y p s in a S P

M a rgi on op ora S P

L e p y d o y c l in a S P

M yo gi psi na S P

K is a r an K ed al am an Z o n a N er itik Lu a r

Tabel 3.2 Penentuan Lingkungan Pengendapan ST 52

3.2.1.3. Hubungan Antara Satuan Batuan

Hubungan satuan batulempung dengan batuan yang ada diatasnya yaitu

satuan batuan granit merupakan hubungan ketidakselarasan yang merupakan

sentuhan tektonik dan merupakan satuan batuan yang tertua di daerah penelitian

dari batuan lainnya.

3.2.2. Satuan Batuan Granit

Penyebaran satuan batuan ini menemapti bagian tengah dari satuan

serpentinit yang mana hanya merupakan kepingan – kepingan atau bongkah yang

yang berukuran beberapa centimeter hingga kilometer pada lokasi penelitian, dan

merupakan bagian dari satuan perbukitan Denudasional Malaumkarta dengan luas

wilayah 1.27 km² atau sekitar 2.23 % dari luas wilayah daerah penelitian.

Ketebalan satuan ini tidak dapat diukur karena bagian bawah dari satuan ini tidak

tersingkap dengan jelas di lapangan. Satuan batuan ini berasal kumpulan granit
Melaiurna yang merupakan kemagmaan Granit pada Zaman Awal Karbon – Trias

yang menyusup dan terangkat kembali ke permukaan oleh proses tektonik kedua

yang melibatkan daerah Papua secara keseluruhan yaitu orogenesa melanesia.

3.2.2.1 Litologi

Berdasarkan ciri fisik dan asosiasi batuan disekitarnya yang dihubungkan

dengan penyebaran batuan secara regional, maka satuan ini termasuk dalam

satuan batuan granit sorong yang berasal dari formasi granit Melaiurna yang

berumur Zaman Karbon Awal - Trias (Visser & Hermers, 1962). Kenampakan

satuan batuan granit ini telah deformasi dan tergeruskan kuat sehingga tidak masif

atau tidak kompak, satuan ini mengalami tingkat pelapukan yang tinggi hal ini

ditandai dengan ketebalan soil antara 1 - 1,5 m dibandingkan dengan satuan

batuan yang lain, dan merupakan ciri nyata bahwa satuan ini terdeformasi dan

tergeruskan kuat selama masa pengangkatan.

Sayatan tipis memperlihatkan tekstur holokristalin, dengan ukuran kristal

0.1 – 0.8 mm, bentuk butir kristal , tersusun atas mineral kuarsa, plagioklas,

muskovit, dan grafit. Kuarsa, tidak berwarna, warna interferensi putih, ukuran 0.1

– 0.4 mm, bentuk butir euhedra, kehadiran melimpah, penyebaran merata.

Plagioklas, tidak berwarna, warna interferensi putih keabu-abuan, ukuran 0.2 – 0.5

mm, bentuk butir euhedral, kehadiran cukup melimpah, penyebaran merata.

Muskovit, tidak berwarna, warna interferensi kuning kehijau-hijauan, ukuran 0.2 –

0.8 mm bentuk euhedral, kehadiran melimpah, penyebaran merata. Penamaan

mikroskopis dari conto batuan ini adalah Granit (foto 3.5)


Foto 3.4 Tampak satuan batuan granit di daerah
sungai Kalabo Difoto pada stasiun 19 N 180o E
relatif ke selatan

Foto : nikol bersila


A B C D E F G H I J K L M N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Foto 3.5 Kenampakkan mikroskopis satuan


batuan granit ST 19 yang memperlihatkan
mineral kuarsa, plagioklas dan muskovit.
3.2.2.2 Penentuan Umur dan Penafsiran Lingkungan Pembentukan

Berdasarkan ciri fisik batuan disekitarnya dan dihubungkan dengan

penyebaran batuan secara regional, maka satuan ini termasuk dalam kelompok

satuan batuan Granit Sorong yang berasal dari kepingan-kepingan atau bongkah

dari formasi Granit Melaiurna yang berumur Karbon awal – Trias (Visser &

Hermers, 1962). Yang mana kepingan itu menempati kedudukan yang satu

terhadap yang lain sekarang ini disebabkan oleh pergerakan sistem sesar sorong

antara Miosen Akhir sampai Kuarter. Beberapa bongkah ini nisbi dan terpadu,

terpetakan dalam skala 1: 250.000, dan nyata berasal dari geologi yang

berdampingan yaitu bongkah Kemun dan bongkah Tambrau. Berdasarkan bukti-

bukti tersebut sehingga diperkirakan satuan batuan ini berumur sekitar Miosen

Akhir bagian atas.

Kenampakan lapangan menunjukan bahwa satuan batuan granit selalu

berada dan tampak sebagai bongkah yang berukuran dari beberapa centimeter

sampai kilometer pada satuan batuan serpentinit. Pada stasiun 19 dan 28 di daerah

sungai Kalabo dijumpai singkapan satuan batuan granit sebagai bongkah muncul

dipermukaan dan pada stasiun 10 didaerah sungai Kalabek dijumpai singkapan

satuan batuan granit bersentuhan langsung dengan satuan batuan serpentinit yang

merupakan sentuhan tektonik dalam hal ini kontak struktur. (foto 3.11)

Lingkungan pembentukan ditentukan berdasarkan kenampakan lapangan

dan terutama komposisi mineral – mineral silika yang menunjukkan indikasi

sebagai mineralogi batuan dasar yang berasal dari batuan intrusi pada kerak

benua.
Berdasarkan kenampakkan secara keseluruhan menunjukkan bahwa satuan

batuan granit merupakan kepingan –kepingan dari batuan intrusi granit Melaiurna

yang menyusup dan terangkat oleh proses orogenesis melanesia yang melibatkan

daerah papua secara keseluruhan yang mana terjadi pengangkatan secara besar –

besaran berkisar antara Miosen Tengah – Miosen Akhir dan puncaknya pada

Pliosen Tengah sehingga proses tektonik kedua inilah yang bertanggung

mengangkat satuan batuan granit yang telah menyusup muncul ke permukaan.

Foto 3.6 Tampak singkapan satuan batuan garnit


didaerah sungai Sungai Kalabo yang nampak lapuk.
Difoto pada stasiun 28 N 195oE relatif ke selatan

3.2.2.3. Hubungan antara satuan batuan

Hubungan satuan batuan granit dengan satuan batuan yang lebih tua di

bawahnya berupa sentuhan struktur dimana batas sentuhan selalu merupakan

bidang gerusan. Namun dengan satuan yang lebih muda di atasnya, satuan
serpentinit, endapan aluvial dan endapan asal marine adalah hubungan

ketidakselaran.

3.2.3 Satuan Batuan Serpentinit

Penyebaran satuan ini hampir dominan jika dibandingkan dengan satuan

batuan lainnya di daerah penelitian. Satuan ini terdapat relatif di bagian barat,

baratlaut-utara hingga timurlaut-timur daerah penelitian. Pada bagian tenggara dan

barat dari satuan ini berbatasan langsung dengan satuan batulempung (Packstone).

Dimana dapat dijumpai juga batuan Dunit yang merupakan bagian dari kelompok

peridotit, namun penyebaran dari batuan ini tidak luas sehingga batuan tersebut

dimasukkan ke dalam satuan batuan serpentinit.

Satuan batuan serpentinit membentuk dan menjadi bagian dari satuan

geomorfologi perbukitan denudasional Malaumkarta dengan luasan sekitar 35.97

km² atau sekitar 35.97% dari luas daerah penelitian. Ketebalan satuan ini tidak

terukur, karena bagian bawah singkapan ini tidak tersingkap jelas di lapangan.

3.2.3.1 Litologi

Penamaan satuan batuan ini didasarkan pada ciri litologi batuan tersebut

yang meliputi tekstur, struktur dan komposisi mineral. Pada kondisi segar di

lapangan, batuan ini menunjukan warna hijau kecoklatan hingga agak keabuan,

namun bila lapuk berwarna coklat kemerahan hingga agak kehitaman tekstur

porfiritik hingga afanitik dengan struktur batuan berbeda di beberapa tempat.

Komposisi mineral umumnya mineral-mineral primer seperti mineral olivin dan


mineral piroksen telah mengalami perubahan akibat proses metamorfosa derajat

rendah menjadi mineral klorit dan mieneral serpentin, namun didominasi oleh

mineral serpentin, berdasarkan kondisi tersebut maka di lapangan batuan ini

dinamakan batuan serpentinit.

Deskripsi sayatan tipis memperlihatkan tekstur mesh, tersusun atas

serpentin, piroksen, mineral opak. Serpentin, tidak berwarna, warna interferensi

putih, berbentuk fibrous yang membentuk tekstur mesh pada batuan ini, kehadiran

sangat melimpah, penyebaran merata.Piroksen, tidak berwarna hingga kecoklat-

coklatan, warna interferensi kuning kemerah-merahan, piroksen pada batuan ini

sudah terubah sebagian, kehadiran melimpah, penyebaran merata. Mineral opak,

berwarna coklat kehitam-hitaman, ukuran 0.2 – 0.3 mm, kehadiran kurang

melimpah, penyebaran kurang merata. (foto 3.8). Kondisi fisik batuan yang

tampak tergeruskan, terkekarkan sangat kuat seperti dijumpai pada stasiun 35, 03

dan stasiun lainnya (foto 3.9 dan 3.10).

Foto 3.7 Tampak Singkaapan Serpentinit di daerah


Kwadaz. Difoto pada stasiun 29 arah N 77oE relatit
ke timur.
Foto : nikol bersilan
A B C D E F G H I J K L M N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Foto 3.8 Kenampakkan mikroskopis satuan


serpentinit yang memperlihatkan mineral
serpentin, piroksin, dan opak.

Foto 3.9.Tampak singkapan satuan serpentinit di


daerah Baikete yang mana tidak masif lagi dan
nampak terkekarkan. Di foto pada stasiun 35 N 165o
E relatif ke tenggara.
Foto 3.10 Tampak singkapan satuan batuan
serpentinit di daerah Sungai Klawos, Nampak
terbreksi. Difoto pada stasiun 03 N 1330 relatif ke
tenggara.

3.2.3.2 Penentuan Umur dan Lingkungan Pengendapan

Berdasarkan ciri fisik dan asosiasi batuan sekitarnya yang dihubungkan

dengan penyebaran batuan secara regional, maka satuan ini termasuk dalam

batuan Ultramafik (um) yang berumur Pliosen Ch.Amri, B.H Harahap (GRDC),

P.E Pieters, & G.M. Bladon (BMR), 1990. Kenampakan satuan serpentinit yang

umumnya terkekarkan, terbreksi, tergerus, hancur dan telah lapuk ditandai

dengan soil yang tebal dibandingkan dengan satuan yang lain, merupakan ciri

nyata bahwa satuan ini telah terdeformasi kuat didalam sistem sesar sorong

selama proses pengangkatan dan lebih muda dari satuan batuan lain yang ada di

daerah penelitian. Menurut para ahli seperti Wilson, M., 1989, Girardeau, J. et. al.,
2005, dan Nockolds, S. R., 1978, sepakat bahwa batuan ini terbentuk pada

kedalaman lebih dari 4 km. Batuan ini berasal dari lapisan mantel atau selubung

bumi yang keluar melalui pusat-pusat pemekaran lantai samudera dan merupakan

asosiasi produk dari “axial rift valley” pada batas lempeng divergen dari lempeng

samudera.

Secara umum batuan ini dimasukan ke dalam lingkungan pembentukan

laut dalam karena batuan ini merupakan batuan kerak samudera yang terbentuk

pada punggungan tengah samudera yang kemudian di gerakkan secara perlahan

oleh pemekaran lantai samudera mendekati tepi benua aktif, lalu akan menyusup

kembali ke dalam mantel. Dalam kondisi tertentu, dalam batas lempeng, keratan

lempeng litosfer samudera akan terlepas dan terobdaksikan pada tepian benua atau

busur kepulauan (Permana, H, dan Girardeau, J., 2005). Hal ini nampak pada

daerah penelitian bahwa satuan batuan ini umumnya tidak masif lagi. Maka

sangatlah jelas bahwa satuan ini telah terdeformasi dan terangkat secara perlahan-

lahan dari bawah kerak samudera ke laut dalam terus ke laut dangkal hingga

sekarang nampak di permukaan pada daerah penelitian.

3.2.3.3 Hubungan Antar Satuan Batuan

Terhadap satuan batuan yang berada di bawah dari satuan batuan ini, tidak

diketahui hubungannya secara pasti karena tidak tersingkap di lapangan. Namun

hubungan dengan granit, merupakan sentuhan tektonik, sentuhan ketidak

selarasan dapat dijumpai sentuhan langsung antara satuan serpentinit dan satuan

batuan granit yang merupakan sentuhan struktur pada stasiun 10 dijumpai satuan

yang lebih muda atau satuan serpentinit selalu berada di atas satuan batuan granit
sebagai bukti adanya sentuhan tektonik, dan terhadap endapan aluvial dan

endapan asal marine merupakan hubungan ketidakselaran.

XX

Foto.3.11 Kenampakan kontak struktur antara satuan


batuan granit (XX)dan satuan batuan serpenitin (X)
didaerah Sungai Kalabek. Difoto pada stasiun 10 N
1850 E relatif ke selatan.

3.2.4 Endapan Aluvial

Berdasarkan ciri khas litologi, maka endapan ini dapat dikelompokan

menjadi endapan yang tersusun dari material-material sedimen hasil rombakan

batuan yang lebih tua disebabkan oleh aktifitas sungai dan terendapkan pada

sungai dan merupakan material tengah sungai dan pinggir sungai.

Penyebaran endapan ini di bagian selatan, tenggara - timur dan berbatasan

langsung dengan satuan batulempung pasiran di bagian utara dari daerah

peneltian. Satuan endapan aluvial ini membentuk satuan geomorfologi daerah

pedataran Flvuial sungai Kalain membentuk areal seluas 8.20 Km2 atau 15.95%
dari luas daerah peneletian. Endapan ini tersusun atas material rombakan dari

material sebelumnya berupa batuan ultrabasa dan batulempung pasiran yang

secara umum berukuran bongkah sampai kerikil yang mebundar – membudar

tangguh dengan ketebalan rata-rata 25 meter.

Hubungan stratigrafi dengan satuan yang lebih tua di bawahnya adalah

ketidakselarasan disconformity, yaitu dengan adanya bidang erosi sebagai indikasi

adanya selang waktu penegendapan maupun pembentukan. Umur endapan ini

adalah Holesen dengan proses sedimentasi di lingkungan rawa (darat). Bila

disebandingkan dengan stratigrafi regional, maka satuan ini termasuk dalam

Formasi Quarter Danau (Ql) yang berumur Holosen tersusun oleh material-

material lempung, pasir, kerakal dan gambut dengan lingkungan pengendapan

didanau antar gunung (Ch.Amri, B.H Harahap (GRDC), P.E Pieters, & G.M.

Bladon (BMR), 1990, Bandung).

3.2.5 Endapan Asal Marine

Berdasarkan ciri khas litologi, maka endapan ini dapat dikelompokan

kedalam endapan asal marine, endapan ini tersusun dari material-material sedimen

hasil rombakan dari batuan yang lebih tua.

Penyebaran satuan ini di bagian utara sepanjang Teluk Dore membentuk

areal seluas 1.15 Km2 atau sekitar 2.47% dari luas daerah penelitian, membentuk

satunan geomorfologi pedataran asal marine. Endapan ini secara umum tersusun

oleh material yang berukuran pasir halus – pasir sedang yang membundar –
membundar tangguh dengan ketebalan rata-rata 0 - 5 meter dan cangkang –

cangkang oleh proses sedimentasi yang masih aktif akibat dari pasang surut air

laut.

Hubungan stratigrafi dengan satuan yang lebih tua di bawahnya adalah

ketidakselarasan disconformity, yaitu dengan adanya bidang erosi sebagai indikasi

adanya selang waktu penegendapan maupun pembentukan. Umur endapan ini

adalah resen dengan proses sedimentasi di lingkungan dataran pasang surut air

laut yang masih giat hingga sekarang. Bila disebandingkan dengan stratigrafi

regional, maka satuan ini termasuk dalam Quarter alluvium (Qa) yang berumur

kuarter terdiri dari material pasir, kerikil, lumpur, bahan tumbuhan, dan gambut

dengan lingkungan pengendapan pantai (Ch.Amri, B.H Harahap (GRDC), P.E

Pieters, & G.M. Bladon (BMR), 1990, Bandung).


MIOSEN

KUARTER
OLIGOSEN PLIOSEN SPESIES FORAMINIFERA
PLANTONIK

Bawah Tengah Atas

,)
Orbulina universa D ORBIGNY)

,)
Globorotalia menardi D ORBIGNY)

)
Globigerinoides conglobatus BRADY)
)
Globigerina seminulina SCHWAGER)

N 21 N 22
6
N 11 N 13 N1 6 6
BLOW, 1 6
6
N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N N 10 N 12 N 14 N 15 N 16 N 17 N 18 N 20 N 23

Tabel 3.1 Penentuan Umur Relatif Satuan Batulempung ST 52

)
L in g ku n g an P e n g e n d ap an B o lto vs ky an d W rig h t, 17 6 )
Z on a Z on a N e rit ik Z o n a N eritik Z o na N e ritik B at hy al Ba th ya l
SP E SIE S F O R A M IN IF ER A T ran sisi Te p i Te n ga h Lu a r A ta s - Te n ga h A ta s
B EN T O N IK
0 0 - 3 0 M tr 3 0 - 1 0 0 M tr 1 0 0 - 13 0 M tr 1 3 0 - 3 0 0 0 M tr 3 0 0 0 - 5 0 0 0 M tr

G y ps ina S P

M a rgi on op ora S P

Le py do y c l ina S P

M y o gi ps i na S P

K is a r an K ed alam an Z o n a N eritik Lu a r

Tabel 3.2 Penentuan Lingkungan Pengendapan ST 52


KOLOM STRATIGRAFI DAERAH MALAUMKARTA SEKITARNYA

ZONA PERIAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN


SATUAN KOLOM TEBAL
UMUR LITOLOGI KANDUNGAN FOSIL NERITIK BATHYAL
BLOW BATUAN LITOLOGI (m)

DARAT
INNER OUTER UPER LOWER
ABYSAL

(1971)

TRANSISI
EN Endapan aluvial Qa Dan Endapan Danau
LOS Endapan aluvial
H O
&
EN N 23 Endapan asal Marine
OS

KUARTER
Unconformity
IST N 22
PL
N 21 Batuan Beku Sa tuan Batuan Serpentinite,warna coklat
kehitaman
Serpentinit 2,25 tekstur mesh, tersusun atasserpentin, piroksen,
N 20 Unconformity dengan kehadiran yang sangat melimpah.

PLIOSEN
N 19
Batuan Beku Satuan Batuan Granit, tekstur fanerik, ukukiran
N 18 Granit Unconformity butir euhedral
3,25 tersusun atas kuarsa, plagioklas, muskovit,
penyebaran merata dan melimpah.

N 17

AKHIR

TERSIER
NEOGEN
MIOSEN
N 16
Outline Suturalis (Browman)
N 15 Spheerradinella Delaissens
Batulempung (Paker & Jones)
5,12 Glaigerinaides Lekuenssensi(Bolly)
N 14 pasiran

Tengah
N 13

Ket: Skala Tidak Sebenarnya


BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI

4.1 Struktur Geologi dan Tataan Tektonik Regional

Struktur geologi berupa antiklin, sinklin, sesar normal, sesar mendatar, dan

sesar naik. Struktur yang dapat dikenal didaerah Sorong terbagi menjadi empat (4)

yang dapat memisahkan mandala geologi antara satu dengan mandala geologi

yang lain. Bongkah Kemum dibatasi di utara oleh sistim sesar Sorong . Bongkah

Tamrau dibatasi di selatan oleh sistim sesar Sorong, dan Mandala Batanta Waigeo

terpisahkan oleh sesar Sagawin dan memanjang ke timur – timurlaut. Kepulauan

Kofiau, Boo, Fam, Doif dan pulau Mansuar juga termasuk dalam Mandala

Batanta.

Bongkah Kemum menempati sebagian besar sorong, dialasi kerak benua.

Batuan endapan malihan dasar bongkah ini (Formasi Kemum) teriuk dan

termalihkan pada Devon akhir sampai Karbon awal. Orogenesis itu diikuti oleh

kemagmaan granit pada Karbon awal (Granit Melaiurna), dan mungkin pula pada

Mesozoikum. Lipatan dalam Formasi Kemum Kebanyakan mempunyai

permukaan sumbu yang curam sampai tegak. Ukuran lipatan berkisar dari

beberapa desimeter sampai meter, dan umumnya terdapat perdaunan bidang

sumbu yang kelihatan jelas oleh belahan menyabak. Derajat malihan batuan itu

adalah berderajat rendah fasies sekis hijau (Mintakat Klorit). Jalur lipatan Morait

yang menekup tinggi Ayamaru di timur laut dan cekungan Salawati yang meliputi

pulau Salawati bagian selatan dan tengah dan bagian baratdaya daratan Papua.
Tinggian Ayamaru (Visser & Hermes, 1962 ) adalah corak dengan batasan

tidak jelas, yang memisahkan cekungan Bintuni di timur pada bagian

Teminabuan, Ransiki, Fak-fak dan Steenkool dari cekungan Salawati.

Jalur lipatan Morait mempunyai alas yang terangkat berdampingan dengan

sistim sesar Sorong. Struktur ini mencerminkan kesenjangan dalam pengangkatan

yang disisi utara lebih kuat dengan Formasi Kemum tersingkap disana.

Batuan anjungan yang menindih formasi Kemum di utara itu terangkat

menjadi struktur antiklin yang melebar sejajar sistim sesar Sorong yang masih

tinggal dibagian barat, dengan canduk yang kurang nyata. Di selatan, pada

batugamping Kais berkembang beberapa antiklin yang berarah ke timur dengan

panjang 25 Km. Batuan dijalur itu tersesar – sesarkan oleh banyak sesar. Sesar itu

umumnya berpusat di sederet sesar turun yang berarah ke timur dan mengumpul

di MAR, serta berlanjut sekitar 75 Km sehungga menyatu dengan sistim sesar

Sorong. Dalam jalur sesar itu, batugamping Kais dan Formasi Sirga membentuk

permukaan yang luas dengan kemiringan kecil sampai sedang ke selatan.

Sejumlah sesar itu miring arah utama ke timur, itu yang menyebabkan tergesernya

sumbu lipatan.

Cekungan Salawati meluas dari barat daratan Papua ke separuh bagian

selatan pulau Salawati. Di utara, cekungan itu terpotong oleh sistim sesar Sorong.

Di timur batas sulit ditentukan, karena disana berakhir di tinggian Ayamaru yang

tertutup oleh lapisan tipis endapan cekungan dan yang lebih mudah, ( Qa) yang

mengendap ketika laju pengendapan lebih besar dari pengangkatan. Ke selatan


dan barat cekungan itu meluas ke laut Seram dan disanan batasnya sukar

dipastihkan.

Dalam hal ini umur cekungan itu berkisar dari Miosen awal sampai

Plistosen. Hasil dari eksplorasi minyak bumi menyimpulkan bahwa kejadian

pembentukan ketidakselarasan sejak langsung disuhu penyerapan dari cekungan.

Tahap awal pengendapan dalam cekungan ini menyangkut Batugamping

Klamogun menggambarkan pengendapan dilaut terbuka sedangkan lebih jauh ke

timur terjadi pelonggokan batugamping anjungan (Batugamnping Kais). Tetapi

perkembangan utama cekungan baru pada Miosen bagian terakhir, ketika

pengangkatan di bagian utara sebagai akibat tekanan sepanjang sistim sesar

Sorong menyebabkan masuknya rombakan klastika silika aneka bahan dari

Formasi Klasaman dan Konglomerat Sele.

Bukti geofisika dari eksplorasi minyak bumi memberi kesan bahwa

Formasi Klasaman di pulau Salawati secara tektonik menganjak sampai ketebalan

paling tinggi 4500 m yang membilas dan terlipat pada ujung utara cekungan

dibagian tengah pulau (jalur sesar naik – lipatan waipili).

Sistim sesar Sorong menjurus dari daratan Papua bagian utara, tempat

sesar itu sebagian mengikuti garis pantai, menyeberangi selat Sele dan menuju

bagian utara pulau Salawati. Lebarnya sampai 10 Km dari arah wilayah barat –

baratdaya. Sistem sesar ini berkembang sebagai hasil pensesaran geser putus dan

turun disepanjang bidang sesar yang terputus – putus, lurus sampai melengkung

dan berarah ke barat. Sistim sesar Sorong umumnya ditafsirkan sebagai sesar
wilayah geser jurus menyamping ke kiri yang membentuk jalur pergerakan antara

lempeng Australia – India di selatan dan lempeng – lempeng di sebelah timur.

Bongkah Tamrau tersingkap diujung timur laut dan baratlaut daratan

Papua dan bagian utara pulau Salawati. Satuan tertua yang terpetakan disana

adalah Formasi Tamrau dan Formasi Waiyar dibatasi oleh sistem sesar Sorong

sehingga menyebabkan batuan kedua Formasi tersebut berubah secara diagenesis

atau malih menjadi sekis hijau berderajat rendah (Mintakat Klorit). Alas yang

berumur mesozoikum itu tertindih selaras oleh batuan karbonat Miosen (Formasi

koor) tak malih meskipun sebagian terhablur – ulang (Batugamping Segawin)

berjemari dengan batuan gunung api dan diterobos oleh retas Diorit sekerabat

magma (Batuan Gunungapi Door yang memberi kesan bahwa pencenggaan dan

pemalihannya terjadi selama paleogen).

Sesar geser – jurus dan turun – wajar yang terutama berarah ke barat

hingga baratdaya di Bongkah Tamrau adalah pasca Miosen, dan boleh jadi

berhubungan dengan sistem sesar Sorong.

Batuan mandala ini tersingkap di pulau Waigeo, dibeberpa pulau yang ada

diantara kedua puluh itu, dan pulau – pulau di barat Salawati dan di utara garis

jurus sistem sesar Sorong. Dari segi kesamudraan Mandala ini ditunjukan oleh

keterdapatan secara meluas batuan gunung api busur kepulauan dan batuan

ultramafik. Batas antara Mandala ini dipulau Batanta dan bongkah Tamrau

ditafsirkan terdapat disepanjang sesar yang mengikuti selat Sagawin (sesar

Sagawin).
Gambar 4.1Perkembangan stadia tektonik Papua sejak
Kala Eosen hingga Miosen akhir. (gambar di adaptasi
dari Dow et al., 1988).

Gambar 4.2 Perkembangan stadia tektonik Papua sejak


Kala Eosen hingga Miosen akhir. (gambar di adaptasi
dari Dow et al., 1988).
4.2 Struktur Geologi Daerah Malaumkarta dan Sekitarnya

Struktur geologi di daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan

langsung terhapap struktur-struktur penyerta di lapangan sebagai akibat langsung

dari adanya struktur geologi tersebut yang dicatat sebagai data struktur primer dan

sekunder. Data primer berupa bidang sesar, milonit dan gores garis yang diukur

langsung pada jalur sesar. Sedangkan data sekunder berupa zona hancuran,

breksiasi, adanya penjajaran mata air, longsoran, mineralisasi, silisifikasi,

penggerusan pada batuan, hancuran batuan, adanya intrusi-intrusi kecil dan

perubahan-perubahan kedudukan batuan. Dari data-data yang dijumpai tersebut,

tidak semuanya digunakan sebagai dasar penentuan di sini. Data-data yang

digunakan adalah data yang dianggap representatif dan sesuai dengan maksud dan

tujuan yang diinginkan.

Analisis pola struktur pada daerah penelitian didasarkan pada tiga metode

yaitu metode analisis deskriptif meliputi identifikasi dan pencatatan data struktur

secara sistimatis, analisis kinematis yaitu untuk mengetahui arah pergerakan

struktur yang dapat teramati langsung di lapangan maupun dari interpretasi peta

topografi dan analisis dinamis yaitu untuk mengetahui arah gaya dan tegasan yang

menyebabkan terbentuknya struktur tersebut yang dilakukan secara matematis

melalui proyeksi stereografis. Terkadang dalam analisis ini, hanya digunakan satu

atau dua metode dari ketiga metode tersebut jika data yang diperoleh dianggap

memadai, atau akan digunakan gabungan dari ketiga metode tersebut jika data

yang diperoleh tidak memadai. Penentuan lokasi atau lintasan pendataan struktur

dilakukan melalui pendekatan interpretasi peta topografi untuk menentukan


daerah-daerah kritis yang perlu diteliti lebih detail. Selanjutnya pendekatan

tersebut dipadukan dengan orientasi lapangan.

4.2.1 Struktur Lipatan

Struktur lipatan adalah hasil perubahan bentuk suatu bahan yang

ditunjukan sebagian atau kumpulan lengkungan pada unsur garis dan bidang

dalam bahan tersebut, unsur bidang disertakan umumnya bidang perlapisan

(HANSEN, 1971, vide RAGAN, 1973). Struktur lipatan merupakan salah satu

struktur geologi yang paling mudah untuk dijumpai dilapangan disamping struktur

kekar. Struktur ini umumnya berkembang pada batuan sedimen klastika (kadang

pada batuan volkanik dan metamorf). Salah satu ciri dari khas dari batuan sedimen

klastika adalah dijumpainya bidang perlapisan batuan yang terbentuk pada proses

sedimentasi.

Bidang perlapisan batuan sedimen yang memilki kedudukan kemiringan

relatif 0o atau relatif mendatar. Diasumsikan bahwa batuan sedimmen batuan

tersebut umum mengalami proses perlipatan, dengan kata lain batuan tersebut

mengalami deformasi. Apabila batuan sedimen sudah menagalami proses

deformasi maka kedudukan dan kemiringan perlapisan batuannya merubah

bentuk sudut tertentu terhadap bidang horisontal. Besaran sudut kemiringan

bidang perlapisan ini sering dinamakan dip sedangkan arah bidang lapisan batuan

terhadap posisi geografis utara yang dinamakan strike. Ukuran dari dari suatu

lipatan dapat mencapai puluhan meter bahkan hingga ratusan kilometer sehingga

sering terjadi bentuk lengkungan yang utuh tidak dapat diamati. Untuk

mempelajari dan menganalisa struktur lipatan ini dapat dilakukan dengan melihat
langsung dragfold (lipatan minor), mengukur bidang perlapisan dari batuan

sedimen, kemudian menganlisanya. Hal ini dapat pula dilakukan rekonstruksi

dengan menggunakan metode yang telah dikemukan oleh beberapa ahli geologi.

4.2.1.1 Struktur Lipatan Kalain

Merupakan salah satu dari struktur geologi yang berkembang pada daerah

penelitian dengan arah sumbu lipatan relatir utara - selatan terletak dan berada

relatif dibagian barat, baratdaya, selatan hingga tenggara dari daerah penelitian.

Sturuktur ini berkembang pada satuan batulempung pasiran dan juga merupakan

sentuhan tektonik sehingga satuan batuan ini tertindih dan terlipat kuat dibawah

satuan batuan serpentinit akibat dari pergerakan sistem sesar sorong yang

merupakan mayor fault pada daerah penelitian.

Zona struktur lipatan ini terletak memanjang dari 131° 31' 00" BT dan 00°

49'00 " LS yang berada di daerah sungai Kalawilis dan 131° 35' 00" BT dan 00°

48' 00" LS yaitu berada di daerah Sungai Kalain, dengan panjang lipatan yang

terpetakan adalah 6 km. Diusulkan nama struktur lipatan Kalain berdasarkan ciri-

ciri utama yang dijumpai keberadaannya di wilayah sungai Kalain.

Indikasi-indikasi yang dapat memperkuat adanya struktur lipatan

berukuran utama pada daerah penelitian ini adalah berupa dragfold (lipatan-

lipatan minor) berupa antiklin pada stasiun 55 (foto 4.1), bidang – bidang

perlapisan pada satuan batulempung dengan kemiringan dip yang berbeda dan

orientasi strike terhadap posisi geografis utara pada stasiun 52,54,61,7 dan stasiun

pengamatan yang lainnya (foto 4.2) . Interpretasi pola kontur pada peta dasar juga
semakin mempertegas adanya suatu zona lipatan, dicirikan dengan adanya

penjajaran bukit sisa yang berbentuk “ Z “.

Foto 4.1 Kenampakan singkapan Batulempung


pasiran, di daerah sungai Kalain yang nampak
membentuk dragfold. Difoto pada stasiun 55 N 74 E
relative ke Timurlaut.

Foto 4.2. Tampak singkapan satuan batulempung


pasiran didaerah sungai Kalain, Kalaluk, Kalawilis
yang nampak menunjukan kesan perlapisan dan
tergerus dan terkekar kan. Difoto pada stasiun 54, 61,
77 dan 52
4.2.2. Struktur Sesar

Struktur sesar adalah bidang rekahan atau zona rekahan yang telah

mengalami pergeseran Ragan, D.M., 1973. Secara geometris sesar merupakan

struktur bidang, walaupun kedudukannya di lapangan dapat berupa bidang atau

jalur sesar dan umumnya berhubungan dengan struktur yang lain terutama

rekahan secara umum, lipatan, bidang belahan dan sebagainya. Klasifikasi sesar

yang dipergunakan disini terutama didasarkan pada tegasan-tegasan utama

pembentuk, kedudukan bidang sesar dan sifat pergeserannya. Oleh sebab itu maka

digunakan klasifikasi Richard, 1972 sebagai acuan penentuan jenis dan sifat

pergerakan sesar.

Struktur sesar di lapangan ditentukan berdasarkan data-data struktur yang

dapat teramati dan terukur langsung di lapangan maupun berdasarkan hubungan

batuan satu dengan batuan lainnya. Sesar yang terbentuk di daerah Malaumkarta

adalah sesar anjak Teluk Dore.

4.2.2.1 Sesar Anjak Teluk Dore

Merupakan suatu zona sesar anjak berukuran utama, yang berada relatif di

bagian utara daerah penelitian. Sesar ini mengangkat naik satuan batuan

serpentinit yang terletak di bagian utara relatif lebih tinggi dari satuan batuan

lainnya. Selain itu juga hadir sebagai sentuhan struktural antara satuan serpentinit

dengan satuan batulempung.

Zona sesar ini terletak memanjang dari 131° 31' 00" BT dan 00° 48'00 "

LS yang berada di daerah sungai Kalisodos dan 131° 35' 00" BT dan 00° 47' 00"
LS yaitu berada di daerah Sungai Kalawos, dengan panjang sesar yang terpetakan

adalah 7 km. Diusulkan nama sesar anjak Teluk Dore berdasarkan ciri-ciri utama

yang dijumpai, yaitu keberadaan sesar tersebut sebagian besar terpetakan dan

dijumpai di wilayah sungai-sungai episodis yang mengalir ke Teluk Dore.

Indikasi-indikasi yang dapat memperkuat adanya sesar anjak berukuran

utama ini adalah berupa bidang sesar dengan kenampakan gores garis pada stasiun

07 yang berarah N 129º E (foto 4.3). Dijumpai zona breksiasi dan breksi pada

stasiun 03,15, 20 dan 21, mata air pada stasiun 06, backing efek pada stasiun 03

(foto 4.4), zona hancuran pada sepanjang jalur sesar, zona gerusan disepanjang

lintasan stasiun serta zona longsoran batuan maupun tanah. Interpretasi pola

kontur pada peta dasar juga semakin mempertegas adanya suatu zona sesar anjak

Dore yang berukuran utama.

350

Foo 4.3. Kenampakan bidang sesar dan gores garis


(slikenside) pada singkapan serpentinit didaerah
sungai Kalabek. Difoto pada stasiun 07 N 30 E relatif
ke Utara.
Foto 4.4. Kenampkan Bidang gerusan breksi dan efek
bucking pada singkapan batuan serpentinit didaerah
Sungai Kalawos. Difoto pada stasiun 03 N 333 E
relatif ke baratlaut.

4.2.3. Penentuan Mekanisme Pembentukan dan umur Struktur Daerah

Malaumkarta dan sekitarnya.

4.2.3.1. Mekanisme

Mekanisme pembentukan struktur di daerah penelitian ditafsirkan dan

ditentukan berdasarkan arah tegasan utama yang mempengaruhi, korelasi dengan

struktur dan proses tektonik regional yang bekerja serta prinsip keterakan batuan

yang terdeformasi dari teori Harding, 199? yang diadaptasi kedalam prinsip

gerusan Riedel, 1978 (dalam McClay, K.R., 1987) (lihat gambar 4.3) dan Mody &

Hills, 1956 (lihat gambar 4.4).

Berdasarkan prinsip gerusan Riedel maka mekanisme pembentukan sesar di

daerah penelitian oleh tegasan utama maksimum regional utara - selatan kemudian
berkembangnya zona sistim sesar Sorong-Yapen yang transpresional mengiri

tersebut kemudian memicu berkembangnya retakan-retakan. Retakan-retakan

yang terbentuk ini kemudian berkembang menjadi sesar-sesar minor di sekitar

zona sesar utama tersebut yang juga berkembang secara lokal di daerah penelitian

pada periode I. Pada gambar 4.3 di halaman 122 menjelaskan sistim penamaan

dan asosiasi struktur yang terbentuk oleh simple shear mendatar-mengiri sesar

Sorong-Yapen,diantaranya:

1. Compressive fracture: thrust fault

2. Folds: en echelon folds

3. Conjugate Riedel (R2) shear: primary antithetic shear

4. Riedel (R1) shear: primary synthetic shear

5. P shear: secondary synthetic shear

6. X shear: secondary antithetic shear

7. Tension (T) fracture: extension fracture


σ3
σ1

σ1 σ3

Gambar 4.3. Asosiasi keterakan elips regional dari prinsip


gerusan Riedel untuk semua jenis deformasi yang
memperlihatkan hubungan antara struktur-struktur yang
terbentuk pada Periode I oleh simple shear mendatar-
mengiri. (Gambar diadaptasi dari McClay, K.R., 1987,
halaman 100).

Disebandingkan dengan keterakan struktur menurut teori yang dikembang

oleh Mody & Hills, 1956 yang mana pure shear disebabkan oleh tegasan tekanan

atau tarikan dan tegasan utama yang berarah utara - selatan yang mana

pembentukan orde – orde tidak kronologis dalam arti pembentukan orde I

kemudian di ikuti orde – orde selanjutnya yaitu II, III dan seterusnya serta

memiliki orientasi dan dimensi yang lebih serta dibatasi oleh sesar – sesar orde

yang lebih tinggi, sedangkan tegasan gerus (Shear Strees) akan menyebabkan

rotational strain (Simple Shear) seperti model keterakan yang dikembang oleh dari

Harding, 1974. (Gambar 4.4)


Gambar 4.4. Asosiasi keterakan struktur regional untuk semua
jenis deformasi yang memperlihatkan hubungan antara struktur-
struktur yang terbentuk pada Periode I oleh Pure shear oleh
Mody & Hills, 1956

Berdasarkan teori Harding, pada prinsipnya sistim retakan asli shear

fracture dan tension fracture terdapat dalam pure shear dan shear fracture dan

bila mengalami pergeseran akan menimbulkan shear stress yang bersifat couple

sehingga akan mengakibatkan terbentuknya simple shear. Blok-blok yang dibatasi

oleh bidang gerus atau shear plane tersebut akan menimbulkan compressive stress

baru yang membentuk sudut 54°-75° terhadap bidang gerus atau bidang sesar.

Tegasan tekanan inilah yang membentuk sistim pure shear baru yang mempunyai

arah penyimpangan 15°-45° terhadap tegasan tekanan terbesar yang pertama. Jadi

pada hakekatnya pure shear akan membentuk simple shear dan simple shear akan

membentuk pure shear yang lain. Sederhananya adalah pure shear 1

menghasilkan simple shear 1 dan pure shear 2, sedangkan pure shear 2 akan

menghasilkan simple shear 2 dan pure shear 3 dan seterusnya dengan


konsekwensi bahwa melalui subsidiary stress atau pembentukan tegasan baru

yang melewati proses pembentukan pure shear dan simple shear yang berulang

tersebut, akan membentuk struktur baru yang tetap mengikuti hukum kekandasan

batuan yang sama. Jadi subsidiary structure adalah pembentukan struktur baru

dibandingkan dengan struktur utama yang telah terbentuk sebelumnya. Prinsip

gerusan Riedel pada dasarnya mengacu kepada terbentuknya pure shear 1 dari

teori Harding yang menghasilkan simple shear 1 dan pure shear 2, demikian

sebaliknya, simple shear 1 menghasilkan simple shear 2.

4.2.3.1.1 Periode I

Periode I diperkirakan berlangsung bersamaan dengan akhir dari

pergerakan Sesar Sorong - Yapen pada Miosen akhir yang menghasilkan tegasan

utama maksimum timurlaut-baratdaya, dimana sebagai indikasi dari fase tektonik

ini adalah terbentuknya retakan mayor berupa pergerakan transpresional mengiri

dari sistim sesar Sorong–Yapen berarah baratlaut – tenggara yang berpengaruh

secara regional di bagian utara pulau Papua.

Seperti telah disebutkan pada pembahasan mekanisme di atas,

pembentukan sesar di daerah penelitian berlangsung dalam I periode dan II

periode. Pada tahapan dan proses selanjutnya dari pergerakan sesar Sorong-Yapen

ini kemudian membentuk tegasan minimum regional pada daerah penelitian

sebagai tegasan maksimum yang berlaku secara lokal selanjutnya bertanggung

jawab membentuk struktur lipatan pada daerah penelitian (gambar 4.6).


σ3
10°, N 363° E

σ1
38°, N 070° E

W E

Gambar 4.5 Proyeksi stereografi dari bidang


struktur lipatan pada stasiun 10 untuk
penentuan tegasan maksimum yang
mempengaruhi pembentukan struktur geologi
pada Periode I.
ne
Zo
lt

Sesar Anjak Teluk Dore


au
F
g
on
or
S

Orde I
Lipatan Kalain

σ3 σ1

Gambar 4.6. Mekanisme pembentukan


struktur lipatan pada periode I oleh tegasan
maksimum lokal timur – barat yang adalah
tegasan minimum regional.

4.2.3.1.2 Periode II

Periode II diperkirakan berlangsung tidak terlepas dari kondisi struktur

regional, struktur dan tektonik regional yang berarah utara – selatan dengan

perlipatan yang relatif sejajar dengan sesar utama tersebut. Sehingga diperkirakan
bersamaan dengan akhir dari orogenesa melanesia pada Miosen akhir yang

menghasilkan tegasan utama maksimum utara – selatan, dimana sebagai indikasi

dari fase tektonik ini dalah terbentuknya retakan mayor berupa pergerakan

transpresional mengiri dari sistim sesar Sorong–Yapen berarah baratlaut –

tenggara yang berpengaruh secara regional di bagian utara pulau Papua. Pada

tahapan dan proses selanjutnya dari pergerakan sesar Sorong-Yapen ini kemudian

membentuk tegasan maksimum lokal yang berlaku secara regional pada daerah

penelitian sebagai tegasan maksimum lokal yang selanjutnya bertanggung jawab

membentuk sesar anjak Dore (gambar 4.7)

n
ape
g -Y
Soron
ar
Ses

Sesar Anjak Teluk Dore

Regional = Lokal

Gambar 4.7. Mekanisme pembentukan struktur


pada periode II oleh tegasan maksimum lokal
utara - selatan yang adalah tegasan maksimum
regional.

Dengan demikian mengacu pada prinsip gerusan Riedel tersebut maka

mekanisme pembentukan sesar di daerah penelitian pada periode I dan Periode II

dimulai dengan pembentukan struktur lipatan Periode I yang adalah simple shear

2 sebagai konsekwensi dari adanya pure shear 2 yang diberikan oleh sistim sesar

Sorong-Yapen. Simple shear 2 kemudian membentuk pure shear 2 yang pada

perkembangan selanjutnya membentuk simple shear 3 yaitu sesar anjak teluk


Dore Periode II. Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur geologi yang

berkembang di daerah penelitian (dalam konteks lokal) pada periode I dan Periode

II sesuai dengan urutan pembentukannya adalah:

1. Struktur Lipatan Kalain (F) Periode I

2. Struktur Sesar Anjak Teluk Dore (T) Periode II

3.2.3.2 Umur

Walaupun struktur lipatan dan sesar diketahui bukan merupakan data primer

yang terbentuk bersamaan dengan pembentukan batuan, namun secara relative

penentuan umur sesar dilokasi penelitian didasarkan atas batuan yang tersesarkan

dan terlipatan, dimana berdasarkan umur penempatan batuan, umur sesar dan

lipatan regional yang mempengaruhinya.

Struktur lipatan merupakan struktur pertama yang terbentuk di daerah

penelitian kemudian diikuti sesar anjak teluk Dore yang mengangkat naik satuan

batuan serpentinit yang mana merupakan satuan batuan yang berumur Pliosen

(umur pengangkatan) bersamaan dengan batuan granit yang berumur Miosen

Akhir bagian tengah (umur pengangkatan) ke elevasi yang lebih tinggi dengan

sudut terjal yang relatif miring dan menindih diatas satuan batulempung berumur

antara Miosen Tengah bagian atas – Miosen akhir bagian tengah.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pensesaran pada daerah penelitian

sepenuhnya dipengaruhi struktur dan ketektonikan regional antara lempeng

Pasifik – Lempeng Australia dan system sesar sorong sebagai major fault.

Sehingga struktur pada daerah penelitian diperkirakan berumur Miosen Akhir –

Pliosen.
BAB V
SEJARAH GEOLOGI

Berdasarkan geologi regional Papua, regional lembar daerah sorong dan

fakta singkapan batuan dan kondisi struktur geologi yang dijumpai di lapangan

pada daerah penelitian yang bersifat lokal, serta beberapa pemikiran dan analisa,

penilaian serta pendapat yang mengandung nilai logika dan interpretatif serta

korelatif dengan sudut pandang geologi yang lebih luas, maka sejarah geologi

daerah Malaumkarta dan sekitarnya dapat diuraikan dan direkonstruksi.

Kondisi geologi daerah Malaumkarta dan sekitarnya saat ini dapat

ditafsirkan sebagai sebagai implikasi dari aktifitas geologi yang berlangsung

melalui dua fase tektonik yang aktif sejak Eosen hingga Miosen akhir dan

kemudian berlanjut lagi pada Plistosen yang berhubungan erat dengan Melanesian

Orogeny.

Fase tektonik pertama diperkirakan dimulai sejak Kala Eosen-Oligosen

ditandai oleh terjadinya kolisi lempeng samudera Pasifik dan lempeng benua

Australia yang mengakibatkan penunjaman miring (oblique subduction) ke arah

selatan dari tepi barat lempeng samudera pasifik ke bawah tepi utara lempeng

benua Australia sehingga menyebabkan obdaksi utara-selatan dan terangkatnya

busur muka lempeng samudera ke atas busur muka lempeng benua yang disertai

erosi tektonik dan pemalihan batuan dengan protolit kerak samudera berjenis

MORB. Selama obduksi berlangsung, sejak Awal Kala Oligosen - Miosen akhir

bagian tengah terjadi proses pengangkatan dan proses sedimentasi pun terjadi
pada cekungan depan busur sehingga menghasilkan batulempung pasiran, selama

proses sedimentasi pada cekungan muka busur, di ikuti pengangkatan yang terus

berlanjut hingga Miosen Akhir bagian atas sehingga daerah penelitian merupakan

bagian dari cekungan busur belakang, pada kala itu daerah penelitian berada

dalam kondisi darat, terjadi ketektonikkan sehingga terjadi pergerakan mendatar-

mengiri yaitu sistem sesar sorong dan membentuk satuan batuan granit. Kala

Pliosen – Pliosen Tengah proses pengangkatan terus berlangsung sehingga

mengakibatkan batuan serpentinit terangkat ke permukaan yang merupakan

puncak dari fase tektonik orogenesa melanesia.

Dua proses tektonik terakhir ini bertanggung jawab membentuk struktur

lipatan Kalain yang kemudian terjadi subsidiary stress yang berarah utara –

selatan sehingga terbentuk struktur sesar anjak Teluk Dore

Pada kala holosen iklim kemudian berperan menghasilkan pelapukan dan

erosi sehingga memungkinkan suksesi geologi kuarter berupa transport material di

darat sebagai endapan fluvial yang masuk ke cekungan pengendapan di darat oleh

aktifitas transport di sungai dalam bentuk dataran banjir dan aktifitas arus di laut

sebagai dataran pasang surut sebagai endapan aluvial asal marine yang dimulai

pada pada Holosen dan masih giat hingga saat ini.


BAB VI
BAHAN GALIAN

6.1. Gambaran Umum

Aspek bahan galian sangat penting didalam kehidupan masyarakat pada

umumnya. Didalam suatu kegiatan pemetaan geologi, pemetaan potensi bahan

galian dan geologi terpakai sangat penting dilakukan. Sebab potensi suatu bahan

galian yang bernilai ekonomis bisa menjadi defisa besar bagi suatu daerah.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka, pada lokasi penelitian selain

melakukan kegiatan pengukuran dan pengamatan terhadap aspek-aspek stratigrafi,

struktur geologi maupun geomorfologi dilakukan juga pengamatan serta

pengukuran terhadap beberapa aspek geologi berupa potensi sebaran bahan galian.

Potensi bahan galian sangat tergantung pada letaknya, berdasarkan

penelitian lapangan maka bahan galian yang terdapat pada daerah penelitian bisa

dikatan penyebarannya tidak merata hanya berada pada daerah endapan pantai ,

bahan galian pada lokasi penelitian letaknya strategis sehingga mudah dijangkau.

Sebagian besar potensi bahan galian pada lokasi penelitian sudah dikelola

oleh masyarakat sekitar baik dengan menggunakan alat mekanis maupun menual

guna memenuhi kebutuhan masyarakat seperti dalam kegiatan konstruksi

bangunan, jalan, jembatan dan lain-lain.


6.2. Pengertian dan Pembagian Bahan Galian Berdasarkan UU

Secara umum bahan galian menurut Sudarno, 1980 adalah segala unsur

kimia, material dan segala macam batuan yang terbentuk secara alami baik dalam

bentuk padat maupun gas.

Seiring dengan perkembangan zaman maka, didalam istansi pemerintah

dan Negara perlu melakukan pembaharuan peraturan didalam mengawasi potensi

bahan galian yang ada. Berdasarkan peraturan pemerintah republik Indonesia

nomor 22 tahun 2009 dan 23 tahun 2010, maka pembagian bahan galian menjadi

enam bagian yaitu;

1. Bahan galian mineral radioaktif

2. Bahan galian mineral logam

3. Bahan galian batubara

4. Bahan galian mineral bukan logam

5. Bahan galian batuan

Berdasarkan hasil data lapangan dapat diketahui bahan galian yang

terdapat pada daerah penelitian berupa sebaran bahan galian batuan baik yang

sudah dikelola oleh masyrakat maupun yang belum.

6.3. Potensi dan Sebaran

Berdasarkan hasil penelitian lapangan diketahui bahwa pada lokasi

penelitian tersebar potensi bahan galian (peta sebaran bahan galian) yang bernilai

ekonomis. Potensi-potensi bahan galian yang dijumpai berupa:

1. Endapan pasir (endapan pantai)


Berdasarkan hasil keputusan mentri energi mineral dan batubara maka

endapan pasir diklasifikasikan sebagai bahan galian batuan golongan B. Endapan

ini merupakan material sedimen lepas dari hasil pelapukan fisik yang terangkut

dari hulu ke hilir sungai sebagai hasil dari proses erosi sungai yang belum

terkonsolidasi dengan baik ataupun terlitifikasi. Material sedimen lepas berupa

pasir ini bersumber dari fragmen dan matrik satuan batuan granit.

Endapan pasir pada lokasi penelitian terdapat disekitar daerah Shore line,.

Berdasarkan kenampakan fragmen batuan yang tertransport sebagai edapan

material sedimen dengan jenis fragmen yang dominan berasal dari batuan granit.

Oleh masyarakat setempat bahan galian berupa endapan pasir ini dimanfaatkan

sebagai bahan bagunan rumah.


BAB VII
ANALISIS JENIS STRUKTUR LIPATAN BERDASARKAN
INTERLIMB ANGLE DAN HINGESURFACE DAERAH
KAMPUNG MALAUMKARTA DAN SEKITARNYA
DISTRIK MAKBO KABUPATEN SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT

7.1 Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pemetaan atau pendataan struktur

geologi tidak terlepas dari diskripsi litologi, sedimentologi, petrologi dan

paleontologi. Hal ini merupakan factor pelengkap dalam membuat interpretasi

struktur dan geologi.

Analisa polas struktur geologi dapat dikategorikan dalam tiga tahapan, (Mc Clay,

1987) adalah:

1. Analisa dekriptif : meliputi identfikasi dan pencatatan data struktur dan

kedudukan batuan secara sistematis dalam buku catatan lapangan.

2. Analisa kinematik : untuk mengetahui arah pergerakan struktur, yang

mana dapat dilihat langsung dilapangan atau dari peta topografi.

3. Analisa dinamis : untuk mengetahui arah gaya yang membentuk suatu pola

struktur geologi, biasanya dilakukan secara matematis dengan proyeksi

stereografis.

Berdasarkan ketiga analisa tersebut dapat diketahui pola struktur yang

berkembang pada suatu daerah penelitian berserta analisa perkembangan atau

tahapan struktur yang telah dan akan terjadi. Dalam mengembangkan dan

mengaplikasikan ilmu geologi, pemilihan studi khusus sangatlah bervariasi. Hal


ini sangat dipengaruhi oleh kejelian dan kepekaan peneliti dalam melihat

permasalahan yang terdapat pada daerah penelitian.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis mencoba mengembangkan salah satu

sub displin ilmu geologi yaitu Geologi Struktur dengan beberapa pertimbangan

yaitu:

1. 43,09 % atau 22,15 Km2 luas daerah penelitian tersusun dari batuan sedimen

yang bersifat plastis, dimana perlapisan mudah mengalami perlipatan

apabila terkena gaya.

2. Data – data kedudukan pelapisan mudah dijumpai dilapangan.

3. Analisa struktur geologi secara dinamis dapat dilakukan.

4. Rekontruksi perlipatan dan analisa gaya dapat dilakukan dengan mudah

secara matematis.

5. Biaya yang relatif murah.

7.2 Maksuda dan Tujuan

Penelitian ini dimaksudkan sebagai bagian Pemetaan Geologi, yang lebih

dikhusus untuk mengadakan pengukuran kedudukan perlapisan batuan yang

terdapat pada daerah penelitian.

Penelitian ini bertujuan mengklasifikasikan jenis lipatan yang terdapat pada

daerah penelitian dengan klasifikasi yang telah dibuat oleh beberapa ahli, melalui

pengolahan data – data kedudukan perlapisan batuan serta memberikan informasi

kepada pemerintah bahwa daerah tersebut mempunyai sumber daya alam (SDA)

yang proses pembentukannya oleh proses sedimentasi dari hasil pelapukan

tumbuhan – tumbuhan dan hewan dengan yang berada pada satu sekungangan
sedimentasi seperti batubara dan minyak. Sehingga perlu dilakukan pemetaan

detail oleh intasi terkait.

7.3 Batasan Masalah

Jenis – jenis struktur geologi yang umum diketahui adalah lipatan, kekar,

dan sesar. Penelitian ini dibatasi hanya pada struktur lipatan, yang menyangkut

aspek deskriktif, morfologi, gaya pembentuk dan secara khusus dan

diklasifikasikan berdasarkan beberapa klasifikasi yang telah ada.

7.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah melalui pengukuran kedudukan

perlapisan batuan yang terdapat pada daerah penelitian dengan menggunakan

kompas geologi, yang selanjutnya dilakukan pengolahan data secara matematis.

7.5 Tinjauan Pustaka

Lipatan adalah salah satu bentuk struktur geologi yang umumnya terjadi

pada batuan sedimen danmerupakan hasil deformasi batuan dari pergerakan –

pergerakan lempeng bumi.

Menurut De Sitter (1956), bentuk lengkung suatu benda yang pipih dapat

disebabkan oleh dua (2) macam mekanis yaitu bucling dan bending. Pada gejala

bucling, gaya tekan penyebabnya beraarah sejajar dengan permukaan lempeng

sedangkan pada bending, arah gaya penyebabnya tegak lurus terhadap permukaan

lempeng
Gambar 7.1. Dua (2) macam mekanisme yaitu Bucling dan
Bending dalam pembentukan lengkungan suatu benda yang
pipih. Bucling gaya tekan penyebabnya beraarah sejajar dengan
permukaan lempeng (a). Bending, gaya tekan penyebabnya
tegak lurus terhadap permukaan lempeng (b) (De Sitter, 1956)

Lipatan adalah suatu distorsi volume dari suatu material yang dinampakan

dalam lengkung atau perlengkungan pada material yang linear atau planar

(Hansen 1971, dalam Ragan). Lipatan juga dapat didefnisikan sebagai hasil

perubahan bentuk dari suatu bahan yang ditunjukkan sebagai suatu lengkungan

atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di dalam bahan tersebut.

Pada umumnya unsur – unsur yang berhubungan langsung dengan lipatan adalah

bidang perlipatan, foliasi, dan liniasi.

Lipatan sebagai suatu elemen, dinyatakan sebagai bidang seperti pada

kenampakan geometrisnya dapat dihubungkan dengan beberapa aspek dari

keterakan lokal, meliputi rotasi, translasi dan lain sebagainya (Turner dan Weiss),

1963; dalam Ragan, 1973).

7.5.1 Unsur – unsure Geometri Lipatan

Lipatan sebagai struktur bidang mempunya unsure – unsure atau bagian –

bagian yang membentuk lipatan menjadi suatu bagun yang geometris, yang
menunjukkan sifat – sifat batuan, keadaan deformasi dan tingkatan deformasi

(Marshak 1988), beberapa unsur – unsure geometris lipatan yang dipergunakan

untuk mendeskripsikan suatu bentuk lipatan adalah (Gamabar 7.2)

Hinge line adalah garis hayal yang menghubungkan titik – titik

pelengkungan maksimum pada setiap permukaan lapisan dari suatu

struktur lipatan.

Hinge zone adalah zona pelengkungan pada permukaan lipatan

dimana permukaannya relatif melengkung pada arah hinge line

Crest line, adalah suatu garis khayal yang menghubungkan titik – titik

tertingi pada setiap permukaan lipatan suatu antiklin.

Troughline , adalah suatu garis khayal yang menghubungkan titi

terendah pada suatu sinklin dari suatu lipatan.

Fold axis adalah garis imajener yang sejajar dengan cylinder dari

suatu lipatan.

Fold limb adalah permukaan lipatan yang terletak diantara hinge zone

dimana permukaan tersebut mempunyai radius menyerupai bentuk

kurva.

Inflection adalah garis sepanjang permukaan lipatan yang terletak

pada atau antara perubahan bentuk dari cekung ke cembung dari suatu

pelengkungan.

Hinge Surface adalah bidang khayal dimana terdapat semua axial line

dari suatu lipatan. Pada beberapa lipatan, bidang ini dapat merupakan

suatu bidang planar dan dinamakan axial plane


Crest surface adalah suatu bidang khayal dimana terletak semua

kristal lain.

Trough surface adalah suatu bidang khayal dimana terletak semua

trough line dari semua antiklin.

Plunge of hinge line adalah sudut penunjaman dari axial line terhadap

bidang horizontal dan diukur pada bidang vertical.

Bearing of hinge line adalah sudut horizontal yang dihitung terhadap

arah tertentu dan ini merupakan arah dari penunjaman suatu axial line

Culmination, adalah titik tertinggi pada garis puncak

Depression, adalah titik terendah pada garis puncak

Axial line, adalah bidang khayal dimana terdapat semua axial line dari

suatu lipatan

Rake, adalah sudut antara axial line atau hinge line dengan bidang atau

garis horizontal yang diukur pada axial plane atau surface


Gambar 7.2. Unsur geometric utama yang digunakan untuk
mendeskripsikan suatu lipatan tunggal (Marshak,1988)

7.5.2 Pengelompokan Lipatan

Secara umum pengelompokan lipatan diadasarkan pada unsur – unsure

geometris lipatan, bentuk lipatan, dan letak lipatan dalam suatu kerangka tektonik

(external kinematik). Hal ini dapat dilakukan setelah mengadakan pengukuran

dilapangan terhadap unsur – unsure lipatan dan membuat suatu rekontruksi

terhadap lipatan tersebut serta analisis lipatan dalam suatu kerangka tektonik.

Ditinjau dari segi bentuk, Billings (1954) mengelompokan lipatan menjadi

dua (2) jenis yaitu:

1. Antiklin adalah lipatan berbentuk cembung dengan kedua (2) sayap

memiliki arah dan kemiringan yang berbeda. Beberapa antiklin

mempunyai dua (2) sayap dengan arah yang sama atau kedudukan sayap

horizontal. Kombimasi dari kesemuanya itu membentuk antiklin yang

teratur. Antiklin dapat juga didefinisikan sebagai lipatan dimana semakin

mendekati pusat lengkungan dijumpai lapisan batuan yang lebih tua.


Gambar 7.3. Beberapa variasi dari antiklin, AP = Bidang
Sumbu. Antiklin dengan kedua (2) sayap memiliki arah
vertikal dan arah kemiringan yang berbeda (A); antiklin
dengan arah kemiringan yang sama (B); antklin dengan sumbu
lipatan horizontal (C); antiklin dengan bentuk tidak teratur (D)
(Billings, 1954).

2. Sinklin adalah lipatan yang berbentuk cekung dengan kedua (2) sayap

memiliki arah dan kemiringan yang berbeda. Seperti halnya dengan

antiklin, bentuk – bentuk sinklin juga memiliki fariasi yang sama.

Mendekati pusat lengkungan akan dijumpai batuan yang semaki muda.

Gambar 7.4 Beberapa variasi dari sinklin, AP = bidang sumbu.


Sinklin dengan kedua (2) sayap memlilki arah dan kemiringan
yang berbeda (A); sinklin dengan arah dan kemiringan yang
sama (B); sinklin dengan sumbu lipatan horizontal (C); sinklin
dengan bentuk tidak teratur (D) (Billings, 1954)
Beberapa penamaan lipatan yang didasarkan pada kedudukan sumbu lipatan

(axial plane) (Billings, 1954). Lipatan simetri (symmetrical fold) adalah lipatan

dengan sumbu lipatan relatif vertical dengan kedua (2) sayap memiliki besar

kemiringan yang relatif sama (gambar 7.5 a)

Lipatan asimetri (asymmetrical fold) adalah suatu lipatan dengan bidang

sumbu miring dengan kedua (2) sayap mempunyai besar kemiringan yang

berbeda (gambar 7.5 b)

Lipatan menggantung (overturned fold/over fold) adalah suatu lipatan

dengan kedudukan bidang sumbu miring dan kedua sayap lipatan tersebut

terletak searah (Gambar 7.5 c)

Lipatan rebah (recumbent fold) adalah suatu lipatan dengan bidang sumbu

yang relatif datar atau horizontal (gambar 7.5 d)

Lipatan isoklin (isoclinals fold) adalah suatu lipatan dimana arah dan besar

kemiringan sayap lipatan tersebut relatif sama. Beberapa fariasi dari jenis

lipatan ini ditinjau dari kedudukan bidang sumbu lipatan adalah; lipatan

isoklinal vertical (vertical isoclinals fold) merupakan lipatan isoklinal

dengan bidang sumbu yang relatif tegak (Gambar7.5 e), lipatan isoklinal

miring (inclined isoclinals fold) merupakan lipatan isoklinal dengan

bidang sumbu terletak miring (gambar 7.5 f), lipatan isoklinal rebah

(recumbent isoclinals fold) merupakan lipatan isoklinal dengan bidang

sumbu yang terletak horizontal (gambar 7.5 g).


Chevron fold adalah lipatan sinklin dan antiklin yang bentuknya menyudut

(gambar 7.5 h).

Fan fold adalah suatu lipatan dimana ke dua (2) sayap lipatan tersebut

menggantung (7.5 i)

Homocline adalah istilah yang digunakan untuk sayap lipatan, dimana

mempunyai araah dan kemiringan yang relatif seragam (7.5 j)

Gambar 7.5 beberapa variasi dari lipatan. Lipatan simetris (a); lipatan
asimetri (b); lipatan menunjam (c); lipatan rebah (d); lipatan isoklinal
vertikal (e); lipatan isoklinal miring (f); lipatan isoklinal rebah (g);
lipatan chevron (h); lipatan fan (i); monoklin (j); jejak lipatan (k)
Berdasarkan mekanisme pembentukan dan perubahan susunan dalam

(lapisan) maka lipatan dapat di keolompokkan dalam empat (4) jenis (gambar 7.6)

yaitu:

Flexure folding adalah perlipatan yang terbentuk oleh gaya kompresi

dimana selama proses deformasi berlangsung terjadi juga penggeseran

antara bidang perlapisan. Hal ini diakibatkan oleh gaya kohesi batuan

rendah (gambar 7.6 a)

Flow folding adalah perlipatan yang terbentuk akibat gaya kompresi

dimana selama proses deformasi berlangsung tidak terjadi pergeseran

antara perlapisan batuan yang disebabkan sifat duktil batuan yang rendah

(7.6 b)

Shear folding adalah perlipatan yang terbentuk oleh gaya tensional yang

disertai dengan proses pembenahan dari batuan (7.6 c)

lipatan hasil pergerakan gaya – gaya vertical (gambar 7.6 d)

beberapa klasifikasi lipatan yang didasarkan pada unsur- unsur geometri

lipatan tersebut akan dibahas pada sub bab tersesndiri.


Gambar 7.6. Pengelompokkan lipatan berdasarkan
mekanisme pembentukan dan perubahan susunan dalam
(lapisan). Flexure folding (a); flow folding (b); shear folding
(c); vertikal movement folding (d) (Billings, 1954)

7.5.3 Hubungan Antara Lipatan, Pola Singkapan dan Topografi.

Dalam suatu daerah, struktur lipatan, pola (penyebaran) singkapan dan

topografi mempunyai hubungan yang erat dan ditandai dengan cirri – cirri khusus

dampak dari suatu proses deformasi.

Menurut Ragan, 1968; hanya bidang – bidang perlapisan yang

berpotongan dengan permukaan bumi yang membentuk pola singkapan dengan

cirri – cirri tertentu.

Pola singkapan pada struktur lipatan dihasilkan oleh perpotongan bidang –

bidang perlapisan dengan permukaan bumi. Suatu contoh yang sederhana dari

hubungan ini (gambar 7.7), dimana bidang sumbu terletak horizontal. Pola

singkapan yang terbentuk adalah sejajar, sesuai dengan kemiringan sayap lipatan.

Dengan mengetahui kedudukan dari perlapisan batuan, umur relatif, dan

korelasi stratigrafi, sangat memudahkan dalam membuat pola singkapan yang

mengalami perlipatan. Demikian juga dengan membuat penampang yang relatif

tegak lurus terhadap bidang sumbu lipatan, maka bentuk perlipatan secara vertical

dapat di ketahui.
Gambar 7.7. Pola singkapan dengan lipatan tanpa penunjaman. Peta
geologi (a); penampang vertikal (b) (Ragan, 1968)

Kenyataannya tidak semua lipatan mempunyai bidang sumbu yang terletak

pada bidang horizontal (mengontrol bentuk topografi), tetapi mempunyai arah

penunjaman (plunge) dimana lipatan tersebut berada. Suatu lipatan dengan arah

penunjaman (plunge) mempunyai pola yang berbeda dengan lipatan yang

mempunyai sumbu terletak pada bidang horizontal (gambar 7.8)


Gambar 7.8. Lipatan dengan penunjaman. Peta geologi
dengan lipatan antklin yang menunjam ke timur.

Menurut (Marshak, 1988), beberapa kriteria yang digunakan untuk

menggambarkan hubungan antara lipatan, pola singkapan dan topografi adalah:

Pola singkapan pada daerah yang cukup luas dimana terdapat lipatan –

lipatan besar dipengaruhi oleh hubungan antar kemiringan batuan dan

kemiringan lereng dimana batuan itu tersingkap, lebih dikenal dengan

hokum “ V” (gambar).

Jika didaerah dimana lipatan terebut berada mempunyai bentuk topografi

yang tidak teratur (irreguler), maka pola singkapan juga tidak teratur, tetapi

dikontrol oleh lipatan yang terdapat pada daerah tersebut.


Jika pelapukan dan erosi bekerja kuat pada daerah yang dikontrol struktur

lipatan, maka topografi yang menyolok ditunjukan oleh bukit – bukit sisa

yang tersusun oleh batuan resisten.

Jika lipatan yang terdapat pada suatu daerah relatif horizontal, maka bukit –

bukit sisa yang terdapat pada daerah tersebut relatif lurus dan sejajar.

Jika bukit – bukit sisa tersebut berbentuk “ Z “ menunjukan adanya lipatan

yang berbeda, dalam hal ini lebih dari (satu) 1 antiklin dan sinklin.

7.5.4 Klasifikasi Lipatan

Klasifikasi lipatan adalah pengelompokan lipatan yang didasarkan pada

nilai dan hubungan dari unsur – unsur struktur lipatan. Menurut Mc Clay (1987)

unsur – unsur struktur lipatan yang saling berhubungan den dijadikan dasar

klasifikasi adalah:

1. Kedudukan sumbu lipatan (hinge line)

2. Kedudukan bidang sumbu lipatan (hinge surface/axial surface)

3. Besar sudut antara sayap lipatan (interlimb angles)

4. Kesimetrian atau perbandingan panjang dari sayap – sayap lipatan.

5. Bentuk dari lapisan yang terlipat

6. Derajat dari sifat silinder suatu lipatan.


Gambar 7.9. Hubungan antara kedudukan perlapisan
batuan dengan topografi. Kemiringan bidang menaiki
topografi (a); Bidang vertikal (b); Bidang menuruni
topografi dengan sudut terjal (c); Bidang sejajar dengan
topografi (d); Bidang memotong topografi dengan sudut
rendah (e) (Marshak, 1988)

Ditinjau dari jenis klasifikasi, maka klasifikasi lipatan dikelompokan

dalam dua (2) jenis klasifikasi yaitu:

1. Klasifikasi lipatan dua (2) dimensi.

2. Klasifikasi lipatan tiga (3) dimensi

Klasifikasi dua dimensi adalah menampilkan bentuk penampang tegak

lurus sumbu lipatan dimana dalam klasifikasi ini dapat melibatkan ketebalan

lapisan yang terlipat atau tanpa melibatkan ketebalan lapisan yang terlipat.
Klasifikasi ini dapat dilakukan melalui penampang geologi dan dapat juga

dilakukan melalui pengolahan data – data kedudukan perlapisan batuan.

Klasifikasi lipatan yang dibuat oleh Fleuty, (1964, dalam Marshak, 1988,

hal 216), tidak melibatkan ketebalan lapisan yang terlipat tetapi hanya meninjau

bentuk permukaan dari lapisan yang terlipat, yaitu dengan mengetahui sudut

antara sayap – sayap lipatan tersebut (angles of interlimb) (gambar 7.10)

Gambar 7.10. Klasifikasi lipatan secara dua (2) dimensi


menurut Fleuty, 1964 (Marshak, 1988).

Klasifikasi lipatan secara tiga (3) dimensi, selain menunjukkan bentuk dua

(2) dimensi dari lipatan, juga menampilkan bentuk keseluruhan dan variasi dari

lipatan tersebut. Beberapa ahli yang membuat klasifikasi secara tiga (3) dimensi

diantaranya:
Fleuty, (1964, dalam Davis, 1984, hal 365); didasarkan pada hubungan

anatar bidang sumbu lipatan (hinge-line surface/axial surface) dan garis

sumbu lipatan (hinge-line/axial line).

Gambar 7.11. Diagram Klasifikasi Lipatan tiga (3)


dimensi menurut Fleuty (1964) (dalam Davis, 1984).

Rickard, (1971, dalam Ragan, 1973, hal. 57), didasarkan pada kombinasi

dari bidang sumbu lipatan (hinge-line surface/axial surface), garis sumbu

lipatan (hinge-line/axial line), dan lintasan dari sumbu lipatan (bearing

of hinge-line atau rake/pitch of hinge line)


Gambar 7.12. Klasifikasi Lipatan menurut Rickard, 1971.
Segitiga pengeploatan kedudukan lipatan , segitiga klasifikasi
lipatan, ilustrasi kedudukan lipatan .

Dalam penulisan ini klasisfikasi lipatan yang digunakan dalam

mengklasifiksikan lipatan yang terdapat pada daerah penelitian adalah Klasifikasi

dua (2) dimensi yang dibuat Fleuty, (1964) dan Klasifikasi tiga (3) dimensi

yang dibuat oleh Rickard, (1971).

7.6 Klasifikasi Lipatan Pada Daerah Penelitian

Lipatan yang terdapat pada daerah penelitian diklasifikasikan secara 2

(dua) dimensi dan 3 (tiga) dimensi, yang terdiri dari dua tahapan, yaitu:

7.6.1 Tahap Pengolahan Data.


Tahap pengolahan data adalah pengolahan data – data kedukan bidang

perlapisan batuan dengan metode Proyeksi Kutub dan Proyeksi Stereogrfis yang

bertujuan untuk menenrukan nilai dari beberapa unsure geometris lipatan, adapun

tahapan ini terdiri dari:

1. Membuat proyeksi kutub dari setiap kedudukan batuan (table 7.1) pada

jaring schimidnet.

Tabel 7.1 Data pengukuran kedudukan perlapisan batuan.

No No Stasiun Kedudukan No No. Stasiun Kedudukan


1 54 N 45/54 75 N 121/36
2 52 N 60/44 73 N 110/30
3 55 N 88/28 70 N 127/42
4 50 N 47/35 78 N 56/40
5 80 N 115/48 82 N 63/34
6 62 N 120/57 69 N 113/65
7 61 N 130/28 68 N 48/ 56
8 60 N 140/25 63 N 304/65
9 67 N 60/35 75 N 110/36
10 79 N 55/48 72 N 95/43
11 71 N 90/35 51 N 270/68
12 78 N 63/40 50 N 47/35
13 74 N 78/54 65 N 120/30
14 76 N 145/47 64 N 60/20
15 53 N 25/28 81 N 125/24

2. Titik proyeksi kutub tersebut selanjutnya dihitung kerapatannya dengan

jarring perhitungan (Kalsbeek net) yang ditandai dengan titik dan nilai

kerapatannya (gambar 7.13 a)

3. Selanjutnya dibuat pengkonturan yaitu dengan menghubungkan titik – titik

dengan nilai kerapatan yang sama (Gambar 7.13 b). Nilai kerapatan

tertinggi menunjukan proyeksi kutub (pole) dari kedudukan sayap – sayap


lipatan. Dengan menghimpitkan pada schimidnet diketahui kedudukan

sayap lipatan yang terdapat pada daerah penelitian adalah N 520/36(pole I)

dan N 1130/34 (pole II).

Gambar 7.13 (a) Pengolahan Data Kedudukan


Perlapisan Batuan. Proyeksi dengan menggunakan
Jaring Schimidnet
N 52o E/36

N113oE/34

Gambae 7.13 b. Perhitungan Kerapatan dan


pengkonturan hasil dari proyeksi Kutub

4. Pembuatan diagram Pi (π), yaitu dengan mengatur sedemikian rupa

sehingga pole I dan pole II terletak pada jarring lingkaran besar (Great

cirle) Schimidnet yang selanjutnya disebut Pi II (π)cirle. Proyeksi tegak

lurus Pi (π) cirle merupakan kedudukan garis sumbu sumbu lipatan”

(hinge line = 510/N 356 E dan (π) axis). Sudut antara kedua pole tersebut

merupakan sudut antara sayap - sayap lipatan (angle of interlimb = 340

(gambar 7.14)

5. Pembuatan diagram Be (β) yaitu dengan membuat proyeksi stereografis

dari kedudukan umum sayap – sayap lipatan telah diperoleh pada langkah

3. Perpotongan antara kedua bidang tersebut ditandai dengan (β) axis,


dimana merupakan kedudukan garis lipatan (hinge line =520 N 356 E ≈

(π) axis), dan rake/picth = 520 (gambar 7.15)

6. Penentuan bidang sumbu Lipatan (hinge surface/axial plane) yaitu

dengan menggabungkan diagram Pi (π) dan diagram Be (β) pada

schimidnet. Selanjutnya bidang sumbu lipatan (hinge surface/axial plane)

dan bagi dua interlimb terletak pada satu lingkaran besar (great cirle).

Diperoleh kedudukan bidang sumbu lipatan (hinge – surface/axial plane =

N 176 E/800) gambar 7.16

π axis = 51o/ N 356oE

Pole II = N113oE/34 Pole I = N 52o E/36

Gambar 7.14. Penetuan Sumbu dan Sudut Dalam


(Interlimb) lipatan dengan Diagram Pi (π)
β axis = 52o/ N 354o
E

Limb I= N113oE/34 Limb II = N 52o E/36

Gambar 7.15. Penetuan Sumbu dan Sudut Dalam


(Interlimb) lipatan dengan Menggunakan Diagram Be
(β)

Bidang sumbu Lipatan


N 176 E 80o

Gambar 7.16 Penetuan Bidang sumbu lipatan


berdasarkan diagram Pi (π) dan diagram Be (β).
Bidang sumbu lipatan N 176 E 80o
7.3.2. Tahap Klasifikasi Lipatan

Tahap Klasifikasi lipatan yaitu mengkomplikasikan unsure – unsure

geometri struktur lipatan yang telah diperoleh pada tahap pengolahan data dengan

diagram klasifikasi dua dimensi (Fleuty, 1964) dan diagram klasifikasi tiga

dimensi (Richard, 1971).

Diagaram klasifikasi dua dimensi (Fleuty, 1964) didasarkan pada besar

sudut antara sayap – sayap lipatan (angle of interlimb). Dari pengolahan data

diketahui sudut antara sayap – sayap lipatan (angle of interlimb) adalah 340 Maka

menurut klasifikasi dua dimensi (Fleuty, 1964), lipatan yang terdapat pada daerah

penelitian digolongkan sebagai lipatan close (Gambar 7.17)

Gambar 7.10. Klasifikasi lipatan secara dua (2) dimensi


menurut Fleuty, 1964 (Marshak, 1988).

Diagram klasifikasi tiga dimensi (Richard, 1971) didasarkan pada

kemiringan sumbu lipatan (plunge of hinge line), kemiringan bidang sumbu

lipatan (dip of hinge surface/axial plane) dan pitch rake.


Dari hasil pengolahan data di atas diketahui kemiringan sumbu lipatan

(plunge of hinge line) = 520, kemiringan bidang sumbu lipatan (dip of hinge

surface/axial plane) = 800 dan pitch rake =520. Maka menurut klasifikasi tiga

dimensi (Richard, 1971) lipatan yang terdapat pada daerah penelitian digolongan

sebagai Upright folds (gambar 7.17)

Gambar 7.17 Klasifikasi Lipatan pada daerah penelitian dengan


bidang sumbu lipata N 1760E/80, Sumbu lipatan 520, N 3560 E dan
sudut dalam lipatan (interlimb) 340. Jenis lipatan Upright fold.
7. 4 Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data dan klasifikasi lipatan, dapat diambil beberapa

kesimpulan yaitu:

1. Unsur – unsure geometris lipatan yang dapat ditentukan kedudukannya adalah:

Garis sumbu lipatan (hinge-line) = 520 N 1540 E


Bidang Sumbu lipatan (Hinge surface/ axial plane) = N 1760 E/860

Rake pitch = 520

2. Secara dua (2) dimensi, lipatan yang terdapat pada daerah penelitian

digolongkan sebagai lipatan tertutup (Close) (Fleuty, 1964).

3. Secara tiga (3) dimensi, lipatan pada daerah penelitian digolongkan sebagai

Upright Fold (Rickard, 1971).

4. Lipatan pada daerah penelitian terbentuk akibat tegasa minimum regional yang

bertindak sebagai tegasan maksumum lokal berarah relatif Timurlaut –

Baratdaya.

5. Batuan resisten Lempung pasiran yang mengalami perlipatan ditandai dengan

bukit – bukit sisa yang sejajar Barat - Timur


BAB VIII
PENUTUP

VIII.1 Kemsipulan

Beberapa kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Daerah penelitian tersusun atas empat satuan morfologi, yaitu satuan

perbukitan struktural seluas 22,15 Km2, satuan perbukitan denudasional

seluas 20,32 Km2, satuan pedataran fluvial seluas 9,20 Km2, satuan pedataran

asala marine 2, 04 Km2. Pola aliran sungai yang berkembang pada daerah

penelitian yaitu pola denritik dan trellis umumnya berkembang pada satuan

struktutral, satuan perbukitan denudasional, satuan fluvial, dan satuan

pedataran asala marine. Tipe genetik sungai terdiri atas konsekuen dan

subsekuen. Stadia daerah penelitian adalah muda menjelang dewasa.

2. Stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi 3 satuan dan 2 endapan yaitu:

a. Satuan batulempung pasiran yang berumur Miosen Akhir bagian tengah

– Miosen Akhir bagian atas diendapkan pada lingkungan laut dangkal

neritik luar, disebandingkan dengan formasi Sfc

b. Satuan batuan beku granit yang berumur Miosen Akhir bagian atas

merupakan kepingan – kepingan batuan dari formasi Granit Melaiurna.

c. Satuan batuan beku serpentinit yang berumur pliosen merupakan batuan

kerak samudra.

d. Endapan aluvial yang berumur holesen terdiri dari material – material

lepas dan menutup satuan batuan yang lain.


e. Endapan asal marine yang berumur holosen merupakan proses

sedimentasi pada zona garis pantai (shore line).

3. Struktur geologi daerah penelitian terdiri atas lipatan, kekar, dan sesar naik.

Struktur ini terbentuk setelah adanya proses pengangkatan oleh tegasan

regional relatif utara – selatan.

4. Bahan galian pada daerah penelitian terdiri endapan pasir.

5. Jenis lipatan pada daerah penelitian adalah Upright fold dan merupakan

lipatan tertutup (close).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999, Batuan Sedimen, Terjemahan dari Sedimentary Rock,


Pettijohn 1975, Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
Mineral, Universitas Trisakti, Jakarta.
Asikin, S, 2000, Buku pedoman Geologi Lapangan, Depertemen Teknik

Geologi, ITB , Bandung

A.Pulonggono, A,Suparman , A, Assegaf, T. Purwanto , 1990, Geologi Daerah

Gerba dan sekitarnya, Sumatra Selatan, Kajian Hasil Pemetaan

Geologi Mahasiswa S-1 ( 1984 – 1987 ), Universitas Trisakti

Asikin , S 1977, Dasar-dasar geologi Struktur , Departemen teknik geologi

bandung , ITB , Bandung

Barnes J.W,Basik Geologikal Maping, Geologial Society of London Hand

Book, The Open University Press Milton Keynes, Jhon Wiley and

Sons, Ney York , Toronto

BPR Pantura Jakarta., 2000, Model Matematik Hidrodinamika Teluk Jakarta,

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik UGM

D. B Dow, G..P. Robinson ( BMR ), U . Hortono N. Ratman ( GRDC ) , 1988,

Geology of Irian Jaya Preliminary geological Report, Indonesian

Australian Geological Maping project Geological Research and

Defoltment Center, Indonesia .

D,B Dow , G..P Robinson ( BMR ), U . Hartono and Ratman ( GRDC ), 1986,

The Geological Map of Irian Jaya, 1: 1.00.000, Geological


Research Development center, Departemen of Mining and Energy,

Bandung and Bureau of Mineral Risour cesand Energy, Canbera

Australian.

Dahuri, Rokhman, dkk, 2004, Pengelolahan Sumber Daya Pesisir dan Lautan

Secara Terpadu – Cetakan Ke IV Edisi Revisi, PT. Prsdnya

Paramita, Jakart

Nibakken, J., 1994, Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis, PT. Gramedia,

Jakarta

Salim, H., 2001, Pengaruh Pasang Surut dan Peningkatan Muka Air Laut

Terhadap Banjir, Buletin Geologi, ITB Bandung


LAMPIRAN 1

Deskripsi Petrografi

No. Sampel ST 28 Tanggal


Asal contoh Papua Tujuan Analisis geologi

Nama Batuan : Granit

Deskripsi sayatan tipis :


Sayatan memperlihatkan tekstur holokristalin, dengan ukuran kristal 0.1 –
0.8 mm, bentuk butir kristal , tersusun atas mineral kuarsa, plagioklas,
muskovit, dan grafit.

Deskripsi komposisi :
- Kuarsa, tidak berwarna, warna interferensi putih, ukuran 0.1 – 0.4
mm, bentuk butir euhedra, kehadiran melimpah, penyebaran
merata.
- Plagioklas, tidak berwarna, warna interferensi putih keabu-abuan,
ukuran 0.2 – 0.5 mm, bentuk butir euhedra, kehadiran cukup
melimpah, penyebaran merata.
- Muskovit, tidak berwarna, warna interferensi kuning kehijau-hijauan,
ukuran 0.2 – 0.8 mm bentuk euhedra, kehadiran melimpah,
penyebaran merata.

Foto : nikol bersilang


A B C D E F G H I J K L M N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

0 0.5 mm
LAMPIRAN 2

Deskripsi Petrografi

No. Sampel ST 52 Tanggal


Asal contoh Papua Tujuan Analisis geologi

Nama Batuan : Packstone

Deskripsi sayatan tipis :


Sayatan memperlihatkan tekstur klastik, grain supported, tersusun atas mikrit
(lumpur karbonat) dan butiran kalsit, dan fosil.

Deskripsi komposisi :
- Mikrit, berwarna coklat, warna interferensi coklat kekuning-kuningan,
ukuran butir <0.01 mm, kehadiran melimpah, penyebaran merata. (41%)
- Kalsit, tidak berwarna, warna interferensi putih, ukuran butir 0.05 – 0.1
mm, bentuk butir subangular-subrounded, kehadiran melimpah,
penyebaran merata. (47%)
- Fosil, berwarna kecoklat-coklatan, ukuran 0.05 – 0.1 mm, kehadiran cukup
melimpah, penyebaran merata. (12%)

Foto : nikol bersilang


A B C D E F G H I J K L M N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

0 0.2 mm
LAMPIRAN 3

Deskripsi Petrografi

No. Sampel ST 29 Tanggal


Asal contoh Papua Tujuan Analisis geologi

Nama Batuan : Serpentinit

Deskripsi sayatan tipis :


Sayatan memperlihatkan tekstur mesh, tersusun atas serpentin, piroksen,
mineral opak,

Deskripsi komposisi :
- Serpentin, tidak berwarna, warna interferensi putih, berbentuk
fibrous yang membentuk tekstur mesh pada batuan ini, kehadiran
sangat melimpah, penyebaran merata.
- Piroksen, tidak berwarna hingga kecoklat-coklatan, warna
interferensi kuning kemerah-merahan, piroksen pada batuan ini
sudah terubah sebagian, kehadiran melimpah, penyebaran merata.
- Mineral opak, berwarna coklat kehitam-hitaman, opak, ukuran 0.2 –
0.3 mm, kehadiran kurang melimpah, penyebaran kurang merata.

Foto : nikol bersilang


A B C D E F G H I J K L M N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

0 0.5 mm
LAMPIRAN 4

MIOSEN

KUARTER
OLIGOSEN PLIOSEN SPESIES FORAMINIFERA
PLANTONIK

Bawah Tengah Atas

) ,
Orbulina universa D ORBIGNY)

) ,
Globorotalia menardi D ORBIGNY)

)
Globigerinoides conglobatus BRADY)
)
Globigerina seminulina SCHWAGER)

N 21 N 22
6
N 11 N 13 N1 6 6
BLOW, 1 6
6
N1 N2 N3 N4 N5 N6 N7 N8 N N 10 N 12 N 14 N 15 N 16 N 17 N 18 N 20 N 23

Tabel 3.1 Penentuan Umur Relatif Satuan Batulempung ST 52


LAMPIRAN 5

)
L in g ku n g an P e n g e n d ap an B o lto vs ky an d W rig h t, 17 6 )
Zon a Zon a N e ritik Zo n a N eritik Zo na N e ritik B athy al Ba th ya l
SP E SIE S F O R A M IN IF ER A Tran sisi Te p i Te n ga h Lu a r A ta s - Te n ga h A ta s
B EN T O N IK
0 0 - 3 0 M tr 3 0 - 1 0 0 M tr 1 0 0 - 13 0 M tr 1 3 0 - 3 0 0 0 M tr 3 0 0 0 - 5 0 0 0 M tr

G y ps ina S P

M a rgi on op ora S P

Le py do y c l ina S P

M y o gi ps i na S P

K isa r an K ed alam an Zo n a N eritik Lu a r

Tabel 3.2 Penentuan Lingkungan Pengendapan ST 52

Anda mungkin juga menyukai