Novel Bahasa Indonesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 131

Thanks to…

Yang pertama dan yang paling utama, terima


kasih kepada Allah Swt., karena atas karunianya, saya
bisa menikmati hidup saya yang singkat, bertemu dengan
orang-orang hebat yang memberi saya pengalaman yang
tak terlupakan, dan atas kehendak-Nya juga, saya dapat
menyelesaikan novel ini. Dan juga kepada kedua orang
tua saya yang tiada hentinya memberi dukungan agar
novel ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Dan ucapan terima kasih yang sebesar-


sebesarnya juga saya berikan kepada guru bahasa
Indonesia saya, Ibu Nunung Jumiati, karena beliau telah
memberi tugas untuk membuat novel ini, sehingga saya
dapat mengklarifikasi dengan jelas bagaimana masalah-
masalah yang terjadi dari sudut pandang saya.

Saya juga ingin berterima kasih kepada teman-


teman terbaik saya, atas apapun andil kalian dalam
pembuatan novel ini, terutama, kepada teman sekelas
saya, Yustisia W.N. yang telah secara sukarela
membuatkan desain cover novel ini, dan Lisa Ariani

1
yang telah turut membantu dalam proses percetakan
novel ini.

Dan ucapan terima kasih yang terakhir, saya


berikan secara spesial kepada tiga orang teman saya
yang telah turut menjadi tokoh utama dalam novel ini.
Kalian telah menjadi inspirasi dalam hidup saya
sehingga dapat saya tuangkan ke dalam novel ini. Dan
tak lupa, ucapan terima kasih saya berikan kepada
pembaca novel ini. Teruslah berkarya pemuda Indonesia.

2
DAFTAR ISI

PROLOG
AWAL DARI SEGALANYA
SEDINGIN ANTARTIKA
RUNTUHNYA BENTENG
PERTAHANAN
MANIS TIADA TARA
MELELEH DAN BERPINDAH
HAKUNA MATATA
PENEMUAN SPESIES BARU
NOMOR 1 DAN 2 MENJADI SATU
WHAT’S NEXT? THIRD

EPILOG

3
PROLOG
Dalam rumah kayu yang hanya diterangi cahaya
lilin, dingin menembus selimut yang kugunakan. Di luar,
rintik hujan dan atap rumah beradu membentuk sebuah
melodi yang indah. Mungkin karena hujan ini, PLN
mematikan sambungan listriknya, pikirku sambil
memegang erat ponselku, sesuatu sedang kutunggu saat
ini. Enam menit berlalu, tetapi belum ada SMS yang
masuk ke ponselku, oke, aku semakin gelisah sekarang,
kemana kah dia saat ini? Apakah benar-benar
membutuhkan waktu yang lama untuk membalas sebuah
pesan?

Satu. Dua. Tiga. Empat. Aku berhitung untuk


mengisi kebosanan, Akhirnya ponsel ku berdering pada
hitungan ke empat belas. Dion. Begitulah nama yang
tertera di layar hp ku. Segera sebuah senyum terbentuk
dari mulutku dan dalam hati, aku berkata, yess akhirnya.
Jantungku berdetak begitu kencang ketika aku menekan
tombol ‘buka pesan’. Masih dengan senyum yang lebar
aku membaca pesan itu dalam hati.

4
Dion: Iya ola sayang, gampang aja kok, besok
habis pulang sekolah kita makan dulu :)

Ola? Aku membaca SMS itu sekali lagi, aku


memastikan bahwa SMS itu benar-benar dari Dion, aku
mengecek nomor pengirimnya, dan benar itu adalah
nomor Dion. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi,
tiba-tiba ponselku berdering lagi. Lagi-lagi, nama Dion
tertera, segera kubuka pesannya.

Dion: Maaf rel, tadi salah kirim.

Dalam sekejap tubuhku terasa lemas, mataku


perih dan perlahan mengeluarkan air mata yang semakin
lama semakin deras. Hawa dingin dari hujan benar benar
menusuk sampai ke tulang. Rasanya seperti langit
beserta isinya jatuh menimpaku, perasaan dan pemikiran
yang selama ini kuanggap benar, hanya impian semata.
Malam ini, aku menangis sejadi-jadinya, sambil
menyadari betapa bodohnya aku selama ini. Aku terus
menangis hingga tak kusadari aku pun terlelap dengan
air mata yang mengering di pelipis kananku.

5
Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok, yang
terpenting bagiku saat ini adalah malam ini segera
berlalu. Aku berharap tuhan masih memberiku
kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Esok.

6
BAB I

AWAL DARI SEGALANYA

A simple hello could lead to a million things.


-Unknown

7
Pagi ini matahari bersinar begitu cerah di langit
Tenggarong, Kutai Kartanegara. Hawa pagi yang dingin
dan sejuk membuatku ingin meringkuk didalam selimut
lebih lama lagi, sampai aku teringat sesuatu, INI HARI
PERTAMA SEKOLAH. Segera aku melompat dari atas
ranjang empukku. Aku sangat bersemangat hari ini,
membayangkan bagaimana wajah teman-temanku
setelah liburan panjang yang super membosankan.
Karena terlalu bersemangat, sampai-sampai kakiku
menghantup meja rias yang terletak di samping lemari.

“Aduh…” Kataku sambil tetap berjalan ke kamar


mandi, rasa bahagiaku lebih besar dari pada rasa sakit di
jari kelingking kakiku.

Aku bersiap selama dua puluh menit, waktu yang


cukup singkat mengingat aku adalah seorang wanita.
Saat sekolah, penampilanku memang biasa saja,
menggunakan jilbab putih bersih yang telah di setrika
rapi, baju seragam putih dan rok abu-abu. Karena
bagiku, di sekolah memang tak ada yang benar-benar
menarik, kecuali teman-temanku tercinta. Setelah selesai
bersiap-siap, aku berjalan dengan riang menuju meja

8
makan, disana, mamaku telah menyiapkan makanan
favoritku, yaitu nasi goreng.

“Ayo makan dulu, sayang.” Kata mama sambil


memberikan sepiring nasi goreng.

“Iya mah, terima kasih.” Kataku sambil


mengecup pipi mama.

Aku segera menghabiskan nasi gorengku, jam


dintding di rumahku telah menunjukkan pukul 6:45.

“Ma, lima belas menit lagi upacara mulai nih,


aku berangkat ya.” Aku berkata seraya menyalimi tangan
mama.

“Iya sayang, hati-hati yaaaa.” Kata mama

Aku berangkat sekolah dengan berjalan kaki


karena jarak sekolah dengan rumahku memang tidak
terlalu jauh. Di perjalanan, aku bertemu teman-temanku
yang mengendarai sepeda motor, Ya tuhan, aku benar-
benar tidak sabar bertemu mereka. Ku percepat langkah
ku ke sekolah.

9
Sesampai di sekolah, upacara sudah hampir
mulai, bahkan, pagar sekolah sudah hampir ditutup.
Untung masih sempat, ucapku dalam hati. Aku berjalan
menuju pinggir lapangan dan menaruh tas ku di sana.
Sudah merupakan rutinitas di sekolah, kalau hari
pertama setelah libur akan diakan upacara sehingga
murid-murid harus meletakkan tas mereka di pinggir
lapangan karena belum memiliki kelas. Setelah
meletakkan tas, aku segera mencari teman-temanku
diantara ratusan murid lainnya. Yang pertama
kutemukan adalah Risty.

“Ristyyyyyy…” Teriak ku.

Orang yang ku panggil pun menoleh, dia


memicingkan matanya, mungkin karena jarak kami yang
cukup jatuh.

“Aurelllllllll..” Teriak Risty

Kami berlari mendekat, dan berpelukan.

“Astaga, habis liburan makin subur aja badan


kamu!” kataku sambil melepas pelukan kami.

10
“Eh kamu ya, selalu menegur masalah badan,
mentang mentang badanmu kaya lidi” kata Risty.

“Haha, mana yang lain nih, Ris? Kok nggak


kelihatan?” tanyaku pada Risty

“Itu mereka semua udah kumpul di barisan, kamu


doang yang sendirian mondar mandir.” Jawab Risty.

Kami segera berlari menuju barisan, di sana,


teman-temanku sudah berbaris dengan rapi. Beberapa
dari mereka benar-benar sangat kurindukan misalnya
Rani yang pendiam, Panjul yang selalu membuat kami
tertawa, dan pacarnya yang bernama Ayu, kupikir,
mereka benar-benar serasi, ada Nala dan, satu lagi
temanku yang selalu heboh bernama Robi. Perlu kalian
ketahui Robi ini seorang perempuan, nama lengkapnya
adalah Robbiatul Adawiyah, sifatnya yang blak-blakan,
cepat panas dan kadang tak terkontrol membuatku betah
berteman dengannya, dia sudah kuanggap seperti
saudara sendiri. Aku sangat bersyukur karena dapat
menghabiskan masa SMA ku dengan dikelilingi orang
yang peduli dengan keberadaan orang lain.

11
Upacara berlangsung selama lima belas menit
dan dilanjutkan dengan acara Halal Bi Halal yaitu
bermaaf-maafan antara murid dan guru. Setelah itu,
murid-murid kembali ke barisan masing-masing. Hawa
panas benar-benar menyengat, namun kami harus tetap
berdiri, menunggu kertas pengumuman pempatan kelas
ditempel di mading. Aku membungkuk untuk berlindung
dengan temanku yang tinggi. Terdengar suara sorakkan
dari arah belakang, yang meminta untuk segera
dibubarkan karena hawa panas yang tak tertahankan.

Aku berseru, “Robi, masih lama kah


nempelinnya?”

Robi menjawab dengan sewot, “Mana aku tahu,


kelihatan kok dari sini sudah ditempel atau belum.”

“Yaelah, nggak usah marah kali, neng” kataku


sekenanya.

Robi kembali menyahut, “Panas ini bikin aku


sensi, taukk.”

12
“Bukannya kamu sensi setiap saat” kataku sambil
mengelap keringat dengan tisu.

Tiba-tiba terdengar suara dari arah depan.

“Baik anak-anak, pengumuman kelas sudah di


tempel, silahkan kalian lihat kelas kalian dan masuk ke
kelas masing-masing.” Kata pak Bagus.

Segera anak-anak berlarian menuju mading,


bagaikan kumpulan semut yang bergerak ke berbagai
arah. Mereka menyerbu mading, mencari nama masing-
masing dan berteriak. Aku pun ikut berebut untuk
mencari namaku di mading. Sebenarnya aku sangat
benci berdesak-desakan seperti ini, membuat aku harus
bertarung memperebutkan oksigen dengan manusia-
manusia lainnya, selain itu berbagai bau badan dan
parfum bercampur menjadi satu benar-benar membuatku
muak, ditambah lagi kami habis melaksanakan upacara,
makin menjadilah bau itu, aroma ini membuat kepalaku
menjadi pusing. Ku harap aku tidak akan pernah
mencium aroma seperti ini lagi.

13
Saat aku berhasil mencapai barisan tepat di depan
mading, aku segera mencari namaku, Aurelia Aurita.
Aku mencari namaku didaftar kelas XI MIA 1, XI MIA
2, XI MIA 3, XI MIA 4, dan XI MIA 5, namun tak ada
namaku dimana pun, aku mulai panik. Aku pun
menelusuri daftar itu sekali lagi, dan kutemukan namaku
di daftar kelas XI MIA 5, betapa leganya aku. Lalu,
kulihat lagi berbagai nama yg ada disana, senangnya aku
melihat aku kembali sekelas dengan Robi, dan Nala.
Sekilas aku melihat sebuah nama yang tidak pernah
kukenal sebelumnya. Dion Ezra. Nama yang begitu
singkat, pikirku, namun ku tak peduli, yang penting
semester ini akan ku habiskan bernama Robi dan Nala
lagi.

Sedikit informasi, mungkin kalian merasa pernah


mendengar atau membaca namaku di buku pelajaran
biologi atau ensiklopedia. Ya, perasaan kalian tidak
salah, namaku memang nama sebuah spesies ubur-ubur
dari genus Aurelia. Ayahku adalah seorang ahli zoologi,
dan beliau tergila-gila dengan spesies ubur-ubur ini, jadi
ketika aku lahir, tanpa berpikir panjang, beliau langsung

14
memberiku nama Aurelia Aurita. Aku bangga dengan
nama yang kupunya, nama ini unik dan tidak sama
dengan siapa pun.

Aku, Robi, dan Nala segera mencari kelas kami,


XI MIA 5. Saat kami sampai dikelas, ternyata sudah
banyak murid yang disana. Aku bersyukur karena semua
teman kelasku sudah ku kenal, hingga mataku tertuju
pada satu orang, dia seorang anak laki-laki, sedang
duduk sendirian di barisan belakang ujung sebelah
kanan. Cowok ini nampak begitu asing untukku, dia
berkulit kuning langsat dan berwajah tirus, matanya
sangat sipit, dengan badan yang berisi dibalut dengan
seragam sekolah kami, aku tidak bisa memperkirakan
tingginya karena dia sedang duduk. Rambutnya yang
hitam pekat diatur rapi dengan pomade. Wajahnya yang
tenang mengisyaratkan kedamaian dan, matanya
memancarkan kehangatan. Jika disuruh memberi nilai
untuk cowok yang satu ini, aku pikir dia pantas
mendapat nilai 8/10 atau bisa dibilang ‘hampir
sempurna’.

15
Cowok itu membuyarkan lamunanku dengan
melambaikan tangannya ke arahku, oh tuhan, apakah aku
ketahuan sedang melamun tentang dia. Setelah aku
tersadar, dia tersenyum padaku, benar-benar tersenyum,
senyum yang hangat tetapi disampaikan dengan gaya
yang cool, gigi gingsulnya menambah kesan manis
senyum itu. Rasanya seperti disengat listrik dengan
kekuatan tinggi mendapatkan senyum seperti itu,
jantungku tak terkendali dan suhu tubuhku menurun.
Oke, aku sangat canggung saat ini, mau tidak mau aku
harus membalas senyumnya. Tanpa kusadari sebuah
senyum gigi terbentuk diwajahku. Aku tahu, saat aku
menunjukkan senyum gigi itu, aku pasti terlihat bodoh
sekali. Aku menyesali senyum gigi itu, seharusnya aku
bisa tersenyum lebih anggun kan?

Saat seorang guru memasuki kelas kami, murid


XI MIA 5 yang masih berada berada diluar segera
memasuki kelas, bahkan bisa kudengar kata-kata
perpisahan terucap dari salah satu murid perempuan,
mungkin dia terpisah kelas dengan sahabatnya, pikirku.
Setelah semua murid telah memasuki kelas, ibu guru

16
mulai bercakap dengan kami, suara beliau yang lembut
namun tegas menunjukkan kewibawaan.

“Assalamualaikum anak-anak, selamat pagi,”


kata bu guru.

“Wa’alaikumsalam bu, selamat pagi” jawab kami


serempak.

“Baik, perkenalkan nama saya Bu Ellis, saya


akan menjadi wali kelas kalian selama satu semester ini,
saya harap kita dapat menjalin kerja sama yang baik.”
Terang bu Ellis.

Sebagian anak-anak menanggapinya dengan


mengangguk, ada pula yang tetap diam tak bergeming.

“Untuk mengawali kelas,saya akan mengabsen


kalian satu persatu, silahkan sebutkan alamat kalian saat
nama kalian saya panggil,” kata bu Ellis

“Iya buu..” jawab kami

“Abela Safitri…” bu Ellis mulai mengabsen

17
Saat aku menunggu giliran namaku dipanggil,
aku menjadi gelisah karena tidak tahan dengan rasa
penasaran akan nama cowok misterius yang
melemparkan senyum indah tadi, aku pun bertanya
dengan Robi. Dan ternyata pertanyaanku malah mencing
rasa penasaran Robi.

“Eh rob, coba kamu liat cowok di pojok situ,


asing nggak sih mukanya?” tanya aku dengan nada
menyelidik.

“Eh iya, kayaknya dari kelas reguler deh” kata


temanku yang tidak bisa diam ini.

“Siapa yaa kira-kira namanya?” tanyaku lagi.

“Nggak tau deh, memangnya kenapa sih? Penting


banget apa ya buat kamu?” tanya Robi dengan mata
yang disipitkan seolah-seolah sedang menyelidiki
sesuatu.

“Nggak ada sih, hehe” jawabku salah tingkah.

18
“Tidak biasanya kamu peduli dengan anak seperti
itu, pasti ada apa-apanya, ‘mencurigakan’” kata robi
dengan penekanan pada kata mencurigakan.

Pada saat yang sama, bu Ellis memanggil


namaku.

“Aurelia Aurita” panggil Bu Ellis.

“Saya bu, Jalan Panjaitan, gang Taqwa 1”


jawabku.

Bu Ellis menuliskan alamatku dan terus


mengabsen ke nama selanjutnya, hingga tiba pada suatu
nama yang menarik perhatianku.

“Dion Ezra..” absen bu Ellis

Lalu terdengar sahutan dari arah belakang, sontak


semua murid menoleh ke belakang, penasaran siapa yang
namanya disebut. Ternyata cowok misterius itu yang
mengacungkan tangannya.

“Saya bu, Jalan Alimudin, gang Rukun.”


Jawabnya singkat lalu kembali menunduk

19
Tiba-tiba bu Ellis berkata dengan lembut “Kamu
pasti sebelumnya bukan berasal dari MIA 1 atau MIA 5
ya? Karena muka mu tampak asing buat saya.”

“Iya bu, saya dari kelas MIA 4” jawab dia


dengan senyum yang sopan.

“Baiklah, selamat untuk mu, teruslah belajar


dengan giat agar bisa tetap bertahan di kelas ini” saran
bu Ellis.

“Iya bu, terima kasih banyak” jawab si cowok


misterius.

Oh, jadi dia yang namanya Dion Ezra, itukan


nama singkat yang kulihat di mading tadi. Tapi siapa
yang peduli, palingan dia sama membosankan dengan
anak cowok lainnya, pikirku. Sebenarnya, aku tidak
sepunuhnya tidak peduli dengan Dion, karena
menurutku, dia cukup tampan dengan senyumnya yang
benar-benar mengalihkan perhatianku untuk beberapa
saat. Saat ini, antara hati dan otakku sedang terjadi
pertentangan, siapa yang akan memenangkannya aku

20
pun tak tahu, lebih tepatnya tak mau tahu. Biarkan
semua terjadi apa adanya tanpa dibuat-buat.

Ya! Dari sinilah sebuah kisah manis, asam, pahit,


dan asin dimulai, dimana hatimu terombang ambing dan
otak mu hanya menonton ketika kau bertingkah bodoh
dihadapannya.

21
BAB II

SEDINGIN ANTARTIKA

Di tempat paling dingin sekalipun… selalu ada cerita


hangat.

-K.A.Z Violin

22
Minggu-minggu pertama sekolah sudah lewat.
Aku dan teman-teman dengan cepat dapat beradaptasi
dengan pelajaran dan kegiatan kelas sebelas yang padat.
Guru-guru mulai memberikan tugas-tugas, baik tugas
kelompok maupun tugas individu, bahkan beberapa
tugasnya benar-benar membuatku hampir gila. OK, aku
mulai hiperbola, pikirku untuk menghentikan sikap
dramaku yang berlebihan. Tetapi murid di sekolah
tempat aku menuntut ilmu ini, sudah didesain untuk
tahan terhadap berbagai tekanan, jadi aku pun merasa
hampir-gila-tapi-terbiasa. Perasaan macam apa ini.

Hari ini, pelajaran terakhir adalah Biologi. Aku


sangat menyukai pelajar ini, bagiku manusia beserta hal
disekitarnya itu unik sekali, dan dengan biologi kita
dapat mengetahui bagaimana itu semua dapat terjadi.
Tapi, entah mengapa, hari ini aku mengantuk sekali saat
pelajaran biologi sampai-sampai teman yang duduk
disampingku, Rani, harus membangunkan aku beberapa
kali, ditambah lagi suasana kelas yang hening membuat
mataku terasa semakin berat. Selama jam pelajaran aku

23
terus memplototi jam dinding, berharap benda bulat dan
memiliki dua jarum itu bergerak lebih cepat.

Saat jam dinding menunjukkan pukul 12:15,


mataku berbinar dan sebuah senyum terbentuk di
wajahku bagaikan seorang anak taman kanak-kanak
yang mendapatkan sebuah permen yang sangat besar.
Tinggal dua puluh menit lagi aku bisa pulang dan
menikmati kasurku yang empuk dan hangat, pikirku
senang. Namun, tiba-tiba bu Nurul, guru biologi kami,
memberikan tugas yang benar-benar merusak senyum
bahagiaku.

“Sekarang, buka halaman 52, kerjakan soal-soal


itu secara berkelompok, dan kumpulkan di pertemuan
selanjutnya.” Kata bu Nurul yang disambut dengan
keluhan murid-murid.

Aku benar-benar sudah tidak peduli dengan


tugas, yang kuinginkan saat ini hanyalah tidur siang
yang panjang. Saat, pulang sekolah, ketua kelas kami,
Tara, maju ke depan dan memberikan beberapa

24
pengumaman. Aku mendengarkannya dengan menopang
dagu, karena rasa kantuk yang terlampau berat.

“Jadi, tugas biologi kan berkelompok nih, kalian


mau kelompoknya pilih sendiri atau gimana?” tanya
Tara dengan nadanya yang khas.

“Sesuai jadwal piket saja, aku ingin cepat-cepat


pulang, ada ekskul nih” celetuk seseorang dari arah
belakang, aku nggak tau siapa itu, dan aku terlalu malas
untuk menoleh kebelakang.

“Ok, sesuai jadwal piket aja yaa, silahkan


hubungi kelompok masing-masing” tutup ketua kelas
kami yang berbadan mungil itu.

“Akhirnya aku pulang” teriakku entah kearah


siapa.

Di perjalanan pulang, aku berusaha mengingat-


ingat siapa saja yang hari piketnya sama denganku,
tetapi yang kuingat hanya Syifa. Mungkin Syifa ingat
semua, kataku dalam hati. Sesampai di rumah, aku
segera melepas tasku dan pergi tidur siang. Aku memang

25
terbiasa tidur siang tanpa mengganti seragam sekolahku,
karena menurutku seragam sekolahku itu dingin dan
sangat pas untuk dipakai tidur siang.

Pukul 03:30 sore, alarm pada ponselku berbunyi,


sengaja aku menyalakan alarm karena aku tahu aku pasti
akan keterusan tidur jika tidak tidak pakai alarm. Aku
mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban
seorang muslim, sholat Ashar. Setelah sholat, aku
mengecek ponselku, ada beberapa SMS yang belum
dibuka salah satunya dari Syifa.

Syifa: Rel, besok kita kerja kelompok biologi dirumahku


jam 3 sore ya.

Aku pun segera membalas pesan singkat itu.

Aurel: Ok sif, atur aja. Btw, kelompok kita siapa aja ya?
Aku lupa, hehe.

Syifa: Ayu, Dion, dan Tita, kamu sih tidur mulu wkwk.

Aku tertawa ringan membaca SMS Syifa,


memang benar sih yang dia bilang. Aku membaca sekali
lagi nama teman sekelompokku, dan aku melihat nama

26
Dion. Ya elah kenapa sih harus sekelompok sama dia,
malas banget deh, runtukku dalam hati.

Keesokan harinya, aku buru-buru pulang ke


rumah, karena hari ini ada kerja kelompok. Sesampai di
rumah, aku segera sholat zuhur dan makan. Aku benar-
benar lambat saat makan, dan itu salah satu
kekuranganku yang ku sadari. Akibatnya aku baru
selesai makan pukul dua sore. Ah, siapa yang peduli,
mereka juga akan mengerti mengapa aku terlambat,
pikirku sambil jalan menuju kamar mandi. Ketika
berjalan menuju kamar mandi, aku melewati televisi, dan
melihat kartun favoritku, Code Lyoko, sedang disiarkan,
akhirnya aku memutuskan untuk menonton sebentar.

Dan benar saja, aku sampai dirumah Syifa jam


3:16. Oke, telat enam belas menit bukan sesuatu yang
terlalu buruk, kataku pada diri sendiri untuk
meyakinkan. Ketika aku masuk ke rumah Syifa, ternyata
disana baru ada Dion.

“Astaga, kukira kalian semua sudah pada


kumpul, tinggal aku aja yang belum” kataku kaget.

27
“Iya nih, mereka ngaret banget, seperti biasa”
jawab Syifa santai sambil memainkan ponselnya,
sepertinya dia sedang mnghubungi anggota kelompok
yang belum datang.

Aku memilih duduk disamping Dion karena


kebetulan didekatnya ada kipas angin, siang ini benar-
benar panas. Ruangan itu hening, aku dan Syifa sibuk
mengecek ponsel masing-masing, sedangkan Dion
membolak-balik buku biologi entah dia benar-benar
mempelajarinya atau hanya kurang kerjaan.

“Kok bisa telat?” tanya Dion sambil menatapku,


matanya yang sipit memancarkan kepolosan.

“hmm, tadi aku nonton kartun favoritku dulu”


jawabku asal karena merasa risih dengan tatapan nya
yang menyelidik.

“Ohh iya? Kartun apa?” tanya cowok itu lagi,


dengan tatapan yang sama.

Aku pun pasrah dan berhenti memainkan


ponselku. Mungkin dia butuh teman mengobrol, pikirku.

28
Palingan dia juga tidak tahu kartun yang akan
kusebutkan jadi mungkin dia akan berhenti bertanya.
Aku melirik ke Syifa, dia masih sibuk memainkan
ponselnya, aku harap teman-temanku yang lain cepat
datang.

“Code Lyoko, memang kamu tahu kartun itu?”


kataku sambil menatapnya balik. Gila, ini orang perfect
banget mukanya, kataku dalam hati.

“Tau kok, itu kartun favorit adikku, tapi bukan


adik kandung sih” jawabanya antusias.

Jawabannya sangat mengejutkanku, perlahan aku


mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Dion
menceritakan berbagai hal tentang dirinya dan
keluarganya.

Ternyata sebenarnya Dion bukan orang


Tenggarong, dia pindahan dari Marangkayu, memilih
sekolah disini karena katanya sekolah-sekolah disini
lebih bagus. Disini, dia tinggal bersama om-nya. Dan
masih banyak lagi hal lain yang dia ceritakan, aku suka
sekali mendengarkan cerita-cerita orang yang merantau

29
seperti dia, menurutku hanya orang-orang yang berani
dan mandiri yang bisa jauh dari orang tuanya.

Kelompokku baru lengkap pada pukul empat


sore, bagi kami, kejadian seperti ini sudah biasa. Jika
disuruh datang jam tiga maka ada saja yang datang jam
setengah empat, bahkan jam empat. Ketika sudah
lengkap, kami pun mulai mengerjakan tugas yang kami
dapat. Selama kerja kelompok, terlihat sekali bahwa
Dion sudah menguasai materi ini, sampai-sampai aku
yang bertugas menulis jawaban-jawaban soal merasa
kewalahan karena dia begitu cepat dan lancar
menyebutkan jawaban-jawabannya.

Jarakku dengan Dion benar-benar dekat saat


kami kerja kelompok, sampai-sampai aku bisa
merasakan kehangatan tubuhnya, tetapi, aku harus tetap
fokus terhadap tugas kami. Aroma tubuhnya pun khas
sekali, tidak pernah aku mencium aroma seperti itu, sulit
untuk menggambarkan aromanya menggunakan kata-
kata, tapi aku bisa mengingat dengan baik aromanya.
Aku tidak bisa seperti ini, aku harus tetap waspada,

30
bagaimana pun juga, dia itu cowok dan semua cowok itu
sama saja, pikirku untuk menguatkan diri.

Akhirnya tugas kami selesai pada pukul lima,


semua berkat Dion, karena dia, tugas yang seharusnya
selesai setidaknya dalam waktu satu setengah jam,
terselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam. Bahkan,
Tita tidak sadar bahwa tugas kami sudah selesai.

“Lho, udah selesai nih? Padahal aku baru aja mau


mulai baca materinya.” Kata Tita sambil meletakkan
ponselnya.

“Ya elah, udah .. selesai .. kali .. neng” kataku


terputus-putus karena kelelahan setelah menulis jawaban
yang banyak dan panjang-panjang.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, tetapi


perlahan aku benar-benar terpesona dengan anak
bernama Dion ini, selain tampan, dia juga pribadi yang
pintar dan mandiri. Selain itu, banyak ‘kejutan’ yang
disembunyikan Dion dalam dirinya. Aku tak pernah
merasa sepenasaran ini terhadap seseorang terlebih lagi
pada seorang cowok. Pukul setengah enam kami semua

31
kembali ke rumah masing-masing dengan lega karena
satu tugas telah terselesaikan.

Hari ini kota Tenggarong dilanda hujan gerimis,


walaupun hanya gerimis, hawa dingin yang dibawanya
sangat menusuk kulit. Aku memakai jaket favoritku,
berwarna hitam dengan penutup kepala, kainnya yang
tebal membuatku merasa hangat. Karena hujan, aku
diantar menggunakan mobil, sebenarnya sedikit
berlebihan sih menurutku, karena jarak antara rumahku
dengan sekolah yang tidak terlalu jauh, tapi apa boleh
buat, kalau sudah ditawari begini, aku juga tidak akan
menolak.

Suasana hening angker langsung menyerangku


ketika aku masuk ke kelas. Ya tuhan, semakin horror aja
kelas, pikirku sambil menuju kursi. Aku memilih tempat
duduk seperti yang kemarin, tempat yang strategis untuk
belajar maupun tidur. Segera kutundukkan kepalaku dan
kutempelkan pipiku ke permukaan meja, benar-benar
posisi yang pas untuk tidur. Hawa dingin yang
menembus jaket membuatku memeluk erat tubuhku
sendiri. Perlahan, kelas mulai penuh dengan anak-anak

32
yang tenggelam dalam jaket tebal. Tiba-tiba, ketua kelas
kami, Tara, maju kedepan dan menyampaikan sebuah
informasi.

“Assalamualaikum wr.wb, teman-teman, aku


punya ide nih, gimana kalau setiap minggu kita tukar
tempat duduk, buat bikin suasana baru dan lebih dekat
sama yang lain” tanya Tara dengan nada meyakinkan.

Seketika kelas yang tadinya hening menjadi rame


dan penuh dengan kebisingan suara manusia. Tak butuh
waktu lama, kelasku terbagi menjadi dua kubu. Satu
kubu dengan senang hati menerima ide Tara, dan kubu
lainnya berteriak-teriak agar aspirasinya untuk menolak
ide Tara didengar oleh yang lain.

“Guys, satu-satu ngomongnya” teriak Tara


sambil menutup telinganya, mukanya yang bingung
mencerminkan betapa sulitnya mengatur anak SMA.
Suara teriakan Tara yang bertubuh mungil tidak mempan
untuk mendiamkan taman-temanku.

“Woyyyy, diam woyy” tiba-tiba sebuah teriakan


terdengar dari arah belakang, teriakan itu benar-benar

33
menggelegar dan membuatku kaget sampai-sampai aku
melepaskan kotak pensil yang ada di tanganku, sontak
saja isinya berhamburan keluar. Sebelum memunguti isi
kotak pensilku, aku menoleh ke belakang untuk melihat
siapa yang berteriak hingga kelas yang sempit ini terasa
bergetar. Ternyata Aska yang berteriak, wajar saja
teriakannya sangat memekakkan telinga, pikirku. Aska
adalah salah satu murid laki-laki di kelasku, dia
berperawakan tinggi dan besar, bahkan tinggiku hanya
mencapai pundaknya. Dia adalah anak dari salah satu
guru di sekolah kami. Seketika setelah Aska berteriak,
kelas menjadi sangat hening sampai suara yang
terdengar hanya dari kipas angin tua dan berdebu yang
terletak di pojok kelas. Tara melanjutkan diskusinya.

“Jadi untuk memutuskan pelaksanaan tukar


tempat duduk atau rolling, kita akan yang melakukan
voting, yang setuju diadakan rolling, tolong angkat
tangan,” perintah Tara. Sebagian besar anak-anak
mengangkat tangannya, ada yang menoleh kiri dan
kanan lalu ikut-ikutan mengangkat tangan, ada pula yang
memasang muka ditekuk dan masam tanda protes akan

34
adanya rolling. Tara mulai menghitung jumlah anak
yang mengangkat tangannya. Aku sendiri mengangkat
tanganku karena menurutku aku butuh teman baru agar
semester ini berlalu dengan sedikit ‘berbeda’ dari
semester sebelumnya. Selesai menghitung, Tara kembali
berbicara.

“Sekarang yang nggak setuju, tolong angkat


tangannya” perintah Tara lagi. Anak-anak yang tadinya
bermuka masam dengan gagah mengacungkan
tangannya, beberapa dari mereka adalah murid dari kelas
regular yang tampaknya tidak mau berpisah dengan
teman sebangku nya yang sekarang. Siapa yang peduli,
kataku dalam hati. Tara mulai menghitung anak-anak
yang tidak setuju, aku menoleh ke belakang dan melihat
Dion mengacungkan tangannya. Kenapa Dion nggak
setuju dengan rolling? Tanyaku pada diriku sendiri,
ternyata Robi yang duduk disampingku mendengarnya
dan bertanya.

“Kenapa Dion apa?” tanyanya sambil menoleh


padaku.

35
“Haa Dion apa?” tanyaku balik, aku gelagapan
dan bingung karena terkejut. Padahal suaraku kecil saja,
kenapa robi bisa mendengarnya, kataku dalam hati.

“Ih.. aneh deh kamu, nggak jelas” kata robi


dengan bibir yang dibuat-buat. Seperti biasa.

“Memang dari dulu kali aku aneh” sanggahku


sekenanya sambil memeletkan lidah.

“Ok, jadi ada dua puluh satu anak yang setuju


dengan adanya rolling dan sebelas menyatakan tidak
setuju, hasilnya kita akan mengadakan rolling, aku udah
bikin gulungan kertasnya jadi kalian tinggal ambil dan
pindah sesuai nomor yang tertera. Dan aku harap nggak
ada protes lagi” kata Tara tegas, dia mulai berjalan dari
meja terdepan dan menyongsorkan sebuah kotak kecil
berisi gulungan kertas. Saat tiba giliranku, aku membaca
basmalah sebelum mengambil gulungan kertas. Semoga
nggak duduk dibarisan paling depan deh, dimana pun
asalkan jangan paling depan, doaku dalam hati. Saat
membuka gulungan kertas yang kuambil, aku mengintip
angka yang tertera. 24. Betapa senangnya aku melihat

36
angka itu, itu tandanya aku tidak duduk paling depan.
Butuh waktu lima menit untuk menyelesaikan rolling
hingga barisan paling belakang. Tara kembali maju ke
depan.

“Sekarang pindah ke kursi sesuai nomor kalian,


dan mohon pindah dengan tennag tanpa keributan” ujar
Tara memberi petunjuk. Tapi walau sudah diperintah
agar jangan rebut tetap saja kami sulit untuk mencegah
mulut agar tidak berkomunikasi dengan yang lain atau
bahkan berteriak. Aku menghitung kursi untuk mencari
tempat dudukku, akhirnya aku menemukannya, berada di
barisan kedua dari belakang dan di bawah kipas angin.
Sempurna sekali. Aku berjalan menuju kursi itu dan
segera menghempaskan tasku ketika sampai disana.
Hembusan angin dari kipas angin di atasku menggoda
aku untuk kembali tidur. Tiba-tiba terdengar suara berat
dari arah sebelah kananku.

“Eh ini nomor 23 ya?” tanya pemilik suara berat


itu.

37
“Iya kali” jawabku sambil menoleh dengan malas
ke arahnya, ada saja yang ingin menggangu waktu dan
suasana yang begitu sempurna untuk tidur, runtukku
dalam hati. Tetapi betapa terkejutnya aku ketika melihat
siapa yang mengajakku bicara tadi. Dion. Dia berdiri
tegap sambil meletakkan tas nya secara hati-hati ke atas
kursi. Ya tuhan, beda sekali caranya menaruh tas dengan
aku, aku saja asal hempaskan saja tadi, sedangkan dia
begitu hati-hati, komentarku dalam hati. Dia duduk
dengan tenang, di sebelahku.

Aku memutuskan untuk kembali tidur dan tidak


memperdulikannya. Saat aku merebahkan kepalaku ke
atas jaket di atas meja, aku merasakan ada telapak tangan
dingin menyentuh punggung tanganku. Rasanya seperti
disentuh oleh es batu, sontak saja aku terlonjak dan
menepis tangan itu. Dengan memasang muka siapa-
kamu-berani-sentuh-tangan-aku, aku menoleh untuk
melihat siapa yang telah berani menyentuh tanganku.
Kulihat muka Dion yang sok baik tersenyum dengan
senyum giginya. Yang membuatku heran adalah,
mengapa dengan senyum itu bukannya dia terlihat

38
bodoh, justru dia terlihat menggemaskan. Astaga, sadar
Aurel, apa barusan kamu pikir dia menggemaskan?
Kucek dulu mata kamu, pikir ku sambil menggelengkan
kepalaku. Tiba-tiba Dion membuka mulutnya dan
berkata.

“Kamu memang sering ngantuk ya di kelas?”


tanya Dion sambil menatap mataku. Jujur aku risih
banget ditatap kayak gitu, merasa seperti sedang
interview saat melamar kerja.

“Apa peduli mu?” jawabku dengan galak. OK,


itu bukan jawaban, tetapi balik bertanya.

“Nggak papa sih, soalnya kamu tidur terus di


kelas” jawab laki-laki dengan tubuh proporsional itu, air
mukanya yang masih sama sejak tadi menunjukkan
seakan-akan merasa tidak berdosa telah
membangunkanku. Dan yang membuat aku tersinggung
adalah selama ini dia memperhatikan aku kalau aku
sering tidur di kelas.

39
“Penting banget ya kamu liatin ‘kegiatan’ aku di
kelas” sanggah ku dengan tatapan tajam dan penekanan
pada kata ‘kegiatan’.

“Iya, kan kamu temanku” kata Dion dengan nada


lirih, sepertinya takut dengan nada bicaraku yang
meninggi. Mendengar dia berkata begitu, hatiku
melunak.

“Oh iya makasih” jawabku singkat.

“Kamu memang selalu dingin ya sama orang


lain?” tanya Dion yang akhirnya mengubah air mukanya
yang tadinya sok polos menjadi muka menyelidik. Aku
dingin? Yang ada tangan kamu tadi yang dingin, pikirku,
OK garing.

“Memang aku dingin?” tanyaku balik.

“Iya”

“Oh iya udah, terserah aku dong” kataku sambil


mencari posisi yang enak untuk tidur lagi.

“Kamu nggak ngerjakan tugas?” tanya Dion

40
“Tugas apalagi sih?” kali ini aku benar-benar
kesal karena untuk kedua kalinya dia membatalkan
tidurku.

“Itu lho didepan” kata Dion dengan


memonyongkan bibirnya ke arah papan tulis.

Dengan malas aku mengangkat sedikit kepalaku


dan melihat ke papan tulis. Disana tertulis sebuah tugas
pelajaran kimia yang harus kami kerjakan karena
gurunya berhalangan hadir. Aku segera meraih tasku dan
mengambil buku tulis kimia, sambil memasang earphone
aku berjalan ke arah Robi. Sekedar buat informasi, Robi
ini jago banget pelajaran kimia, dia juga salah satu dari
tiga anak yang terpilih mewakili sekolah kami untuk
mewakili sekolahku di Olimpiade Kimia. Saat sampai
ditempat duduknya, aku segera meminta dia untuk
mengajarkan aku tugas kimia yang diberikan, tapi karena
keadaan kelas yang terlalu ramai, aku harus sedikit
berteriak untuk dapat berkomunikasi dengannya. Saat
Robi mulai menjelaskan, aku tidak terlalu
memperhatikannya karena aku sedang menggunakan
earphone, dan sepertinya dia tidak menyadarinya karena

41
earphone ku tertutup oleh jilbab yang kukenakan. Saat
selesai menjelaskan, kulihat gerak bibir Robi seperti
berkata ‘sudah-ngerti-kan?’ Aku hanya menganggukan
kepalaku, dan mulai mengerjakan tugas itu sebisaku.

Terdengar bunyi bel tanda waktunya ganti


pelajaran. Hingga bel pulang sekolah berbunyi
memecahkan keheningan saat jam pelajaran seni budaya
yang diajarkan oleh bu Alma, aku dan Dion tidak ada
bercakap sedikit pun. Dia tampak serius dan antusias
mengikuti pelajaran apapun, sedangkan aku selalu
berharap agar bel pulang sekolah segera berbunyi,
sungguh berbanding terbalik.

Sebenarnya selama didekatnya detak jantungku


menjadi tak terkendali, aku selalu ingin menoleh ke
kanan untuk melihat ke arahnya, tetapi setiap keinginan
itu muncul, aku segera menggeleng-gelengkan kepalaku
dengan kuat, dan setiap aku melakukan itu dengan
tatapan ini-anak-kenapa dan itu membuat aku semakin
tak terkendali. Tetapi tenang Aurel, ini hanya gangguan
kecil, kataku pada diriku sendiri untuk menenangkan
diri.

42
Saat sampai di rumah, aku segera menuju
kamarku dan berteriak.

“Hello my paradise” dengan ceria aku segera


melompat ke kasur. Sambil berbaring santai, aku
mengecek ponselku, ada satu SMS yang belum dibaca.
Palingan dari operator, kataku sambil sambil membuka
SMS itu. Ternyata dugaanku salah, pesan itu sama sekali
bukan dari operator melainkan dari seseorang yang
nomornya tidak kusimpan. Dari isinya bisa kupastikan
bahwa ia salah satu anak dari kelasku. Sebut saja dia ‘X’.

X : Siang, Rel. Bisa minta tolong bawakan buku


catatan matematikamu nggak besok?

Aurel : Bisa, tapi ini siapa ya?

Tak butuh waktu lama, SMS balasan masuk ke


ponselku dan aku segera membacanya.

X : Ini Dion, Rel. OK terima kasih ya :)

Astaga kalo tau Dion yang minta bawakan, aku


mah nggak mau, sesalku dalam hatiku. Aku nggak mau
Dion berpikir bahwa aku peduli dengannya, tapi apa

43
boleh buat, aku sudah terlanjur berkata akan
membawakan buku itu, dan aku terlalu gengsi untuk
mengirim SMS lagi. Aku menyimpan nomor Dion dan
meletakkan ponselku di atas ranjang. Aku bangkit untuk
mengganti baju seragam, karena cuaca yang terlampau
panas aku memilih baju kaos dan celana pendek,
namanya juga dirumah. Setelah makan, aku mencuci
piring dan begitulah hari itu berlangsung hingga
keesokan harinya.

Tetapi, satu hal sangat menggangu pikiranku


malam ini, sesuatu yang sangat ku takutkan, sesuatu
yang bisa membuatku merasa senang hingga terasa
seperti berada dirumah yang terbuat dari permen warna
warni atau justru sebaliknya, merasa sedih hingga terasa
seseorang sedang menyayat jari-jari mungilku dengan
silet. Perasaan itu dinamakan jatuh. Jatuh cinta lebih
tepatnya.

44
BAB III

RUNTUHNYA BENTENG
PERTAHANAN

Jangan bertaruh dalam permainan yang belum bisa


engkau menangkan

-@Pandamoon

45
Tidak semua hal dapat berjalan sesuai rencana.
Mungkin kalimat itulah yang tepat untuk
menggambarkan kondisi yang ku alami saat ini. Pada
awalnya setelah kejadian peminjaman buku itu, aku tidak
mau berurusan dengan Dion lagi, tetapi lama-kelamaan
justru aku merasakan hal yang sebaliknya! Aku semakin
dekat dengan anak laki-laki bertubuh proporsional itu.

Kedekatan kami berawal ketika guru tata boga,


Ibu Santi, membagi semua murid dikelas menjadi enam
kelompok, semua berjalan normal sampai aku menyadari
sesuatu, lagi-lagi aku satu kelompok dengan Dion. Ya
tuhan, takdir macam apa lagi ini? Keluhku dalam hati.
Setelah kami berkumpul dengan kelompok masing-
masing, Ibu Santi mulai menjelaskan tugas yang harus
kami kerjakan.

“Jadi, dua minggu lagi, kalian bertugas untuk


menyiapkan dua puluh porsi makan siang, yang nantinya
akan di santap oleh guru-guru sekolah kita dan mereka
yang akan menilai makanan kalian mulai dari cara
penyajian hingga cita rasanya” Jelas bu Santi panjang
lebar.

46
“Bakal butuh banyak duit nih kali gini” celetuk
salah satu anggota kelompokku, mendengar hal itu, aku
bersusah payah untuk menahan tawa. Memang benar apa
yang dikatakannya, butuh uang yang banyak untuk
menyiapkan dua puluh porsi makanan.

“Apa ada pertanyaan mengenai tugas ini?” tanya


bu Santi. Seketika kelas menjadi hening, tidak ada yang
mengacungkan tangan atau memberi tanda lain untuk
bertanya. Beberapa dari mereka memasang wajah serius
tanda sudah mengerti apa yang harus dilakukan dengan
kelompok mereka, dan sisanya lagi memasang wajah
tidak tertarik, bahkan ada pula yang mengerutkan
dahinya tanda masih tidak paham dengan tugas ini.
Sudah menjadi tradisi bagi para murid, ketika baru diberi
tugas, semuanya terasa mudah dan dapat dikerjakan
tanpa kesulitan, tapi ketika dikerjakan, baru terasa…
sulitnya.

“Karena tidak ada yang ingin ditanyakan,


silahkan mulai berdiskusi dengan kelompok kalian
tentang apa yang kalian sajikan” kata beliau memberi
kami pengarahan.

47
Aku membalik badan, yang semulanya
menghadap ke arah ibu Santi, menjadi menghadap
anggota-anggota kelompokku, kuperhatikan wajah
mereka satu per satu, disana ada Lilis, Anna, Rani, Aldo,
dan Dion yang kini duduk di samping kananku. Tidak
buruk, Aurel, mereka pasti bisa diajak kerja sama dengan
baik, kataku dalam hati.

“Jadi kita mau bikin apa nih?” tanya Dion


memulai diskusi.

“I have no idea” jawabku singkat sambil mencari


referensi penyajian makanan di internet melalui
ponselku. Di sekolahku, kami diperbolehkan untuk
menggunakan ponsel selama jam belajar asalkan benda
itu kami gunakan untuk kebutuhan pelajaran.

“OK, yang lain mungkin ada ide” kata cowok


bermata sipit itu lagi, mencoba memancing ide teman
sekelompok kami. Tetapi semuanya bungkam, dan
terjadi kecanggungan diantara kami semua. Aku
menoleh ke kanan dan kiri, melihat ke arah kelompok
lain, ternyata kelompok lain bernasib sama seperti

48
kelompokku, wajah mereka yang tegang dengan dahi
berkerut menandakan otak mereka sedang dipaksa
bekerja keras untuk menemukan ide cemerlang.

“Gimana, Rel? Setuju nggak sama ide Lilis?”


tanya Dion sambil menepuk bahuku, bukan tepukan
yang keras tetapi tetap saja terasa. Aku pun langsung
tersadar karena tepukan itu.

“Haa, apa?” jawabku reflex.

“Duh Aurel, makanya dengerin dong, bikin


gregetan aja” kata Dion lagi. Mungkin kata-kata Dion
mencerminkan kalau dia sedang marah dan tidak sabar,
tapi mukanya, sama sekali bukan ekspresi marah yang
dia yang tampilkan, melainkan ekspresi senyum yang
ditahan. OK, keadaan semakin sulit dipahami, Aurel,
ucapku dalam hati sambil memejamkan mata sejenak.

Lilis kembali menjelaskan ide nya, benar-benar


ide yang brilian, kami akan menjadikan semua makanan
pokok beserta lauknya secara prasmanan dan tibalah
saatnya pembagian jatah alat yang harus dibawa. Kami
sershkan tugas ini kepada Anna karena kami pikir Anna

49
akan membagi tugas ini dengan adil. Butuh waktu
sekitar lima belas menit bagi Anna untuk membagi
semua alat yang akan kami gunakan. Dan selama lima
belas menit itu, kami berdiskusi untuk memantapkan
rencana penyajian makanan itu. Rencananya semua
makanan itu akan dimasak di rumah Aldo dan Rani
karena orang tua mereka memang jago sekali memasak
dan tidak keberatan untuk berbagi resep dan ilmunya
kepada kami.

Setelah selesai membagi tugas, Anna


membacakan haslnya kepada kami, aku menunggu
dengan malas hingga tiba giliranku

“Aurel, kamu kebagian membawa Arizona dan


mangkok sayur” jelas Anna sambil menatap ke arahku.
Mendengar penjelasan Anna, sontak saja au terkejut dan
memasang muka kamu-yakin-aku-yang-bawa-Arizona.

“Arizona itu apa?” tanya seseorang dari arah


kananku, tanpa harus menoleh aku tahu Dion-lah yang
bertanya demikian. Baru saja ingin mengomelinya

50
karena tidak tahu apa itu Arizona, aku teringat sesuatu,
dia bukan dari daerah sini, dia dari Marangkayu.

Aku menarik nafas dan menjelaskan dengan


sabar, “Arizona itu sebutan buat dispenser yang bisa
dibawa kemana aja, ukurannya juga macam-macam”

“Kenapa disebut Arizona?” tanya pria bertubuh


proporsional itu dengan air muka yang tak bersalah.

“Karena orang daerah sini menamainya begitu,


mereknya memang Arizona” jawabku dengan nada
meninggi. Tiba-tiba Dion tertunduk dan aku menyadari
bahwa nada bicaraku-lah yang menyebabkannya
demikian, aku langsung terdiam.

“Itu mungkin berat, kan kasian kalau harus Aurel


yang bawa” Kata Dion tiba-tiba. Deg! Aku merasa detak
jantungku bertambah cepat, aliran darahku semakin
deras dan pipiku menghangat. Ini hanya perasaanku saja
atau mataku memang berkunang-kunang, sadar lah
Aurel, dia hanya kasihan padamu, tegasku ada diri
sendiri, memaksa jiwaku untuk segera kembali ke dunia
nyata.

51
“Bener tuh, nggak ada yang lain apa yang bisa
bawa?” tanyaku pada Anna dengan wajah yang
memelas. Aku masih kesulitan untuk berakting bahwa
tidak terjadi apa-apa padaku setelah Dion berkata begitu.
Mungkin bagi kalian itu hanya rasa kasihan biasa, dan
aku pun merasa demikian, tetapi entah mengapa tubuhku
bereaksi sedemikian rupa.

Anna hanya menggeleng dan memasang wajah


yang tidak kalah memelas dengan wajahku. Akhirnya
aku mengalah.

“OK, aku yang bawa Arizona-nya” kataku


dengan senyum terpaksa.

“Yey, makasih Aurel” kata Anna sambil


memelukku. Lilis dan Rani hanya memperhatikan kami
sambil mengeleng-geleng. Aku suka sekali suasana
seperti ini, suasana yang penuh perdamaian dan
persahabatan.

“Kalau kamu mau, aku bisa bantu kok, Rel”


tawar Dion dengan senyum hangat. Dan jantungku
kembali berdegup kencang, senyumnya menambah sulit

52
diriku untuk mengatur nafas. Tenang Rel, dia hanya
menawarkan bantuan, pikirku menenangkan diri.

“Nggak papa kok, aku bisa bawa sendiri” kataku


dengan senyum kecut, tidak yakin apakah aku benar-
benar bisa membawa benda berukuran besar itu sendiri
atau tidak. Dan Dion kembali tersenyum kepadaku,
senyum yang tidak kalah hangatnya dengan senyum tadi.
Tolong hentikan senyuman itu, aku sedang kesulitan
disini, teriakku dalam hati.

~~

Tak terasa dua minggu berlalu begitu cepat. Hari


ini kami harus menyiapkan dua puluh porsi makan siang
terbaik untuk mendapatkan nilai yang terbaik juga.
Dengan hati-hati aku memasuki kelas karena
pandanganku terhalang Arizona yang kubawa, aku
memeluk erat benda berukuran besar itu karena takut
benda itu akan jatuh dan menimpa jari kakiku yang
tampaknya semakin hari semakin mungil. Setelah
meletakkan Arizona ke meja paling belakang yang tidak

53
terpakai, aku berjalan ke tempat dudukku, dan duduk
dengan tenang.

Hari ini kelas kami penuh dengan alat masak!


Mulai dari yang kecil contohnya sutil dan sendok nasi
sampai yang besar contohnya Arizona yang kubawa tadi.
Aku melihat puding yang dibawa kelompok Robi,
puding berwarna coklat yang begitu menggoda. Ya
Allah, aku mau, semoga nanti tidak habis semuanya
ucapku dalam hati.

Semua berlangsung dengan aman hingga jam


pelajaran tata boga dimulai, semua anak sibuk
menyiapkan makanan kelompok mereka, ada yang
menyiapkan makanan dalam kotak makan, ada pula yang
menyajikannya secara prasmanan seperti kami. Tepat
pada pukul setengah dua belas, para guru memasuki
kelas kami dan mulai mencicipi segala makanan yang
tersedia. Karena kami semua diperintahkan untuk
menunggu diluar ruangan, aku hanya bisa mengamati
para guru melalui celah di pintu, berharap puding
kelompok Robi tidak habis. Ingin rasanya aku berlari ke
dalam, mengambil satu puding lalu berlari keluar lagi,

54
tapi aku tidak senekad itu dan itu sama saja
mempertaruhkan nilai kelompokku.

“Haa.. pasti mau puding dari kelompokku,


yakan?” kata seseorang sambil menepuk bahuku dengan
kuat, aku sangat kaget hingga kepalaku menghantup
pintu. Dari suaranya, aku yakin sekali bahwa itu suara
Robi, tetapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan
jelas karena mataku berkunang-kunang.

“Astaga Aurel, kamu nggak papa” kata


seseorang, dia memegang tanganku. Aku mengenali
surara itu, suara Dion. Dion dan Robi menuntun aku
untuk duduk.

“Aku udah nggak papa kok, kejedot doang”


kataku meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja.
Dion duduk disamping sementara Robi berdiri sambil
mengoleskan minyak kayu putih di jidatku, entah
darimana dia mendapatkannya. Sebenarnya aku sedang
menahan tawa karena robi mengoleskan minyak kayu
putih di tempat yang salah, yang terhantup adalah jidat
sebelah kiri, tetapi dia malah mengoleskan di jidat

55
sebelah kanan. Setelah selesai mengoleskan minyak
kayu putih, Robi pun meninggalkan kami.

“Kamu segitu pengennya sama puding itu” kata


Dion sampil memperhatikan jiidatku yang memerah.

“Kok kamu tau kalau aku mau puding itu?”


tanyaku curiga.

“Iyalah, aku daritadi ngeliatin kamu kok” sahut


cowok bermata sipit itu santai. Deg! Dan hormon
adrenalinku meningkat lagi, hal yang sama terjadi lagi,
jantung tak terkendali, aliran darah semakin deras, pipi
memerah. Semua itu terjadi diluar keinginanku.

“Ih, ngapain coba?” jawabku salah tingkah,


berusaha bersikap biasa saja, seolah-olah tidak terjadi
apa-apa. Sulitnya berakting seperti ini, cepatlah pergi
atau aku yang akan pergi, ancamku dalam hati. Ternyata,
semakin lama waktu berlalu, bukannya pergi, justru aku
semakin bersemangat mengobrol dengan Dion, kami
membicarakan makanan favorit masing-masing, dan
sesekali diselingi tawaku yang ringan. Dion tipe orang

56
yang enak diajak mengobrol, walaupun candaannya
terkadang garing alias nggak lucu.

Saat pintu kelas terbuka, tanda semua guru telah


selesai makan, Dion segera masuk kedalam kelas.
Kulihat bu Santi juga sudah keluar dari kelas, padahal
jam pelajaran baru akan habis dua puluh menit lagi.
Mungkin ibu memberi kami waktu untuk bersih-bersih,
pikirku.

“Rel, aku masuk dulu yah” kata Dion yang


diakhiri dengan senyum yang singkat. Sekarang aku
hafal sekali dengan senyum itu, senyum yang dapat
mengacaukan detak jantungku.

“Iyaa” jawabku singkat sambil mengeluarkan


ponselku dari kantong seragam. Aku terlalu malas untuk
masuk kelas, dan lebih memilih duduk di luar. Semua
anak telah di dalam kelas kecuali aku, sesekali terdengar
keluhan dari anak-anak perempuan, mungkin karena
melihat jumlah piring kotor yang terlalu banyak. Aku
hanya menahan tawaku, hingga aku terpikir sesuatu,
siapa yang akan mencuci piring kelompok kami. Aku

57
tetap diam diluar, berharap Anna dan lainnya tidak
menemukan aku disini dan menyuruhku mencuci piring.
Kalau boleh memilih, aku lebih memilih menyapu
seluruh inci kelasku daripada mencuci piring.

Saat aku sedang mengetik sesuatu di ponselku,


ada sebuah tangan menyodorkan puding. Puding
kelompok Robi. Aku mengerjapkan mataku, tidak
percaya dengan apa yang didepan mataku.

“Nih, benda yang bikin kamu terhantup” kata


orang yang menyodorkan puding itu. Aku menegakkan
pandangan ke atas untuk melihat siapa yang terlah
berbaik hati mengambilkan puding itu untukku.
Alangkah terkejutnya aku, Dion lah yang kini tengah
berdiri didepanku menyodorkan puding sambil
tersenyum ramah. Aku hanya bengong seperti orang
bodoh, dan dia membuyarkan lamunanku.

“Ayoo diambil dong, kamu tau? Aku harus


berebut puding ini dengan tiga anak perempuan lain,
belum lagi Deden yang siap menyingkarkan siapapun
yang menghalangi jalannya untuk mengambil puding ini

58
hanya dengan menyenggol kami satu per satu” terang
Dion dengan air muka polos yang dibuat-buat.
Mendengar penjelasannya, aku tertawa lepas, apa benar-
benar ada orang yang begitu berjuang untuk mengambil
benda yang bahkan sudah kulupakan?

“Jangan berlebihan, Dion” ucapku sambil


mengambil puding di tangannya. Astaga, apa yang
barusan ku katakan, aku menyebut namanya ketika
berbicara dengannya, apa yang sudah kamu lakukan,
Aurel? Ingin rasanya kutarik kata-kataku tadi.

“Eh tumben nyebut namaku?” tanya cowok


berkulit kuning langsat itu, ternyata dia menyadarinya.

“Masa’ sih? Tapi makasih ya pudingnya” kataku


balik bertanya, aku mencoba untuk mengalihkan
pembicaraan yang menurutku berpotensi untuk
menjatuhkan harga diriku ini.

“Iya sama-sama” Jawab Dion singkat. Aku


memakan puding dengan tenang. Sebenarnya, aku tidak
bisa makan dengan tenang, karena selama aku makan,

59
Dion melihat ke arah aku terus-menerus. Ya tuhan, apa
yang sebenarnya dia inginkan?

“Mau?” tawarku kepada Dion, tapi aku tetap saja


asik menyantap puding itu. Dion menggeleng. Aku
hanya mengganguk dan lanjut makan lagi. Tepat
disuapan terakhir puding itu, Anna datang mendekat
kepadaku dengan setumpuk piring ditangannya.

“Nah Aurel, Dion sekarang giliran kalian ya yang


cuci piring, kami yang lain bersih-bersih di dalam” jelas
Anna, dia meletakkan piring-piring itu di sampingku lalu
masuk lagi ke dalam kelas. Aku hanya melongo melihat
Anna dengan mudahnya memberi tugas tanpa meminta
persetujuan dariku. Tak lama kemudian, Anna keluar
lagi membawa Arizona yang kubawa tadi pagi.

“Sekalian cuci ini juga ya, hehe” ucap Anna


sambil nyengir kuda ke arah kami. Aku tambah melongo
melihat Anna kembali ke kelas.

“Ih Aurel, selain hobi tidur, hobi melongo juga,


jelek tau” ucap Dion sambil menepuk pundakku. Aku

60
menoleh pada Dion, dan memasang wajah marah yang
justru terlihat konyol.

“Ayo cepat” kata Dion bangkit dari tempat


duduknya, dia tampaknya tidak mengerti bahwa aku
sedang marah. Aku hanya pasrah dan bersiap untuk
mengangkat piring-piring itu, namun ketika aku mulai
mengangkatnya, Dion memberhentikanku.

“Eh Aurel, ngapain kamu yang angkat? Sini aku


aja, sok kuat banget deh, ini berat tau? Nih bawa Arizona
aja, lebih ringan” dumel Dion. Aku membeku, jantungku
kembali berdegup kencang. Kenapa dia melakukan itu
lagi, keluhku dalam hati. Saat Dion mengangkat piring-
piring itu, otot bisep dan trisepnya mengencang dan
lengan baju seragamnya terlihat tidak kuat untuk
mebalut lengan itu. Astaga Aurel, kamu ini kenapa,
ucapku pada diriku sendiri sambil mengeleng-gelengkan
kepalaku dengan kuat.

Kami berjalan dengan santai menuju tempat


keran air tempat kami akan mencuci piring, disana sudah
tersedia spons dan sabun cuci piring. Dion menurunkan

61
piring dengan hati-hati. Kami membagi tugas, aku
bertugas menyabuni piring sedangkan Dion yang
membilas. Kami menyelesaikan cucian itu dengan cepat,
hingga tiba saatnya mencuci benda terakhir, Arizona
yang kubawa. Aku menyabuni Arizona itu tanpa
kesulitan, saat Dion akan membilasnya, dia
memanggilku..

“Rel”

“Apa?” jawabku singkat tanpa menoleh. Aku


sedang membilas tanganku kerena tugasku sendiri sudah
selesai.

“Bisa tolongin aku bilas ini nggak? Besar nih”


pinta Dion. Aku memutar bola mataku dan
membantunya membilas benda yang kuakui memang
sulit jika harus dibilas sendirian.

Hanya butuh waktu lima menit untuk membilas


Arizona itu dan akhirnya tugas kami selesai. Aku
tersenyum lebar dan melihat ke arah Dion, dia juga
tersenyum. Dalam perjalanan menuju kelas, Dion
mengatakan sesuatu padaku.

62
“Eh Rel, kamu mau tau sesuatu nggak?” tanya
Dion serius, saking seriusnya sampai aku jadi takut.

“Apa sih?” tanyaku penasaran.

“Sebenarnya..” Dion mengambil jeda agak lama


dan aku pun menjadi tidak sabar.

“Sebenarnya apa?” tanyaku lagi, masih mencoba


untuk sabar.

“Eh nggak jadi deh, kapan-kapan aja ya” jawab


Dion yang seketika membuatku ingin melemparkan
Arizona ditanganku. Aku tidak membalas ucapannya.
Dalam hati, aku menerka-nerka, apa yang sebenarnya
ingin diucapkan Dion.

~~

Kini seseorang telah menjadi bagian dalam


hidupku. Seseorang telah berhasil meruntuhkan benteng
pertahananku, benteng yang selama ini melindungi
hatiku dari dunia luar yang kejam. Aku mengaku kalah
dan tidak mampu untuk menahan benteng ini agar berdiri
kokoh selamanya. Aku akan mempertahankan puing-

63
puingnya hingga tidak ada satu material pun yang dapat
memisahkan aku dari dunia luar.

64
BAB IV

MANIS TIADA TARA

Tuhan, jika nanti aku jatuh pada cinta yang


baik, jatuhkan aku sejatuh-jatuhnya

-Dewi ‘Dee’ Lestari

65
Terasa ada yang berbeda semenjak Dion hadir
dalam hidupku, hari-hariku, bahagiaku, dan duka ku. Dia
membuat segalanya lebih berwarna. Dulu, aku merasa
hidupku sangat datar, aku berangkat sekolah selain
hanya untuk bertemu teman-teman aku menganggapnya
hanya sebagai kewajiban. Namun, semenjak kedatangan
Dion, aku merasa ada dorongan lain yang memberiku
semangat untuk pergi ke sekolah. Aku ingin segera
betemu dia. Ya! Itu lah yang kurasakan saat ini, aku
selalu ingin bertemu Dion.

Di sekolah, kami selalu duduk bersebelahan.


Sejak rolling pertama yang kami lakukan, tidak ada lagi
rolling selanjutnya, dan jadilah, aku selalu duduk
disamping Dion. Dan sejauh ini, tidak ada masalah yang
terjadi karena kami duduk bersebelahan. Tak peduli jam
istirahat maupun jam pelajaran, jika kami terpikir suatu
topik untuk dibicarakan, kami akan langsung
mengutarakannya.

Salah satu kejadian yang semakin mendekatkan


kami adalah sewaktu jam pelajaran bahasa Indonesia.
Waktu itu, murid kelasku mendapat tugas untuk

66
membaca suatu cerita rakyat, lalu satu persatu
ditugaskan untuk menceritakan kembali di depan kelas.
Sambil menunggu giliranku, aku mengipas wajahku
dengan kipas tangan yang kubawa dari rumah. Panasnya
hari ini, bahkan kipas yang berada diatas kepalaku terasa
tidak memberi efek apapun.

Saat sedang bersemangat mengipas, tiba-tiba


seseorang menarik kipas itu dari tanganku, aku segera
menoleh dan membuka mulut untuk bersiap
mengomelinya. Kulihat wajah Dion tersenyum sambil
menaikkan alisnya.

“Balikin” kataku sambil berbisik, takut terdengar


oleh guru bahasa Indonesia kami.

“Ambil sendiri kalau bisa” tantang Dion. Karena


merasa ditantang, aku pun berusaha untuk merebut kipas
itu dari tangannya. Tidak mudah untuk merebut kipas
itu, karena Dion selalu menggerak-gerakannya.
Akhirnya aku menyerah, dan tidak menegurnya lagi.
Aku hanya diam dengan wajah cemberut. Biarkan saja
dia mau ngapain, aku sudah capek, runtukku dalam hati.

67
“Cie.. ngambek, kita bikin kesepakatan aja yuk?”
ajak Dion. Diluar kendaliku, aku mulai tertarik dengan
tawaran Dion.

“Ayuk.. kesepakatan apa?” tanyaku antusias.

“Gini, setiap orang punya waktu lima menit


untuk makai kipas ini, setiap waktunya habis kipas harus
dikasihkan sama yang satunya tapi dengan cara direbut,
deal?” saran Dion. Seketika semangatku menurun, bukan
hal yang mudah untuk merebut kipas dari tangan Dion
yang gesit. Tetapi, mau tidak mau, aku harus setuju,
daripada aku nggak makai kipas sama sekali.

Lima menit pertama, aku yang menggunakan


kipas itu. Akhirnya, seruku dalam hati. Aku mengipas
wajahku dengan kuat, seketika udara disekitarku terasa
sejuk. Dion terus melihat ke arah jam tangannya,
menunggu lima menitku habis. Lima menit terasa begitu
singkat, Dion berusaha merebut kipas itu dari tanganku,
namun dengan sigap aku menggoyangkan kipas itu ke
segala arah. Aku tertawa lepas melihat usahanya, hingga
saat aku lengah, Dion segera merebut kipas itu.

68
“Terlambat, Princess” ejek Dion. Aku hanya
tertawa hingga tak sadar bahwa suaraku terlalu besar,
dan mengundang mata teman-temanku untuk melihat ke
arah kami. Dion menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.

“Jangan ribut, Rel” kata Dion setengah berbisik.

“Sorry hehe” ucapku sambil cekikikan.

Karena aku tidak ada jam tangan, aku melihat ke


arah jam dinding di kelas, menunggu giliranku
menggunakan kipas itu. Karena sudah tidak sabar, aku
mencoba untuk curang, sebenarnya Dion masih waktu
satu menit lagi, tapi aku sudah mencoba merebut kipas
dari tangannya, Dion yang menyadari hal itu langsung
dengan sigap menggeser kipas ke arah lain. Dan
begitulah kami memperebutkan kipas sampai salah satu
dari kami dipanggil untuk maju ke depan.

~~

Hubunganku dengan Dion tidak hanya sebatas di


sekolah, kami juga sering saling berkirim pesan singkat

69
saat di rumah masing-masing. Entah tentang pelajaran
ataupun sekedar bertanya apa yang sedang kulakukan.

Sejauh ini aku masih menganggap semua itu


adalah hal yang wajar, tidak ada salahnya jika seorang
teman menaruh perhatian lebih terhadap teman
perempuannya, kan?

Ketika Dion meminta bantuan dalam hal apapun,


tanpa berpikir dua kali, aku langsung membantunya.
Contohnya saat guru bahasa Inggris kami memberi
tugas, yaitu, membuat resep suatu makanan dalam
bahasa Inggris. Dion mungkin memang ahli dalam
pelajaran Matematika dan Biologi, namun, dalam
pelajaran bahasa Inggris, dia cukup kesulitan.

Aku membantunya dengan cara menterjemahkan


apa yang dia ucapkan, lalu Dion akan menulis apa yang
kuucapkan di kertas. Tak butuh waktu lama, tugas itu
pun selesai.

Selain membantu mengerjakan tugas, aku juga


sering meminjamkan catatanku kepadanya. Dion adalah
tipe orang yang tidak bisa belajar sambil mencatat, dia

70
harus memusatkan perhatiannya kepada guru yang
sedang menjelaskan untuk dapat mengerti pelajaran yang
diberikan. Sedangkan aku, sudah menjadi kebiasaanku
untuk mencatat apapun yang guru tulis di papan tulis.
Dan jadilah kami seperti saat ini. Saling melengkapi.
Dion meminjam catatanku, sedangkan aku memintanya
untuk mengajari pelajaran yang tidak kupahami karena
terlalu sibuk mencatat.

Bahkan kami memiliki panggilan khusus untuk


satu sama lain, Dion memanggilku ‘cacing’ sedangkan
aku memanggilnya ‘ulat’. Dion memanggilku demikian
bukan tanpa alasan, katanya aku ini kurus seperti orang
cacingan dan jadilah dia memanggilku cacing.
Sedangkan aku memanggil Dion dengan sebutan ulat,
karena itulah yang muncul dibenakku saat aku
memikirkan nama apa cocok untuk Dion. Dan sejak
itulah kami saling memanggil dengan ‘panggilan khusus’
tersebut.

Teman-temanku mengira bahwa nama panggilan


itu berarti spesial untuk kami, padahal itu nama
panggilan biasa untuk mengejek satu sama lain. Namun,

71
aku tidak terlalu memperdulikan pendapat mereka,
biarlah mereka berkomentar, itu adalah hak mereka
untuk berpendapat.

Tetapi, yang masih membuatku heran adalah,


rasa menyesakkan dalam dadaku. Ketika dekat dengan
Dion, mengobrol dengannya atau saat mata kami
betemu, selalu hadir hal aneh dalam tubuhku. Degup
jantung yang meningkat, pipiku menghangat, dan otot
wajahku yang langsung tertarik membentuk sebuah
senyum, semua itu terjadi saat aku berada didekatnya.

~~

Semuanya berjalan begitu saja, dan semuanya


terasa sama saja, kecuali saat-saat bersamanya.
Didekatnya, terasa begitu manis dan hangat, seperti
didekap sebuah selimut dari permen kapas berwarna pink
pastel. Aku menikmati semua yang kualami sekarang,
rasanya menyenangkan memiliki seseorang yang dapat
kau andalkan untuk mewarnai hari-harimu.

Aku tidak tahu apakah yang dirasakan oleh Dion


sama dengan yang ku rasakan. Tetapi, satu hal yang aku

72
ingin dia tahu, bahwa dia begitu berarti bagiku saat ini,
dan dia telah berhasil membuat aku jatuh ke dalam
genggamannya. Mungkin aku tidak bisa meminta Dion
untuk tetap disisi ku selamanya, tetapi, aku harap Dion
akan mempersiapkan ending yang bagus untuk kisah
kami.

73
BAB V

MELELEH DAN BERPINDAH

Rasa sakit yang terburuk adalah ketika seseorang


yang membuat mu merasa begitu istimewa kemarin.
Dan membuat mu merasa begitu tak diinginkan hari
ini

-Unknown

74
Pagi yang cerah dengan cuaca hangat dari sang
mentari menyambutku saat bangun dari tidur yang tidak
terlalu nyenyak. Semenjak terjalin kedekatan antara aku
dan Dion, aku selalu merasa gelisah, dan tidak bisa
berfikir jernih. Setiap saat aku selalu memikirkan Dion,
Tuhan, tolong selamatkan aku dari kegilaan ini, doaku
dalam hati.

“Selamat pagi, dunia” sapaku kepada kamar


berukuran 3x3 meter yang telah menjaga semua barang
kesayangannku selama bertahun-tahun. Tentu saja
sapaanku tidak dibalas oleh kamarku, jika terdengar
balasan, aku akan lari sekencang yang aku bisa. Aku
harap perasaanku kepada Dion tidak seperti sapaanku
kepada kami ini, tidak berbalas, astaga Aurel, lagi-lagi
kamu memikirkan Dion, ucapku dalam hati sambil
menggelengkan kepala.

Aku segera menyiapkan buku pelajaran hari ini


dan bergegas menuju kamar mandi. Aku tidak sabar
untuk berangkat sekolah, tidak sabar untuk bertemu Dion
dan mengobrol dengannya, dan lagi-lagi Dion yang hadir
dalam pikiranku.

75
Setelah merasa siap dengan segala peralatan
sekolahku, aku memasang sepatu dan berangkat sekolah.
Seperti biasa aku berangkat sekolah dengan berjalan
kaki, aku berjalan denga tergesa-gesa. Saat sampai di
kelas, aku melihat Dion sudah duduk dengan manis di
kursinya. Terlihat begitu tenang dan damai, tuhan, dialah
yang telah menggangu pikiranku selama ini. Aku
berjalan dengan tenang menuju kursiku yang berada
tepat disebelah kiri Dion, saat aku meletakkan tas di
kursi, Aku menyapa Dion dengan nada khasku.

“Hai Dion” sapaku dengan senyum yang seperti


biasa.

“Hai” balasnya singkat.

Saat ini, Dion sedang menulis sesuatu di


bukunya, karena tidak ada kerjaan, aku pun
menggangunya.

“Nulis apa sih?” tanyaku penasaran, aku


mencondongkan tubuhku ke arah bukunya.

76
“Ada” jawabnya singkat. Tumben Dion hanya
menjawab dengan singkat pertanyaanku, biasanya dia
akan menjelaskan secara panjang lebar jika aku
menanyakan sesuatu. Aku masih menganggap wajar
semua itu, mungkin dia memang lagi sibuk dan tidak
bisa diganggu, pikirku.

Karena merasa bosan, aku pun mengambil novel


dalam tasku dan mulai membacanya, biasanya ketika aku
membaca novel seperti sekarang, Dion akan
mengganguku, entah dengan menutup-nutupi
halamannya atau dengan merebut paksa novel yang
kubaca. Tetapi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya,
hari ini tidak ada gangguan sama sekali darinya. Aku
melirik ke arah Dion, dia masih sibuk menulis.

Tak lama kemudian, melalui ujung mataku aku


melihat Rani mendekati Dion. Mau apa dia? Tanyaku
dalam hati. Samar-samar aku mendengar Rani
menanyakan sesuatu tentang buku catatan, lalu kulihat
Dion meraih tasnya dan mengambil sebuah buku tulis
dari sana. Dion memberikan buku dan mengucapkan

77
terima kasih, Rani mengangguk dan mengatakan sesuatu,
lalu beranjak pergi.

OK, aku faham sekarang, sepertinya Dion


meminjam buku catatan Rani. Perlahan semua mulai
terasa terhubung, itu sebabnya Dion akhir-akhir ini
jarang meminjam buku catatanku lagi, dia meminjam
buku catatan Rani. Aku masih berusaha untuk berfikir
positif, mungkin tulisanku sulit dibacanya.

Tetapi memang ada yang berbeda dengan Dion


hari ini, kami tidak ada mengobrol sama sekali hari ini
dan ini sangat membuatku gelisah. Aku tidak bisa
tenang, ingin sekali rasanya aku bertanya apa yang
terjadi pada Dion hingga dia mendiamkan aku seperti
ini, tetapi aku terlalu gengsi.

Sampai pulang sekolah, aku tidak ada berbicara


dengannya. Sepertinya Dion merasa biasa saja, dia
bertingkah seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Ingin
rasanya aku berakting seperti dia, berusaha untuk tidak
peduli, namun, aku tidak bisa, aku gelisah dan otakku

78
terus berpikir dan mengingat-mengingat kesalahan apa
yang telah kuperbuat hingga Dion mendiamkan ku.

~~

Sesampai di rumah, aku segera mengganti baju


dan makan siang. Setelah makan, aku mencuci piring
dan berlari menuju kamar. Sepanjang hari, aku menatap
layar ponselku, berharap ada satu pesan singkat dari
Dion, yang berisi penjelasan mengapa dia mendiamkan
aku selama di sekolah. Namun hingga pukul tujuh
malam, tidak ada pesan dari Dion. Tiba-tiba, listrik di
rumahku padam, aku mengecek keluar rumah untuk
melihat apakah rumah lain juga padam listrik, ternyata
sama saja. Tak lama setelah listrik padam, hujan
mengguyur kota tempat aku tinggal. Angin yang dibawa
hujan begitu kencang, aku menarik selimut hingga
menutupi seluruh tubuhku.

Dalam rumah kayu yang hanya diterangi cahaya


lilin ini, dingin menembus selimut yang kugunakan. Di
luar, rintik hujan dan atap rumah beradu membentuk
sebuah melodi yang indah. Mungkin karena hujan ini,

79
PLN mematikan sambungan listriknya, pikirku sambil
memegang erat ponselku, satu pesan sedang kutunggu
saat ini. Satu saja. Enam menit berlalu, tetapi belum ada
SMS yang masuk ke ponselku, oke, aku semakin gelisah
sekarang, kemana kah dia saat ini? Apakah benar-benar
membutuhkan waktu yang lama untuk membalas sebuah
pesan?

Satu. Dua. Tiga. Empat. Aku berhitung untuk


mengisi kebosanan, Akhirnya ponsel ku berdering pada
hitungan ke empat belas. Dion. Begitulah nama yang
tertera di layar hp ku. Segera sebuah senyum terbentuk
dari mulutku dan dalam hati, aku berkata, yess akhirnya.
Jantungku berdetak begitu kencang ketika aku menekan
tombol ‘buka pesan’. Masih dengan senyum yang lebar
aku membaca pesan itu dalam hati. Mungkin saja ini
pesan berisi penjelasan tentang sikapnya sepanjang di
sekolah tadi.

Dion: Iya ola sayang, gampang aja kok, besok


habis pulang sekolah kita makan dulu :)

80
Ola? Aku membaca SMS itu sekali lagi, aku
memastikan bahwa SMS itu benar-benar dari Dion, aku
mengecek nomor pengirimnya, dan benar itu adalah
nomor Dion. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi,
tiba-tiba ponselku berdering lagi. Lagi-lagi, nama Dion
tertera, segera kubuka pesannya.

Dion: Maaf rel, tadi salah kirim.

Dalam sekejap tubuhku terasa lemas, mataku


perih dan perlahan mengeluarkan air mata yang semakin
lama semakin deras. Hawa dingin dari hujan benar benar
menusuk sampai ke tulang. Rasanya seperti langit
beserta isinya jatuh menimpaku, perasaan dan pemikiran
yang selama ini kuanggap benar, hanya impian semata.
Malam ini, aku menangis sejadi-jadinya, sambil
menyadari betapa bodohnya aku selama ini. Aku terus
menangis hingga tak kusadari aku pun terlelap dengan
air mata yang mengering di pelipis kananku.

Ola? Mengapa Ola? Sejak kapan Dion dan Ola


dekat? Ribuan pertanyaan menyerbu dalam otakku, aku
berusaha untuk berpikir jernih, namun aku tidak bisa.

81
Aku memang selama ini tidak terlalu dekat Ola,
sehingga aku tidak tahu bagaimana hidupnya
berlangsung, siapa sahabatnya, jika hal yang seperti itu
saja aku tak tahu apalagi siapa yang lagi dekat
dengannya?

Aku menyerah, aku pikir aku butuh istirahat. Aku


tak tahu apa yang akan terjadi esok, yang terpenting
bagiku saat ini adalah malam ini segera berlalu. Aku
berharap tuhan masih memberiku kesempatan untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Esok.

Atau jika tuhan tidak mengijinkan aku


mengetahui kebenarannya, biarkan aku bangun dengan
hati seperti sebelum aku kenal dengan makhluk yang
kini meremukkan hatiku itu. Dingin dan tak peduli. Dia
yang menghancurkan benteng pertahananku, kini dia
pula yang memaksaku untuk membangunnya kembali.

Ya! Aku harus membangun benteng yang baru,


yang lebih kuat, yang lebih tahan peluru dan meriam.
Dari pengalaman pahit ini, aku belajar banyak hal yang
akan membuat bentengku lebih kuat. Kali ini aku tidak

82
akan lemah dan mudah ditaklukkan lagi, aku akan lebih
dingin terhadap setiap orang yang berniat menyakiti
benda yang dilindungi benteng ini. Hatiku.

Yang pertama memberi kekuatan.

83
BAB VI

HAKUNA MATATA

All alone I watch you watch her

She’s the only thing you’ve ever seen

How is it you never notice

That you are slowly killing me

-Olivia O’brien and Gnash (I hate you, I love you)

84
Pagi ini matahari tidak secerah biasanya, awan
mendung menutup cahaya matahari sehingga ia tak
mampu menghangatkan tubuhku. Seandainya awan
mendung ini mampu menutup luka dalam hatiku juga.
Biasanya sinar mentari-lah yang menghangatkan
tubuhku, tetapi kali ini berbeda, tidak ada lagi
kehangatan. Dengan malas aku berjalan menuju kamar
mandi, tubuhku hangat dan kepalaku pusing.

Setelah bersiap dengan seragam sekolahku, aku


berangkat, kali ini aku berangkat sekolah dengan diantar
mama, hanya beliau yang dapat menegerti aku. Setelah
sampai di kelas, aku menawari Ola untuk bertukar
tempat denganku, padahal tempat duduk Ola benar-benar
bukan tempat duduk yang strategis karena Ola duduk di
barisan paling depan. Awalnya Ola menolak untuk
bertukar tempat duduk denganku, namun setelah aku
menjelaskan bahwa tempat dudukku disamping Dion,
mata Ola berbinar dan dengan senang hati dia mau
bertukar tempat duduk. Hal itu semakin menguatkan
opiniku bahwa memang ada sesuatu antara Dion dan
Ola.

85
Setelah Ola pergi, aku meletakkan tasku ke meja
dan tidur dengan bertumpu tas. Biasanya di pagi hari
seperti ini, aku dan Dion mengobrol tentang apaun yang
terlintas di otak kami, kini semua terasa lain, semuanya
benar-benar berubah.

Seharian aku merasa lesu dan tidak bersemangat,


aku selalu melirik ke jam dinding, berharap jam pulang
sekolah segera tiba. Sesekali aku mendengar suara Ola
dan Dion tertawa bersama, Tuhan, jantungku berdegup
kencang, ingin rasanya marah, tetapi aku sadar bahwa
aku tidak punya hak untuk marah dan melarang Dion
untuk dekat dengan siapa pun.

Saat bel pulang berbunyi, aku buru-buru berjalan


kaki menuju rumah, tubuhku lemas, namun, semua itu
ku tahan agar dapat cepat sampai di rumah.

Saat sampai di rumah, tanpa mengganti baju, aku


langsung berbaring di ranjangku. Awalnya aku hanya
ingin berbaring dan memainkan ponselku, namun, lama-
kelamaan air mataku mengalir. Tuhan, kenapa aku
menangis lagi? Ayo kuatkan dirimu, Aurel, kamu nggak

86
bisa begini terus. Aku menghapus air mataku dan
memutuskan untuk tidur siang. Aku berjanji pada diriku
untuk tidak bersedih lagi, Dion bukan siapa-siapaku dan
pernyataan itu tidak akan berubah sampai kapan pun.
Mulai besok aku harus berubah, aku tidak boleh seperti
ini terus-menerus, life must go on, Aurel.

~~

Keesokan harinya, aku memulai hari dengan


semangat baru, aku memutuskan bahwa kisah tentang
Dion cukup sampai disini. Jadi begini ending yang dia
siapkan, seharusnya aku juga diberi kesempatan untuk
memberikan ending ‘terbaikku’ untuknya kan?

Aku berangkat sekolah dengan riang. Di luar


kelas, ada Robi, Nala, dan Dina sedang bergosip ria.

“Cie.. lagi ngomongin apa sih?” kataku


mengejutkan mereka.

“Lha.. tumben ikut nimbrung, biasanya pagi-


pagi gini berduaan sama Dion” ucap Robi dengan
nadanya yang tinggi seperti biasa.

87
“Ih.. apa sih?” kataku sewot, berusaha menepis
ombrolan atau pikiran tentang Dion.

Tak lama kemudian, Nirma datang membawa


sebuah brosur, warnanya hijau cerah dengan tulisan
berwarna hitam, dari jauh tidak kelihatan brosur tentang
apa itu.

“Hai gengs, aku ada berita bagus nih, di samping


rumahku, ada sebuah les pelajaran matematika, fisika,
dan kimia. Kita ikutan yuk? Mumpung murah nih” tawar
Nirma dengan mata berbinar-binar. Aku mengambil
brosur dari tangan Nirma, nama lembaga kursus itu
adalah “Pak Wik”.

“Kenapa nama tempatnya ‘Pak Wik’?” tanyaku


pada Nirma, dan, dengan semangat Nirma menjelaskan.

“Karena nama bapak yang mengajar adalah Pak


Wik. Udah nggak usah banyak tanya, yuk capcus cabut
kita ikutan” sahut Nirma. Kulihat wajah Robi, Nala, dan
Dina menjadi serius.

88
“Kalau aku sih ngikut aja” sahutku dengan nada
persuasif, agar teman-temanku tertarik untuk ikutan.

Teman-temanku yang lain menganggukkan


kepala. Yey, semoga aktifitas baru ini membuat aku
semakin cepat lupa dengan Dion, lagipula aku sadar
bahwa aku sudah kehilangan satu guru yang selalu sabar
mengajariku jika aku tidak faham akan suatu pelajaran.
Dion.

~~

Jam dinding di rumahku menunjukkan pukul tiga


tepat, dengan buru-buru aku mengambil sepedaku dan
mengayuhnya menuju Jalan Durian, dimana tempat
kursus ‘Pak Wik’ berada. Tidak butuh waktu lama untuk
aku sampai di sana, karena jarak antara rumahku dengan
Jalan Durian tidak jauh. Saat sampai disana Nala, Dina,
Nirma dan Robi sudah duduk manis disana. Di tempat
kursus itu kami duduk secara lesehan dengan sebuah
meja panjang, ada sekitar empat panjang tersedia, kami
memilih tiga. Kami langsung mulai belajar setelah
melakukan registrasi.

89
Saat sedang serius belajar, aku melihat ke arah
luar, ada sesosok laki-laki bertubuh pendek, berkacamata
dan berkulit sawo matang datang dengan menggunakan
motor matic. Wajahnya yang tirus terlihat familiar di
mataku, sepertinya aku pernah melihat orang ini, tetapi
dimana? Aku tidak ingat. Saat ia memasuki ruangan,
mata kami bertemu. Ya, tidak salah lagi, aku pernah
melihat mata itu, entah dimana, intinya aku pernah
melihatnya.

Aku melihat teman-temanku begitu serius belajar


dengan bimbingan Pak Wik, sehingga tak lama
kemudian, tugas kimia kami selesai. Karena jam dinding
menunjukkan pukul setengah lima, kami memutuskan
untuk tidak pulang dan membuat sesuatu. Kami menulis
nama-nama akun sosial media kami yaitu twitter di
sebuah kertas, karena twitter merupakan sosial media
yang sedang booming saat ini. Setelah selesai menulis,
kami meletakkan kertas itu dan pulang kerumah masing-
masing, siapa tau bisa nambah followers kan?

Saat sampai di rumah aku membantu mama


menyiapkan makan malam, lalu melaksanakan ibadah

90
sholat Magrib. Setelah sholat, aku mengecek ponselku,
biasanya di jam seperti ini ada pesan singkat dari Dion,
tapi, kali ini tidak, tidak ada pesan singkat, jangankan
dari Dion, dari operator sim card yang kugunakan pun
tidak ada. Tetapi, ada satu notifikasi di ponselku yang
menarik perhatianku, akun twitter-ku mendapat satu
follower baru, namanya adalah @Dafian_ , segera aku
membuka profil follower baruku itu, dan seketika aku
mengenalinya. Dafian, anak yang kulihat di tempat ‘Pak
Wik’ tadi, adalah salah satu temanku saat aku mengikuti
kursus bahasa Inggris di suatu lembaga kursus yang
terkenal di kota kami. Saat itu, aku masih kelas empat
sekolah dasar, sedangkan dia kelas lima. Sudah dari dulu
Dafian menggunakan kacamata. Dulu, aku tidak terlalu
kenal dekat dengannya, sehingga aku tidak tahu kemana
dia melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari sekolah
dasar. Ternyata, tuhan mempertemukan kami lagi, dan
lagi-lagi di sebuah lembaga kursus, sebuah kebetulan
yang lucu, ucapku dalam hati.

91
Untuk memastikan, aku pun mengirim sebuah
pesan singkat melalui twitter yang disebut juga Direct
Massage.

Aurel: Ini Dafian yang waktu SD ikut CLC kan?

Entah mengapa tiba-tiba muncul keberanian


dalam diriku untuk mengirimnya pesan, aku pikir tidak
ada salahnya jika kita memastikan dan menjalin
silaturahmi dengan orang yang lama tidak bertemu. Tak
lama kemudian, ponselku bergetar, tandanya ada sebuah
pesan masuk. Dafian membalas.

Dafian: Iya, Aurel, ternyata kamu masih ingat ya


wkwk..

Wah! tidak kusangka ternyata Dafian masih ingat


denganku, dengan semangat aku membalas pesan itu,
hingga aku teringat sesuatu, dia lebih tua daripada aku
sehingga aku memanggilnya dengan sebutan kakak
ketika membalas pesannya.

Aurel: Ingat dong, kakak sekarang sekolah


dimana?

92
Dan begitulah kami, saling berkirim pesan
melalui Direct Massage, hingga suatu hari, Kak Dafian
meminta nomor handphone-ku, dengan alasan akan lebih
mudah jika menghubungi dengan SMS daripada Direct
Massage. Dan tanpa ragu, aku pun memberikan nomor
ponselku, dan semenjak itu kami saling berkirim pesan
melalui SMS. Kak Dafian selalu cepat dalam membalas
SMS, kalau boleh jujur, aku senang dengan respon yang
dia berikan, aku merasa dihargai karena hal itu. Dalam
SMS, kami membicarakan apapun, entah tentang
kegiatan di sekolah, pelajaran yang semakin sulit, hingga
musik favorit. Dan fakta yang lebih mengejutkan adalah,
ternyata Kak Dafian satu sekolah denganku, tetapi
mengapa aku tidak pernah melihatnya? Dia adalah kakak
kelasku tepatnya XII MIA 1.

~~

Seseorang mungkin dapat menghancurkan


hatimu atau menjatuhkan sangat dalam, tetapi untuk
memilih tetap jatuh atau bangkit lagi itu adalah
sepenuhnya hakmu. Percayalah bahwa tidak ada orang
yang benar-benar bisa membuatmu jatuh. Dan jika kamu

93
merasa terlalu lemah untuk bangkit seorang diri,
berusaha untuk menemukan orang yang tepat untuk
membantumu ketika kamu terjatuh.

94
BAB VII

PENEMUAN SPESIES BARU

I’m not afraid to fall in love. I’m afraid to fall for


the wrong person AGAIN

-Bittercookiestumblr

95
Pagi yang indah menyambutku saat mataku
terbuka, dunia seakan menjanjikan bahwa akan ada hal
baru yang siap menyambutku. Aku segera mencari
ponselku dan melihat notifikasinya, ada satu pesan dari
Kak Dafian, tak terasa, sebuah senyum terbentuk di
wajahku. Isinya hanya ucapan selamat pagi yang
sederhana, namun, bagiku itu sudah cukup sebagai
pertanda bahwa hari ini akan berlalu dengan baik-baik
saja.

Namun, di satu sisi, aku tetap waspada, aku tidak


mau kejadian yang sama seperti yang Dion lakukan
kepadaku terulang kembali hanya karena kebodohanku
untuk jatuh dilubang yang sama. Aku membalas pesan
singkat itu dan bergegas ke kamar mandi. Aku bertekad
untuk membuktikan bahwa Kak Dafian memang
bersekolah di sekolah yang sama denganku. Hari ini
juga. Aku akan mencarinya. Mencari tanpa menghampiri
lebih tepatnya.

Setelah siap, aku bergegas menuju sekolah. Saat


sampai dikelas, secara tidak sengaja, aku melihat ke arah
tepat dimana Dion dan Ola sedang duduk. Sekilas, aku

96
melihat Dion sedang berbicara kepada Ola, sambil
menunjuk-nunjuk sebuah buku, itulah gaya khas Dion
ketika sedang mengajarkan suatu pelajaran, masih tetap
sama, mungkin bedanya adalah dulu dia mengajariku,
sekarang bukan lagi aku diajarinya, ada orang lain yang
telah menggantikan posisiku.

Aku menggelengkan kepalaku dan berjalan


menuju kursi yang dulunya di tempati Ola. Aku kembali
mengecek ponselku, ada SMS dari Kak Dafian, dengan
terburu-buru, aku membukanya.

Saat istirahat, aku melewati aula sekolah yang


bersebelahan dengan ruang kelas XII MIA 1. Ternyata
benar saja, di antara puluhan kakak kelas yang berjalan
menuju kantin, ada Kak Dafian berjalan dengan tergesa-
gesa menuju kantin. Awalnya aku berniat ke kantin juga,
tetapi aku lebih menghindari Kak Dafian daripada harus
bertemunya di kantin dan harus menyapanya. Aku
berlari kecil menuju kelas, dan tak ku sadari, aku
tersenyum ketika sampai di kelas.

97
“Cie.. kenapa tu senyum-senyum? Pasti ada apa-
apa ini” tegur Robi saat aku sampai dikelas.

“Dasar kepo” sahutku sambil berjalan menuju


kursiku, ketika berjalan aku berpapasan dengan Dion,
segera ku pasang wajah dingin lengkap dengan gerek
memalingkan muka.

~~

Hari demi hari, aku semakin dekat dengan Kak


Dafian, bahkan membalas semua pesan singkat sudah
menjadi rutinitas bagiku. Aku semakin semangat
berangkat kursus karena ada dia, walau aku masih tetap
waspada, aku tetap saja menikmati kedekatan kami. Aku
hanya membiarkannya mengalir bagaikan air.

Berbeda dengan Dion, bagiku Kak Dafian lebih


agresif. Atau hanya perasaanku saja. Dia tidak segan
menyuruhku untuk makan jika aku belum makan atau
segera menyuruhku untuk sholat begitu adzan
berkumandang, sebenarnya hal kecil seperti itu dapat
kulakukan tanpa disuruh terlebih dahulu, tetapi, tak
mungkin aku menegurnya karena ia mengingatkan aku

98
untuk melakukan sesuatu. Bagiku, memang bentuk
perhatian Kak Dafian agak berlebihan, namun, sebagai
seorang wanita, aku mengakui bahwa aku menikmati
perhatian yang dia berikan.

Hingga suatu malam tepatnya pada tanggal 15


Desember, Kak Dafian menyatakaan perasaan kepadaku
melalui pesan singkat, tepatnya setelah aku membeli nasi
goreng. Pesan itu tidak sederhana saja, hanya perkataan
jujur bahwa dia menyukaiku, dan bersediakah aku
menjadi kekasihnya? Seketika nafsu makanku hilang,
perutku terasa diaduk-aduk, jantungku berdegup
kencang, dan mataku berkunang-kunang. Bagaimana
bisa orang yang hanya kutemui tiga kali seminggu jatuh
cinta secepat ini? Karena sudah tidak mood untuk
makan, aku pun memberikan nasi goreng itu kepada
adikku, yang dengan sennag hati menghabiskannya
hingga tak tersisa.

Aku bingung harus membalas apa, sehingga aku


hanya membalas pesan itu dengan berkata bahwa aku
akan menjawab permintaannya besok malam, tak lama
kemuadian masuk pesan balasan ke ponselku.

99
Kak Dafian: Ok, kutunggu besok, good night, Aurel:)

Aku tidak membalas pesan itu lagi, aku merasa


terlalu lelah dan memutuskan untuk pergi tidur, tetapi
sekeras apapun aku memaksa, aku tetap tidak bisa tidur.
Apa yang harus ku katakan pada Kak Dafian jika dia
meminta jawabannya besok malam? Bagaimana pun
juga aku belum pernah berpacaran sebelumnya, dan jika
aku menerimanya, dia akan jadi pacar pertamaku. Semua
pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku, mungkin
Robi yang sudah ahli dalam hal ini bisa membantuku,
pikirku sambil mencoba untuk tenang dan tidur
secepatnya.

~~

Keesekoan hari, aku buru-buru berangkat


sekolah, dan dengan tidak sabar, aku menceritakan
semuanya pada Robi yang hanya mendengarkan kisahku
dengan memasang tampang ah-sudah-biasa-dengar-
cerita-seperti-ini. Sedangkan aku memasang wajah panik
terbaikku, walaupun dalam keadaan panik, kita tetap
harus terlihat cantik kan?

100
Setelah mendengar seluruh kisahku, robi pun
memberi saran yang sangat mebuatku terkejut.

“Yaudah, terima aja kali, mungkin kakakmu


tersayang bisa membuat kamu cepat lupa sama si itu”
saran Robi sambil memonyongkan bibirnya ke arah
Dion, untungnya Dion sedang tidak melihat ke arah
kami. Aku hanya mempelototi Robi, tetapi, apa yang
dikatakan Robi memang ada benarnya juga, setelah
kehadiran Kak Dafian dalam hidupku, aku tidak pernah
lagi berbicara dengan Dion, bahkan menoleh ke arahnya
pun tidak pernah.

Tepat seperti dugaanku, pada pukul 8.20 tanggal


16 Desember, Kak Dafian kembali menanyakan hal yang
sama seperti kemarin dan setelah kupikirkan dengan
matang beserta sesuai saran Robi, aku menerima Kak
Dafian menjadi pacaran. Sebenarnya aku merasa geli dan
takut membayangkannya bahwa aku akan memiliki
seseorang yang akan menjadi bagian dari kisah hidupku.
Aku takut hal yang sama, terjadi kembali. Ditinggal di
tengah jalan.

101
BAB VIII

NOMOR 1 DAN 2 MENJADI SATU

Second chances are given to make things better..

Or end things better

-Unknown

102
Tak terasa sudah dua bulan aku dan Kak Dafian
bersama, bukan hal yang mudah untuk tetap
mempertahankan hubungan ini, berbagai gangguan
datang dari luar maupun dari dalam diri kami masing-
masing, belum lagi pribadi Kak Dafian yang cap sebagai
playboy, menjadi cobaan tersendiri untukku. Kuakui Kak
Dafian memang memiliki banyak sekali teman
perempuan yang tidak segan memegang tangannya
ketika bicara dengannya atau sekedar mengelus rambut
Kak dafian. Tampaknya di angkatan Kak Dafian, semua
hal itu wajar saja untuk dilakukan, dan aku pun masih
menganggap wajar semua itu, dan tak pernah terbesit
sekalipun rasa cemburu dalam hatiku. Tetapi, bagi
teman-teman seangkatanku, memegang tangan atau
mengelus rambut itu merupakan hal yang tabu, sehingga
beberapa kali teman-teman mengejekku karena mereka
berfikir bahwa Kak Dafian hanya memanfaatkan aku
saja. Aku selalu mencoba menepis ejekan itu atau
mencoba untuk tidak mengubrisnya, dan akhirnya aku
sudah terbiasa dengan ejekan-ejekan mereka.

103
Bukan itu saja, tak jarang aku dengannya
berkelahi karena tidak ada yang mau mengalah, Kak
Dafian terkadang sangat keras kepala jika merasa dirinya
benar, dan aku tentunya tidak mau disalahkan, karena
aku memang tidak salah. Jika sudah seperti ini, aku tidak
akan membalas pesan singkatnya, hingga dia mau minta
maaf kepadaku.

Namun, di samping semua itu, Kak Dafian


merupakan tipe pendengar yang baik, dia selalu setia
mendengar keluh kesahku tentang apapun itu. Kami
selalu saling berbicara melalui telepon setiap sabtu
malam, jika sudah mengobrol, kami bisa menghabiskan
waktu hingga dua jam. Yang semakin membuat aku
sayang padanya adalah sifatnya yang terkadang sangat
romantis, tak jarang ketika aku bangun di pagi hari dan
mengecek ponselku, ada lirik lagu yang dia kirim
melalui pesan singkat. Dia memanggilku dengan sebutan
adik, sungguh lebih ku hargai daripada panggilan ‘lebay’
yang biasa di gunakan orang lain ketika berpacaran.

~~

104
Bulan Februari pun tiba, bulan ini aku akan
merayakan ulang tahunku yang ke 16 tahun. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, aku mengundang teman-
temanku untuk datang ke pesta kecil di rumah. Aku
menyampaikan undangan pestaku kali ini menggunakan
sosial media, karena akan jauh lebih mudah
dibandingkan memberi tahu mereka satu per satu,
kecuali beberapa orang yang tidak memiliki akun sosial
media, aku akan memberi tahunya secara langsung,
hingga aku menyadari sesuatu. Dion. Dia tidak memiliki
akun sosial media apapun, dan dengan terpaksa aku
harus mengundangnya secara langsung, karena aku tidak
mau memulai pertempuran baru dengannya hanya karena
dia merasa diriya tak diundang saat aku membuat pesta
sedangkan semua teman di kelas diundang. Saat
istirahat, aku pun memnghampirinya, butuh keberanian
lebih untuk menghampiri seseorang yang sudah tidak
kau tegur selama tiga bulan.

“Dion, dua hari lagi, aku merayakan ulang


tahunku di rumah jam tiga sore, kalau bisa datang ya”
setelah mengatakan itu, aku segera membalikkan

105
badanku bersiap untuk pergi, karena awalnya kukira dia
tidak akan mengubrisku, ternyata Dion mengatakan
sesuatu dan aku segera membalikkan badanku untuk
menghadap ke arahnya lagi.

“Iya Aurel, aku pasti dateng kok, Dafian juga


datang?” ucap Dion sambil menatap mataku, ya tuhan
aku rindu sekali tatapan itu. Mendengar pertanyaan Dion
barusan, aku tersentak dan salah tingkah, aku belum
memutuskan, akan mengundang Kak Dafian atau tidak,
karena dia akan menjadi satu-satunya kakak senior yang
hadir di pesta itu jika aku mengundangnya.

“Ya, tentu saja dia datang” jawabku singkat,


ingin rasanya secepatnya pergi dari sini.

“Baguslah, aku ingin mengetahui yang mana


namanya Dafian” sahut Dion dingin, ini hanya
perasaanku saja, atau Dion memang menyebut nama Kak
Dafian dengan nada yang tidak mengenakan telinga.
Ingin sekali aku menyahuti kata-katanya tadi dengan
kalimat ‘Iya, orang baik yang telah membantu aku move

106
on dari kamu’. Namun, aku menahan diri, dan lebih
memilih pergi daripada meledakkan emosiku disana.

Ketika sampai dirumah setelah sepulang sekolah,


aku bingun sekali, bagaimana caraku mengundang Kak
Dafian? Dan kalau sudah kuundang, belum tentu dia
akan datang. Pada malam harinya, aku pun
memberanikan diri untuk mengundang Kak Dafian, dan
ternyata dia memberi respon yang sesuai dengan yang
kuinginkan.

Kak Dafian: Iya, bisa kok, adek mau kado apa?

Aku tertawa bahagia membaca pesannya, dan


segera membalasnya. OK, satu masalah terselesaikan,
aku tersenyum, kali ini aku bisa bernafas lega.

~~

Aku terbangun di pagi hari dan menyadari


sesuatu.

“Happy Birthday, Aurel” teriakku pada diriku


sendiri, senyum mengambang di wajahku. Aku segera
menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi, aku

107
benar-benar tidak sabar menunggu pesta sore ini. Setelah
mandi, aku segera mengecek ponselku, terdapat ucapan
selamat ulang tahun dari Kak Dafian, lengkap dengan
harapanku kedepannya. Dialah orang pertama yang
memberiku ucapan selamat di ulang tahunku kali ini.

Saat sampai dikelas, ternyata kelasku sudah


setengah penuh, teman-teman menghampiriku dan
memberi ucapan selamat ulang tahun, tak terkecuali
Dion. Aku menjalani hari ini dengan bahagia, dan aku
memutuskan tidak membiarkan apapun mengganggu
hari bahagiaku ini.

Sore harinya aku berdandan secantik mungkin,


menggunakan gaunku yang berwarna pink, dan beberapa
kali aku melihat ke arah cermin, untuk memastikan
bahwa aku sudah siap. Perlahan ruang tamuku mulai
penuh dengan teman-temanku, hingga satu orang yang
sangat ku kenali sepeda motornya, itu Kak Dafian, degup
jantungku tak beraturan, nafasku sesak dan tanganku
menjadi dingin, untung lah bibirku terus tersenyum, aku
menyambutnya di pintu. Kak Dafian membawa kado
besar yang dibalut dengan kertas kado berwarna putih

108
bergambar Hello Kitty, kado itu dipermanis dengan
adanya pita berwarna pink pastel.

Aku mengucapkan terima kasih dengan nada


lirik, dan Kak Dafian hanya tersenyum, tinggiku yang
setara dengan tingginya, membuat aku data dengan jelas
menatap matanya, mata yang indah, ucapku dalam hati.
Aku dan Kak Dafian jalan bersama menuju ruang tamu,
satu-satunya yang ku sesali adalah kami semua duduk
melingkar dan Kak Dafian memilih tempat duduk yang
berseberangan dengan Dion, aku tidak suka tatapan
dingin Dion terhadap Kak Dafian sehingga aku terus
mengajaknya mengobrol agar ia tak sampai melihat ke
arah Dion.

Pestaku berakhir dengan meriah, dan kurasa


mereka semua merasa bahagia, kami mengambil banyak
sekali foto, begitu senang hatiku hari ini. Setelah semua
teman-temanku, dan Kak Dafian pulang, aku segera ke
kamar dan membuka kado Kak Dafian, isinya adalah
sebuah boneka alien lucu berwarna biru, dan aku
memutuskan untuk memberinya nama Tosky Tonjiru.

109
~~

Setelah acara ulang tahun itu, aku merasa


semakin sayang dengan Kak Dafian, namun, ada
perasaan lain yang juga mengganggu pikiran dan hatiku.
Aku merasa Dion kembali mendekat denganku. Akhir-
akhir ini, Dion kembali mengajakku mengobrol, dan
bercanda, tetapi, aku tidak akan mengulang kesalahan
yang sama, aku tidak akan jatuh ke lubang sama dua
kali. Saat Dion mengajakku mengobrol, aku hanya
membalasnya dengan anggukan, atau menggeleng, atau
bahkan hanya dengan senyuman. Terkadang, aku tergoda
untuk menyahuti apapun yang dia omongkan kepadaku,
Dion benar-benar tahu cara meluluhkan aku, tetapi, aku
tersadar dan teringat rasa sakit yang pernah dia goreskan
di hatikku, yang rasa perihnya mampu menyesakkan
nafasku. Cukup sekali.

Dion tidak ‘mengganggu’-ku di sekolah saja,


tetapi juga melalui SMS, awalnya aku mengacuhkan
semua pesannya, aku hanya membaca tanpa membalas.
Tetapi, lama-kelamaan dia mulai mengirim SMS dengan
jumlah yang sangat banyak, dengan alasan khawatir

110
katanya, memangnya dia pikir aku sedang apa sampai
harus dikhawatirkan, runtukku kesal.

Hingga suatu malam, Dion kembali mengirim


pesan untukku, tetapi pesan yang kali berbeda, pesan itu
cukup panjang. Saat ku buka, ternyata pesan itu berisi
pernyataan perasaan Dion terhadapku, aku membaca
pesan yang panjang itu hingga tiga kali, lalu aku
memastikan bahwa memang Dion pengirimnya. Isinya
begitu panjang namun hanya mengisyaratkan satu hal.
Aku suka kamu.

Aku sedih sekali membaca pesan itu, mengapa


Dion melakukan ini kepadaku, kenapa dia menyukaiku
saat aku sudah memiliki orang lain. Aku bingung sekali,
aku berharap bahwa kali ini dia salah kirim lagi. Tak
lama kemudian, masuk satu pesan lagi ke ponselku, aku
berharap itu Dion yang mengatakan bahwa dia salah
kirim. Ternyata tuhan tidak mengabulkan permintaanku,
isi pesan yang kedua tak lama mengejutkannya.

Dion: Gimana Rel?

111
Aku memutuskan untuk tidak memperdulikan
pesan itu dan pergi tidur, setelah mengucapkan good
night untuk Kak Dafian, aku mematikan ponsel dan
lampu kamarku, lalu menutup seluruh tubuhku dengan
selimut, tetapi bukannya terlelap, aku malah tambah
gelisah, apa yang ku harus ku lakukan? Aku ingin
memarahi Dion, tetapi aku tak mau berbicara dengannya.
Aku harus menemukan cara yang tepat untuk
menyelesaikan masalah ini. Tiba-tiba, terlintas suatu ide
dibenakku. Menulis surat.

Aku segera bangkit dari tempat tidurku, dan


menyalakan kembali lampu kamar. Kuambil secarik
kertas diatas meja belajarku dan pulpen dari dalam kotak
pensil. Aku duduk termenung di lantai kamar,
bagaimana aku akan mengawali surat ini? Seharusnya ini
terasa mudah, aku tinggal menulis apa yang kurasakan,
kemarahanku kepadanya, dan perasaanku yang dulunya
dia sia-siakan. Sambil menulis surat itu, aku memutar
lagu dari Christina Perrie yang berjudul Jar of Hearts
agar lebih rileks.

~~

112
Hai Dion, aku sudah membaca pesanmu malam
ini, aku tidak mengerti apa maksudmu, apakah kamu
ingin mempermainkan aku atau ada maksud lain. Jika
engkau bermaksud bermain-main, maka aku bukan
orang yang tepat untuk kamu ajak bermain.

Kau tahu? Dulu, saat kita begitu dekat, aku jatuh


cinta padamu. Aku sangat menyukaimu, aku suka
caramu mengistimewakanku, aku suka caramu
mengajarkan pelajaran, aku suka candaanmu, aku suka
apapun yang ada pada dirimu, aku selalu memikirmu,
setiap melakukan sesuatu, aku teringat padamu. Aku tak
tahu apa yang kamu rasakan padaku saat itu, tetapi satu
hal yang membuatku bahagia waktu itu. Aku suka
padamu.

Tetapi tiba-tiba kamu mendiamkanku, kamu


bersikap dingin padaku,dan perlahan kamu
meninggalkan aku. Dan kenyataan terpahit adalah
mengetahui kedekatanmu dengan Ola. Aku sadar sekali
bahwa aku tidak memiliki hak untuk melarangmu dekat
dengan siapa pun, oleh karena itu aku menjauh. Ingin
sekali rasanya menjelaskan bagaimana perasaanku

113
malam itu, Dion. Tetapi, kenangan itu akan kujadikan
pelajaran untukku. Terima kasih untuk itu.

Dan sekarang. Ketika aku sudah melupakan mu,


ketika aku sudah menemukan penggantimu, kamu
kembali ke dalam kehidupanku. Apa maksudmu
sebenarnya? Kuharap kamu paham dengan maksudku
tanpa harus ku perjelas lagi. Aku tak akan meninggalkan
seseorang yang membantuku melupakanmu hanya
kerena kau kembali lagi. Tolong jangan ganggu aku
lagi. Terima kasih.

Aurelia A.

114
Setelah selesai menulis, aku melipat surat itu,
tanpa terasa aku menulis surat itu sambil menangis. Ku
masukkan surat itu ke dalam tas, aku kan menyelipkan
surat itu saat istirahat ke dalam tas Dion, pikirku sambil
mencoba untuk menutup mataku. Tak lama kemudian,
aku terlelap.

Tuhan menciptakan takdir setiap orang menjadi


sangat rumit, namun tak kusangka, punyaku akan
menjadi serumit ini.

~~

Setelah aku meletakkan surat itu di dalam tasnya,


Dion tidak pernah lagi mengajakku mengobrol, bahkan
kami hanya berbicara ketika ada keperluan yang benar-
benar penting, misalnya kerja kelompok. Tatapan
matanya menjadi lebih dingin daripada biasanya, dan itu
cukup membuatku takut. Dion juga tidak pernah
mengirim SMS yang tidak penting lagi. Aku
menghembuskan nafas panjang, leganya karena satu
masalah terselesaikan, ucapku dalam hati.

~~

115
Pagi ini aku terbangun dan langsung mengecek
ponselku. Terdapat ucapan selamat pagi beserta selirik
lagu dari Kak Dafian. Senyum indah terlukis di wajahku
saat aku membaca pesan itu. Semakin lama, aku merasa
semakin sayang dengan orang ini, pikirku sambil
tertawa. Semenjak Kak Dafian mewarnai hari-hariku,
aku menjadi sering tertawa dan tersenyum sendiri saat
menatap ponselku. mungkin orang yang melihatku, aku
mengira bahwa aku sakit jiwa.

Hari ini, pelajaran pertama adalah Agama Islam.


Aku mengeluarkan buku paketku, dan ternyata bahan
ajaran hari ini adalah tentang zina. Selama pelajaran
berlangsung, aku memperhatikan guru dengan seksama,
hingga tiba saat Ibu Lia, guru kami, membahas tentang
pacaran, dan selama membahas tentang pacaran, aku
merasa banyak mata teman-temanku yang menatap ke
arahku, dan Ayu. Padahal yang pacaran kan tidak aku
dan Ayu saja, runtukku dalam hati. Tetapi ada benarnya
juga kata Ibu Lia, pacaran tidak mendatangkan manfaat
apapun, justru aku jadi memikirkan Kak Dafian terus
sejak kami berpacaran. Aku menghembuskan nafasku,

116
aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini
sebelum terlalu jauh. Aku harap Kak Dafian akan
memahami alasanku nanti, pikirku.

Aku merasa ragu, karena bagaimanapun juga aku


sangat menyayangi Kak Dafian, dia telah memberikan
banyak hal manis untukku, dia orang yang sangat spesial
bagiku. Tetapi, aku tidak mungkin lebih mencintai
ciptaan-Nya daripada sang pencipta. Akhirnya,
keputusanku bulat untuk mengakhiri hubungan kami,
karena putus bukan berarti komunikasi kami juga
terputus, kan?

Saat malam hari tiba, aku mempersiapkan kata-


kata yang akan kukirim kepada Kak Dafian untuk
mengakhiri hubungan kami, aku merangkai kata-kata itu
dengan hati-hati, agar ia tak merasa tersinggung dan
faham dengan alasanku mengambi keputusan ini.
Kukirim pesan itu dengan tangan bergetar, aku takut
sekali, kalau ia akan salah faham dan akan membenciku.

117
Tak lama kemudian, masuk pesan balasan dari
Kak Dafian dan alangkah bahagianya aku mebaca pesan
itu.

Kak Dafian: Iya dek, kakak faham kok, tetapi


kakak tetap bisa sms adek, kan?

Tak terasa aku mengangguk membaca pesan itu.


Walaupun hubungan kami berakhir, namun, kami tetap
bisa jadi sahabat dan saling berkomunikasi. Mungkin
aku akan kehilangan perhatian-perhatian yang selama ini
Kak Dafian yang berikan tetapi itu masih lebih mending
daripada kehilangan Ridha-Nya. Bagaimana pun juga
tujuan hidup manusia adalah menyembah sang pencipta
bukan ciptaan-Nya.

Yang kedua memberi kenangan. Kenangan manis. Amat


manis.

118
BAB IX

WHAT’S NEXT? THIRD

Cinta hadir karena perkenalan, bersemi karena

perhatian, bertahan karena kesetiaan.

-Anonymous

119
Pagi hari dimulai ketika matahari terbit di ufuk
timur, aku terbangun karena sinarnya menembus jendela
kamarku dan mengganggu tidurku. Saat terbangun, aku
langsung mengecek ponselku, tidak ada notifikasi dari
Kak Dafian. Oh iya, kan sudah putus, ujarku sambil
menepuk jidat, aku harus bisa membiasakan diri. Dan
menyadari bahwa aku bukan lagi prioritasnya Kak
Dafian.

Saat akan mematikan ponselku, ada satu


notifikasi di akun Line-ku. Dari Adil. Palingan nih anak
mau minta fotokan catatan matematika lagi, kataku
dalam hati. Dan benar saja, dia meminta tolong fotokan
catatan matematikaku, segera aku memfotokannya, lalu
menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu
kamarku.

Setelah bersiap, aku bergegas menuju sekolah.


Hari ini, Dion tidak masuk sekolah, aku tidak tahu
mengapa ia tidak masuk sekolah dan aku tidak tertarik
untuk mencari tahu. Karena tempat duduknya tidak ada
yang menempati. jadi aku duduk di tempat duduknya.
Daripada harus duduk di paling depan terus, pikirku. Di

120
samping kiriku, ada Adil yang sibuk mencatat foto yang
ku kirim tadi.

“Nyatat tuh di rumah” ejekku pada Adil.

“Terserah aku” balas Adil singkat.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Adil. Adil


memang anak yang cuek sekali, sikapnya juga dingin,
ibarat es batu. Bahkan terkadang dia masih hidup atau
tidak, aku tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak mau tahu.
Dia sering sekali meminta foto catatan orang lain, karena
dia malas mencatat, mungkin. Aku sudah terbiasa
dengan kebiasaannya meminta fotokan catatan.

Hari ini tidak seperti biasa, aku yang mintanya


memfotokan catatan, yaitu catatan seni budaya. Adil
bilang, dia juga tidak mencatatnya, tetapi dia berjanji
akan mencarikan orang yang mencatat pelajaran itu dan
akan membagi fotonya dengan aku.

Akhir-akhir ini, aku merasa ada yang berbeda


antara aku dan Adil, kami tidak hanya chat tentang
pelajaran, melainkan, juga tentang hal lain yang

121
sebenarnya tidak penting. Misalnya sudah makan atau
sholat, atau apa yang sedang ku lakukan sekarang.
Sampai saat ini, aku masih menganggap semuanya itu
sekedar chat biasa.

Sebenarnya, aku sedang ketakutan saat ini, aku


takut akan jatuh cinta padanya, karena dulu, aku dan Kak
Dafian juga di awali dengan pesan singkat. Bagaimana
pun juga, aku tahu siapa yang Adil sukai, bahkan ia
sering bercerita kepadaku tentang cewek yang
disukainya itu. Dan yang lebih parahnya lagi, aku kenal
baik dengan cewek yang disukai Adil.

Hingga pada suatu hari, isi chat kami tersebar,


karena kebodohanku. Aku mengirim hasil capture chat-
ku dengan Adil ke salah satu grup chat, tak kusangka,
ternyata salah satu dari anggota grup tersebut
menyebarkannya ke grup lain dan tak butuh waktu lama,
berita kedekatanku dengan Adil tersebar. Keesokan
harinya, teman-teman mengejek aku dan Adil.

Dalam hati dan pikiranku, tidak pernah terlintas


sekalipun rasa untuk merebut Adil dari Lili, nama cewek

122
yang disukai Adil. Bagiku kebahagian mereka berdua
adalah yang terpenting. Memang terkadang, aku merasa
begitu dekat dengan Adil, tetapi aku tidak menyangka
bahwa teman-temanku yang lain akan mengira ada hal
lain di antara kami. Akibat ejekan teman-temanku, aku
merasa canggung dengan Lili sekarang. Dan aku benci
keadaan seperti ini.

Aku merasa bernasib sudah jatuh tertimpa tangga


pula. Sekarang masalah yang kuhadapi bukan saja
ketakutan untuk jatuh cinta, tetapi juga rasa canggung
yang harus kukendalikan saat bersama Lili. Ya tuhan,
seandainya aku bisa memilih dengan siapa aku akan
jatuh cinta, aku tidak akan memilih Adil, bagiku, Adil
sudah seperti teman baikku dan aku tidak mau
pertemanan kami rusak karena hal bodoh bernama cinta.
Ya! Seperti yang terjadi antara aku dan Dion.

Aku sangat tersiksa karena ejekan teman-


temanku, karena terkadang mereka mengejek secara
berlebihan, mereka tak sedang mengejekku dengan kata
‘pencorop’. Dalam bahasa daerah kami, pencorp berarti
mengambil sesuatu yang telah dimiliki orang lain. Saat

123
mereka mengejek seperti itu, aku hanya pura-pura
tertawa seakan-akan aku tidak merasa terluka, tetapi
sebenarnya aku merasa sakit sekali. Mereka tidak berada
di posisiku, mereka tidak faham apa yang kurasakan,
mengapa mereka harus menghakimi aku seperti ini ini?

~~

Hari ini adalah hari lebaran Idul Adha. Pagi ini


begitu cerah setelah semalaman di guyur hujan. Saat aku
membuka jendela, tercium aroma hujan yang bercampur
dengan tanah, aroma yang memikiat dan menyejukkan.
Aku merenggangkan otot-ototku dan berjalan menuju
kamar mandi. Saat berada di kamar mandi, aku tersadar
bahwa aku lupa membawa handuk, jadi aku keluar lagi
dan mengambil handu. Dasar ceroboh, ejekku pada
diriku sendiri.

Sekolahku mewajibkan semua muridnya yang


beragama islam untuk sholat Idul Adha berjamaah di
sekolah kami. Aku mengambil pakaian muslimku yang
berwana hitam dan jilbab berwarna ungu, perpaduan
warna yang aneh, tetapi birarlah aku tidak peduli.

124
Setelah siap, aku segera bergegas menuju sekolah,
karena aku menggunakan sepatu yang agak tinggi, aku
jadi sedikit kesulitan berjalan dan itu memperlambat
langkahku. Saat sampai disekolah, aku melihat teman-
temanku sudah baris dengan rapid an menggunakan
mukena mereka. Saat mereka melihatku, mereka
menggeleng-geleng, sedangkan aku hanya tertawa kecil.

Setelah selesai sholat, aku dan teman-temanku


mengambil beberapa foto, ya untuk apalagi kalau bukan
untuk di upload ke Instagram. Aku juga mengambil foto
dengan Adil, sekedar untuk iseng saja.

Saat sampai dirumah, aku melihat-lihat foto yang


kami ambil tadi. Dari sekian banyak foto, hanya dua foto
yang menurutku bagus untuk di upload, foto pertama
adalah fotoku bersama semua teman kelasku dan foto
kedua, fotoku bersama Adil, aku pun memutuskan untuk
meng-upload dua-duanya. Foto pertama selesai di
upload. Saat hendak meng-upload foto kedua, aku ragu,
aku tidak mau foto ini menimbulkan masalah dan dugaan
yang tidak-tidak dari teman-temanku. Tetapi, kan aku
misalnya dengan Anugrah, dan teman-temanku biasa

125
saja tuh, pikirku sambil mempertimbangkan hal ini
dengan matang-matang. Akhirnya aku memutuskan
untuk meng-upload foto itu.

Dan benarlah dugaanku, temanku yang bernama


Fahri melihat foto itu di Instagram dan meng-capture-
nya lalu mengirimkannya ke grup chat kami. dalam
seketika mereka menghujatku dengan kata-kata kasar
lagi. Misalnya “kasihannya Lili”, “sabar Lili”. “respect
Lili”, “Nggak bisa bayangkan aku kalau jadi Lili”,
“tertusuk-tusuk Lili tuh”, “aku kalau jadi Lili, ku labrak
Aurel”, “aku kalau jadi Lila ku blok ig Aurel”. Aku
membaca semua pesan itu dengan perasaan terkejut,
bagaimana bisa teman-temanku mengatakan hal sekeji
itu. Aku segera keluar dari grup tersebut, aku sudah tidak
tahan lagi, aku juga menghapus foto yang ku bersama
Adil yang ku-upload tadi. Aku masih bisa memaklumi
jika mereka mengejek, tetapi ini sudah keterlaluan, tidak
seharusnya kata-kata itu mereka lontarkan kepadaku.
Apa yang mereka pikirkan saat menulis kata-kata sekeji
itu?aku merasa tidak pernah mengatakan hal buruk
seperti itu kepeda mereka, lalu mengapa mereka

126
melakukan ini padaku? Selama ini aku berprinsip bahwa
kalau perkataan kita berpotensi “melemahkan” dan
“mematahkan” semangat orang, sebaiknya jangan
dikatakan. Namun, rupanya ternyata tidak semua orang
berpendapat sama denganku, tidak semua orang
mengerti hal itu.

Melalu personal chat, Adil bertanya padaku.

Adil: kamu nggak papa, Rel?

Aurel: iya nggak papa kok, dil

Adil: terus kenapa leave dari grup?

Aurel: nggak papa.

Aku menjawab semua pesan Adil sekenanya, aku


tidak mau menambah beban Adil. Semenjak kejadian itu,
seperti biasa Adil bercerita tentang Lili kepadaku,
namun, dari ceritanya aku menyimpulkan bahwa Lili
sedikit lebih kasar kepada Adil. Aku sangat sedih
menyadari hal itu. Bukannya semakin mendekat, justru
Adil dan Lili semakin menjauh, dan itu semua karena
aku. Aku hanya menambah beban Adil.

127
Aku bingung memikirkan bagaimana cara
memperbaiki hubungan Adil dan Lili. Saat ini, aku
hanya membiarkan semuanya mengalir, tetapi aku tetap
memperkuat bentengku. Aku tidak mau mendaftar daftar
masalahku dengan jatuh cinta kepada Adil. Aku tidak
berharap banyak terhadap Adil, aku hanya berharap kami
bisa berteman selamanya, dan dia segera mendapatkan
wanita yang dia inginkan.

Yang ketiga menggantung harapan.

128
EPILOG
Kini, aku sedang duduk termenung di pinggir
ranjangku. Hidupku yang singkat menyimpan begitu
banyak cerita. Setiap cerita, menyimpan hikmah
tersendiri yang dapat ku pelajari untuk membangun
kisah baru yang lebih baik ending-nya.

Aku selalu siap menyambut kisah yang


selanjutnya, karena dari kisah sebelumnya, aku belajar
banyak hal. Hal yang dapat kugunakan untuk
memperkuat diriku, agar tidak mudah digulingkan oleh
orang lain. Pelajaran-pelajaran itu ibarat peluru, semakin
banyak peluru yang kamu miliki, semakin siap kamu
menghadapi musuh di medan perang.

Kisah terakhir, belum berakhir. Apa yang


selanjutnya terjadi aku pun tak tahu. Pada intinya, aku
hanya menjalani semua ini, sedangkan tuhan sebagai
moderatornya. Akankah aku berhasil menyatukan Adil
dengan Lili? Atau justru Adil adalah orang selanjutnya
yang berhasil merobohkan benteng pertahananku?

129
Seperti yang ku katakan, satu tidak cukup untuk
membuatmu bahagia, kamu butuh tiga. Atau bahkan
lebih. Dan seharusnya yang kamu cari bukan lah sekedar
kesenangan, melainkan juga kesakitan atau kepahitan
yang akan membawamu menuju sebuah pelajaran hidup.

Jangan pernah abaikan satupun orang yang hadir


dalam hidupmu. Petik pelajaran dari mereka, dari cara
mereka memperlakukanmu, dan dari cara mereka
meninggalkanmu. Setiap orang punya cara mereka
masing-masing untuk membuatmu bahagia, atau terluka.

Yang pertama memberi kekuatan

Yang kedua memberi kenangan

Yang ketiga menggantung harapan.

130
PROFIL PENULIS

Nama saya
Cantika Laksmi Bunga.
Seorang siswi kelas 3
sekolah menengah atas
yang lahir pada tanggal
22 Februari 2000.

Saya suka menulis


cerita, terlebih lagi cerita
tentang kehidupan saya
sendiri. Selain menulis, saya juga suka menari.

Jika kalian memiliki masukan untuk karya saya


yang selanjutnya, silahkan kirim saran dan kritik kalian
melalui e-mail saya [email protected].

Kalian juga dapat mengunjungi akun Instagram


saya, yaitu @cantikabunga_ .

Terima kasih telah meluangkan waktu kalian


untuk membaca novel ini.

131

Anda mungkin juga menyukai