Novel Bahasa Indonesia
Novel Bahasa Indonesia
Novel Bahasa Indonesia
1
yang telah turut membantu dalam proses percetakan
novel ini.
2
DAFTAR ISI
PROLOG
AWAL DARI SEGALANYA
SEDINGIN ANTARTIKA
RUNTUHNYA BENTENG
PERTAHANAN
MANIS TIADA TARA
MELELEH DAN BERPINDAH
HAKUNA MATATA
PENEMUAN SPESIES BARU
NOMOR 1 DAN 2 MENJADI SATU
WHAT’S NEXT? THIRD
EPILOG
3
PROLOG
Dalam rumah kayu yang hanya diterangi cahaya
lilin, dingin menembus selimut yang kugunakan. Di luar,
rintik hujan dan atap rumah beradu membentuk sebuah
melodi yang indah. Mungkin karena hujan ini, PLN
mematikan sambungan listriknya, pikirku sambil
memegang erat ponselku, sesuatu sedang kutunggu saat
ini. Enam menit berlalu, tetapi belum ada SMS yang
masuk ke ponselku, oke, aku semakin gelisah sekarang,
kemana kah dia saat ini? Apakah benar-benar
membutuhkan waktu yang lama untuk membalas sebuah
pesan?
4
Dion: Iya ola sayang, gampang aja kok, besok
habis pulang sekolah kita makan dulu :)
5
Aku tak tahu apa yang akan terjadi esok, yang
terpenting bagiku saat ini adalah malam ini segera
berlalu. Aku berharap tuhan masih memberiku
kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Esok.
6
BAB I
7
Pagi ini matahari bersinar begitu cerah di langit
Tenggarong, Kutai Kartanegara. Hawa pagi yang dingin
dan sejuk membuatku ingin meringkuk didalam selimut
lebih lama lagi, sampai aku teringat sesuatu, INI HARI
PERTAMA SEKOLAH. Segera aku melompat dari atas
ranjang empukku. Aku sangat bersemangat hari ini,
membayangkan bagaimana wajah teman-temanku
setelah liburan panjang yang super membosankan.
Karena terlalu bersemangat, sampai-sampai kakiku
menghantup meja rias yang terletak di samping lemari.
8
makan, disana, mamaku telah menyiapkan makanan
favoritku, yaitu nasi goreng.
9
Sesampai di sekolah, upacara sudah hampir
mulai, bahkan, pagar sekolah sudah hampir ditutup.
Untung masih sempat, ucapku dalam hati. Aku berjalan
menuju pinggir lapangan dan menaruh tas ku di sana.
Sudah merupakan rutinitas di sekolah, kalau hari
pertama setelah libur akan diakan upacara sehingga
murid-murid harus meletakkan tas mereka di pinggir
lapangan karena belum memiliki kelas. Setelah
meletakkan tas, aku segera mencari teman-temanku
diantara ratusan murid lainnya. Yang pertama
kutemukan adalah Risty.
10
“Eh kamu ya, selalu menegur masalah badan,
mentang mentang badanmu kaya lidi” kata Risty.
11
Upacara berlangsung selama lima belas menit
dan dilanjutkan dengan acara Halal Bi Halal yaitu
bermaaf-maafan antara murid dan guru. Setelah itu,
murid-murid kembali ke barisan masing-masing. Hawa
panas benar-benar menyengat, namun kami harus tetap
berdiri, menunggu kertas pengumuman pempatan kelas
ditempel di mading. Aku membungkuk untuk berlindung
dengan temanku yang tinggi. Terdengar suara sorakkan
dari arah belakang, yang meminta untuk segera
dibubarkan karena hawa panas yang tak tertahankan.
12
“Bukannya kamu sensi setiap saat” kataku sambil
mengelap keringat dengan tisu.
13
Saat aku berhasil mencapai barisan tepat di depan
mading, aku segera mencari namaku, Aurelia Aurita.
Aku mencari namaku didaftar kelas XI MIA 1, XI MIA
2, XI MIA 3, XI MIA 4, dan XI MIA 5, namun tak ada
namaku dimana pun, aku mulai panik. Aku pun
menelusuri daftar itu sekali lagi, dan kutemukan namaku
di daftar kelas XI MIA 5, betapa leganya aku. Lalu,
kulihat lagi berbagai nama yg ada disana, senangnya aku
melihat aku kembali sekelas dengan Robi, dan Nala.
Sekilas aku melihat sebuah nama yang tidak pernah
kukenal sebelumnya. Dion Ezra. Nama yang begitu
singkat, pikirku, namun ku tak peduli, yang penting
semester ini akan ku habiskan bernama Robi dan Nala
lagi.
14
memberiku nama Aurelia Aurita. Aku bangga dengan
nama yang kupunya, nama ini unik dan tidak sama
dengan siapa pun.
15
Cowok itu membuyarkan lamunanku dengan
melambaikan tangannya ke arahku, oh tuhan, apakah aku
ketahuan sedang melamun tentang dia. Setelah aku
tersadar, dia tersenyum padaku, benar-benar tersenyum,
senyum yang hangat tetapi disampaikan dengan gaya
yang cool, gigi gingsulnya menambah kesan manis
senyum itu. Rasanya seperti disengat listrik dengan
kekuatan tinggi mendapatkan senyum seperti itu,
jantungku tak terkendali dan suhu tubuhku menurun.
Oke, aku sangat canggung saat ini, mau tidak mau aku
harus membalas senyumnya. Tanpa kusadari sebuah
senyum gigi terbentuk diwajahku. Aku tahu, saat aku
menunjukkan senyum gigi itu, aku pasti terlihat bodoh
sekali. Aku menyesali senyum gigi itu, seharusnya aku
bisa tersenyum lebih anggun kan?
16
mulai bercakap dengan kami, suara beliau yang lembut
namun tegas menunjukkan kewibawaan.
17
Saat aku menunggu giliran namaku dipanggil,
aku menjadi gelisah karena tidak tahan dengan rasa
penasaran akan nama cowok misterius yang
melemparkan senyum indah tadi, aku pun bertanya
dengan Robi. Dan ternyata pertanyaanku malah mencing
rasa penasaran Robi.
18
“Tidak biasanya kamu peduli dengan anak seperti
itu, pasti ada apa-apanya, ‘mencurigakan’” kata robi
dengan penekanan pada kata mencurigakan.
19
Tiba-tiba bu Ellis berkata dengan lembut “Kamu
pasti sebelumnya bukan berasal dari MIA 1 atau MIA 5
ya? Karena muka mu tampak asing buat saya.”
20
pun tak tahu, lebih tepatnya tak mau tahu. Biarkan
semua terjadi apa adanya tanpa dibuat-buat.
21
BAB II
SEDINGIN ANTARTIKA
-K.A.Z Violin
22
Minggu-minggu pertama sekolah sudah lewat.
Aku dan teman-teman dengan cepat dapat beradaptasi
dengan pelajaran dan kegiatan kelas sebelas yang padat.
Guru-guru mulai memberikan tugas-tugas, baik tugas
kelompok maupun tugas individu, bahkan beberapa
tugasnya benar-benar membuatku hampir gila. OK, aku
mulai hiperbola, pikirku untuk menghentikan sikap
dramaku yang berlebihan. Tetapi murid di sekolah
tempat aku menuntut ilmu ini, sudah didesain untuk
tahan terhadap berbagai tekanan, jadi aku pun merasa
hampir-gila-tapi-terbiasa. Perasaan macam apa ini.
23
terus memplototi jam dinding, berharap benda bulat dan
memiliki dua jarum itu bergerak lebih cepat.
24
pengumaman. Aku mendengarkannya dengan menopang
dagu, karena rasa kantuk yang terlampau berat.
25
terbiasa tidur siang tanpa mengganti seragam sekolahku,
karena menurutku seragam sekolahku itu dingin dan
sangat pas untuk dipakai tidur siang.
Aurel: Ok sif, atur aja. Btw, kelompok kita siapa aja ya?
Aku lupa, hehe.
Syifa: Ayu, Dion, dan Tita, kamu sih tidur mulu wkwk.
26
Dion. Ya elah kenapa sih harus sekelompok sama dia,
malas banget deh, runtukku dalam hati.
27
“Iya nih, mereka ngaret banget, seperti biasa”
jawab Syifa santai sambil memainkan ponselnya,
sepertinya dia sedang mnghubungi anggota kelompok
yang belum datang.
28
Palingan dia juga tidak tahu kartun yang akan
kusebutkan jadi mungkin dia akan berhenti bertanya.
Aku melirik ke Syifa, dia masih sibuk memainkan
ponselnya, aku harap teman-temanku yang lain cepat
datang.
29
seperti dia, menurutku hanya orang-orang yang berani
dan mandiri yang bisa jauh dari orang tuanya.
30
bagaimana pun juga, dia itu cowok dan semua cowok itu
sama saja, pikirku untuk menguatkan diri.
31
kembali ke rumah masing-masing dengan lega karena
satu tugas telah terselesaikan.
32
yang tenggelam dalam jaket tebal. Tiba-tiba, ketua kelas
kami, Tara, maju kedepan dan menyampaikan sebuah
informasi.
33
menggelegar dan membuatku kaget sampai-sampai aku
melepaskan kotak pensil yang ada di tanganku, sontak
saja isinya berhamburan keluar. Sebelum memunguti isi
kotak pensilku, aku menoleh ke belakang untuk melihat
siapa yang berteriak hingga kelas yang sempit ini terasa
bergetar. Ternyata Aska yang berteriak, wajar saja
teriakannya sangat memekakkan telinga, pikirku. Aska
adalah salah satu murid laki-laki di kelasku, dia
berperawakan tinggi dan besar, bahkan tinggiku hanya
mencapai pundaknya. Dia adalah anak dari salah satu
guru di sekolah kami. Seketika setelah Aska berteriak,
kelas menjadi sangat hening sampai suara yang
terdengar hanya dari kipas angin tua dan berdebu yang
terletak di pojok kelas. Tara melanjutkan diskusinya.
34
adanya rolling. Tara mulai menghitung jumlah anak
yang mengangkat tangannya. Aku sendiri mengangkat
tanganku karena menurutku aku butuh teman baru agar
semester ini berlalu dengan sedikit ‘berbeda’ dari
semester sebelumnya. Selesai menghitung, Tara kembali
berbicara.
35
“Haa Dion apa?” tanyaku balik, aku gelagapan
dan bingung karena terkejut. Padahal suaraku kecil saja,
kenapa robi bisa mendengarnya, kataku dalam hati.
36
angka itu, itu tandanya aku tidak duduk paling depan.
Butuh waktu lima menit untuk menyelesaikan rolling
hingga barisan paling belakang. Tara kembali maju ke
depan.
37
“Iya kali” jawabku sambil menoleh dengan malas
ke arahnya, ada saja yang ingin menggangu waktu dan
suasana yang begitu sempurna untuk tidur, runtukku
dalam hati. Tetapi betapa terkejutnya aku ketika melihat
siapa yang mengajakku bicara tadi. Dion. Dia berdiri
tegap sambil meletakkan tas nya secara hati-hati ke atas
kursi. Ya tuhan, beda sekali caranya menaruh tas dengan
aku, aku saja asal hempaskan saja tadi, sedangkan dia
begitu hati-hati, komentarku dalam hati. Dia duduk
dengan tenang, di sebelahku.
38
bodoh, justru dia terlihat menggemaskan. Astaga, sadar
Aurel, apa barusan kamu pikir dia menggemaskan?
Kucek dulu mata kamu, pikir ku sambil menggelengkan
kepalaku. Tiba-tiba Dion membuka mulutnya dan
berkata.
39
“Penting banget ya kamu liatin ‘kegiatan’ aku di
kelas” sanggah ku dengan tatapan tajam dan penekanan
pada kata ‘kegiatan’.
“Iya”
40
“Tugas apalagi sih?” kali ini aku benar-benar
kesal karena untuk kedua kalinya dia membatalkan
tidurku.
41
earphone ku tertutup oleh jilbab yang kukenakan. Saat
selesai menjelaskan, kulihat gerak bibir Robi seperti
berkata ‘sudah-ngerti-kan?’ Aku hanya menganggukan
kepalaku, dan mulai mengerjakan tugas itu sebisaku.
42
Saat sampai di rumah, aku segera menuju
kamarku dan berteriak.
43
boleh buat, aku sudah terlanjur berkata akan
membawakan buku itu, dan aku terlalu gengsi untuk
mengirim SMS lagi. Aku menyimpan nomor Dion dan
meletakkan ponselku di atas ranjang. Aku bangkit untuk
mengganti baju seragam, karena cuaca yang terlampau
panas aku memilih baju kaos dan celana pendek,
namanya juga dirumah. Setelah makan, aku mencuci
piring dan begitulah hari itu berlangsung hingga
keesokan harinya.
44
BAB III
RUNTUHNYA BENTENG
PERTAHANAN
-@Pandamoon
45
Tidak semua hal dapat berjalan sesuai rencana.
Mungkin kalimat itulah yang tepat untuk
menggambarkan kondisi yang ku alami saat ini. Pada
awalnya setelah kejadian peminjaman buku itu, aku tidak
mau berurusan dengan Dion lagi, tetapi lama-kelamaan
justru aku merasakan hal yang sebaliknya! Aku semakin
dekat dengan anak laki-laki bertubuh proporsional itu.
46
“Bakal butuh banyak duit nih kali gini” celetuk
salah satu anggota kelompokku, mendengar hal itu, aku
bersusah payah untuk menahan tawa. Memang benar apa
yang dikatakannya, butuh uang yang banyak untuk
menyiapkan dua puluh porsi makanan.
47
Aku membalik badan, yang semulanya
menghadap ke arah ibu Santi, menjadi menghadap
anggota-anggota kelompokku, kuperhatikan wajah
mereka satu per satu, disana ada Lilis, Anna, Rani, Aldo,
dan Dion yang kini duduk di samping kananku. Tidak
buruk, Aurel, mereka pasti bisa diajak kerja sama dengan
baik, kataku dalam hati.
48
kelompokku, wajah mereka yang tegang dengan dahi
berkerut menandakan otak mereka sedang dipaksa
bekerja keras untuk menemukan ide cemerlang.
49
akan membagi tugas ini dengan adil. Butuh waktu
sekitar lima belas menit bagi Anna untuk membagi
semua alat yang akan kami gunakan. Dan selama lima
belas menit itu, kami berdiskusi untuk memantapkan
rencana penyajian makanan itu. Rencananya semua
makanan itu akan dimasak di rumah Aldo dan Rani
karena orang tua mereka memang jago sekali memasak
dan tidak keberatan untuk berbagi resep dan ilmunya
kepada kami.
50
karena tidak tahu apa itu Arizona, aku teringat sesuatu,
dia bukan dari daerah sini, dia dari Marangkayu.
51
“Bener tuh, nggak ada yang lain apa yang bisa
bawa?” tanyaku pada Anna dengan wajah yang
memelas. Aku masih kesulitan untuk berakting bahwa
tidak terjadi apa-apa padaku setelah Dion berkata begitu.
Mungkin bagi kalian itu hanya rasa kasihan biasa, dan
aku pun merasa demikian, tetapi entah mengapa tubuhku
bereaksi sedemikian rupa.
52
diriku untuk mengatur nafas. Tenang Rel, dia hanya
menawarkan bantuan, pikirku menenangkan diri.
~~
53
terpakai, aku berjalan ke tempat dudukku, dan duduk
dengan tenang.
54
tapi aku tidak senekad itu dan itu sama saja
mempertaruhkan nilai kelompokku.
55
sebelah kanan. Setelah selesai mengoleskan minyak
kayu putih, Robi pun meninggalkan kami.
56
yang enak diajak mengobrol, walaupun candaannya
terkadang garing alias nggak lucu.
57
tetap diam diluar, berharap Anna dan lainnya tidak
menemukan aku disini dan menyuruhku mencuci piring.
Kalau boleh memilih, aku lebih memilih menyapu
seluruh inci kelasku daripada mencuci piring.
58
hanya dengan menyenggol kami satu per satu” terang
Dion dengan air muka polos yang dibuat-buat.
Mendengar penjelasannya, aku tertawa lepas, apa benar-
benar ada orang yang begitu berjuang untuk mengambil
benda yang bahkan sudah kulupakan?
59
Dion melihat ke arah aku terus-menerus. Ya tuhan, apa
yang sebenarnya dia inginkan?
60
menoleh pada Dion, dan memasang wajah marah yang
justru terlihat konyol.
61
piring dengan hati-hati. Kami membagi tugas, aku
bertugas menyabuni piring sedangkan Dion yang
membilas. Kami menyelesaikan cucian itu dengan cepat,
hingga tiba saatnya mencuci benda terakhir, Arizona
yang kubawa. Aku menyabuni Arizona itu tanpa
kesulitan, saat Dion akan membilasnya, dia
memanggilku..
“Rel”
62
“Eh Rel, kamu mau tau sesuatu nggak?” tanya
Dion serius, saking seriusnya sampai aku jadi takut.
~~
63
puingnya hingga tidak ada satu material pun yang dapat
memisahkan aku dari dunia luar.
64
BAB IV
65
Terasa ada yang berbeda semenjak Dion hadir
dalam hidupku, hari-hariku, bahagiaku, dan duka ku. Dia
membuat segalanya lebih berwarna. Dulu, aku merasa
hidupku sangat datar, aku berangkat sekolah selain
hanya untuk bertemu teman-teman aku menganggapnya
hanya sebagai kewajiban. Namun, semenjak kedatangan
Dion, aku merasa ada dorongan lain yang memberiku
semangat untuk pergi ke sekolah. Aku ingin segera
betemu dia. Ya! Itu lah yang kurasakan saat ini, aku
selalu ingin bertemu Dion.
66
membaca suatu cerita rakyat, lalu satu persatu
ditugaskan untuk menceritakan kembali di depan kelas.
Sambil menunggu giliranku, aku mengipas wajahku
dengan kipas tangan yang kubawa dari rumah. Panasnya
hari ini, bahkan kipas yang berada diatas kepalaku terasa
tidak memberi efek apapun.
67
“Cie.. ngambek, kita bikin kesepakatan aja yuk?”
ajak Dion. Diluar kendaliku, aku mulai tertarik dengan
tawaran Dion.
68
“Terlambat, Princess” ejek Dion. Aku hanya
tertawa hingga tak sadar bahwa suaraku terlalu besar,
dan mengundang mata teman-temanku untuk melihat ke
arah kami. Dion menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
~~
69
saat di rumah masing-masing. Entah tentang pelajaran
ataupun sekedar bertanya apa yang sedang kulakukan.
70
harus memusatkan perhatiannya kepada guru yang
sedang menjelaskan untuk dapat mengerti pelajaran yang
diberikan. Sedangkan aku, sudah menjadi kebiasaanku
untuk mencatat apapun yang guru tulis di papan tulis.
Dan jadilah kami seperti saat ini. Saling melengkapi.
Dion meminjam catatanku, sedangkan aku memintanya
untuk mengajari pelajaran yang tidak kupahami karena
terlalu sibuk mencatat.
71
aku tidak terlalu memperdulikan pendapat mereka,
biarlah mereka berkomentar, itu adalah hak mereka
untuk berpendapat.
~~
72
ingin dia tahu, bahwa dia begitu berarti bagiku saat ini,
dan dia telah berhasil membuat aku jatuh ke dalam
genggamannya. Mungkin aku tidak bisa meminta Dion
untuk tetap disisi ku selamanya, tetapi, aku harap Dion
akan mempersiapkan ending yang bagus untuk kisah
kami.
73
BAB V
-Unknown
74
Pagi yang cerah dengan cuaca hangat dari sang
mentari menyambutku saat bangun dari tidur yang tidak
terlalu nyenyak. Semenjak terjalin kedekatan antara aku
dan Dion, aku selalu merasa gelisah, dan tidak bisa
berfikir jernih. Setiap saat aku selalu memikirkan Dion,
Tuhan, tolong selamatkan aku dari kegilaan ini, doaku
dalam hati.
75
Setelah merasa siap dengan segala peralatan
sekolahku, aku memasang sepatu dan berangkat sekolah.
Seperti biasa aku berangkat sekolah dengan berjalan
kaki, aku berjalan denga tergesa-gesa. Saat sampai di
kelas, aku melihat Dion sudah duduk dengan manis di
kursinya. Terlihat begitu tenang dan damai, tuhan, dialah
yang telah menggangu pikiranku selama ini. Aku
berjalan dengan tenang menuju kursiku yang berada
tepat disebelah kiri Dion, saat aku meletakkan tas di
kursi, Aku menyapa Dion dengan nada khasku.
76
“Ada” jawabnya singkat. Tumben Dion hanya
menjawab dengan singkat pertanyaanku, biasanya dia
akan menjelaskan secara panjang lebar jika aku
menanyakan sesuatu. Aku masih menganggap wajar
semua itu, mungkin dia memang lagi sibuk dan tidak
bisa diganggu, pikirku.
77
terima kasih, Rani mengangguk dan mengatakan sesuatu,
lalu beranjak pergi.
78
terus berpikir dan mengingat-mengingat kesalahan apa
yang telah kuperbuat hingga Dion mendiamkan ku.
~~
79
PLN mematikan sambungan listriknya, pikirku sambil
memegang erat ponselku, satu pesan sedang kutunggu
saat ini. Satu saja. Enam menit berlalu, tetapi belum ada
SMS yang masuk ke ponselku, oke, aku semakin gelisah
sekarang, kemana kah dia saat ini? Apakah benar-benar
membutuhkan waktu yang lama untuk membalas sebuah
pesan?
80
Ola? Aku membaca SMS itu sekali lagi, aku
memastikan bahwa SMS itu benar-benar dari Dion, aku
mengecek nomor pengirimnya, dan benar itu adalah
nomor Dion. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi,
tiba-tiba ponselku berdering lagi. Lagi-lagi, nama Dion
tertera, segera kubuka pesannya.
81
Aku memang selama ini tidak terlalu dekat Ola,
sehingga aku tidak tahu bagaimana hidupnya
berlangsung, siapa sahabatnya, jika hal yang seperti itu
saja aku tak tahu apalagi siapa yang lagi dekat
dengannya?
82
akan lemah dan mudah ditaklukkan lagi, aku akan lebih
dingin terhadap setiap orang yang berniat menyakiti
benda yang dilindungi benteng ini. Hatiku.
83
BAB VI
HAKUNA MATATA
84
Pagi ini matahari tidak secerah biasanya, awan
mendung menutup cahaya matahari sehingga ia tak
mampu menghangatkan tubuhku. Seandainya awan
mendung ini mampu menutup luka dalam hatiku juga.
Biasanya sinar mentari-lah yang menghangatkan
tubuhku, tetapi kali ini berbeda, tidak ada lagi
kehangatan. Dengan malas aku berjalan menuju kamar
mandi, tubuhku hangat dan kepalaku pusing.
85
Setelah Ola pergi, aku meletakkan tasku ke meja
dan tidur dengan bertumpu tas. Biasanya di pagi hari
seperti ini, aku dan Dion mengobrol tentang apaun yang
terlintas di otak kami, kini semua terasa lain, semuanya
benar-benar berubah.
86
bisa begini terus. Aku menghapus air mataku dan
memutuskan untuk tidur siang. Aku berjanji pada diriku
untuk tidak bersedih lagi, Dion bukan siapa-siapaku dan
pernyataan itu tidak akan berubah sampai kapan pun.
Mulai besok aku harus berubah, aku tidak boleh seperti
ini terus-menerus, life must go on, Aurel.
~~
87
“Ih.. apa sih?” kataku sewot, berusaha menepis
ombrolan atau pikiran tentang Dion.
88
“Kalau aku sih ngikut aja” sahutku dengan nada
persuasif, agar teman-temanku tertarik untuk ikutan.
~~
89
Saat sedang serius belajar, aku melihat ke arah
luar, ada sesosok laki-laki bertubuh pendek, berkacamata
dan berkulit sawo matang datang dengan menggunakan
motor matic. Wajahnya yang tirus terlihat familiar di
mataku, sepertinya aku pernah melihat orang ini, tetapi
dimana? Aku tidak ingat. Saat ia memasuki ruangan,
mata kami bertemu. Ya, tidak salah lagi, aku pernah
melihat mata itu, entah dimana, intinya aku pernah
melihatnya.
90
sholat Magrib. Setelah sholat, aku mengecek ponselku,
biasanya di jam seperti ini ada pesan singkat dari Dion,
tapi, kali ini tidak, tidak ada pesan singkat, jangankan
dari Dion, dari operator sim card yang kugunakan pun
tidak ada. Tetapi, ada satu notifikasi di ponselku yang
menarik perhatianku, akun twitter-ku mendapat satu
follower baru, namanya adalah @Dafian_ , segera aku
membuka profil follower baruku itu, dan seketika aku
mengenalinya. Dafian, anak yang kulihat di tempat ‘Pak
Wik’ tadi, adalah salah satu temanku saat aku mengikuti
kursus bahasa Inggris di suatu lembaga kursus yang
terkenal di kota kami. Saat itu, aku masih kelas empat
sekolah dasar, sedangkan dia kelas lima. Sudah dari dulu
Dafian menggunakan kacamata. Dulu, aku tidak terlalu
kenal dekat dengannya, sehingga aku tidak tahu kemana
dia melanjutkan pendidikannya setelah lulus dari sekolah
dasar. Ternyata, tuhan mempertemukan kami lagi, dan
lagi-lagi di sebuah lembaga kursus, sebuah kebetulan
yang lucu, ucapku dalam hati.
91
Untuk memastikan, aku pun mengirim sebuah
pesan singkat melalui twitter yang disebut juga Direct
Massage.
92
Dan begitulah kami, saling berkirim pesan
melalui Direct Massage, hingga suatu hari, Kak Dafian
meminta nomor handphone-ku, dengan alasan akan lebih
mudah jika menghubungi dengan SMS daripada Direct
Massage. Dan tanpa ragu, aku pun memberikan nomor
ponselku, dan semenjak itu kami saling berkirim pesan
melalui SMS. Kak Dafian selalu cepat dalam membalas
SMS, kalau boleh jujur, aku senang dengan respon yang
dia berikan, aku merasa dihargai karena hal itu. Dalam
SMS, kami membicarakan apapun, entah tentang
kegiatan di sekolah, pelajaran yang semakin sulit, hingga
musik favorit. Dan fakta yang lebih mengejutkan adalah,
ternyata Kak Dafian satu sekolah denganku, tetapi
mengapa aku tidak pernah melihatnya? Dia adalah kakak
kelasku tepatnya XII MIA 1.
~~
93
merasa terlalu lemah untuk bangkit seorang diri,
berusaha untuk menemukan orang yang tepat untuk
membantumu ketika kamu terjatuh.
94
BAB VII
-Bittercookiestumblr
95
Pagi yang indah menyambutku saat mataku
terbuka, dunia seakan menjanjikan bahwa akan ada hal
baru yang siap menyambutku. Aku segera mencari
ponselku dan melihat notifikasinya, ada satu pesan dari
Kak Dafian, tak terasa, sebuah senyum terbentuk di
wajahku. Isinya hanya ucapan selamat pagi yang
sederhana, namun, bagiku itu sudah cukup sebagai
pertanda bahwa hari ini akan berlalu dengan baik-baik
saja.
96
melihat Dion sedang berbicara kepada Ola, sambil
menunjuk-nunjuk sebuah buku, itulah gaya khas Dion
ketika sedang mengajarkan suatu pelajaran, masih tetap
sama, mungkin bedanya adalah dulu dia mengajariku,
sekarang bukan lagi aku diajarinya, ada orang lain yang
telah menggantikan posisiku.
97
“Cie.. kenapa tu senyum-senyum? Pasti ada apa-
apa ini” tegur Robi saat aku sampai dikelas.
~~
98
untuk melakukan sesuatu. Bagiku, memang bentuk
perhatian Kak Dafian agak berlebihan, namun, sebagai
seorang wanita, aku mengakui bahwa aku menikmati
perhatian yang dia berikan.
99
Kak Dafian: Ok, kutunggu besok, good night, Aurel:)
~~
100
Setelah mendengar seluruh kisahku, robi pun
memberi saran yang sangat mebuatku terkejut.
101
BAB VIII
-Unknown
102
Tak terasa sudah dua bulan aku dan Kak Dafian
bersama, bukan hal yang mudah untuk tetap
mempertahankan hubungan ini, berbagai gangguan
datang dari luar maupun dari dalam diri kami masing-
masing, belum lagi pribadi Kak Dafian yang cap sebagai
playboy, menjadi cobaan tersendiri untukku. Kuakui Kak
Dafian memang memiliki banyak sekali teman
perempuan yang tidak segan memegang tangannya
ketika bicara dengannya atau sekedar mengelus rambut
Kak dafian. Tampaknya di angkatan Kak Dafian, semua
hal itu wajar saja untuk dilakukan, dan aku pun masih
menganggap wajar semua itu, dan tak pernah terbesit
sekalipun rasa cemburu dalam hatiku. Tetapi, bagi
teman-teman seangkatanku, memegang tangan atau
mengelus rambut itu merupakan hal yang tabu, sehingga
beberapa kali teman-teman mengejekku karena mereka
berfikir bahwa Kak Dafian hanya memanfaatkan aku
saja. Aku selalu mencoba menepis ejekan itu atau
mencoba untuk tidak mengubrisnya, dan akhirnya aku
sudah terbiasa dengan ejekan-ejekan mereka.
103
Bukan itu saja, tak jarang aku dengannya
berkelahi karena tidak ada yang mau mengalah, Kak
Dafian terkadang sangat keras kepala jika merasa dirinya
benar, dan aku tentunya tidak mau disalahkan, karena
aku memang tidak salah. Jika sudah seperti ini, aku tidak
akan membalas pesan singkatnya, hingga dia mau minta
maaf kepadaku.
~~
104
Bulan Februari pun tiba, bulan ini aku akan
merayakan ulang tahunku yang ke 16 tahun. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, aku mengundang teman-
temanku untuk datang ke pesta kecil di rumah. Aku
menyampaikan undangan pestaku kali ini menggunakan
sosial media, karena akan jauh lebih mudah
dibandingkan memberi tahu mereka satu per satu,
kecuali beberapa orang yang tidak memiliki akun sosial
media, aku akan memberi tahunya secara langsung,
hingga aku menyadari sesuatu. Dion. Dia tidak memiliki
akun sosial media apapun, dan dengan terpaksa aku
harus mengundangnya secara langsung, karena aku tidak
mau memulai pertempuran baru dengannya hanya karena
dia merasa diriya tak diundang saat aku membuat pesta
sedangkan semua teman di kelas diundang. Saat
istirahat, aku pun memnghampirinya, butuh keberanian
lebih untuk menghampiri seseorang yang sudah tidak
kau tegur selama tiga bulan.
105
badanku bersiap untuk pergi, karena awalnya kukira dia
tidak akan mengubrisku, ternyata Dion mengatakan
sesuatu dan aku segera membalikkan badanku untuk
menghadap ke arahnya lagi.
106
on dari kamu’. Namun, aku menahan diri, dan lebih
memilih pergi daripada meledakkan emosiku disana.
~~
107
benar-benar tidak sabar menunggu pesta sore ini. Setelah
mandi, aku segera mengecek ponselku, terdapat ucapan
selamat ulang tahun dari Kak Dafian, lengkap dengan
harapanku kedepannya. Dialah orang pertama yang
memberiku ucapan selamat di ulang tahunku kali ini.
108
bergambar Hello Kitty, kado itu dipermanis dengan
adanya pita berwarna pink pastel.
109
~~
110
katanya, memangnya dia pikir aku sedang apa sampai
harus dikhawatirkan, runtukku kesal.
111
Aku memutuskan untuk tidak memperdulikan
pesan itu dan pergi tidur, setelah mengucapkan good
night untuk Kak Dafian, aku mematikan ponsel dan
lampu kamarku, lalu menutup seluruh tubuhku dengan
selimut, tetapi bukannya terlelap, aku malah tambah
gelisah, apa yang ku harus ku lakukan? Aku ingin
memarahi Dion, tetapi aku tak mau berbicara dengannya.
Aku harus menemukan cara yang tepat untuk
menyelesaikan masalah ini. Tiba-tiba, terlintas suatu ide
dibenakku. Menulis surat.
~~
112
Hai Dion, aku sudah membaca pesanmu malam
ini, aku tidak mengerti apa maksudmu, apakah kamu
ingin mempermainkan aku atau ada maksud lain. Jika
engkau bermaksud bermain-main, maka aku bukan
orang yang tepat untuk kamu ajak bermain.
113
malam itu, Dion. Tetapi, kenangan itu akan kujadikan
pelajaran untukku. Terima kasih untuk itu.
Aurelia A.
114
Setelah selesai menulis, aku melipat surat itu,
tanpa terasa aku menulis surat itu sambil menangis. Ku
masukkan surat itu ke dalam tas, aku kan menyelipkan
surat itu saat istirahat ke dalam tas Dion, pikirku sambil
mencoba untuk menutup mataku. Tak lama kemudian,
aku terlelap.
~~
~~
115
Pagi ini aku terbangun dan langsung mengecek
ponselku. Terdapat ucapan selamat pagi beserta selirik
lagu dari Kak Dafian. Senyum indah terlukis di wajahku
saat aku membaca pesan itu. Semakin lama, aku merasa
semakin sayang dengan orang ini, pikirku sambil
tertawa. Semenjak Kak Dafian mewarnai hari-hariku,
aku menjadi sering tertawa dan tersenyum sendiri saat
menatap ponselku. mungkin orang yang melihatku, aku
mengira bahwa aku sakit jiwa.
116
aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini
sebelum terlalu jauh. Aku harap Kak Dafian akan
memahami alasanku nanti, pikirku.
117
Tak lama kemudian, masuk pesan balasan dari
Kak Dafian dan alangkah bahagianya aku mebaca pesan
itu.
118
BAB IX
-Anonymous
119
Pagi hari dimulai ketika matahari terbit di ufuk
timur, aku terbangun karena sinarnya menembus jendela
kamarku dan mengganggu tidurku. Saat terbangun, aku
langsung mengecek ponselku, tidak ada notifikasi dari
Kak Dafian. Oh iya, kan sudah putus, ujarku sambil
menepuk jidat, aku harus bisa membiasakan diri. Dan
menyadari bahwa aku bukan lagi prioritasnya Kak
Dafian.
120
samping kiriku, ada Adil yang sibuk mencatat foto yang
ku kirim tadi.
121
sebenarnya tidak penting. Misalnya sudah makan atau
sholat, atau apa yang sedang ku lakukan sekarang.
Sampai saat ini, aku masih menganggap semuanya itu
sekedar chat biasa.
122
yang disukai Adil. Bagiku kebahagian mereka berdua
adalah yang terpenting. Memang terkadang, aku merasa
begitu dekat dengan Adil, tetapi aku tidak menyangka
bahwa teman-temanku yang lain akan mengira ada hal
lain di antara kami. Akibat ejekan teman-temanku, aku
merasa canggung dengan Lili sekarang. Dan aku benci
keadaan seperti ini.
123
mereka mengejek seperti itu, aku hanya pura-pura
tertawa seakan-akan aku tidak merasa terluka, tetapi
sebenarnya aku merasa sakit sekali. Mereka tidak berada
di posisiku, mereka tidak faham apa yang kurasakan,
mengapa mereka harus menghakimi aku seperti ini ini?
~~
124
Setelah siap, aku segera bergegas menuju sekolah,
karena aku menggunakan sepatu yang agak tinggi, aku
jadi sedikit kesulitan berjalan dan itu memperlambat
langkahku. Saat sampai disekolah, aku melihat teman-
temanku sudah baris dengan rapid an menggunakan
mukena mereka. Saat mereka melihatku, mereka
menggeleng-geleng, sedangkan aku hanya tertawa kecil.
125
saja tuh, pikirku sambil mempertimbangkan hal ini
dengan matang-matang. Akhirnya aku memutuskan
untuk meng-upload foto itu.
126
melakukan ini padaku? Selama ini aku berprinsip bahwa
kalau perkataan kita berpotensi “melemahkan” dan
“mematahkan” semangat orang, sebaiknya jangan
dikatakan. Namun, rupanya ternyata tidak semua orang
berpendapat sama denganku, tidak semua orang
mengerti hal itu.
127
Aku bingung memikirkan bagaimana cara
memperbaiki hubungan Adil dan Lili. Saat ini, aku
hanya membiarkan semuanya mengalir, tetapi aku tetap
memperkuat bentengku. Aku tidak mau mendaftar daftar
masalahku dengan jatuh cinta kepada Adil. Aku tidak
berharap banyak terhadap Adil, aku hanya berharap kami
bisa berteman selamanya, dan dia segera mendapatkan
wanita yang dia inginkan.
128
EPILOG
Kini, aku sedang duduk termenung di pinggir
ranjangku. Hidupku yang singkat menyimpan begitu
banyak cerita. Setiap cerita, menyimpan hikmah
tersendiri yang dapat ku pelajari untuk membangun
kisah baru yang lebih baik ending-nya.
129
Seperti yang ku katakan, satu tidak cukup untuk
membuatmu bahagia, kamu butuh tiga. Atau bahkan
lebih. Dan seharusnya yang kamu cari bukan lah sekedar
kesenangan, melainkan juga kesakitan atau kepahitan
yang akan membawamu menuju sebuah pelajaran hidup.
130
PROFIL PENULIS
Nama saya
Cantika Laksmi Bunga.
Seorang siswi kelas 3
sekolah menengah atas
yang lahir pada tanggal
22 Februari 2000.
131