Skripsi Analisis Birokrasi Pelayanan Publik (Bab 3)
Skripsi Analisis Birokrasi Pelayanan Publik (Bab 3)
Skripsi Analisis Birokrasi Pelayanan Publik (Bab 3)
SKRIPSI
OLEH:
AYU WANDIRA
12010250
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan nikmat kesehatan dan hikmat
kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik sesuai
dengan waktu yang telah direncanakan. Penulisan skripsi dengan judul
“ANALISIS BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP KANTOR
BPJS KABUPATEN SUKABUMI” merupakan salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi sarjana strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu
Pemerintahan Jurusan Ilmu Politik Pemerintahan Fakultas
..........................................
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
Manusia pilihan terbaik dalam peradaban zaman dikarenakan perjuangan beliau
membawa panji risalah suci Islam dari zaman jahiliyah menuju zaman yang
bertaburkan aroma bunga firdaus. Semoga suri tauladan beliau senantiasa
mewarnai dan menafasi segala derap langkah dan aktivitas kita.
Serta selalu doa yang teriring oleh kedua orang tua penulis sehingga penulis bisa
seperti ini sampai sekarang, teruntuk Ayahanda tercinta,
…………………………………… yang telah mendidik serta membesarkan
penulis dengan penuh kasih sayang. Dan untuk ibunda tercinta …………….. yang
telah melahirkan dan membesarkan penulis sampai saat ini. Penulis bukanlah apa-
apa tanpa kalian. Semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmat dan kesehatan
kepada beliau.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun yang berguna untuk penyempurnaan selanjutnya. Penulis telah
banyak menerima masukan, bimbingan dan bantuan selama penulis mengikuti
2
perkuliah di Jurusan Politik Pemerintahan Prodi Ilmu Pemerintahan STISIP
Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi. Oleh sebab itu pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. ………………… selaku Rektor STISIP Syamsul Ulum Gunung Puyuh
Sukabumi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti
pendidikan pada program S1 STISIP Syamsul Ulum Gunung Puyuh
Sukabumi.
2. …………………selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
STISIP Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi beserta seluruh stafnya
3. …………………Siselaku ketua jurusan Ilmu Politik Pemerintahan dan
segenap Dosen pengajar dan staf pegawai di lingkungan STISIP Syamsul
Ulum Gunung Puyuh Sukabumi khususnya jurusan Ilmu Politik dan
Pemerintahan yang pernah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
4. …………………selaku ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan
dansegenap Dosen pengajar dan staf pegawai di lingkungan STISIP
Syamsul Ulum Gunung Puyuh Sukabumi khususnya Prodi Ilmu
Pemerintahan yang pernah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
5. …………………, selaku pembimbing 1 dan bapak Dr, A. M. Rusli M.Si
,selaku pembimbing 2 yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
penulis dari awal proposal hingga skripsi ini selesai.
6. Terimakasih untuk segala pihak yang terlibat dalam hal ini Pemerintah
Kabupaten Sukabumi, BPJS Kesehatan Kabupaten Sukabumi, masyarakat
pengguna BPJS, dan para informan sertapihak-pihak yang tidak dapat saya
sebutkan semua yang sudah membantu dan memberikan kontribusi kepada
penulis selama penyusunan skripsi.
7. Saudara-saudara penulis, …………………,…………………,
…………………, yang telah merdukung penulis dalam penyelesaian
skripsi ini. Penulis sangat bangga dan menyayangi kalian.
3
8. Terimakasih yang tak terhingga untuk ………………….. yang telah
memberikan dukungan moril maupun materil.
9. Terima kasih untuk …………………………. atas sumbangsih waktu,
tenaga dan perhatiannya selama ini. Semoga Allah senantiasa membalas
segala yang telah kau berikan untuk penulis.
10. Terima Kasih untuk sahabat-sahabat ………………….. Terimakasih
untuk waktu kalian untu mengukir sedikit cerita dari kebersamaan kita di
masa putih abu-abu.
11. Terimakasih untuk saudara-saudara seperjuangan ……………………..
Akhirnya segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dapat menjadi
karunia yang tidak terhingga dalam hidupnya. Penulis telah berupaya dengan
semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini, namun penulis menyadari
masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis
mengharapkan kritikdan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini. Kiranya isi skripsi ini bermanfaat dalam memperkaya
khasanah ilmu pendidikan dan juga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti hal yang sama.
Sekian dan TerimaKasih.
Sukabumi, 2018
Penulis
4
INTISARI
5
ABSTRACT
This study aims to: (1) To determine the bureaucracy or procedures in the public
service in the office BPJS Sukabumi. (2) To analyze public response to the public
service bureaucracy in office BPJS Sukabumi.
This study used a qualitative approach, this type of research is descriptive. The
informants of this research in BPJS related parties (involved in public service
bureaucracies, the counter clerks file reception, Employee file registration section,
and security personnel). As well as outside the scope BPJS informant in this case
the public and civil servants, Data obtained from the depth interviews with
informants, observation and documentation for approximately two months in the
field. Data were analyzed descriptively qualitative.
The results showed that: bureaucracy or public service at the office prosesur BPJS
are in accordance with prescribed rules, and is easily accessible either in writing
or through impressions through TV media. Public response to the bureaucracy can
be concluded based on variables: Procedures. It has been accessible to the public
and is not difficult to fill out the registration form. Long maintenance is also
considered good enough for future keloket tungu after being put around maksiaml
1 week and at least 4 working days. Long queues in value long enough because
generally people come sooner before the office opens. The length of the queue
also disebkan because there are people who do not complete your format so that
the clerk should take the time to explain that result in delays in the queue of other
participants. Leisure facilities environment is considered good for outdoor seating,
comfort with the Ac and toilet facilities either supports the public peace waiting
queue that is still considered long enough.
6
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
7
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bagan Kerangka Konseptual...............................................................................
2. Struktur Organisasi .............................................................................................
3. Prosedur Pendaftaran ..........................................................................................
4. Mekanisme Pendaftaran Umum ..........................................................................
8
BAB I
PENDAHULUAN
9
atau direncanakan hendak nya benar-benar dapat dirasakan oleh semua golongan
masyarakat.
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkin kan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.Sesuai
apa yang menjadi definisi dari kesehatan, maka jelas sudah bahwa kesehatan
merupakan hal pokok yang menjadi hak-hak bagi setiap orang, ini juga tercermin
di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan hak
memperoleh pelayanan kesehatan. Berdasarkan data terakhir menunjukkan bahwa
saat ini lebih dari 80 persenrakyat Indonesia tidak mampu mendapat jaminan
kesehatan dari lembaga atau perusahaan di bidang pemeliharaan kesehatan, seperti
Askes, Taspen, Jamsostek dan pada era pemerintahan Jokowi terhitung sejak 1
Januari 2014 telah dinerlakukan sistem Jaminan Sosial terbaru atau JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional) dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Sebagian mana telah jelaskan bahwa masih cukup besar jumlah masyarakat
golongan ekonomi lemah dan kelompok rentan yang mengalami kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan hak asasinya untuk upaya kesehatan terutama kebutuhan
pelayanan kesehatan, hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan
mengeluarkan biaya kesehatan yang bisa melebihi pendapatannya. Di samping itu
pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum optimal yang
menyebabkan kerugian ekonomi bangsa oleh karena keadaan sakit di Indonesia
masih cukup tinggi (Mukti, 2004).
Mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, menetapkan bahwa kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mewujudkan
pembangunan kesehatan tersebut maka pemerintah perlu menggerakkan
pembangunan berwawasan kesehatan, mendorong kemandirian masyarakat untuk
10
hidup sehat,memelihara dan meningkatkan pelayananan kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya (Depkes RI, 2001).
Pelayanan rakyatmiskin merupakan salah satu aspek yang dilaksanakan oleh
pihak pemberi pelayan kesehatan seperti kebijakan BPJS yang kegiatan
pelayanannya sudah terbuka untuk semua golonga dengan pertanggungan biaya
seuai dengan kemampuan masyarakat. Kebijakan ini telah mendapatkan respon
yang sangat besar khususnya pada golongan kecil.
Kebijakan program JKN-BPJS menerapkan sistem pembiayaan dari
masyarakat, yang dikelola oleh Departemen Kesehatan dan bekerjasama dengan
semua rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah (negeri) maupun rumah sakit
swasta telah berjalan hampir 2 tahun dan sampai saat ini rumah sakit di Indonesia
telah melayani peserta JKN pada kantor BPJS.Hal ini didukung oleh keseriusan
pemerintah meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Kenyataannya kebijakan ini dalam pelaksanaannya belum optimal, birokrasi
pelayanan di kantor BPJS masih jauh dari harapan ditemukan banyak keluhan dan
komplain dari peserta
BPJS antara lain pelayanan pengurusa kartu BPJS, yang kurang memuaskan,
pemberian pelayanan yang berbeda-beda, sistem administrasi yang kurang teratur,
kurangnya tenagayangmelayani masyarakat, sehingga antrian yang sangat panjang
dan memakan waktu berjam-jam. Hal ini menggambarkan bahwa masih kurang
profesionalnya birokarsi pelayanan publik.
Sejak dicanangkannya program JKN di Jawa Barat jumlah masyarakat yang
mendaftarkan diri dan keluarganya terus meningkat. Abimo untuk mendapatkan
kartu peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS menjadi harapan
bagi masyarakat dalam menemukan solusi dari permasalahan kesehatan yang
selama ini merupakan barang ―mahal‖. Pada Tabel 1 di tunjukkan jumlah JKN di
Jawa Barat sekitar 4,3 Juta orang. Adapun di Cabang Sukabumi berdasarkan jenis
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Tahun 2014 sekitar 3.827.288 jiwa.
Tabel 1. Jenis JKN di Sukabumi Tahun 2014
11
1 Jamkesda 2.944.923 77.0
2 Mandiri 249.555 6.5
3 PNS 532.504 14.
4 TNI dan POLRI 100.806 2.5
Total 3.827.288 100
Pada Tabel menunjukkan jumlah peserta berdasarkan jenis JKN yang dimiliki.
Besarnya jumlah peserta ini tentu membutuhkan pelayanan yang baik, utamanya
saat mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu JNS. Khusus untuk Kabupaten
Sukabumi Sampai dengan Oktober 2015 jumlah peserta telah mencapai 1,7 juta
orang atau sekitar 59 persen dari total jumlah peserta dengan berbagai JKN. Dari
jumlah tersebut peserta yang terbanyak adalah peserta yang biayanya ditanggung
pemerintah pusat, dan selebihnya pemerintah daerah dan yang terkecil adalah
pembiayaan mandiri dari pekerja penerima upah.
Meningkatnya jumlah peminat mengakses kartu BPJS, nampaknya belum
diiringi dengan pelayanan mendapatkan kartu JKN. Kenyataan masyarakat mulai
menunggu di depan kantor sekitar jam 5 subuh hanya untuk mendapatkan antrean
awal. Belum lagi kesiapan pelayanan yang sangat minim, terbatasnya petugas dan
loket serta berbagai fasilitas yang tidak mendukung kenyamanan selama
menunggu. Bahkan setiap hari hanya dibatasi sampai 350 orang. Oleh sebab itu
tidaklah mengherankan bila saat ini telah ada ―perantara‖ yang menawarkan jasa
untuk membantu pengurusan kartu BPJS. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi
pada pelayanan publik di kantor BPJS belum berfungsi baik.
Berdasarkan latar belakang ini, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan Judul ―Analisis Birokarsi Pelayanan
Publik pada Kantor BPJS Kabupaten Sukabumi”
12
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah penelitian
yang dibahas dalam bentuk pertanyaan penelitian ;
1. Bagaimana prosedur birokrasi pelayanan publik pada kantor BPJS
Kabupaten Sukabumi?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap birokrasi pelayanan
3. publik di kantor BPJS Kabupaten Sukabumi?
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
14
mendapat sorotan. Menurut Denhardt dan Denhardt (2002: 28-29) pelayanan
publik juga mengalami pergeseran seiring dengan pergeseran paradigma
administrasi publik dari old administration new public management dan terakhir
ke new public service. Secara garis besar pergeseran paradigma tersebut
digambarkan oleh Keban (2008:244-248), sebagai berikut:
1. Old Public Administration (OPA)
Woodrow Wilson merupakan tokoh penting yang memprakarsai gerakan
perubahan dalam paradigma OPA. Ia menyarankan agar administrasi publik harus
dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi administrasi publik dengan politik).
Berdasarkan pengalaman Wilson, negara terlalu memberi peluang bagi para
administrator untuk mempraktekkan sistem nepotisme dan spoil. Oleh karena itu
ia mengeluarkan doktrin untuk melakukan pemisahan antara dunia legislatif
(politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan
kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi atau mengimplementasikan
kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau
semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator publik selalu
mengutamakan nilai efisiensi dan ekonomis, sehingga mereka harus diangkat
berdasarkan kecocokan dan kecakapan dalam bekerja ketimbang keanggotaan
atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajaran Wilson untuk meniru dunia
bisnis ini membawa suatu implikasi penting dalam pemerintahan, yaitu bahwa
prinsip-prinsip dalam dunia bisnis yang diprakarsai oleh Taylor pantas untuk
diperhatikan. Metode keilmuan menurut Taylor harus menggeser metode rule of
thumb. Tenaga kerja harus diseleksi, dilatih dan dikembangkan secara ilmiah dan
didorong untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai tugas pekerjaan
sesuai prinsip-prinsip keilmuan. Dunia telah mengakui kebesaran Taylor dalam
membangun prinsip manajemen yang professional.
Sejalan dengan Wilson, Max Weber juga mengajak untuk melaksanakan
prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat berkembang semakin
kompleks, maka diperlukan suatu institusi yang rasional yaitu birokrasi. Dalam
birokrasi ini, diatur perilaku yang tidak saja produktif, tetapi juga loyal terhadap
pimpinan dan organisasi. Perilaku yang impersonal dan saklek harus diterapkan.
15
Hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial tidak mendapat tempat untuk
dipertimbangkan dalam birokrasi. Oleh karena itu, para anggota organisasi harus
ditempatkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki, dikembangkan dan dituntun
dengan peraturan yang jelas dalam menjalankan tugasnya.
Doktrin OPA, dalam perkembangannya menghadapi masalah (fallacies).
Sebagai illustrasi misalnya, Weber yakin bahwa sosok organisasi birokrasi sangat
ideal, padahal dalam perkembangannya bisa berubah sifatnya menjadi sangat
kaku, bertele-tele dan penuh red-tape(Weber fallacy).Demikian juga halnya
dengan Taylor sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one way of doing
the task) untuk melakukan tugas, padahal dalam perkembangan jaman terdapat
banyak cara lain untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu
pengetahuan (Taylor fallacy Hal yang sama juga terjadi pada Wilson, dimana ia
cenderung melihat dunia administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak bersifat
politis, padahal dalam kenyataannya bersifat politis (Wilson fallacy).
Meskipun muncul berbagai masalah dalam paradigma Old Poblic
Administration (OPA), namun belajar dari paradigma ini telah memberikan
kontribusi pengetahuan yang penting bahwa dalam membangun birokrasi
diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, hubungan yang
impersonal, penerapan aturan dan standar di sasi secara tegas, sikap yang netral
dan perilaku yang mendorong efisiensi dan efektifitas.
16
Kemunculan NPM pertama kali hanya meliputi lima doktrin, yaitu (1)
penerapan deregulasi pada line management, (2) konversi unit pelayanan publik
menjadi organisasi yang berdiri sendiri, (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan
kinerja terutama melalui kontrak,(4) penerapan mekanisme kompetisi seperti
melakukan kontrak keluardan (5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood,
1991).Dalam perkembangannya, telah menjadi sepuluhdoktrinsebagaimana yang
disampaikan dalam Reinventing Government (Gaebler dan
Osborne,1992).Beberapa tahun kemudian muncul lagi model NPM yang lebih
variatif misalnya model efisiensi drive, downsizing and decentralization, in search
of exelence dan public service orientation (Ferile et al,1996). Berbagai variasi ini
memberi kesan bahwa NPM hanyalah merupakan upaya para ahli dalam
memodernisasikan sektor publik(Pollit,1995).
Melalui berbagai doktrin NPM tersebut di atas, dapat dipelajari bahwa proses
reformasi harus diarahkan pada enam dimensi kunci. Pertama, menyangkut
productivity, yaitu bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil
dengan biaya yang lebih sedikit.Kedua, marketization yaitu bagaimana
pemerintah menggunakan insentif bergaya pasar agar melenyapkan patologi
birokrasi. Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah dapat
berhubungan dengan warga masyarakat secara lebih baik agar program-
programnya lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat. Keempat,
decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat program yang responsif
dan efektif dengan memindahkan program ke tingkat pemerintahan yang lebih
rendahatau memindahkan tanggung jawab instansi pemerintah ke para manager
lapangan yang berhadapan langsung dengan warga masyarakatatau memberi
kesempatan kepada mereka untuk melakukan adaptasi terhadap kebutuhan warga
masyarakat.Kelima, policy yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas
kebijakan. Keenam, performance accountability yaitu bagaimana pemerintah
memperbaiki kemampuannya untuk memenuhi janjinya (Kettl, 2000) Reformasi
birokrasi tersebut diarahkan untuk mencapai hasil nyata yang mencakup lima
spek, yaitu (1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan efisiensi, (4)
peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem administrasi, seperti
17
peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan. Dalam hal saving, perbaikan
proses dan efisiensi, serta sistem administrasi, Inggris dan Amerika telah
mengklaim berhasil, tetapi dalam hal efektifitas masih belum dirasakan, karena
hasil akhir program baru dirasakan beberapa tahun kemudian (Pollit,2002).
Di negara-negara berkembang, NPM masih bersifat embrio dan coba-
coba.Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik
negara dan sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi
itu sendiri seperti iklim dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap
otoritas, hubungan sosial dan kelompok (Fertie et al, 1996; Flynn, 2002) Seperti
halnya dengan OPA, NPM pun menghadapi banyak kritikan, karena para elit
birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan dirinya
daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk mencapainya. Apalagi
dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat didominasi oleh kepentingan
pribadi (self interest) sehingga konsep seperti public spirit, public service, dsb,
terabaikan (Kamensky,1996:251). Hal yang demikian tidak akan mendorong
proses demokratisasi. Disamping itu, NPM tidak pernah ditujukan untuk
menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial (Harrow, 2002). Munculnya
NPM telah mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen self governance dan
fungsi administrator sebagai servant of public interest (Box, 1999), bahkan kalau
tidak berhati-hati, justeru akan meningkatkan korupsi dan menciptakan orang
miskin baru (Haque, 2007).
Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa
pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong
kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap
kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) daripada
menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para
pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan budaya organisasi yang lebih
fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil, ketimbang budaya taat
azas,orientasi pada proses dan input (Rossembloom& Krafchuck,2005)
18
3. New Public Service (NPS)
Sebagai koreksi terhadap NPM, King dan Stivens (1998), menegaskan bahwa
para administrator harus melibatkan warga masyarakat. Mereka harus melihat
rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan), sehingga dapat
saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap
keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsif
terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari
efisiensi yang lebih tinggi sebagaimana yang dituntut dalam NPM.
Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up thinking and joined up action
(Stewart at al, 1999), yang kemudian dikenal dengan paradigma New Public
Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang menjadi penonton,
semua jadi pemain atau ikut bermain. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak
warga masyarakatdan memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan
mengutamakan kepentingan warga masyarakat.Fiirst Citizens harus menjadi
pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt&Gray,1998).Isu tentang justice,
equity, participation, dan leadership yang tidak diperhatikan dalam buku
Reinventing Government (Osborn & Gaebler, 1992), justru harus mendapatkan
perhatian utama (Denhardt & Denhardt, 2003). Paradigma ini sejalan dengan
prinsip co-creating yang digagas oleh Prahalad dan Ramaswany (2004) sebagai
sumber energi organisasi era demokrasi, karena dapat menjamin hak, kebutuhan
dan nilai-nilai warga, dan bukan kebutuhan institusi.
Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt; 2000; 2003; 2007) yang
berbeda dari NPM dan OPA. Pertama, peran utama dari pelayan publik adalah
membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuihi kepentingan
yang telahdisefakati bersama,daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan
masyarakat kearah yang baru. Kedua, administrator publik harus menciptakan
gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut sebagai
kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secata efektif dan responsif melalui
upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih
merupakan hasil suatu dialog tentang nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada
19
agregasi kepentingan pribadi para individu. Kelima, para pelayan publik harus
memberi perhatian, tidak semata pada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan
peraturan perundangan, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar
professional dan kepentingan warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan
jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau
mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang
menghargai semua orang. Ketujuh, kepentingan publik lebih baik dikembangkan
oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat yang berkomitmen
memberikan kontribusi terhadap masyarakat, dari pada oleh manajer wirausaha
yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari paradigma NPS ini adalah bahwa
birokrasi harus dibangun agar dapat memberi perhatian kepada pelayanan
masyarakat sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan), mengutamakan
kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan
bertindak demokratis, memperhatikan norma, nilai dan standard yang ada, dan
menghargai masyarakat.
Birokrasi tradisional yang bekerja berdasarkan ciri-ciri birokrasi perlu
dipadukan dengan ciri-ciri demokrasi. Perpaduan ciri tentunya akan melahirkan
ciri-ciri baru yaitu ciri-ciri birokrasi yang demokratis. Hal ini perlu dilakukan
karena prinsip-prinsip kerja birokrasi berbeda dengan tuntutan moral dalam
demokrasi. Birokrasi dalam proses pencapaian tujuannya menekankan efisiensi
dan mengandalkankapabilitas satu orang, menekankan hirarki, dan kewenangan
yang mengalir secara vertikal mengikuti struktur yang berbeda dengan semangat
yang ada dalam nilai-nilai demokrasi seperti persamaan hak dan kedudukan bagi
semua warga negara, serta peluang untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
Secara teoritis mungkin kesulitannya adalah bagaimana menggabungkan dua
nilai yang kecenderungannya memiliki orientasi yang berbeda. Hal ini senada
dengan pernyataan Denhardt dan Denhardt yang mengingatkan bahwa, ―dalam
organisasi publik, anda pasti sering menghadapi kesulitan menyatukan efisiensi
dan daya tangga.Ciri-ciri birokrasi yang demokratis antara lain birokrasi yang
20
memiliki daya tanggap (responsivitas) yang tinggi terhadap kebutuhan publik,
memberi ruang partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan transparansi,
atau lebih jelasnya adalah birokrasi yangmenerapkan prinsip-prisip good
governance seperti yang direkomendasikan olehBank Dunia, yaitu: participation,
rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity,
efficienscy and effectiveness, accountability, dan strategic vision
(Sjamsuddin,2005: 68-69).Senada dengan Wilson seperti yang dikutip
Frederickson (2003;56), menyimpulkan bahwa birokrasi sukses adalah birokrasi
dengan eksekutif mampu menciptakan misi yang jelas, mengidentifikasi tugas
yang harus dicapai untuk memenuhi misi, mendistribusikan otoritas di dalam
organisasi menurut tugas, dan memberi bawahan otonomi yang memadai untuk
mencapai tugas tersebut.
Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan
publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan
dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang
bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis,
dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis
cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya
privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti
hirarkhis);pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya
masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu);
sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan
terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti
budaya individu dan anti budaya fatalis).
Penerapan prinsip New Public Management dan New Public Service dalam
sektor pemerintahan di Indonesia tidak semudah dengan yang dibayangkan seperti
keberhasilan di beberapa negara. Hal ini dapat dijustifikasi dengan nada pesimistis
seperti yang diungkapkan oleh Golembiewski (2003: 140-152), bahwa ada empat
hal yang dapat menggagalkan penerapan NPM, yaitu: (1) tidak memiliki model
penerapan atau road map yang jelas; (2) tidak mempertimbangkan kekhasan
lingkungan atau milieu-specificity dimana NPM hendak diterapkan (3) tidak
21
melakukan cultural preparedness atau kesiapan budaya bagi institusi dan
pegawainya, dan (4) cenderung dihambat dan diganggu oleh birokrasi itu sendiri.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip New Public Management dan New Public
Service memiliki banyak nilai-nilai positif yang dapat diadopsi untuk diterapkan
pada sektor pemerintahan dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan
lingkungan dan kondisi masyarakat.
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk
memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai
tujuan tertentu. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh
pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi
pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan
pelayanan publik.Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi
partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Apapun bentuk institusi
pelayanannya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan
kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai
ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program
pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah.Tetapi dalam
kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas
umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan
berbeda oleh masyarakat.Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila
masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur
pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak
menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal
pelayanan publik).
22
Thompson, pernah menunjukkan bahwa budaya birokrasi membuat tuntutan-
tuntutan tertentu pada klien serta organisasi pada karyawan. Ada banyak orang di
masyarakat kita yang belum mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan
ini. mereka melihat birokrasi adalah kutukan. mereka tidak melihat baik dalam
apapun, tetapi melihat tuntutan organisasi modern sebagai "pita merah"
(Rossembloom, 2005:442). Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin
dinamis,sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan
kesadarannya akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat yang semakin kritis dan
berani untuk mengajukan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan
kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat semakin berani menuntut birokrasi
publik untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan
layanan publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti diubah menjadi
suka melayani, dari yang lebih suka menggunakan pendekatan kekuasaan,
berubah menjadi suka menolong, semuanya menuju ke arah fleksibilitas,
kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara yang sloganis menuju cara-
cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).
Berkaitan dengan berbagai fenomena yang ada di Indonesia, khususnya yang
berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik, maka langkah yang harus dilakukan
adalah melakukan reformasi birokrasi.Salah satu aspek yang perlu dilakukan
dalam desentralisasi pemerintahan ialah reformasi birokrasi pemerintahan
(birokrasi publik). Karena organisasi ini memegang peran utama dalam
mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Governance).
Terpenuhinya prinsip-prinsip good governanceseperti partisipasi, transparansi,
supremasi hukum, kesetaraan, responsivitas, efektivitas dan efisiensi serta
akuntabilitas dapat menjadi indikator terlaksananya reformasi birokrasi pelayanan
publik.
Target dan sasaran reformasi birokrasi, secara garis besar ada lima hal.
Pertama, Terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan
berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan
hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang
23
transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui
masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat,
birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi
yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu
kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja
terdepan (Thoha, 2002) Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi
birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik.
Dengan birokrasi yang masih kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai
penguasa, dan tidak profesional maka perubahan apapun yang terjadi dalam
pemerintahan tidak akan memiliki dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja
pelayanan publik. Karenanya, menjadi sangat wajar kalau perbaikan kehidupan
politik yang menjadi semakin demokratis sekarang ini belum memiliki dampak
yang berarti pada kinerja birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin penting
dan strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas
dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa
memperbaiki Iklim investasi.Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia
sering menjadi determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Dari
berbagai studi dan observasi, kinerja birokrasi publik di Indonesia tidak banyak
mengalami perbaikan, bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Akibatnya,
pemerintah mengalami kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi ditambah
dengan masalah-masalah lain, seperti ketidakpastian hukum dan keamanan
nasional.
Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki
sistem kehidupan masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan secara
terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara profesional, dan berorientasi
pada kepuasan hasil kerja (produktivitas). Pada akhirnya perbaikan kinerja
birokrasi akan lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang mengutamakan
etos kerja dan moralitas sebagai bagian dari relasi sosial. Dalam kehidupan
politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi
24
luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor
penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan kepada pemerintah.
Protes, demonstrasi, dan bahkan pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh
masyarakat yang banyak terjadi di berbagai daerah menjadi indikator dari
besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Perbaikan
kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki kembali citra
pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang
semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa di bangun kembali.
Oleh sebab itu, kajian mengenai kinerja birokrasi publik menjadi isu sentral dan
memiliki nilai strategis, terutama yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan
publik.
25
Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano
Mosca dan Max Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan
menjadi dua tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang
memerintah. Dalam sistem pemerintahan feudal, kelas yang memerintah adalah
kelas yang sederhana yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer
atau administrasi. Setelah masyarakat berkembang menjadi lebih kompleks dan
mempunyai fungsi terpisah satu sama lain, maka pemerintahan dijalankan oleh
birokrasi, yaitu sekelompok pejabat yang digaji (Albrow, 1996:22).
Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan model organisasi
birokratis adalah Max Weber. Weber membahas peran organisasi dalam suatu
masyarakat, dan mempertanyakan bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah
masyarakat industri yang dijumpai di Eropa pada akhir abad ke 19. Menurut
Weber, bentuk organisasi birokratis merupakan jenis organisasi yang mempunyai
karakteristik yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri. Organisasi birokratis
dapat menjamin tercapainya alokasi sumber daya yang terbatas pada sebuah
masyarakat yang kompleks.
Kemampuan organisasi untuk berfungsi sangat tergantung pada struktur
otoritas yang terdapat di dalam organisasi karena otoritas merupakan dasar dalam
setiap kegiatan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seluruh anggota.
Oleh karena itu, Weber menyatakan ada 3 jenis otoritas yang berpengaruh
terhadap pola kepemimpinan maupun kegiatan pengambilan keputusan dalam
organisasi; yaitu otoritas rasional legal, yakni otoritas berdasarkan aturan, otoritas
tradisional yakni otoritas yang muncul karena kepercayaan kepada tradisi dan
otoritas karismatik yang muncul dari seseorang yang mempunyai pengaruh
karismatik. Organisasi birokratis dikendalikan oleh otoritas rasional legal karena
setiap tindakan dan keputusan yang dilakukan oleh seluruh pimpinan dan
karyawan didasarkan atas kewenangan formal yang dimilikinya.
Studi tentang organisasi sangat abstrak, namun demikian dapat dirasakan dan
diamati keberadaanya.Hampir dalam setiap aspek kehidupan manusia, pengaruh
organisasi tak terelakkan. Bahkan manusia dilahirkan, hidup, dididik dan bakal
26
mati dalam organisasi (Etzioni, 1964). Organisasi yang sangat besar pengaruhnya
terhadap setiap warga negara adalah organisasi birokrasi pemerintahan negara.
Bahkan salah satu ciri administrasi negara adalah pelayanannya tak bisa dihindari;
sejak manusia lahir, hidup, belajar, mati dan setelah mati sekalipun masih dilayani
oleh administrasi negara. Hal ini menjadi fakta bahwa organisasi begitu besar
pengaruhnya terhadap manusia. Demikian pula sebaliknya inti dari pengaruh
tersebut adalah saling interaksi antara manusia dan organisasi untuk mencapai
tujuan. Dengan demikian organisasi merupakan suatu sistem kesatuan sosial dari
individu dan sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut fungsinya
masing-masing yang mempunyai tujuan tertentu untuk mencapainya.
Berdasarkan sifat abstrak organisasi menyebabkan cakupan organisasi cukup
luas. Hal ini berdampak pada studi mengenai organisasi dapat dilihat dari sudut
pandang yang berbeda. Akibatnya menimbulkan beberapa pendekatan dalam
mengkaji teori organisasi berdasarkan sudut pandang masalah dalam organisasi.
Secara garis besar pendekatan tersebut dapat dibagi atas tiga, yaitu pendekatan
klasik, neo-klasik dan modern (William G. Scott, 1961). Tongkat sejarah
munculnya pendekatan klasik ini ditandai oleh penelitian yang dilakukan oleh
Henry Fayol yang dikenal dengan beberapa prinsip: (1) aspek-aspek teknik dan
komersial dari kegiatan pembelian, produksi dan penjualan; (2) kegiatan-kegiatan
keuangan yang berhubungan dengan masalah-masalah permintaan dan
pengendalian kapital, (3) unit-unit keamanan dan perlindungan, (4) fungsi
perhitungan, (5) fungsi administrasi dari perencanaan, organisasi, pengarahan,
koordinasi dan pengendalian, (Thoha, 1983).
Ahli lain yang sangat berpengaruh dalam aliran ini adalah (Frederick W.
Taylor, 1916). Konsep Taylor yang terkenal adalah membahas pengaturan cara
kerja pelaksana yang efisien yang didasarkan pada pandangan: (1) setiap
pekerjaan bisa dianalisis secara ilmiah (scientific) untuk menemukan cara terbaik
dalam pelaksanaannya berupa metode kerja baku yang paling efisien yang mampu
memberikan hasil maksimal. Dari metode kerja baku ini memungkinkan untuk
menetapkan pekerja yang paling cocok untuk setiap jenis pekerjaan; (2) metode
kerja baku ini belum tentu sesuai dengan keinginan pekerja, tetapi para pekerja
27
bisa dirangsang dengan imbalan finansial agar bersedia melaksanakannya. Konsep
Inilah yang menjadi Prinsip-prinsip manajemen ilmiah (Principle of scientific
management).
Konsep Taylor tersebut memberi implikasi terhadap bentuk dan anatomi
organisasi dan terhadap cara pengorganisasiannya diantaranya: (1) memisahkan
secara tegas tugas-tugas yang berbeda misalnya antara perencana dengan
pelaksana sehingga berpengaruh terhadap pembagian tugas dalam organisasi; (2)
memperkenalkan penggunaan standar, baik untuk metode kerja maupun untuk
waktu kerja yang dapat digunakan untuk mengontrol kinerja pekerja; (3) adanya
standar tersebut membuka kemungkinan untuk menetapkan besarnya upah dan
upah merangsang secara adil, sebagai alat untuk memotivasi pekerja.
Konsep Taylor ini kemudian dipergunakan secara luas walaupun pada
permulaanya mendapat tantangan dari berbagai pihak, baik dari para pekerja
maupun dari pihak manajemen. Keberatan manajemen berkaitan dengan cara
pelaksanaan analisis ilmiah terhadap pekerjaan yang kurang memperhatikan
pendapat para manajer mengenai metode kerja yang sebaiknya dilaksanakan.
Sebaliknya keberatan dari pelaksana, mereka diperlakukan sebagai mesin, yaitu
bekerja secara mekanistis menurut suatu metode kerja tertentu, tanpa kebebsan
untuk memilih cara kerja sendiri yang dianggap lebih sesuai dengan karakteristik
fisik maupun kepribadian masing-masing.
Pandangan Henry Fayol (1949), Frederick Taylor (1916) dan Max Weber
(1946) memberi penekanan fungsi organisasi pada sasaran akan efisiensi dan
rasionalitas dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Ajaran dan nilai yang
dioptimalkan pada organisasi klasik ini adalah: (1) organisasi timbul untuk
mencapai produksi dan tujuan-tujuan ekonomi, (2) hanya ada satu cara terbaik
untuk mengorganisasikan produksi, dan cara itu dapat dijumpai melalui penelitian
yang sistematik dan ilmiah, (3) produksi dapat dimaksimalkan melalui spesialisasi
dan pembagian kerja, (4) orang dan organisasi bekerja haruslah sesuai dengan
prinsip-prinsip rasionalitas dan efisiensi.
Pendekatan neo-klasik atau dikenal dengan pendekatan humanistik menjawab
permasalahan besar yang diakibatkan dari pendekatan klasik, yaitu mengabaikan
28
aspek manusia dalam organisasi. Pendekatan ini muncul dari percobaan Elton
Mayo (1932), dimana kondisi fisik ruangan dan ikatan sosial berpengaruh
terhadap prestasi kerja. Hasil penelitian ini melahirkan prinsip-prinsip; (1)
organisasi adalah suatu sistem sosial dimana hubungan antara para anggotanya
merupakan inetraksi sosial; (2) interaksi sosial itu menyebabkan munculnya
kelompok-kelompok informal dalam organisasi yang memiliki norma sendiri dan
berlaku dan menjadi pegangan bagi seluruh anggota kelompok; (3) kelompok-
kelompok non-formal tersebut bisa saja mempunyai tujuan yang berbeda dengan
kepentingan organisasi. Karena itu pola kepemimpinan yang hanya
memperhatikan struktur formal perlu dilengkapi dengan memperhatikan aspek
psiko sosial pekerja.
Hubungan informal dan motivasi non-ekonomis, interaksi antara struktur
degan manusia yang dinamis merupakan nilai-nilai yang dioptimalkan pada
pendekatan neo-klasik ini. Para teoritisi yang telah memberi sumbangan besar
misalnya Chester I Bernard (1938), Herbert A. Simon (1947),D. McGregor (1960)
dan Warren Bennis (1969).Inti ajaran mereka adalah hubungan kemanusiaan
menjadi simpul interaksi organisasi. Oleh karena itu kebutuhan dan hasrat pokok
manusia, perubahan perilaku, sikap, persepsi, dan faktor psikologi dan sosial
manusia dalam organisasi menjadi nilai yang harus dikejar.
Untuk menyempurnakan pendekatan klasik dan neo-klasik yang masing-
masing mempunyai kekurangan, maka muncul pendekatan modern (pendekatan
ketergantungan). Prinsip dasar pendekatan modern ini adalah: (1) organisasi
dipandang sebagai suatu sistem terbuka yang terdiri dari sub-sistem yang saling
berinteraksi satu dengan lainnya dengan lingkungan; (2) keterbukaan dan
ketergantungan organisasi terhadap lingkungannya menyebabkan bentuk
organisasi harus disesuaikan dengan lingkungan dimana organisasi itu berada.
Pelopor utama pendekatan ini adalah Woorward (1965), Tom Burns (1961),
Robert Katz dan Daniel Kahn (1966), James D. Thomson (1967).
Nilai-nilai utama yang dioptimalkan pendekatan modern adalah organisasi
merupakan sistem yang dipandang secara komprehensip atas seluruh dimensi
yang melingkupnya. Dimensi tersebut adalah dimensi struktural, manusia,
29
lingkungan. Proses sistem bekerja terdiri dari input, transformasi, output dan
lingkungan (Martani, 1987).
Konsep birokrasi yang diajukan oleh Weber masih menjadi acuan sampai
sekarang ini, walaupun mendapat kritik dari ilmuan-ilmuan lain. Weber
membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat, dan mempertanyakan bentuk
organisasi yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri yang dijumpai di Eropa
pada akhir abad ke 19. Ia mencoba melukiskan sebuah organisasi yang ideal,
organisasi yang secara murni rasional dan yang akan memberikan efisiensi operasi
yang maksimum (Robbins, 1994:337).
Kontroversi tentang penerapan model birokrasi Weberian dalam pemerintahan
sudah lama berkembang, bahkan menimbulkan polemik yang belum berakhir
sampai saat ini. Tidak dipungkiri bahwa ada kalangan yang cenderung menolak
model birokrasi Weberian karena menganggap model birokrasi itu memiliki
banyak kelemahan. Meskipun demikian, sebagian kalangan praktisi administrasi
publik yang telah lama berkecimpung dalam lingkungan birokrasi, melihat bahwa
model birokrasi Weberian masih diperlukan sampai saat ini. Alasan yang
dikemukakan oleh kalangan yang disebutkan terakhir ini, bahwa sejauh ini belum
ada model pengaturan kelembagaan alternatif yang cukup lengkap dan
menyeluruh yang dapat digunakan untuk menggantikan birokrasi Weberian.
Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi memiliki sejumlah makna
diantaranya adalah pemerintahan yang dijalankan oleh suatu biro yang biasanya
disebut dengan officialism, badan eksekutif pemerintah (the executive organs of
government), dan keseluruhan pejabat publik (public officials), baik itu pejabat
tinggi ataupun rendah (Albrow, 1989:116-117). Diantara ketiga makna tersebut,
karakteristik umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya sebagai
suatu lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul
karena lembaga pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala
organisasi pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk
memilih birokrasi yang memiliki karakteristik sebagai birokrasi Weberian.Dalam
konteks Indonesia, lembaga pemerintah pada umumnya memiliki hierarki yang
panjang, prosedur dan standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang rinci, dan
30
pajabat karier yang menjadi karakteristik birokrasi Weberian. Oleh karena itu,
lembaga pemerintah sering disebut sebagai birokrasi pemerintah. Karena kinerja
birokrasi pemerintah pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan,
khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga pandangan
masyarakat terhadap birokrasi pemerintah cenderung negatif yang pada akhirnya
menimbulkan stereotif yang negatif tentang konsep birokrasi Weberian. Robbins
(1994: 338) mengutip konsep birokrasi ideal dari Weber yang terdiri dari 7
elemen, sebagai berikut:
a. Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam
kesederhanaan, rutinitas dan mendefinisikan tugas dengan baik.
b. Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang
formal, dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap
jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervisi dan kontrol dari yang
lebih tinggi.
c. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam
basis kualifikasi yang didemonstrasikan dengan pelatihan, pendidikan atau
latihan formal.
d. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan
atas kemampuan, yaitu keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan
atas kualifikasi teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
e. Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi diterapkan
secara seragam dan tanpa perasaan peribadi untuk menghindari
keterlibatan dengan keperibadian individual dan freferensi peribadi para
anggota.
f. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan mengejar
karier dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier
tersebut, para pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan
dipertahankan meskipun mereka ―kehabisan tenaga‖ atau jika
kepandaiannya tidak terpakai lagi.
31
g. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan
peribadi, yaitu pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk
keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
Tipe ideal birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat ini belum sepenuhnya
dapat diimplementasikan di Indonesia sebagaimana yang diharapkan pencetusnya.
Bahkan Weber mempertegas dalam teorinya bahwa satu-satunya cara bagi
masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif konsep ideal tersebut di
atas ialah dengan mengorganisasikan spesialis-spesialis birokrasi yang fungsional
dan terlatih. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh LeMay
(2006:65),bahwa sebagai organisasi yang cenderung semakin besar,
membutuhkan pembagian kerja yang lebih kecil atau bersifat khusus.
Weber sebenarnya memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep
birokrasinya, yaitu: (1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi
dipandang sebagai kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu keluar
dari fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal dari kelas
sosial yang particular (Thoha, 2005:19). Konsep birokrasi Weberian berasumsi
bahwa birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia berada di luar atau
di atas aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi
pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral, lebih mengutamakan
kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan, sehingga siapapun kekuatan
politik yang memerintah birokrat dan birokrasinya memberikan pelayanan terbaik
kepadanya.
Pemikir lain yang juga penting untuk ditampilkan dalam pembahasan
birokrasi adalah Karl Marx (Thoha, 2008:23). Pemikiran Marx tentang birokrasi
merupakan suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam
hubungannnya dengan administrasi negara. Pandangannya terhadap birokrasi
hanya bisa difahami dalam kerangka umum teorinya tentang perjuangan kelas,
krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme.
Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis filsafat Hegel tentang
negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu
jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan
32
masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok
professional, usahawan dan lain kelompok yang mewakili bermacam-macam
kepentingan particular (khusus). Meskipun Marx terinspirasi oleh pemikiran
Hegel, namun Marx berpendapat bahwa negara itu tidak mewakili kepentingan
umum. Bahkan ia mengatakan bahwa kepentingan umum itu tidak ada, yang ada
adalah kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnnya.
Kepentingan particular yang memenangkan perjuangan kelas sehingga menjadi
kelas yang dominan itulah yang berkuasa. Menurut Marx birokrasi adalah negara
atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan
oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-
kelas sosial lainnya. Dengan kata lain, birokrasi memihak kepada kelas partikular
yang mendominasi tersebut.
Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis
(Robbins, 1994:349), bahwa struktur birokratik terlalu mekanis bagi kebutuhan
organisasi modern. Ia menyatakan bahwa struktur tersebut telah usang, karena
didesain untuk menghadapi lingkungan yang stabil, sedangkan kebutuhan saat ini
adalah struktur yang dirancang untuk menanggapi perubahan yang terjadi secara
efektif. Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam
perubahan yang pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi.
Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu
bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan
proses-proses kegiatan yang produktif pada masa revolusi Industri. Birokrasi
dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu,
misalnya persoalan pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas
yang berlebihan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan.
Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan
sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Kita sangat
membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual
semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan
sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada
mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada
33
sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus
serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan
kebijakan publik.
Nada pesimistik Bennis yang menggambarkan kondisi-kondisi sebagai
penyebab matinya birokrasi dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994:349-
352) dengan mengajukan argumentasi tandingan, bahwa birokrasi dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah dan dinamis. Miewald
menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan bahwa karakteristik-
karakteristik birokrasi akan berlaku untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari
Weber adalah menciptakan sebuah bentuk rasional dan efisien, bentuk tersebut
adalah birokrasi. Bentuk apapun yang diperlukan untuk mempertahankan
rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi
professional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik birokrasi yang
dimodifikasi.
Pengkritisi lain terhadap birokrasi Weber adalah Fried W. Riggs. Dalam
penelitiannya di beberapa negara berkembang, ia menemukan model birokrasi
yang disebutnya sebagai ―model sala” atau biasa disebut dengan ―model
prismatic‖. Kata sala diambil dari bahasa Spanyol yang sering menunjuk arti
kantor pemerintah di negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum ialah
―ruangan‖, bahasa Perancis menyebutnya “Salle”yang pada dasarnya masih
serumpun. dalam penggunaan sehari-hari, kata sala mengandung arti ruangan
pribadi dalam suatu rumah— keagamaan—ruangan pertemuan umum, tetapi juga
dan bahkan terutama mengandung arti kantor pemerintah (Riggs, 1988:316).
Beberapa karakteristik birokrasi model sala yang dikemukakan oleh Riggs
(1988:317-320), yaitu; struktur prismatic akan memperkokoh pemborosan
birokrasi—Korupsi telah melembaga. Sementara pejabat menikmati
kedudukannnya karena leluasa memeras uang suap dalam penentuan anggaran,
semua tergantunng pada keahlian serta besarnya pengaruh pejabat yang harus
memperjuangkan pengajuan anggaran, beberapa ketentuan tidak dapat digunakan
untuk mengatasi kekurangan anggaran suatu biro, sedang kenyataannya anggaran
terbuang sia-sia di berbagai biro lainnya—dalam model prismatic, hubungan
34
antara administrator dengan pengikut sudah demikian terstruktur, sehingga bobot
berbagai sanksi akan memaksa para pejabat model sala lebih cenderung
menggunakan kekerasan daripada menerapkan undang-undang. Terbukanya
kesempatan menerima suap lebih mendorong para petugas pelaksana model sala
menunda-nunda pekerjaan dan mengintroduksi berbagai hambatan teknis dengan
tujuan agar dapat memetik imbalan pelayanan atas pekerjaan yang seharusnya
tidak dipungut biaya.
Gambaran birokrasi pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Riggs tersebut
sangat bertentangan dengan substansi birokrasi yang dikemukakan oleh Weber.
Meskipun kritik terhadap birokrasi Weber selalu muncul, namun kenyataaan
menunjukkan bahwa birokrasi ada dimana-mana, perusahaan-perusahaan besar
pada umumnya berstruktur birokrasi, bahkan untuk kelompok yang terdiri dari
beberapa orang saja, birokrasi merupakan cara yang paling efisien untuk
mengorganisasikan sesuatu, sehingga pertanyaannya adalah mengapa birokrasi
dapat berjaya terus sampai saat ini. Mungkinkah karena karakteristik birokrasi
yang dirumuskan oleh Weber itulah yang menyebabkan demikian atau mungkin
ada faktor lain yang menjadi keampuhan birokrasi.
Salah satu agenda utama dan pertama yang harus dilakukan dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya,
adalah perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan.
Paradigma perilaku birokrasi harus diubah dari yang lebih condong sebagai abdi
negara ketimbang abdi masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan
sebagai abdi masyarakat ketimbang abdi negara. Pada hakekatnya, jika aparatur
birokrasi sudah melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya
mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi masyarakat
maupun sebagai abdi negara. Dengan perilaku aparatur birokrasi yang berorientasi
pada kepuasan masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat kepada birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan
demikian maka keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya
dukungan legalitas formal, tetapi keberadaannya didukung dan dibutuhkan oleh
35
masyarakat. Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi
pengaturan. Fungsi ini mutlak terselenggara dengan efektif, karena suatu
pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan
perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai
ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaannya. Persoalan yang sering muncul
dalam praktik, acapkali terjadi kekakuan dalam implementasi aturan. Kekakuan
ini dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah, padahal yang lebih diperlukan
adalah menegakkan hukum dan peraturan itu dilihat dari semangat dan jiwanya,
artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan situasional
(Siagian, 2000: 147).
2. Pelayanan Publik
Setiap negara di manapun serta apapun bentuk pemerintahannya selalu
membutuhkan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan suatu keharusan
bagi negara atau pemerintahan untuk melayani warga negaranya. Pelayanan
publik tidak mudah dilakukan, dan banyak negara yang gagal melakukan
pelayanan publik yang baik bagi warganya. Pelayanan publik (public service),
merupakan salah satu pembahasan yang cukup aktual dalam kajian birokrasi.
Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi antara masyarakat dan
pemerintah. Kemampuan birokrasi dapat dinilai salah satunya dengan melihat
sejauh mana kualitas pelayanan publik. Sebagai implementasi kebijakan birokrasi
di lapangan, pelayanan publik pun menarik minat tersendiri untuk dipelajari.
Penilaian terhadap kemampuan birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan
dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi seperti
efisiensi dan efektifitas, tetapi harus dilihat pula dari indikator-indikator yang
melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan
responsivitas (Dwiyanto dkk, 2002).
Dalam hubungannya dengan pelayanan birokrasi pemerintah, aparatur
birokrasi yang mendapat kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu
menyadari bahwa pada dirinya dituntut untuk memberikan pelayanan prima
(excellent services), sebagai berikut: (a) sensitif dan responsif terhadap peluang
36
dan tantangan yang dihadapi, (b) dapat mengembangkan fungsi instrumental
dengan melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif, (c)
berwawasan futuris dan sistematis sehingga resiko yang bakal timbul akan
diminimalisir, dan (d) berkemampuan dalam mengoptimalkan sumber daya yang
potensial. Untuk menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, maka
perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan harus melakukan
pekerjaannya dengan sepenuh hati (Patricia Patton: 1997).
Salah satu kekurangan mendasar organisasi pemerintahan atau birokrasi
pemerintahan, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah
ketidakmampuannya menciptakan suatu iklim organisasi pembelajar. Padahal
dalam tuntutan masyarakat yang semakin dinamis organisasi sangat diharapkan
memiliki karakter organisasi pembelajar. Menurut Sangkala (2007: 210), bahwa
organisasi pembelajar akan memiliki kemampuan memperbaiki dan meningkatkan
adaptabilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan. Organisasi
yang di dalamnya berisi orang-orang yang senang belajar dan senantiasa
membantu organisasi melahirkan pengetahuan dan keterampilan baru.
Kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya
dalam memenuhi tuntutan lingkungan merupakan suatu issu penting yang justru
kurang mendapat perhatian selama ini. Secara teoritik tuntutan dan kepentingan
individu sebagai anggota masyarakat yang merupakan bagian dari lingkungan
memang sangat bervariasi, sehingga dalam batas tertentu berpeluang melahirkan
benturan kepentingan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan oleh para
pejabat birokrasi. Akibatnya pengambilan keputusan sebagai bagian proses
administrasi seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Menurut
Permana (2009: 39-40) persepsi masyarakat terhadap ketidakadilan itu muncul
sebagai akibat perbedaan cara pandang individu terhadap kebijakan yang
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: preferensi individu (individual
preference), etika (ethic), kebebasan individu (individual freedom), hak individu
(individual rights), dan distribusi keadilan (distribution of justice).
Dalam sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik semula
difahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh
37
pemerintah. Konsep pelayanan publik terdiri dari rangkaian dua kata, yaitu
―pelayanan‖ dan ―publik‖. Pelayanan adalah cara melayani, membantu
menyiapkan, dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau
kelompok orang, artinya obyek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi dan
kelompok organisasi (Sianipar, 1998). Sedangkan publik secara umum diartikan
sebagai masyarakat atau rakyat. Berdasarkan pengertian itu, maka secara
sederhana pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu pelayanan atau
pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum,
baik jasa maupun non jasa yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini
adalah suatu pemerintahan. Dalam pemerintahan, pihak yang memberikan
pelayanan adalah aparatur pemerintahan beserta segenap kelengkapan
kelembagaannya. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah
kemudian disebut sebagai pelayanan publik. Pelayanan publik juga dapat diartikan
sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan
tatacara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam
Sinambella, 2008). Selanjutnya dalam Kepmenpan
No.63/KEP/M.PAN/7.2003), pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan
pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan penerima layanan maupun pelaksanaan ketentuan
perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Sementara penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut
penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga
independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan
publik, dan badan hukum lain yang semata-mata dibentuk untuk kegiatan
pelayanan publik.
38
Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas, maka secara sederhana
pelayanan publik dapat diartikan sebagai segala kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan
penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun
penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik, baik Pemerintah
Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan
publik. Sedangkan penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan
atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban
terhadap suatu pelayanan publik.
Dalam memahami konsep pelayanan publik, makna ―publik‖ perlu difahami,
baik dalam perkembangan historis atau latar belakang munculnya dan aplikasinya
di dalam manajemen publik. Dalam perkembangan ilmu administrasi publik,
konsep ―publik‖ bermakna luas daripada hanya “government” (pemerintah saja).
Sebagai akibat meluasnya makna konsep publik tersebut, milai- nilai keadilan,
kewarganegaraan, (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness menjadi
kajian penting di samping nilai-nilai efisiensi dan efektivitas (Nurmandi, 2010:1)
Pemahaman terhadap sektor publik dan sektor privat menjadi perdebatan dalam
diskursus ilmiah. Perdebatan itu antara lain menganggap bahwa kajian public
sector merupakan bidang studi administrasi negara, sedangkan private sector
merupakan kajian disiplin menajemen. Secara substansial diskursus mengenai isu-
isu sektor privat dan publik sudah lama diperdebatkan di Amerika Serikat.
Sebagai kesimpulan umum yang sangat relevan dapat dilihat pada uraian berikut
(Bruce McCallum, 1984). Pertama, ada persamaan praktik-praktik manajemen
pada sektor publik dan privat, sehingga yang lebih ditekankan adalah peranan
respektif para manajer dibidangnya masing-masing. Kedua, ada persamaan
praktik-praktik manajemen pada sektor publik dan privat ke arah meningkatkan
over time. Ketiga, persamaan-persamaan dan perbedaan sektor publik dan privat
relatif tidak penting, artinya tidak menghasilkan sifat-sifat yang fundamental.
Keempat, karena peranan dan keahlian antara manajer sektor publik dan privat
berbeda, maka training-training yang digunakan juga berbeda, manajer sektor
39
publik mungkin akan gagal bila menjalankan sektor privat begitu juga sebaliknya.
Kelima, gaya manajemen sektor publik berbeda dengan sektor privat. Mungkin
prinsip atau teknik manajemen dapat diterapkan di dalam kedua sektor tersebut,
tetapi dalam tataran praktis tetap berbeda. Keenam, ada pertukaran nilai antara
manajer sektor publik dan sektor privat dalam menentukan program-program
pelayanan kepada publik.
Beberapa dimensi yang dapat dijabarkan dalam melihat perbedaan antara
sektor publik dan sektor privat seperti yang dikemukakan oleh Bruce McCallum
(1984), yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, merit system, jaminan
kerja, koordinasi, keterlibatan politik dalam pembuatan keputusan, konsistensi
dalam pengambilan keputusan, personalitas antara manajer publik dan privat.
Perbedaan antara manajemen sektor publik dan sektor privat dalam hal
dimensi tujuan, yaitu sektor publik memiliki tujuan yang sangat banyak, seragam,
bahkan terkadang kabur dan tidak nyata. Hal ini disebabkan karena ada polarisasi
aspek politis dan ekonomis yang berarti public sector goal itu tidak begitu nampak
seperti halnya private sector goal.
Akuntabilitas dalam sektor publik dan privat juga berbeda, dalam sektor privat
kebebasan untuk memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang dbebankan
kepadanya akan dipertanggungjawabkan kepada komisaris dan pemegang saham.
Dalam sektor publik atasan vertical bertanggung jawab pada institusi yang
berwenang. Tanggung jawab itu mencakup finansial, administratif, politis serta
pelaksanaan program kerja sesuai dengan yang ditetapkan. Ini merupakan
konsekuensi peran administrator publik. Orang yang ditunjuk pada pelayanan
publik adalah orang-orang yang memiliki kriteria tertentu dan dinilai berdasarkan
keahlian, kualifikasi khusus, loyalitas secara politis. Sedangkan pada sektor
privat, prinsip kepantasan sesuai dengan kualifikasi keahlian yang berdasarkan
prinsip-prinsip manajemen modern, sehingga maximized profit yang dicapai akan
terwujud.
Perbedaan lain adalah masalah jaminan kerja. Dalam sektor privat cenderung
untuk meningkatkan jaminan dari jabatan yang diembannya. Dalam hal ini, sektor
publik juga mengikuti trend demikian. Walaupun ada kecenderungan ke arah
40
security of tenure dari masing-masing sektor, akan tetapi dalam praktiknya,
jumlah imbalan yang diberikan berbeda. Kenyataan ini disebabkan oleh
pengelolaan pada masing-masing sektor. Sektor privat selalu menggunakan
sumber dana, sumber daya dan sumber-sumber lainnya mengikuti prosedur dan
proses atau standar yang efektif dan efisien. Segala sesuatunya dihitung dari
berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan dan profit yang akan diterima. Hasil
keuntungan bersih organisasi privat itulah yang akan didistribusikan kepada
pekerja sesuai dengan proporsi masing-masing. Fenomena yang terjadi pada
sektor privat tersebut tidak terjadi pada sektor publik. Rumitnya jalur birokrasi
serta tujuan yang bersifat sosial mengakibakan tidak efisiennya pengelolaan
organisasi. Hal tersebut berdampak pada jaminan yang diberikan juga terbatas.
Sektor publik memiliki koordinasi antardepartemen dan lembaga publik,
sementara sektor privat koordinasinya antara pimpinan dan bawahan serta
komisaris organisasi.
Mendefinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat ditentukan dengan hanya
melihat lembaga penyelenggaranya, yaitu pemerintah atau swasta. Pelayanan
publik tidak lagi tepat untuk difahami sebagai pelayanan dari pemerintah, begitu
juga pelayanan swasta yang tidak dapat difahami hanya sebagai pelayanan yang
diberikan oleh lembaga non-pemerintah. Pelayanan publik harus dilihat dari
karakteristik dan sifat dari pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik lembaga
penyelenggaranya atau sumber pembiayaannya semata. Kriteria yang selama ini
secara konvensional digunakan untuk membedakan antara pelayanan publik dan
pelayanan privat tidak dapat lagi digunakan dengan mudah untuk mendefinisikan
pelayanan publik.
Atas dasar itu, maka muncul suatu pertanyaan, apa yang kemudian dapat
digunakan untuk menentukan suatu pelayanan dapat dikategorikan sebagai
pelayanan publik dan kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan
publik?.
Menurut Dwiyanto (2010:18-19) terdapat banyak kriteria untuk menentukan
sebuah pelayanan (barang, jasa dan administratif) termasuk sebagai pelayanan
publik atau bukan. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.
41
Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat dari barang dan jasa itu
sendiri (Stiglitz, 2000:128; Ostrom, Gradner & Walker:1994:7). Barang dan jasa
yang termasuk dalam kategori barang publik atau barang yang memiliki
ekternalitas tinggi biasanya tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau
diserahkan kepada pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang
mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, sementara barang dan jasa tersebut
sangat penting bagi kehidupan warga dan masyarakat luas. Karena pelayanan ini
sangat penting dan harus disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut
seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik.
Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk mendefinisikan pelayanan publik
adalah tujuan dari pelayanan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang
dilakukan untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang dan jasa itu
bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan publik. Tujuan dan misi negara
biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya.
Semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari kedua kriteria, yaitu
merupakan jenis barang atau jasa yang memiliki eksternalitas tinggi dan sangat
diperlukan oleh masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai tujuan atau misi
negara, baik dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga, maupun
tujuan strategis pemerintah, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan publik.
Ketika sebuah pelayanan menjadi pelayanan publik, maka negara tidak dapat
lepas tangan dan menyerahkan penyelenggaraannya kepada mekanisme pasar atau
assosiasi sukarela sepenuhnya. Meskipun keterlibatan pasar untuk berpartisipasi
telah meringankan beban pemerintah, namun untuk menghgin dari agar
keterlibatan tersebut tidak merugikan kepentingan warga pengguna, maka
keterlibatan pasar atau assosiasi sukarela dalam penyelenggaraan layanan publik
harus diatur dalam peraturan perundangan.
Berdasarkan kedua kriteria seperti yang telah disebutkan di atas, maka
perbedaan ciri pelayanan publik dengan pelayanan privat dapat dijelaskan.
Pelayanan privat dapat didefinisikan sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
perseorangan, yang bukan menjadi hajat hidup orang banyak, bukan menjadi
kebutuhan bersama secara kolektif, dan tidak menjadi bagian dari komitmen
42
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya agar dapat hidup
secara layak. Lembaga pemerintah dan swasta yang terlibat dalam
penyelenggaraan layanan itu, tidak menjadi bagian dari lembaga penyelenggara
layanan publik.
Sedangkan suatu pelayanan didefinisikan sebagai pelayanan publik, maka
tanggung jawab penyediaannya menjadi tanggung jawab negara. Tentu hal ini
tidak berarti pemerintah atau unsur penyelenggara negara lainnya harus
melakukannya sendiri. Negara dapat melibatkan lembaga non pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraannya, negara harus
menyediakan anggaran atau subsidi untuk menjamin semua warga memiliki akses
terhadap pelayanan tersebut.
Berbagai pemikiran yang berkaitan dengan itu, antara lain dikemukakan oleh
Frederickson (1997: 31-32), dengan membedakan berbagai perspektif dalam
mendefinisikan publik, yaitu:
1. Publik sebagai kelompok kepentingan (perspektif pluralis);
2. Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan publik);
3. Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif perwakilan);
4. Publik sebagai pelanggan (perspektif penerima layanan publik)
5. Publik sebagai warganegara.
Dalam perspektif pluralis, publik difahami sebagai kelompok kepentingan
sebagaimana yang dikembangkan oleh ilmuan politik. Kepentingan (interest)
publik disalurkan sedemikian rupa oleh kelompok kepentingan, baik dalam bentuk
artikulasi kepentingan maupun agregasi kepentingan. Dalam demokrasi, sebuah
atau beberapa kelompok kepentingan melakukan aliansi dengan partai politik
untuk mengartikulasikan kepentingannya.
Pemahaman publik dalam perspektif pemilih rasional dikembangkan oleh
Buchanan dan Tullock. Mereka mengembangkan model ekonomi untuk
memformulasikan perilaku individu dalam sistem politik. Salah satu karya yang
menerapkan model Buchanan dan Tullock adalah Down (dalam
Frederickson1997:34) pada perilaku birokrat dalam mengkalkulasi preferensi
pribadinya. Teori Down tentang instansi pemerintah adalah:
43
Pertama, menekankan benefit positif pada kegiatan instansi pemerintah dan
mengurangi biaya; Kedua, menunjukkan bahwa perluasan pelayanan instansi akan
lebih memenuhi harapan dan pengiritan akan kurang memenuhi harapan; Ketiga,
instansi lebih memberikan pelayanan pada kepentingan masyarakat dalam arti
luas daripada kepentingan yang spesifik; Keempat, menekankan pada efisiensi
pada instansi tingkat atas; Kelima, menekankan pada prestasi dan
kemampuan, sementara mengabaikan kegagalan dan ketidakmampuan.
Perspektif ketiga adalah perspektif perwakilan, yang melihat publik sebagai
pihak yang diwakili oleh elected officials (politisi). Dalam perspektif ini,
kepentingan publik diasumsikan telah diwakili oleh wakilnya yang duduk di
lembaga-lembaga perwakilan. Kelemahan utama perspektif ini adalah pada
kenyataannya politisi tidak menyuarakan kepentingan publik, dan politisipun
tidak pernah melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan.
Perspektif keempat, melihat publik sebagai pelanggan (customer) pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Lipsky mengembangkan
konsep street levelbureaucracy untuk menunjukkan interaksi yang erat antara
aparat pelayanan publik dengan masyarakat yang dilayani. Namun iapun
mensinyalir bahwa birokrasi lebih melayani kepentingannya daripada kepentingan
masyarakat, dan street level bureaucracy lebih memfungsikan dirinya sebagai
kelompok kepentingan.Perspektif terakhir melihat publik sebagai warga negara.
Sebagai warganegara, seseorang tidak hanya mewakili kepentingan individu
namun juga kepentingan publik. Model-model partisipasi publik dalam
pengambilan keputusan lebih banyak menerapkan perspektif ini.
44
Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang dapat ditemukan banyak macamnya
karena kesemuanya itu amat ditentukan oleh (Azwar, 1996) :
1. Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi
2. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan
kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan
penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya.
3. Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perseorangan, keluarga,
kelompok, ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan.
Bentuk dan jenis pelayanan kesehatan banyak macamnya, namun
disederhanakan secara umum dapat dibedakan atas dua. Bentuk dan jenis
pelayanan kesehatan tersebut jika dijabarkan dari pendapat Hodgetts dan Cascio
(1983) dalam Azwar (1996) yaitu :
1. Pelayanan kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan
kedokteran (medical service) ditandai dengan cara penggorganisasian yang
dapat bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam
suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama perseorangan dan
keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan
masyarakat (public health services) ditandai dengan cara
penggorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam suatu
organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit dan sasarannya terutama untuk
kelompok dan masyarakat.
Sekalipun pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan
masyarakat namun untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan yang
baik maka keduanya harus memiliki berbagai persyaratan pokok. Syarat pokok
yang dimaksud adalah (Azwar, 1996) :
45
a. Tersedia dan berkesinambungan
Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan
kesehatan terrsebut tersedia di masyarakat (available) serta bersifat
berkesinambungan (continous). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan serta
keberadaannya dalam masyarakat ada pada setiap saat dibutuhkan.
b. Dapat diterima dan wajar
Syarat pokok yang kedua dari pelayanan kesehatan yang baik adalah
pelayanan kesehatan yang dapat diterima (aceptable) oleh masyarakat serta
bersifat wajar (appropriate). Artinya bahwa pelayanan kesehatan tersebut
tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan,
keyakinan dan kepercayaan masyarakat serta bersifat tidak wajar bukanlah
suatu pelayanan kesehatan yang baik.
c. Mudah dicapai
Syarat pokok yang ketiga untuk pelayanan kesehatan yang baik adalah
yang mudah dicapai (accesible) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian
yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk
mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik maka pengaturan distribusi
sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang
terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan sementara itu tidak
ditemukan di daerah pedesaan bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.
d. Mudah dijangkau
Syarat pokok yang keempat dari pelayanan kesehatan yang baik adalah
yang mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian
keterjangkauan yang dimaksud disini teruatam dari sudut biaya. Untuk
dapat mewujudkan keadaan seperti ini harus dapat diupayakan biaya
pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya
mungkin dinikmati oleh sebahagian kecil masyarakat saja bukanlah
pelayanan kesehatan yang baik.
46
e. Bermutu
Syarat pokok yang kelima untuk pelayanan kesehatan yang baik adalah
yang bermutu (quality). Pengertian mutu yang dimaksud disini adalah
yang merujuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan dan pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan
kode etik serta memenuhi standar yang telah ditetapkan.
47
Rumah Sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.Peserta harus
memperoleh pelayanan kesehatan pada FKTP tempat peserta terdaftar, kecuali
berada di luar wilayah FKTP tempat peserta terdaftar atau dalam keadaan
gawat darurat medis.Hanya pasien dalam kondisi Gawat Darurat yang dapat
langsung di layani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan.
2. Persyaratan menjadi peserta JKN
Calon peserta dapat mendaftarkan diri dan keluarganya melalui beberapa cara,
yakni:
a. Melalui Kantor BPJS Kesehatan
b. Melalui web (www.bpjs-kesehatan.go.id)
c. DIP elektronik
d. Melalui pihak ketiga -> channel Bank (Bank Mandiri, Bank BNI dan Bank
BRI), PT POS, dll
Adapun berbagai dokumen yang harus di persiapkan sebelum melakukan
pendaftaran adalah :
1. KartuTandaPenduduk (KTP)
2. KartuKeluarga (KK)
3. Kartu NPWP ( untukKaryawan)
4. FotoUkuran 3x4
48
Bagi peserta yang dahulu menjadi peserta Jamkesmas lama (sebelumtahun
2013) dan tidak lagi menjadi peserta PBI JKN dapat mendaftarkan diri dan
keluarga nya menjadi peserta JKN non PBI melalui Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (dahulu PT Askes Persero) di kantor cabang terdekat
atau secara online. Apabila peserta tersebut masuk ke dalam kategori Pekerja
Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja, maka ada 3 (tiga) jenis iuran yang bisa
di pilih di sesuaikan dengan kemampuan keuangan keluarga. Selain mendaftarkan
diri sendiri dan keluarga nya secara mandiri, dalam Peraturan Presiden Nomor
111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan Pasal 6A disebutkan bahwa ―Penduduk yang belum
termasuk sebagai Peserta Jaminan Kesehatan dapat diikutsertakan dalam program
Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan oleh pemerintah daerah provinsi atau
pemerintah daerah kabupaten/kota‖. Padapasal 16 lebih lanjut dijelaskan
bahwaiuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dibayar oleh
Pemerintah.Sedangkaniuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang di daftarkan
olehPemerintah Daerah dibayaroleh Pemerintah Daerah.AdapunPelayanan yang
dijamin bagi pesertadalah komprehensif sesuai kebutuhan medis yang meliputi:
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat I/ Dasar,
Yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:
a. Administrasi pelayanan
b. Pelayanan promotif dan preventif
c. Pemeriksaan, pengobatan & konsultasi medis
d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
f. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis
g. Pemeriksaan penunjang diagnostik lab Tk. I
h. Rawat Inap Tk. I sesuai dengan Indikasi Medis
49
2. Pelayanan Kesehatan Tingkat II/ lanjutan,
a. Rawat jalan, meliputi:
1) Administrasi pelayanan
2) Pemeriksaan, pengobatan & konsultasi spesialistik
3) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
4) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
5) Pelayanan alat kesehatan implant
6) Pelayanan penunjang di agnostic lanjutan sesuai dengan indikasi medis
7) Rehabilitasi medis
8) Pelayanan darah
9) Pelayanan kedokteran forensic
10) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan
b. Rawat Inap yang meliputi:
1) Perawatan inap non intensif
2) Perawatan inap di ruang intensif
3) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri Adapun
Pelayanan yang TIDAK dijamin meliputi:
Pelayanan yang tidak mengikuti PROSEDUR
Pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan
Pelayanan untuk tujuan kosmetik/estetika
General check up, pengobatan alternatif
Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi
Pelayanan kesehatan pada saat bencana
Pasien bunuh diri/penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk
menyiksa diri sendiri/bunuh diri/narkoba.
50
2.6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004. Tentang Jaminan sosial Nasional
UU nomor 40 Tahun 2004 merupakan UU yang didalamnnya mengatur
tentang prosedur dan berbagai proses pemanfaatan Jaminan sosial bagi
masyarakat baik masyarakat yang dibiayai oleh pemerintah pusat dan daerah
maupun masyaraat umum yang ternsuk dakam peserta mandiri.
Ada .pasal dalm UU tersebut,. dimana pada pasal 1 membahs tentang
ketentian umum antara lain:
1. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak.
2. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan
sosial. 3. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang
bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas
resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota
keluarganya.
3. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program
jaminan sosial.
4. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir
miskin dan orang mampu sebagai peserta program jaminan sosial.
5. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
6. Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta yang
merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola
oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial untuk pembayaran manfaat
kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program
jaminan sosial.
7. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
8. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau
anggota keluarganya.
51
9. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta,
pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
10. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah,
atau imbalan dalam bentuk lain.
11. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badanbadan lainnya yang mempekerjakan pegawai negeri dengan
membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.
12. Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja ditetapkan
dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya
atas suatu pekerjaan dan /atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
13. Kecelakaan kerja adalah kecelakaaan yang terjadi dalam hubungan kerja,
termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju
tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh
lingkungan kerja. 15. Cacat adalah keadaan berkurangnya atau hilangnya
fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau
tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan
pekerja untuk menjalankan pekerjaannya.
14. 16. Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan.
Adapun Bab 2 terdiri dari 4 pasal yang membahas tentang Asas, Tujuan dan
Prinsip penyelenggaraannya.
52
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Tujuan diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah
untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan
kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh
Pemerintah. Masyarakat sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan stakeholder terkait tentu perlu
mengetahui prosedur dan kebijakan pelayanan dalam memperoleh pelayanan
kesehatan sesuai dengan haknya. Untuk itu semua pihak yang melakukan
penyelenggaran hendaknya memiliki pemahaman tentang hak dan kewajiban
stakeholder dalam melakukan pelaksanaannya masyarakat sehingga kebijakan
BPJS ini berjalan sesuai tujuan.
Birokrasi pelayanan publik di kantor BPJS Kabupaten Sukabumi akan
menjadi acuan dalam menilai tingkat keberhasilan dari suatu kebijakan yang
digulirkan pemerintah. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa
pelayanan publik harus dipahami sebagai suatu pekerjaan yang profesional yang
dituntut oleh masyarakat dalam bentul kualitas pelayanan yang dapat memuaskan
semua masyarakat penggunanya.
Menurut Moenir (2000:26-27) bahwa pelayanan publik merupakan
kegiatanyang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan berlandaskan
faktor material melalui sistem. Prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha
memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Pendapat ini memuat
pemahamaan bahwa pelayana adalah suatu perbuatan ( dened). Suatu kinerja
(performance) dan suatu usaha ( effort). Sehingga semua pihak baik yang
melayani dan yang dilayani berlu bersifat aktif dalam pelayanan jasa pada proses
tersebut (Warella. 1997. dalam Urmilasari, 2014: 13)
Mengacu pada Keputusan Menteri Negara Penyelenggaraan Aparatur Negara
Nomor 53 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, yang memiliki hakekat sebagai pemberian pelayanan prima kepada
masyarakat sebagai perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi
masyarakat.
53
Berdasarkan ke 14 unsur tersebut maka dapat dirinci asas-asa pelayanan
umum . Sebagai suatu rangkaian kegiatan yang bersifat sederhana, lancar, tepat,
lengkap, wajar dan terjangkau. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan publik yang
jelas dan dketahui secara pasti oleh masing-masing pihak
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan harus disesuaikaan dengan kondisi
kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap
berpegang pada efisiensi dan efektifitas
3. Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar dapat
memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum
yang dapat dipertanggung jawabkan
4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang
bersangkutan memberikan peluang kepada masyarakat untuk
menyelenggarakan sesuai perundang-undangan yang berlaku. Agar tujuan
dari pelayanan publik dapat berjalan optimal maka perlu adanya strategi
peningkatan sumberdaya aparatur negara, dalam hal ini penyelenggara
JKN pada BPJS. Menurut J.B. Kristiad (2006) peningkatan kemampuan
aparatur negara diarahkan pada pengembangan dan peningkatan pada
aspek:
a. Pengembangan dan kemampuan melaksanakan tugas dana peran
sebagai aparatur pemerintah sehingga dapat memenuhi standar yang
telah ditentukan, dan mampu mengambilo keputusan secara mandiri
dan profesional.
b. Meningkatkan motivasi, disiplin, kejujuran , etos kerja dan rasa
tanggung jawab yang dilandasi dengan semangat jiwaa pengabdian
c. Perubahan sikap yang lebih mengarah pada perkembangan ,
keterbukaan, sikap melayani dan mengayomi publik yang merupakan
tugas dan tanggung jawab pokoknya.
54
Aktivitas pengembangan ini dilakukan melalui berbagai kegiatan termasuk
pelatihaan agar karyawan dapat melaksanakan tugas dengan baik dan dapat
menyesuaikan diri dan menciptakan berbagai perubahan dalam pekerjaan
(Syuhadhak, 1996:5). Berdasarkan uraian-uraian diatas maka penulis menyusun
skema kerangka konseptual sebagai berikut:
55
BAB III
METODE PENELITIAN
56
merupakan kegiatan yang baru dilaksanakan Tahun 2014, dengan melayani semua
golongan masyarakat yang akan menjadi peserta JKN.
2. Informan
Informan pada penelitian ini akan diplih secara purposive sampling (Masri
Singarimbun. 2009). Dengan tujuan bahwa informan yang dipilih sesuai dengan
tujuan penelitian yaitu Untuk menjawab pertanyaan pertama akan diwawancarai
petugas pelayanan publik di kantor BPJS (3 orang) yaitu:
a. 1 orang bagian loket penerimaan berkas
b. 1 orang bagian pendataan berkas
c. 1 orang bagian keamanan
d. Informasi dari data sekunder tentang prosedur BPJS
Untuk menjawab pertanyaan kedua akan diwawancarai masyarakat yang
mendapatkan pelayanan sebanyak 30 orang Pemilihan responden dilakukan secara
cluster sampling atau dikelompokkan (Natsir 2006). Berdasarkan 2 kategori yaitu:
a. 15 orang Masyarakat umum ( bukan karyawan)
b. 15 orang Karyawan baik pegawai negeri (PNS) maupun pegawai
swasta
57
3.5 Jenis Data
1. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti melalui wawancara dengan
menggunakan bantuan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan tentang
Birokrasi pelayanan di kantor BPJS dan penilaian informan tentang pelayanan
yang ada di kantor BPJS. Untuk menguatkan data primer maka di adakan
wawancara dengan ke informan yaitu ketua bagian pelayanan JKN dan staf
pelayanan bagian loker dan keamanan.
2. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh melalui penelusuran dari buku atau literatur,
serta beberapa penelitian sebelum nya yang terkait dengan objek Penelitian.
Adapun data sekunder yang diperlukan adalah Konsep, teori, kebijakan dan
pelaksanaan dari JKN yang berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik di kantor
BPJS Kabupaten Sukabumi.
3. Analisis Data
Data yang diperoleh dari berbagai sumber di tabulasi berdasarkan unsur –
unsur pengamatan. Kemudian dianalisis secara kualitatif dan bersifat deskriptif,
untuk menemukan mekanisme pelayanan publik pada kantor BPJS. Penjelasan
akan mengacu pada indikator pelayanan publik dari MenPAN Nomor 25 Tahun
2004. Pada analisis kualitatif, kata-kata di bangun dari hasil wawancara atau
pengamatan terhadap data yang dibutuhkan untuk di deskripsikan dan dirangkum.
58