Laporan Surimi Dan Kamaboko
Laporan Surimi Dan Kamaboko
Laporan Surimi Dan Kamaboko
PENDAHULUAN
Ikan tenggiri
Disiangi
Potongan kecil
Food Processor
Goreng dengan
minyak panas
Tabel 1. Hasil Pengamatan Surimi yang disimpan di suhu freezer selama 3 hari
Kelompok Aroma Warna Tekstur
1 Khas ikan Putih cerah Halus, kenyal
2 Khas ikan Putih cerah Halus, kenyal
3 Khas ikan Putih cerah Halus, kenyal
3.2 Pembahasan
Surimi atau daging ikan lumat merupakan produk hasil olahan ikan yang
masih asing di Indonesia, dan bahkan sangat sukar untuk mendapatkannya di
pasaran. Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah diekstraksi dengan air da
diberi bahan anti-denaturasi, lalu dibekukan. Surimi merupakan produk antara
atau bahan-bahan baku dasar dalam pembuatan kamaboko (produk gel ikan),
sosis, fish nugget, ham ikan dan lain-lain. Pada prinsipnya ada empat tahap proses
dalam pembuatan surimi, yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan
dan pembekuan.
Kamaboko adalah produk hasil olahan daging ikan yang berbentuk gel,
bersifat kenyal dan elastis. Kamaboko berasal dari jepang. Di Indonesia dikenal
produk-produk kamaboko, ayitu bakso ikan, otak-otak dan empek-empek.
3.2.1.1 Bahan Baku Pembuatan Surimi dan Kamaboko
Surimi dibuat dari daging ikan yang digiling. Kamaboko dibuat dari bahan
daging ikan giling, surimi, pati, garam dan bumbu-bumbu. Bahan utama dari
pembuatan surimi adalah daging ikan segar, sedangkan bahan utama kamaboko
adalah daging ikan dan bumbu.
a. Ikan
Ikan merupakan hasil sumber daya di air. Ikan pada pengolahan
kamaboko biasanya adalah ikan laut. Ikan memiliki tiga jenis protein
yaitu protein miofibril, sarkoplasma dan jaringan ikan. Protein
miofibril adalah protein yang dapat larut dalam larutan garam. Protein
miofibril merupakan penyusun protein ikan terbanyak yaitu 66-77%.
Protein sarkoplasma bersifat larut dalam air. Adanya sarkoplasma
dalam ikan dapat mempengaruhi pembuatan gel pada pengolahan
kamaboko. Protein yang larut air ini memepengaruhi gel yang
terbentuk sehingga gel menjadi tidak elastis karena selama pemanasan
protein ini mengalami koagulasi dan melekat bersama protein
miofibril. Jumlah protein ini adalah sekitar 10% total protein ikan.
Sementara yang lainnya merupakan protein jaringan ikat yang tidak
dapat diekstrak dengan air, larutan garam, dan larutan alkali pada
konsetrasi 0,01-0,1 M.
b. Bumbu
Bumbu merupakan faktor penting pembentuk cita rasa pada produk
akhir kamaboko. Disini praktikan dibebaskan untuk menentukan
bumbu apa saja yang akan digunakan sesuai dengan selera masing-
masing kelompok.
3.2.1.2 Proses Pengolahan Surimi dan Kamaboko
Pada dasaranya bahan baku dan proses pengolahan keduanya hampir sama
tetapi surimi prosesnya hanya sampai pengemasan dan pembekuan, sedangkan
kamoboko diolah kembali dengan menggunakan penambahan bumbu.
3.2.1.2.1 Proses Pengolahan Surimi
Pada prinsipnya ada empat tahap proses dalam pembuatan surimi, yaitu
pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan dan pembekuan.
1. Pencucian
Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena
dapat menunjang kemampuan dalam pembentukan gel dan mencegah
danaturasi protein akibat pembekuan. Pencucian yang berulang-ulang akan
meningkatkan sifat hidrofilik daging ikan. Selama pencucian, daging ikan
dibersihkan dari darah, pigmen, lemak, lendir dan protein yang larut air.
Melalui cara ini warna dan bau daging ikan menjadi lebih baik,
kandungan aktomiosinnya meningkat dan secara nyata dapat memperbaiki
elasitisitas produk yang dihasilkan.
2. Penggilingan
Ikan digiling dengan menggunakan food processor. Selama penggilingan
sebaiknya ditambahkan krioprotektan (bahan anti denaturasi protein
terhadap pembekuan) berupa gula dan bahan pengikat (pati).
3. Pengemasan dan Pembekuan
Surimi yang diperoleh (berupa adonan), kemudian dikemas dalam kantong
plastik dan selanjutnya dibekukan pada suhu -10oC sampai -20oC.
Sebelum digunakan surimi harus dicairkan (dithawing) dan digiling
terlebih dahulu, kemudian diolah menjadi produk akhir yang diinginkan
(kamaboko).
3.2.1.2.2 Proses Pengolahan Kamaboko
Proses pembuatan kamaboko pada prinsipnya melalui tahap-tahap
penggilingan daging ikan, pencucian, pembuatan adonan, pencetakan dan
pemasakan.
1. Pendinginan
Daging ikan didinginkan sebagai sumber protein miofibril. Protein ini
adalah faktor yang mempengaruhi terbentuknya gel pada kamaboko.
Selama penanganan protein ini tidak boleh mengalami denaturasi,
sehingga suhu daging ikan harus stabil bawah 15oC.
2. Pencucian
Pencucian daging dilakukan untuk memisahkan kotoran, darah, lendir,
protein larut air dan komponen flavor. Pencucian harus dilakukan berkali-
kali dengan menggunakan air es. Hal ini dimaksudkan agar daging ikan
tidak mengalami pengembangan karena menyerap air. Air pencuci untuk
mencuci daging sebaiknya memiliki pH 6-7 dan pencucian terakhir dengan
larutan NaCl 0,01-0,3%.
3. Pembuatan adonan kamaboko
Pada pembuatan adonan, daging ikan ditambahkan garam, pati, dan
bumbu. Garam ditambahkan pertama kali dan digunakan untuk
mengekstrak protein aktomiosin sehingga terbentuk pasta sol aktomiosin.
Selain itu garam juga berfungsi sebagai bumbu untuk menambahkan cita
rasa asin. Garam yang digunakan dalam pembuatan kamaboko adalah 2,5-
3%. Penggunaan garam yang terlalu banyak dapat mempengaruhi tektur
dari kamaboko. Pati ditambahkan juga pada adonan untuk meningkatkan
daya ikat air, memperkecil penyusutan dan memperbaiki tekstur. Selain itu
bumbu-bumbu lain juga ditambahkan untuk menambah cita rasa
kamaboko.
4. Pencetakkan
Pencetakkan adonan kamaboko harus segera dilakukan untuk menghindari
terbentuknya gel. Hal ini karena adonan yang sudah membentuk gel akan
sulit dicetak.
5. Pemasakkan
Proses pemanasan pada pemasakan kamaboko menyebabkan terjadinya
gel. Pada suhu 60oC terjadi pelunakan gel. Pada suhu sekitar 70oC
terbentuk gel kamaboko yang kenyal dan elastis. Pemansan dapat
dilakukan dengan perebusan, pengukusan, penggorengan, atau
pemanggangan.
3.2.2 Uji Hedonik
Penilaian terhadap daging tergantung pada kesukaan atau selera konsumen
dan kepuasan dalam mengkonsumsi daging yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik
serta selera masing-masing individu (Natasasmita dkk., 1987 dalam Anshori,
2002). Penilaian terhadap tingkat kesukaan (palatabilitas) dapat dilakukan dengan
cara organoleptik. Penilaian organoleptik merupakan suatu cara penilaian dengan
indera yang banyak digunakan untuk menentukan mutu komoditi hasil pertanian
dan makanan (Soekarto, 1985 dalam Anshori, 2002). Menurut Rahayu (1998)
dalam Anshori (2002), indera yang berperan dalam pengujian organoleptik adalah
indera penglihatan, penciuman, dan peraba sedangkan indera pendengaran jarang
sekali digunakan dalam pengujian produk pangan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel yang bertindak
sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang
bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subyektif. Salah satu
contoh penilaian organoleptik terhadap mutu atau analisis sifat-sifat sensori suatu
komoditi adalah hedonik.
Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut acceptance test atau preference test. Soekarto (1985)
mengatakan bahwa uji hedonik menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat
atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenanginya. Menurut
Rahardjo (1998) bahwa pada uji hedonik, panelis mengemukakan tanggapan
pribadinya yaitu berupa kesan yang berhubungan dengan kesukanan atau
tanggapan senang atau tidaknya terhadap sfat sensori atau kualitas yang dinilai.
3.2.2.1 Uji Hedonik Kamaboko
Uji organoleptik yang dilakukan terhadap kamaboko dari ikan Tenggiri
adalah uji hedonik untuk memberikan penilaian mengenai tingkat kesukaan
terhadap produk yang dihasilkan. Adapun parameter yang akan diuji pada produk
kamaboko yaitu warna, aroma, kekenyalan, penampakan, sifat irisan, dan rasa.
Panelis disediakan enam sampel kamaboko yang telah dibuat oleh semua
kelompok dan disajikan secara acak. Panelis disediakan enam contoh uji dengan
kode berbeda yaitu “UIN” [Kelompok 1], “UPI” [Kelompok 2], “ITB”
[Kelompok 3], “UGM” [Kelompok 4], “IPB” [Kelompok 5], dan “ITS”
[Kelompok 6]. Setelah itu, panelis diminta untuk menyatakan kesukaaan terhadap
produk akhir kamaboko. Adapun skala hedonik atau skala numerik yang
diberikan, yaitu sangat suka [7], suka [6], agak suka [5], netral [4], agak tidak
suka [3], tidak suka [2] dan sangat tidak suka [1]. Hal ini bertujuan untuk melihat
kesan pertama yang timbul saat panelis melakukan penilaian terhadap
karakteristik mutu yang diujikan.
A. Uji Hedonik Keseragaman Warna
Kesan yang ditimbulkan setelah setelah panelis melihat suatu produk
(daging) adalah warna yang ditimbulkan. Warna merupakan hasil dari indera mata
yang bisa menjadi pertimbangan dalam penilaian suatu produk. Menurut Winarno
(1991) dalam Surnesih (2000), bahwa secara visual faktor warna tampil terlebih
dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan sebelum faktor-faktor lain
dipertimbangkan.
Panelis diminta untuk melakukan pengujian uji hedonik terhadap warna
pada keenam produk kamaboko dari enam kelompok. Panelis disediakan enam
contoh uji kamaboko dengan kode berbeda yaitu, “UIN” [Kelompok 1], “UPI”
[Kelompok 2], “ITB” [Kelompok 3], “UGM” [Kelompok 4], “IPB” [Kelompok
5], dan “ITS” [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk menilai warna dari keenam
kamaboko tersebut lalu memberikan penilaian berupa “suka” atau “tidak suka”
terhadap warna kamaboko tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala
hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [7], suka [6], agak
suka [5], netral [4], agak tidak suka [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Berdasarkan hasil penilaian dari segi parameter warna kamaboko pada
Tabel 1, dapat dikatakan bahwa kamaboko kode “UPI” paling disukai diantara
warna kamaboko yang lain karena memiliki penilaian tertinggi, yaitu 5.07
berkisar antara agak suka sampai suka sedangkan penilaian terkecil terdapat pada
kode “UGM”. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu
penggorengan serta komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan,
sedangkan jenis lemak/minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap
permukaan bahan pangan. Suhu menggoreng yang optimum adalah sekitar 161-
190oC (Ketaren, 1986 dalam Surnesih, 2000). Salah satu pertimbangan pemilihan
suhu menggoreng yang optimum adalah pengaruhnya langsung terhadap warna
bahan pangan yang digoreng. Disamping itu, suhu tinggi dapat mengakibatkan
denaturasi protein dalam bahan pangan, terutama pada daging sehingga
menghasilkan bahan pangan dengan flavor yang tidak disukai (Ketaren, 1986
dalam Surnesih, 2000). Semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan, akan
mengakibatkan tingkat kecerahan produk berkurang. Pada saat penggorengan,
bahan pangan mengalami reaksi Maillard karena adanya interaksi antara gugus
amino primer atau gugus amino dari protein dengan adanya senyawa karbonil
(gula pereduksi) menjadi melanoidin (polimer yang berwarna cokelat) dan tidak
larut dalam air (Winarno, 1997 dalam Surnesih, 2000).
B. Uji Hedonik Aroma
Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidaknya
makanan. Aroma atau bau-bauan lebih kompleks daripada rasa dan kepekaan
indera pembauan biasanya lebih tinggi dari indera pengecap. Bahkan industri
pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan cepat
memberikan hasil penilaian, apakah produk disukai atau tidak (Soekarto, 1985
dalam Hermawan, 2002).
Panelis diminta untuk melakukan pengujian uji hedonik terhadap aroma
pada keenam produk kamaboko dari enam kelompok. Panelis disediakan enam
contoh uji kamaboko dengan kode berbeda yaitu, “UIN” [Kelompok 1], “UPI”
[Kelompok 2], “ITB” [Kelompok 3], “UGM” [Kelompok 4], “IPB” [Kelompok
5], dan “ITS” [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk menilai aroma dari keenam
kamaboko tersebut lalu memberikan penilaian berupa “suka” atau “tidak suka”
terhadap aroma kamaboko tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala
hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [7], suka [6], agak
suka [5], netral [4], agak tidak suka [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Berdasarkan hasil penilaian dari segi parameter aroma kamaboko pada
Tabel 1, dapat dikatakan bahwa kamaboko kode “UPI” paling disukai diantara
aroma kamaboko yang lain karena memiliki penilaian tertinggi, yaitu 4.81
berkisar antara netral sampai agak suka sedangkan penilaian terkecil terdapat pada
kode “UGM”. Aroma muncul yang paling dominan diduga berasal dari ikan,
selain dari bahan-bahan lain seperti bumbu dan lain-lain. Menurut de Man (1997)
dalam Surnesih (2000), bahwa ikan mengandung gula dan asam amino yang
mungkin terlibat dalam reaksi Maillard. Adapun bumbu yang digunakan adalah
garam, gula, merica, dan bawang putih. Pemberian gula dapat mempengaruhi cita
rasa yaitu menambah rasa manis, kelezatan, dapat mempengaruhi aroma, tekstur
daging, dan mampu menetralisir garam yang berlebihan serta menambah energi.
Penggunaan bawang putih (Allium sativum L.) terutama dimaksudkan agar produk
memiliki cita rasa dan aroma yang merangsang. Karakteristik bau bawang muncul
setelah terjadi pemotongan atau perusakan jaringan (Matz, 1976 dalam Surnesih,
2000). Bau yang kuat pada bawang putih berasal dari minyak volatil yang
mengandung komponen sulfur. Ketika sel pecah, terjadi reaksi antara komponen
allisin dan enzim allinase membentuk allicin (Lewis, 1984 dalam Surnesih, 2000).
Allicin ini yang berperan memberi aroma bawang putih dan merupakan salah satu
zat aktif yang bersifat antibakteri.
C. Uji Hedonik Kekenyalan
Tidak semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku kamaboko.
ikan yang digunakan harus mempunyai mutu yang baik. apabila mutu kesegaran
ikan telah menurun akan dihasilkan kamaboko dengan tekstur yang berelastisitas
rendah.
Berdasarkan hasil dari uji hedonic untuk parameter Rasa yang dilakukan
oleh setiap panelis dapat diketahui bahwa rasa yang paling disukai yaitu dari
kelompok 6 kode ITS dengan nilai 5. Sedangkan untuk hasil terendah didapatkan
dari kelompok 2 kode UPI dengan nilai 4,41. Hasil tertinggi untuk kamaboko
yang didapat mungkin dikarenakan Penambahan konsentrasi garam yang sesuai.
Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan pembuatan
sosis untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur. Pemakaian garam
NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada
keperluan. Makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa
hambar sehingga kurang disenangi. Pemakaian garam dengan konsentrasi rendah
(1 – 3 %) tidak bersifat membunuh bakteri, melainkan hanya memberikan cita
rasa. Garam berfungsi sebagai pengawet karena garam berperan sebagai
penghambat mikroorganisme tertentu. Selain itu, pemakaian garam juga dapat
mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat mengakibatkan proses osmosis pada
sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis (kadar air dalam sel bakteri
berkurang, sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan bakteri mati) (Moeljanto
1992). Sedangkan dengan nilai terendah mungkin dikarenakan penggunaan garam
yang terlalu banyak sekali dan menimbulkan rasa asin yang berlebihan juga
menyebabkan denaturasi protein. Namun, penggunaan garam terlalu sedikit
menyebabkan tekstur produk kamaboko yang dihasilkan kurang baik karena
ekstraksi protein aktomiosin kurang sempurna.
4.1Kesimpulan
Untuk mendapatkan hasil surimi dan kamaboko yang lebih baik, alat
penggiling yang digunakan adalah alat penggiling dengan tipe dingin. Hal ini
dilakukan untuk mencegah denaturasi protein akibat panas penggilingan. Apabila
akan dilakukan penyimpanan, maka harus disimpan pada suhu rendah agar mutu
daging dapat terjaga dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA