Digital 20351621 SP Sakina Umar

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 107

UNIVERSITAS INDONESIA

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO


OTITIS MEDIA AKUT
PADA ANAK-ANAK DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher

Sakina Umar
0906565381

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
KEPALA LEHER
JAKARTA
MARET 2013

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Sakina Umar

NPM : 0906565381

Tanda tangan:

Tanggal : 8 Maret 2013

ii Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


HALAMAN PENCESAIIAN

NPM 0906565381
Il|! KesehatarTelinsaHidug TenggorckK€palaLeher
Prevaldsi dm fakto. risiko otilh mdia.,kut Fadamak_
arak di kolamdrr d@na Tinu.

Tehh berl$il diporbb. rn di had.p.n Ddn Penguji dd dilerin.


rcbag.i b.girn pcrryar.t n yrtrg diperluk D urtuk ncn p.roleh geltr dolder
sp.sirlL IST-KL prdr Prugnb Studi llnu (*b.r.n Telhgt Fidutrg
Aelggotuk Kep{h Inher, F lorltrs K.dokt B& U.iv€nii* Indoadb.
spTtlT-K-(K)
DR.dr.I{3trraD,R€stun,

Di. Romy Suwflro, SITHT-KL(K)


P€nbinbinsTHl-Konunilos
Dr, tldin Priyono.SpTHT-KL

Dr- MuchtaddidMmsrtt SpOK,PhD

Dr. AIfio ldid li, SpTHT-KI(K)

Dr. Vidayal Alvimdi, SpTHT'KL(9

Dr. Syahial M Huiauru!,SpTHT-KL(K)

Di Nikfr Lest ri, SpTHTKL{K)

Dr. TrijudaAirlegci4 SpTI{T-KL

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu
tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan pendidikan spesialis dan tersusunnya tesis ini.

Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr. Ratna Sitompul,
SpM, dan kepada Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU(K) sebagai Direktur Utama
Rumah Sakit Umum Pusat Negeri Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM), saya
ucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/
RSUPN-CM.

Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya
kepada Dr. dr. Ratna D Restuti, SpTHT-KL sebagai Ketua Departemen THT-KL
FKUI/ RSUPN-CM telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar di
Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasehat, dorongan, dan teladan
yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Dr. dr. Trimartani,
SpTHT-KL sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Penyakit THT FKUI/
RSUPN-CM serta dr. Fachri Hadjat, SpTHT-KL sebagai Ketua Program Studi
terdahulu, dan dr. Nina Irawati, SpTHT-KL sebagai Sekretaris Program Studi atas
bimbingan, arahan, nasihat, dukungan serta kemudahan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan.

iv Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan ke pada Dr. dr.
Susyana Tamin, SpTHT-KL sebagai Koordinator Penelitian dan Pengembangan
Departemen THT FKUI/ RSUPN-CM yang telah memberikan dukungan dan
bimbingan dalam penulisan karya ilmiah dan telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk mengembangkan diri.

Kepada dr. Ronny Suwento, SpTHT-KL sebagai Koordinator Pelayanan


Masyarakat Departemen THT-KL FKUI/RSUPN-CM sebagai Koordinator
Pelayanan Masyarakat Departemen THT-KL FKUI/RSUPN-CM, saya ucapkan
terima kasih atas nasihat, bimbingan dan dukungan yang telah diberikan selama
pendidikan.

Demikian pula kepada guru besar Departemen THT-KL FKUI/RSUPN-CM baik


yang masih aktif maupun telah memasuki masa purna bakti, Prof. dr. Nurbaiti
Iskandar, SpTHT-KL, Prof. dr. Bambang Hermani, SpTHT-KL, Prof. dr. Helmi,
SpTHT-KL, dan Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, SpTHT-KL, saya mengucapkan
terima kasih atas bimbingan, pengarahan, nasihat, dan tauladan, yang amat
berharga bagi saya dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSUPN-CM dr. Zanil Musa, SpTHT-
KL, dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, SpTHT-KL,
Prof. dr. Bambang Hermani, SpTHT-KL, dr. Ronny Suwento, SpTHT-KL, dr.
Widayat Alviandi, SpTHT-KL, Dr. dr. Dini Widiarni, SpTHT-KL, dr. Nina
Irawati, SpTHT-KL dan Dr. dr. Susyana Tamin, SpTHT-KL, saya sampaikan
ucapan terima kasih sebesar-besarnya.

Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM, dr. Endang CH Mangunkusumo, SpTHT-KL, dr. Umar Said
Dharmabakti, SpTHT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL, Prof. Dr. dr. Jenny
Bashiruddin, SpTHT-KL, Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL, dr. Armiyanto, SpTHT-
KL, dr. Zanil Musa, SpTHT-KL, DR. dr. Dini Widiarni, SpTHT-KL, dr.

v Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


Semiramis Zizlavsky, SpTHT-KL, Dr. dr. Susyana Tamin, SpTHT-KL, Dr. dr.
Ratna D Restuti, SpTHT-KL, dr. Widayat Alviandi, SpTHT-KL, Dr. dr. Retno S
Wardani, SpTHT-KL, dr. Syahrial MH, SpTHT-KL, dr. Marlinda Adham Y,
SpTHT-KL, dr. Arie W Cahyono, SpTHT-KL, dr. Brastho Bramantyo, SpTHT-
KL, dr. Rusdian Utama, SpTHT-KL, dr. Niken Lestari, SpTHT-KL, dr. Elvie
Zulka, SpTHT-KL, dr. Tri Juda Airlangga, SpTHT-KL, dr. Rosmadewi, SpTHT-
KL, dr. Mirta Hediyati, SpTHT-KL, dr. Fauziah Fardizza, SpTHT-KL, dr.
Rahmanofa Yunizaf, SpTHT-KL, dr. Harim Priyono, SpTHT-KL, dr. Fikry
Hamdan Yasin, SpTHT-KL dan dr. Ika Dewi Mayangsari, SpTHT-KL atas segala
bimbingan dan dukungan yang telah diberikan selama saya menjalani pendidikan
ini.

Kepada Ketua Departemen THT RS Persahabatan dr. Purna Irawan, SpTHT-KL


dan seluruh staf pengajar RS Persahabatan dr. Hatmansyah, SpTHT-KL, dr. Dody
Widodo, SpTHT-KL, dr. Deasi Anggraeni, SpTHT-KL dan dr. Yulvina, SpTHT-
KL, dr. Arfan Noer, SpTHT-KL, dr. Kartika Dwiyani, SpTHT-KL, dan dr. Ena
Sarikencana, SpTHT-KL, saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan,
bimbingan, ajaran, nasihat dan arahan yang diberikan selama saya menjalani
pendidikan di RS Persahabatan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada
seluruh paramedis, karyawan dan karyawati RS Persahabatan atas bantuan dan
kerjasama yang diberikan.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga dengan tulus saya sampaikan kepada
mentor saya dr. Widayat Alviandi, SpTHT-KL yang telah membimbing, memberi
dukungan dan semangat sampai saya menyelesaikan pendidikan ini.

Dalam rangka penelitian dan penyelesaian karya ilmiah akhir ini, dengan tulus
dan rasa hormat tak terhingga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh
pembimbing penelitian saya Dr. dr. Ratna D Restuti, SpTHT-KL, dr. Ronny
Suwento, SpTHT-KL, dr. Harim Priyono, SpTHT-KL, dan dr. Muchtarudin
Mansyur, SpOK, phD yang telah meluangkan waktu, membimbing, memberi

vi Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


dukungan, semangat, arahan dan menguatkan hati saya dalam menyelesaikan
tugas akhir ini.

Kepada intansi pemerintah yang terkait dalam penelitian ini, Walikota Jakarta
Timur, Puskesmas Kelurahan Cipinang Melayu dan Cawang beserta kader-
kadernya, serta seluruh warga Kelurahan Cipinang Melayu dan Cawang, saya
ucapkan terima kasih atas kerja sama dan bantuannya dalam penelitian ini. Dan
tentunya saya ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang bersama-sama
menjalani penelitian ini yaitu dr. Yadita, dr. Gustav, dr. Dwi Agustawan Nugroho,
dan dr. Riza Rizaldi.

Dengan rasa hormat saya ucapkan terima kasih kepada Bp. Asep Awaludin, Bp.
Momod, Bp. Richard, Ibu Siti, Mba Emi, Mba Ririn, Mba Sarah, Mas Heru dan
rekan-rekan karyawan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah
memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian dan dalam
menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada seluruh paramedis IGD RSUPN-CM, perawat THT Public Wing lantai 7,
perawat IBP RSUPN-CM atas bantuan kerjasama yang telah diberikan kepada
saya dalam melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.

Terima kasih pada sahabat-sahabat saya, dr. Afrina Yanti, dr Dina Nurdiana, dr
Duhita Yassi, dr. Dwi Agustawan, dr Gustav Syukrinto, dr Riski Satria, dr Yadita
Wira, dan seluruh teman sejawat peserta Program Studi Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas
bantuan, kebersamaan, kerjasama, pengorbanan, dukungan serta persahabatan
dalam suka dan duka yang telah terjalin dalam mengikuti pendidikan ini.

Karya ilmiah ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta yang selalu
memberikan dukungan, doa, pengertian , pengorbanan, dan kasih sayang selama
saya menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih dan rasa sayang yang tak
terhingga untuk mama dan aba tercinta, Baheta Hamad dan Ali Umar, atas cinta
dan kasih sayang, serta doa yang tidak pernah putus dalam membesarkan,

vii Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


mendidik dan mendukung selama ini. Terima kasih yang tak terhingga untuk
suamiku tersayang DR. Ir. Farchad H Mahfud, M.Eng dan anakku tercinta Umar F
Mahfud, atas kasih sayang, perhatian, pengertian dan pengorbanan terbesar yang
selalu ada mengiringi di setiap langkahku terutama dalam menyelesaikan
pendidikan ini. Adik-adikku tercinta, drg. Muna Ali, SpKG, Syadli Awad BBA,
M.Com, Ghalib SE, Kamalia SPd, Namira SH, M.Kn, Saleh, dan Layla yang
selalu memberikan keceriaan dan kebahagian, terima kasih yang tiada terkira.

Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan
dan kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, berkah dan magfirah-Nya kepada kita
semua. Semoga ilmu yang saya dapatkan akan lebih mengingatkan atas
kekurangan saya dan semata-mata adalah kebesaran Allah, sehingga dapat saya
amalkan untuk kepentingan umat. Amin yaa Robbal Alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, Februari 2013

Sakina Umar

viii Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Sakina Umar


NPM : 0906565381
Program Studi : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher
Fakultas : Kedokteran Universitas Indonesia
Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

”Prevalensi dan Faktor Risiko Otitis Media Akut pada anak-anak di


Kotamadya Jakarta Timur”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Jakarta, Maret 2013

Sakina Umar

ix Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


ABSTRAK

Nama : Sakina Umar


Program studi : Ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Judul Tesis : PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO OTITIS MEDIA
AKUT PADA ANAK-ANAK DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR

Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit telinga yang paling sering terjadi
pada anak-anak. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan
angka kejadian OMA. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar bagi penelitian
berskala nasional dalam memperoleh angka prevalensi penyakit telinga khususnya
OMA di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi deskriptif potong
lintang untuk mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik faktor-faktor
risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Subyek penelitian
dipilih secara multistage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan
hingga kelurahan berdassarkan tingkat kepadatan penduduk. Kemudian
dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomer rumah. Hasil
penelitian ini didapatkan prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta
Timur sebesar 5,38 %, dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 2-5
tahun. Hubungan faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian
OMA adalah usia ( p < 0,001; OR=11,36), jenis kelamin (p= 0,029 dan OR=2,50),
riwayat ISPA (p< 0,001; OR=14,07), dan lingkungan tempat tinggal (p=
0,016;OR=2,60). Faktor risiko yang memiliki kecenderungan penyebab terhadap
kejadian OMA, namun secara statistik tidak bermakna adalah pajanan asap rokok
(p=0,066;OR=2,18), dan pendapatan rumah tangga (p=0,135;OR=0,55). Dari
keempat faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian OMA pada anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur, didapatkan faktor risiko usia (p<0,001;OR=10,00) dan
ISPA (p<0,001;OR=10,01) yang paling bermakna dan dominan terhadap kejadian
OMA. (koefisien determinan=0,410).

Kata kunci: Otitis media akut, faktor risiko, studi epidemiologi

x Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


ABSTRACT

Name : Sakina Umar


Study Program: Otorhinolaryngology-Head and Neck Division
Title : The Prevalence and Risk Factors of Chronic Otitis Media in
Children in the Municipality of East Jakarta

Acute Otitis Media (AOM) is the most common ear disease in children. To date, a
standardized national data reporting on the number of OMA cases is still not
available. This research was conducted to become basis for nation-based
researches to obtain the number of ear disease prevalence in Indonesia especially
AOM. This research is epidemiologic study, descriptive and cross-sectional to
find out the prevalence and the characteristics description of AOM risk factors in
children in the Municipality of East Jakarta. The research subject was selected
with multistage stratified random sampling, authority levels ranging from villages
to sub-districts based on population density level. After that, the method
employed was spatial random sampling based on house numbers. The research
resulted in 5,38% in AOM prevalence in children in the Municipality of East
Jakarta, and the highest prevalence occurred in the group of 2-5 years old
children. Statistically significant risk factor relations in AOM cases were in age (
p < 0,001; OR=11,36), gender (p= 0,029 and OR=2,50), upper airway infection
history (p< 0,001; OR=14,07), and living environment (p= 0,016;OR=2,60). Risk
factors that have a tendency toward causes of OMA case, but statistically not
significant are exposure to cigarette smoke (p=0,066;OR=2,18), and household
income (p=0,135;OR=0,55). From the four significant AOM risk factors in
children in the Municipality of East Jakarta, age risk factor (p<0,001;OR=10,00)
and upper airway infection (p<0,001;OR=10,01) are the most significant and
dominant toward AOM cases (coefficient determinant=0,410).

Key words: Acute otitis media, risk factor, epidemiolgy study.

xi Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................. iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR DIAGRAM ...................................................................................... xiii
DAFTAR ALGORITMA .................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Masalah Penelitian .......................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 3
1.3.1. Tujuan Umum ....................................................................... 3
1.3.2. Tujuan Khusus ...................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 3
1.4.1. Bidang Penelitian ................................................................. 3
1.4.2. Bidang Institusi ..................................................................... 3
1.4.3. Bagi masyarakat ................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5


2.1. Definisi dan klasifikasi Otitis Media .............................................. 5
2.2. Epidemiologi .................................................................................. 6
2.3. Anatomi dan Fisiologi .................................................................... 7
2.3.1. Anatomi Tuba Eustachius ..................................................... 7
2.3.2. Fisiologi TE ........................................................................... 9
2.3.3. Telinga Tengah .................................................................... 11
2.3.4. Membran Timpani ................................................................. 13
2.4. Etiologi dan Patogenesis ................................................................. 14
2.5. Faktor risiko .................................................................................... 16
2.5.1. Faktor pejamu ....................................................................... 16
2.5.1.1. Usia ......................................................................... 16
2.5.1.2. Jenis Kelamin .......................................................... 16
2.5.1.3. Sistem imun ............................................................ 17
2.5.1.4. Predisposisi genetik ................................................. 18
2.5.1.5. Air susu ibu (ASI) ................................................... 18
2.5.1.6. Abnormalitis anatomi .............................................. 18
2.5.1.7. Disfungsi fisiologi ................................................... 19
2.5.1.8. Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) .................. 19
2.5.1.9. Alergi ...................................................................... 19
2.5.1.10. Status gizi .............................................................. 20
2.5.2. Faktor Infeksi ........................................................................ 21
2.5.2.1. Bakteri patogen ....................................................... 21
2.5.2.2. Virus ........................................................................ 21
2.5.3. Faktor lingkungan ................................................................. 22

xii Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


2.5.3.1. Metode pemberian makan dan minum pada bayi .... 22
2.5.3.2. Penggunaan dot ....................................................... 22
2.5.3.3. Perokok pasif ........................................................... 22
2.5.3.3. Penitipan anak ......................................................... 23
2.5.4. Faktor sosio-demografi ......................................................... 23
2.5.4.1. Faktor sosio-ekonomi .............................................. 23
2.5.4.2. Faktor lingkungan tempat tinggal ........................... 24
2.6. Diagnosis ......................................................................................... 24
2.7. Penatalaksanaan .............................................................................. 27
2.8. Komplikasi ...................................................................................... 32

BAB III METODE PENELITIAN..................... ........................................ 33


3.1. Kerangka Teori ............................................................................... 33
3.2. Kerangka Konsep ............................................................................ 34
3.3. Jenis Penelitian ................................................................................ 35
3.4. Populasi dan Subyek Penelitian ...................................................... 35
3.4.1. Populasi Penelitian ................................................................ 35
3.4.2. Subyek Penelitian .................................................................. 35
3.4.3. Besar Subyek Penelitian ........................................................ 35
3.4.4. Metode pemilihan subyek penelitian .................................... 36
3.5. Kriteria Subyek Penelitian ............. ................................................ 37
3.5.1. Kriteria Penerimaan .............................................................. 37
3.5.2. Kriteria Penolakan ................................................................. 38
3.6. Prosedur Penelitian ......................................................................... 39
3.6.1. Alat ........................................................................................ 39
3.6.2. Alur Penelitian ...................................................................... 39
3.6.3. Manajemen dan analisis data ................................................ 41
3.7. Waktu Penelitian ............................................................................. 41
3.8. Definisi Operasional ....................................................................... 41
3.7. Hambatan Penelitian ....................................................................... 45
3.8. Etika Penelitian ............................................................................... 45
3.7. Organisasi Penelitian ....................................................................... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................. 47


4.1. Karakteristik subyek di Kodya Jakarta Timur ................................ 48
4.2. Prevalensi OMA .............................................................................. 50
4.3. Gambaran karakteristik faktor risiko OMA .................................... 50
4.4. Hubungan faktor-faktor risiko dengan angka kejadian OMA ........ 54

BAB V PEMBAHASAN ............................................................................ 61


5.1. Prevalensi OMA .............................................................................. 63
5.2. Faktor-faktor risiko OMA ............................................................... 64

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 71
6.2. Saran ................................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 73
LAMPIRAN ..................................................................................................... 80
xiii Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tuba Eustachius anak dan dewasa ....................................... 8

xiv Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


DAFTAR DIAGRAM

Diagram 2.1. Algoritma penatalaksanaan otitis media akut Perhati KL..... 28

Diagram 2.2. Algoritma penatalaksanaan otitis media akut AAP, AAFP,


dan AHRQ ............................................................................ 30

Diagram 2.1. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan usia ......................... 48

xv Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


DAFTAR ALGORITMA

Algoritma 3.1. Alur pemilihan subyek penelitian ......................................... 38

Algoritma 3.2. Alur Penelitian ...................................................................... 40

xvi Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan karakteristik........ 48

Tabel 4.1.2. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan karakteristik


pendidikan dan pekerjaan orang tua subyek 49
.........................

Tabel 4.2.1. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan kategori diagnosis... 50

Tabel 4.3.1. Karakteristik faktor risiko OMA pada anak-anak di Kodya


Jakarta Timur ...................................................................... 51

Tabel 4.3.2. Karakteristik faktor risiko OMA pada anak-anak di bawah


5 tahun di Kodya Jakarta Timur .......................................... 52

Tabel 4.3.3. Karakteristik keluhan penderita OMA pada anak-anak di


Kodya Jakarta Timur ........................................................... 53

Tabel 4.3.4. Karakteristik keluhan penderita OMA pada anak-anak di


atas 5 tahun di Kodya Jakarta Timur ................................... 53

Tabel 4.3.5. Karakteristik keluhan penderita OMA pada anak-anak di


bawah 5 tahun di Kodya Jakarta Timur .............................. 54

Tabel 4.4.1. Analisis hubungan faktor risiko dengan angka kejadian


OMA pada anak-anak di Kodya Jakarta Timur 55
....................

Tabel 4.4.2. Analisis hubungan status gizi dengan angka kejadian OMA
pada anak-anak ..................................................................... 57

Tabel 4.4.3. Analisis hubungan faktor risiko dengan angka kejadian


OMA pada balita di Kodya Jakarta Timur ........................... 58

Tabel 4.5.1. Faktor determinan penyebab OMA pada anak-anak di


Kodya Jakarta Timur ............................................................ 59

xvii Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Lulus Kaji Etik ................................................................ 80

Lampiran 2: Lembar Informasi Orang Tua / Percontoh ............................... 81

Lampiran 3: Lembar Persetujuan .................................................................. 82

Lampiran 4: Status Penelitian ....................................................................... 84

Lampiran 5: Kuesioner ISAAC .................................................................... 89

Lampiran 6: Tabel Induk ............................................................................... 90

xviii Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit telinga yang paling sering terjadi
pada anak-anak, dan merupakan diagnosis klinis yang sering pada anak dengan
demam. Data dari negara-negara maju menunjukkan bahwa OMA adalah salah
satu infeksi yang umumnya terjadi pada anak usia dini dan merupakan alasan
umum untuk berobat. Prevalensi OMA di setiap negara bervariasi, berkisar antara
2,3 - 20%. Berbagai studi epidemiologi di Amerika Serikat (AS), dilaporkan
prevalensi terjadinya OMA sekitar 17-20% pada 2 tahun pertama kehidupan.
Biaya pemakaian antibiotik yang digunakan untuk kasus OMA di AS per tahun
sekitar 3-5 juta US dolar. Prevalensi otitis media di negara-negara maju lainnya
hampir sama dengan di AS. Studi epidemiologi OMA di negara-negara
berkembang sangat jarang. Di Thailand, Prasansuk dikutip dari Bermen5
melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak yang berumur kurang dari 16
tahun pada tahun 1986 sampai 1991 sebesar 0,8%. Berdasarkan survei kesehatan
Indera Pendengaran tahun 1994-1996 pada 7 provinsi di Indonesia didapatkan
prevalensi penyakit telinga tengah populasi segala umur di Indonesia sebesar 3.9
%. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan angka kejadian
OMA.1-7

Sebelum kemajuan era antibiotik, OMA dapat menimbulkan berbagai komplikasi,


mulai dari abses subperiosteal sampai komplikasi yang berat seperti meningitis
dan abses otak. Setelah era antibiotika berkembang, semua jenis komplikasi
tersebut jarang terjadi. Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan
gangguan pendengaran permanen. Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik
dapat menyebabkan gangguan pendengaran anak dan masalah dalam kemampuan
bicara dan bahasa, jika dialami oleh anak pada usia perkembangan bicara akan
mempengaruhi prestasi belajar.5-8

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


2

Faktor-faktor risiko yang berperan dalam terjadinya OMA, seperti faktor pejamu,
faktor lingkungan, dan faktor sosiodemografi, dapat diteliti untuk melihat
hubungannya dengan terjadinya OMA. Studi Nasional yang dilaporkan
International Primary Care Network (IPCN) dan Ambulatoy Sentinel Practice
Network (ASPN) yang dilakukan oleh Froom dkk di tiga negara yaitu Amerika
Utara, Inggris dan Belanda, memberikan hasil bemakna untuk faktor-faktor risiko
yang dihubungkan dengan OMA. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko ini,
dapat digunakan untuk merencanakan strategi pencegahan, penanganan, dan
komplikasi OMA.9

Hal di atas mendorong penulis melakukan penelitian, untuk mengetahui angka


kejadian OMA, dan gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada anak-
anak di Jakarta. Sebagai tahap awal penelitian akan dilakukan untuk cakupan
wilayah Kotamadya Jakarta Timur. Metode yang digunakan pada penelitian ini,
nantinya diharapkan dapat diterapkan pada lingkup yang lebih luas untuk
memperoleh angka Nasional prevalensi penyakit telinga, khususnya OMA di
Indonesia, serta digunakan untuk surveilans nasional secara berkala. Hasil
penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat dalam mengenali faktor
risiko penyakit dan bagi pelayanan kesehatan masyarakat dalam memberikan
penatalaksanaan yang optimal. Dengan demikian diharapkan dapat membantu
pemangku kebijakan di bidang kesehatan khususnya program kesehatan telinga,
berupa upaya deteksi dini, preventif, promotif, maupun intervensi, serta kebijakan
program-program kesehatan di komunitas`pada umumnya.

1.2. Masalah penelitian


Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut :
- Berapa besar prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta
Timur?

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


3

- Bagaimana gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada


anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur ?

1.3. Tujuan penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Memberikan dasar bagi penelitian berskala nasional dalam memperoleh angka


prevalensi penyakit telinga khususnya OMA di Indonesia sehingga hasilnya
bermanfaat bagi masyarakat, pelayanan kesehatan masyarakat, serta membantu
kebijakan di bidang kesehatan telinga.

1.3.2. Tujuan khusus

- Mengetahui prevalensi OMA pada anak-anak di Kodya Jakarta Timur.


- Mengetahui gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA (faktor
pejamu, lingkungan, dan sosiodemografi) pada anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur.

1.4. Manfaat penelitian

1.4.1. Bidang penelitian

- Memberikan data untuk mengenai prevalensi OMA dan faktor risiko


yang mempengaruhinya di Kodya Jakarta Timur.
- Dapat dijadikan pilot study untuk penelitian serupa di Jakarta maupun
di Indonesia.

1.4.2. Bidang Institusi

Dengan mengetahui faktor-faktor risiko OMA di Kodya Jakarta Timur, maka


dapat dijadikan masukan untuk program pencegahan dan penanggulangan OMA.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


4

1.4.3. Bagi masyarakat

Dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai OMA dan faktor risiko yang
mempengaruhi penyakit ini khususnya di Kodya Jakarta Timur, sehingga dapat
melakukan preventif agar tidak menderita OMA.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan klasifikasi Otitis Media


Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius (TE), antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Banyak ahli membuat
pembagian dan klasifikasi otitis media. Secara mudah, otitis media terbagi atas
otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (= otitis media serosa, otitis
media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media efusi/OME). Masing-masing
golongan mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media supuratif akut
(otitis media akut) dan otitis media supuratif kronis (OMSK). Begitu pula otitis
media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut (barotrauma) dan otitis
media serosa kronis. Selain itu terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis
media tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis
media adhesiva.10-12

Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang definisi OMA yang universal.
Definisi OMA bervariasi dalam praktek klinis dan kepustakaan, yang mana
setengahnya menyertakan komponen efusi telinga tengah. OMA didefinisikan
sebagai suatu peradangan pada telinga tengah dengan onset akut, ditandai dengan
adanya cairan dan atau inflamasi di telinga tengah. Otore yang terjadi melalui
perforasi membran timpani dengan gejala akut diklasifikasikan sebagai OMA.
Efusi telinga tengah tanpa gejala disebut otitis media efusi (OME) , atau glue ear,
dan diklasifikasikan sebagai kronis jika telah berlangsung selama 3 bulan. OMA
berulang didefinisikan sebagai tampilan tiga episode OMA baru dalam waktu 6
bulan atau empat kali selama satu tahun.10-12

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi 5 stadium, yaitu: stadium


oklusi tuba Eustachius, hiperemis, supurasi, perforasi, dan resolusi. Stadium
oklusi tuba Eustachius ditandai oleh gambaran retraksi membran timpani akibat

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


6

terjadinya tekanan negatif di telinga tengah. Pada stadium hiperemis, tampak


pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran timpani
tampak hiperemis serta edema. Stadium supurasi ditandai dengan membran
timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar, sedangkan pada stadium
perforasi ditandai dengan keluarnya sekret dan membran timpani yang perforasi.
Bila membran timpani tetap utuh dan keadaan membran timpani akan normal
kembali, atau membran timpani yang perforasi perlahan menutup kembali,
dikenal dengan stadium resolusi.8

Otitis media akut dihubungkan dengan penatalaksanaanya dibagi menjadi OMA


dengan risiko rendah dan risiko tinggi. Kriteria OMA risiko tinggi adalah usia
kurang dari 2 bulan, usia pada waktu menderita OM pertama kali kurang dari 6
bulan, menderita OM dalam 1 bulan terakhir (kambuh), OMA berulang, OM
bilateral, dan status gizi kurang atau buruk.13

2.2. Epidemiologi
Prevalensi OMA di tiap-tiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3 - 20%.
Berbagai studi epidemiologi di Amerika Serikat (AS), dilaporkan prevalensi
terjadinya OMA sekitar 17-20% pada 2 tahun kehidupan. Studi epidemiologi
untuk OMA di negara-negara berkembang sangat jarang. Di Thailand, Prasansuk
dikutip dari Bermen5 melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak yang
berumur kurang dari 16 tahun pada tahun 1986 sampai 1991 sebesar 0,8%. Di
Nigeria, Amusa, Ijadunola dan Onayade14 melaporkan bahwa prevalensi OMA
pada anak-anak di bawah 12 tahun pada tahun 2005 sebesar 11,8 %.1-5,14

Berdasarkan penelitian pada tahun 1993 sampai 1996 pada beberapa provinsi di
Indonesia didapatkan prevalensi penyakit telinga tengah populasi segala umur di
Indonesia sebesar 3,9 %. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang
melaporkan angka kejadian OMA.7

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


7

2.3. Anatomi dan Fisiologi


2.3.1. Anatomi Tuba Eustachius
Tuba Eustachius (TE) adalah organ yang mempunyai lumen, yang terdiri atas
mukosa, kartilago, jaringan lunak, otot-otot perituba, dan sulkus tulang sfenoid di
bagian superiornya. TE terdiri atas tulang rawan pada duapertiga anterior ke arah
nasofaring, kavum nasi dan palatum; dan sepertiga posteriornya terdiri atas tulang
ke arah kavum timpani dan mastoid. Bentuk TE menyerupai dua buah kerucut
yang saling bertemu di bagian puncak, tempat pertemuan ini disebut ismus. Ismus
biasanya terletak pada pertemuan antara bagian tulang dan tulang rawan ini. Ismus
memiliki ukuran tinggi 2 mm dan lebar 1mm. Ke arah nasofaring tinggi lumen
menjadi 8-10 mm, dengan lebar 1-2 mm. Fungsi ismus ini adalah membantu
melindungi telinga tengah dari sekret nasofaring.15,16

TE berkembang pada anak, dan mencapai ukuran seperti orang dewasa pada saat
usia 7 tahun. Panjang TE pada orang dewasa sekitar 36 mm, sedangkan pada bayi
sekitar 18 mm. TE yang lebih pendek pada bayi dan anak kecil dibandingkan
dengan orang dewasa, sehingga sekret dari nasofaring lebih mudah masuk ke
telinga tengah. Pada orang dewasa, TE membentuk sudut 45° terhadap bidang
horisontal. Pada bayi bentuk TE bevariasi, dari horisontal sampai membentuk
sudut sekitar 10° terhadap bidang horisontal, dan tidak membentuk sudut pada
ismus tetapi menyempit. Sudut yang menghubungkan antara otot tensor veli
palatini dan kartilago bervariasi pada bayi, sedangkan pada orang dewasa relatif
stabil. Hal ini yang menjelaskan pada anak yang lebih muda, terjadi
ketidakefisienan dalam membuka tuba yang disebabkan karena kontraksi otot
tensor veli palatini.15,16

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


8

Gambar 2.1. Tuba Eustachius anak dan dewasa13

Massa kartilago meningkat dari lahir sampai pubertas. Pada bayi, densitas elastin
pada kartilago lebih sedikit, tetapi densitas sel kartilagonya lebih besar. Pada
bagian inferolateral tuba terdapat lapisan lemak yang disebut lemak Ostmann,
yang ikut membantu proses menutupnya tuba dan membantu melindungi TE dan
telinga tengah terhadap sekret nasofaring. Lapisan lemak Ostmann pada bayi
volumenya lebih kecil, tetapi lebarnya sama dengan orang dewasa. Lumen tuba
pada bayi lebih kecil dibandingkann dewasa, jika dilihat dari dimensi dan
volumenya pada potongan melintang.15

Mukosa TE merupakan kelanjutan dari mukosa nasofaring dan telinga tengah,


yang sama dengan epitel saluran napas, yaitu terdiri atas epitel kolumnar bersilia,
sel-sel goblet dan kelenjar mukus. Lapisan paling luar adalah epitel bersilia yang
bergerak ke arah nasofaring. Semakin dekat ke telinga tengah terlihat sel-sel
goblet dan kelenjar mukus makin berkurang, mukosa bersilia juga menghilang.
Jumlah sel goblet pada dasar tuba lebih banyak dibandingkan dengan bagian atap,
dengan konsentrasi terbanyak berada di area tengah tuba bagian tulang rawan.
Sel-sel goblet dan kelenjar serosa pada bayi lebih sedikit dibandingkan orang
dewasa. Bayi juga memiliki lumen dengan mukosa yang lebih berlipat-lipat
dibandingkan orang dewasa. Hal ini yang menyebabkan peningkatan compliance
dari tuba yang lebih tinggi pada bayi.15,16

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


9

TE terdiri atas otot-otot yang berfungsi untuk membuka dan menutup tuba, yaitu :
tensor veli palatini, levator veli palatini, salpingofaringeal, dan tensor timpani. Di
antara keempat otot tersebut yang berperan pada proses dilatasi aktif adalah tensor
veli palatini. TE diperdarahi oleh arteri faringeal ascenden dan arteri meningea
media. TE dipersarafi oleh cabang faringeal dari ganglion sfenopalatina yang
berasal dari n. maksilaris (nervus V2) pada bagian ostium tuba; nervus spinosus
yang berasal dari n. mandibularis (nervus V3) pada bagian tulang rawan dari tuba;
dan pleksus timpani yang berasal dari nervus glossofaringeal pada bagian tulang
dari tuba.16

2.3.2. Fisiologi TE
TE memiliki tiga fungsi fisiologi terhadap telinga tengah, yaitu ventilasi, drainase,
dan proteksi. Fungsi ventilasi mengatur agar tekanan udara telinga tengah sama
dengan tekanan udara luar, fungsi ini banyak diperankan oleh bagian superior dari
tuba. TE terbuka secara intermiten karena kontraksi dari otot tensor veli palatini
pada saat menelan, yang mempertahankan tekanan udara mendekati normal pada
telinga tengah. Fluktuasi tekanan yang terjadi dua arah, baik ke telinga tengah
maupun dari telinga tengah, relatif kecil, dan tidak segera dirasakan. Fluktuasi ini
menggambarkan naik turunnya tekanan barometrik yang berkaitan dengan kondisi
cuaca dan atau ketinggian. Perubahan tekanan pada telinga tengah dapat
menyebabkan perubahan patologis. Kondisi ini terjadi terutama akibat sistem sel
udara telinga tengah-mastoid relatif kaku (atau tidak mudah kolaps). Sistem ini
dikelilingi oleh membran mukosa, yang menyebabkan udara dapat saling
berpindah antara bagian telinga tengah dan mukosa. Sel udara mastoid
kemungkinan berlaku seperti cadangan udara untuk telinga tengah, dan juga
memiliki fungsi pengaturan tekanan.15,16

Penelitian telah dilakukan untuk menilai fungsi TE dengan menggunakan ruang


bertekanan, pada anak-anak dan orang dewasa di Swedia, yang memiliki status

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


10

otologi normal. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 35,8% anak-anak tidak


dapat menyeimbangkan tekanan intertimpanik negatif dengan cara mengunyah,
sedangkan hanya 5% dari orang dewasa tidak dapat melakukan fungsi yang sama.
Anak usia 3-6 tahun memliki fungsi yang lebih buruk daripada anak usia 7-12
tahun. Kesimpulan studi ini adalah bahkan untuk anak-anak dengan status otologi
normal, fungsi TE tidak sebaik pada orang dewasa, yang hampir pasti
berhubungan dengan tingkat tingginya insiden pada penyakit telinga tengah pada
populasi lebih muda. Inefisiensi fungsi TE pada anak-anak dapat ditemukan pada
pemeriksaan otoskopi dan timpanometri, yang menggambarkan tekanan negatif
telinga tengah. Hal ini dapat terjadi pada anak-anak yang tidak memiliki gejala
pada telinga dan otitis media. Bayi memiliki mekanisme fungsi tekanan negatif
TE yang inefisien, dan mereka umumnya mengkompensasikan dengan cara
menangis agar dapat mengatur tekanan dalam telinga tengah.15

TE memiliki fungsi proteksi terhadap telinga tengah dan sistem sel udara mastoid
melalui anatomi fungsional TE-telinga tengah, secara imunologis dan pertahanan
mukosilar dari lapisan membran mukosa. Proteksi telinga tengah dari tekanan
suara nasofaring yang abnormal dan sekresi nasofaring, terutama bergantung pada
struktur normal, fungsi dari TE, dan integritas telinga tengah, serta sistem sel
udara mastoid, yang menjaga “gas cushion”. Pada saat istirahat, TE kolaps dan
lumennya tertutup, sehingga manghindari cairan dan tekanan suara abnormal
nasofaring masuk ke ujung distal TE. Pada saat mengunyah, bagian akhir
proksimal (kartilago) terbuka, cairan dapat memasuki bagian ini, tetapi tidak
memperoleh jalur masuk ke telinga tengah, karena terdapat ruang sempit, yaitu
ismus. Proteksi telinga tengah-mastoid juga dilakukan oleh epitel respiratori
lumen TE dengan cara pertahanan imunologi lokal, maupun pertahanan
mukosilia, yaitu drainase.15

TE mempunyai 2 mekanisme untuk drainase sekret dari telinga tengah ke


nasofaring, yaitu drainase mukosilia dan muskular. Sistem mukosilia dari TE dan

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


11

membran mukosa telinga tengah, yaitu dengan cara membersihkan sekret dari
telinga tengah dan tindakan pemompaan TE pada saat menutup yang
menghasilkan drainase muskular. Studi telah dilakukan untuk menilai fungsi
pembersihan mukosiliar. Gerakan silia terjadi pada TE dan bagian dari telinga
tengah. Sel silia di telinga tengah, makin ke distal menuju TE, makin aktif.
Tindakan pemompaan TE untuk drainase sekret dari telinga tengah ke nasofaring
tejadi pada saat TE menutup secara pasif.15

2.3.3. Telinga Tengah


Ruang telinga tengah (kavum timpani) memiliki batas sebelah lateral adalah
membran timpani, batas medialnya promontorium, batas superiornya adalah
tegmen timpani, dan batas inferiornya adalah bulbus jugularis dan nervus Fasialis.
Kavum timpani dihubungkan dengan nasofaring oleh TE. Kavum timpani secara
vertikal dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: epitimpanum, yaitu rongga yang berada di
sebelah atas dari batas atas membran timpani; mesotimpanum, adalah rongga
yang terletak diantara batas atas dan bawah membran timpani; dan hipotimpanum,
adalah rongga yang berada di bawah dari batas bawah membran timpani. Tulang-
tulang pendengaran terletak di dalam ruang ini, dari luar ke dalam adalah maleus,
inkus, dan stapes. Struktur lainnya yang juga terdapat di dalam kavum timpani
adalah korda timpani, otot tensor timpani dan tendon otot stapedius.15,17

Dinding lateral kavum timpani terbentuk oleh membran timpani di bagian tengah
dan sebelah atas (dinding lateral epitimpanum), serta sebelah bawahnya (dinding
lateral hipotimpanum) oleh tulang. Bagian atas membran timpani yang ikut
membentuk dinding lateral epitimpanum disebut pars flaksida. Dinding lateral
epitimpanum yang menonjol ke luar disebut skutum.17

Dinding medial kavum timpani dibentuk oleh penonjolan tulang yang disebut
promontorium. Pada permukaannya terdapat saraf yang membentuk pleksus
timpanikus, dan cabang nervus glossofaringeus. Pada bagian posterosuperior

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


12

promontorium terdapat tingkap lonjong yang tertutup tapak stapes dan


ligamentum anulare yang mengelilinginya. Tingkap bundar terletak di
inferoposterior tingkap lonjong. Tingkap bundar dipisahkan dari tingkap lonjong
oleh perluasan promontorium ke posterior yang disebut subikulum. Kadang-
kadang terdapat penonjolan tulang yang meninggalkan promontorium menuju
piramid yang disebut pontikulus. Nervus fasialis berjalan di atas promontorium
dan tingkap lonjong dengan arah anteroposterior, dan bagian depannya ditandai
oleh prosesus kokleariformis (yang merupakan “rumah” tendon m. tensor
timpani). Sebelah atas struktur ini terdapat penonjolan yang menandakan lokasi
ganglion genikulatum.17

Dinding posterior kavum timpani pada bagian atasnya terdapat pintu yang menuju
ke rongga mastoid (aditus ad antrum). Fosa inkudis terletak di bawah aditus. Fosa
inkudis, yang merupakan “rumah” prosesus brevis inkus dan ligamen yang
mengikatnya. Piramid yang berisi m. stapedius terletak di bawah fosa inkudis dan
medial dari lubang masuknya korda timpani. Resesus timpanikus terletak di antara
piramid (bagian medial) dan anulus timpanikus (di bagian lateral). Perluasan
rongga mesotimpanum ke posterior yang terletak di sebelah dalam terhadap
piramid dan nervus fasialis disebut sinus timpanikus.17

Dinding superior kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang disebut tegmen
timpani atau dural plate. Tegmen tersebut memisahkan kavum timpani dan fossa
media. Pada bagian tersebut terdapat sutura petroskuamosa yang dilewati oleh
serabut saraf dan pembuluh darah. Pada bagian inferior kavum timpani terdapat
bulbus jugularis yang ditutupi oleh lempengan tulang tipis, dan kadang-kadang
hanya ditutupi oleh mukosa. Pada bagian anterior, kavum timpani berbatasan
dengan arteri karotis dan di bagian atasnya terdapat semikanal m. tensor timpani
yang terletak tepat di atas muara TE.17

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


13

Kavum timpani dilapisi oleh mukosa saluran napas yang memiliki silia pada
permukaannya dan memiliki kelenjar mukus. Sekret telinga tengah dihasilkan
oleh sel-sel goblet dan kelenjar mukus, yang sebagian besar berkumpul di sekitar
muara TE. Mukosa kavum timpani menutupi seluruh dinding tulangnya, tulang-
tulang pendengaran dan seluruh ligamen. Mukosa tersebut juga membentuk
lipatan-lipatan sehingga membagi kavum timpani menjadi beberapa ruangan yang
telah dijelaskan sebelumnya.17

Kavum timpani mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna


dan interna. Arteri timpani anterior (cabang dari arteri maksilaris) dan
stilomastoid (cabang arteri aurikularis posterior) merupakan pembuluh
17
utamanya.

2.3.4. Membran timpani


Membran timpani (MT) merupakan lapisan cekungan tipis berbentuk oval, yang
membentuk sudut 55º dengan dinding dasar liang telinga, dengan diameter
terbesar pada posterosuperior hingga anteroinferior. MT membentuk penebalan
cincin fibrokartilago pada sekelilingnya yang disebut anulus timpanikus. Bagian
MT di atas lipatan maleoulus tersebut disebut pars flaksida, sedangkan bagian
bawahnya disebut pars tensa. Membran timpani merupakan struktur berbentuk
cekungan dengan bagian yang paling dalam pada daerah umbo.17

Membran timpani memiliki tiga lapisan, yaitu lapisan epitel paling luar adalah
epidermis, yang merupakan kelanjutan kulit liang telinga; bagian tengahnya
terutama dibentuk oleh lapisan fibrosa yang disebut lamina propria; dan lapisan
paling dalam yang dibentuk oleh mukosa telinga tengah.17

Epitel mukosa pada pars tensa memiliki ketinggian yang bervariasi, dapat berupa
lapisan skuamosa atau kuboid yang tipis, hingga terbentuk epitel torak berlapis
semu. Permukaan sel yang menghadap kavum timpani memiliki mikrovili, dan

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


14

pada daerah sel kuboid dan torak dapat ditemukan adanya silia, namun silia ini
tersebar tidak merata. Pada lapisan ini tidak ditemukan adanya sel goblet, namun
pada sel-sel yang tidak memiliki silia, dapat ditemukan granul sekresi. Lapisan
mukosa dipisahkan dari lamina propria oleh membran basal. Mukosa pada pars
flaksida dan pars tensa, memiliki gambaran yang sama. Pada keadaan patologis
seperti pada oklusi tuba dan otitis media kronik, struktur mukosa mengalami
perubahan berupa hiperplasi kelenjar, proliferasi sel goblet, edema submukosa,
vaskularisasi, dan transformasi lapisan epitel kuboid menjadi epitel torak.17

2.4. Etiologi dan patogenesis


Faktor etiologi yang berperan dalam perkembangan otitis media ialah adanya
infeksi virus dan bakteri, gangguan fungsi TE secara mekanik atau fungsional,
alergi, barotrauma atau kombinasinya.3

Perkembangan OMA adalah proses yang kompleks yang dimulai di nasofaring,


yang dihubungkan oleh TE ke telinga tengah. OMA sering diikuti dengan infeksi
saluran napas atas, jika tejadi kongesti pada membran nasal dan TE. Cairan yang
keluar di telinga tengah terjebak dan menghasilkan lingkungan yang ideal untuk
terjadinya infeksi. Patogenesis dari OMA ialah kombinasi dari beberapa faktor,
seperti: disfungsi TE, kolonisasi nasofaring dengan bakteri dan virus patogen,
meluasnya infeksi ke sepanjang TE, imunologi, faktor lingkungan dan
predisposisi genetik. Dua faktor yang paling penting pada anak-anak adalah
disfungsi TE dan anak cenderung rentan terhadap infeksi saluran napas atas
berulang. Pada anak, TE lebih pendek, sehingga jarak untuk penyebaran
organisme lebih pendek, letaknya horizontal, sehingga menyebabkan drainase
telinga tengah tidak adekuat dan terdapat adenoid dekat muara tuba, yang dapat
menyumbat tuba dan juga berfungsi sebagai reservoir terhadap infeksi. Gangguan
fungsi TE merupakan faktor yang paling penting. Adanya obstruksi tuba, baik
secara mekanik maupun fungsional dapat menyebabkan absorpsi udara, tekanan
negatif dan terbentuknya cairan di dalam telinga tengah.15

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


15

Virus pada infeksi saluran napas atas menyebabkan inflamasi sehingga


mengganggu fungsi TE dan meningkatkan kolonisasi bakteri pada nasofaring.
Infeksi saluran napas atas menyebabkan inflamasi, penurunan tekanan di telinga
tengah dan masuknya bakteri dan virus ke dalam telinga tengah melalui TE,
sehingga menyebabkan inflamasi dan efusi di telinga tengah. Virus pada infeksi
pernapasan atas menyebabkan kerusakan epitel TE, yang menyebabkan obstruksi,
karena adanya akumulasi mukus dan sel-sel inflamasi di dalam lumen tuba.
Infeksi virus juga mengganggu mukosilia dari epitel saluran pernapasan, yang
mengganggu fungsi drainase dari TE.15,18

Bakteri penyebab utama pada OMA ialah Streptococcus pneumoniae (30-40%),


Haemophilus influenzae (20%) dan Moraxella catarrhalis (7-20%), terdapat
pada 95% dari seluruh kasus OMA. Staphylococcus aureus dapat ditemukan pada
anak, Streptococcus pyogenes ditemukan pada anak yang lebih besar, Chlamydia
pneumoniae dapat ditemukan pada anak yang lebih kecil dan bakteri gram negatif
serta grup B Streptococci dapat ditemukan pada bayi baru lahir.18,19

Virus merupakan penyebab dari 20% kasus OMA, dan lebih sering ditemukan
bersamaan dengan bakteri yaitu pada 65% kasus. Virus yang paling sering
ditemukan pada kasus infeksi efusi telinga tengah ialah RSV dan rinovirus. Virus
lainnya yang juga ditemukan ialah parainfluenza, influenza, enterovirus, dan
adenovirus. Studi terakhir menunjukan virus sebagai faktor kausatif utama pada
OMA. Pasien OMA yang patogennya virus dan bakteri memiliki konsentrasi
mediator inflamasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang patogennya
bakteri saja, sehingga klinisnya lebih buruk.20,21

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


16

2.5. Faktor risiko


Banyak faktor yang diduga memiliki peran pada terjadinya otitis media akut.
Faktor-faktor ini dapat digolongkan menjadi faktor pejamu, faktor infeksi, faktor
lingkungan, dan faktor sosiodemografi.3,9

2.5.1. Faktor pejamu


2.5.1.1.Usia
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Stangerup dkk seperti dikutip oleh
Bluestone10 , menyatakan prevalensi OMA cukup konstan yaitu sekitar 25% pada
5 tahun pertama kehidupan. Alho dkk, Pukander dkk, Rovers dkk seperti dikutip
oleh Bluestone10, mengemukakan bahwa puncak prevalensi terjadinya otitis media
pada usia di bawah 2 tahun. Studi yang dilakukan pada populasi anak-anak di
Taiwan oleh Wang dkk22, menyatakan bahwa usia merupakan faktor risiko
terjadinya OMA, dan puncaknya yaitu pada usia 3-5 tahun. Studi epidemilogi
yang dilakukan oleh Zakzouk dkk23 pada anak-anak di bawah 12 tahun di Saudi
Arabia, menyatakan bahwa usia di bawah 4 tahun secara statistik bermakna
terhadap risiko terjadinya OMA jika dibandingkan usia 8 -12 tahun.

2.5.1.2. Jenis Kelamin


Penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk, Sipilia dkk dikutip dari Wang22 , Teele
dkk dikutip dari Bluestone10 menyatakan bahwa OMA lebih sering terjadi pada
anak laki-laki dibanding perempuan. Studi epidemiologi oleh Zakzouk dkk23,
menunjukkan bahwa adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan
OMA dimana anak laki-laki memiliki risiko lebih tinggi terhadap OMA
dibandingkan perempuan. Hal ini diduga berkaitan dengan pneumatisasi mastoid
yang lebih kecil pada laki-laki, pajanan polusi, infeksi saluran napas berulang
serta trauma yang lebih sering terjadi pada laki-laki. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Homoe dkk, dan Lundgren dkk (dikutip dari Wang)22 menyatakan
tidak adanya perbedaan bermakna jenis kelamin terhadap faktor risiko OMA.10,23-4

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


17

2.5.1.3. Sistem imun


Sistem imun yang belum sempurna pada anak-anak, atau sistem imun yang
terganggu pada pasien dengan defisiensi imun kongenital, infeksi HIV, atau
diabetes berperan pada perkembangan otitis media. OM adalah penyakit infeksi
yang berkembang biak pada lingkungan yang pertahanan imunnya menurun.
Hubungan antar patogen dan pertahanan imun pejamu memegang peranan dalam
progresi penyakit. Patel dkk25 menemukan tingkat interleukin 6 (IL-6) pada pasien
dengan OM yang juga mengalami influenza dan infeksi adenovirus, yang mana
tingkat IL-1-beta lebih tinggi pada pasien dengan OM yang disertai dengan
infeksi saluran napas atas. Pada studi lainnya, Skovbjerg dkk26 menemukan
bahwa efusi telinga tengah dengan bakteri patogen yg didapat dari kultur,
mengalami peningkatan IL-1 beta, IL-8 dan IL-10 yang lebih tinggi dibandingkan
dengan efusi yang steril.

Vaksin mempunyai peranan dalam mencegah infeksi bakteri dan virus yang
merupakan etiologi dari otitis media. Vaksin yang sudah dikembangkan saat ini
adalah Haemophilus Influenzae type b (Hib), Influenza, dan Invasive
Pneumococcal Disease.27

Penelitian pada uji klinis yang dilakukan oleh Karma28 di Finland, menyatakan
vaksin konjugasi pneumokokus heptavalent CRM 197 menurunkan angka OMA
yang disebabkan oleh pneumokokus, vaksin influenza memperlihatkan proteksi
terhadap OMA selama epidemik virus. Penelitian yang dilakukan oleh Leibovitz
dan Greenberg29 di Amerika Serikat, menyatakan bahwa imunisasi dengan vaksin
konjugasi pneumokokus pada bayi di bawah 2 tahun telah menunjukan khasiat
untuk pencegahan OMA pada pneumokokus spesifik serotipe. Studi berbasis
komunitas di Nigeria yang dilakukan oleh Amusa dkk14, tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara imunisasi dengan otitis media.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


18

2.5.1.4. Predisposisi genetik


Hubungan antara genetik dan otitis media telah dibuktikan dalam beberapa studi,
namun memisahkan faktor genetik dari pengaruh lingkungan cukup sulit. Belum
ditemukan gen spesifik yang berhubungan dengan penyebab OM. Seperti
kebanyakan proses penyakit lainnya, efek dari pajanan lingkungan pada ekspresi
gen mungkin berperan penting pada patogenesis dari OM.30

2.5.1.5. Air susu ibu (ASI)


ASI memiliki sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas berbagai zat yang
membantu mencegah infeksi langsung, sebagai agen anti-inflamasi atau
meningkatkan pertumbuhan zat lain yang membantu mengurangi infeksi. Faktor
utama yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh dalam ASI antara lain
imunoglobulin (IgA, IgM, dan IgG) terhadap bakteri dan virus yang spesifik,
komplemen, faktor kemotaktik, laktoferin, lisozim, lactobacillus Bifidus growth
factor, epithelial growth factors, sitokin termasuk interferon dan interleukin,
makrofag, limfosit T dan B, sel plasma dan neutrofil, oligosakarida, dan
prostaglandin. Banyak penelitian yang menunjukan bahwa pemberian ASI
mencegah bayi terhadap OM, hal ini terjadi pada anak-anak yang mendapatkan
ASI eksklusif pada 3-6 bulan pertama. Studi yang dilakukan oleh Alho33,
didapatkan bahwa menyusui <3 bulan mempunyai risiko peningkatan terjadinya
OMA dan OME sebanyak 20% sampai 60%. Studi metaanalisis oleh Uhari,
Mantysaari, dan Niemela31 menyimpulkan bahwa ASI selama paling tidak 3 bulan
adalah proteksi dalam mengurangi risiko terjadinya OM. Saarinen (dikutip dari
Bluestone)8 mengatakan bahwa pemberian ASI selama 6 bulan atau lebih
memberikan proteksi terjadinya OM rekuren, tidak hanya selama pemberian ASI
tetapi sampai umur 3 tahun.3,31-33

2.5.1.6. Abnormalitas anatomi


Anak dengan abnormalitas anatomi pada palatum dan juga otot-ototnya, terutama
tensor veli palantini, mengakibatkan disfungsi dari tuba esutachius dan memiliki

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


19

risiko lebih tinggi pada OM. Anomali spesifik yang berhubungan dengan
tingginya prevalensi ialah celah palatum, Sindrom Crouzon atau Apert, sindrom
Down dan sindrom Treacher Collins.16

2.5.1.7. Disfungsi fisiologi


Abnormalitas pada fungsi fisiologi dari mukosa TE, termasuk disfungsi silia dan
edema, meningkatkan resiko invasi bakteri pada telinga tengah dan
mengakibatkan OME. Anak dengan koklea implan memiliki insiden tinggi pada
OM, terutama OM kronis dan pembentukan kolesteatoma. Pada salah satu studi
memperlihatkan hubungan antara laringfaring dan OM kronis, Bercin,
Kutluhan,Yurttas, Yalciner, Bozdemir, dan Sari35 menyimpulkan bahwa evaluasi
refluks sebaiknya dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan OM, dan jika
terdapat refluks, penanganan terhadap refluks harus dimulai sebagai
penatalaksanaan tambahan dari penyakit primernya.15,34,35

2.5.1.8. Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)


Studi oleh Revai dkk36 menyatakan 30% dari ISPA pada anak-anak di bawah 3
tahun menyebabkan OMA. Penelitian yang dilakukan oleh Chonmaitree dkk37
menyatakan insiden terjadinya otitis media pada anak-anak 6 bulan sampai 3
tahun yang disebabkan oleh ISPA sebesar 61%, yaitu 37% OMA dan 24% OME,
dengan atiologi terbanyak adalah infeksi virus.

Infeksi saluran napas dapat menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsi


tuba Eustachius sehingga menurunkan tekanan di telinga tengah diikuti masuknya
bakteri dan virus ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius mengakibatkan
peradangan dan efusi di telinga tengah5,12

2.5.1.9. Alergi
Peran alergi terhadap OM, dapat melalui 1 atau lebih mekanisme, antara lain
mukosa telinga tengah sebagai target organ, inflamasi pada mukosa TE, inflamasi

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


20

yang menyebabkan obstruksi hidung, atau aspirasi dari bakteri yang mengikuti
sekresi nasofaring karena alergi ke telinga tengah. Hubungan antara alergi dengan
OM masih belum diketahui dengan pasti.15

Juntti dkk38 mengatakan anak-anak dengan riwayat alergi susu sapi, meningkatkan
risiko terjadinya otitis media. Pada anak kurang dari 4 tahun, sistem imun masih
berkembang, dan alergi tidak dapat berperan pada OMA rekuren pada kelompok
usia ini. Walaupun banyak temuan yang menunjukan bahwa alergi ikut
menyebabkan patogenesis dari OM pada anak yang usianya lebih tua, temuan
ekstensif membantah adanya peran dari alergi pada etiologi penyakit telinga
tengah.15,38

Strachan pada tahun 1989 mengemukakan teori hipotesis higiene, yang


menyatakan bahwa individu yang terpapar infeksi virus dan bakteri pada anak,
akn mengalami penurunan risiko terjadinya rinokonjungtivitis alergi, ekzim, dan
asma. Hal ini terjadi karena pada individu tersebut Th1 bereaksi terhadap patogen
mikrobalterial, sehingga peningkatan Th1 ini menekan peningkatan Th2 sehingga
dapat menurunkan reaksi hipersensitifitas akibat Th2 yang berlebihan.39

2.5.1.10. Status gizi


Status gizi dapat mempengaruhi keadaan umum seseorang. OMA dengan status
gizi buruk diklaifikasikan sebagai OMA risiko tinggi. OM diduga berhubungan
dengan keadaan status gizi. Obesitas sudah banyak ditemukan berhubungan
dengan peningkatan insiden OM, walaupan faktor penyebabnya masih belum
diketahui. Diperkirakan mungkin ada kaitannya dengan perubahan profil sitokin,
kenaikan refluks gastroesofagus dengan perubahan flora oral, dan atau akumulasi
lemak; semua ini telah dikaitan dengan peningkatan insiden dari OM.13,40

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


21

2.5.2.
Faktor Infeksi
2.5.2.1. Bakteri patogen
Bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada OMA adalah Streptococcus
pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis.
Ketiga organisme ini merupakan penyebab lebih dari 95% dari seluruh kasus
OMA dimana bakteri sebagai etiologinya.9,41

2.5.2.2. Virus
Virus pada infeksi saluran napas atas akut merupakan faktor risiko prominen dari
perkembangan OMA, hampir semua peneliti mencurigai adanya peran dari virus
saluran pernapasan pada patogenesis OMA. Banyak penelitian telah membuktikan
kecurigaan ini dengan menunjukan bagaimana virus saluran pernapasan tersebut
dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa saluran napas yang mengakibatkan
disfungsi TE, peningkatan kolonisasi bakteri, dan pada akhirnya menyebabkan
OMA. Penelitian-penelitan tersebut juga menunjukan bahwa virus dapat
mengubah respons imun pejamu terhadap OMA, sehingga mengakibatkan
produksi cairan telinga tengah yang berkepanjangan serta terjadinya OME kronis.
Virus yang biasanya berhubungan dengan OMA adalah respiratory syncytial virus
(RSV), virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, dan adenovirus.15,42

Studi yang dilakukan oleh Tauriainen dkk43, didapatkan adanya hubungan infeksi
human parechovirus 1 (HPeV1) dengan OM dan batuk pada pasien anak. OM
berkembang pada 50% dari periode follow-up 3 bulan yang memperlihatkan
adanya infeksi HPeV, tetapi hanya 14% dari HPeV1 yang periodenya negatif.
Pada OM berulang, sampel cairan telinga tengah positif terhadap HPeV pada 15%
episode.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


22

2.5.3. Faktor lingkungan


2.5.3.1. Metode pemberian makan dan minum pada bayi
Penggunaan susu botol merupakan faktor risiko OM baik dalam hal penggunaan
botol, susu formula, maupun posisi pemberian. Penggunaan air untuk membuat
susu formula dan botol itu sendiri dapat mengakibatkan kontaminasi bakteri.
Alergi dan kontaminasi bakteri pada susu formula, dapat menyebabkan
gastroenteritis berulang sehingga menurunkan gizi pada bayi. Penggunaan susu
botol dapat mengganggu perkembangan dari otot-otot muka yang dapat
mempengaruhi fungsi dari TE, juga dapat menyebabkan aspirasi cairan ke telinga
tengah karena tekanan intra oral yang tinggi. Posisi pemberian susu botol dengan
cara berbaring atau horisontal dapat menyebabkan refluks.3,9

2.5.3.2. Penggunaan dot


Penggunaan dot dapat meningkatkan risiko terjadinya OMA. Ada 2 mekanisme
yang menyebabkan hal ini terjadi. Mekanisme yang pertama ialah penghisapan
dot dapat meningkatkan refluks dari sekresi nasofaring ke telinga tengah,
sehingga pada saat flu, patogen dapat mudah masuk ke telinga tengah melalui
jalan ini. Mekanisme yang kedua, penggunaan dot dapat menyebabkan perubahan
struktur gigi dan rongga mulut sehingga dapat menyebabkan disfungsi TE. Pada
penelitian oleh Rovers dkk44 dan studi meta analisis oleh Uhari dkk31, menyatakan
bahwa pemakaian dot dapat meningkatkan risiko terjadinya OMA.31,44

2.5.3.3. Perokok pasif


Banyak penelitian menunjukan hubungan langsung antara perokok pasif dengan
risiko terhadap penyakit telinga tengah. Studi yang dilakukan oleh Strachan45 dan
31
juga metaanalisis oleh Uhari dkk Pembahasan sistematik dari 45 publikasi
terakhir mengenai OM dengan orang tua yang merokok menunjukan rasio 1,48
kali (95% interval kepercayaan dari 1,08-2,04) pada OM rekuren, 1,38 (95%
interval kepercayaan dari 1,23-1,55) pada efusi telinga tengah, dan 1,3 (95%
interval kepercayaan dari 1,3-1,6) pada OMA.9,31,45

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


23

2.5.3.4. Penitipan anak


Pada tempat penitipan anak terjadi kontak dengan banyak anak, sehingga
meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan, kolonisasi nasofaring
dengan mikroba patogen, serta OM. Banyak peneliti telah menggunakan
metaanalisis untuk mengkonfirmasi bahwa adanya pajanan dengan anak kecil
lainnya (termasuk saudara kandung) pada tempat penitipan anak merupakan faktor
risiko yang besar terhadap terjadinya OM. Penelitian meta analisis
memperlihatkan bahwa perawatan anak di luar rumah berisiko 2,5 kali terhadap
OM. Pada studi lainnya terhadap OM dan tempat penitipan anak, memperlihatkan
risiko yang lebih tinggi 1,6-4 kali pada tempat penitipan anak dibanding anak
yang dirawat dirumah.9,46

2.5.4. Faktor sosio-demografi


2.5.4.1. Faktor sosio-ekonomi
Status sosial dan ekonomi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap risiko
OM. Pada umumnya, status sosial ekonomi yang rendah memiliki risiko yang
lebih tinggi terhadap pajanan lingkungan pada orang tua yang merokok,
pemberian susu botol, tempat penitipan anak yang padat, kondisi tempat tinggal
yang padat atau kurang layak, serta patogen virus dan bakteri. Dibandingkan
dengan anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan sedang dan tinggi, anak-
anak pada kelompok sosial ekonomi rendah menggunakan sarana kesehatan yang
lebih jarang, sehingga menurunkan kemungkinan kasus OM terdiagnosis.9,47

Penelitian Maharjan dkk48 menyatakan anak-anak dengan sosio-ekonomi rendah


di Nepal, memiliki prevalensi tinggi menderita otitis media. Studi yang dilakukan
oleh Smith dan Boss49, menyatakan anak-anak dengan sosio-ekonomi kurang
dapat meningkatkan risiko terjadinya OM.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


24

2.5.4.2. Faktor lingkungan tempat tinggal


Lingkungan tempat tinggal juga berperan sebagai risiko terjadinya OM. Yang
dkk50, menunjukan bahwa tinggal di lingkungan yang lembab, banjir, dan
berjamur memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya OMA. Faktor
kepadatan tinggi dengan perbandingan luas rumah dan jumlah orang tidak
memadai, higiene dan sanitasi yang kurang baik akan mempermudah timbulnya
infeksi.51

2.6. Diagnosis
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of
Family Physicians (AAFP), untuk mendiagnosis OMA, klinisi hendaknya
mengkonfirmasi riwayat penyakit yang akut, mengidentifikasi tanda efusi telinga
tengah dan mengevaluasi keberadaan tanda dan gejala inflamasi telinga tengah.1

Anak-anak yang menderita OMA umumnya memiliki riwayat onset cepat, tanda
dan gejala seperti otalgia (atau tarikan telinga pada bayi), rasa jengkel pada anak
kecil atau bayi, otore dan atau demam. Gejala klinis ini, selain otore ialah
nonspesifik dan sering tumpang tindih dengan infeksi saluran napas atas yang
tidak kompleks. Dalam survei prospektif pada 354 anak-anak yang berkunjung ke
dokter karena penyakit pernapasan akut, demam, nyeri telinga dan tangisan yang
berlebihan banyak ditemukan pada penderita OMA, yaitu sebanyak 90%. Gejala
ini juga ditemukan pada anak-anak yang tidak menderita OMA, yaitu sebanyak
72%. Gejala lain dari infeksi saluran pernapasan atas seperti batuk dan rinore atau
hidung tersumbat, sering didahului atau bersamaan dengan OMA, tetapi ini juga
tidak spesifik. Dengan kata lain, riwayat gejala klinis saja merupakan indikator
yang kurang prediktif untuk mendiagnosis OMA khususnya pada anak yang lebih
kecil.1,52

Untuk mendiagnosis efusi telinga tengah umumnya digunakan pemakaian otoskop


atau otoskop pneumatik, bisa ditambah dengan timpanometri dan atau

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


25

reflektometri akustik. Otoskop pneumatik merupakan alat yang paling sering


digunakan untuk mendiagnosis OMA. Dengan alat ini dapat dinilai gambaran dan
mobilitas membran timpani yang merupakan indikator yang baik. Pemeriksaan
otoskopi dengan menggunakan otoskop pneumatik merupakan pemeriksaan yang
dilakukan di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. Sedangkan di Inggris
untuk mendiagnostik adanya patologi di telinga tengah cukup dengan
menggunakan otoskop. Sensitivitas dari otoskop yang digunakan oleh ahli yang
terlatih untuk mendeteksi efusi telinga tengah ialah 90%, dengan spesifisitas 80%,
angka sensitifitas ini meningkat dengan penggunaan otoskop pneumatik. Dari
literatur-literatur yang ada, sensitivitas dari otoskop pneumatik jika dibandingkan
dengan cairan yang ada pada saat miringotomi ialah sekitar 87% sampai 99%
dengan angka rata-rata 93%, dengan angka spesifisitas sebesar 78%. Efusi telinga
tengah juga bisa didiagnosis secara langsung oleh timpanosintesis atau
keberadaan cairan pada liang telinga sebagai hasil perforasi membran timpani.52-55

Visualisasi membran timpani dengan mengidentifikasi efusi telinga tengah dan


tanda inflamasi dilakukan untuk mencapai diagnosis yang pasti. Agar visualisasi
membran timpani baik, serumen yang menghalangi membran timpani harus
dibersihkan dan pencahayaan yang dipakai harus cukup. Untuk otoskopi
pneumatik, spekulum dengan bentuk dan diameter harus dipilih yang sesuai agar
selang bisa masuk di liang telinga. Alat untuk menahan anak yang sesuai agar bisa
dilakukan pemeriksaan yang cukup juga mungkin diperlukan.1

Penemuan pada otoskopi, mengindi-kasikan keberadaan efusi telinga tengah dan


inflamasi yang berhubung-an dengan OMA telah dijelaskan secara baik. Biasanya
ditemukan membran timpani yang menonjol atau bulging, dan ini memiliki nilai
prediktif tertinggi atas keberadaan efusi telinga tengah. Saat dikombinasikan
dengan warna dan mobilitas dari membran timpani, bulging juga merupakan
prediktor OMA yang terbaik. Absensi atau penurunan mobilitas dari membran
timpani selama dilakukan otoskopi pneumatik ialah bukti tambahan adanya cairan

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


26

di telinga tengah. Membran timpani yang berubah menjadi opak atau keruh, selain
yang disebabkan oleh luka, juga merupakan penemuan pada OMA dan biasanya
diakibatkan oleh edema dari membran timpani. Kemerahan membran timpani
disebabkan oleh inflamasi biasanya ditemukan dan harus dibedakan dari pink
erythematous flush yang disebabkan oleh menangis atau demam tinggi, yang
biasanya intensitasnya lebih sedikit dan hilang ketika anak sudah tenang. Pada
kasus miringitis bulosa, bula dapat didapatkan pada membran timpani. Jika
ditemukan kesulitan untuk mendeteksi keberadaan cairan di telinga tengah,
pemakaian timpanometri atau reflektometri akustik bisa membantu dalam
menegakan diagnosis.1,52,53

Pemeriksaan yang obyektif untuk mendeteksi efusi telinga tengah adalah dengan
menggunakan timpanometri, yang bergantung pada akustik, yaitu ukuran
kemudahan dengan energi akustik yang mengalir ke telinga tengah. Sensitivitas
dari timpanometri untuk mendiagnosis OMA dilaporkan 83-91%, dengan
spesifisitas 63-86%. Koivunen dkk58 melaporkan hand-held minitympanometry
memiliki spesifisitas 93% dan sensitivitas 79% pada OMA berulang yang
dilakukan miringotomi.56-58

OME sering salah diagnosis sebagai OMA, sehingga antibiotik yang seharusnya
tidak dibutuhkan bisa saja diberikan. Klinisi hendaknya berusaha untuk
menghindari salah diagnosis pada anak dengan rasa tidak nyaman pada telinga
tengah yang disebabkan oleh disfungsi TE dan retraksi dari membran timpani
atau ketika infeksi pernapasan akut yang terjadi pada kasus OME kronis yang
telah ada.1,52

Diagnosis pasti OMA pada balita dan anak kecil, sering sulit ditegakkan. Faktor
yang mempengaruhinya antara lain sulit untuk membersihkan serumen pada liang
telinga, atau kesulitan untuk menjaga selang untuk otoskop pneumatik atau
timpanometri dengan baik. Diagnosis OMA yang tidak pasti paling sering

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


27

disebabkan oleh kesulitan untuk mendiagnosis keberadaan efusi telinga tengah.


Keberadaan efusi di telinga tengah umumnya dikonfirmasikan dengan otoskopi
pneumatik tetapi bisa dibantu dengan timpanometri dan atau reflektometri akustik.
Adanya cairan di telinga tengah juga bisa didiagnosis langsung oleh
timpanosintesis atau keberadaan cairan pada liang telinga sebagai hasil perforasi
membran timpani. Reflektometri akustik bisa membantu, karena tidak
membutuhkan selang pada liang telinga dan dapat menentukan keberadaan cairan
telinga tengah melalui lubang kecil pada serumen.1

Diagnosis pasti OMA ditegakkan bila memenuhi tiga kriteria : onset yang cepat,
adanya efusi telinga tengah dan ditemukan tanda dan gejala inflamasi di telinga
tengah. Klinisi hendaknya memaksimalkan strategi diagnostik, khususnya untuk
mengetahui keberadaan cairan di telinga tengah dan hendaknya
mempertimbangkan kepastiaan diagnosis dalam menentukan penatalaksanaan.1,52

2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA di Indonesia saat ini berdasarkan algoritma
penatalaksanaan yang dibuat oleh Perhati KL(diagram 2.1). Penatalaksanaan
OMA di Amerika dibuat oleh American Academy of Pediatrics (AAP) dan
American Academy of Family Physicians (AAFP) yang bekerja sama dengan
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) (diagram2.2).1,13

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


28

Diagram 2.1. Algoritma penatalaksanaan otitis media akut Perhati KL, 2007.13

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


29

1
Anak usia 2 bulan sampai
12 tahun dengan AOM
Untuk mengdiagnosis Otitis media
sederhana datang ke klinik
akut diperlukan :
1. Riwayat onset akut dari simptom
maupun tanda-tanda lainnya
2 2. Adanya efusi telinga tengah
Dokter memeriksa 3. Terdapat tanda-tanda serta
ada tidaknya nyeri simptom inflamasi telinga tengah

3 4
Nyeri ? Tidak Ke
Kotak 6
Ya
5
Dokter memberikan
perawatan untuk
meredakan nyeri

6 9
10
Apakah anak Amoxicillin 80-
Apakah observasi demam ≥ 39 C
merupakan 90mg/kh/hr merupakan
Tidak dan atau otalgia Tidak
pilihan perawatan agen antibakteri awal
sedang atau berat
awal ? pilihan pada umumnya

Ya
Ya
7 12 11
Anak diobservasi 48-72 Ke Kotak
Anak
jam dengan kepastian 14
diberikan
dilakukan follow up
terapi
antibiotik yang
sesuai
8 (Lihat tabel 6)

Ke Kotak 14
13
Ke Kotak 14

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


30

* Kriteria untuk terapi antibakteri atau observasi


pada anak dengan tingkat keparahan rendah : †
1. < 6 bukan : terapi antibakteri
2. 6 bulan – 2 tahun : terapi antibakteri pada keadaan
diagnosis pasti atau pada tingkat keparahan tinggi;
atau observasi pada keadaan diagnosis yang tidak
pasti dan tingkat keparahan rendah.
3. 2 tahun ke atas : terapi antibakteri pada tingkat
keparahan tinggi atau observasi pada tingkat
keparahan rendah dengan diagnosis pasti; observasi
bila diagnosis tidak pasti.
† Pengasuh anak diberitahukan dan menyetujui
pilihan observasi.
Pengasuh anak mampu memonitor anak dan
membawa anak kembali bila kondisi bertambah
buruk.
Sistem telah siap untuk berkomunikasi dengan
dokter, melakukan evaluasi kembali dan
memberikan medikasi bila perlu.

14 16
Apakah pasien Klinisi
merespon pada terapi memeriksa
awal (baik terapi kembali dan
anti-bakteri maupun mengkonfirmasi
observasi) ? diagnosis AOM

Y 17
15
Apakah 18
Pasien di
follow-up diagnosis Periksa
OMA telah penyebab
dikonfirmasi lainnya dan
tangani dengan
Y
19 Pemulihan
Klinisi sebaiknya memulai terapi antibakteri harus
antibakteri pada anak yang awalnya berdasarkan pada
dilakukan observasi atau mengganti jenis patogen yang
antibakteri pada pasien yang ada dan
sebelumnya diberi-kan terapi pengalaman klinis
antibakter (Lihat tabel 6 untuk
panduan klinis)

Diagram 2.2. Algoritma penatalaksanaan otitis media akut AAP, AAFP dan
AHRQ.1

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


31

Penatalaksanaan OMA hendaknya memasukkan penilaian nyeri. Bila ada nyeri,


klinisi harus memberikan terapi untuk mengurangi rasa nyeri. AAP menerbitkan
pedoman “penilaian dan manajemen nyeri akut pada balita, anak dan orang
dewasa”. Pedoman ini membantu klinisi dalam menyelesaikan masalah nyeri,
khususnya pada 24 jam pertama dari episode OMA, yang hendaknya diterapi
meskipun dengan mengunakan antibakteri. Berbagai penatalaksanaan untuk
otalgia telah digunakan, seperti medikamentosa (asetaminofen, ibuprofen,
preparat topikal), miringotomi, dan lain-lain. Penatalaksanaan ini belum ada yang
benar-benar diteliti. Klinisi hendaknya memilih penatalaksanaan berdasarkan
pertimbangan manfaat dan risiko, juga melibatkan pilihan dari orang tua dan
pasien.1

OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya. Sekitar
80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak
mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya
pendengaran.4,29

Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik
dalam 48-72 jam atau ada perburukan gejala, dapat diberikan antibiotik. American
Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan
yang harus segera mendapat terapi antibiotik. Observasi dilakukan pada anak usia
6 bulan sampai 2 tahun dengan gejala ringan dan diagnosis tidak pasti, dan pada
anak usia 2 tahun atau lebih dengan gejala ringan atau dengan diagnosis tidak
pasti. Observasi adalah pilihan yang sesuai jika tindak lanjut belum bisa
dipastikan, dan agen antibakteri dimulai jika gejala tetap ada atau bertambah
buruk. Gejala ringan adalah otalgia ringan dan demam <39°C pada 24 jam
pertama. Gejala berat adalah otalgia sedang sampai berat atau demam 39°C.
Pilihan antibiotik yang dapat digunakan adalah amoksisilin, kombinasi
amoksisilin dengan klavulanat, dan seftriakson.1

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


32

2.8. Komplikasi
Pada OMA, komplikasi yang terjadi dapat berupa gangguan pendengaran yang
bersifat ringan dapat terjadi akibat efusi telinga tengah yang persisten, biasanya
konduktif dan bersifat sementara. Gangguan pendengaran sensorineural dapat
juga terjadi sebagai komplikasi dari OMA, tetapi jarang sekali terjadi. Komplikasi
lain adalah mastoiditis, petrositis, labirinitis dan parese nervus fasialis. Di negara-
negara berkembang, infeksi supuratif seperti mastoiditis dan meningitis tetap
menjadi komplikasi yang penting OMA, walaupun angka ini sudah jauh
berkurang setelah adanya era antibiotik. Pada kasus OMA yang telah diberi
antibiotik, efusi di telinga tengah dapat bertahan selama berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan , hal ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang
dapat menyebabkan gangguan perkembangan bicara, bahasa dan kognitif anak,
terutama bila terjadi pada anak usia di bawah 2 tahun.5-8,10

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


33

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. KERANGKA TEORI


Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan patofisiologi terjadinya OMA sebagai berikut:

Faktor Pejamu
Faktor Lingkungan -Usia
-Pengguna susu botol -Jenis kelamin
dan posisi saat minum -Predisposisi genetik
susu -Abnormalitas anatomi
-Pengguna dot -Disfungsi fisiologis: gangguan
fungsi tuba,LPR

Gangguan fungsi TE tekanan(-)TT efusi

Faktor Pejamu
-Status Gizi
-Imunisasi
-Alergi
Faktor Agen
-ASI
-Bakteri
-ISPA
-Virus

Faktor Sosiodemografi
-Kepadatan penduduk dan
OMA
lingkungan tempat tinggal
-Pengguna sarana

sembuh OME OMSK

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


34

3.2. KERANGKA KONSEP


Berdasarkan tujuan penelitian dan untuk menjawab masalah penelitian, disusun
kerangka konsep berdasarkan kerangka teori sebelumnya, sebagai berikut:

Faktor Pejamu
 Usia
 Jenis kelamin
 Riwayat pemberian ASI
 ISPA
 Rinitis alergi
 Abnormalitas anatomi ( palatoskizis)
 Status gizi
 Imunisasi

Faktor Lingkungan
OMA
 Penggunaan dot
 Pajanan asap rokok
 Pengguna susu botol dan posisi saat
minum susu

Faktor Sosiodemografi
 Lingkungan tempat tinggal
 Pendapatan

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


35

3.3. JENIS PENELITIAN


Penelitian ini bersifat deskriptif potong lintang dan merupakan bagian dari
penelitian “Profil Otitis Media” untuk mengetahui prevalensi dan gambaran
karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta
Timur.

3.4. POPULASI DAN SUBYEK PENELITIAN


3.4.1. Populasi penelitian
Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh anak-anak (sampai usia 18 tahun)
yang berada di Jakarta dan yang merupakan populasi terjangkau dari penelitian ini
adalah seluruh seluruh anak-anak sampai usia 18 tahun yang berada di Kotamadya
Jakarta Timur. Populasi terpilih merupakan subyek penelitian yang terpilih dari
metode pemilihan subyek.

3.4.2. Subyek penelitian


Subyek penelitian ini dipilih secara multistage stratified random sampling, yaitu
memilih penduduk yang akan dijadikan subyek penelitian dari kecamatan yang
distratifikasi berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan
dengan memilih kelurahan secara acak. Subyek penelitian pada tingkat kelurahan
terpilih, diambil secara acak berdasarkan nomor rumah.

3.4.3. Besar subyek penelitian


Penelitian dilakukan pada populasi anak usia 0-18 tahun di Kotamadya Jakarta
Timur. Didapatkan data dari Balai Pusat Statistik (BPS) jumlah anak usia 0-18
tahun di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2010 sebesar 893.841 orang.59

Penghitungan subyek penelitian dilakukan dengan menggunakan program EPI


INFO versi 6 untuk besar subyek penelitian pada survei populasi, dengan p 50%
dalam usia 0-18 tahun di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2010 sebesar 893.841

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


36

orang, maka didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 384 orang dengan
interval kepercayaan 95%.

Jumlah tersebut didapat dengan menggunakan rumus:

n= z21-α/2 P(1-P)N = 1,962.0,50(0,50)893841 = 384


2 2 2 2
d (N-1) + z 1-α/2 P(1-P) 0,05 (893841)+ 1,96 .0,50(0,50)

Jumlah subyek penelitian ditambahkan lagi 15% karena kemungkinan


ketidakberadaan atau masalah administrasi dari subyek penelitian, kemudian
ditambahkan lagi 15% karena kemungkinan adanya drop out, maka didapatkan
jumlah subyek penelitian minimal sebesar 508 orang dengan interval kepercayaan
95%. Berdasarkan asumsi setiap rumah rata-rata 2 anak, maka didapatkan jumlah
rumah yang harus disurvei adalah 254 rumah.

3.4.4. Metode pemilihan subyek penelitian


Penelitian ini dilakukan pada populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur, yang
merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di DKI Jakarta diantara 6
Kotamadya yang ada, sehingga penelitian ini dapat menggambarkan populasi DKI
Jakarta. Selain itu pemilihan Kotamadya Jakarta Timur berdasarkan heterogenitas
dan tingkat kepadatan penduduk. Subyek penelitian dipilih berdasarkan multistage
stratified random sampling. Jumlah penduduk Kotamadya Jakarta Timur tahun
2010 sebesar ± 2.693.896 penduduk dengan tingkat ekonomi dan kepadatan yang
beragam. Pemilihan acak pertama dilakukan untuk memilih 2 dari 10 kecamatan
di Kotamadya Jakarta Timur, pemilihan berdasarkan tingkat kepadatan penduduk
di setiap kecamatan. Didapatkan rata-rata kepadatan penduduk per kecamatan di
Jakarta Timur sebesar 11.692,68 km2. Berdasarkan kriteria tersebut diatas
pemilihan dilakukan di Kecamatan Kramat Jati dan Makasar masing-masing
mewakili kelompok kecamatan yang telah dikelompokkan berdasarkan tingkat
kepadatan kurang dari rata-rata dan lebih dari rata-rata.60

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


37

Selanjutnya dari masing-masing kecamatan terpilih, dilakukan pemilihan


kelompok subyek dengan memilih 1 kelurahan dari masing-masing kelompok
kecamatan. Kelurahan Cawang dari Kecamatan Kramat Jati dan Kelurahan
Cipinang Melayu dari Kecamatan Makasar. Pada tahap pemilihan subyek
penelitian digunakan spatial random sampling yaitu memilih subyek penelitian
berdasarkan nomor rumah yang didapat dengan menggunakan peta satelit.

Penelitian ini merupakan penelitian bersama dengan besar sampel maksimal


mencapai 548 orang dan asumsi setiap rumah rata-rata 2 anak, maka didapatkan
jumlah rumah yang harus disurvei adalah 274 rumah. Jumlah rumah yang harus
disurvei ditambahkan lagi 15% karena kemungkinan ketidakberadaan atau
masalah administrasi, kemudian ditambahkan lagi 15% karena kemungkinan
adanya drop out, maka didapatkan jumlah rumah yang akan disurvei sebanyak
364 rumah.

Untuk memenuhi jumlah subyek penelitian maka penentuan titik yang akan
disurvei ditentukan jumlahnya secara merata pada seluruh Rukun Warga (RW).
Untuk mendapatkan proporsi rumah yang merata setiap RW maka 408 rumah
dibagi kedalam 25 RW yang terdapat di 2 kelurahan. Penentuan titik secara
manual dengan mengacak salah satu titik awal, kemudian diacak arah
menggunakan putaran jarum dengan jarak yang ditentukan sesuai luas daerah peta
kelurahan.61

Berdasarkan besar subyek minimal terbanyak pada penelitian bersama maka kami
melakukan penelitian terhadap 408 rumah. (Algoritma 3.1)

3.5. KRITERIA SUBYEK PENELITIAN


3.5.1. Kriteria penerimaan
 Anak-anak yang bertempat tinggal di kotamadya Jakarta Timur yang

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


38

mendapatkan persetujuan dari orangtua/ wali dan menandatangani informed


consent

3.5.2. Kriteria penolakan


 Anak yang tidak kooperatif sehingga sulit untuk dilakukan pemeriksaan.
 Anak dengan sumbatan serumen yang tidak berhasil diekstraksi.
 Anak dengan atresia liang telinga dan stenosis liang telinga

Populasi Anak 0-18 tahun di Jakarta Timur


BPS 2010 893.841 orang, 10 Kecamatan

Dipilih berdasarkan:
 Multi stage stratified random
sampling
 Tingkat wilayah
 berdasarkan tingkat kepadatan
penduduk (di atas dan di bawah) Kecamatan terpilih
1.Kec. Kramat Jati
2.Kec. Makasar

Dipilih berdasarkan:
Random sampling
 1 Kelurahan dari masing-
masing kecamatan

Kelurahan terpilih
1.Kel. Cawang
2.Kel. Cipinang
Melayu

Dipilih berdasarkan:
 Spatial random sampling
 Berdasar nomor rumah

Jumlah Rumah
408 rumah

Ditentukan berdasarkan:
 Asumsi 2 orang anak/ rumah

Jumlah Sampel
511 subyek/ anak

Algoritma 3.1. Alur pemilihan subyek penelitian

Algoritma 3.1. Alur pemilihan subyek penelitian

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


39

3.6. PROSEDUR PENELITIAN


3.6.1. Alat
 Status penelitian (terlampir)
 Kuesioner penelitian yang telah diuji validasi (terlampir)
 Alat-alat pemeriksaan, seperti timbangan berat badan (dacin dan
timbangan digital), pengukur tinggi badan ( alat pengukur panjang badan
bayi dan microtoise), termometer, lampu kepala, pompa penghisap,
spekulum hidung, spatula lidah, otoskop yang memiliki penerangan 100
foot candles dan pembesaran 2-3 kali.
 Alat dokumentasi : video endoskop.

3.6.2. ALUR PENELITIAN


Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian “Profil Otitis Media” di
masyarakat Kotamadya Jakarta Timur. Penelitian ini telah mendapatkan
persetujuan Komisi Etik Penelitian Kesehatan FKUI/ RSCM (lampiran 2), serta
persetujuan administrasi wilayah setempat (Walikota, Kecamatan, Kelurahan,
RT/RW). Penelitian ini diawali dengan sosialisasi masalah kesehatan telinga di
masyarakat kepada kader dan pegawai Puskesmas setempat, dimana para kader
dan pegawai Puskesmas setempat membantu peneliti dalam mengumpulkan data.

Data dikumpulkan dalam kunjungan ke rumah subyek penelitian dengan bantuan


mahasiswa, kader dan petugas Puskesmas. Subyek dan atau orang tua subyek
penelitian diberikan penjelasan awal mengenai tujuan penelitian serta pentingnya
skrining kesehatan telinga di masyarakat, kemudian mereka yang setuju secara
sukarela akan diminta persetujuan dalam bentuk pengisian dan penandatanganan
lembar informed consent. Tahap selanjutnya pengisisan identitas subyek dan atau
orang tua subyek serta kuisioner penelitian dalam bentuk wawancara
terpimpin.(Algoritma 3.2)

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


40

Populasi anak usia 0-18 tahun di Kotamadya Jakarta Timur

Sampling pada rumah terpilih di Kecamatan di Kotamadya Jakarta Timur

Informed consent

Pengisian Kuesioner

Pemeriksaan THT

Otoskopi dan dokumentasi (Endoskop)


(e(Endoskop)
Serumen liang telinga  ekstraksi

OMA (+)* OMA (-)

*Terapi
Kunjungan rumah untuk memenuhi
jumlah subyek penelitian

Verifikasi kelengkapan dan kualitas

Pengolahan data menggunakan SPSS 17

Algoritma 3.2. Alur penelitian

Kuisioner yang digunakan pada penelitian ini telah melalui uji validasi internal
dan eksternal. Uji validasi internal dilakukan oleh para ahli THT untuk menilai
kelengkapan gejala dan tanda yang sesuai dengan penyakit yang akan dievaluasi
pada masyarakat. Uji validasi eksternal dilakukan pada 30 orang non subyek

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


41

penelitian pada daerah yang sama, sehingga bentuk pertanyaan yang akan
diajukan dapat diaplikasikan kepada subyek penelitian.

3.6.3. MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA


Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir laporan penelitian yang telah
disiapkan, dilakukan verifikasi dengan melakukan konfirmasi ke subyek
penelitian dan atau orang tua subyek penelitian mengenai data yang tidak lengkap
sebelum dimasukkan ke dalan data base komputer. Data yang sudah ada diolah
menggunakan SPSS 17, untuk mencari distribusi frekuensi.

Semua data yang diperoleh dan telah dicatat dalam formulir laporan penelitian
yang telah disiapkan, dilakukan verifikasi terlebih dahulu dengan melakukan
konfirmasi ke subyek penelitian dan atau orang tua subyek penelitian mengenai
data yang tidak lengkap, kemudian dimasukkan ke dalam data base komputer.
Data yang sudah ada ditransfer dan diolah menggunakan SPSS 18.0, kemudian
dilakukan verifikasi ulang dan analisis data secara deskriptif untuk mencari
distribusi frekuensi.

3.7. WAKTU PENELITIAN


Waktu pengumpulan data dilakukan selama periode April-Juni 2012 setelah lulus
uji etik penelitian hingga jumlah seluruh subyek penelitian terpenuhi.

3.8. DEFINISI OPERASIONAL


- Anak-anak
Definisi : usia kurang dari 18 tahun (menurut WHO).

- Otitis media akut


Definisi suatu peradangan pada telinga tengah dengan onset akut, yang
ditandai dengan adanya cairan, dan atau tanda inflamasi di telinga
tengah.10,11

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


42

Prosedur Anamnesis ditanyakan keluhan rasa sakit di telinga atau


memegang/ menarik telinga (pada bayi) , demam, keluar cairan
dari telinga, penurunan pendengaran, diare, muntah dan riwayat
ISPA dalam 2 minggu terakhir. Ditanyakan sudah berapa lama
keluhan tersebut.
Didapatkan keluhan salah satu di atas dengan onset < 2 minggu.
Pemeriksaan membran timpani dengan otoskop yang memiliki
penerangan 100 foot candles dan pembesaran 2-3 kali.
Gambaran OMA pada membran timpani adalah yang retraksi atau
menonjol (bulging), berwarna opak atau keruh, atau kemerahan.
Alat Ukur : anamnesis/kuesioner, pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur : terdapat OMA atau tidak terdapat OMA.
Skala ukur : nominal.

- Usia
Definisi : umur dihitung dalam tahun dengan pembulatan ke bawah.
Perhitungan didasarkan pada kalender Masehi.
Alat ukur : kuesioner.
Hasil ukur : dalam tahun dan bulan.
Skala ukur : kategori.

- Riwayat ASI
Definisi : lama anak mendapat ASI.
Alat ukur : kuesioner (ditanyakan pada subyek di bawah usia 5 tahun).
Hasil ukur: minum ASI < 1 bulan, 1-5 bulan, 6-11 bulan, 12-17 bulan, 18-23
bulan, > 24 bulan.
Skala ukur : kategori.

- Riwayat infeksi saluran napas atas (ISPA)


Definisi : adanya riwayat batuk pilek dalam 1 bulan terakhir.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


43

Alat ukur : kuesioner.


Hasil ukur : terdapat ISPA atau tidak terdapat ISPA.
Skala ukur : nominal.

- Rinitis Alergi
Definisi : Kelainan pada hidung akibat reaksi inflamasi dengan mediator
IgE setelah paparan alergen pada mukosa hidung. Gejala rinore,
obstruksi hidung, gatal pada hidung dan bersin.62
Alat ukur : kuesioner (disadur dari kuesioner ISAAC fase II (lampiran 5))63
Hasil ukur : terdapat rinitis alergi atau tidak terdapat rinitis alergi.
Skala ukur : nominal.

- Palatoskisis
Definisi : kegagalan 2 sisi palatum durum untuk menyatu, karena kelainan
kongenital 64
Alat ukur : kuesioner, pemeriksaan fisik.
Hasil ukur : terdapat palatoskisis atau tidak terdapat palatoskisis.
Skala ukur : nominal

- Status Gizi
Definisi : Keadaan gizi subyek pada saat diperiksa. Subyek diperiksa,
kemudian status gizi ditentukan dengan menggunakan kurva
WHO CDC65
Alat ukur : timbangan berat badan dacin (untuk umur di bawah 5 tahun) dan
timbangan digital (untuk umur di atas 5 tahun), serta alat
pengukur panjang badan bayi (untuk bayi dan anak-anak yang
belum dapat berdiri), microtoise (untuk anak-anak yang sudah
dapat berdiri).
Hasil ukur : Gizi kurang, normal, lebih (obesitas).
Skala ukur : kategori.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


44

- Imunisasi
Definisi : Riwayat pemberian imunisasi.
Alat ukur : kuesioner.
Hasil ukur : mendapat imunisasi dasar lengkap atau tidak lengkap.
Skala ukur : nominal.

- Penggunaan dot
Definisi : penggunaan dot baik yang diberikan sejak lahir maupun setelah
ASI.
Alat ukur : kuesioner (ditanyakan pada subyek di bawah usia 5 tahun).
Hasil ukur : menggunakan dot atau tidak menggunakan dot.
Skala ukur : nominal.

- Pengguna susu botol dan posisi saat minum susu


Definisi : minum susu botol dengan posisi duduk atau tidur.
Alat ukur : kuesioner (ditanyakan pada percontoh di bawah usia 5 tahun)
Hasil ukur : minum susu botol dengan posisi duduk, minum susu botol dengan
posisi tidur.
Skala ukur : nominal

- Pajanan asap rokok


Definisi : adanya anggota penghuni rumah yang merokok di dalam rumah
(perokok pasif), maupun perokok aktif
Alat ukur : kuesioner
Hasil ukur : terpapar asap rokok atau tidak terpapar asap rokok
Skala ukur : nominal

- Lingkungan Tempat Tinggal

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


45

Definisi : Daerah tempat tinggal yang dikategorikan berdasarkan tingkat


kepadatan menurut BPS60
Alat ukur : Alamat tempat tinggal disesuaikan dengan data BPS
Hasil ukur : daerah padat atau daerah tidak padat
Skala ukur : nominal

- Pendapatan
Definisi : Jumlah penghasilan keluarga selama sebulan
Alat ukur : kuesioner (berdasarkan data dari BPS)60
Hasil ukur : < Rp. 1.800.000, > Rp. 1.800.000
Skala ukur : nominal

3.9 HAMBATAN PENELITIAN


1. Pada persiapan penelitian didapatkan kesulitan dalam pemilihan rumah
percontoh, dikarenakan ketidaktersediaan data peta daerah penelitian yang
terbaru.
2. Kurangnya peran serta masyarakat dalam penelitian ini untuk datang ke
tempat pemeriksaan.
Hambatan ini diatasi dengan mengikut sertakan kader Puskesmas, dan untuk
rumah berubah fungsi atau kosong penghuni, dipilih rumah yang bersebelahan.

3.10 ETIKA PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan sesuai dengan etika penelitian yang digunakan oleh
seluruh peneliti, mengacu pada Deklarasi Helsinski. Pertama, penelitian ini
memperhatikan asas Respect for autonomy, dimana seluruh subyek penelitian
diberi penjelasan tentang prosedur pemeriksaan dan tujuan penelitian. Subyek
penelitian mengikuti penelitian ini secara sukarela dan perlakuan pada subyek
penelitian dimulai setelah subyek penelitian menandatangani informed consent.
Salah satu manfaat penelitian ini adalah masyarakat mengetahui secara langsung

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


46

status kesehatan THT dan pada subyek penelitian yang terdapat serumen pada
liang telinga dapat langsung ditangani (beneficience).

Asas non maleficience dan justice juga digunakan pada penelitian ini yaitu
subyek penelitian tidak akan memperparah penyakit atau menimbulkan kesakitan
pada subyek penelitian. Populasi maupun subyek penelitian yang tidak termasuk
dalam subyek penelitian tetapi ingin diperiksa, akan diperiksa. Subyek penelitian
yang ditemukan mengalami kelainan akan diterapi sesuai dengan penyakitnya
dan dianjurkan untuk berobat kembali ke Puskesmas/Rumah Sakit rujukan
setempat dengan membawa keterangan hasil pemeriksaan. Data yang didapatkan
dari masyarakat ini ditujukan untuk kepentingan seluruh warga negara,
komunitas dan masyarakat tanpa membedakan ras, agama dan status sosial
sebagai data awal untuk pengembangan kesehatan telinga berbasis masyarakat.66

3.11 ORGANISASI PENELITIAN

Peneliti : dr. Sakina Umar


Tim Peneliti : dr. Yadita Wira Pasra
dr. Gustav Syukrinto
dr. Dwi Agustawan Nugroho
dr. Riza Rizaldi
Pembimbing Otologi : DR. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL(K)
dr. Harim Priyono, Sp.THT-KL
Pembimbing THT Komunitas : dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K)
Pembimbing statistik : dr. Muchtaruddin Mansyur, SpOK, phD

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


47

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan survei di populasi yang bersifat potong lintang deskriptif
dan merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di wilayah Kodya
Jakarta Timur. Pengambilan subyek dilakukan pada tanggal 4 Mei sampai dengan
tanggal 18 Juni 2012. Subyek adalah populasi anak usia sampai dengan 18 tahun
yang bertempat tinggal di wilayah Kodya Jakarta Timur. Subyek yang diambil
sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan yang sudah ditetapkan
sebelumnya.

Selama periode penelitian yang dilakukan di Kelurahan Cipinang Melayu dan


Cawang, terdapat subyek penelitian dari 408 rumah yang bersedia mengikuti
proses penelitian. Awalnya direncanakan 364 rumah, pada saat pelaksanaan
ternyata asumsi 2 anak per rumah tidak tercapai, kemudian dilakukan lagi
pengacakan tambahan 128 rumah. Jumlah 128 rumah ini didapatkan dari jumlah
rumah yang kurang yaitu 97 rumah, kemudian ditambahkan 15% karena
kemungkinan ketidakberadaan atau masalah administrasi dan ditambahkan lagi
15% karena kemungkinan adanya drop out. Dari 492 target rumah, didapatkan
populasi dari 408 rumah yang bersedia mengikuti penelitian ini. Subyek dari
penilitian ini adalah 1565 orang yang terdiri atas dewasa dan anak-anak bersedia
diwawancara dan melakukan pengisian kuesioner, hanya 1360 orang (86,9%)
yang lanjut ke pemeriksaan fisik THT. Dari 1360 subyek tersebut, didapatkan
sejumlah 511 anak dengan rentang usia 0-18 tahun. Terdapat 9 anak dengan
serumen prop yang tidak berhasil diekstraksi saat pemeriksaan sehingga
dikeluarkan dari penelitian. Akhirnya diperoleh jumlah subyek sebesar 502 anak.

Subyek penelitian menjalani serangkaian pemeriksaan fisik umum berupa


pengukuran berat badan, tinggi badan, dan suhu badan serta pemeriksaan THT.
Pemeriksaan telinga dilakukan menggunakan otoskop oleh staf ahli otologi dan
didokumentasikan dengan video kamera.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


48

4.1. Karakteristik subyek di Kodya Jakarta Timur

Diagram 4.1.1. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan usia (N = 502)

Tabel 4.1.1. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan karakteristik (N = 502)

Karakteristik Kelompok N(502) %


Klasifikasi usia 2 bulan - < 2 tahun 44 8,76
2-5 tahun 71 14,14
5-12 tahun 253 50,39
12-15 tahun 83 16,53
15-18 tahun 51 10,16
Jenis Kelamin Laki-laki 253 50,39
Perempuan 249 49,61
Pendapatan Keluarga di atas Rp. 1.800.000 275 54,78

di bawah Rp. 1.800.000 227 45,22

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


49

Tabel 4.1.2. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan karakteristik pendidikan dan


pekerjaan orang tua subyek (N = 502)

Karakteristik Kelompok N(502) %


Pendidikan Ayah PT 76 15,14

Akademi 31 6,18

SLTA 286 56,97

SLTP 67 13,35

SD 40 7,97

tidak sekolah 2 0.39

Pekerjaan Ayah Buruh tani 81 16.13

Karyawan swasta 229 45,62

PNS/TNI/Polri 38 7,57

tidak bekerja 8 1,59

Wiraswasta 146 29,08

Pendidikan Ibu PT 64 12,75

Akademi 39 7,77

SLTA 252 50.19

SLTP 92 18,33

SD 46 9,16

tidak sekolah 9 1,79

Pekerjaan Ibu Buruh tani 3 0,59

Karyawan swasta 63 12,55

PNS/TNI/Polri 29 5,78

Ibu rumah tangga 336 66,93

Wiraswasta 70 13,94

Penelitian ini melibatkan 502 subyek. Subyek penelitian berusia 2,4 bulan sampai
18 tahun terbagi dalam lima klasifikasi usia dengan jumlah terbanyak pada

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


50

klasifikasi usia 5 – 12 tahun (50,39%). Jumlah subyek berjenis kelamin laki-laki


(50,39%) lebih banyak dibandingkan dengan perempuan (49,61%). Sebagian
besar tingkat pendidikan ayah dan ibu subyek penelitian adalah SLTA (56,97%
dan 50,19%). Sebagian besar pekerjaan ayah subyek penelitian (45,62%)
merupakan karyawan swasta dan ibu subyek penelitian (66,93%) ibu rumah
tangga, dengan penghasilan keluarga di atas Rp. 1.800.000,- per bulan (54,78%)
lebih banyak dibandingkan di bawah Rp. 1.800.000,- per bulan (45,22%).

4.2. Prevalensi OMA


Pada penelitian ini didapatkan kasus OMA sebesar 27 dari 502 subyek. Dengan
demikian prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur tahun
2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi anak Kotamadya
Jakarta Timur adalah 5,38%.

Tabel 4.2.1. Sebaran frekuensi subyek berdasarkan kategori diagnosis (N=502)

Karakteristik Kelompok N(502) %


Diagnosis Gangguan fungsi tuba 7 1,39
Normal 451 89,84
OMA 27 5,38
OME 6 1,19
OMSK 11 2,19

4.3. Gambaran karakteristik faktor risiko OMA


Karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta
Timur disajikan dalam tabel 4.3.1.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


51

Tabel 4.3.1. Karakteristik faktor risiko OMA pada anak-anak


di Kodya Jakarta Timur (N=27)

Kategori Kelompok OMA


N(27) %
klasifikasi usia 2 bulan - < 2 tahun 8 29,63
2-5 tahun 12 44,44
5-12 tahun 6 22,22
12-15 tahun 0 0
15-18 tahun 1 3,70

Jenis Kelamin Laki-laki 19 70,37


Perempuan 8 29,63
ISPA Ya 18 66,67
Tidak 9 33,33
Rhinitis Alergi Ya 0 0

Tidak 27 100,00
Status Gizi Kurang 15 55,56
Normal 10 37,04
Lebih 2 7,40
Pajanan asap rokok Ya 19 70,37
Tidak 8 29,63
Kepadatan Cawang (padat) 17 62,96
Cip melayu (kurang padat) 10 37,04

Pendapatan RT di bawah Rp. 1.800.000 16 59,26


di atas Rp. 1.800.000 11 40,74

Pada penelitian ini, jumlah terbanyak subyek penderita OMA didapatkan pada
kelompok usia 2 -5 tahun (44,44%), dengan sebagian besar berjenis kelamin laki-
laki (70,37%) dan tergolong status gizi kurang (55,56%). Subyek penderita OMA
yang memiliki gejala batuk pilek sebesar 66,67% dan tidak ada yang mendapatkan
gejala rinitis alergi. Sebagian besar subyek penderita OMA mendapatkan pajanan
asap rokok (70,37%) dan tinggal di kawasan padat penduduk (62,96% ) di
kelurahan Cawang dengan penghasilan keluarga di bawah Rp. 1.800.000,- per
bulan (59,26%).

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


52

Tabel 4.3.2. Karakteristik faktor risiko OMA pada anak-anak di bawah 5 tahun
di Kodya Jakarta Timur (N=20)

Kategori Kelompok OMA


N(20) %
ASI Ya 17 85.00%
Tidak 3 15.00%

Lama pemberian ASI < 1 bl 3 15.00%

1-5 bl 1 5.00%

6-11 bl 6 30.00%

12-17 bl 3 15.00%

18-23 bl 4 20.00%

>24 bl 3 15.00%

Susu botol Ya 13 65.00%


Tidak 7 35.00%

Posisi pemberian Berbaring 14 70.00%


Susu Duduk 6 30.00%

Pemakaian Dot Ya 10 50.00%

Tidak 10 50.00%

Imunisasi Tidak lengkap 2 10.00%


Lengkap 18 90.00%

Pada penelitian ini, sebagian besar (85%) subyek penderita OMA dengan usia di
bawah 5 tahun mendapatkan ASI dengan lama pemberian ASI terbanyak selama
6–11 bulan (30%). Subyek penderita OMA dengan usia di bawah 5 tahun yang
mendapatkan susu botol sebesar 65%, sebagian besar (70%) diberikan susunya
dengan posisi berbaring. Separuh (50%) subyek penderita OMA dengan usia di
bawah 5 tahun menggunakan dot dan sebagian besar (90%) mendapatkan
imunisasi lengkap.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


53

Karakteristik keluhan penderita OMA disajikan dalam tabel 4.3.3, 4.3.4, dan
4.3.5.

Tabel 4.3.3. Karakteristik keluhan penderita OMA pada anak-anak


di Kodya Jakarta Timur (N=485)

Keluhan OMA Non OMA p OR(IK=95%)


N(27) % N(458) %
Demam
Ya 5 18,52 30 6,55 0,037 3,24 (1,15-9,17)
Tidak 22 81,48 428 93,45
Penurunan
pendengaran
Ya 0 0 15 3,28 1,000 1,06 (1,04-1,09)
Tidak 27 100,0 443 96,72

Tabel 4.3.4. Karakteristik keluhan penderita OMA pada anak-anak di atas 5 tahun
di Kodya Jakarta Timur (N=373)

Keluhan OMA Normal p OR(IK=95%)


N(7) % N(366) %
Nyeri telinga
Ya 2 28,57 39 10,66 0,174 3,35 (0,63-17,87)
Tidak 5 71,43 327 89,34
Telinga penuh
Ya 0 0 15 4,10 1,000 1,02 (1,00-1,04)
Tidak 7 100,0 351 95,90

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


54

Tabel 4.3.5. Karakteristik keluhan penderita OMA pada anak-anak di bawah 5


tahun di Kodya Jakarta Timur (N=112)

Keluhan OMA Normal p OR(IK=95%)


N(20) % N(92) %
Memegang/ tarik
telinga
Ya 7 35,00 13 14,13 0,048 3,27 (1,10-9,73)
Tidak 13 65,00 79 85,87

Berdasarkan karakteristik keluhan penderita OMA terhadap kejadian OMA,


didapatkan keluhan demam secara statistik bermakna (p=0,037;OR=3,24), dan
keluhan memegang/ menarik telinga pada balita juga bermakna
(p=0,048;OR=3,27).

4.4. Hubungan faktor-faktor risiko dengan angka kejadian OMA


Besar subyek penelitian yang berhasil dikumpulkan pada penelitian,
memungkinkan pengolahan data yang diperoleh untuk dianalisis secara bivariat.
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel yang
secara teoritis merupakan faktor risiko terhadap OMA. Dengan demikian OME
dan OMSK tidak disertakan dalam analisis. Berdasarkan kriteria tersebut 485
subyek penelitian yang disertakan dalam analisis. Hasil analisis hubungan faktor
risiko OMA dengan angka kejadian OMA pada anak-anak disajikan dalam tabel
4.4.1, tabel 4.4.2, dan tabel 4.4.3.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


55

Tabel 4.4.1. Analisis hubungan faktor risiko dengan angka kejadian OMA pada
anak-anak di Kodya Jakarta Timur (N=485)

Faktor OMA Normal Total P OR (IK 95%)


Risiko N(27) % N(458) % N(485) %

Usia
(tahun)
0,2 - < 5
20 74,07 92 20,09 112 23,09 <0,001 11,36 (4,66-27,69)
> 5
7 25,93 366 79,91 373 76,91
Jenis
Kelamin
Laki-laki 19 70,37 223 48,69 242 49,89 0,029 2,50 (1,07-5,83)
Prempuan 8 29,63 235 51,31 243 50,11

ISPA
Ya 18 66.67 57 12,45 75 15,46 <0,001 14,07 (6,03-32,8)
Tidak 9 33.33 401 87,55 410 84,54

Rhinitis
Alergi
Ya 0 0.00 29 6,33 29 5,98 0,394 1,06 (1,04-1,09)
Tidak 27 100.00 429 93,67 456 94,02

Pajanan
asap
Ya 19 70,37 239 52,18 258 53,19 0,066 2,18(0,93-5,07)
Tidak 8 29,63 219 47,82 227 46,81
Kepadatan
Cawang 17 62,96 181 39,52 198 40,82 0,016 2,60 (1,16-5,81)
(padat)
Cipinang 10 37.04 277 60,48 287 59,18
melayu
Pendapa-
tan RT
di bawah 16 59.26 204 44,54 220 45,36 0,135 0,55 (0,25-1,22)
1.800.000
di atas 11 40,74 254 55,46 265 54,64
1.800.000

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


56

Usia merupakan salah satu faktor risiko OMA, pada penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna (p < 0.001) untuk terjadinya OMA, dengan
sebagian besar (74,07%) anak yang menderita OMA adalah kelompok usia di
bawah 5 tahun. Kelompok ini memiliki risiko 11,36 kali lebih besar untuk
terjadinya OMA dibandingkan dengan kelompok usia di atas 5 tahun.

Jenis kelamin menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan kejadian


OMA, dimana jumlah penderita OMA laki-laki 70,37% (p= 0,029 dan OR=2,50).
Anak laki-laki memiliki risiko untuk menderita OMA 2,50 kali lebih besar
dibandingkan perempuan.

Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar anak yang mempunyai riwayat
ISPA dalam 1 bulan terakhir (66,97%) tejadi pada anak-anak dengan OMA,
sebaliknya pada kelompok anak yang tidak menderita OMA hampir seluruh
(87,55%) anak tidak mempunyai riwayat ISPA dalam 1 bulan terakhir.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor
risiko ISPA dengan kejadian OMA (p< 0,001). Kelompok anak dengan riwayat
ISPA memiliki risiko untuk menderita OMA 14,07 kali dibandingkan anak yang
tidak memempunyai riwayat ISPA.

Rinitis alergi tidak menunjukkan hubungan bermakna terhadap terjadinya OMA


(p=0,394;OR=1,06). Pada seluruh penderita OMA, tidak didapatkan faktor risiko
rinitis alergi.

Pada penelitian ini, kepadatan juga merupakan faktor risiko yang mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian OMA, dengan sebagian besar
(62,96%) anak yang menderita OMA bertempat tinggal di lingkungan yang
kepadatannya lebih tinggi (p= 0,016). Kelompok ini memiliki risiko 2,6 kali lebih
besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan kelompok anak yang tinggal di
lingkungan yang kepadatannya kurang.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


57

Pajanan asap rokok dan pendapatan rumah tangga memiliki kecenderungan untuk
menyebabkan OMA (p< 0,25) sehingga memenuhi syarat untuk disertakan dalam
analisis multivariat.

Pada penelitian ini, dilakukan juga penghitungan kemaknaan hubungan status gizi
dengan angka kejadian OMA. Hasil analisis tersebut disajikan dalam tabel 4.3.4.

Tabel 4.4.2. Analisis hubungan status gizi dengan angka kejadian OMA pada
anak-anak (N=416)

Faktor OMA Normal Total p OR (IK 95%)


N(27) N(389) % %
Risiko % N(416)

Status Gizi

Kurang 15 55,56 186 47,81 201 48,32 0.436 1.36 (0.62-2.99)

Normal- 12 44,44 203 52,19 215 51,68


Lebih

Berdasarkan hasil penelitian ini, hubungan faktor risiko gizi tidak bermakna
dengan angka kejadian OMA. Jumlah subyek yang dapat digunakan pada
penelitian ini sebesar 416 subyek.

Pada anak usia di bawah 5 tahun dilakukan juga analisis hubungan beberapa
faktor risiko dengan angka kejadian OMA. Hasil analisis tersebut disajikan dalam
tabel 4.3.5.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


58

Tabel 4.4.3. Analisis hubungan faktor risiko dengan angka kejadian OMA pada
balita di Kodya Jakarta Timur (N=112)

Faktor OMA N Total P OR (IK 95%)


Risiko N(20) % N(92) % N(112) %
ASI
Ya 17 85 87 94,57 104 92,86 0,151 0,33 (0,71-1,49)
Tidak 3 15 5 5,43 8 7,14

Lama
ASI
< 6 bl 4 20 15 16,30 19 16,96 0,795 0,45 (0,15-1,37)
6-12 bl 9 45 49 53,26 58 51,79
>12 bl 7 35 28 30,43 35 31,25

Susu
Botol
Ya 13 65 50 54,35 63 56,25 0,384 1,56 (0,57-4,27)
Tidak 7 35 42 45,65 49 43,75

Posisi
Berbari 14 70 77 83,69 91 81,25 0,204 0,45 (0,15-1,37)
ng
Duduk 6 30 15 16,31 21 18,75

Pakai
Dot
Ya 10 50 37 40,22 47 41,96 0,422 1,49 (0,56-3,92)
Tidak 10 50 55 59,78 65 58,04

Imunis
asi
tidak 2 10 10 10,87 12 10,71 1,000 0,91 (0,18-4,52)
lengkap
Lengkap 18 90 82 89,13 100 89,29

Faktor risiko ASI, penggunaan susu botol, posisi pemberian susu, pemakaian dot,
dan imunisasi tidak menunjukkan hubungan bermakna terhadap terjadinya OMA.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


59

4.5. Faktor determinan penyebab OMA


Untuk mengetahui faktor mana yang dominan berhubungan dengan kejadian
OMA maka perlu dilakukan analisis multivariat. Analisis multivariat dilakukan
dengan mengunakan regresi logistik pada program SPSS.

Tabel 4.5.1. Faktor determinan penyebab OMA pada anak-anak di Kodya Jakarta
Timur (N=485)

Faktor Risiko OMA Normal p OR suaian


N(27) N(458) (IK 95%)
Klasifikasi usia
0,2 - < 5 tahun 20 92 <0,001 10,0 (3,81-26,79)
> 5 tahun 7 366

Jenis kelamin
Laki-laki 19 223 0,062 2,50(0,96-6,57)
Perempuan 8 235

ISPA
Ya 18 57 <0,001 10,1(3,97-25,20)
Tidak 9 401
Pajanan asap rokok
Ya 19 239 0,688 1,23 (0,45-3,41)
Tidak 8 219
Kepadatan
Cawang (padat) 17 181 0,080 2,39 (0,90-6,33)
Cipinang melayu 10 277

Pendapatan RT
di bawah 16 204 0,707 1,19(0,47-3,03)
Rp 1.800.000
di atas 11 254
Rp 1.800.000

*suaian antar variabel


*koefisien determinan (r2): 0,410

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


60

Berdasarkan analisis regresi logistik yang telah dilakukan dapat disimpulkan


bahwa dari keempat variabel yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian
OMA yaitu usia, jenis kelamin, riwayat ISPA dan kepadatan tempat tinggal dan
kedua variabel yang memiliki kecenderungan untuk menyebabkan OMA yaitu
pajanan asap rokok dan pendapatan rumah tangga, ternyata variabel usia dan
riwayat ISPA yang secara bermakna berhubungan dengan kejadian OMA pada
anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Dari hasil nilai OR berarti anak-anak
yang usianya di bawah 5 tahun memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk
terjadinya OMA dibandingkan dengan anak-anak yang usianya di atas 5 tahun.
Begitupun dengan anak-anak yang memiliki riwayat ISPA dalam 1 bulan terakhir
berpeluang 10,10 kali dibandingkan dengan anak-anak yang tidak memiliki
riwayat ISPA. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa faktor risiko usia dan
riwayat ISPA merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kejadian
OMA.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


61

BAB V
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai “Profil Otitis Media” di
Kotamadya Jakarta Timur, yang diharapkan dapat dilakukan di skala yang lebih
besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional.

Penelitian ini melibatkan berbagai struktur terkait, administrasi pemerintahan,


pusat kesehatan masyarakat, dan juga peran kader puskesmas sebagai mitra
masyarakat, serta tokoh masyarakat. Keadaan ini menunjukan bahwa untuk
penanggulangan masalah kesehatan dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak,
tidak hanya pihak medis tetapi juga struktural.

Subyek penelitian dipilih berdasarkan multistage stratified random sampling.


Pada tahap pemilihan subyek penelitian digunakan spatial random sampling yaitu
memilih subyek penelitian berdasarkan nomor rumah yang didapat dengan
menggunakan peta satelit. Keuntungan menggunakan metode ini, kami
mendapatkan target subyek, tidak hanya penduduk tetap namun penduduk
musiman juga. Mengingat tingginya angka penduduk musiman dan mobilisasi
penduduk di Jakarta.

Kesulitan yang ditemui pada saat melakukan penelitian yaitu mengidentifikasi


rumah yang terpilih secara acak melalui satelit sebagai subyek penelitian, karena
rumah tersebut tidak disertai data yang lengkap seperti nama jalan atau nomer
rumah dan kadang rumah tersebut sudah berubah fungsi atau kosong
penghuninya. Kesulitan ini telah diatasi dengan cara bekerja sama dengan kader
Puskesmas yang berdomisili di RW tempat rumah itu berada, yang mengenal baik
situasi setempat, sehingga rumah lebih cepat dapat teridentifikasi. Untuk rumah
yang sudah berubah fungsi atau kosong penghuni, rumah yang bersebelahan dapat
digunakan sebagai subyek penelitian.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


62

Kesulitan lain yang ditemui adalah memotivasi subyek penelitian untuk mengikuti
kegiatan penelitian. Hal ini disebabkan antara lain waktu yang tidak tersedia untuk
mengikuti kegiatan penelitian serta belum memahami sepenuhnya maksud dan
tujuan penelitian ini. Masalah geografis juga menjadi kendala, seperti tempat
tinggal yang jauh dari Puskesmas Kelurahan. Kesulitan ini telah diatasi dengan
mengikut sertakan para kader dalam kegiatan penelitian, sehingga mereka dapat
membantu dalam memberikan penjelasan kepada subyek penelitian. Untuk
masalah geografis telah diatasi dengan melaksanakan kegiatan penelitian berupa
pemeriksaan fisik di daerah RW setempat (sweeping), terutama di daerah-daerah
dengan jumlah ketidak hadiran subyek yang besar pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik di Puskesmas Kelurahan, sehingga subyek dengan mudah dapat
mengikuti kegiatan penelitian.

Angka subyek penelitian yang drop out pada penelitian ini adalah 241 subyek
(13%), hal ini menggambarkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam
membantu program kesehatan ini dan juga kemungkinan karena waktu
pengumpulan data yang singkat. Hal ini sudah diantisipasi sebelumnya dengan
menambah jumlah subyek penelitian sebesar 15% untuk kemungkinan
ketidakberadaan atau masalah administrasi, dan ditambahkan lagi 15% untuk
kemungkinan adanya drop out.

Pengumpulan data melalui kuesioner juga mengalami kesulitan, informasi yang


didapatkan dari orang tua subyek atau subyek sendiri terkadang tidak memberikan
hasil yang sesuai, walaupun wawancara sudah dilakukan dengan cara wawancara
terpimpin. Hal ini dipengaruhi juga oleh tingkat pendidikan orang tua subyek
sebagian besar lulusan SLTA. Hal ini diatasi dengan melakukan konfirmasi dan
validasi kuesioner secara berulang.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


63

5.1. Prevalensi OMA


Hasil penelitian ini didapatkan prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya
Jakarta Timur sebesar 5.38 %, dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia
2-5 tahun. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan angka
kejadian OMA. Prevalensi OMA di tiap-tiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3
- 20%. Studi epidemiologi untuk OMA di negara-negara berkembang pun sangat
jarang. Di Thailand, Prasansuk dikutip dari Bermen5 melaporkan bahwa
prevalensi OMA pada anak-anak yang berumur kurang dari 16 tahun pada tahun
1986 sampai 1991 sebesar 0,8%. Di Nigeria, Amusa, Ijadunola dan Onayade
melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak di bawah 12 tahun pada
tahun 2005 sebesar 11,8 %.

Angka yang cukup tinggi pada penelitian ini jika dibandingkan dengan studi
epidemiologi di Thailand tersebut, kemungkinan dihubungkan dengan masih
tingginya angka prevalensi ISPA di DKI Jakarta yaitu sebesar 22,6% berdasarkan
Riset kesehatan dasar 2007. Sedangkan cukup rendah bila dibandingkan dengan
studi epidemiologi di Nigeria, yang memiliki angka prevalensi ISPA sebesar
37,4%.67

Strategi penatalaksanaan terintegrasi oleh pihak medis dan struktural, dengan cara
preventif, promotif dan kuratif perlu dilakukan untuk menurunkan angka
prevalensi ini. Berdasarkan hasil penelitian ini tindakan preventif yang dapat
dilakukan adalah dengan mengurangi tingkat kepadatan penduduk dengan
program transmigrasi dan menggalakkan program Keluarga Berencana untuk
membatasi jumlah anak dalam suatu keluarga, dan penyuluhan pentingnya
menghindari penularan penyakit infeksi yang sering terjadi pada masyarakat
dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Penyuluhan berupa pentingnya ASI dan
juga menghindari pajanan rokok juga perlu dilakukan. Subyek yang mengalami
OMA, diharapkan orang tuanya memiliki kesadaran untuk membawa anaknya
berobat ke pusat kesehatan, agar tidak terjadi komplikasi dari penyakit ini

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


64

terutama gangguan pendengaran dan gangguan bicara dan bahasa yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar, mengingat pada penelitian ini prevalensi tertinggi
pada kelompok usia 2-5 tahun dimana merupakan waktu saat anak belajar bicara.

5.2. Faktor-faktor risiko OMA


Pada penelitian ini diperoleh hasil gambaran karakteristik faktor risiko OMA pada
anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Berdasarkan analisis hubungan faktor-
faktor risiko dengan kejadian OMA secara bivariat, didapatkan faktor risiko usia,
jenis kelamin, riwayat ISPA, dan lingkungan tempat tinggal secara statistik
bermakna terhadap kejadian OMA. Pajanan asap rokok dan pendapatan rumah
tangga memiliki kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya OMA, akan tetapi
secara statistik tidak mempunyai kemaknaan. Pada anak-anak di bawah 5 tahun,
faktor risiko ASI, penggunaan susu botol, posisi pemberian susu, pemakaian dot,
dan imunisasi tidak menunjukkan hubungan bermakna terhadap terjadinya OMA.

Pada penelitian ini proporsi OMA terbanyak terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun
sebesar 44,4 %. Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat, usia di bawah 5
tahun merupakan faktor risiko yang paling bermakna dan dominan terhadap
kejadian OMA. Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun memiliki risiko 10 kali
lebih besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan usia di atas 5 tahun.

Berdasarkan kepustakaan, Stangerup dkk, Alho dkk, Pukander dkk, Rovers dkk
seperti dikutip oleh Bluestone10, Wang22 ,dan juga Zakzouk dkk23, menyatakan
faktor usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya OM. Stangerup dkk
dikutip oleh Bluestone10, menyatakan bahwa usia di bawah 5 tahun merupakan
faktor risiko terjadinya OMA, menurut Wang dkk usia 3-5 tahun. Zakzouk dkk23
menyatakan usia di bawah 4 tahun secara statistik bermakna terhadap risiko
terjadinya OMA jika dibandingkan usia 8 -12 tahun. Alho dkk, Pukander dkk,
Rovers dkk, menyatakan bahwa puncak prevalensi terjadinya otitis media pada
usia di bawah 2 tahun. Hasil ini juga didukung oleh tingginya prevalensi ISPA di

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


65

DKI Jakarta pada usia 1-4 tahun dan di bawah 1 tahun. Hal ini juga disebabkan
karena pada usia tersebut tuba Eustachius anak belum berkembang mencapai
ukuran dewasa, TE lebih pendek dan letaknya lebih datar/horisontal sehingga
sekret dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah.

Jenis kelamin laki-laki secara bermakna merupakan faktor risiko terhadap


kejadian OMA. Hasil penelitian ini sesuai studi yang dilakukan oleh Teele dkk
dikutip dari Bluestone10, Sipilia dkk dikutip dari Wang22 , dan Zakzouk dkk23. Hal
ini diduga berkaitan dengan pneumatisasi mastoid yang lebih kecil pada laki-laki,
pajanan polusi, infeksi saluran napas berulang serta trauma yang lebih sering
terjadi pada laki-laki. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Homoe dkk, dan
Lundgren dkk dikutip dari Wang22 menyatakan tidak adanya perbedaan bermakna
jenis kelamin terhadap faktor risiko OMA. Mekanisme yang masuk akal dan pasti
yang dapat menjelaskan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko terhadap
OMA sampai saat ini belum ada.

ISPA pada penelitian ini secara statistik bermakna sebagai faktor risiko penyebab
OMA, dan juga merupakan faktor risiko yang dominan, berdasarkan analisis
bivariat dan multivariat. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
membuktikan ini. Revai dkk36 menyatakan 30% dari ISPA menyebabkan OMA.
Chonmaitree dkk37 menyatakan insiden terjadinya otitis media yang disebabkan
oleh ISPA sebesar 61%, yaitu 37% OMA dan 24% OME.

Hal ini juga didukung kepustakaan yang menyatakan apabila terjadi ISPA, dapat
menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsi tuba Eustachius sehingga
menurunkan tekanan di telinga tengah diikuti masuknya bakteri dan virus ke
dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius mengakibatkan peradangan dan
efusi di telinga tengah. Berdasarkan data riskesdas 2007, ISPA merupakan urutan
ke-3 penyakit terbanyak di DKI Jakarta bahkan di Indonesia, angka prevalensinya
di Jakarta Timur sebesar 26,6% dan paling banyak terjada pada anak-anak

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


66

terutama di bawah usia 5 tahun. Jumlah penduduk yang padat di jakarta juga
mempengaruhi hal ini, karena penularan dari ISPA ini dan akhirnya dapat
mencetuskan terjadinya OMA.5,12,67

Pada penelitian ini lingkungan dengan kepadatan penduduk lebih tinggi secara
statistik bermakna sebagai faktor risiko terhadap OMA. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Yang dkk50 ,menunjukan bahwa tinggal di lingkungan yang lembab,
banjir, dan berjamur memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya
OMA. Dalam penelitian ini kelurahan Cawang merupakan daerah dengan tingkat
kepadatan tinggi dan juga merupakan daerah yang rawan banjir.

Pada penelitian ini pajanan asap rokok secara statistik tidak bermakna sebagai
faktor risiko terjadinya OMA (p=0,066;OR=2,18). Pada penelitian yang dilakukan
bersamaan dengan penelitian ini Rizaldi68, mendapatkan hanya 1 dari 5 anak
penderita OME dengan hasil kandungan kotinin positif pada urin. Sedangkan
penelitian oleh Strachan dkk45, dan meta analisis oleh Uhari dkk31 dan
pembahasan sistematik oleh Froom dkk9, menunjukkan bahwa pajanan asap rokok
memiliki hubangan yang bermakna terhadap OMA.

Kalau dilihat secara keseluruhan yaitu dari 502 subyek, terdapat 53,2% anak yang
terpajan asap rokok, dan pada anak-anak yang menderita OMA sebagian besar
(70,4%) terpajan asap rokok. Perlu diperhatikan bahwa pajanan asap rokok
merupakan salah satu faktor lingkungan yang memegang peranan penting dalam
meningkatkan insidensi terjadinya OMA. Data Riskesdas RI pada tahun 2007
menunjukkan bahwa sebanyak 69% rumah tangga memiliki pengeluaran untuk
rokok.67

Faktor pendapatan yang rendah pada penelitian ini tidak memberikan hasil yang
bermakna secara statistik dalam mempengaruhi terjadinya OMA (p=0,135;
OR=0,55). Penelitian Maharjan dkk48 menyatakan anak-anak dengan sosio-

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


67

ekonomi rendah di Nepal, memiliki prevalensi tinggi menderita otitis media. Studi
yang dilakukan oleh Smith dan Boss49, menyatakan anak-anak dengan sosio-
ekonomi kurang dapat meningkatkan risiko terjadinya OM. Hasil penelitian ini
tidak mendukung kepustakaan yang ada.

Rinitis alergi pada penelitian ini tidak memberikan hasil yang bermakna secara
statistik OMA (p=0,394;OR=1,06). Juntti dkk38 menyatakan bahwa anak dengan
riwayat alergi susu sapi, meningkatkan risiko terjadinya otitis media. Berdasarkan
kepustakaan dikatakan bahwa hubungan antara alergi dengan OM masih belum
diketahui dengan pasti. Pada anak kurang dari 4 tahun, sistem imun masih
berkembang, dan alergi tidak dapat berperan pada OMA rekuren pada kelompok
usia ini; pada penelitian ini mayoritas OMA terjadi pada usia di bawah 5 tahun.

Hasil ini juga dapat dikaitkan dengan teori hipotesis higiene, yang menyatakan
bahwa individu yang terpapar infeksi atau pada lingkungan dengan risiko paparan
infeksi memiliki kemungkinan lebih kecil untuk terjadinya reaksi hipersensitifitas.
Pada penelitian ini OMA lebih banyak terjadi pada lingkungan yang kepadatannya
lebih tinggi.39

Pengumpulan data berat badan dan tinggi badan subyek penelitian mengalami
hambatan pada saat penelitian dilakukan pada waktu sweeping rumah subyek satu
per satu, dimana kami mengalami kesulitan untuk melakukan pengukuran tersebut
secara akurat menggunakan alat yang terstandarisasi dan dinggap baku pada
penelitian ini. Hal ini menjadikan jumlah data yang dapat digunakan untuk
pengukuran status gizi dengan antropometri WHO pada penelitian ini hanya
sebesar 436 subyek (86,9%). Hasil penelitian ini menyatakan 55,6% subyek
penderita OMA tergolong status gizi kurang, dan 44,4 % termasuk gizi normal-
lebih, namun hubungan faktor risiko gizi secara statistik tidak bermakna dengan
angka kejadian OMA (p=0,436;OR=1,36).

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


68

Pada anak di bawah 5 tahun, faktor risiko ASI, penggunaan susu botol, posisi
pemberian susu, pemakaian dot, dan imunisasi juga dianalisis.

Pada penelitian ini ASI secara statistik tidak bermakna sebagai faktor risiko
terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, banyak penelitian yang menunjukan
bahwa pemberian ASI mencegah bayi terhadap OM, hal ini terjadi pada anak yang
mendapatkan ASI eksklusif pada 3-6 bulan pertama. Studi yang dilakukan oleh
Alho33, didapatkan bahwa menyusui <3 bulan mempunyai risiko peningkatan
terjadinya OMA dan OME sebanyak 20% sampai 60%. Studi metaanalisis oleh
Uhari, Mantysaari, dan Niemela31 menyimpulkan bahwa ASI selama paling tidak
3 bulan adalah proteksi dalam mengurangi risiko terjadinya OM. Sedangkan studi
berbasis komunitas di Nigeria tahun 2005 yang dilakukan oleh Amusa dkk14,
menyatakan bahwa tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian
ASI dengan otitis media. Pada penelitian ini, hampir seluruh subyek (92,8%)
mendapatkan ASI, namun interpretasi lebih lanjut tidak dapat dilakukan karena
tidak adanya informasi tentang apakah pola menyusui adalah eksklusif atau
parsial.

Pada penelitian ini pemberian imunisasi secara statistik tidak bermakna sebagai
faktor risiko terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, studi berbasis komunitas
di Nigeria tahun 2005 yang dilakukan oleh Amusa dkk14, tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara imunisasi dengan otitis media. Penelitian yang
dilakukan oleh Leibovitz dan Greenberg29 di Amerika Serikat tahun 2004,
menyatakan bahwa imunisasi dengan vaksin konjugasi pneumokokus pada bayi di
bawah 2 tahun telah menunjukan khasiat untuk pencegahan OMA pada
pneumokokus spesifik serotipe. Penelitian pada uji klinis yang dilakukan oleh
Karma28 di Finland, menyatakan vaksin konjugasi pneumokokus heptavalent
CRM 197 menurunkan angka OMA pneumokokus, vaksin influenza
memperlihatkan proteksi terhadap OMA selama epidemik virus.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


69

Di Indonesia imunisasi HiB dan Pneumococcal bukan merupakan imunisasi wajib


yang menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, hanya merupakan imunisasi yang dianjurkan, belum masuk
dalam daftar imunisasi PPI dan tidak disubsidi pemerintah.69

Pada penelitian ini pemakaian susu botol secara statistik tidak bermakna sebagai
faktor risiko terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, penggunaan air untuk
membuat susu formula dan botol itu sendiri dapat mengakibatkan kontaminasi
bakteri. Alergi dan kontaminasi bakteri pada susu formula, dapat menyebabkan
gastroenteritis berulang sehingga menurunkan gizi pada bayi. Penggunaan susu
botol dapat mengganggu perkembangan dari otot-otot muka yang dapat
mempengaruhi fungsi dari TE, juga dapat menyebabkan aspirasi cairan ke telinga
tengah karena tekanan intra oral yang tinggi. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan kepustakaan yang ada.

Pada penelitian ini sebagian (50%) dari penderita OMA menggunakan dot, namun
secara statistik pemakaian dot tidak bermakna sebagai faktor risiko terjadinya
OMA (p=0,422; OR=1,49). Pada penelitian oleh Rovers dkk44 dan studi meta
analisis oleh Uhari dkk31, menyatakan bahwa pemakaian dot dapat meningkatkan
risiko terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, ada 2 mekanisme yang
menyebabkan hal ini terjadi. Mekanisme yang pertama ialah penghisapan dot
dapat meningkatkan refluks dari sekresi nasofaring ke telinga tengah, sehingga
pada saat flu, patogen dapat mudah masuk ke telinga tengah melalui jalan ini.
Mekanisme yang kedua, penggunaan dot dapat menyebabkan perubahan struktur
gigi dan rongga mulut sehingga dapat menyebabkan disfungsi TE. Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa pemakaian dot dapat meningkatkan risiko terjadinya OMA.

Posisi saat minum susu tehadap faktor risiko OMA pada penelitian ini secara
statistik tidak bermakna. Berdasarkan kepustakaan, penggunaan susu botol dapat

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


70

mempengaruhi fungsi dari TE, juga dapat menyebabkan aspirasi cairan ke telinga
tengah karena tekanan intra oral yang tinggi. Posisi pemberian susu botol dengan
cara berbaring atau horisontal dapat menyebabkan refluks. Hampir seluruh subyek
(81,3%) pada penelitian ini diberikan susu dengan posisi berbaring. Hasil
penelitian ini tidak mendukung kepustakaan yang ada.

Dari hasil analisis multivariat dengan regresi logistik yang telah dilakukan pada
penelitian ini, ternyata variabel usia dan riwayat ISPA yang secara bermakna dan
dominan berhubungan dengan kejadian OMA pada anak-anak di Kotamadya
Jakarta Timur. Anak yang usianya di bawah 5 tahun memiliki risiko 10 kali lebih
besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan anak usianya di atas 5 tahun.
Begitupun dengan anak yang memiliki riwayat ISPA dalam 1 bulan terakhir
berpeluang 10,10 kali dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat
ISPA. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik didapatkan koefisien determinan
(r2) 0,410, dengan demikian menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko yang
disertakan dalam penelitian memberikan kontribusi hanya 41%, masih banyak
faktor risiko lain yang harus diperhitungkan agar dapat digunakan untuk
memprediksi terjadinya OMA.

Hasil penelitian ini didukung oleh kepustakaan yang menyatakan bahwa pada usia
tersebut tuba Eustachius anak belum berkembang mencapai ukuran dewasa, TE
lebih pendek dan letaknya lebih datar/horisontal sehingga sekret dari nasofaring
lebih mudah masuk ke telinga tengah. Berbagai kepustakaan juga menyatakan
bahwa 95% dari kasus OMA, penyebabnya adalah infeksi bakteri. Dan
berdasarkan data riskesdas 2007, ISPA merupakan urutan ke-3 penyakit terbanyak
di DKI Jakarta, angka prevalensinya di Jakarta Timur sebesar 26,6% dan paling
banyak terjada pada anak-anak terutama di bawah usia 5 tahun.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


71

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada penelitian ini didapatkan angka prevalensi OMA pada anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur tahun 2012 sebesar 5,4%
2. Hubungan fakor risiko dengan kejadian OMA pada anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMA
adalah usia ( p < 0,001; OR=11,36), jenis kelamin (p= 0,029 dan
OR=2,50), riwayat ISPA (p< 0,001; OR=14,07), dan lingkungan
tempat tinggal (p= 0,016;OR=2,60)
b. Faktor risiko yang memiliki kecenderungan penyebab terhadap
kejadian OMA, namun secara statistik tidak bermakna adalah pajanan
asap rokok (p=0,066;OR=2,18), dan pendapatan rumah tangga
(p=0,135;OR=0,55).
c. Faktor risiko yang tidak berhubungan terhadap kejadian OMA adalah
rinitis alergi (p=0,394;OR=1,06).
3. Hubungan faktor risiko dengan kejadian OMA pada anak-anak di bawah 5
tahun yaitu ASI (p=0,151;OR=0,33), penggunaan susu botol
(p=0,384;OR=1,56), posisi pemberian susu (p=0,204; OR=0,45),
pemakaian dot (p=0,422;OR=1,49), dan imunisasi (p=1,000;OR=0,91)
tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.
4. Dari keempat faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian OMA pada
anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur, didapatkan faktor risiko usia
(p<0,001;OR=10,00) dan ISPA (p<0,001;OR=10,01) yang paling
bermakna dan dominan terhadap kejadian OMA. (koefisien
determinan=0,410)

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


72

6.2. Saran
1. Perlu dilanjutkan penelitian yang serupa di wilayah lain di Indonesia,
sehingga dapat ditentukan besaran masalah dengan skala Nasional.
2. Perlunya dilakukan tindakan promotif dan preventif terkait dengan
penyakit OMA dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang secara
signifikan berisiko untuk terjadinya OMA pada anak-anak, dan juga
kuratif terhadap penyakit OMA agar tidak terjadi komplikasi yang tidak
diinginkan.
3. Dalam upaya menurunkan angka kejadian OMA pada anak-anak
hendaknya dilakukan penyuluhan kesehatan yang intensif dan efektif
terkait dengan ISPA dan rentannya balita terhadap kejadian OMA. Perlu
juga dilakukan pengobatan adekuat dan pemantauan pengobatan terhadap
ISPA agar tidak terjadi OMA.
4. Sebagai awal penelitian multi center untuk mendapatkan prevalensi dan
gambaran faktor risiko penyakit telinga tengah khususnya OMA di
Indonesia, serta digunakan untuk surveilans nasional secara berkala. Maka
dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang sejenis yang dilakukan di daerah-
daerah di seluruh Indonesia, sehingga diharapkan dapat membantu
kebijakan di bidang kesehatan telinga, berupa upaya deteksi dini,
preventif, promotif, maupun intervensi dan penatalaksanaan.
5. Kerjasama dengan BPS perlu dilakukan sehingga peran serta masyarakat
akan lebih baik dalam mengikuti survei kesehatan berbasis masyarakat.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


73

Daftar Pustaka

1. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Management of Acute


Otitis Media. Diagnosis and management of acute otitis
media. Pediatrics. May 2004;113(5):1451-65.
2. Deshmukh CT. Acute otitis media in children-treatment options. J
Postgrad Med. 1998;44(3):81-4.
3. Casselbrant ML, Mandel EM. Epidemiology.In: Rosenfeld RM, Bluestone
CD, editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON, Canada: BC
Decker. 2003:p.147-62
4. Sipila M, Pukander J, Karma P. Incidence of acute otitis media up to the
age of 1 1/2 years in urban infants. Acta Otolaryngol. 1987;104:138-45.
5. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July
1995;96(1): 126-30.
6. Rosenfeld RM, Culpeper L, Doyle KJ, Grundfast KM, Hoberman A,
Kenna MA, et al. Clinical practice guideline : otitis media with effusion.
Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:S95.
7. Sirlan F, Suwento R. Hasil survei kesehatan indera penglihatan dan
pendengaran. Departemen Kesehatan R I Ditjen pembinaan kesehatan
masyarakat Direktorat bina upaya kesehatan puskesmas. Jakarta: 1998
8. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007.hal.64-9.
9. Froom J et al. A cross-national study of acute otitis media: risk factors,
severity, and treatment at initial visit. Report from the International
Primary Care Network (IPCN) and the Ambulatory Sentinel Practice
Network (ASPN). J Am Board Fam Pract. 2001;14:406–17.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


74

10. Bluestone CD. Definition, terminology, and classification. In: Rosenfeld


RM, Bluestone CD, editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON,
Canada: BC Decker. 2003: p.120-35.
11. Berman S. Classification and criteria of otitis media. Clin Microbiol Infect
Suppl 1997; (3) :1-4.
12. Chan LS, Takata GS, Shekelle P, Morton SC, Mason W, Marcy SM.
Evidence assessment of management of acute otitis media: II. Research
gaps and priorities for future research. Pediatrics 2001;108: 248–54.
13. Guideline penyakit tht di Indonesia. 2007:hal.55.
14. Amusa YB, Ijadunola IKT , Onayade OO. Epidemiology of otitis media
in a local tropical African. WAJM. 2005;24(3):227–30
15. Bluestone CD. Eustachian tube function and dysfunction. In: Rosenfeld
RM, Bluestone CD, editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON,
Canada: BC Decker. 2003:p.163–79.
16. Massoud E. Eustachian tube function. Last updated 2009, May 19.
Available from http://emedicine.medscape.com/article/874348-overview
17. Wright A. Anatomy and ultrastucture of human ear. In: Kerr AG, Booth
JB, editors. Scott-Brown’s Otolaryngology, 6th ed. Oxford: Butterwoth-
Heinemann, 1997: p1/1/1-50.
18. Bluestone CD, Klein JO. Otitis media in infants and children. 2nd
edition.Philadelphia: WB Saunders Company Co. 1995:p.1-3.
19. Cripps AW, Otczyk DC, Kyd JM. Bacterial otitis media: a vaccine
preventable disease? Vaccine 2005;23:2304–10.
20. Buchman CA, Doyle WJ, Skoner D, Fireman P, Gwaltney JM. Otologic
manifestations of experimental rhinovirus infection. Laryngoscope
1994;104:1295–9.
21. Buchman CA, Doyle WJ, DP Skoner, Post JC, CM Alper, Seroky JT et al.
Influenza A virus--induced acute otitis media. J Infect Dis 1995;172:
1348-51.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


75

22. Wang PC, Chang YH, Chuang LJ, Su HF, Li CY. Incidence and
recurrence of acute otitis media in Taiwan’s pediatric population.
CLINICS. 2011;66(3):395-9
23. Zakzouk S.M, Jamal S.T, Daghistani K.J. Epidemiology of acute otitis
media among Saudi children. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol.
2002;62:219–22
24. Dhingra PI. Eustachian tube and dissorder. Disease of Ear Nose and
Throat 4th ed. Elsevire. 2005.p3-13
25. Patel JA, Nair S, Revai K, Grady J, Chonmaitree T. Nasopharyngeal acute
phase cytokines in viral upper respiratory infection: impact on acute otitis
media in children. Pediatr Infect Dis J. Nov 2009;28(11):1002-7.
26. Skovbjerg S, Roos K, Nowrouzian F, Lindh M, Holm SE, Adlerberth I, et
al. High cytokine levels in perforated acute otitis media exudates
containing live bacteria. Clin Microbiol Infect. 2010; 16: 1382–8.
27. Children immunization clinic. Available from
http://immunizationclinic.wordpress.com/category/00about-immunization/
28. Karma P. Vaccination and otitis media. ORL J Otorhinolaryngol Relat
Spec. 2002;64(2):80-5
29. Leibovitz E, Greenberg D. Acute otitis media in children: current
epidemiology, microbiology, clinical manifestations, and treatment. Chang
Gung Med J. 2004;27:475-88
30. Kvestad E, et al. Otitis media: genetic factors and sex differences. Twin
Res. 2004 Jun;7(3):239-44.
31. Uhari M, Mantysaari K, Niemela M A. Meta-analytic review of the risk
factors for acute otitis media. Clin Infect Dis. 1996; 22:1079-82.
32. Breastfeeding Benefits & Barriers: Immunologic Advantages. Available
from www.breastfeedingbasics.org
33. Alho OP. The validity of questionnaire reports of a history of acute otitis
media. Am J Epidemiol. 1990; 132:1164-9.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


76

34. Lin YS, Lee FP, Peng SC. Complications in children with long-term
cochlear implants. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec. 2006;68(4):237-
42.
35. Bercin S, Kutluhan A, Yurttas V, Yalciner G, Bozdemir K, Sari
N. Evaluation of laryngopharyngeal reflux in patients with suspected
laryngopharyngeal reflux, chronic otitis media and laryngeal
disorders. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2008;265:1539–43

36. Revai K, Dobbs LA, Nair S, Patel JA, Grady JJ, Chonmaitree T. Incidence
of acute otitis media and sinusitis complicating upper respiratory tract
infection: the effect of age. Pediatrics. 2007 Jun;119(6):e1408-12
37. Chonmaitree T, Revai K, Grady JJ, Clos A, Patel JA, Nair S, Fan J,
Henrickson KJ. Viral upper respiratory tract infection and otitis media
complication in young children. Clin Infect Dis. 2008 Mar 15;46(6):815-
23
38. Juntti H, Tikkanen S, Kokkonen J, Alho OP, Niinimäki A. Cow's milk
allergy is associated with recurrent otitis media during childhood. Acta
Otolaryngol. 1999;119(8):867-73.
39. Von Mutius E. Allergies, infections, and hygiene hypothesis- The
epidemiological evidence. Immunobiology. 2007; 212(6):433-9
40. Lee SK, Yeo SG. Relationship between pediatric obesity and otitis media
with effusion. Curr Allergy Asthma Rep. Nov 2009;9(6):465-72.
41. Broides A, Dagan R, Greenberg D, Givon-Lavi N, Leibovitz E. Acute
otitis media caused by Moraxella catarrhalis: epidemiologic and clinical
characteristics. Clin Infect Dis. Dec 2009;49(11): 1641-7.
42. Ramilo O. Role of respiratory viruses in acute otitis media: implications
for management. Pediatr Infect Dis J. Dec 1999;18(12):1125-9.
43. Tauriainen S et al. Temporal relationship between human parechovirus 1
infection and otitis media inYoung Children. J Infect Dis. 2008; 198:35–
40.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


77

44. Rovers MM, Numans ME, Langenbach E, Grobbee DE, Verheij TJM and
Schilder AGM. Is pacifier use a risk factor for acute otitis media? A
dynamic cohort study. Family Practice. 2008; 25: 233–6.
45. Strachan DP, Cook DG. Parental smoking, middle ear disease and
adenotonsillectomy in children. Thorax. 1998;53(1) :50-6.
46. Greenberg D, Hoffman S, Leibovitz E, Dagan R. Acute otitis media in
children: association with day care centers-antibacterial resistance,
treatment, and prevention. Pediatr Drugs. 2008;10(2):75-83.
47. Elden LM, Coyte PC. Socioeconomic impact of otitis media in North
America. J tolaryngol. 1998;27:9-16.
48. Maharjan M, Bhandari S, Singh I, Mishra SC. Prevalence of otitis media
in school going children in Eastern Nepal. Kathmandu University Medical
Journal 2006; 4(4): 479-482
49. Smith DF, Boss EF. Racial/Ethnic and Socioeconomic Disparities in the
Prevalence and Treatment of Otitis Media in Children in the United States.
Laryngoscope 2010; 120: 2306-12
50. Yang CY, Cheng MF, Tsai SS, Hung CF, Lai TC, Hwang KC. Effects of
indoor environmental factors on risk of acute otitis media in a subtropical
area. Journal of Toxicology and Environmental Health. 1999;56:111–9
51. Costa JL, Vavarro A, Neves JB, Martin M. Environmental epidemiology:
houshold wood and charcoal smoke increses risk of otitis media in
childhood in Maputo. Int J Epidemiol. 2003;33:573-8
52. Carlson LH, Carlson RD. Diagnosis. In: Rosenfeld RM, Bluestone CD,
editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON, Canada: BC Decker.
2003:p.147-62.
53. Scottish intercollegiate guidelines network. Diagnosis and management of
childhood otitis media in primary care. Feb 2003.
54. Harris PK. The use of tympanometry and pneumatic otoscopy for
predicting middle ear disease. American Journal of Audiology. June
2005;14:3–13.

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


78

55. Saeed K, Coglianese CL, McCormick DP, Chonmaitree T. Otoscopic and


tympanometric findings in acute otitis media yielding dry tap at
tympanocentesis. Pediatr Infect Dis J. 2004;23:1030–4.
56. Sassen ML, van Aarem A, Grote JJ. Validity of tympanometry in the
diagnosis of middle ear effusion. Clin Otolaryngol. 1994;19:185-9.
57. Watters GW, Jones JE, Freeland AP (1997) The predictive value of
tympanometry in the diagnosis of middle ear effusion. Clin Otolaryngol.
1997; 22:343-5.
58. Koivunen P, Alho OP, Uhari M, Niemelä M, Luotonen J.
Minitympanometry in detecting middle ear fluid. J Pediatr. 1997;131:419–
22.
59. Badan Pusat Statistik. Jumlah penduduk kabupaten menurut kelompok
umur, 2010.
60. Badan Pusat Statistik. Population and Man Power in Jakarta Timur Figure
2009. Hal 77
61. Sathian B, Sreedharan J, Baboo N, Sharan K, Abhilash ES, Rajesh E.
Relevane of sample size determination in medical research. Nepal J oe
epid. 2010;1:4-10
62. Brozek JL, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
guiedlines: 2010 revision. J Allergy Clin Immunol 2010 Sep;126(3):466-
76
63. International study of asthma and allergies in childhood. Manual book
phase III. Auckland. 1993
64. Statistics by country for cleft palate.
http://www.wrongdiagnosis.com/c/cleft_palate/stats-country.htm.
65. Center for disease control and prevention. http://www.cdc.gov/nutrition/
66. Williams JR. The declaration of Helsinki and public health. Bulletin of the
World Health Organization 2008; 86:650-1
67. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar (Riskesdas), 2007

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


79

68. Rizaldi R. Proporsi kepositifan kadar kotinin urin pada anak otitis media
efusi usia 0-14 tahun di Kotamadya Jakarta Timur. Tesis akhir PPDS
THT-KL. Bagian THT-KL FKUI-RSCM. Jakarta 2012
69. Jadwal imunisasi. http://id.wikipedia.org/wiki/Jadwal_imunisasi

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


80

Lampiran 1. Surat lulus kaji etik

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


81

Lampiran 2. Lembar informasi

LEMBAR INFORMASI ORANG TUA PASIEN

Bapak/Ibu yang terhormat,

Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia sedang mengadakan penelitian tentang prevalensi dan gambaran
karakteristik faktor-faktor risiko penyakit radang telinga tengah pada anak di
Jakarta Timur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi penyakit
ini pada anak di Jakarta Timur dan gambaran karakteristik faktor-faktor
risikonya.

Penyakit radang telinga tengah adalah salah satu infeksi yang paling sering terjadi
pada anak usia dini dan merupakan alasan umum untuk berobat, dan angka
kejadiannya pun cukup tinggi di tiap-tiap negara. Oleh sebab itu, akan sangat
bermanfaat jika mengetahui besarnya faktor-faktor tersebut mempengaruhi angka
kejadian penyakit ini.

Bila bersedia ikut, Bapak/Ibu akan kami wawancara dan diminta untuk mengisi
kuesioner, dan juga akan dilakukan pemeriksaan fisik THT pada anak bapak/ibu.
Partisipasi Bapak/Ibu bersifat sukarela dan dijaga kerahasiaannya. Bapak/Ibu
bebas menolak ikut dalam penelitian ini, dan penelitian ini tidak dipungut biaya.
Bila ada hal yang masih belum dimengerti atau membutuhkan penjelasan ulang,
Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti

Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Peneliti
dr. Sakina Umar
Departemen THT-KL FKUI/ RSCM. Jl. Diponegoro no.71. HP: 08118303400

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


82

Lampiran 3. Lembar persetujuan/ penolakan

LEMBAR PERSETUJUAN

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :

Nama :................................................................................................................

Umur : ................................................................................................................

Alamat: ................................................................................................................

Telepon: ................................................................................................................

Selaku Ayah/Ibu/diri sendiri/lainnya (sebutkan ....................................) dari anak


yang bernama .............................
Setelah mendapat penjelasan mengenai kerja dan tujuan penelitian ini maka saya
setuju dan bersedia diikutkan dalam penelitian ini.

Demikian surat pernyataa ini dibuat tanpa paksaan dan digunakan sebagaimana
mestinya.

Jakarta, ......................2012
Tanda tangan saksi Yang menyatakan

(Nama jelas ..........................) (Nama Jelas.........................)

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


83

LEMBAR PENOLAKAN

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :

Nama :................................................................................................................

Umur : ................................................................................................................

Alamat: ................................................................................................................

Telepon: ................................................................................................................

Selaku Ayah/Ibu/diri sendiri/lainnya (sebutkan ....................................) dari anak


yang bernama .............................
Setelah mendapat penjelasan mengenai kerja dan tujuan penelitian ini maka saya
tidak bersedia diikutkan dalam penelitian ini.

Demikian surat pernyataa ini dibuat tanpa paksaan dan digunakan sebagaimana
mestinya.

Jakarta, ......................2012
Tanda tangan saksi Yang menyatakan

(Nama jelas ..........................) (Nama Jelas.........................)

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


84

Lampiran 4

STATUS PENELITIAN
No. Kuisioner : _ _/_ _ _/_ _ _ _

I. IDENTITAS
I.1. IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ......................................................................................................
Tanggal lahir : ......................................................................................................
Jenis kelamin : ......................................................................................................
Alamat : ......................................................................................................
......................................................................................................
......................................................................................................
Talepon : ......................................................................................................
Anak ke / dari : ......................................................................................................
Jumlah orang tinggal serumah : ..............................................................................

I.2. IDENTITAS ORANGTUA / WALI (NARASUMBER)


Ayah Ibu
Nama : ......................................................................................................
Usia : ......................................................................................................
Pendidikan : ......................................................................................................
Pekerjaan : ......................................................................................................
Pendapatan/bln: ......................................................................................................
Jumlah pendapatan keluarga : ................................................................................

II. ANAMNESIS
Ka Ki Bil
Rasa sakit di telinga 1. Ya 2. Tidak 3. NA
Sejak: hari/bulan/tahun)
.......
Memegang/menarik telinga 1. Ya 2. Tidak 3. NA

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


85

Sejak (hari/bulan/tahun)
.......
Keluar cairan dari telinga 1. Ya 2. Tidak 3. NA
Sejak (hari/bulan/tahun)
.......
Telinga terasa penuh 1. Ya 2. Tidak 3. NA
Sejak (hari/bulan/tahun)
.......

Penurunan pendengaran 1. Ya 2. Tidak 3. NA


Sejak
(hari/bulan/tahun)........

Telinga berbunyi 1. Ya 2. Tidak 3. NA


Sejak
(hari/bulan/tahun)........

Apakah gejala tersebut di atas disertai gejala :


Demam 1. Ya 2. Tidak
Sejak (hari/bulan/tahun).......

Diare 1. Ya 2. Tidak
Sejak (hari/bulan/tahun).......

Batuk pilek 1. Ya 2. Tidak


Sejak (hari/bulan/tahun).......

Pertanyaan untuk subyek usia ≤ 5 tahun,


Apakah responden pernah mendapat ASI?
1. Ya 2. Tidak
Jika ya, berapa lama? (bulan)

Apakah responden menggunakan botol saat minum susu?


1. Ya 2. Tidak
Posisi responden saat minum susu botol atau ASI?

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


86

1.Berbaring 2.Duduk
Apakah responden menggunakan dot?
1. Ya 2. Tidak
Apakah responden mendapat imunisasi dasar lengkap?
1. Ya 2. Tidak

Apakah responden memiliki riwayat bersin-bersin pagi hari


disertai hindung tersumbat dan ingus cair ketika anda tidak
sedang mengalami flu?
1. Ya 2. Tidak
Keluhan di atas terjadi dalam 12 bulan terakhir?
1. Ya 2. Tidak

Apakah responden perokok aktif?


1. Ya 2. Tidak

Apakah ada anggota keluarga responden tinggal serumah yang


merokok tembakau di dalam rumah?
1. Ya 2. Tidak

III. PEMERIKSAAN FISIK

Berat Badan : kg

Tinggi Badan : cm

Suhu Tubuh : ˚C

III.1. TELINGA
Kanan Kiri
Liang telinga 1. Lapang 2. Sempit

Sekret 1. Ya 2. Tidak

Konsistensi 1. Serosa 2. Mukoid


3. Mukopurulen

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


87

Membran timpani 1. Utuh 2. Perforasi

Jika utuh,
Warna membran timpani 1. Merah (red)
2. Biru / abu-abu (blue/grey)
3. Putih keabuan (silver)
Kondisi membran timpani 1. Normal
2. Retraksi ringan
3. Retraksi berat
4. Bulging
5. Gelembung udara
6. Batas cairan-udara

Jika perforasi,
Ukuran 1. Total 2. Subtotal
3. Sentral
Letak 1. Sentral 2. Marginal

Jaringan granulasi 1. Ada 2. Tidak

Kolesteatoma 1. Ada 2. Tidak

Retroaurikular
Sikatriks 1. Ada 2. Tidak

Fistel 1. Ada 2. Tidak

Edema 1. Ada 2. Tidak

Hiperemis 1. Ada 2. Tidak

Nyeri tekan 1. Ada 2. Tidak

Fluktuasi 1. Ada 2. Tidak

III.2. HIDUNG

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


88

Kanan Kiri
Kavum nasi 1. Lapang 2. Sempit

Konka 1. Eutrofi 2. Hipertrofi


3. Edema 4. Pucat
5. Hiperemis

Sekret 1. Ada 2. Tidak ada

Septum 1. Lurus 2. Deviasi

Polip 1. Ada 2. Tidak

III.3. TENGGOROK
Faring granuler 1. Ada 2. Tidak

Hiperemis 1.Ya 2. Tidak

Tonsil (ukuran) 1. T1 2. T2
3. T3 4. T4
5. T0

Kripti melebar 1. Ya 2. Tidak

Detritus 1. Ya 2. Tidak

Celah palatum 1. Ada 2. Tidak ada

KESIMPULAN
1. Normal
2. OMA
3. OME
4. OMSK
5. ........

REKOMENDASI :
VERIFIKASI :

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013


89

Lampiran 5. Kuesioner ISAAC fase III

Universitas Indonesia

Prevalensi dan faktor..., Sakina Umar, FK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai