Digital 20351621 SP Sakina Umar
Digital 20351621 SP Sakina Umar
Digital 20351621 SP Sakina Umar
TESIS
Sakina Umar
0906565381
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
KEPALA LEHER
JAKARTA
MARET 2013
NPM : 0906565381
Tanda tangan:
ii Universitas Indonesia
NPM 0906565381
Il|! KesehatarTelinsaHidug TenggorckK€palaLeher
Prevaldsi dm fakto. risiko otilh mdia.,kut Fadamak_
arak di kolamdrr d@na Tinu.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu
tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan pendidikan spesialis dan tersusunnya tesis ini.
Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr. Ratna Sitompul,
SpM, dan kepada Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU(K) sebagai Direktur Utama
Rumah Sakit Umum Pusat Negeri Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM), saya
ucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/
RSUPN-CM.
Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya
kepada Dr. dr. Ratna D Restuti, SpTHT-KL sebagai Ketua Departemen THT-KL
FKUI/ RSUPN-CM telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar di
Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasehat, dorongan, dan teladan
yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Dr. dr. Trimartani,
SpTHT-KL sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Penyakit THT FKUI/
RSUPN-CM serta dr. Fachri Hadjat, SpTHT-KL sebagai Ketua Program Studi
terdahulu, dan dr. Nina Irawati, SpTHT-KL sebagai Sekretaris Program Studi atas
bimbingan, arahan, nasihat, dukungan serta kemudahan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan.
iv Universitas Indonesia
Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSUPN-CM dr. Zanil Musa, SpTHT-
KL, dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, SpTHT-KL,
Prof. dr. Bambang Hermani, SpTHT-KL, dr. Ronny Suwento, SpTHT-KL, dr.
Widayat Alviandi, SpTHT-KL, Dr. dr. Dini Widiarni, SpTHT-KL, dr. Nina
Irawati, SpTHT-KL dan Dr. dr. Susyana Tamin, SpTHT-KL, saya sampaikan
ucapan terima kasih sebesar-besarnya.
Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM, dr. Endang CH Mangunkusumo, SpTHT-KL, dr. Umar Said
Dharmabakti, SpTHT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL, Prof. Dr. dr. Jenny
Bashiruddin, SpTHT-KL, Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL, dr. Armiyanto, SpTHT-
KL, dr. Zanil Musa, SpTHT-KL, DR. dr. Dini Widiarni, SpTHT-KL, dr.
v Universitas Indonesia
Ucapan terima kasih yang tak terhingga dengan tulus saya sampaikan kepada
mentor saya dr. Widayat Alviandi, SpTHT-KL yang telah membimbing, memberi
dukungan dan semangat sampai saya menyelesaikan pendidikan ini.
Dalam rangka penelitian dan penyelesaian karya ilmiah akhir ini, dengan tulus
dan rasa hormat tak terhingga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh
pembimbing penelitian saya Dr. dr. Ratna D Restuti, SpTHT-KL, dr. Ronny
Suwento, SpTHT-KL, dr. Harim Priyono, SpTHT-KL, dan dr. Muchtarudin
Mansyur, SpOK, phD yang telah meluangkan waktu, membimbing, memberi
vi Universitas Indonesia
Kepada intansi pemerintah yang terkait dalam penelitian ini, Walikota Jakarta
Timur, Puskesmas Kelurahan Cipinang Melayu dan Cawang beserta kader-
kadernya, serta seluruh warga Kelurahan Cipinang Melayu dan Cawang, saya
ucapkan terima kasih atas kerja sama dan bantuannya dalam penelitian ini. Dan
tentunya saya ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang bersama-sama
menjalani penelitian ini yaitu dr. Yadita, dr. Gustav, dr. Dwi Agustawan Nugroho,
dan dr. Riza Rizaldi.
Dengan rasa hormat saya ucapkan terima kasih kepada Bp. Asep Awaludin, Bp.
Momod, Bp. Richard, Ibu Siti, Mba Emi, Mba Ririn, Mba Sarah, Mas Heru dan
rekan-rekan karyawan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah
memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian dan dalam
menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada seluruh paramedis IGD RSUPN-CM, perawat THT Public Wing lantai 7,
perawat IBP RSUPN-CM atas bantuan kerjasama yang telah diberikan kepada
saya dalam melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.
Terima kasih pada sahabat-sahabat saya, dr. Afrina Yanti, dr Dina Nurdiana, dr
Duhita Yassi, dr. Dwi Agustawan, dr Gustav Syukrinto, dr Riski Satria, dr Yadita
Wira, dan seluruh teman sejawat peserta Program Studi Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas
bantuan, kebersamaan, kerjasama, pengorbanan, dukungan serta persahabatan
dalam suka dan duka yang telah terjalin dalam mengikuti pendidikan ini.
Karya ilmiah ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta yang selalu
memberikan dukungan, doa, pengertian , pengorbanan, dan kasih sayang selama
saya menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih dan rasa sayang yang tak
terhingga untuk mama dan aba tercinta, Baheta Hamad dan Ali Umar, atas cinta
dan kasih sayang, serta doa yang tidak pernah putus dalam membesarkan,
Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan
dan kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, berkah dan magfirah-Nya kepada kita
semua. Semoga ilmu yang saya dapatkan akan lebih mengingatkan atas
kekurangan saya dan semata-mata adalah kebesaran Allah, sehingga dapat saya
amalkan untuk kepentingan umat. Amin yaa Robbal Alamin.
Sakina Umar
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Sakina Umar
ix Universitas Indonesia
Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit telinga yang paling sering terjadi
pada anak-anak. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan
angka kejadian OMA. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar bagi penelitian
berskala nasional dalam memperoleh angka prevalensi penyakit telinga khususnya
OMA di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi deskriptif potong
lintang untuk mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik faktor-faktor
risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Subyek penelitian
dipilih secara multistage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan
hingga kelurahan berdassarkan tingkat kepadatan penduduk. Kemudian
dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomer rumah. Hasil
penelitian ini didapatkan prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta
Timur sebesar 5,38 %, dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 2-5
tahun. Hubungan faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian
OMA adalah usia ( p < 0,001; OR=11,36), jenis kelamin (p= 0,029 dan OR=2,50),
riwayat ISPA (p< 0,001; OR=14,07), dan lingkungan tempat tinggal (p=
0,016;OR=2,60). Faktor risiko yang memiliki kecenderungan penyebab terhadap
kejadian OMA, namun secara statistik tidak bermakna adalah pajanan asap rokok
(p=0,066;OR=2,18), dan pendapatan rumah tangga (p=0,135;OR=0,55). Dari
keempat faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian OMA pada anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur, didapatkan faktor risiko usia (p<0,001;OR=10,00) dan
ISPA (p<0,001;OR=10,01) yang paling bermakna dan dominan terhadap kejadian
OMA. (koefisien determinan=0,410).
x Universitas Indonesia
Acute Otitis Media (AOM) is the most common ear disease in children. To date, a
standardized national data reporting on the number of OMA cases is still not
available. This research was conducted to become basis for nation-based
researches to obtain the number of ear disease prevalence in Indonesia especially
AOM. This research is epidemiologic study, descriptive and cross-sectional to
find out the prevalence and the characteristics description of AOM risk factors in
children in the Municipality of East Jakarta. The research subject was selected
with multistage stratified random sampling, authority levels ranging from villages
to sub-districts based on population density level. After that, the method
employed was spatial random sampling based on house numbers. The research
resulted in 5,38% in AOM prevalence in children in the Municipality of East
Jakarta, and the highest prevalence occurred in the group of 2-5 years old
children. Statistically significant risk factor relations in AOM cases were in age (
p < 0,001; OR=11,36), gender (p= 0,029 and OR=2,50), upper airway infection
history (p< 0,001; OR=14,07), and living environment (p= 0,016;OR=2,60). Risk
factors that have a tendency toward causes of OMA case, but statistically not
significant are exposure to cigarette smoke (p=0,066;OR=2,18), and household
income (p=0,135;OR=0,55). From the four significant AOM risk factors in
children in the Municipality of East Jakarta, age risk factor (p<0,001;OR=10,00)
and upper airway infection (p<0,001;OR=10,01) are the most significant and
dominant toward AOM cases (coefficient determinant=0,410).
xi Universitas Indonesia
xv Universitas Indonesia
Tabel 4.4.2. Analisis hubungan status gizi dengan angka kejadian OMA
pada anak-anak ..................................................................... 57
BAB I
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
Faktor-faktor risiko yang berperan dalam terjadinya OMA, seperti faktor pejamu,
faktor lingkungan, dan faktor sosiodemografi, dapat diteliti untuk melihat
hubungannya dengan terjadinya OMA. Studi Nasional yang dilaporkan
International Primary Care Network (IPCN) dan Ambulatoy Sentinel Practice
Network (ASPN) yang dilakukan oleh Froom dkk di tiga negara yaitu Amerika
Utara, Inggris dan Belanda, memberikan hasil bemakna untuk faktor-faktor risiko
yang dihubungkan dengan OMA. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko ini,
dapat digunakan untuk merencanakan strategi pencegahan, penanganan, dan
komplikasi OMA.9
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai OMA dan faktor risiko yang
mempengaruhi penyakit ini khususnya di Kodya Jakarta Timur, sehingga dapat
melakukan preventif agar tidak menderita OMA.
Universitas Indonesia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang definisi OMA yang universal.
Definisi OMA bervariasi dalam praktek klinis dan kepustakaan, yang mana
setengahnya menyertakan komponen efusi telinga tengah. OMA didefinisikan
sebagai suatu peradangan pada telinga tengah dengan onset akut, ditandai dengan
adanya cairan dan atau inflamasi di telinga tengah. Otore yang terjadi melalui
perforasi membran timpani dengan gejala akut diklasifikasikan sebagai OMA.
Efusi telinga tengah tanpa gejala disebut otitis media efusi (OME) , atau glue ear,
dan diklasifikasikan sebagai kronis jika telah berlangsung selama 3 bulan. OMA
berulang didefinisikan sebagai tampilan tiga episode OMA baru dalam waktu 6
bulan atau empat kali selama satu tahun.10-12
Universitas Indonesia
2.2. Epidemiologi
Prevalensi OMA di tiap-tiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3 - 20%.
Berbagai studi epidemiologi di Amerika Serikat (AS), dilaporkan prevalensi
terjadinya OMA sekitar 17-20% pada 2 tahun kehidupan. Studi epidemiologi
untuk OMA di negara-negara berkembang sangat jarang. Di Thailand, Prasansuk
dikutip dari Bermen5 melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak yang
berumur kurang dari 16 tahun pada tahun 1986 sampai 1991 sebesar 0,8%. Di
Nigeria, Amusa, Ijadunola dan Onayade14 melaporkan bahwa prevalensi OMA
pada anak-anak di bawah 12 tahun pada tahun 2005 sebesar 11,8 %.1-5,14
Berdasarkan penelitian pada tahun 1993 sampai 1996 pada beberapa provinsi di
Indonesia didapatkan prevalensi penyakit telinga tengah populasi segala umur di
Indonesia sebesar 3,9 %. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang
melaporkan angka kejadian OMA.7
Universitas Indonesia
TE berkembang pada anak, dan mencapai ukuran seperti orang dewasa pada saat
usia 7 tahun. Panjang TE pada orang dewasa sekitar 36 mm, sedangkan pada bayi
sekitar 18 mm. TE yang lebih pendek pada bayi dan anak kecil dibandingkan
dengan orang dewasa, sehingga sekret dari nasofaring lebih mudah masuk ke
telinga tengah. Pada orang dewasa, TE membentuk sudut 45° terhadap bidang
horisontal. Pada bayi bentuk TE bevariasi, dari horisontal sampai membentuk
sudut sekitar 10° terhadap bidang horisontal, dan tidak membentuk sudut pada
ismus tetapi menyempit. Sudut yang menghubungkan antara otot tensor veli
palatini dan kartilago bervariasi pada bayi, sedangkan pada orang dewasa relatif
stabil. Hal ini yang menjelaskan pada anak yang lebih muda, terjadi
ketidakefisienan dalam membuka tuba yang disebabkan karena kontraksi otot
tensor veli palatini.15,16
Universitas Indonesia
Massa kartilago meningkat dari lahir sampai pubertas. Pada bayi, densitas elastin
pada kartilago lebih sedikit, tetapi densitas sel kartilagonya lebih besar. Pada
bagian inferolateral tuba terdapat lapisan lemak yang disebut lemak Ostmann,
yang ikut membantu proses menutupnya tuba dan membantu melindungi TE dan
telinga tengah terhadap sekret nasofaring. Lapisan lemak Ostmann pada bayi
volumenya lebih kecil, tetapi lebarnya sama dengan orang dewasa. Lumen tuba
pada bayi lebih kecil dibandingkann dewasa, jika dilihat dari dimensi dan
volumenya pada potongan melintang.15
Universitas Indonesia
TE terdiri atas otot-otot yang berfungsi untuk membuka dan menutup tuba, yaitu :
tensor veli palatini, levator veli palatini, salpingofaringeal, dan tensor timpani. Di
antara keempat otot tersebut yang berperan pada proses dilatasi aktif adalah tensor
veli palatini. TE diperdarahi oleh arteri faringeal ascenden dan arteri meningea
media. TE dipersarafi oleh cabang faringeal dari ganglion sfenopalatina yang
berasal dari n. maksilaris (nervus V2) pada bagian ostium tuba; nervus spinosus
yang berasal dari n. mandibularis (nervus V3) pada bagian tulang rawan dari tuba;
dan pleksus timpani yang berasal dari nervus glossofaringeal pada bagian tulang
dari tuba.16
2.3.2. Fisiologi TE
TE memiliki tiga fungsi fisiologi terhadap telinga tengah, yaitu ventilasi, drainase,
dan proteksi. Fungsi ventilasi mengatur agar tekanan udara telinga tengah sama
dengan tekanan udara luar, fungsi ini banyak diperankan oleh bagian superior dari
tuba. TE terbuka secara intermiten karena kontraksi dari otot tensor veli palatini
pada saat menelan, yang mempertahankan tekanan udara mendekati normal pada
telinga tengah. Fluktuasi tekanan yang terjadi dua arah, baik ke telinga tengah
maupun dari telinga tengah, relatif kecil, dan tidak segera dirasakan. Fluktuasi ini
menggambarkan naik turunnya tekanan barometrik yang berkaitan dengan kondisi
cuaca dan atau ketinggian. Perubahan tekanan pada telinga tengah dapat
menyebabkan perubahan patologis. Kondisi ini terjadi terutama akibat sistem sel
udara telinga tengah-mastoid relatif kaku (atau tidak mudah kolaps). Sistem ini
dikelilingi oleh membran mukosa, yang menyebabkan udara dapat saling
berpindah antara bagian telinga tengah dan mukosa. Sel udara mastoid
kemungkinan berlaku seperti cadangan udara untuk telinga tengah, dan juga
memiliki fungsi pengaturan tekanan.15,16
Universitas Indonesia
TE memiliki fungsi proteksi terhadap telinga tengah dan sistem sel udara mastoid
melalui anatomi fungsional TE-telinga tengah, secara imunologis dan pertahanan
mukosilar dari lapisan membran mukosa. Proteksi telinga tengah dari tekanan
suara nasofaring yang abnormal dan sekresi nasofaring, terutama bergantung pada
struktur normal, fungsi dari TE, dan integritas telinga tengah, serta sistem sel
udara mastoid, yang menjaga “gas cushion”. Pada saat istirahat, TE kolaps dan
lumennya tertutup, sehingga manghindari cairan dan tekanan suara abnormal
nasofaring masuk ke ujung distal TE. Pada saat mengunyah, bagian akhir
proksimal (kartilago) terbuka, cairan dapat memasuki bagian ini, tetapi tidak
memperoleh jalur masuk ke telinga tengah, karena terdapat ruang sempit, yaitu
ismus. Proteksi telinga tengah-mastoid juga dilakukan oleh epitel respiratori
lumen TE dengan cara pertahanan imunologi lokal, maupun pertahanan
mukosilia, yaitu drainase.15
Universitas Indonesia
membran mukosa telinga tengah, yaitu dengan cara membersihkan sekret dari
telinga tengah dan tindakan pemompaan TE pada saat menutup yang
menghasilkan drainase muskular. Studi telah dilakukan untuk menilai fungsi
pembersihan mukosiliar. Gerakan silia terjadi pada TE dan bagian dari telinga
tengah. Sel silia di telinga tengah, makin ke distal menuju TE, makin aktif.
Tindakan pemompaan TE untuk drainase sekret dari telinga tengah ke nasofaring
tejadi pada saat TE menutup secara pasif.15
Dinding lateral kavum timpani terbentuk oleh membran timpani di bagian tengah
dan sebelah atas (dinding lateral epitimpanum), serta sebelah bawahnya (dinding
lateral hipotimpanum) oleh tulang. Bagian atas membran timpani yang ikut
membentuk dinding lateral epitimpanum disebut pars flaksida. Dinding lateral
epitimpanum yang menonjol ke luar disebut skutum.17
Dinding medial kavum timpani dibentuk oleh penonjolan tulang yang disebut
promontorium. Pada permukaannya terdapat saraf yang membentuk pleksus
timpanikus, dan cabang nervus glossofaringeus. Pada bagian posterosuperior
Universitas Indonesia
Dinding posterior kavum timpani pada bagian atasnya terdapat pintu yang menuju
ke rongga mastoid (aditus ad antrum). Fosa inkudis terletak di bawah aditus. Fosa
inkudis, yang merupakan “rumah” prosesus brevis inkus dan ligamen yang
mengikatnya. Piramid yang berisi m. stapedius terletak di bawah fosa inkudis dan
medial dari lubang masuknya korda timpani. Resesus timpanikus terletak di antara
piramid (bagian medial) dan anulus timpanikus (di bagian lateral). Perluasan
rongga mesotimpanum ke posterior yang terletak di sebelah dalam terhadap
piramid dan nervus fasialis disebut sinus timpanikus.17
Dinding superior kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang disebut tegmen
timpani atau dural plate. Tegmen tersebut memisahkan kavum timpani dan fossa
media. Pada bagian tersebut terdapat sutura petroskuamosa yang dilewati oleh
serabut saraf dan pembuluh darah. Pada bagian inferior kavum timpani terdapat
bulbus jugularis yang ditutupi oleh lempengan tulang tipis, dan kadang-kadang
hanya ditutupi oleh mukosa. Pada bagian anterior, kavum timpani berbatasan
dengan arteri karotis dan di bagian atasnya terdapat semikanal m. tensor timpani
yang terletak tepat di atas muara TE.17
Universitas Indonesia
Kavum timpani dilapisi oleh mukosa saluran napas yang memiliki silia pada
permukaannya dan memiliki kelenjar mukus. Sekret telinga tengah dihasilkan
oleh sel-sel goblet dan kelenjar mukus, yang sebagian besar berkumpul di sekitar
muara TE. Mukosa kavum timpani menutupi seluruh dinding tulangnya, tulang-
tulang pendengaran dan seluruh ligamen. Mukosa tersebut juga membentuk
lipatan-lipatan sehingga membagi kavum timpani menjadi beberapa ruangan yang
telah dijelaskan sebelumnya.17
Membran timpani memiliki tiga lapisan, yaitu lapisan epitel paling luar adalah
epidermis, yang merupakan kelanjutan kulit liang telinga; bagian tengahnya
terutama dibentuk oleh lapisan fibrosa yang disebut lamina propria; dan lapisan
paling dalam yang dibentuk oleh mukosa telinga tengah.17
Epitel mukosa pada pars tensa memiliki ketinggian yang bervariasi, dapat berupa
lapisan skuamosa atau kuboid yang tipis, hingga terbentuk epitel torak berlapis
semu. Permukaan sel yang menghadap kavum timpani memiliki mikrovili, dan
Universitas Indonesia
pada daerah sel kuboid dan torak dapat ditemukan adanya silia, namun silia ini
tersebar tidak merata. Pada lapisan ini tidak ditemukan adanya sel goblet, namun
pada sel-sel yang tidak memiliki silia, dapat ditemukan granul sekresi. Lapisan
mukosa dipisahkan dari lamina propria oleh membran basal. Mukosa pada pars
flaksida dan pars tensa, memiliki gambaran yang sama. Pada keadaan patologis
seperti pada oklusi tuba dan otitis media kronik, struktur mukosa mengalami
perubahan berupa hiperplasi kelenjar, proliferasi sel goblet, edema submukosa,
vaskularisasi, dan transformasi lapisan epitel kuboid menjadi epitel torak.17
Universitas Indonesia
Virus merupakan penyebab dari 20% kasus OMA, dan lebih sering ditemukan
bersamaan dengan bakteri yaitu pada 65% kasus. Virus yang paling sering
ditemukan pada kasus infeksi efusi telinga tengah ialah RSV dan rinovirus. Virus
lainnya yang juga ditemukan ialah parainfluenza, influenza, enterovirus, dan
adenovirus. Studi terakhir menunjukan virus sebagai faktor kausatif utama pada
OMA. Pasien OMA yang patogennya virus dan bakteri memiliki konsentrasi
mediator inflamasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang patogennya
bakteri saja, sehingga klinisnya lebih buruk.20,21
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Vaksin mempunyai peranan dalam mencegah infeksi bakteri dan virus yang
merupakan etiologi dari otitis media. Vaksin yang sudah dikembangkan saat ini
adalah Haemophilus Influenzae type b (Hib), Influenza, dan Invasive
Pneumococcal Disease.27
Penelitian pada uji klinis yang dilakukan oleh Karma28 di Finland, menyatakan
vaksin konjugasi pneumokokus heptavalent CRM 197 menurunkan angka OMA
yang disebabkan oleh pneumokokus, vaksin influenza memperlihatkan proteksi
terhadap OMA selama epidemik virus. Penelitian yang dilakukan oleh Leibovitz
dan Greenberg29 di Amerika Serikat, menyatakan bahwa imunisasi dengan vaksin
konjugasi pneumokokus pada bayi di bawah 2 tahun telah menunjukan khasiat
untuk pencegahan OMA pada pneumokokus spesifik serotipe. Studi berbasis
komunitas di Nigeria yang dilakukan oleh Amusa dkk14, tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara imunisasi dengan otitis media.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
risiko lebih tinggi pada OM. Anomali spesifik yang berhubungan dengan
tingginya prevalensi ialah celah palatum, Sindrom Crouzon atau Apert, sindrom
Down dan sindrom Treacher Collins.16
2.5.1.9. Alergi
Peran alergi terhadap OM, dapat melalui 1 atau lebih mekanisme, antara lain
mukosa telinga tengah sebagai target organ, inflamasi pada mukosa TE, inflamasi
Universitas Indonesia
yang menyebabkan obstruksi hidung, atau aspirasi dari bakteri yang mengikuti
sekresi nasofaring karena alergi ke telinga tengah. Hubungan antara alergi dengan
OM masih belum diketahui dengan pasti.15
Juntti dkk38 mengatakan anak-anak dengan riwayat alergi susu sapi, meningkatkan
risiko terjadinya otitis media. Pada anak kurang dari 4 tahun, sistem imun masih
berkembang, dan alergi tidak dapat berperan pada OMA rekuren pada kelompok
usia ini. Walaupun banyak temuan yang menunjukan bahwa alergi ikut
menyebabkan patogenesis dari OM pada anak yang usianya lebih tua, temuan
ekstensif membantah adanya peran dari alergi pada etiologi penyakit telinga
tengah.15,38
Universitas Indonesia
2.5.2.
Faktor Infeksi
2.5.2.1. Bakteri patogen
Bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada OMA adalah Streptococcus
pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis.
Ketiga organisme ini merupakan penyebab lebih dari 95% dari seluruh kasus
OMA dimana bakteri sebagai etiologinya.9,41
2.5.2.2. Virus
Virus pada infeksi saluran napas atas akut merupakan faktor risiko prominen dari
perkembangan OMA, hampir semua peneliti mencurigai adanya peran dari virus
saluran pernapasan pada patogenesis OMA. Banyak penelitian telah membuktikan
kecurigaan ini dengan menunjukan bagaimana virus saluran pernapasan tersebut
dapat menyebabkan inflamasi pada mukosa saluran napas yang mengakibatkan
disfungsi TE, peningkatan kolonisasi bakteri, dan pada akhirnya menyebabkan
OMA. Penelitian-penelitan tersebut juga menunjukan bahwa virus dapat
mengubah respons imun pejamu terhadap OMA, sehingga mengakibatkan
produksi cairan telinga tengah yang berkepanjangan serta terjadinya OME kronis.
Virus yang biasanya berhubungan dengan OMA adalah respiratory syncytial virus
(RSV), virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, dan adenovirus.15,42
Studi yang dilakukan oleh Tauriainen dkk43, didapatkan adanya hubungan infeksi
human parechovirus 1 (HPeV1) dengan OM dan batuk pada pasien anak. OM
berkembang pada 50% dari periode follow-up 3 bulan yang memperlihatkan
adanya infeksi HPeV, tetapi hanya 14% dari HPeV1 yang periodenya negatif.
Pada OM berulang, sampel cairan telinga tengah positif terhadap HPeV pada 15%
episode.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.6. Diagnosis
Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of
Family Physicians (AAFP), untuk mendiagnosis OMA, klinisi hendaknya
mengkonfirmasi riwayat penyakit yang akut, mengidentifikasi tanda efusi telinga
tengah dan mengevaluasi keberadaan tanda dan gejala inflamasi telinga tengah.1
Anak-anak yang menderita OMA umumnya memiliki riwayat onset cepat, tanda
dan gejala seperti otalgia (atau tarikan telinga pada bayi), rasa jengkel pada anak
kecil atau bayi, otore dan atau demam. Gejala klinis ini, selain otore ialah
nonspesifik dan sering tumpang tindih dengan infeksi saluran napas atas yang
tidak kompleks. Dalam survei prospektif pada 354 anak-anak yang berkunjung ke
dokter karena penyakit pernapasan akut, demam, nyeri telinga dan tangisan yang
berlebihan banyak ditemukan pada penderita OMA, yaitu sebanyak 90%. Gejala
ini juga ditemukan pada anak-anak yang tidak menderita OMA, yaitu sebanyak
72%. Gejala lain dari infeksi saluran pernapasan atas seperti batuk dan rinore atau
hidung tersumbat, sering didahului atau bersamaan dengan OMA, tetapi ini juga
tidak spesifik. Dengan kata lain, riwayat gejala klinis saja merupakan indikator
yang kurang prediktif untuk mendiagnosis OMA khususnya pada anak yang lebih
kecil.1,52
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
di telinga tengah. Membran timpani yang berubah menjadi opak atau keruh, selain
yang disebabkan oleh luka, juga merupakan penemuan pada OMA dan biasanya
diakibatkan oleh edema dari membran timpani. Kemerahan membran timpani
disebabkan oleh inflamasi biasanya ditemukan dan harus dibedakan dari pink
erythematous flush yang disebabkan oleh menangis atau demam tinggi, yang
biasanya intensitasnya lebih sedikit dan hilang ketika anak sudah tenang. Pada
kasus miringitis bulosa, bula dapat didapatkan pada membran timpani. Jika
ditemukan kesulitan untuk mendeteksi keberadaan cairan di telinga tengah,
pemakaian timpanometri atau reflektometri akustik bisa membantu dalam
menegakan diagnosis.1,52,53
Pemeriksaan yang obyektif untuk mendeteksi efusi telinga tengah adalah dengan
menggunakan timpanometri, yang bergantung pada akustik, yaitu ukuran
kemudahan dengan energi akustik yang mengalir ke telinga tengah. Sensitivitas
dari timpanometri untuk mendiagnosis OMA dilaporkan 83-91%, dengan
spesifisitas 63-86%. Koivunen dkk58 melaporkan hand-held minitympanometry
memiliki spesifisitas 93% dan sensitivitas 79% pada OMA berulang yang
dilakukan miringotomi.56-58
OME sering salah diagnosis sebagai OMA, sehingga antibiotik yang seharusnya
tidak dibutuhkan bisa saja diberikan. Klinisi hendaknya berusaha untuk
menghindari salah diagnosis pada anak dengan rasa tidak nyaman pada telinga
tengah yang disebabkan oleh disfungsi TE dan retraksi dari membran timpani
atau ketika infeksi pernapasan akut yang terjadi pada kasus OME kronis yang
telah ada.1,52
Diagnosis pasti OMA pada balita dan anak kecil, sering sulit ditegakkan. Faktor
yang mempengaruhinya antara lain sulit untuk membersihkan serumen pada liang
telinga, atau kesulitan untuk menjaga selang untuk otoskop pneumatik atau
timpanometri dengan baik. Diagnosis OMA yang tidak pasti paling sering
Universitas Indonesia
Diagnosis pasti OMA ditegakkan bila memenuhi tiga kriteria : onset yang cepat,
adanya efusi telinga tengah dan ditemukan tanda dan gejala inflamasi di telinga
tengah. Klinisi hendaknya memaksimalkan strategi diagnostik, khususnya untuk
mengetahui keberadaan cairan di telinga tengah dan hendaknya
mempertimbangkan kepastiaan diagnosis dalam menentukan penatalaksanaan.1,52
2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan OMA di Indonesia saat ini berdasarkan algoritma
penatalaksanaan yang dibuat oleh Perhati KL(diagram 2.1). Penatalaksanaan
OMA di Amerika dibuat oleh American Academy of Pediatrics (AAP) dan
American Academy of Family Physicians (AAFP) yang bekerja sama dengan
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) (diagram2.2).1,13
Universitas Indonesia
Diagram 2.1. Algoritma penatalaksanaan otitis media akut Perhati KL, 2007.13
Universitas Indonesia
1
Anak usia 2 bulan sampai
12 tahun dengan AOM
Untuk mengdiagnosis Otitis media
sederhana datang ke klinik
akut diperlukan :
1. Riwayat onset akut dari simptom
maupun tanda-tanda lainnya
2 2. Adanya efusi telinga tengah
Dokter memeriksa 3. Terdapat tanda-tanda serta
ada tidaknya nyeri simptom inflamasi telinga tengah
3 4
Nyeri ? Tidak Ke
Kotak 6
Ya
5
Dokter memberikan
perawatan untuk
meredakan nyeri
6 9
10
Apakah anak Amoxicillin 80-
Apakah observasi demam ≥ 39 C
merupakan 90mg/kh/hr merupakan
Tidak dan atau otalgia Tidak
pilihan perawatan agen antibakteri awal
sedang atau berat
awal ? pilihan pada umumnya
Ya
Ya
7 12 11
Anak diobservasi 48-72 Ke Kotak
Anak
jam dengan kepastian 14
diberikan
dilakukan follow up
terapi
antibiotik yang
sesuai
8 (Lihat tabel 6)
Ke Kotak 14
13
Ke Kotak 14
Universitas Indonesia
14 16
Apakah pasien Klinisi
merespon pada terapi memeriksa
awal (baik terapi kembali dan
anti-bakteri maupun mengkonfirmasi
observasi) ? diagnosis AOM
Y 17
15
Apakah 18
Pasien di
follow-up diagnosis Periksa
OMA telah penyebab
dikonfirmasi lainnya dan
tangani dengan
Y
19 Pemulihan
Klinisi sebaiknya memulai terapi antibakteri harus
antibakteri pada anak yang awalnya berdasarkan pada
dilakukan observasi atau mengganti jenis patogen yang
antibakteri pada pasien yang ada dan
sebelumnya diberi-kan terapi pengalaman klinis
antibakter (Lihat tabel 6 untuk
panduan klinis)
Diagram 2.2. Algoritma penatalaksanaan otitis media akut AAP, AAFP dan
AHRQ.1
Universitas Indonesia
OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya. Sekitar
80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak
mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya
pendengaran.4,29
Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik
dalam 48-72 jam atau ada perburukan gejala, dapat diberikan antibiotik. American
Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan
yang harus segera mendapat terapi antibiotik. Observasi dilakukan pada anak usia
6 bulan sampai 2 tahun dengan gejala ringan dan diagnosis tidak pasti, dan pada
anak usia 2 tahun atau lebih dengan gejala ringan atau dengan diagnosis tidak
pasti. Observasi adalah pilihan yang sesuai jika tindak lanjut belum bisa
dipastikan, dan agen antibakteri dimulai jika gejala tetap ada atau bertambah
buruk. Gejala ringan adalah otalgia ringan dan demam <39°C pada 24 jam
pertama. Gejala berat adalah otalgia sedang sampai berat atau demam 39°C.
Pilihan antibiotik yang dapat digunakan adalah amoksisilin, kombinasi
amoksisilin dengan klavulanat, dan seftriakson.1
Universitas Indonesia
2.8. Komplikasi
Pada OMA, komplikasi yang terjadi dapat berupa gangguan pendengaran yang
bersifat ringan dapat terjadi akibat efusi telinga tengah yang persisten, biasanya
konduktif dan bersifat sementara. Gangguan pendengaran sensorineural dapat
juga terjadi sebagai komplikasi dari OMA, tetapi jarang sekali terjadi. Komplikasi
lain adalah mastoiditis, petrositis, labirinitis dan parese nervus fasialis. Di negara-
negara berkembang, infeksi supuratif seperti mastoiditis dan meningitis tetap
menjadi komplikasi yang penting OMA, walaupun angka ini sudah jauh
berkurang setelah adanya era antibiotik. Pada kasus OMA yang telah diberi
antibiotik, efusi di telinga tengah dapat bertahan selama berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan , hal ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang
dapat menyebabkan gangguan perkembangan bicara, bahasa dan kognitif anak,
terutama bila terjadi pada anak usia di bawah 2 tahun.5-8,10
Universitas Indonesia
BAB III
METODE PENELITIAN
Faktor Pejamu
Faktor Lingkungan -Usia
-Pengguna susu botol -Jenis kelamin
dan posisi saat minum -Predisposisi genetik
susu -Abnormalitas anatomi
-Pengguna dot -Disfungsi fisiologis: gangguan
fungsi tuba,LPR
Faktor Pejamu
-Status Gizi
-Imunisasi
-Alergi
Faktor Agen
-ASI
-Bakteri
-ISPA
-Virus
Faktor Sosiodemografi
-Kepadatan penduduk dan
OMA
lingkungan tempat tinggal
-Pengguna sarana
Universitas Indonesia
Faktor Pejamu
Usia
Jenis kelamin
Riwayat pemberian ASI
ISPA
Rinitis alergi
Abnormalitas anatomi ( palatoskizis)
Status gizi
Imunisasi
Faktor Lingkungan
OMA
Penggunaan dot
Pajanan asap rokok
Pengguna susu botol dan posisi saat
minum susu
Faktor Sosiodemografi
Lingkungan tempat tinggal
Pendapatan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
orang, maka didapatkan jumlah sampel minimal sebesar 384 orang dengan
interval kepercayaan 95%.
Universitas Indonesia
Untuk memenuhi jumlah subyek penelitian maka penentuan titik yang akan
disurvei ditentukan jumlahnya secara merata pada seluruh Rukun Warga (RW).
Untuk mendapatkan proporsi rumah yang merata setiap RW maka 408 rumah
dibagi kedalam 25 RW yang terdapat di 2 kelurahan. Penentuan titik secara
manual dengan mengacak salah satu titik awal, kemudian diacak arah
menggunakan putaran jarum dengan jarak yang ditentukan sesuai luas daerah peta
kelurahan.61
Berdasarkan besar subyek minimal terbanyak pada penelitian bersama maka kami
melakukan penelitian terhadap 408 rumah. (Algoritma 3.1)
Universitas Indonesia
Dipilih berdasarkan:
Multi stage stratified random
sampling
Tingkat wilayah
berdasarkan tingkat kepadatan
penduduk (di atas dan di bawah) Kecamatan terpilih
1.Kec. Kramat Jati
2.Kec. Makasar
Dipilih berdasarkan:
Random sampling
1 Kelurahan dari masing-
masing kecamatan
Kelurahan terpilih
1.Kel. Cawang
2.Kel. Cipinang
Melayu
Dipilih berdasarkan:
Spatial random sampling
Berdasar nomor rumah
Jumlah Rumah
408 rumah
Ditentukan berdasarkan:
Asumsi 2 orang anak/ rumah
Jumlah Sampel
511 subyek/ anak
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Informed consent
Pengisian Kuesioner
Pemeriksaan THT
*Terapi
Kunjungan rumah untuk memenuhi
jumlah subyek penelitian
Kuisioner yang digunakan pada penelitian ini telah melalui uji validasi internal
dan eksternal. Uji validasi internal dilakukan oleh para ahli THT untuk menilai
kelengkapan gejala dan tanda yang sesuai dengan penyakit yang akan dievaluasi
pada masyarakat. Uji validasi eksternal dilakukan pada 30 orang non subyek
Universitas Indonesia
penelitian pada daerah yang sama, sehingga bentuk pertanyaan yang akan
diajukan dapat diaplikasikan kepada subyek penelitian.
Semua data yang diperoleh dan telah dicatat dalam formulir laporan penelitian
yang telah disiapkan, dilakukan verifikasi terlebih dahulu dengan melakukan
konfirmasi ke subyek penelitian dan atau orang tua subyek penelitian mengenai
data yang tidak lengkap, kemudian dimasukkan ke dalam data base komputer.
Data yang sudah ada ditransfer dan diolah menggunakan SPSS 18.0, kemudian
dilakukan verifikasi ulang dan analisis data secara deskriptif untuk mencari
distribusi frekuensi.
Universitas Indonesia
- Usia
Definisi : umur dihitung dalam tahun dengan pembulatan ke bawah.
Perhitungan didasarkan pada kalender Masehi.
Alat ukur : kuesioner.
Hasil ukur : dalam tahun dan bulan.
Skala ukur : kategori.
- Riwayat ASI
Definisi : lama anak mendapat ASI.
Alat ukur : kuesioner (ditanyakan pada subyek di bawah usia 5 tahun).
Hasil ukur: minum ASI < 1 bulan, 1-5 bulan, 6-11 bulan, 12-17 bulan, 18-23
bulan, > 24 bulan.
Skala ukur : kategori.
Universitas Indonesia
- Rinitis Alergi
Definisi : Kelainan pada hidung akibat reaksi inflamasi dengan mediator
IgE setelah paparan alergen pada mukosa hidung. Gejala rinore,
obstruksi hidung, gatal pada hidung dan bersin.62
Alat ukur : kuesioner (disadur dari kuesioner ISAAC fase II (lampiran 5))63
Hasil ukur : terdapat rinitis alergi atau tidak terdapat rinitis alergi.
Skala ukur : nominal.
- Palatoskisis
Definisi : kegagalan 2 sisi palatum durum untuk menyatu, karena kelainan
kongenital 64
Alat ukur : kuesioner, pemeriksaan fisik.
Hasil ukur : terdapat palatoskisis atau tidak terdapat palatoskisis.
Skala ukur : nominal
- Status Gizi
Definisi : Keadaan gizi subyek pada saat diperiksa. Subyek diperiksa,
kemudian status gizi ditentukan dengan menggunakan kurva
WHO CDC65
Alat ukur : timbangan berat badan dacin (untuk umur di bawah 5 tahun) dan
timbangan digital (untuk umur di atas 5 tahun), serta alat
pengukur panjang badan bayi (untuk bayi dan anak-anak yang
belum dapat berdiri), microtoise (untuk anak-anak yang sudah
dapat berdiri).
Hasil ukur : Gizi kurang, normal, lebih (obesitas).
Skala ukur : kategori.
Universitas Indonesia
- Imunisasi
Definisi : Riwayat pemberian imunisasi.
Alat ukur : kuesioner.
Hasil ukur : mendapat imunisasi dasar lengkap atau tidak lengkap.
Skala ukur : nominal.
- Penggunaan dot
Definisi : penggunaan dot baik yang diberikan sejak lahir maupun setelah
ASI.
Alat ukur : kuesioner (ditanyakan pada subyek di bawah usia 5 tahun).
Hasil ukur : menggunakan dot atau tidak menggunakan dot.
Skala ukur : nominal.
Universitas Indonesia
- Pendapatan
Definisi : Jumlah penghasilan keluarga selama sebulan
Alat ukur : kuesioner (berdasarkan data dari BPS)60
Hasil ukur : < Rp. 1.800.000, > Rp. 1.800.000
Skala ukur : nominal
Universitas Indonesia
status kesehatan THT dan pada subyek penelitian yang terdapat serumen pada
liang telinga dapat langsung ditangani (beneficience).
Asas non maleficience dan justice juga digunakan pada penelitian ini yaitu
subyek penelitian tidak akan memperparah penyakit atau menimbulkan kesakitan
pada subyek penelitian. Populasi maupun subyek penelitian yang tidak termasuk
dalam subyek penelitian tetapi ingin diperiksa, akan diperiksa. Subyek penelitian
yang ditemukan mengalami kelainan akan diterapi sesuai dengan penyakitnya
dan dianjurkan untuk berobat kembali ke Puskesmas/Rumah Sakit rujukan
setempat dengan membawa keterangan hasil pemeriksaan. Data yang didapatkan
dari masyarakat ini ditujukan untuk kepentingan seluruh warga negara,
komunitas dan masyarakat tanpa membedakan ras, agama dan status sosial
sebagai data awal untuk pengembangan kesehatan telinga berbasis masyarakat.66
Universitas Indonesia
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan survei di populasi yang bersifat potong lintang deskriptif
dan merupakan bagian dari penelitian Profil Otitis Media di wilayah Kodya
Jakarta Timur. Pengambilan subyek dilakukan pada tanggal 4 Mei sampai dengan
tanggal 18 Juni 2012. Subyek adalah populasi anak usia sampai dengan 18 tahun
yang bertempat tinggal di wilayah Kodya Jakarta Timur. Subyek yang diambil
sesuai dengan kriteria penerimaan dan penolakan yang sudah ditetapkan
sebelumnya.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Akademi 31 6,18
SLTP 67 13,35
SD 40 7,97
PNS/TNI/Polri 38 7,57
Akademi 39 7,77
SLTP 92 18,33
SD 46 9,16
PNS/TNI/Polri 29 5,78
Wiraswasta 70 13,94
Penelitian ini melibatkan 502 subyek. Subyek penelitian berusia 2,4 bulan sampai
18 tahun terbagi dalam lima klasifikasi usia dengan jumlah terbanyak pada
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tidak 27 100,00
Status Gizi Kurang 15 55,56
Normal 10 37,04
Lebih 2 7,40
Pajanan asap rokok Ya 19 70,37
Tidak 8 29,63
Kepadatan Cawang (padat) 17 62,96
Cip melayu (kurang padat) 10 37,04
Pada penelitian ini, jumlah terbanyak subyek penderita OMA didapatkan pada
kelompok usia 2 -5 tahun (44,44%), dengan sebagian besar berjenis kelamin laki-
laki (70,37%) dan tergolong status gizi kurang (55,56%). Subyek penderita OMA
yang memiliki gejala batuk pilek sebesar 66,67% dan tidak ada yang mendapatkan
gejala rinitis alergi. Sebagian besar subyek penderita OMA mendapatkan pajanan
asap rokok (70,37%) dan tinggal di kawasan padat penduduk (62,96% ) di
kelurahan Cawang dengan penghasilan keluarga di bawah Rp. 1.800.000,- per
bulan (59,26%).
Universitas Indonesia
Tabel 4.3.2. Karakteristik faktor risiko OMA pada anak-anak di bawah 5 tahun
di Kodya Jakarta Timur (N=20)
1-5 bl 1 5.00%
6-11 bl 6 30.00%
12-17 bl 3 15.00%
18-23 bl 4 20.00%
>24 bl 3 15.00%
Tidak 10 50.00%
Pada penelitian ini, sebagian besar (85%) subyek penderita OMA dengan usia di
bawah 5 tahun mendapatkan ASI dengan lama pemberian ASI terbanyak selama
6–11 bulan (30%). Subyek penderita OMA dengan usia di bawah 5 tahun yang
mendapatkan susu botol sebesar 65%, sebagian besar (70%) diberikan susunya
dengan posisi berbaring. Separuh (50%) subyek penderita OMA dengan usia di
bawah 5 tahun menggunakan dot dan sebagian besar (90%) mendapatkan
imunisasi lengkap.
Universitas Indonesia
Karakteristik keluhan penderita OMA disajikan dalam tabel 4.3.3, 4.3.4, dan
4.3.5.
Tabel 4.3.4. Karakteristik keluhan penderita OMA pada anak-anak di atas 5 tahun
di Kodya Jakarta Timur (N=373)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.4.1. Analisis hubungan faktor risiko dengan angka kejadian OMA pada
anak-anak di Kodya Jakarta Timur (N=485)
Usia
(tahun)
0,2 - < 5
20 74,07 92 20,09 112 23,09 <0,001 11,36 (4,66-27,69)
> 5
7 25,93 366 79,91 373 76,91
Jenis
Kelamin
Laki-laki 19 70,37 223 48,69 242 49,89 0,029 2,50 (1,07-5,83)
Prempuan 8 29,63 235 51,31 243 50,11
ISPA
Ya 18 66.67 57 12,45 75 15,46 <0,001 14,07 (6,03-32,8)
Tidak 9 33.33 401 87,55 410 84,54
Rhinitis
Alergi
Ya 0 0.00 29 6,33 29 5,98 0,394 1,06 (1,04-1,09)
Tidak 27 100.00 429 93,67 456 94,02
Pajanan
asap
Ya 19 70,37 239 52,18 258 53,19 0,066 2,18(0,93-5,07)
Tidak 8 29,63 219 47,82 227 46,81
Kepadatan
Cawang 17 62,96 181 39,52 198 40,82 0,016 2,60 (1,16-5,81)
(padat)
Cipinang 10 37.04 277 60,48 287 59,18
melayu
Pendapa-
tan RT
di bawah 16 59.26 204 44,54 220 45,36 0,135 0,55 (0,25-1,22)
1.800.000
di atas 11 40,74 254 55,46 265 54,64
1.800.000
Universitas Indonesia
Usia merupakan salah satu faktor risiko OMA, pada penelitian ini menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna (p < 0.001) untuk terjadinya OMA, dengan
sebagian besar (74,07%) anak yang menderita OMA adalah kelompok usia di
bawah 5 tahun. Kelompok ini memiliki risiko 11,36 kali lebih besar untuk
terjadinya OMA dibandingkan dengan kelompok usia di atas 5 tahun.
Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar anak yang mempunyai riwayat
ISPA dalam 1 bulan terakhir (66,97%) tejadi pada anak-anak dengan OMA,
sebaliknya pada kelompok anak yang tidak menderita OMA hampir seluruh
(87,55%) anak tidak mempunyai riwayat ISPA dalam 1 bulan terakhir.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor
risiko ISPA dengan kejadian OMA (p< 0,001). Kelompok anak dengan riwayat
ISPA memiliki risiko untuk menderita OMA 14,07 kali dibandingkan anak yang
tidak memempunyai riwayat ISPA.
Pada penelitian ini, kepadatan juga merupakan faktor risiko yang mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian OMA, dengan sebagian besar
(62,96%) anak yang menderita OMA bertempat tinggal di lingkungan yang
kepadatannya lebih tinggi (p= 0,016). Kelompok ini memiliki risiko 2,6 kali lebih
besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan kelompok anak yang tinggal di
lingkungan yang kepadatannya kurang.
Universitas Indonesia
Pajanan asap rokok dan pendapatan rumah tangga memiliki kecenderungan untuk
menyebabkan OMA (p< 0,25) sehingga memenuhi syarat untuk disertakan dalam
analisis multivariat.
Pada penelitian ini, dilakukan juga penghitungan kemaknaan hubungan status gizi
dengan angka kejadian OMA. Hasil analisis tersebut disajikan dalam tabel 4.3.4.
Tabel 4.4.2. Analisis hubungan status gizi dengan angka kejadian OMA pada
anak-anak (N=416)
Status Gizi
Berdasarkan hasil penelitian ini, hubungan faktor risiko gizi tidak bermakna
dengan angka kejadian OMA. Jumlah subyek yang dapat digunakan pada
penelitian ini sebesar 416 subyek.
Pada anak usia di bawah 5 tahun dilakukan juga analisis hubungan beberapa
faktor risiko dengan angka kejadian OMA. Hasil analisis tersebut disajikan dalam
tabel 4.3.5.
Universitas Indonesia
Tabel 4.4.3. Analisis hubungan faktor risiko dengan angka kejadian OMA pada
balita di Kodya Jakarta Timur (N=112)
Lama
ASI
< 6 bl 4 20 15 16,30 19 16,96 0,795 0,45 (0,15-1,37)
6-12 bl 9 45 49 53,26 58 51,79
>12 bl 7 35 28 30,43 35 31,25
Susu
Botol
Ya 13 65 50 54,35 63 56,25 0,384 1,56 (0,57-4,27)
Tidak 7 35 42 45,65 49 43,75
Posisi
Berbari 14 70 77 83,69 91 81,25 0,204 0,45 (0,15-1,37)
ng
Duduk 6 30 15 16,31 21 18,75
Pakai
Dot
Ya 10 50 37 40,22 47 41,96 0,422 1,49 (0,56-3,92)
Tidak 10 50 55 59,78 65 58,04
Imunis
asi
tidak 2 10 10 10,87 12 10,71 1,000 0,91 (0,18-4,52)
lengkap
Lengkap 18 90 82 89,13 100 89,29
Faktor risiko ASI, penggunaan susu botol, posisi pemberian susu, pemakaian dot,
dan imunisasi tidak menunjukkan hubungan bermakna terhadap terjadinya OMA.
Universitas Indonesia
Tabel 4.5.1. Faktor determinan penyebab OMA pada anak-anak di Kodya Jakarta
Timur (N=485)
Jenis kelamin
Laki-laki 19 223 0,062 2,50(0,96-6,57)
Perempuan 8 235
ISPA
Ya 18 57 <0,001 10,1(3,97-25,20)
Tidak 9 401
Pajanan asap rokok
Ya 19 239 0,688 1,23 (0,45-3,41)
Tidak 8 219
Kepadatan
Cawang (padat) 17 181 0,080 2,39 (0,90-6,33)
Cipinang melayu 10 277
Pendapatan RT
di bawah 16 204 0,707 1,19(0,47-3,03)
Rp 1.800.000
di atas 11 254
Rp 1.800.000
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai “Profil Otitis Media” di
Kotamadya Jakarta Timur, yang diharapkan dapat dilakukan di skala yang lebih
besar dan dapat menjadi sistem pengumpulan data nasional.
Universitas Indonesia
Kesulitan lain yang ditemui adalah memotivasi subyek penelitian untuk mengikuti
kegiatan penelitian. Hal ini disebabkan antara lain waktu yang tidak tersedia untuk
mengikuti kegiatan penelitian serta belum memahami sepenuhnya maksud dan
tujuan penelitian ini. Masalah geografis juga menjadi kendala, seperti tempat
tinggal yang jauh dari Puskesmas Kelurahan. Kesulitan ini telah diatasi dengan
mengikut sertakan para kader dalam kegiatan penelitian, sehingga mereka dapat
membantu dalam memberikan penjelasan kepada subyek penelitian. Untuk
masalah geografis telah diatasi dengan melaksanakan kegiatan penelitian berupa
pemeriksaan fisik di daerah RW setempat (sweeping), terutama di daerah-daerah
dengan jumlah ketidak hadiran subyek yang besar pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik di Puskesmas Kelurahan, sehingga subyek dengan mudah dapat
mengikuti kegiatan penelitian.
Angka subyek penelitian yang drop out pada penelitian ini adalah 241 subyek
(13%), hal ini menggambarkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam
membantu program kesehatan ini dan juga kemungkinan karena waktu
pengumpulan data yang singkat. Hal ini sudah diantisipasi sebelumnya dengan
menambah jumlah subyek penelitian sebesar 15% untuk kemungkinan
ketidakberadaan atau masalah administrasi, dan ditambahkan lagi 15% untuk
kemungkinan adanya drop out.
Universitas Indonesia
Angka yang cukup tinggi pada penelitian ini jika dibandingkan dengan studi
epidemiologi di Thailand tersebut, kemungkinan dihubungkan dengan masih
tingginya angka prevalensi ISPA di DKI Jakarta yaitu sebesar 22,6% berdasarkan
Riset kesehatan dasar 2007. Sedangkan cukup rendah bila dibandingkan dengan
studi epidemiologi di Nigeria, yang memiliki angka prevalensi ISPA sebesar
37,4%.67
Strategi penatalaksanaan terintegrasi oleh pihak medis dan struktural, dengan cara
preventif, promotif dan kuratif perlu dilakukan untuk menurunkan angka
prevalensi ini. Berdasarkan hasil penelitian ini tindakan preventif yang dapat
dilakukan adalah dengan mengurangi tingkat kepadatan penduduk dengan
program transmigrasi dan menggalakkan program Keluarga Berencana untuk
membatasi jumlah anak dalam suatu keluarga, dan penyuluhan pentingnya
menghindari penularan penyakit infeksi yang sering terjadi pada masyarakat
dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Penyuluhan berupa pentingnya ASI dan
juga menghindari pajanan rokok juga perlu dilakukan. Subyek yang mengalami
OMA, diharapkan orang tuanya memiliki kesadaran untuk membawa anaknya
berobat ke pusat kesehatan, agar tidak terjadi komplikasi dari penyakit ini
Universitas Indonesia
terutama gangguan pendengaran dan gangguan bicara dan bahasa yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar, mengingat pada penelitian ini prevalensi tertinggi
pada kelompok usia 2-5 tahun dimana merupakan waktu saat anak belajar bicara.
Pada penelitian ini proporsi OMA terbanyak terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun
sebesar 44,4 %. Berdasarkan analisis bivariat dan multivariat, usia di bawah 5
tahun merupakan faktor risiko yang paling bermakna dan dominan terhadap
kejadian OMA. Anak-anak dengan usia di bawah 5 tahun memiliki risiko 10 kali
lebih besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan usia di atas 5 tahun.
Berdasarkan kepustakaan, Stangerup dkk, Alho dkk, Pukander dkk, Rovers dkk
seperti dikutip oleh Bluestone10, Wang22 ,dan juga Zakzouk dkk23, menyatakan
faktor usia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya OM. Stangerup dkk
dikutip oleh Bluestone10, menyatakan bahwa usia di bawah 5 tahun merupakan
faktor risiko terjadinya OMA, menurut Wang dkk usia 3-5 tahun. Zakzouk dkk23
menyatakan usia di bawah 4 tahun secara statistik bermakna terhadap risiko
terjadinya OMA jika dibandingkan usia 8 -12 tahun. Alho dkk, Pukander dkk,
Rovers dkk, menyatakan bahwa puncak prevalensi terjadinya otitis media pada
usia di bawah 2 tahun. Hasil ini juga didukung oleh tingginya prevalensi ISPA di
Universitas Indonesia
DKI Jakarta pada usia 1-4 tahun dan di bawah 1 tahun. Hal ini juga disebabkan
karena pada usia tersebut tuba Eustachius anak belum berkembang mencapai
ukuran dewasa, TE lebih pendek dan letaknya lebih datar/horisontal sehingga
sekret dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah.
ISPA pada penelitian ini secara statistik bermakna sebagai faktor risiko penyebab
OMA, dan juga merupakan faktor risiko yang dominan, berdasarkan analisis
bivariat dan multivariat. Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
membuktikan ini. Revai dkk36 menyatakan 30% dari ISPA menyebabkan OMA.
Chonmaitree dkk37 menyatakan insiden terjadinya otitis media yang disebabkan
oleh ISPA sebesar 61%, yaitu 37% OMA dan 24% OME.
Hal ini juga didukung kepustakaan yang menyatakan apabila terjadi ISPA, dapat
menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsi tuba Eustachius sehingga
menurunkan tekanan di telinga tengah diikuti masuknya bakteri dan virus ke
dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius mengakibatkan peradangan dan
efusi di telinga tengah. Berdasarkan data riskesdas 2007, ISPA merupakan urutan
ke-3 penyakit terbanyak di DKI Jakarta bahkan di Indonesia, angka prevalensinya
di Jakarta Timur sebesar 26,6% dan paling banyak terjada pada anak-anak
Universitas Indonesia
terutama di bawah usia 5 tahun. Jumlah penduduk yang padat di jakarta juga
mempengaruhi hal ini, karena penularan dari ISPA ini dan akhirnya dapat
mencetuskan terjadinya OMA.5,12,67
Pada penelitian ini lingkungan dengan kepadatan penduduk lebih tinggi secara
statistik bermakna sebagai faktor risiko terhadap OMA. Hasil ini sesuai dengan
penelitian Yang dkk50 ,menunjukan bahwa tinggal di lingkungan yang lembab,
banjir, dan berjamur memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya
OMA. Dalam penelitian ini kelurahan Cawang merupakan daerah dengan tingkat
kepadatan tinggi dan juga merupakan daerah yang rawan banjir.
Pada penelitian ini pajanan asap rokok secara statistik tidak bermakna sebagai
faktor risiko terjadinya OMA (p=0,066;OR=2,18). Pada penelitian yang dilakukan
bersamaan dengan penelitian ini Rizaldi68, mendapatkan hanya 1 dari 5 anak
penderita OME dengan hasil kandungan kotinin positif pada urin. Sedangkan
penelitian oleh Strachan dkk45, dan meta analisis oleh Uhari dkk31 dan
pembahasan sistematik oleh Froom dkk9, menunjukkan bahwa pajanan asap rokok
memiliki hubangan yang bermakna terhadap OMA.
Kalau dilihat secara keseluruhan yaitu dari 502 subyek, terdapat 53,2% anak yang
terpajan asap rokok, dan pada anak-anak yang menderita OMA sebagian besar
(70,4%) terpajan asap rokok. Perlu diperhatikan bahwa pajanan asap rokok
merupakan salah satu faktor lingkungan yang memegang peranan penting dalam
meningkatkan insidensi terjadinya OMA. Data Riskesdas RI pada tahun 2007
menunjukkan bahwa sebanyak 69% rumah tangga memiliki pengeluaran untuk
rokok.67
Faktor pendapatan yang rendah pada penelitian ini tidak memberikan hasil yang
bermakna secara statistik dalam mempengaruhi terjadinya OMA (p=0,135;
OR=0,55). Penelitian Maharjan dkk48 menyatakan anak-anak dengan sosio-
Universitas Indonesia
ekonomi rendah di Nepal, memiliki prevalensi tinggi menderita otitis media. Studi
yang dilakukan oleh Smith dan Boss49, menyatakan anak-anak dengan sosio-
ekonomi kurang dapat meningkatkan risiko terjadinya OM. Hasil penelitian ini
tidak mendukung kepustakaan yang ada.
Rinitis alergi pada penelitian ini tidak memberikan hasil yang bermakna secara
statistik OMA (p=0,394;OR=1,06). Juntti dkk38 menyatakan bahwa anak dengan
riwayat alergi susu sapi, meningkatkan risiko terjadinya otitis media. Berdasarkan
kepustakaan dikatakan bahwa hubungan antara alergi dengan OM masih belum
diketahui dengan pasti. Pada anak kurang dari 4 tahun, sistem imun masih
berkembang, dan alergi tidak dapat berperan pada OMA rekuren pada kelompok
usia ini; pada penelitian ini mayoritas OMA terjadi pada usia di bawah 5 tahun.
Hasil ini juga dapat dikaitkan dengan teori hipotesis higiene, yang menyatakan
bahwa individu yang terpapar infeksi atau pada lingkungan dengan risiko paparan
infeksi memiliki kemungkinan lebih kecil untuk terjadinya reaksi hipersensitifitas.
Pada penelitian ini OMA lebih banyak terjadi pada lingkungan yang kepadatannya
lebih tinggi.39
Pengumpulan data berat badan dan tinggi badan subyek penelitian mengalami
hambatan pada saat penelitian dilakukan pada waktu sweeping rumah subyek satu
per satu, dimana kami mengalami kesulitan untuk melakukan pengukuran tersebut
secara akurat menggunakan alat yang terstandarisasi dan dinggap baku pada
penelitian ini. Hal ini menjadikan jumlah data yang dapat digunakan untuk
pengukuran status gizi dengan antropometri WHO pada penelitian ini hanya
sebesar 436 subyek (86,9%). Hasil penelitian ini menyatakan 55,6% subyek
penderita OMA tergolong status gizi kurang, dan 44,4 % termasuk gizi normal-
lebih, namun hubungan faktor risiko gizi secara statistik tidak bermakna dengan
angka kejadian OMA (p=0,436;OR=1,36).
Universitas Indonesia
Pada anak di bawah 5 tahun, faktor risiko ASI, penggunaan susu botol, posisi
pemberian susu, pemakaian dot, dan imunisasi juga dianalisis.
Pada penelitian ini ASI secara statistik tidak bermakna sebagai faktor risiko
terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, banyak penelitian yang menunjukan
bahwa pemberian ASI mencegah bayi terhadap OM, hal ini terjadi pada anak yang
mendapatkan ASI eksklusif pada 3-6 bulan pertama. Studi yang dilakukan oleh
Alho33, didapatkan bahwa menyusui <3 bulan mempunyai risiko peningkatan
terjadinya OMA dan OME sebanyak 20% sampai 60%. Studi metaanalisis oleh
Uhari, Mantysaari, dan Niemela31 menyimpulkan bahwa ASI selama paling tidak
3 bulan adalah proteksi dalam mengurangi risiko terjadinya OM. Sedangkan studi
berbasis komunitas di Nigeria tahun 2005 yang dilakukan oleh Amusa dkk14,
menyatakan bahwa tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian
ASI dengan otitis media. Pada penelitian ini, hampir seluruh subyek (92,8%)
mendapatkan ASI, namun interpretasi lebih lanjut tidak dapat dilakukan karena
tidak adanya informasi tentang apakah pola menyusui adalah eksklusif atau
parsial.
Pada penelitian ini pemberian imunisasi secara statistik tidak bermakna sebagai
faktor risiko terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, studi berbasis komunitas
di Nigeria tahun 2005 yang dilakukan oleh Amusa dkk14, tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara imunisasi dengan otitis media. Penelitian yang
dilakukan oleh Leibovitz dan Greenberg29 di Amerika Serikat tahun 2004,
menyatakan bahwa imunisasi dengan vaksin konjugasi pneumokokus pada bayi di
bawah 2 tahun telah menunjukan khasiat untuk pencegahan OMA pada
pneumokokus spesifik serotipe. Penelitian pada uji klinis yang dilakukan oleh
Karma28 di Finland, menyatakan vaksin konjugasi pneumokokus heptavalent
CRM 197 menurunkan angka OMA pneumokokus, vaksin influenza
memperlihatkan proteksi terhadap OMA selama epidemik virus.
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini pemakaian susu botol secara statistik tidak bermakna sebagai
faktor risiko terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, penggunaan air untuk
membuat susu formula dan botol itu sendiri dapat mengakibatkan kontaminasi
bakteri. Alergi dan kontaminasi bakteri pada susu formula, dapat menyebabkan
gastroenteritis berulang sehingga menurunkan gizi pada bayi. Penggunaan susu
botol dapat mengganggu perkembangan dari otot-otot muka yang dapat
mempengaruhi fungsi dari TE, juga dapat menyebabkan aspirasi cairan ke telinga
tengah karena tekanan intra oral yang tinggi. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan kepustakaan yang ada.
Pada penelitian ini sebagian (50%) dari penderita OMA menggunakan dot, namun
secara statistik pemakaian dot tidak bermakna sebagai faktor risiko terjadinya
OMA (p=0,422; OR=1,49). Pada penelitian oleh Rovers dkk44 dan studi meta
analisis oleh Uhari dkk31, menyatakan bahwa pemakaian dot dapat meningkatkan
risiko terjadinya OMA. Berdasarkan kepustakaan, ada 2 mekanisme yang
menyebabkan hal ini terjadi. Mekanisme yang pertama ialah penghisapan dot
dapat meningkatkan refluks dari sekresi nasofaring ke telinga tengah, sehingga
pada saat flu, patogen dapat mudah masuk ke telinga tengah melalui jalan ini.
Mekanisme yang kedua, penggunaan dot dapat menyebabkan perubahan struktur
gigi dan rongga mulut sehingga dapat menyebabkan disfungsi TE. Hasil
penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa pemakaian dot dapat meningkatkan risiko terjadinya OMA.
Posisi saat minum susu tehadap faktor risiko OMA pada penelitian ini secara
statistik tidak bermakna. Berdasarkan kepustakaan, penggunaan susu botol dapat
Universitas Indonesia
mempengaruhi fungsi dari TE, juga dapat menyebabkan aspirasi cairan ke telinga
tengah karena tekanan intra oral yang tinggi. Posisi pemberian susu botol dengan
cara berbaring atau horisontal dapat menyebabkan refluks. Hampir seluruh subyek
(81,3%) pada penelitian ini diberikan susu dengan posisi berbaring. Hasil
penelitian ini tidak mendukung kepustakaan yang ada.
Dari hasil analisis multivariat dengan regresi logistik yang telah dilakukan pada
penelitian ini, ternyata variabel usia dan riwayat ISPA yang secara bermakna dan
dominan berhubungan dengan kejadian OMA pada anak-anak di Kotamadya
Jakarta Timur. Anak yang usianya di bawah 5 tahun memiliki risiko 10 kali lebih
besar untuk terjadinya OMA dibandingkan dengan anak usianya di atas 5 tahun.
Begitupun dengan anak yang memiliki riwayat ISPA dalam 1 bulan terakhir
berpeluang 10,10 kali dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat
ISPA. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik didapatkan koefisien determinan
(r2) 0,410, dengan demikian menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko yang
disertakan dalam penelitian memberikan kontribusi hanya 41%, masih banyak
faktor risiko lain yang harus diperhitungkan agar dapat digunakan untuk
memprediksi terjadinya OMA.
Hasil penelitian ini didukung oleh kepustakaan yang menyatakan bahwa pada usia
tersebut tuba Eustachius anak belum berkembang mencapai ukuran dewasa, TE
lebih pendek dan letaknya lebih datar/horisontal sehingga sekret dari nasofaring
lebih mudah masuk ke telinga tengah. Berbagai kepustakaan juga menyatakan
bahwa 95% dari kasus OMA, penyebabnya adalah infeksi bakteri. Dan
berdasarkan data riskesdas 2007, ISPA merupakan urutan ke-3 penyakit terbanyak
di DKI Jakarta, angka prevalensinya di Jakarta Timur sebesar 26,6% dan paling
banyak terjada pada anak-anak terutama di bawah usia 5 tahun.
Universitas Indonesia
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada penelitian ini didapatkan angka prevalensi OMA pada anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur tahun 2012 sebesar 5,4%
2. Hubungan fakor risiko dengan kejadian OMA pada anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMA
adalah usia ( p < 0,001; OR=11,36), jenis kelamin (p= 0,029 dan
OR=2,50), riwayat ISPA (p< 0,001; OR=14,07), dan lingkungan
tempat tinggal (p= 0,016;OR=2,60)
b. Faktor risiko yang memiliki kecenderungan penyebab terhadap
kejadian OMA, namun secara statistik tidak bermakna adalah pajanan
asap rokok (p=0,066;OR=2,18), dan pendapatan rumah tangga
(p=0,135;OR=0,55).
c. Faktor risiko yang tidak berhubungan terhadap kejadian OMA adalah
rinitis alergi (p=0,394;OR=1,06).
3. Hubungan faktor risiko dengan kejadian OMA pada anak-anak di bawah 5
tahun yaitu ASI (p=0,151;OR=0,33), penggunaan susu botol
(p=0,384;OR=1,56), posisi pemberian susu (p=0,204; OR=0,45),
pemakaian dot (p=0,422;OR=1,49), dan imunisasi (p=1,000;OR=0,91)
tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.
4. Dari keempat faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian OMA pada
anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur, didapatkan faktor risiko usia
(p<0,001;OR=10,00) dan ISPA (p<0,001;OR=10,01) yang paling
bermakna dan dominan terhadap kejadian OMA. (koefisien
determinan=0,410)
Universitas Indonesia
6.2. Saran
1. Perlu dilanjutkan penelitian yang serupa di wilayah lain di Indonesia,
sehingga dapat ditentukan besaran masalah dengan skala Nasional.
2. Perlunya dilakukan tindakan promotif dan preventif terkait dengan
penyakit OMA dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang secara
signifikan berisiko untuk terjadinya OMA pada anak-anak, dan juga
kuratif terhadap penyakit OMA agar tidak terjadi komplikasi yang tidak
diinginkan.
3. Dalam upaya menurunkan angka kejadian OMA pada anak-anak
hendaknya dilakukan penyuluhan kesehatan yang intensif dan efektif
terkait dengan ISPA dan rentannya balita terhadap kejadian OMA. Perlu
juga dilakukan pengobatan adekuat dan pemantauan pengobatan terhadap
ISPA agar tidak terjadi OMA.
4. Sebagai awal penelitian multi center untuk mendapatkan prevalensi dan
gambaran faktor risiko penyakit telinga tengah khususnya OMA di
Indonesia, serta digunakan untuk surveilans nasional secara berkala. Maka
dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang sejenis yang dilakukan di daerah-
daerah di seluruh Indonesia, sehingga diharapkan dapat membantu
kebijakan di bidang kesehatan telinga, berupa upaya deteksi dini,
preventif, promotif, maupun intervensi dan penatalaksanaan.
5. Kerjasama dengan BPS perlu dilakukan sehingga peran serta masyarakat
akan lebih baik dalam mengikuti survei kesehatan berbasis masyarakat.
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
22. Wang PC, Chang YH, Chuang LJ, Su HF, Li CY. Incidence and
recurrence of acute otitis media in Taiwan’s pediatric population.
CLINICS. 2011;66(3):395-9
23. Zakzouk S.M, Jamal S.T, Daghistani K.J. Epidemiology of acute otitis
media among Saudi children. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol.
2002;62:219–22
24. Dhingra PI. Eustachian tube and dissorder. Disease of Ear Nose and
Throat 4th ed. Elsevire. 2005.p3-13
25. Patel JA, Nair S, Revai K, Grady J, Chonmaitree T. Nasopharyngeal acute
phase cytokines in viral upper respiratory infection: impact on acute otitis
media in children. Pediatr Infect Dis J. Nov 2009;28(11):1002-7.
26. Skovbjerg S, Roos K, Nowrouzian F, Lindh M, Holm SE, Adlerberth I, et
al. High cytokine levels in perforated acute otitis media exudates
containing live bacteria. Clin Microbiol Infect. 2010; 16: 1382–8.
27. Children immunization clinic. Available from
http://immunizationclinic.wordpress.com/category/00about-immunization/
28. Karma P. Vaccination and otitis media. ORL J Otorhinolaryngol Relat
Spec. 2002;64(2):80-5
29. Leibovitz E, Greenberg D. Acute otitis media in children: current
epidemiology, microbiology, clinical manifestations, and treatment. Chang
Gung Med J. 2004;27:475-88
30. Kvestad E, et al. Otitis media: genetic factors and sex differences. Twin
Res. 2004 Jun;7(3):239-44.
31. Uhari M, Mantysaari K, Niemela M A. Meta-analytic review of the risk
factors for acute otitis media. Clin Infect Dis. 1996; 22:1079-82.
32. Breastfeeding Benefits & Barriers: Immunologic Advantages. Available
from www.breastfeedingbasics.org
33. Alho OP. The validity of questionnaire reports of a history of acute otitis
media. Am J Epidemiol. 1990; 132:1164-9.
Universitas Indonesia
34. Lin YS, Lee FP, Peng SC. Complications in children with long-term
cochlear implants. ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec. 2006;68(4):237-
42.
35. Bercin S, Kutluhan A, Yurttas V, Yalciner G, Bozdemir K, Sari
N. Evaluation of laryngopharyngeal reflux in patients with suspected
laryngopharyngeal reflux, chronic otitis media and laryngeal
disorders. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2008;265:1539–43
36. Revai K, Dobbs LA, Nair S, Patel JA, Grady JJ, Chonmaitree T. Incidence
of acute otitis media and sinusitis complicating upper respiratory tract
infection: the effect of age. Pediatrics. 2007 Jun;119(6):e1408-12
37. Chonmaitree T, Revai K, Grady JJ, Clos A, Patel JA, Nair S, Fan J,
Henrickson KJ. Viral upper respiratory tract infection and otitis media
complication in young children. Clin Infect Dis. 2008 Mar 15;46(6):815-
23
38. Juntti H, Tikkanen S, Kokkonen J, Alho OP, Niinimäki A. Cow's milk
allergy is associated with recurrent otitis media during childhood. Acta
Otolaryngol. 1999;119(8):867-73.
39. Von Mutius E. Allergies, infections, and hygiene hypothesis- The
epidemiological evidence. Immunobiology. 2007; 212(6):433-9
40. Lee SK, Yeo SG. Relationship between pediatric obesity and otitis media
with effusion. Curr Allergy Asthma Rep. Nov 2009;9(6):465-72.
41. Broides A, Dagan R, Greenberg D, Givon-Lavi N, Leibovitz E. Acute
otitis media caused by Moraxella catarrhalis: epidemiologic and clinical
characteristics. Clin Infect Dis. Dec 2009;49(11): 1641-7.
42. Ramilo O. Role of respiratory viruses in acute otitis media: implications
for management. Pediatr Infect Dis J. Dec 1999;18(12):1125-9.
43. Tauriainen S et al. Temporal relationship between human parechovirus 1
infection and otitis media inYoung Children. J Infect Dis. 2008; 198:35–
40.
Universitas Indonesia
44. Rovers MM, Numans ME, Langenbach E, Grobbee DE, Verheij TJM and
Schilder AGM. Is pacifier use a risk factor for acute otitis media? A
dynamic cohort study. Family Practice. 2008; 25: 233–6.
45. Strachan DP, Cook DG. Parental smoking, middle ear disease and
adenotonsillectomy in children. Thorax. 1998;53(1) :50-6.
46. Greenberg D, Hoffman S, Leibovitz E, Dagan R. Acute otitis media in
children: association with day care centers-antibacterial resistance,
treatment, and prevention. Pediatr Drugs. 2008;10(2):75-83.
47. Elden LM, Coyte PC. Socioeconomic impact of otitis media in North
America. J tolaryngol. 1998;27:9-16.
48. Maharjan M, Bhandari S, Singh I, Mishra SC. Prevalence of otitis media
in school going children in Eastern Nepal. Kathmandu University Medical
Journal 2006; 4(4): 479-482
49. Smith DF, Boss EF. Racial/Ethnic and Socioeconomic Disparities in the
Prevalence and Treatment of Otitis Media in Children in the United States.
Laryngoscope 2010; 120: 2306-12
50. Yang CY, Cheng MF, Tsai SS, Hung CF, Lai TC, Hwang KC. Effects of
indoor environmental factors on risk of acute otitis media in a subtropical
area. Journal of Toxicology and Environmental Health. 1999;56:111–9
51. Costa JL, Vavarro A, Neves JB, Martin M. Environmental epidemiology:
houshold wood and charcoal smoke increses risk of otitis media in
childhood in Maputo. Int J Epidemiol. 2003;33:573-8
52. Carlson LH, Carlson RD. Diagnosis. In: Rosenfeld RM, Bluestone CD,
editors. Evidence-based otitis media. Hamilton, ON, Canada: BC Decker.
2003:p.147-62.
53. Scottish intercollegiate guidelines network. Diagnosis and management of
childhood otitis media in primary care. Feb 2003.
54. Harris PK. The use of tympanometry and pneumatic otoscopy for
predicting middle ear disease. American Journal of Audiology. June
2005;14:3–13.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
68. Rizaldi R. Proporsi kepositifan kadar kotinin urin pada anak otitis media
efusi usia 0-14 tahun di Kotamadya Jakarta Timur. Tesis akhir PPDS
THT-KL. Bagian THT-KL FKUI-RSCM. Jakarta 2012
69. Jadwal imunisasi. http://id.wikipedia.org/wiki/Jadwal_imunisasi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Penyakit radang telinga tengah adalah salah satu infeksi yang paling sering terjadi
pada anak usia dini dan merupakan alasan umum untuk berobat, dan angka
kejadiannya pun cukup tinggi di tiap-tiap negara. Oleh sebab itu, akan sangat
bermanfaat jika mengetahui besarnya faktor-faktor tersebut mempengaruhi angka
kejadian penyakit ini.
Bila bersedia ikut, Bapak/Ibu akan kami wawancara dan diminta untuk mengisi
kuesioner, dan juga akan dilakukan pemeriksaan fisik THT pada anak bapak/ibu.
Partisipasi Bapak/Ibu bersifat sukarela dan dijaga kerahasiaannya. Bapak/Ibu
bebas menolak ikut dalam penelitian ini, dan penelitian ini tidak dipungut biaya.
Bila ada hal yang masih belum dimengerti atau membutuhkan penjelasan ulang,
Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti
Peneliti
dr. Sakina Umar
Departemen THT-KL FKUI/ RSCM. Jl. Diponegoro no.71. HP: 08118303400
Universitas Indonesia
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama :................................................................................................................
Umur : ................................................................................................................
Alamat: ................................................................................................................
Telepon: ................................................................................................................
Demikian surat pernyataa ini dibuat tanpa paksaan dan digunakan sebagaimana
mestinya.
Jakarta, ......................2012
Tanda tangan saksi Yang menyatakan
Universitas Indonesia
LEMBAR PENOLAKAN
Nama :................................................................................................................
Umur : ................................................................................................................
Alamat: ................................................................................................................
Telepon: ................................................................................................................
Demikian surat pernyataa ini dibuat tanpa paksaan dan digunakan sebagaimana
mestinya.
Jakarta, ......................2012
Tanda tangan saksi Yang menyatakan
Universitas Indonesia
Lampiran 4
STATUS PENELITIAN
No. Kuisioner : _ _/_ _ _/_ _ _ _
I. IDENTITAS
I.1. IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ......................................................................................................
Tanggal lahir : ......................................................................................................
Jenis kelamin : ......................................................................................................
Alamat : ......................................................................................................
......................................................................................................
......................................................................................................
Talepon : ......................................................................................................
Anak ke / dari : ......................................................................................................
Jumlah orang tinggal serumah : ..............................................................................
II. ANAMNESIS
Ka Ki Bil
Rasa sakit di telinga 1. Ya 2. Tidak 3. NA
Sejak: hari/bulan/tahun)
.......
Memegang/menarik telinga 1. Ya 2. Tidak 3. NA
Universitas Indonesia
Sejak (hari/bulan/tahun)
.......
Keluar cairan dari telinga 1. Ya 2. Tidak 3. NA
Sejak (hari/bulan/tahun)
.......
Telinga terasa penuh 1. Ya 2. Tidak 3. NA
Sejak (hari/bulan/tahun)
.......
Diare 1. Ya 2. Tidak
Sejak (hari/bulan/tahun).......
Universitas Indonesia
1.Berbaring 2.Duduk
Apakah responden menggunakan dot?
1. Ya 2. Tidak
Apakah responden mendapat imunisasi dasar lengkap?
1. Ya 2. Tidak
Berat Badan : kg
Tinggi Badan : cm
Suhu Tubuh : ˚C
III.1. TELINGA
Kanan Kiri
Liang telinga 1. Lapang 2. Sempit
Sekret 1. Ya 2. Tidak
Universitas Indonesia
Jika utuh,
Warna membran timpani 1. Merah (red)
2. Biru / abu-abu (blue/grey)
3. Putih keabuan (silver)
Kondisi membran timpani 1. Normal
2. Retraksi ringan
3. Retraksi berat
4. Bulging
5. Gelembung udara
6. Batas cairan-udara
Jika perforasi,
Ukuran 1. Total 2. Subtotal
3. Sentral
Letak 1. Sentral 2. Marginal
Retroaurikular
Sikatriks 1. Ada 2. Tidak
III.2. HIDUNG
Universitas Indonesia
Kanan Kiri
Kavum nasi 1. Lapang 2. Sempit
III.3. TENGGOROK
Faring granuler 1. Ada 2. Tidak
Tonsil (ukuran) 1. T1 2. T2
3. T3 4. T4
5. T0
Detritus 1. Ya 2. Tidak
KESIMPULAN
1. Normal
2. OMA
3. OME
4. OMSK
5. ........
REKOMENDASI :
VERIFIKASI :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia