Teori Precede and Proceed

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

A.

TEORI PRECEDE AND PROCEED


Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyrakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes).
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor :
1. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (Renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi
dari perilaku masyarakat.
Teori Lawrence W Green merupakan salah satu teori modifikasi perubahan
perilaku yang dapat digunakan dalam mendiagnosis masalah kesehatan ataupun sebagai
alat untuk merencanakan suatu kegiatan perencanaan kesehatan atau mengembangkan
suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kesehatan
yang dikenal dengan kerangka kerja Precede dan Proceed. Kerangka kerja precede
mempertimbangkan beberapa faktor yang membentuk status kesehatan dan membantu
perencana terfokus pada faktor tersebut sebagai target untuk intervensi.
Menurut Green (1980) penggunaan kerangka kerja PRECEDE and PROCEED
adalah sebagai berikut :
1. PRECEDE terdiri dari Predisposing; Reinforcing; Enabling cause in educational
diagnosis and evaluation. Akan memberikan wawasan spesifik menyangkut
evaluasi. Kerangka kerja ini menunjukkan sasaran yang sangat terarah untuk
intervensi. PRECEDE digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas
dan tujuan program.
2. PROCEED terdiri dari Policy, Regulation, Organizational and environmental
development. Menampilkan kriteria tahapan kebijakan dan implementasi serta
evaluasi.
Precede mengarahkan perhatian awal pendidik kesehatan terhadap keluaran dan
bukan terhadap masukan dan memaksanya memulai proses perencanaan pendidikan
kesehatan dari ujung “Keluaran”. Ini mendorong munculnya pertanyaan “mengapa”
sebelum pertanyaan “bagaimana”. Dari sudut perencanaan, apa yang terlihat sebagai
ujung yang salah sebagai tempat untuk memulai, kenyataannya adalah sesuatu yang
benar. Orang mulai dengan keluaran akhir, kemudian bertanya tentang apa yang harus
mendahului keluaran itu, yakni dengan cara menentukan sebab-sebab keluaran itu.
Dinyatakan dalam cara lain, semua faktor yang penting untuk suatu keluaran harus
didiagnosis sebelum intervensi dirancang; jika tidak, intervensi akan didasarkan atas
dasar tebakan (kira-kira) dan mempunyai resiko salah arah.
Bekerja menggunakan precede dan proceed, mengajak orang berpikir deduktif,
untuk memulai dengan akibat akhir dan bekerja ke belakang ke arah sebab-sebab yang
asli.
Adapun penjelasan dari tiap fase dalam kerangka Precede Proceed Theory
adalah sebagai berikut:
1. Fase 1 (diagnosa sosial)
Pada fase pertama ini adalah proses penentuan persepsi seseorang terhadap
kebutuhan dan kualitas hidupnya dan aspirasi untuk lebih baik lagi, dengan penerapan
berbagai informasi yang didesain sebelumnya. Partisipasi masyarakat adalah sebuah
konsep pondasi dalam diagnosis sosial dan telah lama menjadi prinsip dasar bagi
kesehatan dan pengembangan komunitas. Hubungan sehat dengan kualitas hidup
merupakan hubungan sebab akibat. Input pendidikan kesehatan, kebijakan, regulasi
dan organisasi menyebabkan perubahan outcome, yaitu kualitas hidup. Fase ini
membantu masyarakat (community) menilai kualitas hidupnya tidak hanya pada
kesehatan. Adapun untuk melakukan diagnosa sosial dilaksanakan dengan
mengidentifikasi masalah kesehatan melalui review literature (hasil-hasil penelitian),
data (misalnya BPS, Media massa), group method.
Hubungan sebab akibat dapat terjadi secara langsung melalui kebijakan sosial,
intervensi pelayanan sosial, kebijakan kesehatan dan program kesehatan.
a. Bagian atas yaitu kebijakan sosial atau keadaan sosial, mengindikasikan masalah
kesehatan mempengaruhi kualitas hidup, sehingga kualitas hidup dapat memotivasi
dan mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan. Kualitas hidup sulit diukur dan
sulit didefinisikan; ukuran obyektif (indikator sosial), yaitu angka pengangguran,
kepadatan hunian, kualitas air. Ukuran subyektif (informasi dari anggota
masyarakat tentang kepuasan hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu
dan sumber daya sosial.
b. Bagian bawah yaitu intervensi kesehatan, mengindikasikan kondisi sosial dan
kualitas hidup dipengaruhi oleh masalah kesehatan.
2. Fase 2 (diagnosa epidemiologi)
Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap kualitas
hidup seseorang, baik langsung maupun tidak langsung. Yaitu penelusuran masalah-
masalah kesehatan yang dapat menjadi penyebab dari diagnosa sosial yang telah
diprioritaskan. Ini perlu dilihat data kesehatan yang ada dimasyarakat berdasarkan
indikator kesehatan yang bersifat negatif yaitu morbiditas dan mortalitas, serta yang
bersifat positif yaitu angka harapan hidup, cakupan air bersih, cakupan rumah sehat.
Untuk menentukan prioritas masalah kesehatan, dilakukan dengan beberapa
tahapan, diantaranya:
a. Masalah yang mempunyai dampak terbesar pada kematian, kesakitan, lama hari
kehilangan kerja, biaya rehabilitasi, dan lain-lain.
b. Apakah kelompok ibu dan anak-anak yang mempunyai resiko.
c. Masalah kesehatan yang paling rentan untuk intervensi.
d. Masalah yang merupakan daya ungkit tinggi dalam meningkatkan status
kesehatan,economic savings.
e. Masalah yang belum pernah disentuh atau di intervensi.
f. Apakah merupakan prioritas daerah/ nasional.

3. Fase 3 (diagnosa perilaku dan lingkungan)


Pada fase ini terdiri dari 5 tahapan, antara lain:
a. Memisahkan penyebab perilaku dan non perilaku dari masalah kesehatan.
b. Mengembangkan penyebab perilaku
1) Preventive behaviour (primary, secondary, tertiary)
2) Treatment behaviour
c. Melihat important perilaku
1) Frekuensi terjadinya perilaku
2) Terlihat hubungan yang nyata dengan masalah kesehatan
d. Melihat changebility perilaku
e. Memilih target perilaku
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi status kesehatan,
digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan pelayanan kesehatan (utilisasi),
upaya pencegahan (prevention action), pola konsumsi makanan (consumtion pattern),
kepatuhan (compliance), upaya pemeliharaan sendiri (self care).
Untuk mendiagnosa lingkungan diperlukan lima tahap, yaitu: membedakan
penyebab perilaku dan non perilaku; menghilangkan penyebab non perilaku yang tidak
bisa diubah; melihat important faktor lingkungan, melihat changeability faktor
lingkungan, memilih target lingkungan.

4. Fase 4 (diagnosa pendidikan dan organisasi )


Mengidentifikasi kondisi-kondisi perilaku dan lingkungan yang status
kesehatan atau kualitas hidup dengan memperhatikan faktor-faktor penyebabnya.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang harus diubah untuk kelangsungan perubahan
perilaku dan lingkungan. Merupakan target antara atau tujuan dari program.
Ada 3 kelompok masalah yang berpengaruh terhadap perilaku, yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factor): pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai, dan lain-lain.
b. Faktor penguat (reinforcing factor): perilaku petugas kesehatan atau petugas lain,
dan lain-lain.
c. Faktor pemungkin (enabling factor): lingkungan fisik tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dan lain-lain.
Tahap proses menyeleksi faktor dan mengatur program:
a. Identifikasi dan menetapkan faktor-faktor menjadi 3 kategori
Mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku dan dipilah-pilah sesuai dengan 3
kategori yang ada: predisposing, enabling, reinforcing factors. Metode :
1) Formal : Literatur, Checklist dan kuesioner
2) Informal : Brainstorming, Normal group process (NGP)
b. Menetapkan prioritas antara kategori
Menetapkan faktor mana yang menjadi obyek intervensi, dan seberapa penting dari
ketiga faktor yang ada.
c. Menetapkan prioritas dalam kategori
Berdasarkan pertimbangan :
1) Important: prevalensi, penting dan segera diatasi menurut logis, pengalaman,
data dan teori
2) Immediacy: seberapa penting
3) Necessity: mungkin prevalensi rendah, tapi masih harus dimunculkan
perubahan lingkungan dan perilaku yang terjadi
4) Changeability: mudah untuk diubah
5. Fase 5 (diagnosa administrasi dan kebijakan)
Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan kejadian-kejadian
dalam organisasi yang mendukung atau menghambat perkembangan promosi
kesehatan.
a. Administrative diagnosis
1) Memperkirakan atau menilai resorces/ sumber daya yang dibutuhkan program
2) Menilai resorces yang ada di dalam organisasi atau masyarakat
3) Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi program
Tahap diagnosa administrasi, antara lain :
1) Menilai kebutuhan sumber daya : Time, Personnel, Budget
2) Menilai ketersediaan sumber daya : Personnel, Budgetary, Contraints
(keterbatasan budget)
3) Menilai penghambat implementasi : Staff commitment and attitude, Goal
conflict, Rate of change, Familiarity, Complexity, Space, Community barriers
b. Policy diagnosis
1) Menilai dukungan politik
2) Dukungan regulasi atau peraturan
3) Dukungan sistem didalam organisasi
4) Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program
5) Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program
Tahapan diagnosa kebijakan, antara lain:
1) Menilai kebijakan, regulasi dan organisasi : Issue of loyality, Consistency,
Flexibility, Administrative of professional direction.
2) Menilai kekuatan politik : Level of analysis, The zero-sum game, System
approach, Exchange theory, Power equalization approach, Power educative
approach, Conflict approach, Advocacy and education and community
development

6. Fase 6 (Proses Evaluasi)


Proses evaluasi adalah sebuah evalusi yang formatif, sesuatu yang muncul selama
pelaksanaan program. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan baik data kuantitatif dan
kualitatif untuk mengakses kemungkinan dalam program sebagaimana untuk
meyakinkan penyampaian program yang berkualitas. Sebagai contoh, kehadiran
partisipan, dan perilaku selama berjalannya program akan dikumpulkan, sebagaimana
sebuah penilaian sebagaimana baiknya rencana yang tertulis (menjelaskan isi dari yang
telah disampaikan, bagaimana itu akan disampaikan, dan seberapa banyak waktu yang
dialokasikan) menyelaraskan dengan penyampaian sebenarnya dari pelajaran (apa isi
yang sebenarnya yang telah disampaikan, bagaimana itu disampaikan, dan seberapa
banyak waktu yang diperlukanuntukmenyampaikanitu). Pencapaian pendidikan dari
tujuan juga diukur dalam fase ini.

7. Fase 7 (Evaluasi dampak)


Fokus dalam fase ini adalah evaluasi sumatif, yang diukur setelah program selesai,
untuk mencaritahu pengaruh interfensi dalam prilaku atau lingkungan. Waktunya akan
bervariasi mulai dari sesegera mungkin setelah selesai dari menyelesaikan aktivitas
intervensi sampai beberapa tahun kemudian.

8. Fase 8 (Evaluasi hasil)


Fokus dari fase evualusi terakhir sama dengan focus ketika semua proses berjalan,
indikator evaluasi dalam kualitas hidup dan derajat kesehatan.

B. APLIKASI MODEL PRECEDE DAN PROCEED


Dalam bidang kesehatan masyarakat, banyak sekali aplikasinya dan beragam
aplikasinya. Model ini digunakan untuk merencanakan, merancang, melaksanakan, dan
atau mengevaluasi program untuk kesehatan dan beragam permasalahan kesehatan,
seperti masalah kualitas seperti kanker payudara, pemeriksaan payudara sendiri,
pendidikan kanker, kesehatan jantung, kesehatan ibu dan anak, pencegahan cidera,
pengendalian penyalahgunaan obat. Narkoba, kesehatan gizi berbasis sekolah,
kebijakan pendidikan dan pengembangan kurikulum dan pelatihan kurikulum dan
pelatihan bagi para professional perawatan kesehatan.
Contoh aplikasi dalam kesehatan reproduksi dan HIV AIDS, sebagai berikut:
Tren penyebaran HIV AIDS pada wanita pekerja seksual sangat tinggi. Kasus
HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 2008 terus mengalami peningkatan (Ditjen PPM
dan PL Depkes RI, 2011). Pada Tahun 2010, Jawa Timur berada pada posisi kedua
sedangkan tahun 2011 pada posisi keempat untuk kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Meskipun menunjukkan penurunan peringkat namun jumlah kasusnya tetap mengalami
peningkatan yaitu 235 kasus (6,6%) dari tahun 2010 (Ditjen PPM dan PL
DepkesRI,2011).
Kasus HIV/AIDS di kota Surabaya mengalami kenaikan yang cukup tinggi dari
tahun 2008 ke tahun 2009 yaitu sekitar 214%. Namun pada tahun 2010 jumlah
penderita HIV/AIDS menurun sekitar 71 kasus (9%) dari kasus sebelumnya. Hal ini
menunjukkan penurunan kasus tidak terlalu besar jika dibandingkan lonjakan kasus
yang terjadi. Salah satu kelompok risiko tinggi adalah Wanita Pekerja Seks (WPS).
Estimasi WPS di Indonesia pada tahun 2006 diperikirakan mencapai 0,30% dari
populasi perempuan dewasa (15-49 tahun). Kelompok WPS sangat rentan tertular HIV
akibat hubungan seks dan perilaku seks yang tidak aman (KPA, 2009).
Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011
dalam BKKBN 2011 diketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan
kesadaran menggunakan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi cenderung
menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut hasil Surveilans Terpadu
Biologis dan Perilaku tahun 2011 beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan
kondom antara lain adalah pengetahuan, aksesibilitas, penjangkauan, dan aturan
penggunaan kondom.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani. 2011. Analisis Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Tindakan Berdasarkan Indikator
Surveylands Perilaku HIV AIDS pada Wanita Pekerja Seksual. Surabaya. Departemen
Epidemiologi FKM Unair
Green. 1991. Health Promotion Planning An Aducational and Environmental Approach
Second Edition. London.Mayfield publishing company.
Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai