Skenario 1 Urin
Skenario 1 Urin
Skenario 1 Urin
KELOMPOK B 8
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2017-2018
SKENARIO
URIN KEMERAHAN
Seorang anak laki-laki berusia 5 thn diawa ibunya ke dokter dengan keluhan buang
air kecil kemerahan seperti air cucian daging sejak dua hari yang lalu. Keluhan
disertai dengan buang air kecil menjadi sedikit. Satu minggu yang lalu pasien
mengalami demam dan nyeri tenggorokan, sudah diperiksa ke dokter, diberi obat
antibiotik dan sembuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos
mentis, tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 100 x/menit, suhu 37,5°C,
frekuensi napas 34 x/menit, edema tidak ada, jantung dan paru dalam batas normal.
Urinalisis didapatkan proteinuria dan hematuria.
1
BRAINSTORMING
Kata Sulit
1. Proteinuria
2. Hematuria
3. Urinalisis
Jawab :
1. Adanya protein serum berlebih dalam urin
2. Adanya sel darah merah/eritrosit dalam urin
3. Pemeriksaan urin untuk memeriksa kondisi kesehatan
2
Pertanyaan
1. Mengapa pada anak tersebut air kencing berwarna kemerahan?
2. Mengapa pada anak tersebut buang air kecilnya sedikit?
3. Adakah hubungan keluhan dan nyeri tenggorokan pada anak dengan urin
kemerahannya?
4. Apa yang menyebabkan tekanan darah tinggi pada anak tersebut?
5. Pengambilan sampel apa yang baik untuk kasus ini?
6. Apa saja faktor resiko penyakit ini?
7. Mengapa tidak ada edema?
8. Mengapa bisa terjadi proteinuria?
9. Mengapa dilakukan pemeriksaan jantung dan paru?
10. Apa diagnosis untuk kasus pada skenario?
11. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk kasus ini?
12. Bagaimana hukum islam tentang berkemih? Etika, hukum kenajisan urin
dan darah?
Jawaban
1. Karena adanya peningkata permeabilitas kapiler, Bisa karena adanya
obstruksi, gangguan filtrasi dan absorbsi pada ginjal pasien.
2. Air secara fisiologis normal dari konsentrasi rendah/air banyak ke
konsentrasi tinggi/air sedikit karena gangguan pada ginjal terdapat
eritrosit dan protein sehingga dalam ginjal konsentrasi tinggi maka air
tidak dapat keluar.
3. Keluhan tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri, meskipun sudah diberi
antibiotik dan sembuh namun bakteri beredar dalam peredaran darah,
masuk ke ginjal, dan dalam ginjal terdapat reseptor yang sama dengan
bakteri, lalu terjadi kerusakan/inflamasi ginjal (glomerulus).
4. Bentuk kompensasi dalam tubuh untuk banyaknya air dalam tubuh.
Jumlah air dalam tubuh banyak mengatifkan angiostensi I menjadi
angiostensi II, memproduksi vassopresi, ADH dan aldosteron
menyebabkan Tekanan darah meningkat.
5. Urin pagi dengan cara midstream, proteinuria dengan urin 24 jam.
6. Riwayat penyakit terdahulu (Infeksi bakteri streptococcus β hemoliticus
group A).
7. Karena proteinuria pada pasien masih dalam kriteria +1 atay +2
sehingga tidak terjadi udem.
8. Bisa karena adanya obstruksi, gangguan filtrasi dan absorbsi pada ginjal
pasien.
9. Untuk menyingkirkan diagnosis banding tekanan dara meningkar
karena kelainan jantung/paru.
10. Glomerulonefritis karena adanya proteinuria +1 atau +2, hematuria dan
tekanan darah meningkat.
11. Uji fungsi ginjal untuk melihat ureum dan kreatinin, hematologi rutin,
radiologi dengan CT scan dan USG.
3
12. Etika : tidak boleh berdiri, tempat tertutup, membersihkan dengan air
bersih, tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat
Kenajisan urin : najis mutawasithah (urin dewasa), urin anak laki-laki
yang belum makan selain ASI merupakan najis ringan.
4
Hipotesis
5
Sasaran Belajar
6
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Ginjal
1.1. Makroskopik
1. Ginjal
Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding
ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah
kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12),
sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2
(kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan
adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat
bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
7
d. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke
arah korteks
e. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah,
serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
f. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus
pengumpul dan calix minor.
g. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
h. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
i. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
j. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
Ginjal diliputi oleh suatu capsula cribosa tipis mengkilat yang berikatan
dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari
permukaan ginjal yang disebut fascia renalis. Fascia renalis dibagi
menjadi dua yaitu lamina anterior dan lamina posterior. Kearah kiri dan
kana bersatu dengan fascia transversa abdominalis membentuk rongga
yang diisi oleh lemak yang disebut corpus adiposum. Ginjal juga
memiliki selubung, yang langsung membungkus ginjal disebut capsula
fibrosa, sedangkan yang membungkus lemak-lemak disebut capsula
adipose.
Posisi ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal tidak
jatuh karena ada A.renalis yang berfungsi sebagai axis dari craniolateral
ke caudomedial. Di puncak atas ginjal terdapat topi yang disebut
glandula supra renalis, yang kanan berbentuk pyramid sedangkan kiri
berbentuk bulan sabit.
Perdarahan Ginjal
8
Persarafan Ginjal
2. Ureter
Perdarahan Ureter
Persarafan Ureter
3. Vesica Urinaria
9
Vesica Urinaria mempunyai 4 bagian, yaitu :
Lapisan dalam vesica urinaria pada muara masuknya ureter terdapat plica
ureterica yang menonjol. Ketika VU ini kosong maka plica ini terbuka
sehingga urin dapat masuk dari ginjal melalui ureter, sedangkan ketika
VU penuh maka plica ini akan tertutup karena terdorong oleh urin
sehingga urin tidak akan naik ke atas ureter.
10
dari 3 otot polos membentuk trabekula yang disebut m.Destrusor vesicae
yang akan menebal di leher VU membentuk sfingter vesicae.
4. Uretra
11
1.2. Mikroskopik
1. Ginjal
12
Korpus Malphigi
Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan tubulus
kontortus proksimal yang membentuk kutub tubular, sedangkan pada
kutub yang berlawanan bertautan dengan arteriol yang masuk dan keluar
dari glomerulus. Kutub ini disebut kutub vaskular. Arteriol yang masuk
disebut vasa aferen yang kemudian bercabang-cabang lagi menjadi
sejumlah kapiler yang bergelung-gelung membentuk kapiler. Pembuluh
kapiler ini diliputi oleh sel-sel khusus yang disebut sel podosit yang
merupakan simpai Bowman lapis viseral. Sel podosit ini dapat dilihat
dengan mikroskop elektron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi
membentuk arteriol yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan disebut
vasa eferen, yang berupa sebuah arteriol.
13
Apartus Juksta-Glomerular
14
distal. Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam cairan tubulus
kontortus distal akan merangsang sel-sel makula densa (berfungsi
sebagai osmoreseptor) untuk memberikan sinyal kepada sel-sel yuksta
glomerulus agar mengeluarkan renin. Sel makula densa dan yuksta
glomerular bersama-sama membentuk aparatus yuksta-glomerular.
15
b. Ansa Henle
Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars
asendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars
asendens). Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip dengan
tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen tebal naik
mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis
ansa henle mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah,
tetapi epitelnya sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng,
sedikit lebih tebal sehingga sitoplasmanya lebih jelas terlihat. Selain
itu lumennya tampak kosong. Ansa henle terletak di medula ginjal.
16
bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan. Sitoplasma sel bewarna
basofil (kebiruan) dan permukaan sel yang mengahadap lumen tidak
mempunyai paras sikat. Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi
bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin.
d. Duktus koligen
Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada juga bagian
korteks yang menjorok masuk ke dalam medula membentuk kolom
mengisi celah di antara piramid ginjal yang disebut sebagai kolumna
renalis Bertini. Sebaliknya ada juga jaringan medula yang menjorok
masuk ke dalam daerah korteks membentuk berkas-berkas yang
disebut prosessus Fereni
17
Sawar Ginjal
Perdarahan Ginjal
18
2. Ureter
19
3. Vesica Urinaria
4. Uretra
Uretra Wanita
Dilapisi oleh epiter berlapis gepeng dan terkadang ada yang dilapisi
oleh epitel bertingkat toraks. Ditengah-tengah uretra terdapat
sfingter eksterna / muscular bercorak.
Uretra Pria
20
LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Ginjal
2.1. Sistem RAA
Sel-sel otot polos dinding vasa aferent di dekat glomerulus berubah
sifatnya menjadi sel epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam
sitoplasmanya terdapat granula yang mengandung ensim renin, suatu
ensim yang diperlukan dalam mengontrol tekanan darah. Sel-sel ini
dikenal sebagai sel yuksta glomerular. Renin akan mengubah
angiotensinogen (suatu peptida yang dihasilkan oleh hati) menjadi
angiotensin I. Selanjutnya angiotensin I ini akan diubah menjadi
angiotensin II oleh ensim angiotensin converting enzyme (ACE)
(dihasilkan oleh paru). Angiotensin II akan mempengaruhi korteks
adrenal (kelenjar anak ginjal) untuk melepaskan hormon aldosteron.
Hormon ini akan meningkatkan reabsorpsi natrium dan klorida
termasuk juga air di tubulus ginjal terutama di tubulus kontortus distal
dan mengakibatkan bertambahnya volume plasma. Angiotensin II juga
dapat bekerja langsung pada sel-sel tubulus ginjal untuk meningkatkan
reabsopsi natrium, klorida dan air. Di samping itu angiotensin II juga
bersifat vasokonstriktor yaitu menyebabkan kontriksinya dinding
pembuluh darah.
Sel-sel yuksta glomerular di sisi luar akan berhimpitan dengan sel-sel
makula densa, yang merupakan epitel dinding tubulus kontortus distal
yang berjalan berhimpitan dengan kutub vaskular. Pada bagian ini sel
dinding tubulus tersusun lebih padat daripada bagian lain. Sel-sel
makula densa ini sensitif terhadap perubahan konsentrasi ion natrium
dalam cairan di tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan darah
sistemik akan menyebabkan menurunnya produksi filtrat glomerulus
yang berakibat menurunnya konsentrasi ion natrium di dalam cairan
tubulus kontortus distal. Menurunnya konsentrasi ion natrium dalam
cairan tubulus kontortus distal akan merangsang sel-sel makula densa
(berfungsi sebagai osmoreseptor) untuk memberikan sinyal kepada sel-
sel yuksta glomerulus agar mengeluarkan renin. Sel makula densa dan
yuksta glomerular bersama-sama membentuk aparatus yuksta-
glomerular.
Di antara aparatus yuksta glomerular dan tempat keluarnya vasa
eferen glomerulus terdapat kelompokan sel kecil-kecil yang terang
disebut sel mesangial ekstraglomerular atau sel polkisen (bantalan)
atau sel lacis. Fungsi sel-sel ini masih belum jelas, tetapi diduga sel-sel
ini berperan dalam mekanisma umpan balik tubuloglomerular.
Perubahan konsentrasi ion natrium pada makula densa akan memberi
sinyal yang secara langsung mengontrol aliran darah glomerular. Sel-
sel mesangial ekstraglomerular di duga berperan dalam penerusan
sinyal di makula densa ke sel-sel yuksta glomerular. Selain itu sel-sel
ini menghasilkan hormon eritropoetin, yaitu suatu hormon yang akan
merangsang sintesa sel-sel darah merah (eritrosit) di sumsum tulang.
21
LI.3. Memahami dan Menjelaskan Glomerulonefritis Akut
3.1. Definisi
Glomerulonefritis adalah peradangan pada glomerulus yaitu organ kecil
di ginjal yang berfungsi sebagai penyaring. Glomerulus berfungsi
membuang kelebihan cairan, elektrolit dan limbah dari aliran darah dan
meneruskannya ke dalam urin.
Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut post
sterptokokus (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang
mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit ini sering
mengenai anak-anak.
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada
ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah
akibat infeksi kuman streptococcus. Glomerulonefritis merupakan
suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit
ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang
disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut
(glomerulonefritis akut) mencerminkan adanya korelasi klinik selain
menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis.
3.2. Etiologi
Infeksi bakteri atau virus tertentu pada ginjal. Kuman yang paling
sering dihubungkan dengan GNA adalah Streptococcus beta-
haemolyticus grup A
3.3. Epidemiologi
Penyakit ini sering ditemui pada anak usia 3-7 tahun, namun dapat juga
mengenai orang dewasa. Dan sampai saat ini prevalensi penderita laki-
laki lebih besar dibanding perempuan.
3.4. Patofisiologi
Kasus glomerulonefritis akut terjadi setelah infeksi streptokokus pada
tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1
sampai 2 minggu. Organisme penyebab lazim adalah streptokokus beta
hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya.
Namun sebenarnya bukan streptokukus yang menyebabkan kerusakan
pada ginjal. Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap
suatu antigen khusus yang merupakan unsur membran plasma
streptokokal spesifik.
Terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi
kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis
terperangkap dalam membran basalis. Selanjutnya komplomen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit
22
polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis
dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran
basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi,
timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler
gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke
dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan
proteinuria dan hematuria. Kompleks komplomen antigen-antibodi ini
yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron
dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada mikroskop
imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
23
3.5. Manifestasi Klinik
Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat bervariasi,
dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul gejala-
gejala berat dengan bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau
ensefalopati hipertensi7
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut
dikenal dengan sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat
merupakan gambaran klinis dari glomerulonefritis akut pada orang
dewasa atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien anak-anak,
ensefalopati akut hipertensif sering merupakan gambaran klinis
pertama.
1. Infeksi Streptokok
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau
infeksi kulit (impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan,
bahwa prevalensi glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari
suatu epidemi infeksi saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut
pasca impetigo relatif rendah, sekitar 5-10%.
2. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan
dan ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan,
tidak jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap
penyakit infeksi.
3. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari
semua pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan
seperti infeksi saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara
bakteriologis. Oligouria atau anuria merupakan tanda prognosis
buruk pada pasien dewasa.
4. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada
semua pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali
normotensi setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan
24
antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya
dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien.
5. Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau
pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila
perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap
atau persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga
pleura
25
Hal lain yang harus dicari:
a. Ruam (seperti vaskulitis, Henoch Schonlein purpura-, atau nefritis
lupus)
b. Muka pucat
c. Ginjal sudut (yaitu, kostovertebral) kepenuhan atau kelembutan,
sendi bengkak, atau nyeri
d. Hematuria, baik makroskopik (gross) atau mikroskopis
e. Abnormal neurologis pemeriksaan atau tingkat kesadaran yang
berubah (dari hipertensi ganas atau ensefalopati hipertensi)
f. Radang sendi
GNK
Temuan spesifik adanya uremia
a. Hipertensi
b. Distensi vena jugularis (jika volume overload parah hadir)
c. Paru rales (jika edema paru hadir)
d. Gesekan perikardial (pericardial friction rub) di perikarditis
e. Nyeri di daerah epigastrium atau darah dalam tinja (indikator
mungkin untuk gastritis uremik atau enteropati)
f. Penurunan sensasi dan asteriksis (indikator untuk uremia lanjut)
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
a) Darah (complete blood count)
1. Titer ASTO meningkat
Bila ditemukan kenaikan ≥250 U. Peningkatan ini dimulai pada
minggu 1-3, puncak pada 3-5 minggu, dan kembali normal dalam
6 bulan. Pada pasien dengan infeksi kulit, anti-DNase B (ADB)
titer lebih sensitif dibandingkan titer ASO untuk
infeksi Streptococcus .
2. Kadar komplemen ( C3) turun,C4 dan C5 normal
Turun pada 2 minggu pertama masa sakit,dan kembali normal lagi
6-8 minggu kemudian.
a. Kadar nitrogen ureum darah (BUN) dan kreatinin plasma
meningkat.
Kreatinin merupakan zat hasil metabolisme otot yang
diekskresikan lewat urin melalui proses filtrasi glomerulus.
Kadar normal kreatinin serum 0.7-1.5 mg/100ml.
Kadar BUN normal 20mg/100ml. Keadaan meningkatnya
kadar BUN dan kreatinin disebut azotemia
b. LED cepat
Menunjukkan adanya infeksi saluran kemih
c. Lekositosis
Menunjukkan adanya infeksi
d. Anemia normokrom normositik
Adanya anemia yang diakibatkan bocornya
glomerulus,penurunan eritropoietin dan tidak adanya
gangguan keseimbangan as.folat,b12 dan besi
26
e. Kadar Albumin plasma menurun
Menunjukkan adanya kebocoran yang terjadi di glomerulus
sehingga albumin banyak yang diekskresikan bersama urin.
a) Gangguan ekskresi kalium, air bebas, dan hasil asam
dalam hiperkalemia, hiponatremia, dan rendah kadar
bikarbonat serum, masing-masing.
b) Gangguan hasil produksi hormon vitamin D-3 di
hypocalcemia, hiperfosfatemia, dan tingkat tinggi hormon
paratiroid
BIOPSI GINJAL
Prosedur ini melibatkan penggunaan jarum khusus untuk
mengekstrak potongan-potongan kecil jaringan ginjal untuk
pemeriksaan mikroskopis untuk membantu menentukan penyebab
dari peradangan,derajat penyakit dan proses keparahan inflamasi.
a. Proteinuria (<1g/dl)
Protein normal di urin <10mg/dL atau <100mg/hari yang
terdiri dari albumin dan tamm-horsfall(protein tubulus). Uji
yang digunakan ada 2,pertama dengan menggunakan uji strip
reagent(dipstick) yaitu dengan menggunakan carik celup
dengan membandingkan warna pada label yang nilainya 0-4+.
Tingkatan Konsentrasi
dipstick protein(mg/dl)
0 0-5
Samar 5-20
1+ 30
2+ 100
3+ 300
4+ 1000
27
e. Sedimen : jumlah eritrosit, leokosit, epithel tubulus renal
meningkat
f. Kultur darah dan kultur jaringan
Kultur darah diindikasikan pada pasien dengan demam,
imunosupresi, intravena (IV) sejarah penggunaan narkoba,
shunts berdiamnya, atau kateter. Kultur darah dapat
menunjukkan hipertrigliseridemia, penurunan laju filtrasi
glomerulus, atau anemia.
Kultur dari tenggorokan dan lesi kulit untuk menyingkirkan
spesies Streptococcus dapat diperoleh.
g. Radiografi
Radiografi dada diperlukan pada pasien dengan batuk, dengan
atau tanpa hemoptysis (misalnya, Wegener granulomatosis,
sindrom Goodpasture, kongesti paru). Pencitraan radiografi
perut (yaitu, computed tomography [CT]) diperlukan jika
abses viseral diduga; juga mencari abses dada.
Gambaran patologi
28
Gambar 8. Histopatologi gelomerulonefritis dengan
mikroskop cahaya pembesaran 20×
Keterangan gambar :
29
Gambar 10. Histopatologi glomerulonefritis dengan
mikroskop elektron
keterangan gambar :
keterangan gambar :
DIAGNOSIS BANDING
1. MPGN
Glomerulonefritis Mesangiocapillary atau membranoproliferatif
(MPGN) mungkin memiliki penyajian yang hampir identik dengan
glomerulonefritis akut poststreptococcal. Manifestasi awal seringkali
lebih serius pada orang dengan MPGN dibandingkan pada mereka
dengan nefropati IgA, fungsi ginjal berkurang secara nyata (yaitu,
ketinggian besar kreatinin serum)
2. Berger disease ( IgA nefropati)
Berger disease atau IgA nefropati biasanya muncul sebagai sebuah
episode dari gross hematuria yang terjadi selama tahap awal penyakit
pernapasan, tidak ada periode laten terjadi, dan hipertensi atau edema
jarang terjadi.Episode berulang gross hematuria, terkait dengan
penyakit pernapasan, diikuti dengan hematuria mikroskopis gigih,
sangat sugestif nefropati IgA. Sebaliknya, glomerulonefritis akut
30
poststreptococcal biasanya tidak kambuh, dan episode kedua jarang
terjadi.
3. IgA associated glomerulonephritis (Henoch-Schönlein purpura
nephritis)
Dalam kasus atipikal ditemukan banyak kesamaan denga APSGN.
Semua manifestasi klinis APSGN telah dilaporkan pada orang dengan
Henoch Schonlein-nefritis purpura, meskipun hipertensi dan edema
yang signifikan ditemukan kurang umum pada individu dengan Henoch
Schonlein purpura-dibandingkan pada mereka dengan APSGN. Selain
itu, bukti dari penyakit streptokokus sebelumnya biasanya kurang pada
individu dengan Henoch Schonlein-nefritis purpura, dan nilai-nilai
komplemen (C3 dan / atau C4) biasanya normal.
3.7. Tatalaksana
a. Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid
tidak efektif, kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan.
b. Jika pada saat ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri
masih berlangsung, maka segera diberikan antibiotik.
c. Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan (misalnya
katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan
infeksinya bisa diatasi.
d. Penderita sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam sampai
fungsi ginjal kembali membaik.
e. Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam membuang
kelebihan garam dan air.
f. Untuk mengatasi tekanan darah tinggi diberikan obat anti hipertensi.
g. Jika diperlukan perlu dirujuk ke rumah sakit.
Nonmedikamentosa
a. Istirahat pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi berat,
kejang, payah jantung
b. Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil
katabolisme endogen dan diet rendah garam
Medikamentosa
31
3.8. Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi
sebagia akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti
insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia
dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat
pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-
kadang di perlukan.
2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena
hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing,
muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah
lokal dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,
pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi
gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.
4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis
eritropoetik yang menurun.
3.9. Pencegahan
3.10. Prognosis
Penyembuhan sempurna terjadi pada lebih dari 95 % anak dengan
glomerulonefritis pascasteptokokus akut. Tidak ada bukti bahwa terjadi
penjelekan menjadi glomerulonefritis kronis. Namun, jarang fase akut
dapat menjadi sangat berat, menimbulkan hialinisasi glomerulus dan
insuffisiensi ginja kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari
dengan manajemen yang tepat pada gagal ginjal atau gagal jantung akut.
Kekambuhan sangat jarang terjadi
LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Hukum Islam dalam Etika Berkemih Daftar
Pustaka
Islam menuntun umatnya agar menggunakan adab-adab buang air yang sudah
diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Tujuannya, supaya
mereka menjadi makhluk mulia yang berbeda dengan binatang yang tak
memiliki aturan saat buang hajatnya. Di antara adab tersebut: bersembunyi
atau menutup diri dari pandangan orang saat buang air, tidak menghadap ke
kiblat atau membelakanginya, tidak buang hajat sambil berbincang-bincang,
buang hajat tidak dengan berdiri agar lebih aman dari cipratan najis dan tidak
terlihat auratnya oleh manusia, dan adab-adab lainnya.
Berkaitan dengan posisi saat buang air kecil, maka sambil duduk adalah lebih
utama. Walaupun dengan berdiri bukan berarti haram mutlak, walau ada
sebagian ulama yang memakruhkannya dengan makruh tanzih. Sebabnya,
Nabi biasa buang air kecil dengan duduk dan pernah sesekali beliau buang air
32
dengan bediri untuk menjelaskan bolehnya. Sehingga 'Aisyah Radhiyallahu
'Anha tidak mengetahui dari posisi buang air kecil Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam kecuali dengan duduk. Beliau Radhiyallahu 'Anha menyampaikan,
Ini kesaksian Aisyah Radhiyallahu 'Anhu yang ia lihat dari posisi Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam saat buang air kecil dalam rumahnya. Ini tidak
menafikan posisi buang air kecil beliau yang sambil berdiri. Juga tidak
menunjukkan larangannya secara total. Karena ada keterangan dari
Hudzaifah Radhiyallahu 'Anhu yang mengatakan,
. . . Nabi biasa buang air kecil dengan duduk dan pernah sesekali beliau buang
air dengan bediri untuk menjelaskan bolehnya. . .
33
34
DAFTAR PUSTAKA
http://kamuskesehatan.com/arti/glomerulonefritis-akut/
Kumar V,et al. 2008. Patologi Anatomi : Robbins edisi 7 vol 2. Jakarta
Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA. 1996. Buku Ajar Histologi. Ed 5. Jakarta :
EGC.
Noer MS . Glomerulonefritis, 2002. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 323-361
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia : dari sel ke sistem. Ed. 2. Jakarta :
EGC.
Suharti, C. 2009. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 5. Jilid 2. Jakarta : Interna
Publishing.
35