Adat Laot

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Lembaga Hukom Adat Laot

Dilihat dari sejarahnya, jabatan panglima laot sudah ada sejak za-man Kerajaan
Samudera Pasai pada abad ke 14 dan kemudian dipertegas oleh Sulthan Iskandar
Muda (1607-1637). Pada saat itu posisi panglima laot lebih sebagai perpanjangan
tangan sulthan dalam rangka mengerja-kan dua tugas utama, yaitu memungut cukai
dari kapal-kapal dagang yang berlabuh di pelabuhan dan memobilisasi rakyat untuk
kepentingan perang (Adli Abdullah dkk, 2006).
Pada kenyataannya lembaga panglima laot ini selama berabad-abad itu terus
berjalan sendiri tanpa mendapat campur tangan peme-rintahan. Masyarakat nelayan
yang seharti-hari bergelut dengan badai dan gelombang memang membutuhkan
adanya solidaritas dan kepe-mimpinan yang dapat mengayomi mereka sehari-hari.
Begitulah yang terjadi di Aceh, masyarakat nelayan mengatur dan menyelesaikan
sendiri masalah mereka dengan panglima laot-nya. Pada masa konflik mendera Aceh
para panglima laot, terutama panglima laot lhok sebagai ujung tombaknya, haruslah
pandai-pandai mengayuh perahu di antara dua ka-rang yang sama tajamnya.
Tahun 2000 yang lalu dapat dicatat sebagai titik penting keber-adaan lembaga ini.
Para panglima laot seluruh Aceh pada waktu itu mempersatukan diri dalam sebuah
organisasi yang tampak cukup kuat dengan struktur yang rapi, setidaknya untuk
pengurus pusat di Banda Aceh, dengan nama Lembaga Hukom Adat Laot. Dibentuk
pula semacam hirarki melalui pemilihan seorang Panglima Laot tingkat Provinsi dan di
tiap daerah tingkat II dipilih seorang Panglima Laot Kabupaten. Orga-nisasi ini juga
telah membuat Buku Rencana Strategis Panglima Laot Aceh 2005-2015 dan
Ketentuan-Ketentuan Hukom Adat Laot.
Meskipun ada Panglima Laot Provinsi dan Panglima Laot Kabu-paten,
sebenarnya yang memiliki peran aktual kepada konstituen para nelayan adalah
panglima laot lhok, yang secara struktur paling rendah. Panglima Laot Lhok itulah yang
“benar-benar bertugas menegakkan hu-kom adat laot yang menyatu dengan syariat
Islam. Hal ini sesuai dengan hakikat keberadaan lembaga ini yang bersifat bottom-up,
bukan top-down” (Lihat Buku Renstra Panglima Laot Aceh, 2005).
Menarik untuk dicatat bahwa organisasi Lembaga Hukom Adat Laot telah
berkembang sebagai salah satu lembaga yang cukup vokal de-ngan keanggotaan yang
solid di Aceh sekarang. Mereka telah mempunyai berbagai program, tidak hanya
berkaitan dengan tata cara penangkapan ikan dan hasil laut tetapi juga mencangkup
pengawasan tata cara pe-nangkapan ikan, pengawasan batas dan tata ruang wilayah
hukom adat laot, pendidikan hukom adat laot kepada generasi muda sampai pa-da
pemberdayaan SDM dari anak-anak nelayan yang pada umumnya masih terbelenggu
kemiskinan.

Perangkat Persidangan Adat Laot


Hukom Adat Laot juga mengenal perangkat persidangannya meli-puti (1)
Panglima Laot karena jabatannya sebagai pemimpin sidang; (2) Satu orang wakil ketua;
(3) Beberapa orang penasehat persidangan yang berasal dari tokoh masyarakat atau
orang yang dianggap ahli mengenai perkara yang disidangkan; (4) Satu orang
sekretaris (bukan anggota); dan (5) Tiga orang anggota persidangan (D.Y.Witanto,
2007).
Panglima laot sebagai pemimpin sidang mempunyai fungsi seba-gai pengatur dan
pemimpin jalannya persidangan. Yang khas di sini ada-lah bahwa persidangan adat ini
selalu menjatuhkan putusan berdasarkan hasil kesepakatan dan mufakat dengan
semua komponen persidangan. Padahal jika ditilik, dalam menjalankan tugasnya
persidangan adat laot tersebut dapat mengambil keputusan yang cukup keras, yakni
mencakup hal (1) Mendamaikan para pihak di persidangan; (2) Menyatakan bebas atau
menghukum seseorang yang melanggar aturan adat; (3) Menjatuh-kan sanksi jika
berdasarkan penilaian penasehat persidangan orang yang disangka melanggar aturan
adat ternyata bersalah; dan (4) Menyatakan pihak mana yang harus melakukan sesuatu,
membayar sesuatu dan mengganti sesuatu.
Keunikan lain dalam persidangan adat laot ini adalah keberadaan penasihat
persidangan yang fungsinya hampir mirip dengan juri dalam sistem peradilan di negara-
negara Anglo Saxon. Penasihat persidangan ditunjuk oleh panglima laot dari kalangan
tokoh masyarakat atau tokoh adat yang dianggap ahli dan. Misalnya terhadap perkara
yang objeknya menyangkut pukat maka yang ditunjuk sebagai ahli adalah pawang
pukat yang berpengalaman. Dalam perkara perselisihan, penasehat diambil dari tokoh
agama yang berpengaruh sehingga dia dapat diharapkan berperan memberikan
petuah-petuah yang bernafaskan Syari’at Islam untuk men-dinginkan suasana para
pihak yang sedang berselisih. Sedang dalam per-kara pelanggaran dan sengketa adat
Laot penasehat akan memberikan pendapat tentang ada tidaknya pelanggaran
terhadap ketentuan adat yang dituduhkan.

Penyelesaian Sengketa laot


Penyelesaian sengketa dalam lembaga hukum adat laot terdiri atas dua tingkatan
yaitu (1) Panglima Laot Lhok dengan wilayah ”yurisdiksi” pada masing-masing wilayah
lhok yang

bersangkutan (biasanya sebuah teluk atau pantai tempat pendaratan perahu); dan (2) Panglima
Laot ka-bupaten/kota jika terjadi sengketa antar nelayan dalam beberapa wila-yah hukum adat
lhok dalam beberapa wilayah hukum adat lhok dalam satu kabupaten.
Sebenarnya hubungan antara panglima laot lhok dengan pang-lima laot
kabupaten tidak tepat jika dibayangkan sebagai semacam per-adilan tingkat banding
sebab pada prinsipnya kewenangan penyelesaian sengketa Adat Laot Lhok sendiri.
Kewenangan Panglima Laot kabupa-ten/Kota hanyalah dalam (1) Jika pihak-pihak yang
bersengketa berada atau berdomisili dalam dua wilayah lhok yang berbeda; dan (2)
Jika per-kara yang diperiksa oleh pengadilan adat lhok dianggap terlalu berat da-pat
dilimpahkan untuk diselesaikan oleh pengadilan laot kabupaten/ kota.
Penyelesaian sengketa antar nelayan oleh lembaga adat dengan berbasis hukum
adat dapatlah dianggap sebagai bagian dari alternative penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengakui adanya beberapa metoda penyelesaian sengketa di
luar penga-dilan, salah satunya adalah mediasi. Peradilan adat laot di Aceh agaknya
lebih mendekati metoda mediasi karena sama-sama menggunakan asas musyawarah
mufakat serta akan menghasilkan putusan yang mengikat secara sosial dan secara
moral (Rusjdi Ali Muhammad, 2008).
Jadi sebenarnya forum peradilan adat laot ini hanya satu kali yang bersifat final
dan mengikat, tidak ada upaya hukum lainnya. Hal ini meng-isyaratkan bahwa pihak-
pihak yang berperkara wajib tunduk dan patuh pada hasil keputusan persidangan adat.
Sebab proses persidangan adat itu sendiri merupakan hasil musyawarah dan
kesepakatan dari pihak-pi-hak yang berperkara. Selain itu hukom adat Laot ini juga
tidak memiliki lembaga eksekusi yang dapat mengambil tindakan paksa untuk pelaksa-
naan keputusan. Putusan senantiasa dilaksanakan secara sukarela.
Pertanyaannya benarkah setiap putusan akan selalu dilaksanakan secara suka
rela? Jawabannya terpulang kepada sejauh mana proses per-sidangan adat itu bekerja.
Hipotesanya adalah jika semua dilaksanakan melalui prosedur yang benat dengan alat-
alat bukti yang terpercaya, para pihak akan mematuhinya. Sampai sejauh ini belum
tercatat adanya ne-layan Aceh yang tidak mematuhi hasil persidangan adat Laot.
Jikapun ter-dapat seorang bebal yang tetap membangkang tidak menjalankan pu-tusan
adat Laot, sanksi moral dan sanksi sosial masyarakat Laot pasti akan bekerja.
Sanksi ini biasanya lebih ditakuti karena nelayan yang bersangkut-an akan
dikucilkan dari pergaulan dan akan mempersulit dirinya sendiri untuk memperoleh
pekerjaan dan bantuan dari sesama nelayan. Peneli-tian T. Muttaqin Mansur (2008)
membuktikan dalam kurun waktu sembi-lan tahun terakhir, di Kabupaten Pidie dan
Kabupaten Aceh Utara misal-nya, tidak ada satu pun putusan Peradilan Adat Laot yang
tidak dipatuhi, baik putusan berupa sanksi adat maupun putusan yang berupa perda-
maian. Ini menjadi bukti bahwa kepatuhan masyarakat nelayan terhadap Peradilan Adat
Laot cukup tinggi. Tentu ini ada kaitan dengan pola berpi-kir masyarakat, bahwa sanksi
sosial lebih ditakui oleh masyarakat.
Kaidah ”Hukum Acara” Persidangan Laot
Cukup menarik pula kiranya untuk diketahui bahwa persidangan adat laot ini
ternyata mempunyai semacam kaidah hukum acara tersen-diri. Berikut ini dipetik
beberapa ketentuan yang dapat digolongkan seba-gai kaidah hukum acara persidangan
adat laot tersebut (1) Setiap orang/ pawang yang mengajukan perkara pada Lembaga
Persidangan Hukom Adat Laot harus membayar uang meja sebesar Rp 15.000,- (lima
belas ribu rupiah); (2) Pengajuan perkara tidak boleh lewat hari Kamis. Sidang diadakan
pada jam 09.00 WIB sampai dengan selesai setiap hari Jum’at; (3) Biaya sidang
dipungut 10 persen dari uang hasil diperkarakan; (4) Penggugat sudah harus
menghadirkan saksi-saksi pada saat sidang dibu-ka. Saksi-saksi dari pihak yang
berperkara diisyaratkan harus mengangkat sumpah; (5) Sidang baru boleh
dilaksanakan apabila dihadiri minimal 3 (tiga) orang anggota sidang. Anggota sidang
ditambah 1 (satu) orang dari unsur Dinas Perikanan dan Kelautan; (6) Apabila
penggugat atau tergugat tidak menghadiri sidang sampai dengan 2 (dua) kali
persidangan, maka majelis akan mengambil keputusan; (7) Apabila pada sidang ketiga
peng-gugat atau tergugat tidak hadir, perkara dapat ditolak dan lembaga hu-kum akan
mengambil biaya sidang 10 persen dari uang yang diperkira-kan; dan (8) Penggugat
diberi waktu selama 2 x 24 jam untuk membawa pengaduan kepada panglima laot
sejak terjadinya perkara. Lewat dari waktu 2 x 24 jam, pengaduan dari penggugat, tidak
dapat diterima atau menjadi batal.

Kewenangan Peradilan Adat Laot


Ketentuan hukom adat laot berasal dari tradisi lokal turun temurun dalam
masyarakat Aceh. Namun, kini setelah lahirnya organisasi pangli-ma laot, ketentuan
tersebut telah dibuat menjadi panduan hasil Musya-warah Panglima Laot Aceh.
Pelanggaran terhadap hukom adat laot inilah yang menjadi kewenangan Peradilan Adat
Laot. Beberapa ketentuan adat laot adalah sebagaimana diuraikan berikut ini.

Hari pantang laot


Para panglima laot telah menyapakati beberapa hari untuk pan-tang melaut di
Aceh. Hari-hari tersebut adalah (1) Idul Fithri selama dua hari dihitung sejak
tenggelamnya matahari pada hari meugang (hari me-motong hewan besar satu hari
sebelum hari raya) hingga terbenamnya matahari pada hari kedua hari raya; (2) Idul
Adha tiga hari terhitung sejak tenggelamnya matahari pada hari meugang hingga
terbenamnya mata-hari pada hari ketiga; (3) Setiap hari Jum’at selama satu hari,
terhitung sejak tenggelamnya matahari hari Kamis hingga terbenamnya matahari hari
Jum’at; (4) Khanduri adat Laot. Khanduri adat dilaksanakan selam-bat-lambatnua 3
(tiga) tahun sekali tergantung kesepakatan dan kesang-gupan nelayan setempat,
dinyatakan 3 (tiga) hari pantang Laot pada aca-ra khanduri laot dihitung sejak terbit
matahari pada hari khanduri hingga tenggelamnua matahari pada hari ketiga; (5) Hari
Kemerdekaan RI 17 Agustus, dilarang melaut satu hari; dan (6) Hari tsu-nami 26
Desember.
Kesepakatan yang disebut terakhir merupakan hari pantang laot hasil
kesepakatan Dewan Meusapat Panglima Laot se Aceh pada tanggal 9-12 Desember
2005, dimulai sejak terbitnya matahari hingga terbenam-nya matahari tanggal 26
Desember. Pantangan ini diharapkan menjadi momen sejarah yang harus tersimpan
dalam memori setiap warga ma-syarakat Aceh, bahwa tanggal tersebut merupakan
peristiwa bencana gempa dan tsunami yang demikian dahsyat yang melanda Aceh.
Ratusan ribu jiwa penduduk Aceh menjadi korban.

Ketentuan adat sosial


Ketentuan yang disebut sebagai adat sosial dalam operasional dan kehidupan
nelayan peraturannya adalah (1) Pada saat terjadinya ke-rusakan kapal/boat atau alat
penangkapan lainnya di laut, yang bersang-kutan memberikan suatu isyarat yaitu
menaikkan bendera sebagai tanda minta bantuan. Bagi boat yang melihat aba-aba
tersebut langsung datang mendekati memberikan bantuan; dan (2) Jika terjadi musibah
tenggelam nelayan di laut, seluruh boat mencari mayat tersebut minimal satu hari
penuh dan kika ada boat yang mendapatkan mayat tersebut, boat yang bersangkutan
berkewajiban mengambil dan membawa mayat tersebut ke daratan.
Adat sosial para nelayan ini ditetapkan sebagai upaya saling mem-bantu antara
mereka jika terkena musibah yang sebenarnya setiap saat mengancam jika sendiri.
Kesamaan nasip inilah yang membuat para nela-yan dan pelaut biasanya memiliki rasa
solidaritas yang tinggi lebih-lebih di kalangan nelayan tradisional, dan kohesivitas sosial
ini semakin pen-ting dalam menghadapi tantangan ke depan yang semakin kompleks.
Ketentuan adat pemeliharaan lingkungan
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemeliharaan ling-kungan adalah (1)
Dilarang melakukan pemboman, peracunan, pembius-an, penglistrikan, pengambilan
terumbu karang, dan bahan-bahan lain-nya yang dapat merusak lingkungan hidup dan
biota lainnya; (2) Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu dipesisir pantai
seperti pohon arun/cemara, pandan, bakau dan pohon lainnya yang hidup dipantai; dan
(3) Dilarang menangkap ikan/biota laut lainnya yang dilindungi (lumba-lumba, penyu
dan lain sebagainya).
Adanya ketentuan semacam ini dari Panglima Laot Aceh memper-lihatkan betapa
lembaga tradisional dapat bersinergai dengan program pemerintah yang sering tidak
mudah diterima oleh rakyat. Jika biasanya program pemerintah cenderung turun
sepihak dari atas, dengan mem-perdayakan lembaga tradisional ia justru dapat mumcul
dari vawah dan di Aceh terlihat lembaga Panglima Laot bergerak atas inisiatif sendiri
se-bagai pengawal program pemeliharaan lingkungan.

Ketentuan adat khanduri laot


Mengenai adat khanduri laot dalam Keputusan Musyawarah Pang-lima Laot Aceh
dinyatakan bahwa: “Adat kenduri di masing-masing dae-rah tingkat II dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai ciri khas tersendiri dan bervariasi satu dengan
yang lainnya menurut keada-an masing-masing daerah, dan tetap memperhatikan nilai-
nilai yang islami”. Kiranya perlu menjadi catatan bahwa frasa terakhir keputusan
tersebut, agar khanduri Laot tetap memperhatikan ’nilai-nilai yang is-lami’, tampaknya
adalah jawaban para Panglima Laot Aceh untuk mene-pis sanggahan dari beberapa
Ulama ketika melihat dulunya khanduri laot agak bercampur dengan khurafat dan bid’ah,
misalnya dengan melarung kepala kerbau ke tengah laut guna mengharapkan agar
hasil nanti ber-tambah-tambah.

Ketentuan adat barang hanyut


Setiap barang (termasuk perahu, boat panglong, dan lain-lain) yang hanyut di laut
dan diketemukan oleh seorang nelayan, harus dise-rahkan kepada Panglima Laot
setempat untuk pengurusan selanjutnya. Ketentuan ini juga sebagai perlindungan bagi
sesama nelayan yang mungkin saja telah terhanyut bahkan tenggelam, tetapi boat atau
pera-hunya sebagai barang modal utama mereka sedapat mungkin harus dise-
lamatkan.

Hukom Adat Laot tentang Tata Cara Penangkapan Ikan


Ini adalah bagian terpenting subtansi hukom adat laot yang kini su-dah dibuat
tertulis melalui Hasil Musyawarah Panglima Laot tahun 2005. Untuk itu para Panglima
Laot menetapkan 22 pasal utama ditam-bah dengan dengan 6 pasal Aturan Tambahan
yang cukup rinci. Sebagai ilus-trasi beberapa ketentuan tersebut ditampilkan berikut ini.

Pembagian hasil kerja perahu dan boat


Bila sebuah kawanan ikan di krah oleh sebuah perahu pukat Aceh dan dikejar
oleh pukat-pukat lain untuk melaboh kawasan ikan tersebut, sedangkan cuaca/keadaan
alam tidak mungkin bagi pukat Aceh yang mengejar tadi akan berhasil melaboh
kawanan ikan tersebut. Dan apabila ada sebuah boat yang membantu melaboh
kawanan ikan tersebut de-ngan seizin pawang pukat yang mengejar tadi, jika berhasil
dilaboh ka-wanan ikan itu, maka pembahagiannya adalah dibagi tiga yaitu satu ba-
hagian bagi pukat yang krah, satu bahagian bagi yang mengejar tadi, dan satu
bahagian untuk boat yang membantu melaboh tersebut dengan ke-tentuan sanggup
mencapai umbai pukat boat.

Pembagian hasil kerjasama


Pukat Aceh sedang laboh, lantas datang boat dan pukat Aceh lain-nya serta
sampai di tempat pukat yang sedang laboh tadi bersama-sama mereka membantu
pukat yang sedang laboh itu, maka jerih payah atas bantuan boat dan pukat Aceh yang
membantu adalah hasil dari laboh itu dibagi dua. Antara pukat dengan pukat Aceh yang
membantu tadi mere-ka ini hasil bagi dua tadi dibagi dua lagi, sehingga semua dapat
hasil.

Perolehan hasil antara boat dengan boat


Sebuah kawanan ikan dilihat oleh beberapa boat dan boat itu sa-ma-sama
mengejar kawanan ikan tersebut. Sesampai di tempat kawanan ikan itu salah satu dari
pukat boat itu yang posisinya tepat untuk laboh ikan tersebut. Bagi boat yang laboh
kawanan ikan ini hasilnya ½ bagian dari hasil seluruhnya, dan bagian yang setengah
lagi dibagi untuk bebe-rapa boat yang sama-sama dapat mempertahankan
kedudukannya.

Pemasangan tuasan, rumpon dan bubu


Pemasangan tuasan, rumpon dan bubu adalah sebagai berikut (1) Tuasan,
rumpon dan bubu dipasang harus diberi tanda pengenal berupa pelampung bulat besar
atau bambu yang dipasang sedemikian rupa se-hingga mudah dilihat; (2) Bila terjadi
tabrakan antara tuasan, rumpon, bubu dengan pukat atau alat penangkapan ikan lainna
tidak dengan se-ngaja, maka kerusakan tuasan, rumpon, dan bubu tidak diganti; (3)
Teta-pi kerusakan tuasan, rumpon, dan bubu ditabrak oleh pukat atau alat tangkapan
ikan lainnya dengan sengaja, maka harus diganti rugi sebesar 100 persen dari harga
tuasan, rumpon dan bubu tersebut; (4) Pema-sangan tuasan, rumpon dan bubu harus
mengambil surat izin dari Dinas Perikanan dan Kelautan Tingkat II, maka kerusakan
tuasan, rumpon dan bubu tersebut tidak berhak mendapat ganti rugi; (5) Tuasan,
rumpon dan bubu yang tidak diberi tanda pengenal bila terjadi tabrakan tidak akan
diganti dan dia harus mengganti kepada yang menabraknya; dan (6) Pu-kat banting,
pukat langgar, dan jenis pukat lainnya boleh manangkap ikan di malam hari dengan
jarak ± 500 meter dari tuasan/unjam dan lain-lain alat pengumpul ikan.

Mengambil ikan dari tuasan kapal lain


Mengambil ikan dari tuasan milik kapal lain, ketentuannya adalah (1) Jika satu
kapal mengambil ikan di tuasan milik kapal lain, kapal ter-sebut supaya memohon izin
terlebih dahulu jika ada pemiliknya. Hasil yang didapat dari tuasan tersebut harus dibagi
dua, sesudah terlebih da-hulu dipotong ikan cucuk 20 persen untuk kapal yang melabuh
pukat ter-sebut; (2) Jika kapal mengambil ikan di tuasan milik kapal lain, sedangkan
pemiliknya tidak ada, maka kepada juragan kapal itu dimohon kesadaran sesampai
didarat untuk melapor kepada pemiliknya. Hasil yang didapat tersebut tetap harus
dibagi dua setelah dipotong ikan cucuk sebanyak 20 persen atau dalam hal tersebut
bisa dilakukan toleransi (= musyawarah) antara juragan (kapal) dengan juragan pemilik
tuasan; (3) Terhadap suatu kapal yang mengambil ikan di tuasan milik orang lain
sedangkan pemilik-nya tidak ada dan sesampai di darat tidak juga melapor pada
pemiliknya, jika ada juragan kapal lain yang melihat kejadian ter-sebut, dan melapor
kepada pemilik tuasan, pemilik tuasan dapat menun-tut kapal yang meng-ambil ikan di
tuasannya; dan (4) Bagi pukat langgar atau pukat banting yang mengambil ikan di
tuasan kapal nelayan jaring, hasil yang didapat dibagi tiga, dua bagian untuk kapal yang
melaboh pukat dan satu bagian lagi kembali untuk pemilik tuasan kapal yang melaboh
pukat dan satu bagian lagi kembali untuk tuasan.
Untuk melihat bagaimana ketentuan adat laot tersebut bekerja, berikut ini
ditampilkan contohnya. Kasus yang terjadi pada bulan Agus-tus 2003 ini adalah
sengketa antara nelayan wilayah Lhok Tgk. Laweueng Kecamatan Muara Tiga dengan
nelayan Lhok Gunteng Kecamatan Batee sama-sama di Kabupaten Pidie. Ketika itu
boat pukat siang (untuk me-nangkap ikan tongkol) milik nelayan Lhok Gunteng melihat
sekawanan ikan lalu mendekat untuk melakukan laboh. Kebetulan pada saat yang
sama lewat boat pukat malam (boat untuk menangkap ikan kecil) milik nelayan Lhok
Tgk. Laweueng yang sebenarnya sedang mencari posisi un-tuk laboh ikan malam.
Namun mereka pun melihat kawanan ikan yang sedang di-laboh Nelayan Lhok
Laweueng ikut membantu dengan mela-kukan peh ie (memukul air).
Menurut Adat Laot Pidie jika terdapat dua boat yang sama-sama dekat dengan
sekawan ikan pada dasarnya ikan itu belum ada pemi-liknya. Peraturannya, kalau pukat
A telah me-laboh ikan tersebut tetapi belum dapat umbai kemudian datang boat B
membantu dengan peh ie dan berdiri pada tampuk umbai, maka itu termasuk hukum
kongsi de-ngan pembagiannya 20% untuk melakukan laboh dan sisanya 80 % harus
dibagi dua. Namun nelayan Lhok Gunteng tadi tidak memberikan hak kongsi tersebut
dengan alasan boat nelayan Lhok Laweueng bukan men-cari ikan di siang hari, hanya
kebetulan saja lewat. Karena kasus ini ter-jadi antara nelayan dari wilayah lhok yang
berbeda, ia diselesaikan oleh peradilan adat Panglima Laot Kabupaten Pidie.
Keputusan sidang akhir-nya menetapkan apa pun alasannya dan apa pun alat tangkap
yang dimi-liki, jika sama-sama bekerja tetap dianggap kongsi, kecuali kalau yang
bersangkutan berhenti. Sebab boat malam pun punya alat untuk me-nangkap ikan.
Putusan Peradilan Adat Laot ini kemudian diterima oleh kedua pihak (T. Muttaqin,
2008).
Perlu juga dikemukakan bahwa walaupun persidangan adat Laot di Aceh ini
memang sepenuhnya merupakan wilayah otonomi adat, namun tetap diperlukan
keikutsertaan Pemerintah terutama aparat keamanan negara untuk melindungi
Panglima Laot pada saat menetapkan sanksi-sanksi adat. Keputusan Musyawarah
Panglima Laot tahun 2005 sendiri menetapkan butir terakhir ini. Hal ini menyiratkan
bahwa memang tidak mustahil akan terjadi keengganan atau resistensi para pihak
untuk me-laksanakan putusan peradilan adat Laot, sehinggan keikutsertaan Peme-
rintah, khususnya aparat keamanan tetap dibutuhkan. Pada akhirnya Panglima Laot
pun sebenarnya tidak lebih dari anggota masyarakat biasa yang tetap membutuhkan
perlindungan negara dan aparatnya.

Anda mungkin juga menyukai