Adat Laot
Adat Laot
Adat Laot
Dilihat dari sejarahnya, jabatan panglima laot sudah ada sejak za-man Kerajaan
Samudera Pasai pada abad ke 14 dan kemudian dipertegas oleh Sulthan Iskandar
Muda (1607-1637). Pada saat itu posisi panglima laot lebih sebagai perpanjangan
tangan sulthan dalam rangka mengerja-kan dua tugas utama, yaitu memungut cukai
dari kapal-kapal dagang yang berlabuh di pelabuhan dan memobilisasi rakyat untuk
kepentingan perang (Adli Abdullah dkk, 2006).
Pada kenyataannya lembaga panglima laot ini selama berabad-abad itu terus
berjalan sendiri tanpa mendapat campur tangan peme-rintahan. Masyarakat nelayan
yang seharti-hari bergelut dengan badai dan gelombang memang membutuhkan
adanya solidaritas dan kepe-mimpinan yang dapat mengayomi mereka sehari-hari.
Begitulah yang terjadi di Aceh, masyarakat nelayan mengatur dan menyelesaikan
sendiri masalah mereka dengan panglima laot-nya. Pada masa konflik mendera Aceh
para panglima laot, terutama panglima laot lhok sebagai ujung tombaknya, haruslah
pandai-pandai mengayuh perahu di antara dua ka-rang yang sama tajamnya.
Tahun 2000 yang lalu dapat dicatat sebagai titik penting keber-adaan lembaga ini.
Para panglima laot seluruh Aceh pada waktu itu mempersatukan diri dalam sebuah
organisasi yang tampak cukup kuat dengan struktur yang rapi, setidaknya untuk
pengurus pusat di Banda Aceh, dengan nama Lembaga Hukom Adat Laot. Dibentuk
pula semacam hirarki melalui pemilihan seorang Panglima Laot tingkat Provinsi dan di
tiap daerah tingkat II dipilih seorang Panglima Laot Kabupaten. Orga-nisasi ini juga
telah membuat Buku Rencana Strategis Panglima Laot Aceh 2005-2015 dan
Ketentuan-Ketentuan Hukom Adat Laot.
Meskipun ada Panglima Laot Provinsi dan Panglima Laot Kabu-paten,
sebenarnya yang memiliki peran aktual kepada konstituen para nelayan adalah
panglima laot lhok, yang secara struktur paling rendah. Panglima Laot Lhok itulah yang
“benar-benar bertugas menegakkan hu-kom adat laot yang menyatu dengan syariat
Islam. Hal ini sesuai dengan hakikat keberadaan lembaga ini yang bersifat bottom-up,
bukan top-down” (Lihat Buku Renstra Panglima Laot Aceh, 2005).
Menarik untuk dicatat bahwa organisasi Lembaga Hukom Adat Laot telah
berkembang sebagai salah satu lembaga yang cukup vokal de-ngan keanggotaan yang
solid di Aceh sekarang. Mereka telah mempunyai berbagai program, tidak hanya
berkaitan dengan tata cara penangkapan ikan dan hasil laut tetapi juga mencangkup
pengawasan tata cara pe-nangkapan ikan, pengawasan batas dan tata ruang wilayah
hukom adat laot, pendidikan hukom adat laot kepada generasi muda sampai pa-da
pemberdayaan SDM dari anak-anak nelayan yang pada umumnya masih terbelenggu
kemiskinan.
bersangkutan (biasanya sebuah teluk atau pantai tempat pendaratan perahu); dan (2) Panglima
Laot ka-bupaten/kota jika terjadi sengketa antar nelayan dalam beberapa wila-yah hukum adat
lhok dalam beberapa wilayah hukum adat lhok dalam satu kabupaten.
Sebenarnya hubungan antara panglima laot lhok dengan pang-lima laot
kabupaten tidak tepat jika dibayangkan sebagai semacam per-adilan tingkat banding
sebab pada prinsipnya kewenangan penyelesaian sengketa Adat Laot Lhok sendiri.
Kewenangan Panglima Laot kabupa-ten/Kota hanyalah dalam (1) Jika pihak-pihak yang
bersengketa berada atau berdomisili dalam dua wilayah lhok yang berbeda; dan (2)
Jika per-kara yang diperiksa oleh pengadilan adat lhok dianggap terlalu berat da-pat
dilimpahkan untuk diselesaikan oleh pengadilan laot kabupaten/ kota.
Penyelesaian sengketa antar nelayan oleh lembaga adat dengan berbasis hukum
adat dapatlah dianggap sebagai bagian dari alternative penyelesaian sengketa di luar
pengadilan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengakui adanya beberapa metoda penyelesaian sengketa di
luar penga-dilan, salah satunya adalah mediasi. Peradilan adat laot di Aceh agaknya
lebih mendekati metoda mediasi karena sama-sama menggunakan asas musyawarah
mufakat serta akan menghasilkan putusan yang mengikat secara sosial dan secara
moral (Rusjdi Ali Muhammad, 2008).
Jadi sebenarnya forum peradilan adat laot ini hanya satu kali yang bersifat final
dan mengikat, tidak ada upaya hukum lainnya. Hal ini meng-isyaratkan bahwa pihak-
pihak yang berperkara wajib tunduk dan patuh pada hasil keputusan persidangan adat.
Sebab proses persidangan adat itu sendiri merupakan hasil musyawarah dan
kesepakatan dari pihak-pi-hak yang berperkara. Selain itu hukom adat Laot ini juga
tidak memiliki lembaga eksekusi yang dapat mengambil tindakan paksa untuk pelaksa-
naan keputusan. Putusan senantiasa dilaksanakan secara sukarela.
Pertanyaannya benarkah setiap putusan akan selalu dilaksanakan secara suka
rela? Jawabannya terpulang kepada sejauh mana proses per-sidangan adat itu bekerja.
Hipotesanya adalah jika semua dilaksanakan melalui prosedur yang benat dengan alat-
alat bukti yang terpercaya, para pihak akan mematuhinya. Sampai sejauh ini belum
tercatat adanya ne-layan Aceh yang tidak mematuhi hasil persidangan adat Laot.
Jikapun ter-dapat seorang bebal yang tetap membangkang tidak menjalankan pu-tusan
adat Laot, sanksi moral dan sanksi sosial masyarakat Laot pasti akan bekerja.
Sanksi ini biasanya lebih ditakuti karena nelayan yang bersangkut-an akan
dikucilkan dari pergaulan dan akan mempersulit dirinya sendiri untuk memperoleh
pekerjaan dan bantuan dari sesama nelayan. Peneli-tian T. Muttaqin Mansur (2008)
membuktikan dalam kurun waktu sembi-lan tahun terakhir, di Kabupaten Pidie dan
Kabupaten Aceh Utara misal-nya, tidak ada satu pun putusan Peradilan Adat Laot yang
tidak dipatuhi, baik putusan berupa sanksi adat maupun putusan yang berupa perda-
maian. Ini menjadi bukti bahwa kepatuhan masyarakat nelayan terhadap Peradilan Adat
Laot cukup tinggi. Tentu ini ada kaitan dengan pola berpi-kir masyarakat, bahwa sanksi
sosial lebih ditakui oleh masyarakat.
Kaidah ”Hukum Acara” Persidangan Laot
Cukup menarik pula kiranya untuk diketahui bahwa persidangan adat laot ini
ternyata mempunyai semacam kaidah hukum acara tersen-diri. Berikut ini dipetik
beberapa ketentuan yang dapat digolongkan seba-gai kaidah hukum acara persidangan
adat laot tersebut (1) Setiap orang/ pawang yang mengajukan perkara pada Lembaga
Persidangan Hukom Adat Laot harus membayar uang meja sebesar Rp 15.000,- (lima
belas ribu rupiah); (2) Pengajuan perkara tidak boleh lewat hari Kamis. Sidang diadakan
pada jam 09.00 WIB sampai dengan selesai setiap hari Jum’at; (3) Biaya sidang
dipungut 10 persen dari uang hasil diperkarakan; (4) Penggugat sudah harus
menghadirkan saksi-saksi pada saat sidang dibu-ka. Saksi-saksi dari pihak yang
berperkara diisyaratkan harus mengangkat sumpah; (5) Sidang baru boleh
dilaksanakan apabila dihadiri minimal 3 (tiga) orang anggota sidang. Anggota sidang
ditambah 1 (satu) orang dari unsur Dinas Perikanan dan Kelautan; (6) Apabila
penggugat atau tergugat tidak menghadiri sidang sampai dengan 2 (dua) kali
persidangan, maka majelis akan mengambil keputusan; (7) Apabila pada sidang ketiga
peng-gugat atau tergugat tidak hadir, perkara dapat ditolak dan lembaga hu-kum akan
mengambil biaya sidang 10 persen dari uang yang diperkira-kan; dan (8) Penggugat
diberi waktu selama 2 x 24 jam untuk membawa pengaduan kepada panglima laot
sejak terjadinya perkara. Lewat dari waktu 2 x 24 jam, pengaduan dari penggugat, tidak
dapat diterima atau menjadi batal.