Difteri Tonsil

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

II.

DIFTERI TONSIL
2.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular,
disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai permbentukan
pseudomembrane pada kulit dan/ mukosa.

2.2 Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini
berkembangbiak pada atau disekitar selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dilakukan dengan
biru metilen atau biru toluidin. Basil ini merupakan bakteri gram positif.

2.3 Patofisiologi
Penyakit disebabkan oleh toxin diphtheria yang merupakan faktor virulensi
dari C. diphtheriae. Toxin ini dikode oleh gen tox yang dibawa oleh suatu
bakteriofaga lisogenik yaitu Beta-faga. Hanya galur C. diphtheriae yang memiliki
gen tox inilah yang dapat menimbulkan penyakit. Galur lain yang tidak memiliki
gen ini tidak bersifat patogenik, akan tetapi galur ini dapat berubah menjadi
patogenik bila ditransduksi oleh bakteriofaga lisogenik beta-faga. Spesies

1
bakteri coryneform lain yang dapat menghasilkan toxin ini
adalah Corynebacterium ulcerans yang juga dapat menimbulkan manifestasi
klinis difteri.
Toxin diphtheria memiliki 2 subunit dan 3 regio. Subunit A memiliki regio
katalitik, sedangkan subunit B memiliki regio pengikat reseptor (receptor-binding
region), dan regio translokasi (translocation region). Reseptor untuk toxin ini
adalah heparin-binding epidermal growth factor yang terdapat pada permukaan
banyak sel eukariotik, termasuk sel jantung dan sel saraf. Hal ini yang mendasari
terjadinya komplikasi kardiologis dan neurologis dari difteri. Begitu toxin difteri
berlekatan dengan sel host melalui ikatan antara heparin-binding epidermal
growth factor dan receptor binding region subunit B, regio translokasi disisipkan
ke dalam membran endosome yang kemudian memungkinkan pergerakan region
katalitik subunit A ke dalam sitosol. Kemudian subunit A bekerja dengan cara
menghentikan sintesis protein sel host. Subunit A memiliki aktivitas enzimatik
yang mampu memecah Nikotinamida dari Nicotinamide Adenine
Dinucleotide (NAD) dan kemudian mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil
pemecahan tadi menuju Elongation Factor-2 (EF-2). EF-2 yang ter-ADP
ribosilasi ini kemudian menjadi inaktif. EF-2 merupakan faktor yang penting
dalam translasi protein sehingga sintesis protein seluler menjadi terganggu.
Proses ini kemudian menyebabkan nekrosis sel disertai dengan inflamasi dan
eksudat fibrin yang memberikan gambaran pseudomembrane. Bentukan
pseudomembrane ini dapat menghambat jalan napas, sehingga kematian akibat
difteri timbul karena sumbatan jalan napas.

2.4 Diagnosis
 Difteri hidung
Menyerupai common cold, gejalanya seperti pilek ringan dan disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan
kemudian makropulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama
terdiagnosis.

2
 Difteri faring
Anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari
berikutnya akan timbul membran yang melekat berwarna putih/kelabu
dapat menutupi tonsil dan dinding faring meluas ke uvula serta palatum
molle atau ke bawah laring trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan
submandibular, bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan
lunak leher yang luas maka akan timbul bullneck. Selanjutnya gejala
tergantung pada derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus
berat dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
 Difteri laring
Biasanya merupakan perluasan dari difteri faring. Pada difteri laring
primer gejala toksik kurang nyata. Gejala klinis difteri laring sulit
dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring
berat terdapat retraksi suprasental, interkostal dan supraklavikular. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan napas, bisa terjadi kematian
mendadak.
 Difteri kulit
Merupakan tipe difteri yang tidak lazim/unusual. Difteri kulit berupa
tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya, kelainan
cenderung menahun.
 Difteri vulvovaginal, mata dan telinga
Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

2.5 Tata Laksana


Pengobatan pada penderita difteri bertujuan untuk menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah, dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. Diphtheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Antitoksin difteri hanya

3
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak
menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
a. Pengobatan umum
 Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu.
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu.
 Pemberian cairan serta diet yang adekuat.
 Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup
mengandung protein dan kalori.
 Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara
lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu
selama 5 minggu.
 Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembapan udara dengan menggunakan nebulizer.
b. Pengobatan Khusus
 Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari
ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu, karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi

4
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada
mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20
menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.
Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi.
Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat
badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI seperti tertera pada
tabel. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau
100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan
efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2
jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).
 Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan
mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya
rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara
luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin
sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh
sekurang kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan
tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
 Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteri. Dianjurkan kortikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang
disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai

5
atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis,
namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata
tidak terbukti. Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8
jam pada kasus berat selama 14 hari.
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya
reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan
pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi.
Pengobatan terhadap miokarditis adalah dengan istirahat total, tidak boleh
ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis
sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi
paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan
intermitten positive pressure dan jalan napas harus selalu dijaga.

2.6 Komplikasi
 Masalah pernapasan.
Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan
membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan.
Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini
berpotensi memicu inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan
menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
 Miokarditis (Kerusakan Jantung)
Miokarditis adalah kondisi jantung, yang melibatkan peradangan pada
otot jantung, dalam hal ini disebabkan oleh toksin difteri. Kondisi ini dapat
menyebabkan gagal jantung, dan semakin besar tingkat infeksi bakteri,
semakin tinggi toksisitas pada jantung, menghasilkan efek yang berkisar
dari kelainan yang hanya tampak pada monitor jantung, kematian
mendadak.
 Kerusakan saraf
Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit
menelan, masalah saluran kemih, serta pembengkakan saraf tangan dan

6
kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi indikasi awal dari kelumpuhan
saraf yang akan memengaruhi diagfragma.
 Kelumpuhan diafragma
Diafragma adalah otot berbentuk kubah tebal yang memisahkan dada
dari perut. Diafragma membantu bernapas dalam dan keluar. Jika diafragma
tidak bekerja dengan benar, maka diperlukan ventilator untuk membantu
bernapas. Hal ini dapat meniru fungsi dari diafragma dengan mengatur
tekanan paru-paru.
 Difteri Hipertoksik
Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala
yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu
pendarahan yang parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.

Anda mungkin juga menyukai