Globalisasi Dalam Pelayanan Kesehatan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam Pelayanan

Kesehatan
Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi
memungkinkan adanya perpindahan penduduk (imigrasi) antar negara atau daerah
yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk dalam negara, baik populasi
maupun variasinya. Menurut United Nations Population Fund (2011), pada akhir
bulan oktober tahun 2011 jumlah penduduk dunia akan mencapai tujuh miliar
penduduk. Ini memungkinkan adanya multikultural atau variasi kultur pada suatu
wilayah. Berdasar pada hal tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan profesional
termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak dengan perspektif global
bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur atau
budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia saat ini. Penanganan pasien
dengan perbedaan latar belakang budaya disebut dengan transkultural nursing.

Menurut Leininger (2002), transkultural nursing adalah suatu area/wilayah


keilmuan budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus
memandang perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan,
sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan,
dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
budaya atau keutuhan budaya kepada manusia, yang dalam penggunaannya
bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis
sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal
kultur dengan nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua
kultur, misalnya seperti budaya minum teh yang dapat membuat tubuh sehat.

Berdasarkan definisi Leininger diatas, dalam melaksanakan praktik


keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan
praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang telah menjadi
kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan keperawatan transkultural
berdasarkan kerangka kerja keperawatan transkultural yang dikenal dengan
Leininger Sunrise Model (Leininger, 2002) dan tiga strategi utama intervensi Leininger,
yaitu pemeliharan terhadap budaya, negosiasi budaya dan merestrukturisasi budaya.

Bila seorang perawat mengabaikanlandasan teori dan praktik keperawatan yang


berdasarkan budaya atau keperawatan transkultural, perawat akan mengalami
cultural shock. Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana
perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan
kepercayaan. hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan, dan beberapa akan mengalami disorientasi. salah satu contoh
yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. pada
beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 1


nyeri dengan berteriak atau menangis. tetapi bila seandainya perawat terbiasa dengan
hanya meringis jika merasa nyeri, ia akan menganggap sikap pasien mengganggu
dan tidak sopan. maka perawat pun akan meminta pasien bersuara pelan,
bahkan tak jarang akan memarahinya karena dianggap mengganggu pasien
lainnya. kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan berakibat pada
perununan kualitas keperawatan yang diberikan.

Penting bagi perawat untuk memahami cultural sendiri sebelum memahami


keperawatan transkultural. Konsep tentang budaya dan gambaran perilaku dan
sikap yang mencerminkan budaya tertuang dalam ilmu antropologi kesehatan.
Dalam menerapkan keperawatan transkultural, tak hanya budaya yang harus di
perhatikan, namun paradigma keperawatanpun perlu diingat agar dapat
diaplikasikan dalam keperawatan transkultural.

Leoninger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai


cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep
sentral keperawatan, yaitu: manusia, komponen sehat sakit, lingkungan serta
keperawatan (Andrew and Boyle, 1995).

Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural


Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada saat ini,
termasuk tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin
tinggi. Dengan adanya globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara
menyebabkan adanya pergeseran terhadap tuntutan asuhan keperawatan. Sehingga,
perawat tidak hanya dituntut untuk bisa berkembang pada masa kini tapi perawat
pun harus berkembang dari masa lalu, seperti kebudayaan klien, latar belakang
klien, dan lain sebagainya.

Menurut J.N Giger dan Davidhizar konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan
ada
beberapa, antara lain:

1. Budaya
Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan
dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan.
2. Cultural
Seseorang yang memiliki pertentanan antara dua individu dari budaya, gaya
hidup, dan hukum hidup. Contohnya, Didin adalah anak yang dilahirkan dari
pasangan suku sunda dan batak.
3. Diversity

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 2


Diversity atau keragaman budaya adalah suatu bentuk yang ideal dari
asuhan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya
individu, kepercayaan, dan tindakan.
4. Etnosentris
Persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah
yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
5. Ras
Perbedaan manusia didasarkan pada asal muasal manusia.
6. Cultural shock
Suatu keadaan yang dialami klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak
mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan.
Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi.
7. Diskriminasi
Perbedaan perlakuan individu atau kelompok berdasarkan ras, etnik, jenis
kelamin, sosial, dan lain sebagainya.
8. Sterotyping
Anggapan suatu individu atau kelompok bahwa semua anggota dari
kelompok budaya adalah sama. Seperti, perawat beranggapan bahwa semua
orang Indonesia menyukai nasi.
9. Assimilation
Suatu proses individu untuk membangun identitas kebudayaannya,
sehingga akan menghilangkan budaya kelompoknya dan memperoleh budaya
baru.
10. Perjudice
Adalah prasangka buruk atau beranggapan bahwa para pemimpin lebih suka
untuk menghukum terlebih dahulu suatu anggota.

Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya

Perawat dalam menjalankan tugasnya sering menghadapi klien yang


memiliki latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda. Untuk
menghadapi situasi ini penting bagi perawat untuk memahami bahwa klien
memiliki pandangan dan interpretasi mengenai penyakit dan kesehatan yang
berbeda. Pandangan tersebut didasarkan pada keyakinan sosial-budaya klien.

Perawat harus sensitif dan waspada terhadap keunikan warisan budaya dan
tradisi kesehatan klien dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dari latar
belakang kebudayaan yang berbeda. Perawat harus mengkaji dan mendengarkan
dengan cermat tentang konsistensi warisan budaya klien. Pengakajian tentang budaya
klien merupakan pengkajian yang sisrematik dan komprehensif dari nilai-nilai
pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik individual, keluarga, komunitas. Tujuan
engkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang signifikan dari klien
sehingga perawat dapat menerapkan kesamaan budaya ( Leininger dan MC Farland,
2002).

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 3


Perawat dalam melakukan pengkajian terhadap kebudayaan klien dimulai
dari menentukan warisan kultural budaya klien, latar belakang organisasi sosial,
dan keterampilan bahasa serta menayakan penyebab penyakit atau masalah untuk
mengetahui klien mendapatkan pengobatan rakyat secaratradisional baik secara
ilmiah maupun mesogisoreligus atau kata ramah, suci untuk mencegah dan mengatasi
penyakit. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kompoen pengakajian budaya untuk
menyediakan informasi yang berguna dalam mengumpulkan data kebudayaan klien.

Model matahari terbit dari leininger menggambarkankeberagaman budaya


dalam kehidupan sehari-hari dan membantu melaksanakan pengkajian budaya
yang dilakukan secara komprehensif. Model ini beranggapan bahwa nilai-nilai
pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik merupakn hal yang tidak dapat
diubah dalam budaya dan dimensi struktur social masyarakat, konteks lingkungan,
bahasa dan riwayat etik atau peristiwa bersejarah dari kelompok
tertentu(Potter dan perry, fundamental keperawatan ed 7, 187)

Tahapan pengkajian budaya dimulai dari mengetahui perubahan demografik


populasi pada lingkungan praktik komunitas yang disebut dengan data sensus. Data
sensus didapatkan dari data sensus lokal dan regional serta laporan pelayanan
kesehatan. Langkah berikutnya perawat menggunakan teknik wawancara yang
terbuka, terfokus, dan kntras untuk mendorong klien menceritakan nilai-ilai,
kepercayaan, dan praktik dalam warisan budayanya( Spradley, 1979). Dalam
melaksanakan pengkajian budaya seorang perawat menjalin hubungan dengan
klien dan memiliki keterampilam dalam berkomuknikasi. Pengkajian budaya
yang komprehensif membutuhkan keterampilan, waktu hingga persiapan dan
antisipasi sangat diperlukan.

Beberapa Instrumen Pengkajian Budaya

Pada abad ke - 21 ini,tuntutan terhadap asuhan keperawatan semakin besar,


tak hanya asuhan keperawatan yang melihat sisi medisnya saja, tetapi juga melihat
dari sisi budaya. Jika melihat dari sisi budaya, ini termasuk ilmu keperawatan yang
memasuki level middle theory range, yaitu teori transkultural nursing.

Tanskultural nursing adalah suatu daerah/wilayah keilmuan budaya pada


proses belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya memandang perbadaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakanuntuk
memberikan asuhankeperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepda
manusia (Leininger, 2002).

Transkultural nursing mempunyai tahapan yang sama dengan proses keperawatan;


antara lain pengkajian, diagnosis, perencanaan, implemantasi dan evaluasi.

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 4


Pengkajian dalam transkultural nursing memiliki instrument atau komponen
tersendiri, antara lain; warisan dan sejarah etnik, variasi biologis, religious dan
kepercayaan, organisasi sosial, komunikasi, waktu, kepercayaan perawatan dan
prakteknya, serta pengalaman sebagai tenaga proposional.

Warisan budaya dan sejarah etnik sering membawa pada nilai-nilai dan norma
yang berlaku pada suatu adat istiadat, ras klien, atau dalam hal ini dapat dikaji
tentang persepsin sehat dan sakit menurut budaya klien, keikutsertaan cara-cara
budaya dalam proses perawatan. Relijius dan kepercayaan ini dalah faktor yang
sangat mempengaruhi karena membawa motivasi tersendiri untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya. Kajian religious dapat meliputi agama yang dianut,
sudut pandang pasien terhadap penyeban penyakit, proses penyembuhannya serta
sisi positif agama pasien yang dapat membantu proses kesembuhanya. Variasi
biologis, perbedaan biologis antara anggota kelompok kultur, seperti struktur dan
bentuk tubuh, warna kulit, variasi enzimatik dan genetik, kerentanan terhadap
penyakit, variasi nutrisi. Pengkajian organisasi sosial mengacu pada unit keluarga dan
kelompok sosial, di mana di lihat tentang keadaan soal keluarga seperti ekonomi,
pergaulan sosial. Sedangkan pada kelompok sosila klien dapat dilihat sejarah
lingkungan dan kondisi lingkungan.

Komunikasi adalah hal terpenting dalam pelangsanaakn proses asuhan


keperawatan, ketidak berhasilan komunikasi dapat menghambat proses diagnosis dan
tindakaan serta dapat membawa pada hasil yang trgis. Dalam hal ini perawat harus
dapat melihat bahasa yang digunakan pasien secra verbal maupun non verbal. Ruang
personal menujukkan sikap klien yang harus ditanggapi oleh perawat secara sensitive,
sehingga kidatk menimbulkkan rasa ketidak nyamanan pasien. Bukan hanya
mengenai ruang personal yang harus menjadi pertimbangan tetapi juga mengenai
waktu ,orientasi waktu berbeda-deada dalam setiap ethic ada yang memprioritaskan
pada saat ini ada juga yang saat mendatang. Perbedaan orientasi waktu ini akan
membawa pada perencaan asuhan jangka panjang. Keyakinan perawtan klien juga
menjadi factor kajian, di sini perawat harus melihat bagai mana keyakinan dan
praktik pengobatan tradisional yang dipercai pasien dalam proses penyembuhannya
apakah dapat membantu atau memperparah penyakitnnya. Dan actor kajian
terakhir yang mempengaruhi adalh pengalam an propesional perawtan itu sendiri
dalam menangggapi atau dalam member asuhan keperawatan itu.

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 5


Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Sepanjang Daur Kehidupan Manusia

1. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran

Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya
dalam suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara
universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara
yang berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993).

Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang


kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus
dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi
misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat
jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti rebung.
Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan membuat bayi
lahir dengan ukuran yang kecil.

Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih
dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini,
pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda,
serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga.

Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang
sering menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa
kehamilan dan kelahiran adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka
terdapat berbagai upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti
pada upacara mitoni, procotan, dan brokohan.

Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh
dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern
penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi
penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi.

Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah perempuan,


walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti
pada masyarakat Bali Hindu yang disebut balian manak dengan usia di atas
50tahun dan profesi ini tidak dapat digantikan oleh perempuan karena dalam
proses menolong persalinan, sang dukun harus membacakan mantra mantra yang
hanya boleh diucapkan oleh laki laki karena sifat sakralnya.

Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada
dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 6


dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena
merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses
semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun
harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga
kebudayaan menetapkan bahwa proses mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau
keduniawian harus dilangsungkandi tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter
memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak ramuan untuk dapat
menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan,
atau bahan bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar
proses persalinan.

Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan


dan kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagai
proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti ; pandangan
budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku
dalam pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara
pencegahan bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara
menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai
pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya.

Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya


yang memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan
dalam pengkajian budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu
berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial,
agama dan kepercayaan serta pola komunikasi.

Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang. Untuk itu
penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi
kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya.

Perawatan dan Pengasuhan Anak

Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa
kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan
tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bias
mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu
contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.

Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan


simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan
standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan
berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat
dioptimalkan secara sinergis.

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 7


Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu:
Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak
tumbuh dan berkembang yang meliputi:keluarga,teman sebaya,sekolah dan
lingkungan sekitar tetangga.
Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem,misalnya
hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga dengan
pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya.
Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting
sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung
terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa.
Keempat,sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup
seperti:ideologi,budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima,sistem
chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik).

Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam


pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan,pola
pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa,dan pola
kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada
anak secara umum melalui 4 fase, yaitu:

1. Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat
jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan
dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih
dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu
kesatuan yang disebut “two persons system”.
2. Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan
dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya.
Orangtua berperan besar pada fase adaptasi,karena anak hanya dapat
belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya.
3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam sosialisasinya
anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang
diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak
cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan
penghargaan dari lingkungannya.
4. Fase Integrasi (Integration ), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi
hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan
penghargaan,tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan
dirinya sendiri.

Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan dirinya
pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga
turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 8


pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam
memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku
perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan kemampuannya dan
menggunakan kemampuannya untuk koping dengan membantu mencapai
keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan
anak dalam merencanakan proses perkembangan. Karena preadolesens memiliki
keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas
perkembngan. Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain
secara kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang
budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan
psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya
tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang intervensi
peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada
anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan
mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan anak.

Vera Christina Hulu, S.Psi,M.Kes,Psikolog Page 9

Anda mungkin juga menyukai