Kolelitiasis
Kolelitiasis
Kolelitiasis
DEFINISI
Kolelitiasis atau Cholelithiasis adalah keadaan adanya atau sedang terbentuknya batu empedu
yang merupakan timbunan kristal yang mungkin dapat terbentuk di dalam kandung empedu
(disebut kolesistolitiasis / cholecystolithiasis) ataupun dalam ductus choledochus (disebut
koledokolitiasis / choledocholithiasis), yang diantaranya disebabkan oleh gangguan metabolisme
kolesterol pada hepar.
Batu saluran empedu (koledokolitiasis) : adalah adanya batu yang terdapat pada saluran
empedu (Duktus Koledokus).
Batu Empedu (kolelitiasis) : adalah adanya batu yang terdapat pada kandung empedu (vesica
fellea/biliaris).
Radang empedu (Kolesistitis) : adalah adanya radang pada kandung empedu.
Radang saluran empedu (Kolangitis): adalah adanya radang pada saluran empedu.
Kolesistektomi : adalah tindakan pembedahan untuk mengobati penyakit batu empedu dengan
pengambilan kandung empedu.
Kolelitiasis (kalkuli empedu/kalkulus empedu, batu empedu) adalah suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran, bentuk
dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40
tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko, yaitu: obesitas, usia lanjut, diet
tinggi lemak dan genetik. Batu empedu dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi batu saluran empedu dan keadaan ini disebut sebagai batu saluran empedu
sekunder. Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan
lebih sering dan berat dibandingkan batu empedu asimtomatik. Komplikasi yang terjadi
diantaranya dapat mempengaruhi organ di sekitar empedu. Faktor resiko batu empedu
diantaranya dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty (40 tahun), Fertile (subur),
dan Female (wanita) (Sjamsuhidayat, 2011), namun tidak terbatas dan terikat hanya pada faktor-
faktor tersebut seperti yang akan dibahas selanjutnya di bawah.
Sinonim penamaan keadaan ini adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu.
Ilustrasi batu empedu pada saluran duktus koledokus maupun di dalam vesica fellea/vesica
biliaris. Gambar oleh BruceBlaus dengan izin CC BY-SA 4.0
Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol : 1. Hipersaturasi
kolesterol dalam kandung empedu, 2. Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol dan 3.
Gangguan motilitas kandung empedu dan usus. Sedangkan patogenesis batu pigmen melibatkan
infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktivitas β-
glucuronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu
pigmen pada pasien di negara timur.
Walaupun batu dapat terjadi dimana saja dalam saluran empedu, namun batu kandung empedu
ialah yang tersering didapat. Bila batu empedu ini tetap saja tinggal di dalam kandung empedu,
maka biasanya tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala – gejala biasanya timbul bila batu ini
keluar menuju duodenum melalui saluran empedu, karena dapat menyebabkan kolik empedu
akibat iritasi, hidrops, atau empiema akibat obstruksi duktus cysticus. Bila obstruksi terjadi pada
duktus koledokus maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan kadang – kadang sirosis
bilier.
Jika batu empedu tidak menimbulkan gejala biasanya pasien tidak memerlukan pengobatan.
Meski demikian, banyak juga kasus batu empedu yang membutuhkan tindakan operasi yang
disebut cholecystectomy. Saat ini operasi sudah biasa dilakukan dengan laparoskopi atau bedah
minimal. Karena hanya dengan sayatan kecil, proses pemulihannya pun lebih cepat. Bedah
minimal juga hanya menimbulkan sedikit nyeri dan kalaupun terjadi komplikasi hanya ringan saja,
tidak seperti bedah terbuka. Walaupun organ empedu ini sudah dibuang, seseorang bisa saja
melanjutkan kehidupannya dengan normal dan tetap produktif karena sebetulnya kantong
empedu hanya berfungsi sebagai tempat penampungan. Setelah menjalani pengangkatan kantong
empedu, pasien sebaiknya memperhatikan pola makan yaitu dengan membatasi asupan makanan
berlemak atau berminyak.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang
yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan otopsi postmortem di Amerika, batu
kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria. Insiden batu kandung empedu di
Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian yang komprehensif. Banyak
penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu
dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Dengan
perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru seperti USG, maka banyak penderita batu
kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya
komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan
sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan
gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu
gambaran klinis penderita batu kandung empedu dapat beragam dari yang berat atau jelas sampai
yang ringan atau samar bahkan dapat juga tanpa gejala (silent stone).
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang
terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut
berbeda-beda.
Kolelitiasis kronik menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi dari kandung empedu, selain itu
merupakan factor predisposisi terjadinya kanker pada kandung empedu.
Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak ada gejala maka
tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala, maka adalah salah satu
indikasi perlu dilakukannya kolesistektomi.
Sejarah
Setiap tahun, ratusan ribu pasien di negara besar menjalani terapi pembedahan untuk
mengambil kandung empedunya (dikenal sebagai tindakan kolesistektomi), menjadikannya salah
satu prosedur operasi yang paling umum dilakukan setiap tahun. Tindakan ini merupakan
penatalaksanaan pilihan untuk inflamasi dari kandung empedu (dikenal sebagai kolesistitis), nyeri
dan inflamasi terkait batu empedu (kolik biliaris) dan pankreatitis yang disebabkan batu empedu.
Namun tindakan pengambilan organ kandung empedu ini merupakan perkembangan medis
yang relatif baru. Sebelum akhir abad ke-19, dokter pada saat itu menangani penyakit kandung
empedu dengan kolesistostomi - suatu prosedur membuka, mengambil batu, kemudian menguras
cairannya – namun mereka pada saat itu takut dengan pengambilan organ empedu keseluruhan
dapat menyebabkan kematian pasien. Usaha dokter untuk menguras serta menyingkirkan batu
kandung empedu tersebut akan menyebabkan perbaikan kondisi pasien yang sementara, namun
selanjutnya akan mengakibatkan memburuknya kondisi pasien dengan dapat timbulnya fistula dan
nyeri yang berkelanjutan.
Namun demikian, sebenarnya pada akhir abad ke-17, dua dokter Italia telah membuktikan bahwa
binatang dapat hidup tanpa kandung empedu (gall blader), namun penemuan ini tidak
dipertimbangkan sampai akhir abad ke-19.
Merasa frustrasi bahwa pasiennya tetap menderita bahkan setelah prosedur pengurasan dan
pembersihan kandung empedu, seorang dokter Jerman bernama Carl Johann August Langenbuch,
direktur rumah sakit Lazarus di Berlin yang berusia 27 tahun, bertekad untuk memberikan pasien-
pasien ini pengobatan tuntas daripada hanya kesembuhan sementara. Dokter Langenbauch
pertama mempraktekkannya pada kadaver, kemudian pada tahun 1882 melaksanakan
kolesistektomi pertama pada pasien pria yang menderita batu kandung empedu selama 16 tahun,
yang dimana tindakan ini secara efektif menyembuhkan nyeri penderitaannya dalam semalam.
Sampai tahun 1897, telah dilakukan lebih dari 100 tindakan kolesistektomi (cholecystectomy),
dan kemudian menjadi jelas bahwa menghilangkan kandung empedu tidak akan menyebabkan
kematian pasien, bahkan malah akan memberikan masa depan yang bebas nyeri bagi pasien
bersangkutan terkait penyakitnya tersebut. Dengan kolesistostomi tersingkirkan sebagai pilihan
terapi, kolesistektomi terbuka menjadi standar emas pengobatan untuk hampir satu abad
berikutnya.
Kemudian pada tahun 1985, era modern kolesistektomi dimulai ketika ahli bedah
berkebangsaan Jerman Erich Mühe mengambil kandung empedu seorang pasien menggunakan
peralatan laparoskopik. Kemudian pada tahun 1987 seorang ahli bedah ginekologik Perancis
melaksanakan pengambilan kandung empedu dengan laparoskopi. Hanya dalam dua tahun,
permintaan pendekatan pengobatan dengan teknik laparoskopik telah merubah praktek
pembedahan akan penatalaksanaan penyakit ini di dunia medis barat, manfaat teknik laparoskopik
ini kemudian termaktub dalam pedoman (guideline) National Institute of Health (NIH) dari
Amerika Seriktat pada tahun 1992.
1. Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai:
Batu Kolesterol
Batu Campuran (Mixed Stone)
Batu Pigmen.
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu dibagi atas 3 (tiga)
golongan, yaitu:
1. Batu kolesterol. Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2. Batu kalsium bilirubinat (pigmen coklat). Berwama coklat atau coklat tua, lunak, mudah
dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam. Berwama hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk
dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan produksi
empedu. Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:
Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai hemolisis
kronik/sirosis hati tanpa infeksi
Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan disepanjang saluran
empedu, disertai bendungan dan infeksi
4. Batu intrahepatik
Insidensi hepatolitiasis relatif cukup banyak di daerah Asia Tenggara dan Timur Jauh.
Terbentuknya batu jenis ini dikaitkan dengan faktor lingkungan, mengingat di Taiwan dan di
Jepang, kejadian batu intrahepatik menurun dengan perbaikan sosioekonomi, insidensinya lebih
banyak dijumpai di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. Komposisi batu intrahepatik
terbanyak adalah kalsium bilirubinat (batu coklat). Stasis, infeksi parasit, dan bakteri banyak
dihubungkan dengan terbentuknya batu.
EPIDEMIOLOGI
Kejadian batu kandung empedu atau cholelithiasis di negara - negara industri antara 10 - 15 %.
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak
berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Penelitian di Jakarta pada 51 pasien kolelitiasis
didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien. (Lesmana, 2009).
Di Tokyo angka kejadian penyakit ini telah meningkat menjadi dua kali lipat sejak tahun 1940.
Sebuah studi epidemiologi di Swedia menemukan bahwa kejadian batu empedu adalah 1,39 per
100 orang tahun. Halldestam et al. membuat studi dengan 503 subyek penelitian setelah interval
minimal 5 tahun, pada pemeriksaan ulang, 8,3% (42/503) pasien telah berkembang adanya batu
empedu. Perkembangan batu empedu terkait dengan jumlah penanganan penyakit yang diberikan
dan tingkat kolesterol LDL (low density lipoprotein) dan berbanding terbalik dengan konsumsi
alkohol. Pada sebuah penelitian Italia, 20% wanita memiliki batu empedu , dan 14% pada laki-
laki. Dalam suatu studi di Denmark, prevalensi batu empedu pada orang berusia 30 tahun adalah
1,8% untuk pria dan 4,8% untuk perempuan; prevalensi batu empedu pada orang usia 60 tahun
adalah 12,9% untuk pria dan 22,4% untuk perempuan. Tingkat
kejadian koledokolitiasis lebih tinggi di luar Amerika Serikat bila
dibandingkan di Amerika Serikat, terutama karena masalah tambahan batu saluran primer
empedu umum (duktus koledokus) yang disebabkan oleh infestasi parasit dengan Ascaris
lumbricoides dan Clonorchis sinensis. Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis.
Distribusi dan lokasi batu empedu bervariasi di berbagai tempat. Di Amerika Serikat dan negara-
negara barat umumnya, 75% batu empedu merupakan batu campuran, 15% batu pigmen, dan
10% batu kolesterol. Umumnya batu terdapat di kandung empedu, namun dapat pula ditemukan
pada common bile duct (CBD) / ductus koleduktus dan intra hepatik ataupun telah bermigrasi ke
traktus intestinal. Gambaran yang berbeda dijumpai di tempat lain seperti di Asia Tenggara dan
Timur Jauh, di mana umumnya batu empedu merupakan batu pigmen dan banyak ditemukan
intrahepatik. Variasi juga dijumpai dalam hal insidensi. Di Amerika Serikat, 12% populasi
mempunyai batu empedu, dengan 950.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya, sedangkan
di Afrika Timur dan negara berkembang lainnya insidensinya berkisar antara 2-3%. Risiko
terjadinya batu empedu di Amerika dan Eropa Barat berkaitan dengan usia dan jenis kelamin.
Kejadian batu empedu jarang ditemukan pada anak-anak dan remaja, sedangkan 10% pria dan
25% wanita pada usia dekade tujuh mempunyai batu empedu.
Setiap tahun, di Amerika Serikat, sekitar 500.000 pasien berkembang penyakitnya dan
mengalami gejala atau komplikasi dari batu empedu yang membutuhkan kolesistektomi. Penyakit
batu empedu bertanggung jawab untuk sekitar 10.000 kematian per tahun di Amerika Serikat.
Sekitar 7000 kematian disebabkan komplikasi batu empedu akut, seperti pankreatitis akut.
Sekitar 2000-3000 kematian disebabkan oleh kanker kantong empedu (80% dari yang terjadi
dalam pengaturan penyakit batu empedu dengan kolesistitis kronis). Meskipun operasi batu
empedu relatif aman, kolesistektomi merupakan prosedur yang sangat umum, dan hasilnya jarang
yang komplikasi dalam beberapa ratus kematian setiap tahun. Koledokolitiasis mempersulit 10-
15% dari kasus kolelitiasis
Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita. Faktor risiko batu empedu memang
dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty (40 tahun), Fertile (subur), dan Female
(wanita) (Sjamsuhidayat, 2011). Wanita lebih berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh
hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu
tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes
mellitus, baik wanita maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol
tinggi. Bahkan, anak - anak pun bisa mengalaminya, terutama anak dengan penyakit kolesterol
herediter. (Brunner and Suddart, 2001).
Batu empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus
sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu empedu bervariasi
dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent
stone). Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang
terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut
berbeda-beda. Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak
ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala, maka
diperlukan kolesistektomi (Doherty, 2010).
Faktor resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operas1
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah
Crohn’s disease, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu
tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan /
nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu. (Sjamsuhidayat, 2011)
ETIOLOGI
Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan
tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
(Price and Wilson, 2006).
Batu empedu kolesterol, batu empedu pigmen hitam, dan batu empedu pigmen coklat memiliki
etiologi, patogenesis dan faktor risiko yang berbeda.
Kegemukan
Kehamilan
Kandung empedu stasis
Obat
Keturunan
Sindrom metabolik obesitas truncal, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan
hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hati dan merupakan faktor
risiko utama untuk berkembangnya batu empedu kolesterol.
Kolesterol batu empedu lebih sering terjadi pada wanita yang mengalami kehamilan multipel.
Sebuah faktor utama hal ini adalah dianggap adanya tingkat progesteron tinggi kehamilan.
Progesteron mengurangi kontraktilitas kandung empedu, menyebabkan retensi yang
berkepanjangan dan konsentrasi yang lebih besar dari empedu di kandung empedu.
Penyebab lain stasis empedu yang berhubungan dengan meningkatnya risiko batu empedu
adalah cedera tulang belakang tinggi, puasa berkepanjangan dengan nutrisi parenteral total
(TPN=total parenteral nutrition), dan penurunan berat badan yang cepat terkait dengan
pengurangan kalori besar-besaran dan pembatasan lemak (misalnya, diet, operasi bypass
lambung). Lebih dari sepertiga pasien mengembangkan adanya batu empedu setelah operasi
bariatrik. Di lain sisi, peningkatan berat badan lebih besar dari 25% juga merupakan
prediktor untuk pembentukan batu empedu. Naiknya berat badan yang cepat memobilisasi
penyimpanan kolesterol jaringan dan meningkatkan saturasi empedu.
Obesitas, diet tinggi lemak, dan hipertrigliseridemia berkaitan erat dengan pembentukan batu
empedu. Kacang kaya kandungan Diosgenin, khususnya yang berkaitan dengan diet di Amerika
Selatan, meningkatkan sekresi kolesterol dan pembentukan batu empedu.
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat hipolipidemik fibrate
meningkatkan eliminasi kolesterol hati melalui sekresi empedu dan tampaknya meningkatkan
risiko batu empedu kolesterol. Analog Somatostatin tampaknya juga adalah predisposisi batu
empedu melalui efek penurunan pengosongan kandung empedu.
Sekitar 25% dari kecenderungan untuk terbentuknya batu empedu kolesterol tampaknya adalah
faktor keturunan, sebagaimana dinilai dari penelitian terhadap kembar identik dan fraternal.
Setidaknya terdapat selusin gen dapat menyebabkan risiko ini. Sebuah sindrom langka kolelitiasis
yaitu terkait dengan fosfolipid rendah terjadi pada individu dengan defisiensi genetik dari protein
transportasi empedu yang diperlukan untuk sekresi lesitin.
Untuk kembali menyegarkan pengetahuan tentang topik ini atau memudahkan bagi yang pertama
kali mempelajari topik ini ada baiknya kita mengulas anatomi dan fisiologi sistem empedu :
ANATOMI
Vesica Fellea
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat yang terletak pada
permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung
empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu
tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami
distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut
kantong Hartmann/ Hartmann’s pouch. (Sjamsuhidayat, 2011).
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya
menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral
hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan
dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk
duktus koledokus. (Snell, 2006).
Duktus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung
katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan empedu masuk
kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluamya. Saluran empedu ekstrahepatik
terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas
bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari saluran
paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui
duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus. (Sjamsuhidayat,
2011).
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang duktus
hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus.
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding
duodenum membentuk papilla Yater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung
distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.
Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama oleh duktus koledokus di dalam
papilla Yater, tetapi dapat juga terpisah. (Sjamsuhidayat, 2011).
Pendarahan (Vaskularisasi)
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena
cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan
vena - vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Snell, 2006).
FISIOLOGI
Sekresi Empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus
biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati
sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis.
Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus
sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
(Snell, 2006).
Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
Empedu memainkan peranan penting dalam pencemaan dan absorpsi lemak karena asam
empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan
partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim
lipase yang disekresikan dalam getah pancreas. Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicema menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang
penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin,
dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati. (Guyton and Hall, 2007).
1) Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa
sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam
kontraksi kandung empedu.
2) Neurogen :
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan lambung atau
dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai sfingter
Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap
keluar walaupun sedikit.
Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung selama sekitar 1
jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu. (Guyton and Hall, 2007).
Gambar aliran cairan empedu (perhatikan arah panah). Gambar A menunjukkan kontraksi
sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. Gambar B memperlihatkan
relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.
K+ 5 mEq/liter 12 mEq/liter
Garam Empedu
Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan,
sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat
dicema lebih lanjut.
Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam
lemak. (Guyton and Hall, 2007).
Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang masuk ke dalam lumen
usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar
(90%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu
tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut
misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu. (Guyton
and Hall, 2007).
Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu
membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi biliverdin yang segera berubah menjadi
bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat
oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah
berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak. (Guyton and Hall,
2007).
Tahap litogenik, dimana terjadi kondisi yang mendorong dan memfasilitasi terbentuknya batu
empedu
Batu empedu tanpa gejala (Asymptomatic gallstones/Batu empedu asimtomatis)
Batu empedu dengan gejala (Symptomatic gallstones/Batu empedu simtomatis), yang
dikarakteristikkan dengan episode-episode kolik bilier
Kolelitiasis dengan komplikasi (Complicated cholelithiasis)
Gejala dan komplikasi dari penyakit batu empedu adalah hasil dari efek yang terjadi selama batu berada di dalam kandung empedu maupun ketika batu
empedu keluar dari kandung empedu dan terperangkap dalam ductus koledokus (common bile duct).
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50%
kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara
lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempuma dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam
empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi
berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk dalam kandung
empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary
Batu empedu lebih sering dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan tepat sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur di dalamnya. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan
perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini (stasis). Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
memegang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas
dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi walaupun adalah salah satu penyebab namun secara jumlah lebih sering sebagai akibat pembentukan batu
empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu. (Townsend, Beauchamp, 2004).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian
ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk
alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.
Teori awal menyebutkan patogenesis pembentukan batu empedu tidak lepas dari apa yang terjadi di kandung empedu sebagai faktor utama terjadinya
kelainan. Hal ini berlangsung sampai tahun 1924, saat Findlay memperkenalkan konsep bahwa kegagalan kolesterol untuk tetap larut merupakan faktor kritis
dalam permulaan pembentukan batu. Konsep ini diperjelas oleh Admirand dan Small (1968) yang menyebutkan, adanya korelasi antara konsentrasi ketiga
unsur terlarut dalam empedu, yaitu fosfolipid (lesitin), garam empedu, dan kolesterol.
Penelitian ini mendorong berbagai penelitian yang menghubungkan gangguan sekresi hepatik dari lipid bilier sebagai penyebab utama pembentukan batu
kolesterol. Penelitian akhir akhir ini menunjukkan bahwa faktor di dalam kandung empedu tetap menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan. Tampaknya
interaksi dinamis antara kedua organ ini sangat diperlukan untuk terjadinya batu empedu.
Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi
(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang
yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama-kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membentuk batu. Faktor
motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu.
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus
sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung
empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus
sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis
generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
Adanya batu di CBD (common bile duct/ductus koledokus) dapat disebabkan oleh pembentukan batu di kandung empedu yang kemudian bermigrasi ke
CBD (batu sekunder), atau pembentukan batu terjadi pada duktus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik (batu primer).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut
dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus
sistikus karena diametemya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus. (Townsend, Beauchamp,
2004).
Banyak faktor yang berperan pada patogenesis batu empedu dan terdapat perbedaan antara patogenesis batu kolesterol dan batu pigmen. Perlu dipahami
fisiologi produksi dan aliran empedu terlebih dahulu sebelum membahas patogenesis batu empedu reseptor.
Cairan empedu diproduksi oleh hepar sebanyak 500-600 mL setiap hari yang kemudian dialirkan ke dalam kandung empedu dan disimpan di sana. Cairan
empedu hepar bersifat isotonik dan mengandung elektrolit yang memiliki komposisi serupa dengan komposisi elektrolit plasma. Namun komposisi elektrolit
cairan empedu yang berada di dalam kandung empedu berbeda dengan empedu hepar karena banyak anion inorganik (klorida dan bikarbonat) dan air di
reabsorbsi melalui epitel kandung empedu, sehingga konsentrasi cairan empedu meningkat dari 3-4 g/dL menjadi 10-15 g/dL di kandung empedu.
Bahan utama yang terkandung dalam cairan empedu adalah asam empedu (80%), fosfolipid dan kolesterol yang tidak teridentifikasi (4%). Lesitin adalah
fosfolipid utama yang terdapat dalam cairan empedu, meskipun ditemukan pula lisolesitn dan fosfatidil etanolamin di usus dan tidak ikut serta dalam siklus
enterohepatik.
Sebaliknya asam empedu masuk ke dalam siklus entero hepatik kecuali asam litokolat. Beberapa asam empedu yang utama adalah asam kolat (cholat
acid) dan (chenodeoxycholic acid). Asam ini terkonjungasi dengan glisin dan taurin, dan di lumen kolon diubah oleh bakteri menjadi asam empedu sekunder
(asam deoksilat dan asam litokolat). Asam litokolat hampir tidak ditemukan dalam cairan empedu, karena asam ini tidak masuk dalam siklus entero-hepatik.
Asam empedu adalah molekul menyerupai deterjen, dapat melarutkan subtansi-substansi yang pada dasarnya tidak dapat larut dalam air seperti kolesterol.
Pada konsentrasi dua milimolar molekul empedu akan beragregasi membentuk agregat yang disebut misel (micelle). Kelarutan kolesterol dalam cairan
empedu tergantung pada konsentrasi kolesterol itu sendiri dan perbandingan antara asam empedu dan lesitin. Perbandingan yang normal akan
melarutkan kolesterol, sedangkan perbandingan yang tidak normal menyebabkan presipitasi kristal-kristal kolesterol dalam cairan empedu. Hal ini salah satu
faktor awalnya terbentuk batu kolesterol. Tubuh manusia menghemat asam empedu dengan efisien melalui siklus enterohepatik.
Asam empedu, baik yang tidak terkonjungasi maupun yang terkonjungasi, diabsorpsi secara pasif di sepanjang lumen usus, namun transpor aktif
memegang peranan lebih penting pada konservasi asam empedu. Transpor aktif ini terutama terjadi di ileum distal. Asam empedu yang terabsopsi
memasuki aliran portal dan diambil kembali oleh hepatosit, kemudian di rekonjungasi dan direskresi. Dalam keadaan normal, asam empedu mengalami siklus
enterohepatik sebanyak: lima sampai sepuluh kali dalam sehari. Absorpsi asam empedu melalui lumen usus sangat efisien, sehingga asam empedu yang
terbuang dalam feses hanya sekitar 0,3-0,6 gram tiap harinya, dan jumlah tersebut ak:an diganti oleh sintesis de novo asam empedu di hepar. Asam empedu
kembali ke hati melalui siklus enterohepatik ak:an menghambat sintesis de novo tersebut, dan interupsi sirkulasi enterohepatik sebaliknya ak:an
Dalam keadaan berpuasa, tekanan sfingter oddi meningkat sehingga menghambat aliran empedu dari duktus koledokus ke duodenum. Hal ini mencegah
refluks isi duodenum ke duktus koledokus dan juga menfasilitasi pengisian kandung empedu. Kolesistokinin yang dilepaskan oleh mukosa duodenum sebagai
respon terhadap asupan lemak: dan asam amino sebaliknya menfasilitasi pengosongan kandung empedu.
Kolesistokinin menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter oddi, sehingga cairan empedu dapat mengalir ke duodenum.
Empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab untuk lebih dari 90% kasus kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar batu empedu
ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam jumlah yang bervariasi fosfolipid,
Menurut Meyers & Jones, 1990, Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:
Tiga faktor utama yang menentukan terbentuknya batu kolesterol : supersaturasi kolesterol, nukleasi kristal kolesterol monohidrat, dan disfungsi kandung
empedu. Ada juga yang membagi pembentukan batu empedu kolesterol menjadi 4 tahap : saturasi, pembentukan nidus (nukleasi), kristalisasi, pertumbuhan
batu.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Admirand dan Small, kelarutan kolesterol dipengaruhi tidak hanya oleh kadar kolesterol, namun juga oleh kandungan
lesitin dan garam empedu. Ketiganya membentuk mixed micelles ataupun vesikel, yang memungkinkan kolesterol dapat larut dalam empedu. Kedua
kendaraan empedu ini tersusun dalam senyawa ampifatik, di mana bagian yang hidrofobik berada di dalam dan bagian hidrofilik berada di luar. Vesikel
berukuran lebih besar (600-700 A), mengandung kolesterol lebih banyak, namun lebih metastabil dibandingkan micelle. Besarnya proporsi vesikel
dibandingkan micelles banyak dikaitkan dengan pembentukan nukleasi. Faktor di dalam kandung empedu, yaitu stasis, sekresi dan absorbsi, serta
prostaglandin diduga turut berperan dalam terjadinya batu kolesterol, meski hal tersebut (peran prostaglandin) masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Seharusnya terdapat keseimbangan fisiologis antara pro nukleasi dan anti nukleasi dan faktor lainnya, kegagalan proses tersebut dianggap berperan dalam
I. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam
perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan
supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh lebih
banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum terminale
akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik).
Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar chenodeoxycholat
rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi
kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi
kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung
empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes
Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung
empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
Supersaturasi kolesterol
Kolesterol disekresi dalam bentuk unilamellar phospholipid vesicels. Pada cairan empedu normal, vesikel ini larut dalam misel yang permukaan luarnya
bersifat hidrofilik. Bagian dalam misel bersifat hidrofobik, dan kolesterol di inkorporasikan pada interior misel tersebut. Bila cairan empedu jenuh dengan
kolesterol atau bila konsentrasi asam empedu rendah, kelebihan kolesterol tidak dapat ditranpor oleh misel, sehingga vesikel-vesikel kolesterol tertinggal
Supersaturasi kolesterol dapat terjadi karena sekresi kolesterol bilier yang berlebihan, dan atau karena hiposekresi asam empedu. Faktor sekresi
hipersekresi kolesterol biliar adalah obesitas (umumnya berhubungan dengan hiperlipoproteinemia yang meningkatkan sintesis kolesterol), kadar estrogen
(meningkatkan reseptor lipoprotein B dan E sehingga uptake kolesterol oleh hepar juga meningkat) dan progesteron (menghambat konversi kolesterol
menjadi kolestrol ester) yang tinggi, kehilangan berat badan dalam waktu cepat (mobilisasi kolesterol jaringan) dan defek genetik.
Dikatakan bahwa konsentrasi kolesterol empedu tidak berkorelasi dengan konsentrasi kolesterol plasma. Namun banyak penelitian yang mengimplikasikan
adanya hubungan antara kadar kolesterol plasma dengan kolesterol empedu. Salah satu penelitian tersebut menyatakan adanya hubungan bermakna antara
sindrom metabolik (peningkatan kadar kolesterol darah adalah komponennya) dan terbentuknya batu empedu. “Mahzab” klasik menyatakan bahwa batu
kolesterol umumnya terdapat pada perempuan (female), gemuk (fatty) yang dalam masa subur (fertile) yang berusia di atas 40 tahun (forty).
Tampaknya faktor fatty dari konsep ini relevan sampai saat ini sehubungan dengan meningkatnya prevalensi obesitas dan sindrom metabolik dengan resiko
terbentuknya batu kolesterol. Dalam sebuah penelitian di Spanyol, dinyatakan bahwa resistensi insulin meningkatkan resiko terbentuknya batu empedu. Hal
ini karena kondisi tersebut membantu terbentuknya cairan empedu yangjenuh akan kolesterol.
Prevalensi batu empedu kolesterol pada penderita diabetes lebih tinggi, namun demikian belum jelas diketahui apakah hal tersebut disebabkan oleh
diabetesnya sendiri atau akibat obesitas, dislipidemia, dan hipomotilitas kandung empedu yang umum ditemukan pada penderita diabetes.
Sebuah studi prospektif mengatakan bahwa obesitas abdominal, lingkar pinggang dan rasio antara lingkar pinggang dan panggul memprediksi resiko
timbulnya batu empedu terlepas dari indeks masa. Masih berhubungan dengan obesitas, hiperleptimenimia dan hipoadiponektinemia tampaknya terlibat
dalam patogenesis batu kolesterol, namun hubungan kausalnya masih perlu diselidiki. Supersaturasi kolesterol bukan satu-satunya faktor yang berperan
dalam patogenesis batu kolesterol, karena supersaturasi kolesterol senng sekali ditemukan daam kandung-kandung empedu tanpa batu kolesterol.
Nukleasi kolesterol
Terbentuknya inti kristal kolesterol monohidrat penting dalam terbentuknya batu kolesterol. Dikatakan bahwa nukleasi kristal kolesterol lebih berperan
daripada supersaturasi kolesterol dalam pembentukan batu kolesterol. Vesikel kolesterol yang mempunyai rasio kolesterolfosfolipid yang tinggi beragreasi
dan membentuk kristal dengan cepat. Vesikel ini terdapat dalam kandung empedu. Vesikel kolesterol dalam cairan empedu hepar lebih stabil dan
tahan terhadap nukleasi karena perbandingan kolesterol dan fosfolipid yang rendah.
Nukleasi merupakan proses pembentukan dan penggabungan kristal kolesterol monohidrat. Berbagai studi menunjukkan, bahwa terbentuknya nukleasi
tidak hanya berkaitan dengan supersaturasi kolesterol, namun ada faktor lain yang turut mempengaruhi. Hal ini dibuktikan dengan lebih mudahnya terjadi
nukleasi pada penderita batu sebelumnya dibandingkan individual normal, meski keduanya mengalami saturasi kolesterol. Berbagai faktor pronukleasi dan
antinukleasi diteliti sebagai faktor yang turut berperan dalam terjadinya nukleasi, seperti mukus kandung empedu dan glikoprotein. Kalsium juga diduga
berperan dalam pembentukan batu kolesterol. Studi menunjukkan terdapat kandungan garam kalsium dalam matriks pusat batu kolesterol. Tampaknya
Berbagai penelitian dalam dekade terakhir berhasil mengidentifikasi protein yang berperan dalam nukleasi kolesterol, antara lain musin, a I-acid
glycoprotein,a 1- antichymotrypsin, dan fosfolipase C. Protein tersebut kadarnya meninggi secara signifikan pada kandung empedu dengan batu
dibandingkan kandung empedu dengan supersaturasi kolesterol tanpa batu empedu. Musin adalah protein pronukleasi yang sejauh ini paling banyak diteliti.
Protein ini mempercepat kristalisasi kolesterol dengan membentuk vesikel kolesterol multiamelar yang mempunyai kecenderungan lebih besar untuk
mengkristal.
Disfungsi mencakup perubahan pada epitel mukosa kandung empedu dan dismotilitas kandung empedu. Kedua hal ini tampaknya saling berhubungan.
Kontraksi kandung empedu yang tidak baik menyebabkan stasis empedu. Statis empedu ini adalah faktor resiko terbentuknya batu empedu karena musin
akan terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan viskositas yang
Probabilitas terbentuknya kristal akan meningkat dengan adanya stasis empedu, hidrolisis bilirubin terkonjungasi dalam kandung empedu akan
menghasilkan bilirubin tak terkonjungasi yang dapat mengendapkan kalsium. Perubahan pada mukosa kandung empedu diketahui mempengaruhi fungsi
kandung empedu. Kandung empedu dengan batu kolesterol memiliki kontraktilitas yang terganggu, kandungan kolesterol membran yang meningkat dan
rasio koleterol-fosfolipid yang tinggi bila dibandingkan dengan kandung empedu dengan batu pigmen. Sebuah studi memgatakan bahwa ada disfungsi
reseptor kolesistokinin pada membran sel mukosa kandung empedu dengan batu kolesterol. Ikatan hormon tersebut pada reseptonya hanya sekitar 60%,
sedangkan kandung empedu dengan batu pigmen, ikatan tersebut mencapai 100%. Hal tersebut tampaknya disebabkan difusi dan inkorporasi kolesterol dari
cairan empedu yang jenuh kolesterol ke membran sel sehingga kandungan kolesterol sel mukosa kandung empedu meningkat dan mengacaukan fungsinya
secara keseluruhan.
Beberapa keadaan yang berhubungan dengan hipomitilitas kandung empedu antara lain nutrisi parenteral total yang berkepanjangan, cedera medula
spinalis, kehamilan, penggunakan kontrasepsi oral, diabetes melitus. Dan pengobatan dengan oktreotid.
Lumpur bilier adalah suatu suspensi yang terbentuk dari presipitat kalsium bilirubinat, kristal-kristal kolesterol dan mukus. Adanya lumpur bilier
menandakan dua abnormalitas yakni keseimbangan sekresi dan eliminasi musin yang terganggu dan adanya nukleasi bahan terlarut dalam cairan empedu.
Lumpur bilier seperti hal dengan batu kolesterol, sering dijumpai pada kondisi yang menyebabkan hipomitilitas kandung empedu maupun supersaturasi
kolesterol, seperti kehamilan dan nutrisi parenteral total yang berkepanjangan. Lumpur bilier jelas merupakan prekursor batu koleterol, namun tidak pada
sludge bilier terdiri dari gabungan granul kalsium bilirubinat, kristal kolesterol, dan glikoprotein ( mucin ). Terjadinya sludge dikaitkan dengan adanya stasis
kandung empedu. Mukus tidak dapat didegradasi dalam empedu dan jika ter jadi stasis dalam kandung empedu, akumulasi glikoprotein di dalam kandung
empedu menginduksi pembentukan gel yang akan menangkap komponen pigmen empedu. Diduga, material gel ini berinteraksi dengan kalsium, garam
empedu, dan kolesterol dengan akibat berkurangnya kelarutan bilirubin dan kolesterol serta membentuk kristal kalsium bilirubinat dan kolesterol
monohodrat yang terperangkap di dalam gel. Gel berfungsi sebagai matriks nukleasi bagi kristal kolesterol atau batu pigmen. Arti klinis dari sludge
kandung empedu tidak jelas sampai saat ini. Sludge biasanya teridentifikasi pada USG abdomen, dengan gambaran material ekogenik di dalam kandung
empedu yang tidak memberikan gambaran acoustic shadow, seperti halnya batu empedu. Biasanya dijumpai pada orang mengalami puasa yang lama,
menggambarkan empedu yang mengalami konsentrasi yang tinggi di dalam kandung empedu yang relatif stasis. Pada studi terhadap pasien yang menjalani
TPN (Total Parenteral Nutrition) yang lama, insidensi sludge kandung empedu meningkat dengan berjalannya waktu. Walaupun demikian, tidak jarang sludge
berkaitan dengan keberadaan mikrokalkuli dan ikut berperan dalam nyeri bilier, pembentukan batu empedu dan pencetus pankreatitis.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinannya adalah melalui sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan
pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan
beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa
berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli
membentuk B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak
dapat larut.
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung
dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain.
Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan
sampai hitam.2. bilirubin pigemen kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam
empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dan stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak larut dengan
kalsium.
Batu empedu bilirubin atau batu empedu pigmen dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu
ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi. Batu pigmen coklat biasanya ditemukan dengan ukuran diameter kurang dari 1 cm, berwarna
coklat kekuningan, lembut dan sering dijumpai di daerah Asia. Batu ini terbentuk akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan
karena disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit. Pada infeksi empedu, kelebihan aktivitas β-glucuronidase bakteri dan manusia (endogen)
memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak
terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Enzim β-glucuronidase bakteri berasal dari kuman E. coli dan kuman lainnya di saluran
empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.
Batu tipe ini banyak dijumpai pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.
Patogenesis terbentuknya batu pigmen ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. Batu
empedu jenis ini umumnya berukuran kecil, hitam dengan permukaan yang kasar. Biasanya batu pigmen ini mengandung kurang dari 10% kolesterol.
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asamlemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi
normal akan terkonjugasi dalam empedu kemudian dapat mengendap sehingga terjadi batu. Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada
pasien sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan tindakan medis operatif.
Batu empedu pigmen merupakan batu empedu yang cukup banyak dijumpai di wilayah Asia Tenggara dan Timur Jauh. Prasyarat pembentukan batu
pigmen adalah konsentrasi bilirubin yang tinggi (lebih dari 40%) dan kandungan kolesterol yang rendah. Batu ini umumnya merupakan campuran, dengan
kalsium bilirubinat sebagai kandungan utama. Berdasarkan penampakan, batu pigmen terbagi menjadi batu coklat dan batu hitam. Pemahaman tentang
patogenesis batu pigmen tidak sebanyak batu kolesterol. Maki et al. menduga infeksi bilier dan stasis berperan penting dalam terbentuknya batu jenis ini.
Bilirubin glukoronida dihidrolisis oleh enzim glukoronidase menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Bilirubin yang tidak berkonjugasi ini kemudian
bersama kalsium membentuk matriks kalsium bilirubinat, komponen utama batu pigmen.
Teori ini sulit menjelaskan pembentukan batu pigmen pada gangguan hemolisis, dan sirosis. Pembentukan batu pada gangguan hemolisis kemungkinan
disebabkan oleh ekskresi bilirubin yang berlebihan, sedangkan pada sirosis, batu empedu dikaitkan dengan adanya hipersplenisme dan gangguan
Dinamakan batu pigmen karena batu jenis ini mengandung kalsium bilirubinat dalam jumlah yang bermakna dan mengandung <50% kolesterol. Terdapat
dua macam batu pigmen yang dikenal, yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat.
Batu pigmen hitam tersusun oleh kalsium bilirubinat (80%), kalsium karbonat, kalsium fosfat, glikoprotein musin dan sedikit kolesterol. Faktor resiko
terbentuknya batu pigmen hitam antara lain hemolisis, sirosis hepatis, dan usia tua. Terbentuknya batu pigmen ini didasarkan pada konsep pengendapan
bilirubin. Bilirubin terkonjungasi mempunyai kelarutan yang tinggi, sehingga garam kalsium-bilirubin mono/diglukuronida mudah larut dalam
cairan empedu. Sebaliknya, bilirubin yang tidak-terkonjungasi tidak larut dan dapat kita simpulkan bahwa bilirubin jenis inilah yang mengendap pada batu
pigmen. Bilirubin tidak terkonjungasi sebenarnya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dalam cairan empedu (1%).
Oleh sebab itu, tampaknya kandung empedu sendiri memiliki mekanisme mekanisme yang meningkatkan solubilitas bilirubin tidak terkonjungasi tersebut.
Kelainan hemolitik menghasilkan bilirubin tak terkonjungasi dalam jumlah besar, hal ini tentunya lebih kondusif terhadap pembentukan batu pigmen hitam.
Batu pigmen coklat berbeda dari batu pigmen hitam. Bila batu pigmen hitam hampir selalu terbentuk di kandung empedu, batu pigmen coklat dapat
terbentuk di saluran empedu, bahkan setelah kolesistektomi. Seperti batu pigmen hitam, insiden batu pigmen coklat juga meningkat pada usia tua, dan
Faktor predisposisi lainnya adalah infeksi dan kelainan anatomis saluran empedu, seperti penyakit Caroli yang cenderung mengakibatkan stasis aliran
empedu. Kelainan hemolitik bukan merupakan faktor predisposisi batu pigmen coklat. Batu pigmen coklat dan hitam sama-sama mengandung garam kalsium
dan bilirubin tidak terkonjungasi, tapi batu pigmen coklat hanya sedikit sekali mengandung kalsium karbonat maupun fosfat. Yang menarik dari batu pigmen
coklat ialah komposisi asam lemak bebasnya yang cukup besar, terutama palmitat dan stearat.
Adanya asam lemak tersebut dalam batu pigmen coklat menyokong hipotesis bahwa batu pigmen coklat terbentuk karena infeksi dan statis, karena
fosfolipase bakteri umumnya menghasilkan asam palmitat dan stearat dari pemecahan lesitin.
Batu di kandung empedu umumnya tidak menunjukan gejala (silent gall stone) kecuali bila batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau ke
dalam duktus koledokus. Diperkirakan 60-80% dari batu empedu adalah asimtomatik. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya batu empedu bervariasi. Pada
pasien dengan nutrisi total perenteral atau pada orang gemuk dengan penurunan berat badan yang cepat, intervalnya dapat dalam hitungan minggu.
Gambaran progresi penyakit kandung empedu yang berlanjut
Pada suku penduduk amerika asli (Native Americans) Pima, progresi dari empedu yang supersaturasi dengan kolesterol sampai pembentukan batu empedu
adalah 5-10 tahun. Bila batu empedu telah terbentuk, faktor resiko untuk timbulnya simtom tidak diketahui, namun jumlahnya relatif kecil. Sebaliknya sekali
timbul simtom resiko untuk berlanjutnya masalah relatif tinggi yakni 58-72 %. Lebih dari 90% komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis, dan
pankreatitis didahului oleh serangan nyeri. Komplikasi paling sering adalah gangren dan perforasi kandung empedu yang terjadi pada 40% kasus kolesistitis
akut.
Migrasi batu ke dalam leher kandung empedu akan menyebabkan obstruksi dari duktus sistikus yang akan mengakibatkan iritasi kimia wi dari mukosa
kandungan empedu oleh cairan empedu yang tertinggal, diikuti oleh invasi bakteri. Hal ini akan mengakibatkan kolesistitis akut atau kronik. Kolesistitis akut
akan perlahan-lahan menyembuh atau berkembang menjadi gangren akut dan perforasi dari kandung empedu atau empiema. Bila terjadi perforasi kandung
empedu akibatnya tergantung pada hubungan anatomi dengan struktur di dekatnya. Batu tersebut dapat terlokalisasi dan membentuk abses, dapat pula
berupa perforasi bebas dengan peritonitis atau dapat berhubungan dengan organ berongga dan timbul fistula.
Suatu perforasi lokal dengan tumpahan yang dibatasi dan tertutup rapat oleh omentum dan melekat dengan organ yang di sebelahnya merupakan bentuk
perforasi yang paling sering ditemukan, terbentuklah abses periokolesistik. Bila serangan akut mereda secara spontan, perubahan-perubahan inflamasi yang
kronik menetap dengan berikutnya diikuti eksaserbasi akut. Kolesistitis kronik dapat tenang, tetapi biasanya terdapat simtom dispepsia. Batu empedu
dapat bermigrasi dari kandung empedu yang meradang secara akut atau kronik ke organ di dekatnya. Batu dapat juga keluar melalui tinja atau tersangkut di
saluran makanan dan menyebabkan ileus batu empedu, biasanya batu tersebut berdiameter >2,5 cm dan tersangkut di valvula menyebabkan obstruksi
duktus koledikus dangan ikterus intermitten, kolangistis atau pankreatitis akut bilier bila menyumbat papula vateri, terutama batu-batu kecil (mikrolitiasis).
Kolangitis yang terjadi dapat naik ke hati dan menimbulkan abses. Bila kandung empedu perforasi ke usus halus di dekatnya, serangan kolesistitis akut
dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).
Sebagian besar (sekitar 80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari
1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20%
mendapat komplikasi.
Batu kandung empedu dapat tanpa gejala dan terdiagnosis secara kebetulan dengan ultrasonografi selama pemeriksaan kesehatan berkala atau lainnya.
Batu-batu tersebut umumnya dibiarkan saja. Pada pengamatan selanjutnya pasien ini, hanya sebagian kecil akan menunjukkan simtom. Pada suatu
penelitian, hanya sekitar 10% dari batu empedu yang asimtomatik akan timbul gejala dalam 5 tahun dan hanya 5% yang memerlukan tindakan bedah. Hanya
kurang lebih pada setengah pasien dengan batu empedu simtomatik dilakukan kolesistektomi dalam kurun waktu 6 tahun sesudah di diagnosis.
Pasien batu empedu nampaknya dapat mentolerir simtomnya selama periode waktu yang cukup lama dan
lebih memilih tanpa kolesistektomi. Umumnya gejala yang timbul tidak dalam bentuk emergensi. Koleisistektomi profilaktif dan dengan alasan untuk
mencegah kanker kandung empedu tidak boleh dilakukan karena resikonya kecil dan kurang dari pada resiko kolesistektomi.
Diagram penyakit batu empedu, gejala, tipe batu dan penyebabnya
Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan
kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial.
Kebanyakan batu di kandung empedu (hampir 80%) asimtomatik dan ditemukan secara tidak sengaja oleh pemeriksaan untuk alasan lain. Kolik: bilier
adalah simtom yang paling spesifik dan keluhan utama pada 70-80% pasien yang simtomatik. Gejala yang timbul adalah akibat obstruksi atau inflamasi karena
batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu dan menyumbat duktus sistikus atau ke duktus koledokus. Kolik ini dirasakan di kuaran kanan atas atau
epigastrium yang dapat menjalar ke punggung bagian kanan atau bahu kanan
Nyeri ini bersifat episodik dan dapat dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau oleh makan besar. Nyeri dapat juga timbul tanpa suatu pencetus
dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat dirasakan di daerah substemal atau prekordial sehingga salah diinterpretasikan sebagai iskemia miokard.
Kadang-kadang nyeri dapat dirasakan di kuadran kiri atas dari abdomen. Nyeri timbul karena spasme di sekitar
duktus sistikus yang tersumbat; nyeri pada kolesistitis akut disebabkan oleh peradangan dinding kandung empedu. Kolik bilier dimulai secara tiba-
tiba dan intensitasnya meningkat tajam dalam interval 15 menit ke suatu plateau yang menetap selama 3 sampai 5 jam. Nyeri batu bersifat bertahan/menetap
dan tidak bergelombang, sehingga istilah kolik bilier kurang tepat. Nyeri mereda lebih perlahan-lahan. Pada suatu episode nyeri yang lebih dari 5 jam perlu
dicurigai adanya kolesistitis. Episode nyeri bilier sering disertai dengan mual dan muntah-muntah, pasien biasannya gelisah dan tidak bisa mendapatkan
posisi yang nyaman dapat berlangsung mingguan, bulanan atau tahunan. Kolik bilier harus dapat dibedakan dengan dispepsia yang non spesifik. Hal ini
dikarenakan keluhan flatulens, pirosis, erofagia, rasa tidak nyaman di perut yang samar-samar, dan intoleransi terhadap makanan berlemak merupakan
Kemampuan untuk membedakan kolik bilier yang sesungguhnya dari simtom-simtom abdomen yang non spesifik secara bermakna berpengaruh pada
keberhasilan menangani penyakit kandung empedu. Sebagai contoh, kolisistektomi yang dilakukan pada kolik bilier yang dinilai secara tepat bukan pasien
dengan dispepsia non spesifik serta perbandingan dengan kolilitiasis. Peningkatan kadar bilirubin serum dan atau alkali fosfatase mencurigakan suatu batu
duktus koledokus. Demam atau menggigil dengan nyeri bilier biasanya menunjukan suatu penyulit seperti kolesistitis, penkreatitis atau kolangitis.
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang
dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan
hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus pada 20 % kasus, umumnya derajat
ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh
batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.
Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan
dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain
kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena
perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan
organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga
terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri
sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran
empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.
Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri
bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai dengan 50 % dari semua pasien dengan batu kandung
empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik
akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi untuk
Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit,
dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual
dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. (Sjamsuhidayat, 2011).
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara
wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum.
Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh
rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke
ujung skapula (dinamakan tanda Collin). Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada
pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu perut
kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka
atau laparoskopik
Batu yang terdapat di kandung empedu dapat tidak memberikan gejala (asimptomatik), memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis akut, nyeri bilier,
Impaksi batu di infundibulum (Hartmann pouch) kandung empedu menyebabkan spasme kandung empedu sehingga menimbulkan nyeri bilier. Jika batu
jatuh kembali, kandung empedu menjadi kosong dan nyeri hilang, sedangkan impaksi yang berlangsung terus menyebabkan nyeri berlanjut. Empedu yang
terperangkap mengalami konsentrasi dan menimbulkan iritasi kimia dan inflamasi lokal yang menimbulkan nyeri yang menetap dan berlangsung berhari-
hari. Isi kandung empedu dapat mengalami infeksi sekunder. Infeksi pada kandung empedu dijumpai pada sekitar 30% pasien batu empedu. Keadaan ini akan
menimbulkan toksemia dan mengarah pada terjadinya empiema, gangren ataupun perforasi. Empiema akan menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen dan pireksia yang hilang timbul. Peningkatan edema dan menurunnya vaskularisasi menyebabkan infark dinding kandung empedu dan kemudian
mengalami perforasi.
Kontraksi kandung empedu terhadap batu merupakan penjelasan yang banyak dipakai untuk menerangkan timbulnya nyeri postprandial, meski demikian
tidak ditemukan adanya korelasi yang jelas antara keluhan ini dengan adanya batu empedu pada populasi umum. Mukokel dapat timbul ketika batu
mengalami impaksi pada Hartmann pouch. Kandung empedu mensekresi mukus pada batu yang menyumbat sehingga menimbulkan pembesaran kandung
Korelasi antara temuan patologi dalam kandung empedu dan gambaran klinis yang timbul, tidak jelas. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah
nyeri perut kuadran kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium postprandial. Nyeri ini bertambah pada inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ujung scapula (Collin’s sign).
Keluhan ini dapat disertai oleh mual, muntah, dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung selama berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai
dengan toksemia, nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy's sign. Pada kasus yang lebih lanjut, dapat diraba massa yang
mengalami peradangan akibat kandung empedu yang edema dikelilingi oleh omentum yang melekat. Tanda klinis dari toksisitas dan pireksia yang hilang
timbul perlu dicurigai adanya empiema dan nyeri peritonismus pada perut bagian atas sebagai tanda perforasi kandung empedu. Adanya ikterus mengarah
pada koledokolitiasis meskipun kompresi duktus biliaris komunis akibat kandung empedu yang edema dan mengalami peradangan (sindrom Mirizzi)
Nyeri bilier memberikan gejala yang menyerupai kolesistitis akut, namun biasanya tidak dipengaruhi oleh gerakan dan berakhir setelah beberapa jam.
Nyeri yang timbul seringkali dipresipitasi oleh makanan yang berlemak dan menghilang spontan. Nyeri kronis akibat batu empedu dikaitkan dengan dispepsia
flatulen, yang ditandai oleh rasa penuh setelah makan, sering bersendawa, mual, dan regurgitasi makanan.
Koledokolitiasis
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga
gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal
dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.
Anggapan tradisional yang berkembang mengenai gejala klinis penderita batu pada CBD adalah mereka biasanya tidak mengalami nyeri kolik karena CBD
tidak mempunyai otot polos. Meski demikian, nyeri pada daerah perut kanan atas setelah kolesistektomi merupakan gejala akibat batu yang terdapat pada
CBD. Batu yang menyangkut pada ujung distal CBD juga berkaitan dengan mual dan muntah.
Ikterus obstruksi timbul jika batu mengalami impaksi di dalam CBD, terutama di ampula. Batu dapat lewat secara spontan atau kembali ke CBD dengan
berkurangnya ikterus atau tetap mengalami impaksi. Batu pada ujung distal CBD juga dapat menimbulkan pankreatitis akibat obstruksi temperer duktus
pankreatikus dan dapat berkaitan dengan ikterus yang hilang timbul. Kolangitis asending timbul bila timbul infeksi akibat obstruksi dan drainase sistem bilier
yang buruk. Pada pasien dengan batu CBD, kuman koliform dijumpai pada 80% kasus.
Trias Charcot yang dihasilkan akibat sumbatan batu berupa nyeri, ikterus, dan demam (dengan atau tanpa menggigil). Kolangitis akut dapat menimbulkan
Adanya keluhan nyeri perut kanan atas setelah kolesistektomi dapat menjadi indikasi adanya kolelitiasis. Meski demikian, batu CBD dapat tidak disertai
gejala dan ditemukan secara insidental pada saat kolesistektomi atau karena adanya komplikasi seperti ikterus obstruktif, pankreatitis, atau kolangitis
ascending. Nyeri lebih berkaitan dengan ikterus obstuktif karena batu daripada karena keganasan. Selain penemuan bilirubin di dalam urin dan faeses yang
pucat, ikterus obstruksi juga berkaitan dengan pruritus dan steatorea. Pemeriksaan fisik jarang menjumpai adanya perabaan kandung empedu dan gejala
pankreatitis harus dicari. Kolangitis asending perlu dicurigai bila ada panas yang disertai menggigil dan pireksia yang fluktuatif pada penderita ikterus
obstruktif . Penderita dapat memberikan gambaran bakteremia atau septikemia dengan flushing, takikardia dan hipotensi.
DIAGNOSIS
Diagnosis batu empedu didasarkan pada temuan klinis yang ditunjang oleh data laboratorium dan pemeriksaan penunjang radiologis.
Pemeriksaan tes fungsi hepar merupakan pemeriksaan rutin pada penderita batu empedu. Meski tidak banyak dipengaruhi oleh kolelitiasis, tes fungsi hati
dapat terganggu pada koledokolitiasis. Peningkatan bilirubin indirek terjadi pada ikterus prehepatik, seperti pada hemolisis yang berlebihan. Gambaran
biokimiawi dari ikterus hepatik, misalnya pada hepatitis, adalah peningkatan bilirubin direk dan indirek, SGOT, SGPT, dengan nilai alkali fosfatase yang relatif
normal. Ikterus posthepatik (obstruktif) memberikan gambaran kenaikan bilirubin direk dan alkali fosfatase dengan nilai SGOT dan SGPT yang relatif normal.
Pada kasus lanjut ikterus obstruktif atau kolangitis akut, nilai transaminase meningkat akibat kerusakan yang timbul pada sel-sel hepar. Pada keadaan
akut, kadar amilase perlu diperiksa untuk mencari kemungkinan terjadinya pankreatitis dan pemeriksaan leukosit untuk membantu penilaian adanya
kolesistitis akut.
Untuk membedakan nyeri yang diakibatkan oleh kandung empedu dan penyakit intraabdomen lainnya kadang dibutuhkan pemeriksaan foto polos
abdomen, namun batu empedu yang memberikan gambaran radioopak kurang dari 10%, sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan. Kadang kala,
pada kasus obstruksi intestinal, gambaran udara tampak pada ductus biliaris, mengarahkan kecurigaan adanya fistula kolesistoenterik dan gallstoneileus.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang paling banyak digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis kolelitiasis. Pemeriksaan ini relatif mudah
dilakukan, tidak terlalu menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien, mencegah radiasi dan efek toksisitas zat kontras, serta dapat menilai struktur organ
intraabdomen bagian atas lainnya. Dinding kandung empedu dan isinya serta ukuran CBD serta batu di dalamnya dapat dideteksi. Reliabilitas pemeriksaan
ini untuk menilai kolelitiasis sangat tinggi, meski penilaian adanya koledokolitiasis lebih rendah serta kemampuan operator sangat menentukan hasil temuan.
Gambaran ultrasonografi batu empedu pada vesika felea yang memberikan gambaran hipoechoic dengan acoustic shadow
(tanda panah)
Penggunaan kolesistografi oral untuk mendeteksi batu empedu sangat berkurang dengan adanya USG. Pemeriksaan tergantung pada fungsi kandung
empedu untuk mengkonsentrasikan kontras media. Hasil false negatif pada batu yang kecil berkisar 6-8%. Pemeriksaan ini mempunyai peran dalam
CT scan lebih akurat dalam mencari batu CBD dibandingkan USG, dengan sensitivitas yang tinggi.
Gambaran hasil kolesistografi oral menunjukan gambaran batu yang radiolusen yang mengambang di dalam kandung
empedu
Hidroxyiminodiacetic acid (HIDA) / hepatobiliary scintigraphy yang diberi label dengan Technisium diekskresi ke dalam sistem bilier setelah injeksi
intravena. Pemeriksaan ini membantu dalam mendiagnosis kolesistitis akut, memberi informasi patensi duktus sistikus namun kurang baik dalam
pemeriksaan rutin pada pasien yang dicurigai kolelitiasis. Endoscopic retrograde cholangiopancreaticography (ERCP) merupakan pemeriksaan penting dalam
Dengan visualisasi langsung menggunakan duodenoskopi, papila dapat secara selektif dikanulasi untuk mendapatkan gambaran duktus pankreas dan CBD.
Zat kontras yang larut dalam air diinjeksikan untuk memperlihatkan gambaran sistem bilier. Pemeriksaan ini bisa pula digunakan untuk terapi yaitu dapat
Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama bernpa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang barn menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang
seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh oleh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang merupakan
Pada batu duktus koledokus riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas akan disertai dengan tanda sepsis seperti demam dan menggigil
bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin bewarna gelap yang hilang timbul, bebarapa dengan ikterus karena hepatitis juga.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan lebih banyak ditemukan pada daerah tungkai daripada di badan.
Pada kolangitis dengan sepsis yang berat dapat terjadi keadaan kegawatan disertai syok dan gangguan kesadaran.
Apakah terdapat nyeri pada perut kanan atas? Berlangsung berapa lama? Bagaimana nyerinya,
seperti apa? Apakah pasien dapat melakukan aktivitas walaupun nyeri? Apakah nyeri tersebut
terus menerus, berulang atau hilang timbul? Apakah nyeri timbul setelah makanan makanan
tertentu seperti makanan tinggi lemak? Apakah ada tempat nyeri yang lain? Apakah nyerinya
menjalar? Atau nyeri juga dirasakan di tempat lain?
Apakah yang dirasakan pasien setelah makan makanan berlemak? Begah atau nyeri? Atau gejala
dispepsia lainnya. Bagaimana pola menu makanan pasien?
Apakah pasien memiliki riwayat demam, badan kekuning-kuningan atau urin dengan warna
gelap? Apakah keluhan-keluhan tersebut hilang timbul atau menetap? Dan sejak kapan keluhan
berlangsung?
Apakah ada keluhan gatal juga?
Apakah pasien menggunakan pil kontrasepsi? Ataukah pernah mengalami rawatan di rumah
sakit dengan pemberian nutrisi parenteral total berkepanjangan? Apakah pasien sedang dalam
keadaan hamil?
TANDA: TANDA:
1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme 1. Biasanya tak tampak gambaran pada
abdomen
2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba
2. Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas
pada kwadran kanan atas
4. Ikterus ringan
GEJALA: GEJALA:
1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang 1.Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat abdomen
bagian atas (mid epigastrium), Sifat : terpusat di
menetap epigastriurn menyebar ke arah skapula kanan
4. Flatulensi
5. Eruktasi (bersendawa)
Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan batu empedu tanpa gejala tidak memiliki temuan abnormal pada pemeriksaan fisik.
Membedakan kolik empedu tanpa komplikasi dari kolesistitis akut atau komplikasi lain adalah hal penting. Pada pemeriksaan keduanya sering hadir
dengan gejala yang sama, dan pemerikasaan fisik dapat membantu untuk membedakan keduanya.
Koledokolitiasis dengan obstruksi dari saluran empedu menghasilkan ikterus kulit dan scleral yang berkembang selama beberapa jam sampai hari sehingga
bilirubin terakumulasi.
Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomik kandung empedu. Tanda murphy positif, apabila nyeri
tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas karena kantung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik
napas.
Pada kolesistitis akut radang kandung empedu dengan iritasi peritoneal yang dihasilkan akan menyebabkan rasa sakit dengan terlokalisasi (Jelas) di
kuadran kanan atas, biasanya dengan berulang dan menetap. Takikardia dan diaforesis dapat hadir sebagai konsekuensi dari rasa sakit. Ini hams diatasi
Adanya demam, takikardi persisten, hipotensi, atau ikterus memerlukan pencarian untuk komplikasi kolelitiasis, termasuk kolesistitis, kolangitis,
Dalam kasus yang parah, kolesistitis akut, kolangitis, atau pankreatitis akut, suara usus sering mangkir atau hypoactive. Karena kandung empedu tidak
meradang dalam kolik empedu, rasa sakit hebat yang lokal dan viseral;
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda pada fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Patut diketahui bahwa
bila kadar bilirubin darah kurang 3 mg/dl gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan empedu saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul ikterus
klinik.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi, akan ditemukan gejala kilnis yang sesuai dengan ringan beratnya kolangitis
tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang, biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias charchot yaitu demam dan
menggigil, nyeri di daerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik akan timbul gejala Pentade dan
Reynold, berupa gejala trias charchot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma. Pada trias Charcot nyeri kuadran
kanan atas dengan penyakit kuning dan demam adalah karakteristik primer.
Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan hepatolitiasis.
Pankreatitis akut batu empedu sering ditandai dengan nyeri epigastrium. Pada kasus yang parah, perdarahan retroperitoneal dapat menghasilkan
ekimostasis dari panggul dan ekimostasis periumbilical (tanda Cullen dan tanda Grey-Tumer).
Apabila ditemukan kelainan ini, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. (Heuman, 2011).
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi yaitu apabila terdapatnya batu pada duktus sistikus menyebabkan inflamasi dan fibrosis disekitar duktus
koledokus sehingga menekan duktus koledokus akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum. (Beltran, 2012). Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali
Apabila ada sindroma Mirizzi akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dinding yang edema di daerah
kantong (pouch) Hartmann dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali ada serangan akut. Amilase serum
dapat meningkat sedikit (kurang dari 3 kali normal) pada kolesistitis akut dan kolangitis. Peningkatan amilase yang nyata lebih banyak mendukung ke arah
pankreatitis akut.
Peningkatan "kimia faal hati"-AST (Aspartat transaminase) dan ALT (Alanin transaminase), fosfatase alkali, GGT (Gama Glutamil Transferase), bilirubin total
- dapat meningkat pada penyakit saluran empedu . Walaupun tidak spesifik, hal ini mengarahkan perhatian kita pada cabang biliar, terutama jika fosfatase
alkali, 5 nukleotidase (5-NT) dan GGT meningkat sangat tinggi menandai obstruksi bilier.
Pada pasien dengan komplikasi batu empedu dicurigai, tes darah harus menyertakan sebuah
sel darah lengkap (CBC) menghitung dengan diferensial, panel fungsi hati, dan amilase dan lipase.
Kolesistitis akut berhubungan dengan leukositosis polymorphonuclear. Namun, sepertiga dari pasien dengan kolesistitis, leukositosis mungkin tidak
akan terwujud.
Pada kasus yang parah, peningkatan ringan enzim hati dapat disebabkan oleh luka peradangan hati yang berdekatan. Koledokolitiasis dengan obstruksi
saluran empedu akut umum (CBD/ductus koledokus) awalnya menghasilkan peningkatan akut di tingkat transaminase hati (alanin dan aspartate
aminotransferases), diikuti dalam beberapa jam dengan kadar bilirubin meningkat. Semakin tinggi tingkat bilirubin, semakin besar nilai prediktif untuk
obstruksi CBD. batu CBD hadir pada sekitar 60% dari pas1en dengan tingkat bilirubin serum lebih dari 3 mg / dL.
Jika obstruksi berlanjut, penurunan progresif di tingkat transaminase dengan meningkatnya alkali fosfatase dan kadar bilirubin dapat dicatat selama
beberapa hari. Prothrombin time mungkin meningkat pada pasien dengan obstruksi CBD berkepanjangan. Akibat sekunder adalah deplesi vitamin K
(penyerapan yang bergantung pada empedu) karena obstruksi penuh. Pada duktus pankreas karena batu di ampula Vateri bisa disertai dengan peningkatan
Pengujian berulang berguna dalam mengevaluasi pasien dengan komplikasi batu empedu. Peningkatan tingkat bilirubin dan enzim hati mungkin
menunjukkan bagian spontan dari sebuah batu menghalangi. Sebaliknya, kenaikan tingkat bilirubin dan transaminase dengan leukositosis dalam menghadapi
terapi antibiotik dapat menunjukkan peningkatan gejala dengan kebutuhan untuk intervensi mendesak. basil kultur darah positif.
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat - Oksalat Transaminase ) dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat - Piruvat
Transaminase ) merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi
bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu. (Doherty, 2010).
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat
Tes laboratorium:
Sebelum dikembangkannya pencitraan mutakhir seperti ultrasound (US), sejumlah pasien dengan penyakit batu empedu sering salah didiagnosis sebagai
gastritis atau hepatitis berulang seperti juga didapatkan sebanyak 60% pada penelitian di Jakarta yang mencakup 74 pasien dengan batu saluran empedu.
Dewasa ini Ultra sound merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu kandung empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95%
sedangkan untuk deteksi batu saluran empedu sensitivitasnya relatif lebih rendah.
Pada satu studi di Jakarta yang melibatkan 325 pasien dengan dugaan penyakit bilier, nilai diagnostik ultrasound dalam mendiagnosis batu saluran
empedu telah dibandingkan dengan endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) sebagai acuan metode standar kolangiografi direk. Secara
keseluruhan akurasi ultrasound untuk batu saluran empedu adalah sebesar 77%.
ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90%, spesifisitas 98%, dan akurasi 96%, tetapi prosedur ini invasif
dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal.
Batu Pigmen Hitam atau campuran batu empedu mungkin mengandung kalsium yang cukup untuk tampil radiopak di film biasa. Temuan udara dalam
saluran empedu pada foto-foto rontgen polos mungkin menunjukkan perkembangan fistula koledokoenterik atau gejala primer dengan organisme
pembentuk gas. Pengapuran di dinding kandung empedu (disebut kantong empedu porselen) menandakan kolesistitis kronis parah.
Peran utama foto rontgen polos dalam mengevaluasi pasien dengan penyakit batu empedu yang diduga adalah untuk menyingkirkan penyebab lain dari
Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus biliaris. Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan dapat
diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin pula penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang mirip bahan kontras.
Kadang-kadang dinding kandung empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut porcelain gallbladder, yang penting sebab dari hubungan kelainan ini dengan
Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga (mercedes-benz sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak
langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam traktus
biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas kadang-kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi cholangitis disebabkan oleh
organisme pembentuk gas. Gas di dalam kandung empedu dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari infeksi serupa dan biasanya
timbul pada diabetes, sekunder terhadap kemacetan dari arteri kistik disebabkan diabetic angiopathy.
Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan secara tidak langsung adanya usus nekrosis tetapi itu dapat terjadi hanya dengan
kolesistitis berat.
gambar hasil foto polos (rontgen) pada pasien kolelitiasis, tampak batu multiple
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.
Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk mengevaluasi parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali. Seorang
ultrasonografer yang mempunyai skill diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Ultrasonografer memperlihatkan patologi anatomi dari pada
patophysiology, kolesistografi oral memperlihatkan kedua-duanya. Sebab banyak orang yang mempunyai batu kandung empedu asimptomatik. Ada suatu
derajat tertentu agar batu tampak pada ultrasonografi kandung empedu adalah pasien mengeluh. Ultrasonografi kandung empedu dapat mendeteksi batu
kecil dari kolesistografioral. Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma
kandung empedu.
Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. (Heuman, 2011).
Penggunaan USG dalam mendeteksi batu di saluran empedu sensitivitasnya sampai 98 % dan spesifitas 97,7 %. Keuntungan lain dari pemeriksaan cara ini
adalah mudah dikerjakan, aman karena tidak invasive dan tidak perlu persiapan khusus. Ditambah pula bahwa USG dapat dilakukan pada penderita yang
sakit berat, alergi kontras, wanita hamil dan tidak tergantung pada keadaan faal hati. Ditinjau dari berbagai segi keuntungannya, Ugandi menganjurkan agar
1. Ultrasonografi transabdominal. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, murah dan tidak
membahayakan pasien. Hampir sekitar 97% batu empedu dapat didiagnosis dengan
ultrasonografi transabdominal, namun kurang baik dalam mengidentifikasi batu empedu yang
berlokasi di dalam duktus dan hanya dapat mengidentifikasi batu empedu dengan ukuran lebih
besar dari 45 mm.
2. Ultrasonografi endoskopi. Ultrasonografi endoskopik dapat memberikan gambaran yang lebih
baik daripada ultrasonografi transabdominal. Karena sifatnya yang lebih invasif dan juga dapat
mendeteksi batu empedu yang berlokasi di duktus biliaris lebih baik. Kekurangannya adalah
mahal dari segi biaya dan banyak menimbulkan risiko bagi pasien.
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat
dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi.
Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan
distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Dengan pemeriksaan ini bisa ditentukan lokasi dari batu
tersebut, ada tidaknya radang akut, besar batu, jumlah batu, ukuran kandung empedu, tebal dinding, ukuran CBD (Common Bile Duct) dan jika ada batu
intraduktal. Pemeriksan USG juga dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
Ultrasonografi adalah prosedur pilihan pada kantong empedu yang dicurigai atau penyakit empedu, dan juga tes yang paling sensitif, spesifik, noninvasive,
dan murah untuk mendeteksi batu empedu. Selain itu, sederhana, cepat, dan aman pada kehamilan, dan tidak mengekspos pasien terhadap radiasi
yang berbahaya atau kontras intravena. Keuntungan tambahan adalah bahwa hal itu dapat dilakukan oleh praktisi terampil di samping tempat tidur.
American College of Radiology (ACR) dalam panduan kriteria kelayakan nyeri kuadran kanan atas, yang diterbitkan pada tahun 2010, mendukung kesimpulan
ini.
Sensitivitas adalah variabel dan tergantung pada kemampuan operator, tetapi pada umumnya, sangat sensitif dan spesifik untuk batu empedu yang lebih
besar dari 2 mm. Hal ini kurang jadi untuk mikrolithiasis atau lumpur empedu.
USG sangat berguna untuk mendiagnosis kolesistitis akut tanpa komplikasi. Fitur sonografi dari kolesistitis akut termasuk penebalan dinding kandung
empedu (> 5 mm), cairan pericholecystic, distensi kandung empedu (> 5 cm), dan tanda Murphy sonografi. Kehadiran beberapa kriteria diagnostik yang
meningkatkan akurasi. Batu empedu muncul sebagai fokus echogenic dalam kantong empedu.
Mereka bergerak bebas dengan perubahan posisi dan melemparkan sebuah bayangan akustik. (Lihat gambar di bawah).
Gambar Kolesistitis dengan batu kecil di leher kandung empedu pada USG.
Ultrasonografi juga sangat membantu dalam kasus-kasus yang dicurigai kolesistitis akut dalam upaya untuk mengeluarkan abses hati dan proses
satu dari dinding kandung empedu dan satu dari batu) dengan bayangan akustik mungkin jelas.
Duktus biliarliaris komunis (CBD). Batu yang tidak terlihat sering pada ultrasonografi transabdominal (sensitivitas, 15-40%). Deteksi batu CBD ini terhambat
oleh adanya gas dalam refleksi, duodenum mungkin dan bias berkas suara dengan lengkungan saluran, dan lokasi saluran luar titik fokus optimal
transduser.
Di sisi lain, dilatasi dari CBD pada gambar ultrasonografi merupakan indikator tidak langsung dari obstruksi CBD. CBD dilatasi diidentifikasi secara
akurat, dengan akurasi hingga 90%. Namun, temuan ini mungkin tidak ada jika halangan adalah onset baru-baru ini. Kegunaan temuan ultrasonografi sebagai
USG Endoskopi
USG Endoskopi (EUS) juga merupakan teknik yang akurat dan relatif noninvasif untuk mengidentifikasi batu di saluran empedu distal umum. Sensitivitas
EUS adalah suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen gastroskop dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar. Dibandingkan
dengan ultrasound transabdominal, EUS akan memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya ditaruh di dekat organ yang
diperiksa.
Peran EUS untuk mendiagnosis batu saluran empedu pertama kali dilaporkan tahun 1992. Hasil penelitian ini dan studi berikutnya memperlihatkan
bahwa EUS mempunyai akurasi yang sama dibandingkan ERCP dalam mendiagnosis dan menyingkirkan koledokolitiasis.
Pada satu studi, sensitivitas EUS dalam mendeteksi batu saluran empedu adalah sebesar 97% dibandingkan dengan ultrsound yang hanya sebesar 25%,
dan CT 75%. Selanjutnya EUS mempunyai nilai prediktif negatif sebesar 97% dibandingkan dengan sebesar 56% untuk US dan sebesar 75% untuk CT. Dalam
studi ini EUS juga lebih sensitif dibandingkan dengan US dan CT dalam mendiagnosis batu saluran empedu bila saluran tidak melebar. Selanjutnya EUS lebih
sensitif dibandingkan US transabdominal atau CT untuk batu dengan diameter kurang dari 1 cm. Beberapa studi memperlihatkan EUS dan ERCP tidak
menunjukan perbedaan dalam hal nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif negatif maupun positif. Secara keseluruhan, akurasi EUS dan ERCP untuk batu
Walaupun demikian, angka kejadian komplikasi ERCP lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan EUS. Kesulitan pemeriksaan EUS dapat terjadi bila ada
striktur pada saluran cerna bagian atas atau pasca reseksi gaster. Sayangnya teknik pencitraan ini belum banyak diikuti oleh praktisi kedokteran di Indonesia
sebab hal ini berhubungan dengan masalah latihan, pengalaman, dan tersedia instrumen EUS.
Laparoskopi USG
Laparoskopi USG telah menunjukkan potensi yang menjanjikan sebagai metode utama untuk pencitraan saluran empedu selama kolesistektomi
laparoskopi. Yao et al. mampu mengevaluasi saluran empedu dengan USG laparoskopi selama kolesistektomi laparoskopi di 112 dari 115 pasien (97,4%)
7%, dalam orang-orang yang sebelum operasi dinilai memiliki probabilitas menengah dari batu tersebut, angka kejadian adalah 36,4%; dan pada mereka yang
dinilai dengan probabilitas tertinggi batu saluran empedu, angka kejadian adalah 78,9%.
Para peneliti menyarankan bahwa dengan meningkatkan pengalaman dengan USG laparoskopi, metode ini bisa menjadi rutin untuk mengevaluasi
saluran empedu selama kolesistektomi laparoskopi. Selain itu, Yao dkk menyarankan evaluasi pra operasi agresif wajib saluran empedu umum pada mereka
Kolesistografi
Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound diberikan
oral yang diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan untuk menemukan batu kandung
empedu yang tidak mengapur sebelum operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal lain dari kandung empedu.
Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi oral. Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang mengandung
iodine 50%). Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah membuat suatu pengaruh yang hebat pada diagnosa traktus biliaris. Ini telah menggantikan
kolesistografi oral sebagai cara imaging utama karena ini menawarkan bermacam-macam keuntungan antara lain tidak mempergunakan sinar x, tidak perlu
menelan kontras.
Untuk penderita tertentu, kolesistografi (Teknik radiografi) dengan kontras cukup baik dilakukan karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat
untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar
bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. (Heuman, 2011). Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari
patologi fisiologi dari sistem biliaris. Foto dengan pemberian kontras baik oral maupun intravena diharapkan batu yang tembus sinar akan terlihat. Jika
kandung empedu tidak tervisualisasikan sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang dengan dosis ganda zat kontras. Goldberg dan kawan kawan menyatakan
bahwa reliabilitas pemeriksaan kolesistografi oral dalam mengindentifikasikan batu kandung empedu kurang lebih 75 %. Bila kadar bilirubin serum lebih dari
3 mg% kolesistografi tidak dikerjakan karena zat kontras tidak diekskresi ke saluran empedu. Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil
USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena hepar tidak dapat
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat
dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali". Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan kontraindikasi. (Heuman, 2011).
Kolangiografi transhepatic perkutan (PTC) mungkin merupakan modalitas pilihan pada pasien yang sulit dilakukan ERCP (misalnya, mereka dengan
operasi lambung sebelumnya atau batu yang menghalangi distal CBD), tidak adanya endoscopist yang berpengalaman, dan pada pasien dengan penyakit
batu luas intrahepatik dan cholangiohepatitis. Sebuah jarum panjang dimasukan secara perkutan dan secara transhepatik mencapai saluran intrahepatik,
dan kolangiografi dilakukan. Sebuah kateter dapat ditempatkan di saluran empedu atas dengan sebuah kawat pemandu. Koagulopati yang belum dikoreksi
merupakan kontraindikasi untuk PTC, dan ukuran normal dari saluran intrahepatik membuat prosedur yang sulit. Antibiotik profilaksis dianjurkan untuk
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi
endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus
serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan
Endoscopiic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) merupakan pencitraan radiografi dari saluran-saluran empedu. Dalam prosedur ini, endoskop
dilewatkan ke dalam duodenum dan papilla Vateri melalui kanulasi. Radiopak cair kontras disuntikkan ke
dalam saluran empedu, memberikan kontras yang sangat baik pada gambar radiografi. Batu di empedu muncul sebagai cacat pada saluran. Saat ini, ERCP
biasanya dilakukan bersamaan dengan sfingterotomi retrograde endoskopi dan ekstraksi batu empedu. Indikasi utama dari ERCP adalah pada ikterus
Pada prosedur ini sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam
duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk
mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus
yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah
diangkat.
ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan di duktus intrahepatik (panah panjang)
Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) memberi injeksi langsung duktus koledokus dengan bahan kontras. Ini nilai spesial dalam mendeteksi batu
di dalam duktus koledokus dan radang serta kelainan neoplastik duktus. Papilotomi, biopsi, mencari keterangan batu dari duktus biliaris, striktura dilatasi dan
penempatan nasobiliari stent untuk membebaskan obstruksi semua mungkin dengan ERCP, sedangkan “Percutaneus Transhepatic Cholangiography”
dilakukan dengan penyuntikan bahan kontras dibawah fluroscopy melalui jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim hati.ini penting, sama alasannya
dengan ERC dan keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu, bila perlu biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan
cairan dan menempatkan eksternal dan internal drainage stents dpat dikerjakan secara percutan.
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat
teramati. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma
yang menembus duodenum dan sebagainya) Teknik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis
merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi
transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk
Skintigrafi
Skintigrafi dengan Technetium-99m asam hepatoiminodiacetic (HIDA) dapat bermanfaat dalam diagnosis diferensial nyeri perut akut. Scintigraphy
memberikan sedikit informasi tentang non-obstructing kolelitiasis dan tidak dapat mendeteksi patologis lain, tetapi sangat akurat untuk diagnosis
penyumbatan saluran kistik. HIDA biasanya diambil oleh hati dan dikeluarkan ke empedu, di mana ia mengisi kantong empedu dan dapat dideteksi dengan
kamera gamma. Injeksi intravena dari technitium labeled imminodiacetic acid compounds memberikan imaging segera dari kandung empedu dan
Koleskintigrafi merupakan salah satu prosedur yang dapat mendeteksi obstruksi duktus biliaris sebelum dilatasi duktus timbul dan dapat dilihat dengan
ultrasoundgrafi. Berguna untuk mendeteksi atresia biliaris pada neonatus dan kebocoran empedu oleh berbagai penyebab.
Kegagalan HIDA untuk mengisi kantong empedu, sementara mengalir bebas ke dalam duodenum, merupakan indikasi penyumbatan saluran kistik atau
duktus sistikus. Sebuah kantong empedu nonvisualizing pada HIDA scan pada pasien dengan nyeri perut mendukung diagnosis kolesistitis akut. Hasil
positif palsu didapatkan pada pasien puasa berkepanjangan dan kolesistitis kronik.
CT scan
Computed tomography (CT) scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa
pankreatik). Bila hasil ultrasound masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan. (Heuman, 2011). Keunggulan Tomografi Komputer adalah dengan
memperoleh potongan obyek gambar suara secara menyeluruh tanpa tumpang tindih dengan organ lain. Karena mahalnya biaya pemeriksaan, maka alat ini
CT scanning lebih mahal dan kurang sensitif dibandingkan ultrasonografi untuk mendeteksi batu kandung empedu. CT tidak begitu bernilai dalam
mengevaluasi kandung empedu dan sistem ductus bila dibandingkan metoda yang lain, tetapi berguna pada studi neoplasma parenkim hati. Dalam
penentuan gas di dalam vena porta juga lebih sensitif dari pada foto polos. CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dan menentukan komposisi batu. CT scan
sering digunakan dalam hasil pemeriksaan nyeri perut, karena menyediakan gambar yang sangat baik dari semua jeroan perut. CT scan lebih unggul daripada
ultrasonografi untuk demonstrasi batu empedu pada saluran empedu distal umum. Batu empedu sering ditemukan secara kebetulan pada CT. Temuan pada
CT untuk kolesistitis akut mirip dengan yang ditemukan di sonogram. Meskipun tidak studi awal pilihan dalam kolik empedu, CT dapat digunakan dalam
tantangan diagnostik atau untuk lebih ciri komplikasi penyakit kandung empedu. CT sangat berguna untuk mendeteksi batu intrahepatik atau primary
Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk
mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.
Contoh Hasil MRCP pada kolelitiasis
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan Kolangiopankreatografi resonansi magnetic/Magnetic Resonance CholeoPancreatography (MRCP) telah
muncul sebagai studi imaging (pencitraan) yang sangat baik untuk identifikasi noninvasif batu empedu di mana saja di saluran empedu, termasuk saluran
empedu (lihat gambar di bawah). Karena biaya dan kebutuhan peralatan canggih dan perangkat lunak yang cukup tinggi, biasanya dicadangkan untuk kasus-
kasus di mana koledokolitiasis dicurigai. Pedoman The American College of Radiology (ACR) merekomendasikan MRI sebagai studi pencitraan sekunder jika
gambar USG tidak mengakibatkan diagnosis jelas kolesistitis akut atau batu empedu.
Gambaran MRI, tampak sludge di kantong empedu.
a. Asimptomatik
Dua pertiga orang dengan batu empedu tidak memberikan keluhan dan jarang mengalami komplikasi. Dari studi didapatkan bahwa 10-20% orang yang
asimptomatik mengalami keluhan dalam perjalanan hidupnya, umumnya berupa nyeri bilier. Gejala yang berat seperti kolesistitis akut terjadi rata-rata 1-3%
setiap tahunnya serta kematian akibat komplikasi terjadi pada 0,5-1%, menunjukkan bahwa perjalanan penderita batu empedu yang asimptomatik umumnya
benign.
Keluhan tersering akibat batu empedu adalah nyeri bilier. Nyeri dirasakan tiba-tiba pada epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen dan dapat
menjalar ke punggung atau sekitar ujung skapula. Pengunaan istilah kolik bilier kurang tepat untuk menggambarkan nyeri ini karena nyeri biasanya persisten,
mulai dari 15 menit hingga 24 jam, dan menghilang secara spontan atau dengan pemberian analgetik. Keluhan sering disertai oleh mual dan muntah, berasal
dari rangsangan visera akibat distensi kandung empedu karena obstruksi atau lewatnya batu melalui duktus sistikus.
diagram perjalanan sifat dan intensitas nyeri kolik bilier berdasarkan waktu dan lokasi batu
1. Kolik bilier
2. Ulkus peptikum
3. Spasme esofagus
4. Infark miokard
5. Pankreatitis akut
c. Kolesistitis akut
Komplikasi tersering yang dialami penderita batu empedu yang membutuhkan intervensi bedah adalah kolesistitis akut. Hal ini terjadi akibat impaksi batu
pada duktus sistikus atau pada infundibulum kandung empedu, sehingga menimbulkan obstruksi. Kandung empedu menjadi distensi dan terjadi proses
inflamasi akut. Berbeda dengan nyeri bilier yang berlangsung beberapa jam, nyeri yang disebabkan oleh kolesistitis akut berlangsung hingga berhari-hari.
Mulanya, nyeri viseral dan tumpul timbul, namun setelah proses inflamasi mencapai transmural, peritoteum viseral dan parietal yang berdekatan mulai
teriritasi. Nyeri dirasakan terlokalisasi pada kuadran kanan atas, disertai defans muskuler dan nyeri lepas. Tanda klinis yang klasik adalah Murphy's sign
(berhentinya inspirasi bila dilakukan palpasi pada kuadran kanan atas perut). Keluhan penyerta berupa mual dan muntah, anoreksia, dan demam yang tidak
tinggi. Pada beberapa kasus, kita dapat meraba adanya massa pada perut kanan atas, sebagai upaya tubuh untuk mengatasi proses inflamasi yang terjadi
dengan melakukan walling off dan kompartemenisasi kandung empedu oleh oragn sekitar, seperti omentum mayor, duodenum, dan kolon kanan.
Pemeriksaan laboratorium memberikan gambaran yang tidak spesifik, dapat berupa leukositosis ringan dan peningkatan sedikit tes fungsi hati. Konfirmasi
diagnosis didapatkan dari USG yang memberikan gambaran penebalan dinding kandung empedu dan cairan perikolesistik yang patognomonik. Pemeriksa
USG juga dapat menemukan adanya tanda Murphy dengan menekan transduser pada daerah kanan atas (sonographic Murphy's sign). Gambaran yang berat
dari kolesistitis berupa empiema kandung empedu (terdapatnya pus dan debris pada kandung empedu) dan kolesistitis emfisematosa (nekrosis dan udara di
dalam dinding kandung empedu). Tampilan ini terutama banyak ditemukan pada penderita diabetes melitus.
d. Koledokolitiasis
Batu pada CBD memberikan berbagai gejala, meliputi ikterus, kolangitis, pankreatitis akut, dan sepsis. Koledokolitiasis dapat berasal dari batu kandung
empedu yang bermigrasi ke CBD melalui duktus sistikus, batu yang tertinggal setelah operasi traktus biliaris (retain stones), atau batu yang terbentuk secara
primer pada duktus biler, baik intrahepatik maupun ekstrahepatik. Insidensi kolelitiasis tidak diketahui secara pasti, namun didapatkan angka hingga 15%
dari pasien yang menjalani operasi batu kandung empedu disertai dengan batu pada CBD. Batu pada saluran empedu juga banyak ditemukan pada striktur
Gambaran klinis dan beberapa pemeriksaan laboratorium biokimia dapat mengarahkan kecurigaan adanya kolelitiasis, namun konfirmasi diagnostik
didapatkan dari pemeriksaan radiologi, termasuk kolangiografi. Kolangiografi sering pula dilakukan intraoperatif pada saat operasi kolelitiasis dilakukan,
dengan indikasi terabanya batu pada saluran empedu, CDB yang dilatasi, peningkatan tes fungsi hepar, dan adanya riwayat ikterus, kolangitis, serta
pankreatitis.
e. Kolangitis
Secara klinis, tanda klasik dari kolangitis adalah trios Charcot, yaitu nyeri perut, demam, dan ikterus. Penyebab utama kolangitis adalah batu yang
mengobstruksi bagian distal CBD. Nyeri perut disebabkan oleh peningkatan tekanan intraduktal dan distensi kandung empedu, sedangkan ikterus disebabkan
oleh obtruksi kedua lobus hepar. Jika hanya sebagian dari hepar yang mengalami obstruksi, lobus hepar yang lain masih bisa
mengkonjugasikan dan mensekresikan empedu. Demam disebabkan oleh respons sistemik terhadap infeksi, karena 50-70% penderita batu empedu
dan sistem limfatik perihepatik dengan konsekwensi terjadi bakteriemi sistemik. Normal tekanan bilier adalah berkisar 7 sampai 14 cm H20.
Kolangitis dapat mengancam jiwa dan berlangsung cepat. Keadaan ini terjadi akibat refluks bakteri dari lumen traktus bilier yang melewati membran
Reynolds dan Dragan menerangkan lebih jauh tentang trios klasik kolangitis yang disertai syok septic dan penurunan kesadaran, yang kemudian dikenan
f. Pankreatitis akut
Pankreatitis akut terjadi pada 5% pasien batu empedu dan lebih sering dijumpai pada batu kecil multipel, duktus sistikus yang lebar, dan adanya hubungan
antara CBD dan duktus pankreatikus. Batu empedu berukuran kecil yang melewati CBD dan papilla kadang-kadang mengobstruksi duktus pankreatikus atau
memungkinkan terjadinya refluks cairan duodenum atau empedu ke dalam duktus pankreatikus sehingga menyebabkan terjadinya pankreatitis akut.
g. Gallstone ileus
Batu empedu dapat menimbulkan berbagai gejala, termasuk perubahan fungsi dan motilitas usus. Gallstone ileus memberikan gejala obstruksi usus
halus. Perjalanan terjadinya gallstone ileus dimulai dari terbentuknya fistula akibat upaya tubuh untuk melokalisasi kolesistitis dengan melibatkan organ-
organ yang berdekatan. Fistula kolesistoduodenal merupakan fistula yang paling sering terjadi, meski fistula yang melibatkan kolon, lambung, atau usus
halus segmen distal dapat pula terjadi. Batu empedu yang dapat menyebabkan usus biasanya berukuran besar, lebih dari 2 cm. Ketika batu tersebut memasuki
traktus intestinal melalui fistula, batu tersebut dapat menyangkut pada bagian tersempit dari usus, yaitu ileum terminal.
lieus akibat batu empedu harus dicurigai pada penderita yang menunjukkan gejala obstruksi tanpa adanya hernia inkarserata atau riwayat operasi
sebelumnya.
h. Kolesistitis akalkulus
Keadaan ini jarang dijumpai, namun dapat mengancam jiwa. Berbeda dengan kolsesistitis akut, kolesistitis akalkulus lebih disebabkan oleh iskemia
kandung empedu dari pada akibat obstruksi duktus sistikus. Keadaan ini biasanya dijumpai pada pasien dengan keadaan sakit yang berat, sepsis, puasa yang
lama, dan dirawat di ruang perawatan intensif. Pada kondisi-kondisi tersebur, stasis bilier, aktivasi faktor XII, endotoksin, dan distensi kandung empedu
turut berperan mengurangi perfusi dan merupakan faktor predisposisi terjadinya keadaan yang ireversibel. Kejadian gangren, empiema,
dan perforasi lebih sering dijumpai pada kolesistitis akalkulus, dengan insidensi mencapai 75% dan angka kematian hingga 40%.
Diagnosis kelainan ini cukup sulit mengingat umumnya penderita dalam sedasi dan tidak komunikatif.
karakteristik adanya batu pigmen intrahepatik dan ekstrahepatik tanpa ditemukan adanya kelainan pada kandung empedu. Patogenesis mengenai kelainan
ini tidak jelas, namun beberapa faktor etiologi diajukan, seperti infeksi parasit (Clonorsis sinensis, Ascaris lumbricoides), infeksi bakteri yang indolen,
dan malnutrisi protein. Terdapat pelebaran dan striktur pada duktus biler dan pembentukan batu intrahepatik.
Pasien mengeluh nyeri perut dan demam. Ikterus lebih jarang dijumpai karena obstruksi biasanya parsial.
j. Sindrom Mirizzi
Kehr (1905) pertamakali mengemukakan tentang proses patologi obstruksi CBD (common bile duct /duktus koledokus) oleh tekanan diluar CBD. Mirizzi,
seorang ahli bedah Argentina, tahun 1948, pertama kali melaporkan adanya pasien dengan sekumpulan gejala ikterus yang disebabkan oleh reaksi inflamasi
akibat impaksi batu di duktus sistikus atau infundikulum kandung empedu. Saat itu ia berpendapat, proses inflamasi disebabkan oleh spasme fisiologis dan
anatomis dari otot polos sirkuler di dalam duktus hepatikus komunis. Penemuan kemudian membuktikan bahwa sfinkter seperti itu tidak ada. Saat ini,
Anatomi duktus sistikus atau inf indibulum kandung empedu yang berjalan paralel terhadap
duktus hepatikus komunis
Impaksi batu pada duktus sistikus atau infundibulum kandung empedu
Obstruksi mekanik duktus hepatikus oleh batu atau akibat inflamasi sekunder
Ikterus, kemungkinan kolangitis rekuren, dan terjadinya sirosis bilier
McSherry et al. (1982) membagi kelainan ini menjadi dua tipe. Tipe I, duktus hepatikus tertekan oleh batu berukuran besar yang terimpaksi di duktus
sistikus atau Hartmann's pouch. Proses inflamasi yang terjadi dapat menyebabkan striktur. Tipe II, batu mengerosi duktus hepatikus, sehingga menyebabkan
fistula kolesistokoledokal.
Csandes et al. (1989) membagi tipe kedua berdasarkan erosi yang terjadi pada duktus hepatikus komunis dalam tiga bagian, sehingga membuat klasifikasi:
tipe I, kompresi eksterna CBD akibat impaksi batu pada infundibulum kandung empedu atau duktus sistikus; tipe II, fistula kolesistobilier (kolesistohepatik
atau kolesistokoledokal) dengan erosi kurang dari sepertiga lingkaran CBD; tipe III, fistula melibatkan erosi pada 2/3 lingkaran CBD; tipe IV, terjadi destruksi
lengkap CBD.
Keadaan ini dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering dijumpai pada orang tua. Gambaran klinis berupa ikterus tanpa disertai nyeri atau
kolangitis, tergantung apakah terjadi kontaminasi atau tidak. Diagnosis preoperatif penting untuk menghindari komplikasi operasi, khususnya pada
kolesistektomi laparoskopi, karena CDB dengan ukuran normal dapat keliru dianggap sebagai duktus sistikus yang berdilatasi, sehingga terligasi. Hasil USG
yang menemukan adanya dilatasi duktus biliaris intrahepatik, CBD yang berukuran normal, dan adanya batu di infundibulum kandung empedu atau duktus
sistikus, perlu dicurigai adanya sindrom Mirizzi. Kemungkinan suatu sindrom Mirizzi perlu dipikirkan jika pada CT scan didapatkan gambaran penyempitan
tiba-tiba pada CBD supraprankreas tanpa adanya massa neoplasma. Selain itu, USG dan CT scan penting untuk menyingkirkan adanya massa pada porta
Kolangiografi penting dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan adanya fistula, dengan kolangiografi melalui ERCP memberikan gambaran
Kelainan kandung empedu merupakan hal yang dapat menyulitkan selama kehamilan. Gambaran klinis yang sering dijumpai berupa kolik bilier yang
memburuk dan kolesistitis akut. Ikterus dan pankreatitis sebagai akibat koledokolitiasis jarang ditemukan. Pemeriksaan radiologis yang relatif aman hanyalah
USG.
Kolisistitis akut. Merupakan suatu komplikasi dari kolilitiasis dimana batu empedu pada kandung
empedu menyebabkan peradangan. Gejala klinik antara keduanya mmp dan nyans sama karena
keadaan kolisistitis akut adalah komplikasi dari kolilitiasis. Perbedaannya adalah biasanya pada
peradangan timbul demam dan nyeri pada kolisistitis umunya sangat berkesimambungan dan
nyeri berat lebih dari 12 jam. Sehingga berbeda dengan kolisistitia yang umunya nyerinya dapat
diabaikan, dapat menghilang sendiri dan tidak berlangsung selama > 12 jam
Kolangitis. Kolangitis adalah inflamasi atau infeksi pada sistem duktus biliaris yang biasanya
berhubungan dengan infeksi bacterial. Ini merupakan salah satu komplikasi dan dapat menjadi
gejala klinis juga pada kolilitiasis. Kolangitis dapat terjadi bila batu empedu pada saluran empedu
menyebabkan peradangan dan dapat menimbulkan juga nyeri kolik. Karena adanya peradangan
maka biasanya gejala yang umum muncul adalah adanya demam yang tidak muncul pada
kolilitiasis, selain itu terdapat pula ikterus obstruktif, menggigil dan nyeri perut pada tempat yang
sama dengan kolilitiasis.
Pankreatitis akut. Merupakan salah satu dari komplikasi kolilitiasis dan juga dapat menjadi
manifestasi klinis dari kolilitiasis. Gambaran klinis keduanya hampir sama yaitu nyeri pada
abdomen bagian atas yang menjalar ke punggung, pireksia dan takikardia. Tempat nyeri yang
hampir sama. Selain itu adanya keluhan yan setelah makan pun hampir sama, selain karena letak
kedua organ yang berdekatan. Dapat dibedakan dengan menetapnya demam dan peningkatan
nyata dari amilase dan lipase serum ada atau urin pada pasien dengan pankreatitis akut.
Ulkus peptikum dan gastritis. Ulkus peptikum dan gastritis dapat menstimulasi kolik, tetapi sering
menghilang dengan makan atau antasida. Persamaan antara kolelitiasis dan ulkus peptikum dan
gastritis adalah nyeri kolik yang memiliki predileksi yang hampir sama pada kuadran kanan atas
sehingga sering dikeliru mendiagnosis. Terutama pada batu empedu tanpa gejala lain selain nyeri
dan keluhan yang sama timbul setelah makan.
a. Asimtomatik
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut :
Empiema
Perikolesistitis
Perforasi
e. Kolesistitis kronis :
ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus
sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung
empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus
sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis
generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terns maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cema melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
Kolesistitis akut terjadi ketika batu empedu masuk dan mendesak dalam duktus sistikus menyebabkan kandung empedu menjadi melebar dan semakin
meradang.Pasien mengalami rasa sakit dari kolik empedu, namun, bukannya selesai secara spontan, rasa sakit terus berlanjut dan memburuk.
Pertumbuhan berlebih dari kolonisasi bakteri dalam kandung empedu senng terjadi, dan, dalam kasus yang parah, sehingga terjadi akumulasi nanah
dalam kandung empedu, yang disebut empiema kandung empedu. Dinding kandung empedu dapat menjadi nekrotik, mengakibatkan perforasi dan abses
perikolesistik. Kolesistitis akut dianggap memerlukan bedah darurat walaupun rasa sakit dan peradangan mungkin mereda dengan tindakan konservatif,
Pada keadaan kronis batu empedu dapat menyebabkan fibrosis progresif dari dinding kandung empedu dan hilangnya fungsi kandung empedu, disebut
kolesistitis kronis. Patogenesis komplikasi ini tidak sepenuhnya dipahami. Serangan berulang dari kolesistitis akut mungkin dapat memainkan peran.
Kemungkinan iskemia lokal dapat dihasilkan oleh tekanan batu dinding kandung empedu.Kantong empedu kronis fibrosis dapat menjadi menyusut.
Adenocarcinoma empedu adalah kanker umum yang biasanya berkembang dalam penyakit batu empedu dan kolesistitis kronis. Kanker empedu
umumnya menyerang hati berdekatan dan saluran empedu umum, menimbulkan penyakit kuning. Prognosis buruk kecuali kanker terlokalisir di empedu, di
Kadang-kadang, sebuah batu besar mungkin mengikis dinding kandung empedu sehingga menjadi viskus dengan organ yang berdekatan (biasanya
duodenum), menghasilkan fistula kolesistoenterik. Batu itu, jika cukup besar, dapat menghambat usus kecil, biasanya pada tingkat ileum, fenomena disebut
ini dapat menjadi seprti hilang dan batu bisa masuk ke dalam saluran empedu umum. Pasien dengan batu empedu yang telah lolos satu batu, batu lainnya
Batu di saluran empedu dapat tidak menunjukkan gejala, tetapi, lebih umum, mereka menimbulkan dampak pada bagian distal di ampula Vateri. Hal
ini dapat menghasilkan kolik empedu bisa dibedakan dari yang disebabkan oleh batu duktus kistik. Karena impaksi yang umum batu saluran empedu
hambatan aliran empedu dari hati ke usus meningkat, tekanan dalam saluran empedu intrahepatik, menyebabkan enzim hati meningkat dan penyakit kuning.
Overgrowth bakteri dalam empedu stagnan selain sebuah batu menghalangi saluran umum menghasilkan peradangan bemanah cabang hati dan empedu,
disebut gangguan primer yang masuk dalam karakteristik Charcot yaitu demam, sakit kuning, dan nyeri kuadran kanan atas. Pasien dengan cepat dapat
Sebuah batu berdampak pada ampula Vateri dapat menghambat saluran pankreas, yang mengarah ke dalam situ aktivasi protease pankreas dan
memicu serangan pankreatitis akut. Nyeri pankreas berbeda dari rasa sakit empedu. Rasa sakit ini terletak di daerah epigastrium dan midabdominal dan
tajam, parah, terus menerus, dan memancarkan ke belakang. Mual dan muntah sering hadir, dan episode sebelumnya yang sama dilaporkan oleh sekitar
15% penderita. Impaksi batu di saluran empedu distal umum sering lega spontan dalam waktu beberapa jam untuk hari oleh bagian dari batu ke dalam usus.
kandung empedu ke cabang empedu extrahepatic, menyebabkan sindrom Mirizzi. Atau, fistula ke dalam saluran usus
Manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan penunjang komplikasi atau akibat lanjut kolelitiasis (batu empedu)
Secara umum batu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik
dibawahnya. Batu yang kecil dan tipis kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada keadaan yang meragukan perubahan posisi penderita,
misalnya duduk, sangat membantu. Seorang pasien dapat datang ke sentra layanan kesehatan sudah dalam keadaan lanjut ataupun sudah terjadi komplikasi,
Gambaran USG kandung empedu disertai dengan batu dan acoustic shadow
Kolesistitis akut
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. (Lesmana, 2009). Hampir semua kolesistitis akut terjadi
akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam kantong Hartmann. Komplikasi ini
terdapat pada lima persen penderita kolesistitis. Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut
kolesistitis akalkulosa, dapat ditemukan pasca bedah.
Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat menyebabkan
pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi lisolesitin, yaitu senyawa
toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteria agaknya kecil
saja meskipun kemudian dapat terjadi supurasi (nanah/pemanahan). Komplikasi kolesistitis akut
adalah empiema, gangrene, dan perforasi.
Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang sendiri atau tidak,
derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat keadaan, seperti
diabetes mellitus.
Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang khas. Proses awal
berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan akhimya
fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan penyakit, tetapi
kebanyakan pada minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi spontan, tanda radang
akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai berbulan-bulan kemudian sisa
peradangan dan nanah masih tetap ada. Hampir 90% kandung empedu yang diangkat dengan
kolesistektomi menunjukan jaringan parut lama, yang berarti pada masa lalu pernahah menderita
kolesistitis, tetapi umumnya penderita menyangkal tidak pemah merasa ada keluhan.
(Sjamsuhidajat, 2011).
Sebanyak 90 - 95 % kolesistitis disebabkan sekunder karena kolelitiasis. Secara umum
kolesistitis merupakan suatu proses inflamasi. Obstruksi batu pada duktus sistikus merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya distensi kandung empedu, inflamasi, serta edema
dinding kandung empedu. Pada kolesistitis akut kandung empedu menjadi menebal dan
kemerahan disertai dengan perdarahan subserosa dan cairan perikolestatik. Selain itu pada
mukosa kandung empedu tampak hiperemis serta nekrosis di beberapa tempat. Jika disertai
dengan adanya infeksi sekunder bakteri, dapat terjadi kolesisititis gangrenosa dan terbentuk abses
atau empyema di dalam kandung empedu. Kadang kala juga dapat terjadi perforasi di dareah
subhepatik.
Tanda utama pada kolesistitis akut ialah sering ditemukan batu, penebalan dinding kandung
empedu, hidrops dan kadang-kadang terlihat eko cairan di sekelilingnya yang menandakan adanya
perikolesistitis atau perforasi. Sering diikuti rasa nyeri pada penekanan dengan transducer yang
dikenal sebagai morgan sign positif atau positif transducer sign. Kekurangan pengisian kandung
empedu menunjukkan adanya obstruksi duktus sistikus dan tanda-tanda kolesistitis akuta.
Kolesistitis kronik
Kolesistitis kronik adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai
dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistitis kronik merupakan
kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan. Penyebabnya hampir selalu batu
empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosa adalah kolik bilier, dispepsia,
dan ditemukannya batu empedu pada pemeriksaan ultrasonografi atau kolesistografi oral.
Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan "berat" seperti gorengan, yang mengandung banyak
lemak, tetapi dapat juga timbul setelah makan bermacam jenis kol. Kolik bilier yang khas dapat
juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik bilier dirasakan di perut kanan atas.
(Sjamsuhidajat, 2011).
Sekitar dua per tiga pasien dengan kolelitiasis juga mengalami kolesistitis yang
dikarakteristikan dengan adanya serangan nyeri berulang dan keadaan ini sering juga dinamakan
dengan kolik bilier. Nyeri terjadi ketika batu empedu menyumbat duktus sistikus sehingga
menghasilkan peningkatan tekanan dinding kandung empedu yang progresif. Secara patologi
terjadi perubahan kandung empedu mulai dari keadaan yang normal dengan hanya sedikit
inflamasi kronik pada mukosa menjadi kandung empedu yang mengkerut dengan fibrosis
transmural serta adhesi ke struktur sekitarnya.
Koledokolitiasis
Batu pada duktus sistikus komunis dapat memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari ukuran
kecil, besar, dengan jumlah tunggal maupun multipel dan dapat ditemukan pada 6 – 12 % pasien
dengan kolelitiasis dan insidennya akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Adanya batu
pada duktus sistikus ini disebabkan karena migrasi batu dari duktus sistikus.
Gambaran MRCP normal yang menunjukkan duktus sistikus komunis (panah biru) dan duktus
pankreatikus (panah putih)
Gambaran MRCP yang menunjukkan 2 buah batu pada duktus sistikus komunis.
Kolangitis
Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang tersumbat baik
secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam lumen saluran
empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar lumen
misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding saluran
empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran empedu.
Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu karena adanya obstruksi
dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik adalah trias charcot yang
meliputi nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterus dan demam yang didapatkan pada 50% kasus.
Kolangitis akut supuratif adalah trias charcot yang disertai hipotensi, oliguria, dan gangguan
kesadaran.
Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan, yang akan membaik sendiri, sampai
dengan keadaan yang membahayakan jiwa di mana dibutuhkan drainase darurat. Penatalaksanaan
kolangitis akut ditujukan untuk: a) Memperbaiki keadaan umum pasien dengan pemberian cairan
dan elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit, b) Terapi antibiotic parenteral, dan c) Drainase
empedu yang tersumbat. Beberapa studi acak tersamar memperlihatkan keunggulan drainase
endoskopik dengan angka kematian yang jauh lebih rendah dan bersihan saluran empedu yang
lebih baik dibandingkan operasi terbuka. Studi dengan control memperkuat kesimpulan bahwa
angka kematian dengan ERCP hanya sepertiga dibandingkan dengan operasi terbuka pada pasien
dengan kolangitis yang berat. Oleh karenanya, ERCP merupakan terapi pilihan pertama untuk
dekompresi bilier mendesak pada kolangitis akut yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
(Lesmana, 2009).
Kolangitis merupakan satu dari dua komplikasi utama dari batu duktus koledokus, sedangkan
komplikasi lainnya lagi berupa pankreatitis bilier. Kolangitis akut merupakan suatu infeksi bakteri
yang menyebar dari bawah ke atas yang disebabkan karena adanya obstruksi parsial maupun total
dari duktus biliaris. Dalam keadaan normal, cairan empedu yang dihasilkan oleh hati bersifat steril,
demikian pula dengan kondisi steril cairan empedu yang disimpan di dalam kandung empedu
dipertahankan dengan aliran empedu yang berkesinambungan disertai dengan substansi
antibakterial yang terdapat di dalam cairan empedu itu sendiri berupa imunoglobulin. Gabungan
antara infeksi bakteri disertai dengan obstruksi bilier yang umumnya disebabkan karena batu
empedu merupakan faktor yang penting dalam terjadinya kolangitis. Organisme-organisme yang
umumnya menyebabkan kolangitis yaitu antara lain Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Streptococcus faecalis, dan Bacteroides fragilis.
Pankreatitis bilier
Pankreatitis adalah reaksi peradangan pankreas. Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu
empedu baru akan terjadi bila ada obtruksi transien atau persisten di papilla Vater oleh sebuah
batu. Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis bilier atau menambah beratnya
pancreatitis.
Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pankreatitis bilier akut yang ringan
menyalurkan batunya secara spontan dari saluran empedu ke dalam duodenum pada lebih dari
80% dan sebagian besar pasien akan sembuh hanya dengan terapi suportif kolangiografi. Sesudah
sembuh pada pasien ini didapatkan insidensi yang rendah kejadian batu saluran empedu sehingga
tidak dibenarkan untuk dilakukan ERCP rutin.
Sebaliknya, sejumlah studi menunjukan bahwa pasien dengan pancreatitis bilier akut yang
berat akan mempunyai resiko yang tinggi untuk mempunyai batu saluran empedu yang tertinggal
bila kolangiografi dilakukan pada tahap dini sesudah serangan. Beberapa studi terbuka tanpa
kontrol memperlihatkan sfingterektomi endoskopik pada keadan ini tampaknya aman dan disertai
penurunan angka kesakitan dan kematian. (Lesmana, 2009).
Batu empedu yang terdapat di duktus biliaris komunis sering memiliki hubungan dengan
terjadinya pankreatitis akut. Obstruksi duktus pankreatikus karena impaksi batu atau obstruksi
sementara oleh batu yang kemudian melewati ampulla dapat mengakibatkan pankreatitis. USG
saluran empedu pada pasien dengan pankreatitis merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang disebabkan sifatnya berat, tindakan ERCP disertai
dengan sfinkterektomi dan ekstraksi batu dapat menghentikan perjalanan penaykit pankreatitis.
Setelah pankreatitis hilang, harus langsung dilakukan pengangkatan kandung empedu saat itu
juga. Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang terjadi tidak terlalu berat serta dapat
sembuh spontan,maka hal ini menandakan bahwa batu empedu sudah melewati duktus / ampulla
. Untuk pasien-pasien dengan kondisi seperti ini, perlu dilakukan kolesistektomi dengan
kolangiogram intraoperatif atau ERCP preoperatif.
PENATALAKSANAAN KOLELITIASIS
Penatalaksanaan dan penanganan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif
diperlukan. Biasanya yang dipakai ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi
yaitu terapi oral garam empedu (asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan
Pada umumnya, kolesistektomi profilaksis saat ini tidak dianjurkan untuk penanganan batu empedu yang asimptomatik. Hal ini disebabkan rendahnya
kejadian timbulnya gejala ataupun komplikasi pada penderita batu empedu yang asimptomatik. Hal ini juga berlaku pada penderita diabetes. Meski demikian,
karena tingginya morbiditas dan mortalitas pada operasi emergensi pada pasien diabetes, penanganan segera dilakukan begitu gejala awal timbul.
Kolesistektomi insidental pada pasien batu empedu asimtomatik yang menjalani operasi abdomen nonbilier. Yang pasti, kolesistektomi insidental tidak
dianjurkan pada pasien dengan risiko komplikasi tinggi, misalnya pada sirosis dan hipertensi portal. Tidak didapatkan data yang cukup mengenai tindakan
kolesistektomi profilaksis pada pasien dengan anemia sel sabit, kolelitiasis asimptomatik pada anak, pasien dengan terapi imunosupresi, yang akan menjalani
transplantasi, dan mereka yang tidak dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang memadai untuk jangka panjang.
Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan. Sebagian besar pasien dengan batu asimtomatik tidak akan mengalami
keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya
ringan sehingga penanganan dapat diambil secara elektif. Hanya sebagian kecil yang akan mengalami simtom akut kolesistitis akut, kolangitis, pankreatitis
Pengobatan bedah batu empedu tanpa gejala dan tanpa penyakit medis yang menyulitkan tidak disarankan. Risiko komplikasi yang timbul dari intervensi
Orang dengan diabetes dan wanita yang sedang hamil harus dilakukan tindak lanjut untuk menentukan apakah mereka menunjukkan gejala atau
mengembangkan komplikasi.
Namun, kolesistektomi batu empedu asimtomatik dapat dipertimbangkan untuk diindikasikan pada pasien berikut:
Pasien dengan faktor risiko komplikasi dari batu empedu dapat ditawarkan kolesistektomi elektif, bahkan jika mereka memiliki batu empedu tanpa
gejala. Kelompok-kelompok ini termasuk orang dengan ketentuan sebagai berikut dan demografi antara lain sirosis hipertensi portal, anak-anak, pasien calon
transplantasi dan diabetes dengan gejala minor. Pasien dengan kandung empedu kalsifikasi atau porselin harus mempertimbangkan kolesistektomi elektif
Risiko kanker kandung empedu pada pasien kolelitiasis juga sangat rendah (1/1000 pasien pertahun), kecuali pada pasien dengan kandung empedu
yang mengalami kalsifikasi (porcelain gallbladder), yang mempunyai risiko kanker hingga 25%, bahkan pada kandung empedu yang tidak mengandung batu.
Risiko kanker juga lebih tinggi pada pasien dengan polip kandung empedu yang soliter dengan diameter lebih dari 1 cm, anomali pancreatic-biliary ductal
junction, batu empedu lebih dari 3 cm, dan pada suku Indian di Amerika. Belum diperoleh data yang konklusif mengenai tindakan kolesistektomi profilaksis
Beberapa resiko tinggi yang dianjurkan menjalani kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik
Jika penderita batu empedu mulai mengalami keluhan (simptomatik), angka rekurensi tinggi. Karenanya, setiap pasien perlu diterapi. Kesulitan yang
dialami adalah menentukan gejala mana yang disebabkan oleh batu empedu. Nyeri bilier yang khas adalah nyeri yang hebat, episodik, berlokasi pada
epigastrium atau kanan atas, berakhir 1-5 jam, dan dapat membangunkan pasien saat tidur di malam hari. Hampir 90% pasien dengan keluhan khas ini dapat
hilang keluhannya setelah diterapi. Pasien dengan risiko tinggi untuk anestesi umum diterapi secara nonoperatif. Hasil dari penanganan pasien dengan batu
empedu kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasien dengan keluhan nyeri yang tidak khas ataupun dengan keluhan dispepsia (intoleransi
makanan berlemak, kembung, dan sering bersendawa). Pada penderita tersebut, sebaiknya dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mencari
penyebab lain, seperti irritable bowel syndrome (IBS), ulkus peptikum, atau refluks esofageal.
Komplikasi batu empedu mempunyai potensi membahayakan jiwa dan perlu penanganan yang sesuai dan segera, sesuai dengan jenis komplikasi yang
timbul. Pada kolesistitis akut penanganan kolesistektomi dini (24-48 setelah gejala awal timbul) kini lebih banyak dianut ketimbang kolesistektomi yang
ditunda. Pada kolangitis, terapi meliputi terapi suportif, antibiotika, dan dekompresi. Terapi sindrom Mirizzi tipe I adalah kolesistektomi, sedangkan tipe II
meliputi parsial kolesistektomi dan anastomosis bilioenterik. Selanjutnya akan dibahas di bawah pada bagian jenis-jenis penatalaksanaan kolelitiasis
Gambaran secara umum arah penatalaksanaan batu empedu
Jenis-Jenis Penatalaksanaan
I. Konservatif
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi
kolesterol pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu
mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18
bulan dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol. (Klingensmith, Chen, 2008).
Dua asam empedu, asam kenodeoksikolat (AKDK) dan asam ursodeoksikolat (AUDK) telah digunakan untuk pelarutan batu empedu. Kedua asam empedu
ini menekan sintesis kolesterol di hati dengan menghambat hindroksil metil glutarin CoA (HMG-CoA) reduktase dan meningkatkan aktivitas dari 7a-
dehidrogenase sehingga meningkatkan sintesis asam empedu. AUDK juga menurunkan absorbsi/resorpsi kolesterol di usus dan memperpanjang waktu
nukleasi dari empedu. Asam empedu pilihan untuk pelarutan batu empedu adalah AUDK karena efek samping diare dan rambut rontok serta angka
keberhasilan yang lebih rendah dari AKDK. Dosis AUDK 8-12 mg/kg BB/hari dengan efikasi secara keseluruhan sekitar 6-12 bulan. Calon ideal untuk terapi
disolusi ini adalah: batu kolesterol non kalsifikasi yang terapung di dalam kandung empedu, diameter : < 5 mm, telah disingkirkan kemungkinan batu pigmen
atau batu yang telah mengalami kalsifikasi, batu dengan diameter lebih dari 1,5 cm jarang dapat larut, dan
kandung empedu masih berfungsi dengan pemeriksaan kolesistografi oral dengan duktus sistikus masih paten pada pemeriksaan scan hepatobilier.
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pemah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi
hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa
disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
Terapi disolusi dengan asam kenodeoksikolat (chenodeoxycholic acid, CDCA) pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Mekanisme kerjanya
dengan mereduksi sifat lithogenic/litogenik dan derajat saturasi kolesterol dengan asam empedu melalui inhibisi selektif terhadap enzim
hydroxymethylglutaryl (HMG)-CoA reduktase yang berperan dalam biosintesis kolesterol. Namun, karena efektivitasnya yang rendah dan dengan
mempertimbangkan efek samping yang ditimbulkan, penggunaannya tergantikan oleh asam ursodeoksikolat. Penggunaan asam empedu untuk melarutkan
batu empedu cukup efektif pada pasien simptomatik dengan batu kolesterol kecil (kurang dari 5 mm) yang mengambang pada kandung empedu yang
fungsional. Keadaan ini ditemukan pada 15% pasien batu empedu simptomatik. Terapi ini membutuhkan pemberian obat selama 6-12 bulan dan diperlukan
monitoring hingga dicapai disolusi. Keefektifan terapi ini mencapai 60% pada batu berukuran kurang dari 10 mm dan 90% pada batu empedu berukuran
kurang dari 5 mm. Tetapi, hampir separuhnya mengalami rekurensi dalam 5 tahun. Angka rekurensi lebih rendah pada batu tunggal, individu yang tidak
gemuk, dan penderita muda. Saat ini, indikasi terapi disolusi dengan asam empedu terbatas pada pasien dengan kondisi komorbid yang tidak memungkinkan
Disolusi kontak
Di akhir tahun 1980-an, kelompok peneliti dari klinik Mayo memperkenalkan konsep kolesistolitolisis transhepatik secara perkutan. Metode ini
didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut kolesterol ke kandung empedu. Dengan anatesi lokal, pigtail catheter dimasukkan perkutan melalui
parenkim hati ke dalam kandung empedu. Hal ini dapat dilakukan dengan tuntunan fluoroskopi atau USG. Pelarut poten kolesterol, seperti methyltert-
butylether dan monooctanoin, kemudian diinfuskan secara langsung ke dalam kandungempedu. Pada pemberian methyltert-butylether, pembatasan
waktu kontak antara instilasi dan aspirasi sangat diperlukan untuk mencegah tumpahnya pelarut ini ke dalam duktus biliaris. Bila hal ini terjadi, keluhan nyeri
perut yang transien dan duodenitis dapat timbul. Angka rekuresi tindakan ini mencapai 10% pertahun dan 50% dalam 5 tahun, jadi cukup tinggi dan dapat
Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier butil eter/MTBE) dapat juga dengan melalui jalur: melalui selang
atau kateter yang dipasang perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T Tube untuk
melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
Bahan pelarut (solven) yang dapat melarutkan batu kolesterol dapat dimasukan langsung ke kandung empedu secara perkutan dengan dituntun
ultrasonografi. Solusi yang dipakai adalah MTBE (metil terbutil etan) dan akan melarutkan batu kolesterol dalam 1-3 hari. Efek samping meliputi komplikasi
penempatan kateter, efek samping dari MTBE yang mengalir ke duodenum/ anemia hemolitik, duodenitis hemoragik dan pneumoni aspirasi. Cara ini dipakai
pada batu kolesterol kecil tanpa kalsifikasi; kontraindikasi adalah baru pigmen atau batu yang telah mengalami kalsifikasi, sirosis hati dengan hipertensi portal
Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus
koledokus. Prosedur pertama sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T Tube atau lewat fistula yang terbentuk
pada saat insersi T Tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur kedua adalah
penggunaan endoskop ERCP. Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus
koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter Oddi sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar;
pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit untuk bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi dengan jaring atau halon kecil
pada ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi
pasien harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi dan pankreatitis.
ESWL diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an. Para peneliti di Jerman mendapatkan hasil hilangnya batu pada 95% pasien simptomatik dengan
batu empedu yang tidak mengalami kalsifikasi dengan diameter berukuran kurang dari 20 mm pada kandung empedu yang fungsional. Keberhasilan mencapai
60% pada batu serupa yang berukuran 20-30 mm. Kelompok yang diindikasikan mendapat terapi ini mencakup 16% pasien batu empedu yang simptomatik
secara keseluruhan. Efektivitas ESWL memerlukan terapi adjuvan asam ursodeoksikolat. Rekurensi jarang timbul pada pasien dengan batu tunggal, namun
lebih sering pada batu multipel. Komplikasi ESWL umumnya ringan, seperti peningkatan sementara kadar enzim liver, nyei bilier sementara (20-40%),
pankreatitis ringan (1-2%), hemobilia dan hematuria (8-14%). Meski demikian, sampai saat ini FDA belum memberikan izin bagi pemakaian ESWL untuk terapi
Prosedur noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu
atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.(Smeltzer, 2002). Litotripsi gelombang elektrosyok ini
meskipun sangat populer beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat. (Klingensmith, Chen, 2008).
Prosedur ini pada prinsipnya adalah berhasil memecah batu empedu tanpa pembedahan, dengan menggunakan gelombang yang diarahka kepada batu
empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Setelah batu tersebut dipecah secara
bertahap, pecahnya akan bergerak spontan dari kandung empedu dan dikeluarkan melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang
Metode ini mengkombinasikan dua cara yakni terapi oral asam empedu (AUDK/ asam ursodeoksikolat) dan fragmentasi batu empedu. Dengan ESWL,
gelombang kejut dengan amplitudo tinggi yang dihasilkan oleh elektrohidrolik: eksternal atau alat listrik piezo yang diarahkan pada batu kandung empedu
di bawah tuntunan ultrasonografi. Tujuan ESWL agar menghasilkan fragmen-fragmen kecil (< 3mm) yang dapat melalui duktus sistikus dan duktus koledokus
sehingga dapat dibuang ke duodenum. Fragmen yang tersisa di kandung empedu dilarutkan oleh AUDK. AUDK diberikan beberapa minggu sebelum dan
bersama dengan ESWL, dilanjutkan selama beberapa bulan sampai batu tidak tampak lagi.
Kriteria pemilihan pasien untuk ESWL adalah sama dengan kriteria untuk terapi oral asam empedu. Hasil terbaik didapat bila batu-batunya tunggal dan
kecil. Efek samping ESWL adalah pasca prosedur seperti kolik bilier, pankreatitis dan cedara transien dari paru atau ginjal kanan. Walaupun ESWL ini jelas
bermanfaat pada beberapa pasien, mahalnya harga unit litotripsor, terbatasnya pasien yang memenuhi syarat, potensi kambuh, masih diperlukannya terapi
medis sesudahnya, dan perkembangan laparoskopi telah membatasi antusias penggunaan ESWL.
Pasien dengan batu empedu multipel memiliki angka kekambuhan lebih tinggi daripada yang dengan batu soliter. Angka kekambuhan jangka panjang
dengan ESWL juga tinggi yakni 15% pada tahun pertama, dan 60% pada tahun ke 5,5. Salah satu tantangan utama dari terapi non bedah untuk batu empedu
adalah pencegahan kekambuhan. Belum sepenuhnya disetujui apakah dosis rendah jangka panjang dari AUDK dapat memberikan perlindungan terhadap
kekambuhan.
Litotripsi juga dapat dilakukan secara endoskopik atau endoscopic lithotripsy, misalnya dengan ultrasound disebut ultrasonic lithotripsy, suhu dan listik
yaitu electrohydraulic lithotripsy (EHL), mekanik atau mechanical lithotripsy, dan laser lithotripsy.
Litotripsi intrakorporeal, pada Litotripsiintrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu dapat dipecah dengan menggunakan gelombang
ultrasound, laser berpulsa atau litrotipsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu kemudian fragmen batu dikeluarkan
II. Dietetik
Prinsip penanganan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk
memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat badan dan
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang
dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan. (Lesmana, 2009).
Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu (kolesistitis) sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik
dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien
Ranitidin
Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml injeksi.
Indikasi: Ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus duodenum,
hiperekresi asam lambung (Dalam kasus kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan
muntah / anti emetik).
Perhatian: Pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma lambung, dan tidak
dianjurkan untuk wanita hamil.
Buscopan Plus
NaCl
NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida yang dimana kandungan osmolalitasnya sama
dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh.
NaCl 3 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida tetapi kandungan osmolalitasnya lebih tinggi
dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh.
Alternatif
Ada suatu terapi alternatif yang dinamakan "gallbladder flush" atau "liver flush". Jadi dalam terapi ini, seseorang minum 4 gelas "apple cider" dan makan
5 buah apel per hari selama 5 hari, lalu segera setelah itu mengonsumsi magnesium dan kemudian minum jus lemon atau anggur yang dicampur minyak
zaitun sebelum tidur. Paginya, orang tersebut akan mengeluarkan kotoran berwama hijau dan sesuatu yang berwama coklat (yang diyakini merupakan
batunya) tanpa rasa sakit. Alternatif ini masih kontroversial dan memerlukan studi ilmiah komprehensif yang lebih lanjut.
Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi terbuka pertama kali diperkenalkan oleh Langenbuch (1882) dan lebih dari 100 tahun menjadi terapi pilihan untuk mengobati penderita
batu empedu yang simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Pada laparotomi,
visualisasi langsung dan palpasi kandung empedu, duktus biliaris, duktus sistikus, dan pembuluh darah memungkinkan diseksi dan pengangkatan batu
empedu secara aman dan akurat. Kadang kala kolangiografi intraoperatif dilakukan sebagai tambahan. Eksplorasi CBD saat operasi bervariasi antara 3-21%.
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, biloma, dan infeksi. Kolesistektomi terbuka masih merupakan tindakan pembanding
terhadap metode terapi yang lain dan merupakan alternatif terapi bedah yang aman. Data baru-baru ini menunjukkan angka mortalitas pada pasien yang
menjalani kolesistektomi terbuka yang elektif hampir mencapai nol persen. Dari 42.000 pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989.
Angka kematian secara keseluruhan 0,17%, pada pasien kurang dari 65 tahun, angka kematian 0,03% sedangkan pada penderita di atas 65 tahun, angka
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau memiliki komplikasi dari batu empedu,
kecuali terdapat kontraindikasi seperti umur atau kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan operasi terbuka. Dalam beberapa kasus empiema kandung
empedu, drainase sementara nanah dari kandung empedu (cholecystostomy) mungkin lebih dipilih terlebih dahulu untuk stabilisasi kondisi dan untuk
Pada pasien dengan batu kandung empedu yang diduga bersamaan batu saluran empedu umum/ductus koledokus (CBD), dokter bedah dapat melakukan
kolangiografi intraoperatif pada saat kolesistektomi. CBD dapat dieksplorasi menggunakan sebuah choledochoscope. Jika batu CBD ditemukan, batu tersebut
biasanya dapat diekstraksi secara intraoperatif. Atau, ahli bedah dapat membuat fistula antara saluran empedu dan distal duodenum yang berdekatan
(choledochoduodenostomy), yang memungkinkan batu untuk lolos tanpa membahayakan ke dalam usus.
1. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi kocher, insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse.
Gambar Jenis-Jenis insisi pada abdomen 1= Insisi kocher
7= Insisi transverse
Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon transversum dan usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common bile duct untuk
Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter agar kandung empedu lebih terekspos.
Terdapat 2 metode :
Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian dipisahkan setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD (common bile duct), CHD (common hepatic duct) dan CD (cystic duct)
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus sistikus.
Setelah kolesistektomi, sekitar 5-10% pasien mengalami diare kronis. Hal ini biasanya dihubungkan dengan garam empedu. Frekuensi sirkulasi
enterohepatic garam empedu meningkat setelah kandung empedu diangkat, sehingga garam empedu lebih banyakmencapai usus besar. Dalam usus besar,
Diare post-kolesistektomi biasanya ringan dan dapat dikelola dengan menggunakan sesekali agen antidiare yang dijual bebas, seperti loperamide, diare
lebih sering dapat diobati dengan obat sehari-hari dengan resin yang mengikat asam empedu.
Setelah kolesistektomi, beberapa individu dapat mengalami sakit berulang menyerupai kolik empedu. Sindrom post-kolesistektomi adalah istilah
Banyak pasien dengan sindrom rasa sakit fungsional post-kolesistektomi jangka panjang yang awalnya salah didiagnosis berasal dari empedu sebagai
penyebabnya. Gejala ini yang persisten setelah kolesistektomi bukan kejadian langka. Diagnosis dan terapi harus diarahkan pada penyebab yang sebenarnya.
Beberapa individu dengan sindrom post-kolesistektomi memiliki gangguan motilitas yang mendasari sphincter Oddi, disebut tardive empedu, di mana
sfingter gagal untuk relaksasi biasanya setelah konsumsi makan. Diagnosis dapat didirikan di pusat-pusat kesehatan khusus dengan manometry endoskopi
empedu. Dalam kasus lanjut tardive empedu, sfingterotomi retrograd endoskopik biasanya efektif dalam mengurangi gejala.
Komplikasi pascaoperasi yang sering dijumpai dibagi menjadi komplikasi bilier dan nonbilier. Komplikasi tersering adalah sisa batu pada CBD, leakage
Postcholecystectomy syndrome (sindroma post kolesistektomi) adalah keluhan nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang episodik dan tidak berkaitan
dengan makanan setelah seseorang menjalani kolesistektomi. Nyeri tersebut biasanya berupa kolik dan intermiten, namun dapat pula konstan dan
berlangsung 24-48 jam. Biasanya mengenai seorang perempuan setengah baya yang pernah kolesistektomi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Jika
nyeri mereda, pemeriksaan abdomen dan laboratorium biasanya normal. Etiologi pasti timbulnya nyeri tidak j elas. Dugaan yang umum adalah adanya
peningkatan tekanan di dalam ampula Vateri karena obstruksi intermiten dari sfinkter Oddi. Hal ini dapat timbul akibat kelainan organik (batu,
neoplasma duktus, fibrosis papiler) ataukelainan fungsional mekanisme sfinkter akibat diskinesia bilier. Asumsi lain yang berkembang adalah adanya cystic
stump syndrome, yaitu terbentuknya batu pada sisa duktus sistikus yang panjang, dan cystic duct neuroma, berupa jaringan saraf yang mengalami transeksi
dan terperangkap di dalam jaringan fibrosis serta menghasilkan nyeri.Adanya nyeri pasca operasi juga perlu dipikirkan penyebab lain.
Operasi kolesistektomi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma duktus empedu, perdarahan,
dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara
keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.
(Doherty, 2010).
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah
hati dapat dilakukan. Terapi komponen darah dapat dikerjakan sebelum pembedahan. Kebutuhan nutrisi perlu dipertimbangkan, suplemen hidrolisat protein
mungkin diperlukan untuk membantu kesembuhan luka dan mencegah kerusakan hati.
Persiapan sebelum operasi kandung empedu serupa dengan persiapan bagi setiap tindakan laparotomi abdominal bagian atas. Instruksi dan penjelasan
tentang mobilisasi tubuh dan nafas harus sudah dilakukan sebelum pembedahan dilakukan. Pneumonia dan atelektasis merupakan komplikasi yang sering
terjadi pascaoperatif terbuka semacam ini yang mungkin terjadi tetapi sering dapat dihindari dengan latihan nafas dalam serta sering membalik tubuh.
Penanganan bedah/operatif pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama,
untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala yang dirasakan pasien sudah mereda
atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bila mana kondisi psien mengharuskannya, Tindakan operatif dapat meliputi:
Sfingerotomy endosokopik
PTBD (percutaneus transhepatik biliarian drainage)
Pemasangan "T Tube " saluran empedu koledoskop
Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube
Kolesistektomi minilaparotomi
Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi yang lebih kecil dengan efek nyeri pascaoperasi yang lebih rendah. Disebut juga
Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4cm, luka insisi dapat diperlebar untuk
Dikembangkan sejak tahun 1987, kolesistektomi laparoskopi sekarang menjadi terapi pilihan untuk penderita batu empedu yang simptomatik. Di seluruh
dunia, 75% tindakan kolesistektomi dilakukan dengan laparoskopi. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pascaoperasi yang lebih minimal, pemulihan yang
lebih cepat, hasil kosmetik yang lebih baik, menyingkatkan masa perawatan di rumah sakit, dan biaya yang lebih murah. Berbeda dengan kolesistektomi
terbuka, pada laparoskopik hanya membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi juga cepat. Indikasi tersering adalah nyeri bilier
yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka, yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anastesi umum dan koagulopati yang tidak
dapat dikoreksi. Tindakan ini mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang minimal. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, leakage
(bocor) dari stump duktus sistikus, dan trauma (cedera) duktus biliaris. Risiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara
0,5-1%.
Prosedur (endoskopik) membawa perubahan yang dramatis pada cara pendekatan dalam penatalaksanaan kolelitiasis. Dilakukan lewat insisi yang kecil
atau luka tusukan (biasanya 4) melalui dinding abdomen pada umbilicus. Pada prosedur ini, rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida
(pneumoperitonium) untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur abdomen. Sebuah endoskop serat-optik
dipasang melalui, luka insisi umbilicus yang kecil, luka tusukan dibuat pada dinding abdomen untuk memasukkan instrument bedah lainnya kedalam bidang
operasi. Kamera yang disambung dengan endoskop tersebut memungkinkan gambaran intra abdominal ditransmisikan ke sebuah monitor. Keuntungan pada
prosedur bedah endoskopik ini adalah bahwa pasien tidak akan mengalami ileus paralitik seperti yang terjadi pada operasi bedah abdomen terbuka, dan rasa
Kolesistitis akut awalnya menjadi kontraindikasi relatif untuk menjalani kolesistektomi laparoskopi. Namun ternyata, bila dilakukan sesuai dengan
prosedur, tindakan laparoskopi dapat dilakukan dengan aman. Pada kondisi klinis kolesistitis akut ini, operator harus memahami kesulitan teknik yang
mungkin timbul, lama operasi yang lebih panjang, serta besarnya kemungkinan konversi tindakan menjadi kolesistektomi terbuka (25%).
Kesimpulan tentang batu empedu dan kolesistektomi laparoskopi: dari the National Institutes of Health Concensus Conference, 14 - 16 September
1992:
Kolesistektomi terbuka tetap menjadi standar untuk acuan pertimbangan terapi lain
Terapi asam empedu oral, dengan atau tanpa electrohydraulic shock-wave lithotripsy, kurang
efektif
Disolusi kontak mempunyai keterbatasan klinik
Kolesistektomi lapararoskopi aman dan efektif
Diusahakan tindakan kolesistektomi laparoskopi untuk keamanan maksimal dan biaya yang
efektif
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah
sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin
sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih
sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak
terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
Beberapa pasien dapat mengalami gejala sindrom pasca kolesistektomi seperti dispepsia, diare yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi berlebihan
dari garam empedu, nyeri bilier yang disebabkan oleh spasme sfingter oddi. (Engram, 2009).
Kolesistostomi
Yaitu adalah drainase kandung empedu, dikombinasikan dengan pengambilan batu, dapat dilakukan secara perkutan atau melalui operasi dengan anatesi
lokal. Indikasinya terbatas pada pasien dengan risiko operasi yang buruk dan pasien batu empedu obstruksi dengan keadaan umum yang jelek. Kadang-
kadang, kolesistostomi merupakan pilihan jika kolesistektomi terbuka tidak aman untuk dilakukan. Angka kematian mencapai 10-12%, biasanya berkaitan
Pada pasien yang mengalami empiema kandung empedu dan sepsis, kolesistektomi bisa berbahaya. Dalam hal ini, ahli bedah dapat memilih untuk
melakukan cholecystostomy, prosedur minimal yang melibatkan penempatan tabung drainase di kantong empedu. Hal ini biasanya menghasilkan perbaikan
klinis. Setelah pasien stabil, kolesistektomi terbuka dapat dilakukan dalam keadaan elektif. Kolesistostomi juga dapat dilakukan dalam beberapa kasus oleh
ahli radiologi invasif di bawah panduan CT-scan. Pendekatan ini menghilangkan kebutuhan untuk anestesi dan sangat menarik pada pasien yang secara klinis
tidak stabil.
Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat sistem
bilier tidak jelas, kandung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk
drainase diikat dengan jahitan kantong tembakau (purse-string suture). Kateter untuk drainase dihubungkan dengansistem drainase untuk mencegah
kebocoran getah empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu kedalam rongga peritoneal. Meskipun resikonya lebih rendah dari bedah
kolesistostomi memiliki angka mortalitas yang tinggi ( yang dilaporkan sampai setinggi 20% sampai 30%) yang biasanya disebabkan oleh proses penyakit
Kolangiografi Intraoperatif
Kemajuan bedah laparoskopi menjadikan tindakan kolangiografi intraoperatif menjadi perdebatan. Tindakan kolangiografi intraoperatif pada pasien
yang menjalani kolesistektomi terbuka dilakukan secara selektif, yaitu pada pasien dengan koledokolitiasis yang teraba, distensi CBD dan adanya batu
empedu yang multipel. Namun demikian, belum ada kesepakatan pemakaiannya pada tindakan secara laparoskopi. Peran kolangiografi, bagaimanapun,
cukup membantu dalam mendeteksi batu di CBD dan mengkonfirmasi adanya kelainan anatomis pada duktus.
Sfingterotomi Endoskopi
Jika operasi pengangkatan segera batu saluran umum empedu (CBD) tidak layak dilakukan, sfingterotomi retrograd endoskopik dapat menjadi pilihan.
Dalam prosedur ini, seorang endoscopist akan mengkanulasi saluran empedu melalui papilla Vateri. Menggunakan sphincterotome elektrokauter,
endoscopist membuat sayatan berukuran kurang lebih 1 cm melalui sfingter dari Oddi dan bagian intraduodenal dari saluran empedu, menciptakan
ERCP terapiutik ini dengan melakukan sfingtertomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi pertama kali dilakukan tahun
1974. Sejak itu teknik ini telah berkembang pesat dan menjadi standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat, balon-ekstraksi atau kateter Fogarty / kateter basket melalui muara yang
sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar spontan bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama endoskopnya.
Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada
penderita ini dianjurkan litotripsi lebih dahulu untuk mengeluarkan batu duktus koledokus secara mekanik melalui papilla vater dengan alat ultrasonic atau
laser. Umumnya penghancuran ini dilakukan bersama-sama atau dilengkapi dengan sfingterotomi endoskopik.
Pada awalnya sfingterotomi endoskopi hanya diperuntukan pada pasien berusia lanjut yang mempunyai batu saluran empedu residif atau tertinggal
pasca kolesistektomi atau mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami komplikasi operasi saluran empedu.
Pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan besar ekstrasi batu sukses dapat dicapai pada 80-90% dengan komplikasi dini sebesar 7-10% dan mortilitas
1-2%. Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi.
Keberhasilan sfingterotomi yang begitu mengesankan ini dan kehendak pasien yang kuat telah mendorong banyak pusat pelayanan kesehatan untuk
memperluas indikasi sfingterotomi endoskopi terhadap orang dewasa muda dan bahkan pasien kandung empedu utuh dengan masalah klinis batu saluran
empedu.
Di Indonesia sendiri khususnya di Jakarta, sfingterotomi endoskopik telah mulai dikerjakan pada tahun 1983, tapi berkembangnya belum merata ke
semua senter karena ERCP teraputik ini membutuhkan ketrampilan khusus dan jumlah pasien yang adekuat serta alat fluroskopi yang memadai untuk
Pada suatu penelitian di Jakarta pada tahun 1991 keberhasilan ekstraksi batu saluran empedu dengan teknik non-operatif ini didapatkan pada 123 (85%)
Sfingterotomi Retrograde Endoskopi ini sangat berguna pada pasien yang sakit kritis disebabkan oleh efek dari batu empedu di ampula Vateri. Indikasi
Pengambilan batu saluran empedu umum (duktus koledokus) yang secara tidak sengaja tertinggal
selama kolesistektomi sebelumnya
Kliring preoperative batu dari saluran empedu umum untuk menghilangkan kebutuhan untuk
eksplorasi saluran empedu intraoperatif umum, terutama dalam situasi di mana keahlian dokter
bedah laparoskopi dalam eksplorasi saluran empedu terbatas atau risiko anestesi pasien tinggi
Mencegah kambuhnya batu empedu pankreatitis akut atau komplikasi lainnya dari
choledocholithiasis pada pasien yang terlalu sakit saat ini untuk menjalani kolesistektomi
elektif atau yang dalam jangka panjang memiliki prognosis buruk
Koleostostomi perkutan
Koleostostomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis kolelitiasis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus
menjalani tindakan pembedahan atau anestesi umum, pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal
ginjal, paru dan hati. Dibawah pengaruh anestesi local sebilah jarum yang halus dutusukkan lewat dindung abdomen dan tepi hati didalam kandung empedu
dengan dipandu dengan USG. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan jarum telah adekuat kemudian kateter dimasukkan kedalam kandung empedu
untuk dekompresi saluran empedu. Antibiotik diberikan sebelum, selama, dan sesudah pelaksanaan tindakan.
Pada kebanyakan laporan operasi dikatakan batu empedu yang tertinggal saat eksplorasi CBD berkisar 10 %, akan tetapi dengan kolangiografi
intraoperatif dapat menurunkan insidensi. Banyak yang menganjurkan penggunaan koledoskopi untuk menurunkan insidensi batu empedu yang tertinggal.
Sekitar 12% pasien kolelitiasis simptomatik yang menjalani operasi juga disertai adanya koledokolitiasis. Indikasi adanya kolelitiasis 90% ditunjukkan
dengan adanya riwayat ikterus, kolangitis, pankreatitis, dan tes fungsi hepar yang abnormal.
Terapi yang optimal meliputi pengangkatan batu pada CBD dan kandung empedu. Hal ini dapat dikerjakan dengan dua tahap, yaitu ERCP yang dikuti dengan
kolesistektomi laparoskopi atau melalui satu tahap yaitu kolesistektomi dan eksplorasi CBD secara laparoskopi ataupun dengan operasi terbuka. Angka
morbiditas dan mortalitas bedah terbuka lebih tinggi dari tindakan laparoskopi. Berdasarkan penelitian terakhir efektif itas tindakan eksplorasi CBD secara
laparoskopi tidak berbeda bermakna dengan ERCP dalam mengangkat batu CBD. Pilihan di antara keduanya tergantung pada kemampuan sarana dan
keahlian.
Pada pasien yang tua dan lemah, ERCP dan sfinkterotomi serta ekstraksi batu tanpa kolesistektomi dapat dipertimbangkan, mengingat timbulnya gejala
Jika dicurigai adanya batu CBD pada pasien yang sudah menjalani kolesistektomi, ERCP dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengekstraksi batu.
Pengangkatan batu menggunakan dormia basket atau balon. Untuk batu yang multipel, pigtail stent diinsersi untuk drainase empedu; hal ini akan
memungkinkan keluarnya batu. Batu yang besar atau keras dihancurkan dengan litotriptor mekanik. Jika ERCP tidak memungkinkan, batu diangkat secara
bedah.
Algoritma penanganan pasien dengan kolelitiasis
Cholecystitis (Kolesistitis)
Cholecystitis adalah peradangan kandung empedu. Penatalaksanaan cholecystitis bergantung pada beratnya kondisi dan ada atau tidaknya komplikasi.
Kasus yang tidak berat sering kali tidak memerlukan tindakan operasi, namun pada kasus yang berat memerlukan pendekatan pembedahan. Pada pasien
yang kondisinya tidak stabil, percutaneous transhepatic cholecystostomy drainage sangat sesuai. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi. Terapi
definitif melibatkan cholecystectomy atau penempatan perangkat drainase; oleh karena itu diperlukan konsultasi dengan ahli bedah. Konsultasi dengan ahli
gastroenterologi untuk mempertimbangkan terapi ERCP yang sesuai jika ditemukan juga choledocholithiasis.
Pasien yang menderita cholecystitis tidak diperkenankan menerima pengobatan dan diet apapun melalui oral. Tetapi pada cholecystitis yang tidak berat,
cairan dan diet rendah lemak dapat diberikan sampai tiba waktu untuk dilakukannya operasi. (Bloom, 2011).
Terapi Initial dan Antibiotik
Pada cholecystitis akut terapi initial termasuk penggunaan kateter, rehidrasi melalui intravena, koreksi elektrolit, analgesik, dan pemberian antibiotik
melalui intravena. Untuk kasus yang sedang, terapi antibiotik dosis tunggal spectrum luas cukup adekuat. Beberapa pendapat lain pemberiannya juga dapat
diikuti dengan:
Konservatif
Pengobatan rawat jalan sesuai untuk pasien dengan kasus cholecystitis yang tidak berat. Pengobatan dengan antibiotik, analgetik, dan terapi definitif dengan
Antibiotik profilaksis dengan levofloxacin (500 mg peroral setiap hari) dan metronidazole (500 mg
peroral dua kali sehari).
Antiemetik, seperti oral/rectal promethazine atau prochlorperazine, untuk kontrol rasa mual and
untuk mencegah kekurangan cairan dan elektrolit.
Analgetik, seperti oral oxycodone/acetaminophen. (Bloom, 2011).
Cholecystolithiasis (kolesistolitiasis)
Cholecystolithiasis adalah batu pada duktus sistikus. Pengangkatan batu pada duktus sistikus dilakukan dengan menggunakan single-incision
laparoscopic surgery (SILS) untuk kolesistektomi melalui insisi trans-umbilical, dengan menarik duktus sistikus keluar sepanjang vena cavernous, kemudian
mengamankan duktus sistikus dari Calot's triangle dan melakukan ligasi arteri sistikus. (Shirasu, 2013).
Choledocholithiasis (koledokolitiasis)
Modalitas yang dapat digunakan dalam terapi non-surgical adalah ERCP dan prosedurnya bernama sphincterotomy, dimana operasinya adalah untuk
memotong otot pada duktus komunis agar batu dapat dialirkan atau dapat dilakukan pengangkatan batu (Vorvick, 2011), percutaneous extraction, dan ESWL
(Extracorporeal Shock Wave Litotripsy). Sedangkan terapi surgical adalah open choledochotomy, transcystic exploration, drainage procedures,
Koledokostomi adalah tindakan dimana insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang
sebuah kateter kedalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Umumnya Koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.
Medikamentosa (farmakoterapi)
Cholangitis (kolangitis)
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun
Penderita yang menunjukkan gejala kolangitis akut harus dirawat dan dipuasakan. Apabila ada distensi perut, dipasang pipa lambung. Dilakukan koreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, penanganan syok, pemberian antibiotika sistemik dan pemberian vitamin K sistemik kalau ada koagulapati.
Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneous transhepatic biliar drainage= PTBD) biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternative untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien
dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik.
Melancarkan aliran bilier bisa dilakukan secara operatif atau non operatif yakni per
endoskopi atau perkutan bilamana memiliki fasilitas tersebut. Ekstraksi batu dengan endoskopi sesudah dilakukan sphincterotomy dilakukan langsung
sesudah dilakukan kolangiografi. Bilamana usaha pengeluaran batu empedu gagal, mutlak pula dipasang pipa nasobilier untuk sementara sambil
Antibiotika
Pemilihan antibiotika, mikroorganisme yang paling senng sebagai penyebab adalah E. Coli dan Klebsiella, diikuti oleh
Streptococcus faecalis. Pseudomonas aeroginosa lebih jarang ditemukan kecuali pada infeksi iatrogenik, walaupun demikian antibiotika yang dipilih perlu
yang dapat mencakup kuman ini. Walaupun kuman anaerob lebih jarang, kemungkinan bahwa kuman ini bertindak sinergis dengan kuman aerob
menyebabkan bahwa pada pasien yang sakitnya sangat berat, perlu diikutsertakan antibiotika yang efektif terhadapnya. Tidak ada antibiotika
tunggal yang mampu mencakup semua mikroorganisme, walaupun beberapa antibiotika seperti sefalosporin dan kuinolon memiliki spectrum luas.
Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada waktu yang lalu telah direkomendasikan karena dapat mencakup kuman tersebut di atas selain harganya tidak
mahal. Kerugian kombinasi adalah bahwa aminoglikosida bersifat nefrotoksik. Generasi ketiga sefalosporin telah dipakai dengan berhasil pada kolangitis akut
karena dieksresikan melalui empedu. Terapi tunggal dengan cefoperazon telah terbukti lebih baik daripada kombinasi ampisilin dan
tobramisin, juga septasidin. Golongan karbapenem yang baru yakni imipenem yang memiliki spektrum luas juga berpotensi baik. Obat ini diberikan bersama
dengan silastatin. Siprofloksasin dari golongan kuinolon telah digunakan pada sepsis bilier dan memiliki spectrum yang luas; obat ini diekskresi melalui ginjal
dan juga penetrasi ke empedu. Bilamana dikombinasi dengan metronidasol untuk mencakup flora anaerob, akan sangat efektif. Untuk pencegahan secara
oral terhadap kolangitis rekuren dapat dipilih terapi tunggal dengan ampisilin, trimetoprin atau sefalosporin oral seperti sefaleksin. (Nurman, 1999).
EDUKASI
Pencegahan kolelitiasis yang dapat dilakukan antara lain berhubungan dengan makanan yang dikonsumsi dan faktor-faktor resiko yang memicu terjadinya
kolelitiaisis. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain melakukan kontrol kesehatan berkala. Orang dengan faktor resiko harap lebih memperhatikan faktor-
faktor lainnya yang dapat memicu terjadinya kolilitiasis. Pada orang yang tidak sengaja ditemukan batu empedu karena komposisi terbesar batu empedu
adalah kolesterol, sebaiknya menghindari makanan berkolesterol tinggi yang pada umumnya berasal dari lemak hewani. Namun harus diperhatikan pula,
apabila batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani
pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak
perlu dilakukan pembatasan makanan.Seimbangkan menu makanan dan pola hidup yang sehat. Pamantauan pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral
total dalam waktu lama penting dilakukan. Pada orang yang melakukan diet pastikan menu yang dikonsumsi seimbang dan tidak menurunkan berat badan
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari
metabolisme lemak, sehingga pasien dianjurkan atau dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal
dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang
dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh.
PROGNOSIS
Prognosis nya adalah tergantung dari besar atau kecilnya ukuran batu empedu, karena akan menentukan penatalaksanaannya, serta ada atau tidak dan
berat atau ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam
jiwa. Walaupun demikian, dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan biasanya baik.
Setelah kolesistektomi, batu dapat timbul kembali di saluran empedu. Secara terpisah, kolesistektomi laparoskopi insisional tunggal tampaknya terkait
dengan angka hernia insisional sebesar 8%, pada individu dengan umur ≥50 tahun dan body mass index (BMI) (≥30 kg/m2) sebagai factor prediksi independen.
Kurang dari separuh pasien dengan batu empedu menimbulkan gejala. Tingkat kematian untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan kurang dari
10% morbiditas. Tingkat kematian untuk kolesistektomi cito adalah 3-5% dengan morbiditas 30-50%. Setelah kolesistektomi, batu bisa muncul kembali di
saluran empedu. Sekitar 10-15% pasien memiliki koledokolitiasis terkait. Prognosis pada pasien dengan koledokolitiasis tergantung pada keberadaan dan
beratnya komplikasi. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak layak untuk menjalani operasi, 45% tetap asimtomatik dari koledokolitiasis,
sedangkan 55% mengalami berbagai tingkat komplikasi. Umumnya dengan penanganan yang baik, kondisi pasien yang tidak terlalu buruk, komplikasi yang
tidak berat dan fasilitas serta tindakan yang tepat pasien dapat sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
Kata Kunci Pencarian : Ilmu Penyakit Dalam, Gastroenterologi, Hepatologi, Gastroenterohepatologi, Sp.Pd, Spesialis penyakit dalam konsultan, Kgeh, Tesis,
Desertasi, Disertasi, Artikel Ilmiah, Karya Tulis ilmiah, Jurnal, Makalah, Skripsi, Referat, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem
Based Learning, askep, asuhan keperawatan, SKP (Satuan Kredit Profesi), Ujian, Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx
Share This:
Facebook
Twitter
Google+
0 komentar:
Posting Komentar
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Search for:
TRANSLATE THIS WEBPAGE :
AD
CATEGORIES
Ilmu Penyakit Dalam Hematologi Kardiologi Infeksi Tropik Nefrologi Gastroenterologi Pulmonologi Endokrinologi Leukemia Medis Terkini Hepatologi
Kumpulan Latihan Soal
ADVERT
POSTING TERBARU
PAGES
Home
Disclaimer
About Us
Contact Us
Privacy Policy
ENTRI POPULER
Definisi Reaksi transfusi adalah semua kejadian ikutan yang terjadi karena transfusi darah. Potensi untuk
terjadinya kompl...
Definisi Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh
obstruksi sirkulasi ke dae...
Definisi Hipertensi adalah peninggian tekanan darah diatas nilai normal. Ini termasuk golongan penyakit
yang terjadi akiba...
Definisi Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang
ditandai oleh sesak napas ...
Angina Pektoris
Definisi Angina pektoris berasal dari bahasa Yunani, ankhon, yang berarti ‘mencekik’ dan pectus yang berarti
‘dada’. Jadi, angina pect...
Kor Pulmonal
Definisi Kor pulmonal / Cor Pulmonale atau disebut juga Pulmonary Heart Disease adalah suatu kondisi
gagal jantung sisi ...
Tamponade Jantung
Definisi Tamponade jantung adalah sindrom klinik dimana terjadi penekanan yang cepat atau lambat
terhadap jantung akibat adanya akumu...
DEFINISI Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu
atau lebih tanpa disertai...
Untuk bagian kedua dapat dibaca di sini DEFINISI Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang
ditandai oleh peningka...
Trombosis Vena
Definisi Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk arteri,
vena, ruangan jantung da...
Submit
Telusuri