Kolelitiasis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 118

Kolelitiasis (Batu Empedu)

07.43 Hepatologi, Ilmu Penyakit Dalam No comments

DEFINISI
Kolelitiasis atau Cholelithiasis adalah keadaan adanya atau sedang terbentuknya batu empedu
yang merupakan timbunan kristal yang mungkin dapat terbentuk di dalam kandung empedu
(disebut kolesistolitiasis / cholecystolithiasis) ataupun dalam ductus choledochus (disebut
koledokolitiasis / choledocholithiasis), yang diantaranya disebabkan oleh gangguan metabolisme
kolesterol pada hepar.

Beberapa istilah yang berhubungan dengan topik ini:

 Batu saluran empedu (koledokolitiasis) : adalah adanya batu yang terdapat pada saluran
empedu (Duktus Koledokus).
 Batu Empedu (kolelitiasis) : adalah adanya batu yang terdapat pada kandung empedu (vesica
fellea/biliaris).
 Radang empedu (Kolesistitis) : adalah adanya radang pada kandung empedu.
 Radang saluran empedu (Kolangitis): adalah adanya radang pada saluran empedu.
 Kolesistektomi : adalah tindakan pembedahan untuk mengobati penyakit batu empedu dengan
pengambilan kandung empedu.

Kolelitiasis (kalkuli empedu/kalkulus empedu, batu empedu) adalah suatu keadaan dimana
terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran, bentuk
dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40
tahun terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko, yaitu: obesitas, usia lanjut, diet
tinggi lemak dan genetik. Batu empedu dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi batu saluran empedu dan keadaan ini disebut sebagai batu saluran empedu
sekunder. Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan
lebih sering dan berat dibandingkan batu empedu asimtomatik. Komplikasi yang terjadi
diantaranya dapat mempengaruhi organ di sekitar empedu. Faktor resiko batu empedu
diantaranya dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty (40 tahun), Fertile (subur),
dan Female (wanita) (Sjamsuhidayat, 2011), namun tidak terbatas dan terikat hanya pada faktor-
faktor tersebut seperti yang akan dibahas selanjutnya di bawah.
Sinonim penamaan keadaan ini adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu.

Ilustrasi batu empedu pada saluran duktus koledokus maupun di dalam vesica fellea/vesica
biliaris. Gambar oleh BruceBlaus dengan izin CC BY-SA 4.0

Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol : 1. Hipersaturasi
kolesterol dalam kandung empedu, 2. Percepatan terjadinya kristalisasi kolesterol dan 3.
Gangguan motilitas kandung empedu dan usus. Sedangkan patogenesis batu pigmen melibatkan
infeksi saluran empedu, stasis empedu, malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktivitas β-
glucuronidase bakteri dan manusia (endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu
pigmen pada pasien di negara timur.
Walaupun batu dapat terjadi dimana saja dalam saluran empedu, namun batu kandung empedu
ialah yang tersering didapat. Bila batu empedu ini tetap saja tinggal di dalam kandung empedu,
maka biasanya tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala – gejala biasanya timbul bila batu ini
keluar menuju duodenum melalui saluran empedu, karena dapat menyebabkan kolik empedu
akibat iritasi, hidrops, atau empiema akibat obstruksi duktus cysticus. Bila obstruksi terjadi pada
duktus koledokus maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan kadang – kadang sirosis
bilier.
Jika batu empedu tidak menimbulkan gejala biasanya pasien tidak memerlukan pengobatan.
Meski demikian, banyak juga kasus batu empedu yang membutuhkan tindakan operasi yang
disebut cholecystectomy. Saat ini operasi sudah biasa dilakukan dengan laparoskopi atau bedah
minimal. Karena hanya dengan sayatan kecil, proses pemulihannya pun lebih cepat. Bedah
minimal juga hanya menimbulkan sedikit nyeri dan kalaupun terjadi komplikasi hanya ringan saja,
tidak seperti bedah terbuka. Walaupun organ empedu ini sudah dibuang, seseorang bisa saja
melanjutkan kehidupannya dengan normal dan tetap produktif karena sebetulnya kantong
empedu hanya berfungsi sebagai tempat penampungan. Setelah menjalani pengangkatan kantong
empedu, pasien sebaiknya memperhatikan pola makan yaitu dengan membatasi asupan makanan
berlemak atau berminyak.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang
yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan otopsi postmortem di Amerika, batu
kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria. Insiden batu kandung empedu di
Indonesia belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian yang komprehensif. Banyak
penderita batu kandung empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu
dilakukan foto polos abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain. Dengan
perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru seperti USG, maka banyak penderita batu
kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya
komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan
sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan
gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu
gambaran klinis penderita batu kandung empedu dapat beragam dari yang berat atau jelas sampai
yang ringan atau samar bahkan dapat juga tanpa gejala (silent stone).
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang
terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut
berbeda-beda.
Kolelitiasis kronik menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi dari kandung empedu, selain itu
merupakan factor predisposisi terjadinya kanker pada kandung empedu.
Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak ada gejala maka
tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala, maka adalah salah satu
indikasi perlu dilakukannya kolesistektomi.

Sejarah
Setiap tahun, ratusan ribu pasien di negara besar menjalani terapi pembedahan untuk
mengambil kandung empedunya (dikenal sebagai tindakan kolesistektomi), menjadikannya salah
satu prosedur operasi yang paling umum dilakukan setiap tahun. Tindakan ini merupakan
penatalaksanaan pilihan untuk inflamasi dari kandung empedu (dikenal sebagai kolesistitis), nyeri
dan inflamasi terkait batu empedu (kolik biliaris) dan pankreatitis yang disebabkan batu empedu.
Namun tindakan pengambilan organ kandung empedu ini merupakan perkembangan medis
yang relatif baru. Sebelum akhir abad ke-19, dokter pada saat itu menangani penyakit kandung
empedu dengan kolesistostomi - suatu prosedur membuka, mengambil batu, kemudian menguras
cairannya – namun mereka pada saat itu takut dengan pengambilan organ empedu keseluruhan
dapat menyebabkan kematian pasien. Usaha dokter untuk menguras serta menyingkirkan batu
kandung empedu tersebut akan menyebabkan perbaikan kondisi pasien yang sementara, namun
selanjutnya akan mengakibatkan memburuknya kondisi pasien dengan dapat timbulnya fistula dan
nyeri yang berkelanjutan.
Namun demikian, sebenarnya pada akhir abad ke-17, dua dokter Italia telah membuktikan bahwa
binatang dapat hidup tanpa kandung empedu (gall blader), namun penemuan ini tidak
dipertimbangkan sampai akhir abad ke-19.
Merasa frustrasi bahwa pasiennya tetap menderita bahkan setelah prosedur pengurasan dan
pembersihan kandung empedu, seorang dokter Jerman bernama Carl Johann August Langenbuch,
direktur rumah sakit Lazarus di Berlin yang berusia 27 tahun, bertekad untuk memberikan pasien-
pasien ini pengobatan tuntas daripada hanya kesembuhan sementara. Dokter Langenbauch
pertama mempraktekkannya pada kadaver, kemudian pada tahun 1882 melaksanakan
kolesistektomi pertama pada pasien pria yang menderita batu kandung empedu selama 16 tahun,
yang dimana tindakan ini secara efektif menyembuhkan nyeri penderitaannya dalam semalam.
Sampai tahun 1897, telah dilakukan lebih dari 100 tindakan kolesistektomi (cholecystectomy),
dan kemudian menjadi jelas bahwa menghilangkan kandung empedu tidak akan menyebabkan
kematian pasien, bahkan malah akan memberikan masa depan yang bebas nyeri bagi pasien
bersangkutan terkait penyakitnya tersebut. Dengan kolesistostomi tersingkirkan sebagai pilihan
terapi, kolesistektomi terbuka menjadi standar emas pengobatan untuk hampir satu abad
berikutnya.
Kemudian pada tahun 1985, era modern kolesistektomi dimulai ketika ahli bedah
berkebangsaan Jerman Erich Mühe mengambil kandung empedu seorang pasien menggunakan
peralatan laparoskopik. Kemudian pada tahun 1987 seorang ahli bedah ginekologik Perancis
melaksanakan pengambilan kandung empedu dengan laparoskopi. Hanya dalam dua tahun,
permintaan pendekatan pengobatan dengan teknik laparoskopik telah merubah praktek
pembedahan akan penatalaksanaan penyakit ini di dunia medis barat, manfaat teknik laparoskopik
ini kemudian termaktub dalam pedoman (guideline) National Institute of Health (NIH) dari
Amerika Seriktat pada tahun 1992.

Klasifikasi Batu Empedu


Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang terbesar yang
terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo Maki tahun 1995 sebagai
berikut:

1. Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa sebagai:

 Batu Kolesterol Murni


 Batu Kombinasi
 Batu Campuran (Mixed Stone)
2. Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar kolesterolnya paling banyak
25 %. Bisa berupa sebagai:

 Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium


 Batu pigmen murni

Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:

 Batu Kolesterol
 Batu Campuran (Mixed Stone)
 Batu Pigmen.

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu dibagi atas 3 (tiga)
golongan, yaitu:

1. Batu kolesterol. Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2. Batu kalsium bilirubinat (pigmen coklat). Berwama coklat atau coklat tua, lunak, mudah
dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam. Berwama hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk
dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

Tabel perbedaan batu kolesterol dan batu pigmen:


Gambaran Batu Kolesterol Batu Pigmen
Komposisi Campuran, terkadang calcium Kalsium bilirubinat
shell
Jumlah Biasanya satu tetapi dapat Biasanya multipel
lebih
Warna Kuning atau hijau Gelap, coklat kemerahan atau
hitam
Ukuran Bervariasi Kecil
Densitas Lunak atau keras Lunak
Sebagian besar batu tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun
oleh bilirubin, kalsium dan protein.

Macam-macam batu berdasarkan proses terbentuknya antara lain:

1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi kolesterol dan penurunan produksi
empedu. Faktor lain yang berperan dalam pembentukan batu:

 Infeksi kandung empedu


 Usia yang bertambah
 Obesitas
 Wanita
 Kurang makan sayur
 Obat-obat untuk menurunkan kadar serum kolesterol

2. Batu pigmen empedu , ada dua macam;

 Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung empedu dan disertai hemolisis
kronik/sirosis hati tanpa infeksi
 Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-lapis, ditemukan disepanjang saluran
empedu, disertai bendungan dan infeksi

3. Batu saluran empedu


Batu empedu yang terletak di saluran empedu ini sering dihubungkan dengan divertikula
duodenum didaerah vateri. Ada dugaan bahwa kelainan anatomi atau pengisian divertikula oleh
makanan akan menyebabkan obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini
memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.
Batu yan juga dinamakan batu CBD (common bile duct) atau batu ductus koledokus ini dibagi
menjadi batu primer dan batu sekunder. Batu sekunder yang berasal dari kandung empedu lebih
banyak dijumpai. Umumnya batu kolesterol yang ditemukan di kandung empedu dan CBD
bersama-sama dianggap berasal dari kandung empedu. Sedangkan batu pigmen coklat berkaitan
dengan pembentukan batu primer. Patogenesis terjadinya batu primer diduga karena faktor stasis
di dalam CBD (misalnya karena striktur ataupun dilatasi yang hebat), infeksi
bakteri, dan kelainan pada aktivitas sfinkter Oddi.
Adanya bakteri pada cholangiohepatitis orang Asia, diduga bakteri tersebut membuat
dekonjugasi bilirubin oleh beta glukoronidase, yang membentuk garam empedu insoluble. Hal ini
dibuktikan dengan adanya koloni bakteri dari matrik batu primer di CBD.

4. Batu intrahepatik
Insidensi hepatolitiasis relatif cukup banyak di daerah Asia Tenggara dan Timur Jauh.
Terbentuknya batu jenis ini dikaitkan dengan faktor lingkungan, mengingat di Taiwan dan di
Jepang, kejadian batu intrahepatik menurun dengan perbaikan sosioekonomi, insidensinya lebih
banyak dijumpai di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. Komposisi batu intrahepatik
terbanyak adalah kalsium bilirubinat (batu coklat). Stasis, infeksi parasit, dan bakteri banyak
dihubungkan dengan terbentuknya batu.

Faktor risiko klinis yang berkaitan dengan batu empedu kolesterol


Faktor Resiko Patogenesis
Usia Proses pembentukan batu berkaitan dengan waktu dan berkurangnya
konversi kolesterol menjadi garam empedu. Usia 40 merupakan usia yang
tipikal untuk diagnosis klinis.
Jenis Kelamin Rasio wanita: pria= 3:1, estrogen meningkatkan ambilan kolesterol plasma
oleh hepar sehingga meningkatkan saturasi kolesterol
Ras dan etnis Risiko tinggi: Indian Pima, native American, Hispanik, Kulit Putih
Risiko rendah: Kulit hitam, African American
Genetik Risiko relatif meningkat pada orang yang mempunyai riwayat batu
empedu pada orang tua, kembar, atau saudara keturunan pertama
Kegemukan Meningkatkan aktivitas hidroksimetilglutaril KoA (HMG CoA) reduktase
menyebabkan peningkatan sintesis kolesterol dan saturasi kolesterol
empedu
Penyakit Crohn Menurunkan resorpsi garam empedu, Total Parenteral Nutrition Stasis
dan distensi kandung empedu, risiko meningkat pada pasien dengan
penyakit Crohn
Penurunan berat Bedah pintas usus dan diet rendah kalori dan tinggi protein berkaitan
badan yang cepat dengan tingginya insidens batu empedu karena menurunkan sekresi
garam empedu dan stasis kandung empedu

Karakteristik batu pigmen empedu


Karakteristik Batu Hitam Batu Cokat
Warna Hitam Jingga-kecoklatan
Ukuran 2-6 mm 5-30 mm
Konsistensi Solid, sekeras batu Lunak, berpasir, lumpur
Lokasi Kandung empedu Duktus biliaris intra
anatomis dan ekstra hepatik
Lokasi Barat dan Asia Terutama di Asia
geografis
Kondisi yang Anemia hemolitik, sirosis alkoholisme, TPN Parasit hepar, striktur
berkaitan (Total Parenteral Nutrition) yang lama ductus, infeksi traktus biliaris
Setelah reseksi ileum
Gambaran Radioopak (70%) Radiolusen
Radiologis
Etiologi Peningkatan ekskresi bilirubin tak Dekonjugasi bilirubin oleh
terkonjugasi / bilirubin yang terhidrolisis bakteri

EPIDEMIOLOGI
Kejadian batu kandung empedu atau cholelithiasis di negara - negara industri antara 10 - 15 %.
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di Indonesia tidak
berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Penelitian di Jakarta pada 51 pasien kolelitiasis
didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien. (Lesmana, 2009).
Di Tokyo angka kejadian penyakit ini telah meningkat menjadi dua kali lipat sejak tahun 1940.
Sebuah studi epidemiologi di Swedia menemukan bahwa kejadian batu empedu adalah 1,39 per
100 orang tahun. Halldestam et al. membuat studi dengan 503 subyek penelitian setelah interval
minimal 5 tahun, pada pemeriksaan ulang, 8,3% (42/503) pasien telah berkembang adanya batu
empedu. Perkembangan batu empedu terkait dengan jumlah penanganan penyakit yang diberikan
dan tingkat kolesterol LDL (low density lipoprotein) dan berbanding terbalik dengan konsumsi
alkohol. Pada sebuah penelitian Italia, 20% wanita memiliki batu empedu , dan 14% pada laki-
laki. Dalam suatu studi di Denmark, prevalensi batu empedu pada orang berusia 30 tahun adalah
1,8% untuk pria dan 4,8% untuk perempuan; prevalensi batu empedu pada orang usia 60 tahun
adalah 12,9% untuk pria dan 22,4% untuk perempuan. Tingkat
kejadian koledokolitiasis lebih tinggi di luar Amerika Serikat bila
dibandingkan di Amerika Serikat, terutama karena masalah tambahan batu saluran primer
empedu umum (duktus koledokus) yang disebabkan oleh infestasi parasit dengan Ascaris
lumbricoides dan Clonorchis sinensis. Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis.
Distribusi dan lokasi batu empedu bervariasi di berbagai tempat. Di Amerika Serikat dan negara-
negara barat umumnya, 75% batu empedu merupakan batu campuran, 15% batu pigmen, dan
10% batu kolesterol. Umumnya batu terdapat di kandung empedu, namun dapat pula ditemukan
pada common bile duct (CBD) / ductus koleduktus dan intra hepatik ataupun telah bermigrasi ke
traktus intestinal. Gambaran yang berbeda dijumpai di tempat lain seperti di Asia Tenggara dan
Timur Jauh, di mana umumnya batu empedu merupakan batu pigmen dan banyak ditemukan
intrahepatik. Variasi juga dijumpai dalam hal insidensi. Di Amerika Serikat, 12% populasi
mempunyai batu empedu, dengan 950.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya, sedangkan
di Afrika Timur dan negara berkembang lainnya insidensinya berkisar antara 2-3%. Risiko
terjadinya batu empedu di Amerika dan Eropa Barat berkaitan dengan usia dan jenis kelamin.
Kejadian batu empedu jarang ditemukan pada anak-anak dan remaja, sedangkan 10% pria dan
25% wanita pada usia dekade tujuh mempunyai batu empedu.
Setiap tahun, di Amerika Serikat, sekitar 500.000 pasien berkembang penyakitnya dan
mengalami gejala atau komplikasi dari batu empedu yang membutuhkan kolesistektomi. Penyakit
batu empedu bertanggung jawab untuk sekitar 10.000 kematian per tahun di Amerika Serikat.
Sekitar 7000 kematian disebabkan komplikasi batu empedu akut, seperti pankreatitis akut.
Sekitar 2000-3000 kematian disebabkan oleh kanker kantong empedu (80% dari yang terjadi
dalam pengaturan penyakit batu empedu dengan kolesistitis kronis). Meskipun operasi batu
empedu relatif aman, kolesistektomi merupakan prosedur yang sangat umum, dan hasilnya jarang
yang komplikasi dalam beberapa ratus kematian setiap tahun. Koledokolitiasis mempersulit 10-
15% dari kasus kolelitiasis
Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita. Faktor risiko batu empedu memang
dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty (40 tahun), Fertile (subur), dan Female
(wanita) (Sjamsuhidayat, 2011). Wanita lebih berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh
hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu
tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes
mellitus, baik wanita maupun pria, berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol
tinggi. Bahkan, anak - anak pun bisa mengalaminya, terutama anak dengan penyakit kolesterol
herediter. (Brunner and Suddart, 2001).
Batu empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu menyumbat duktus
sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis penderita batu empedu bervariasi
dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent
stone). Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang
terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut
berbeda-beda. Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak
ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala, maka
diperlukan kolesistektomi (Doherty, 2010).

Faktor resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis.
Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operas1
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah
Crohn’s disease, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu
tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan /
nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu. (Sjamsuhidayat, 2011)

ETIOLOGI
Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan
tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
(Price and Wilson, 2006).

1. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam


pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol, mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk
batu empedu. (Price and Wilson, 2006). Sedangkan perubahan komposisi lainnya yaitu yang
menyebabkan batu pigmen adalah terjadi pada penderita dengan high heme turnover.
Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary
spherocytosis, dan beta-thalasemia . (Sjamsuhidayat, 2011). Selain itu terdapat juga batu
campuran, batu ini merupakan campuran dari kolesterol dan kalsium bilirubinat. Batu ini
sering ditemukan hampir sekitar 90% pada penderita kolelitiasis. (Townsend, Beauchamp,
2004).
2. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi
kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan stasis.
Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu. (Price and Wilson, 2006).
3. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus
meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding
penyebab terbentuknya batu. (Price and Wilson, 2006).

Batu empedu kolesterol, batu empedu pigmen hitam, dan batu empedu pigmen coklat memiliki
etiologi, patogenesis dan faktor risiko yang berbeda.

Etiologi batu empedu kolesterol


Sesuai namanya terjadinya batu ini berkaitan erat dengan konsumsi kolesterol maupun
metabolisme terhadap kolesterol yang terjadi di dalam tubuh.
Batu empedu kolesterol lebih meningkat kemungkinan terjadinya pada jenis kelamin
perempuan, ras kaukasia atau keturunan asli Amerika, dan bertambahnya usia. Faktor risiko lain
diantaranya:

 Kegemukan
 Kehamilan
 Kandung empedu stasis
 Obat
 Keturunan

Sindrom metabolik obesitas truncal, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan
hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hati dan merupakan faktor
risiko utama untuk berkembangnya batu empedu kolesterol.
Kolesterol batu empedu lebih sering terjadi pada wanita yang mengalami kehamilan multipel.
Sebuah faktor utama hal ini adalah dianggap adanya tingkat progesteron tinggi kehamilan.
Progesteron mengurangi kontraktilitas kandung empedu, menyebabkan retensi yang
berkepanjangan dan konsentrasi yang lebih besar dari empedu di kandung empedu.
Penyebab lain stasis empedu yang berhubungan dengan meningkatnya risiko batu empedu
adalah cedera tulang belakang tinggi, puasa berkepanjangan dengan nutrisi parenteral total
(TPN=total parenteral nutrition), dan penurunan berat badan yang cepat terkait dengan
pengurangan kalori besar-besaran dan pembatasan lemak (misalnya, diet, operasi bypass
lambung). Lebih dari sepertiga pasien mengembangkan adanya batu empedu setelah operasi
bariatrik. Di lain sisi, peningkatan berat badan lebih besar dari 25% juga merupakan
prediktor untuk pembentukan batu empedu. Naiknya berat badan yang cepat memobilisasi
penyimpanan kolesterol jaringan dan meningkatkan saturasi empedu.
Obesitas, diet tinggi lemak, dan hipertrigliseridemia berkaitan erat dengan pembentukan batu
empedu. Kacang kaya kandungan Diosgenin, khususnya yang berkaitan dengan diet di Amerika
Selatan, meningkatkan sekresi kolesterol dan pembentukan batu empedu.
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat hipolipidemik fibrate
meningkatkan eliminasi kolesterol hati melalui sekresi empedu dan tampaknya meningkatkan
risiko batu empedu kolesterol. Analog Somatostatin tampaknya juga adalah predisposisi batu
empedu melalui efek penurunan pengosongan kandung empedu.
Sekitar 25% dari kecenderungan untuk terbentuknya batu empedu kolesterol tampaknya adalah
faktor keturunan, sebagaimana dinilai dari penelitian terhadap kembar identik dan fraternal.
Setidaknya terdapat selusin gen dapat menyebabkan risiko ini. Sebuah sindrom langka kolelitiasis
yaitu terkait dengan fosfolipid rendah terjadi pada individu dengan defisiensi genetik dari protein
transportasi empedu yang diperlukan untuk sekresi lesitin.

Etiologi batu empedu pigmen


Batu empedu pigmen hitam terbentuk ketika terjadi kondisi tidak proporsional pada individu
dengan turnover (omset) heme yang tinggi. Dalam kebanyakan kasus, identifikasi faktor risiko
dengan tepat cukup sulit.
Gangguan hemolisis yang berhubungan dengan batu empedu pigmen diantaranya anemia sel
sabit, spherocytosis genetik, dan beta-thalassemia. Pada sirosis, hipertensi portal menyebabkan
splenomegali. Ini yang mana pada gilirannya, menyebabkan penyerapan sel
darah merah, mengakibatkan sedikit peningkatan pada turnover hemoglobin. Sekitar setengah
dari semua pasien sirosis memiliki batu empedu pigmen.
Prasyarat untuk pembentukan batu empedu pigmen coklat diantaranya adalah kolonisasi
empedu dengan bakteri (anaerob) dan adanya stasis intraductal. Di Amerika Serikat, kombinasi ini
paling sering ditemui pada pasien dengan penyempitan empedu pascaoperasi atau kista
choledochal .
Dalam hepatolitiasis, kondisi yang dihadapi terutama di area persawahan wilayah Asia Timur,
pembentukan batu empedu pigmen coklat intraduktus biasanya menyertai beberapa
penyempitan saluran empedu intrahepatic dan extrahepatic. Kondisi ini menyebabkan
kolelitiasis primer berulang dan predisposisi untuk sirosis bilier dan kemungkinan
cholangiocarcinoma.
Batu empedu pigmen coklat dapat terjadi di mana saja di traktus biliaris dan cukup jarang
terbentuknya di kandung empedu. Batu ini diasosiasikan dengan infeksi bakteri anaerobik
sekunder yang diakibatkan stasis atau obstruksi dari etiologi apapun, termasuk infestasi parasit
(cacing) jenis nematoda dan trematoda. Irisan tebal pada mikroskop elektron menunjukkan rangka
sel (cytoskeleton) bakteri di dalam struktur batu. Batu empedu pigmen hitam atau batu empedu
yang bermigrasi dari kandung empedu dan terperangkap dalam duktus biliaris adalah penyebab
yang sering dari stasis dan infeksi bakteri sekunder. Sebuah penyebab yang seringkali terlewatkan
adalah divertikulum juxtapapillary duodenal yang menjadi tempat penampungan anaerob. Pada
negara berkembang dan tropis cacing-cacing yang dapat menjadi faktor inisiator adalah Ascaris
lumbricoides, Clonorchis sinensis and Opisthorchis viverrini. Berbeda dengan batu empedu
pigmen hitam yang terlihat radioopak, batu empedu pigmen coklat terlihat radiolusen.
Hal lain yang berpengaruh
Diabetes mellitus berhubungan dengan peningkatan risiko batu empedu, meskipun
mekanismenya tidak jelas, biasanya adalah salah satu gejala, pasien dengan diabetes rawan
komplikasi lebih parah.
Penyakit Crohn, reseksi ileum, atau penyakit lain dari penurunan reabsorpsi garam empedu
ileum dan meningkatkan risiko pembentukan batu empedu.
Bakteri atau infeksi parasit dari organisme yang mengandung Bglucuronidase,
enzim yang mengkonjugasi glukuronat bilirubin, meningkatkan risiko untuk batu pigmen
Sirosis membawa risiko multifaktorial utama untuk pembentukan batu empedu dan penyakit
kandung empedu. Mengurangi sintesis hati dan transportasi garam empedu, hyperestrogenemia,
gangguan kontraksi kandung empedu, dan meningkatkan stasis bilier, diantara faktor-faktor
lainnya, berkontribusi terhadap pembentukan batu empedu (biasanya batu pigmen) pada sirosis.
Penyakit lain atau menyatakan bahwa predisposisi pembentukan batu empedu termasuk luka
bakar, penggunaan nutrisi parenteral total, kelumpuhan, perawatan ICU, dan trauma besar.
Hal ini disebabkan, pada umumnya, karena penurunan stimulasi enteral kantong empedu dengan
stasis resultan empedu sampai pembentukan batu.
Etiologi Batu saluran empedu
Batu saluran empedu primer disebabkan oleh kondisi yang menyebabkan stasis empedu dan
bactibilia (bakteri dalam empedu) kronis. Sampai dengan 90% dari pasien dengan batu pigmen
coklat di duktus koledokus memiliki hasil kultur empedu positif untuk bakteri.
Dalam populasi Barat, stasis bilier disebabkan faktor-faktor (penyebab) seperti disfungsi sfingter
Oddi, striktur bilier jinak, primary sclerosing, dan dilatasi kistik dari saluran-saluran empedu.
Adanya stasis empedu mendorong pertumbuhan bakteri, yang menghasilkan fosfolipase, sehingga
melepaskan asam lemak dari fosfolipid empedu.
Epitel saluran dan/atau bakteri (misalnya Escherichia coli) menghasilkan beta glucuronidase
dalam jumlah yang cukup untuk terjadinya dekonjugasi diglukuronida bilirubin. Kehadiran asam
lemak bebas, deconjugated bilirubin, dan asam empedu mengarah pada pembentukan partikel
bilirubinate kalsium yang larut. Dengan hilangnya asam empedu, kolesterol menjadi tidak larut,
sehingga membentuk “lumpur empedu” atau biliary sludge . Lumpur ini juga mengandung
glikoprotein musin, kalsium dan bakteri, yang membantu lebih lanjut dalam pembentukan batu.
Dalam populasi Asia, infestasi dengan Ascaris lumbricoides dan Clonorchis sinensis dapat
meningkatkan stasis dengan menghalangi saluran empedu atau dengan merusak dinding saluran,
sehingga terjadi pembentukan striktur. Bactibilia juga umum dalam hal ini, mungkin sekunder
untuk bakteriemia portal episodik. Namun terdapat beberapa pendapat bahwa batu terbentuk
karena bactibilia itu sendiri dan bahwa kehadiran parasit tidak berhubungan.

Untuk kembali menyegarkan pengetahuan tentang topik ini atau memudahkan bagi yang pertama
kali mempelajari topik ini ada baiknya kita mengulas anatomi dan fisiologi sistem empedu :

ANATOMI
Vesica Fellea
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat yang terletak pada
permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung
empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu
tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami
distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut
kantong Hartmann/ Hartmann’s pouch. (Sjamsuhidayat, 2011).
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya
menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral
hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan
dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk
duktus koledokus. (Snell, 2006).

Gambaran anatomi kandung empedu

Duktus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung
katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan empedu masuk
kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluamya. Saluran empedu ekstrahepatik
terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas
bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari saluran
paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui
duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus. (Sjamsuhidayat,
2011).
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang duktus
hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus.
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding
duodenum membentuk papilla Yater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung
distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.
Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama oleh duktus koledokus di dalam
papilla Yater, tetapi dapat juga terpisah. (Sjamsuhidayat, 2011).

Pendarahan (Vaskularisasi)
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena
cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan
vena - vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Snell, 2006).

Pembuluh limfe dan persarafan (innervasi)


Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica
fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan
a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal
dari plexus coeliacus. (Snell, 2006).

FISIOLOGI

Sekresi Empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus
biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati
sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis.
Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus
sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
(Snell, 2006).
Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

 Empedu memainkan peranan penting dalam pencemaan dan absorpsi lemak karena asam
empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan
partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim
lipase yang disekresikan dalam getah pancreas. Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicema menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang
penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin,
dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati. (Guyton and Hall, 2007).

Penyimpanan dan Pemekatan Empedu


Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari. Empedu yang
disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan dalam kandung empedu sampai
diperlukan di duodenum. Volume maksimal kandung empedu hanya 30-60 ml. Meskipun
demikian, sekresi empedu selama 12 jam (biasanya sekitar 450 ml) dapat disimpan dalam kandung
empedu karena air, natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terns menerus
diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan zat-zat empedu lainnya, termasuk garam
empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin. Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor aktif
natrium melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion
klorida, air, dan kebanyakan zat-zat terlarut lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak
5 kali lipat dengan cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat. (Guyton and Hall, 2007).

Pengosongan Kandung Empedu


Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan
pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari
mukosa duodenum, kemudian masuk kedalam darah dan menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus
dan sfingter Oddi mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental
ke dalam duodenum. (Guyton and Hall, 2007).

Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

1) Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa
sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam
kontraksi kandung empedu.

2) Neurogen :

 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan lambung atau
dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai sfingter
Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap
keluar walaupun sedikit.

Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung selama sekitar 1
jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu. (Guyton and Hall, 2007).
Gambar aliran cairan empedu (perhatikan arah panah). Gambar A menunjukkan kontraksi
sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. Gambar B memperlihatkan
relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.

Komposisi Cairan Empedu


Kandungan Jumlah Rasio dalam empedu/plasma
Elektrolit :
Na 141–165 mEq/L ~1
K 2.7–6.7 mEq/L ~1
Cl 77–117 mEq/L ~1
HCO3 12–55 mEq/L ~1
Ca 2.5–6.4 mEq/L ~1
Mg 1.5–3 mEq/L ~1
SO4 4–5 mEq/L
PO4 1–2 mEq/L
Anion Organik :
Garam empedu 3–45 mmol/L >1
Bilirubin 1–2 mmol/L >1
Lipida
Kolesterol 97–310 mg/dL <1
Hormon steroid, estrogen 140–810 mg/dL <1
PROTEIN : <10 mg/mL <1
Protein plasma
Albumin <1
Haptoglobin
IgA >1
Apo transferrin >1
Pheromone
Prolactin
Insulin
Protein hepatosit :
Alkalin fosfatase <1
Asam fosfatase <1
N-acetyl-β-glucosaminidase <1
β-glucuronidase
β-galactosidase <1
5′-nucleotidase <1
80-kd secretory component of >1
pIgA receptor
Asam amino dan peptide :
GSH 3–5 mmol/L >1
GSSG 0–5 mmol/L >1
Cystinyl glycine >1
Asam glutamate 0.8–2.5 mmol/L >1
Cysteine
FGF19 >1

Aspartic acid 0.4–1.1 mmol/L >1


Glycine 0.6–2.6 mmol/L >1
Nukleotida :
ATP 0.1–6 μmol/L
ADP 0.1–5 μmol/L
AMP 0.06–5 μ mol/L
Logam berat :
Cu 2.8 mg/L >1
Mn 0.2 mg/L >1
Fe < 1mg/L >1
Zn 0.2–0.3 mg/L >1
Vitamin :
25-OH vitamin D
Cyanocobalamin 15–200 μg/L
Riboflavin
Folate 4–60 μg/L

Komponen Dari hati Dari kandung empedu

Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl

Garam empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl

Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3-0,9 gr/dl

Asam-asamlemak 0,12 gr/dl 0,3-1,2 gr/dl

Lesitin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Na+ 145 mEq/liter 130 mEq/liter

K+ 5 mEq/liter 12 mEq/liter

Ca+ 5 mEq/liter 23 mEq/liter

Cl- 100 mEq/liter 25 mEq/liter

HCO3 28 mEq/liter 10 mEq/liter


Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu.
Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. (Sjamsuhidayat, 2011).

Garam Empedu

Fungsi garam empedu adalah :

 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan,
sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat
dicema lebih lanjut.
 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut dalam
lemak. (Guyton and Hall, 2007).

Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang masuk ke dalam lumen
usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar
(90%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu
tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut
misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu. (Guyton
and Hall, 2007).
Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme bersatu
membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi biliverdin yang segera berubah menjadi
bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat
oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah
berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak. (Guyton and Hall,
2007).

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI BATU EMPEDU


Secara garis besar perjalanan penyakit batu empedu melalui 4 tahapan :

 Tahap litogenik, dimana terjadi kondisi yang mendorong dan memfasilitasi terbentuknya batu
empedu
 Batu empedu tanpa gejala (Asymptomatic gallstones/Batu empedu asimtomatis)
 Batu empedu dengan gejala (Symptomatic gallstones/Batu empedu simtomatis), yang
dikarakteristikkan dengan episode-episode kolik bilier
 Kolelitiasis dengan komplikasi (Complicated cholelithiasis)

Gejala dan komplikasi dari penyakit batu empedu adalah hasil dari efek yang terjadi selama batu berada di dalam kandung empedu maupun ketika batu

empedu keluar dari kandung empedu dan terperangkap dalam ductus koledokus (common bile duct).

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu

campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50%
kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara

lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempuma dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam

empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi

berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk dalam kandung

empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary

stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu.

Batu empedu lebih sering dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan

pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan tepat sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah

 Perubahan (gangguan) metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu


 Statis empedu
 Infeksi kandung empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol

dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan

unsur di dalamnya. Gangguan kontraksi kandung empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan

perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan insiden yang tinggi pada kelompok ini (stasis). Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat

memegang peranan sebagian pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan viskositas

dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi. Infeksi walaupun adalah salah satu penyebab namun secara jumlah lebih sering sebagai akibat pembentukan batu

empedu dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu. (Townsend, Beauchamp, 2004).

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan

pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu

banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian

ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk

alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.

(Townsend, Beauchamp, 2004).

Teori awal menyebutkan patogenesis pembentukan batu empedu tidak lepas dari apa yang terjadi di kandung empedu sebagai faktor utama terjadinya

kelainan. Hal ini berlangsung sampai tahun 1924, saat Findlay memperkenalkan konsep bahwa kegagalan kolesterol untuk tetap larut merupakan faktor kritis

dalam permulaan pembentukan batu. Konsep ini diperjelas oleh Admirand dan Small (1968) yang menyebutkan, adanya korelasi antara konsentrasi ketiga

unsur terlarut dalam empedu, yaitu fosfolipid (lesitin), garam empedu, dan kolesterol.
Penelitian ini mendorong berbagai penelitian yang menghubungkan gangguan sekresi hepatik dari lipid bilier sebagai penyebab utama pembentukan batu

kolesterol. Penelitian akhir akhir ini menunjukkan bahwa faktor di dalam kandung empedu tetap menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan. Tampaknya

interaksi dinamis antara kedua organ ini sangat diperlukan untuk terjadinya batu empedu.

Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi

(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang

yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama-kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membentuk batu. Faktor

motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu.

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi

ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus

sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung

empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus

sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat

sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis

generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus

koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya

ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankreatitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

Adanya batu di CBD (common bile duct/ductus koledokus) dapat disebabkan oleh pembentukan batu di kandung empedu yang kemudian bermigrasi ke

CBD (batu sekunder), atau pembentukan batu terjadi pada duktus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik (batu primer).

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut

dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus

sistikus karena diametemya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus. (Townsend, Beauchamp,

2004).

Banyak faktor yang berperan pada patogenesis batu empedu dan terdapat perbedaan antara patogenesis batu kolesterol dan batu pigmen. Perlu dipahami

fisiologi produksi dan aliran empedu terlebih dahulu sebelum membahas patogenesis batu empedu reseptor.

Produksi dan aliran empedu

Cairan empedu diproduksi oleh hepar sebanyak 500-600 mL setiap hari yang kemudian dialirkan ke dalam kandung empedu dan disimpan di sana. Cairan

empedu hepar bersifat isotonik dan mengandung elektrolit yang memiliki komposisi serupa dengan komposisi elektrolit plasma. Namun komposisi elektrolit
cairan empedu yang berada di dalam kandung empedu berbeda dengan empedu hepar karena banyak anion inorganik (klorida dan bikarbonat) dan air di

reabsorbsi melalui epitel kandung empedu, sehingga konsentrasi cairan empedu meningkat dari 3-4 g/dL menjadi 10-15 g/dL di kandung empedu.

Bahan utama yang terkandung dalam cairan empedu adalah asam empedu (80%), fosfolipid dan kolesterol yang tidak teridentifikasi (4%). Lesitin adalah

fosfolipid utama yang terdapat dalam cairan empedu, meskipun ditemukan pula lisolesitn dan fosfatidil etanolamin di usus dan tidak ikut serta dalam siklus

enterohepatik.

Sebaliknya asam empedu masuk ke dalam siklus entero hepatik kecuali asam litokolat. Beberapa asam empedu yang utama adalah asam kolat (cholat

acid) dan (chenodeoxycholic acid). Asam ini terkonjungasi dengan glisin dan taurin, dan di lumen kolon diubah oleh bakteri menjadi asam empedu sekunder

(asam deoksilat dan asam litokolat). Asam litokolat hampir tidak ditemukan dalam cairan empedu, karena asam ini tidak masuk dalam siklus entero-hepatik.

Asam empedu adalah molekul menyerupai deterjen, dapat melarutkan subtansi-substansi yang pada dasarnya tidak dapat larut dalam air seperti kolesterol.

Pada konsentrasi dua milimolar molekul empedu akan beragregasi membentuk agregat yang disebut misel (micelle). Kelarutan kolesterol dalam cairan

empedu tergantung pada konsentrasi kolesterol itu sendiri dan perbandingan antara asam empedu dan lesitin. Perbandingan yang normal akan

melarutkan kolesterol, sedangkan perbandingan yang tidak normal menyebabkan presipitasi kristal-kristal kolesterol dalam cairan empedu. Hal ini salah satu

faktor awalnya terbentuk batu kolesterol. Tubuh manusia menghemat asam empedu dengan efisien melalui siklus enterohepatik.

Asam empedu, baik yang tidak terkonjungasi maupun yang terkonjungasi, diabsorpsi secara pasif di sepanjang lumen usus, namun transpor aktif

memegang peranan lebih penting pada konservasi asam empedu. Transpor aktif ini terutama terjadi di ileum distal. Asam empedu yang terabsopsi

memasuki aliran portal dan diambil kembali oleh hepatosit, kemudian di rekonjungasi dan direskresi. Dalam keadaan normal, asam empedu mengalami siklus

enterohepatik sebanyak: lima sampai sepuluh kali dalam sehari. Absorpsi asam empedu melalui lumen usus sangat efisien, sehingga asam empedu yang

terbuang dalam feses hanya sekitar 0,3-0,6 gram tiap harinya, dan jumlah tersebut ak:an diganti oleh sintesis de novo asam empedu di hepar. Asam empedu

kembali ke hati melalui siklus enterohepatik ak:an menghambat sintesis de novo tersebut, dan interupsi sirkulasi enterohepatik sebaliknya ak:an

meningkatkan sintesis asam empedu.

Dalam keadaan berpuasa, tekanan sfingter oddi meningkat sehingga menghambat aliran empedu dari duktus koledokus ke duodenum. Hal ini mencegah

refluks isi duodenum ke duktus koledokus dan juga menfasilitasi pengisian kandung empedu. Kolesistokinin yang dilepaskan oleh mukosa duodenum sebagai

respon terhadap asupan lemak: dan asam amino sebaliknya menfasilitasi pengosongan kandung empedu.

Kolesistokinin menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter oddi, sehingga cairan empedu dapat mengalir ke duodenum.

Patogenesis batu empedu kolesterol

Empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab untuk lebih dari 90% kasus kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar batu empedu

ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam jumlah yang bervariasi fosfolipid,

pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain.

Menurut Meyers & Jones, 1990, Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:

 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.


 Pembentukan nidus.
 Kristalisasi/presipitasi.
 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain yang
membentuk matriks batu.

Tiga faktor utama yang menentukan terbentuknya batu kolesterol : supersaturasi kolesterol, nukleasi kristal kolesterol monohidrat, dan disfungsi kandung

empedu. Ada juga yang membagi pembentukan batu empedu kolesterol menjadi 4 tahap : saturasi, pembentukan nidus (nukleasi), kristalisasi, pertumbuhan

batu.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Admirand dan Small, kelarutan kolesterol dipengaruhi tidak hanya oleh kadar kolesterol, namun juga oleh kandungan

lesitin dan garam empedu. Ketiganya membentuk mixed micelles ataupun vesikel, yang memungkinkan kolesterol dapat larut dalam empedu. Kedua

kendaraan empedu ini tersusun dalam senyawa ampifatik, di mana bagian yang hidrofobik berada di dalam dan bagian hidrofilik berada di luar. Vesikel

berukuran lebih besar (600-700 A), mengandung kolesterol lebih banyak, namun lebih metastabil dibandingkan micelle. Besarnya proporsi vesikel

dibandingkan micelles banyak dikaitkan dengan pembentukan nukleasi. Faktor di dalam kandung empedu, yaitu stasis, sekresi dan absorbsi, serta

prostaglandin diduga turut berperan dalam terjadinya batu kolesterol, meski hal tersebut (peran prostaglandin) masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Seharusnya terdapat keseimbangan fisiologis antara pro nukleasi dan anti nukleasi dan faktor lainnya, kegagalan proses tersebut dianggap berperan dalam

pembentukan batu empedu.

Pembentukan batu Kolesterol dapat dibagi melalui tiga fase yaitu:

I. Fase Supersaturasi

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam

perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.

Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan

supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.

Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:

 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh lebih
banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum terminale
akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar chenodeoxycholat
rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi
kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

II. Fase Pembentukan inti batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang

lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.

Diagram fase triangular terbentuknya batu kolesterol

III. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi

kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung

empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes

Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung

empedu kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
Supersaturasi kolesterol

Kolesterol disekresi dalam bentuk unilamellar phospholipid vesicels. Pada cairan empedu normal, vesikel ini larut dalam misel yang permukaan luarnya

bersifat hidrofilik. Bagian dalam misel bersifat hidrofobik, dan kolesterol di inkorporasikan pada interior misel tersebut. Bila cairan empedu jenuh dengan

kolesterol atau bila konsentrasi asam empedu rendah, kelebihan kolesterol tidak dapat ditranpor oleh misel, sehingga vesikel-vesikel kolesterol tertinggal

dan cenderung beragregasi membentuk kristal.

Supersaturasi kolesterol dapat terjadi karena sekresi kolesterol bilier yang berlebihan, dan atau karena hiposekresi asam empedu. Faktor sekresi

hipersekresi kolesterol biliar adalah obesitas (umumnya berhubungan dengan hiperlipoproteinemia yang meningkatkan sintesis kolesterol), kadar estrogen

(meningkatkan reseptor lipoprotein B dan E sehingga uptake kolesterol oleh hepar juga meningkat) dan progesteron (menghambat konversi kolesterol

menjadi kolestrol ester) yang tinggi, kehilangan berat badan dalam waktu cepat (mobilisasi kolesterol jaringan) dan defek genetik.

Dikatakan bahwa konsentrasi kolesterol empedu tidak berkorelasi dengan konsentrasi kolesterol plasma. Namun banyak penelitian yang mengimplikasikan

adanya hubungan antara kadar kolesterol plasma dengan kolesterol empedu. Salah satu penelitian tersebut menyatakan adanya hubungan bermakna antara

sindrom metabolik (peningkatan kadar kolesterol darah adalah komponennya) dan terbentuknya batu empedu. “Mahzab” klasik menyatakan bahwa batu

kolesterol umumnya terdapat pada perempuan (female), gemuk (fatty) yang dalam masa subur (fertile) yang berusia di atas 40 tahun (forty).

Tampaknya faktor fatty dari konsep ini relevan sampai saat ini sehubungan dengan meningkatnya prevalensi obesitas dan sindrom metabolik dengan resiko

terbentuknya batu kolesterol. Dalam sebuah penelitian di Spanyol, dinyatakan bahwa resistensi insulin meningkatkan resiko terbentuknya batu empedu. Hal

ini karena kondisi tersebut membantu terbentuknya cairan empedu yangjenuh akan kolesterol.

Prevalensi batu empedu kolesterol pada penderita diabetes lebih tinggi, namun demikian belum jelas diketahui apakah hal tersebut disebabkan oleh

diabetesnya sendiri atau akibat obesitas, dislipidemia, dan hipomotilitas kandung empedu yang umum ditemukan pada penderita diabetes.

Sebuah studi prospektif mengatakan bahwa obesitas abdominal, lingkar pinggang dan rasio antara lingkar pinggang dan panggul memprediksi resiko

timbulnya batu empedu terlepas dari indeks masa. Masih berhubungan dengan obesitas, hiperleptimenimia dan hipoadiponektinemia tampaknya terlibat

dalam patogenesis batu kolesterol, namun hubungan kausalnya masih perlu diselidiki. Supersaturasi kolesterol bukan satu-satunya faktor yang berperan

dalam patogenesis batu kolesterol, karena supersaturasi kolesterol senng sekali ditemukan daam kandung-kandung empedu tanpa batu kolesterol.

Nukleasi kolesterol

Terbentuknya inti kristal kolesterol monohidrat penting dalam terbentuknya batu kolesterol. Dikatakan bahwa nukleasi kristal kolesterol lebih berperan

daripada supersaturasi kolesterol dalam pembentukan batu kolesterol. Vesikel kolesterol yang mempunyai rasio kolesterolfosfolipid yang tinggi beragreasi

dan membentuk kristal dengan cepat. Vesikel ini terdapat dalam kandung empedu. Vesikel kolesterol dalam cairan empedu hepar lebih stabil dan

tahan terhadap nukleasi karena perbandingan kolesterol dan fosfolipid yang rendah.

Nukleasi merupakan proses pembentukan dan penggabungan kristal kolesterol monohidrat. Berbagai studi menunjukkan, bahwa terbentuknya nukleasi

tidak hanya berkaitan dengan supersaturasi kolesterol, namun ada faktor lain yang turut mempengaruhi. Hal ini dibuktikan dengan lebih mudahnya terjadi

nukleasi pada penderita batu sebelumnya dibandingkan individual normal, meski keduanya mengalami saturasi kolesterol. Berbagai faktor pronukleasi dan
antinukleasi diteliti sebagai faktor yang turut berperan dalam terjadinya nukleasi, seperti mukus kandung empedu dan glikoprotein. Kalsium juga diduga

berperan dalam pembentukan batu kolesterol. Studi menunjukkan terdapat kandungan garam kalsium dalam matriks pusat batu kolesterol. Tampaknya

kalsium meningkatkan penggabungan vesikel dan mempercepat pertumbuhan kristal kolesterol.

Berbagai penelitian dalam dekade terakhir berhasil mengidentifikasi protein yang berperan dalam nukleasi kolesterol, antara lain musin, a I-acid

glycoprotein,a 1- antichymotrypsin, dan fosfolipase C. Protein tersebut kadarnya meninggi secara signifikan pada kandung empedu dengan batu

dibandingkan kandung empedu dengan supersaturasi kolesterol tanpa batu empedu. Musin adalah protein pronukleasi yang sejauh ini paling banyak diteliti.

Protein ini mempercepat kristalisasi kolesterol dengan membentuk vesikel kolesterol multiamelar yang mempunyai kecenderungan lebih besar untuk

mengkristal.

Disfungsi kandung empedu

Disfungsi mencakup perubahan pada epitel mukosa kandung empedu dan dismotilitas kandung empedu. Kedua hal ini tampaknya saling berhubungan.

Kontraksi kandung empedu yang tidak baik menyebabkan stasis empedu. Statis empedu ini adalah faktor resiko terbentuknya batu empedu karena musin

akan terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan viskositas yang

tinggi akan mengganggu pengosongan kandung empedu.

Probabilitas terbentuknya kristal akan meningkat dengan adanya stasis empedu, hidrolisis bilirubin terkonjungasi dalam kandung empedu akan

menghasilkan bilirubin tak terkonjungasi yang dapat mengendapkan kalsium. Perubahan pada mukosa kandung empedu diketahui mempengaruhi fungsi

kandung empedu. Kandung empedu dengan batu kolesterol memiliki kontraktilitas yang terganggu, kandungan kolesterol membran yang meningkat dan

rasio koleterol-fosfolipid yang tinggi bila dibandingkan dengan kandung empedu dengan batu pigmen. Sebuah studi memgatakan bahwa ada disfungsi

reseptor kolesistokinin pada membran sel mukosa kandung empedu dengan batu kolesterol. Ikatan hormon tersebut pada reseptonya hanya sekitar 60%,

sedangkan kandung empedu dengan batu pigmen, ikatan tersebut mencapai 100%. Hal tersebut tampaknya disebabkan difusi dan inkorporasi kolesterol dari

cairan empedu yang jenuh kolesterol ke membran sel sehingga kandungan kolesterol sel mukosa kandung empedu meningkat dan mengacaukan fungsinya

secara keseluruhan.

Beberapa keadaan yang berhubungan dengan hipomitilitas kandung empedu antara lain nutrisi parenteral total yang berkepanjangan, cedera medula

spinalis, kehamilan, penggunakan kontrasepsi oral, diabetes melitus. Dan pengobatan dengan oktreotid.

Lumpur bilier (biliary sludge)

Lumpur bilier adalah suatu suspensi yang terbentuk dari presipitat kalsium bilirubinat, kristal-kristal kolesterol dan mukus. Adanya lumpur bilier

menandakan dua abnormalitas yakni keseimbangan sekresi dan eliminasi musin yang terganggu dan adanya nukleasi bahan terlarut dalam cairan empedu.

Lumpur bilier seperti hal dengan batu kolesterol, sering dijumpai pada kondisi yang menyebabkan hipomitilitas kandung empedu maupun supersaturasi

kolesterol, seperti kehamilan dan nutrisi parenteral total yang berkepanjangan. Lumpur bilier jelas merupakan prekursor batu koleterol, namun tidak pada

semua kasus lumpur bilier berevolusi menjadi batu kolesterol.


Istilah sludge (Indonesia = lumpur) kandung empedu digunakan untuk empedu dalam bentuk gel yang mengandung sejumlah mikrokalkuli. Kandungan

sludge bilier terdiri dari gabungan granul kalsium bilirubinat, kristal kolesterol, dan glikoprotein ( mucin ). Terjadinya sludge dikaitkan dengan adanya stasis

kandung empedu. Mukus tidak dapat didegradasi dalam empedu dan jika ter jadi stasis dalam kandung empedu, akumulasi glikoprotein di dalam kandung

empedu menginduksi pembentukan gel yang akan menangkap komponen pigmen empedu. Diduga, material gel ini berinteraksi dengan kalsium, garam

empedu, dan kolesterol dengan akibat berkurangnya kelarutan bilirubin dan kolesterol serta membentuk kristal kalsium bilirubinat dan kolesterol

monohodrat yang terperangkap di dalam gel. Gel berfungsi sebagai matriks nukleasi bagi kristal kolesterol atau batu pigmen. Arti klinis dari sludge

kandung empedu tidak jelas sampai saat ini. Sludge biasanya teridentifikasi pada USG abdomen, dengan gambaran material ekogenik di dalam kandung

empedu yang tidak memberikan gambaran acoustic shadow, seperti halnya batu empedu. Biasanya dijumpai pada orang mengalami puasa yang lama,

menggambarkan empedu yang mengalami konsentrasi yang tinggi di dalam kandung empedu yang relatif stasis. Pada studi terhadap pasien yang menjalani

TPN (Total Parenteral Nutrition) yang lama, insidensi sludge kandung empedu meningkat dengan berjalannya waktu. Walaupun demikian, tidak jarang sludge

berkaitan dengan keberadaan mikrokalkuli dan ikut berperan dalam nyeri bilier, pembentukan batu empedu dan pencetus pankreatitis.

Faktor-faktor yang menentukan pembentukan batu empedu kolesterol


Skematik tentang vesikel sebagai kendaraan kolesterol dalam empedu dan hubungannya dengan nukleasi. *BS=Bile Salt

(garam empedu), IMC = Inter mixed Micellar Concentration, TCDC = taurochenodeoxycholate

Patogenesis batu empedu pigmen

Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinannya adalah melalui sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan

pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan

beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa
berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli

membentuk B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat yang tak

dapat larut.

Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium

bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung

dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain.

Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan

sampai hitam.2. bilirubin pigemen kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam

empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dan stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak larut dengan

kalsium.

Batu empedu bilirubin atau batu empedu pigmen dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).

b. Batu pigmen mumi (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase yaitu :

1. Saturasi bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada

keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b

glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja

glukuronidase.

2. Pembentukan inti batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan

bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu

adalah dari cacing tambang (Ancylostoma/Necator/hook worm).

Jenis-jenis batu empedu pigmen:

1. Batu Kalsium bilirubinat (pigmen coklat)


Disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah banyak. Umumnya batu pigmen coklat

ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi. Batu pigmen coklat biasanya ditemukan dengan ukuran diameter kurang dari 1 cm, berwarna

coklat kekuningan, lembut dan sering dijumpai di daerah Asia. Batu ini terbentuk akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan

karena disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit. Pada infeksi empedu, kelebihan aktivitas β-glucuronidase bakteri dan manusia (endogen)

memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak

terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Enzim β-glucuronidase bakteri berasal dari kuman E. coli dan kuman lainnya di saluran

empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh glucarolactone yang konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan rendah lemak.

2. Batu pigmen hitam

Batu tipe ini banyak dijumpai pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin.

Patogenesis terbentuknya batu pigmen ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. Batu

empedu jenis ini umumnya berukuran kecil, hitam dengan permukaan yang kasar. Biasanya batu pigmen ini mengandung kurang dari 10% kolesterol.

Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asamlemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi

normal akan terkonjugasi dalam empedu kemudian dapat mengendap sehingga terjadi batu. Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada

pasien sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan tindakan medis operatif.

Batu empedu pigmen merupakan batu empedu yang cukup banyak dijumpai di wilayah Asia Tenggara dan Timur Jauh. Prasyarat pembentukan batu

pigmen adalah konsentrasi bilirubin yang tinggi (lebih dari 40%) dan kandungan kolesterol yang rendah. Batu ini umumnya merupakan campuran, dengan

kalsium bilirubinat sebagai kandungan utama. Berdasarkan penampakan, batu pigmen terbagi menjadi batu coklat dan batu hitam. Pemahaman tentang

patogenesis batu pigmen tidak sebanyak batu kolesterol. Maki et al. menduga infeksi bilier dan stasis berperan penting dalam terbentuknya batu jenis ini.

Bilirubin glukoronida dihidrolisis oleh enzim glukoronidase menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Bilirubin yang tidak berkonjugasi ini kemudian

bersama kalsium membentuk matriks kalsium bilirubinat, komponen utama batu pigmen.

Teori ini sulit menjelaskan pembentukan batu pigmen pada gangguan hemolisis, dan sirosis. Pembentukan batu pada gangguan hemolisis kemungkinan

disebabkan oleh ekskresi bilirubin yang berlebihan, sedangkan pada sirosis, batu empedu dikaitkan dengan adanya hipersplenisme dan gangguan

metabolisme asam empedu.

Dinamakan batu pigmen karena batu jenis ini mengandung kalsium bilirubinat dalam jumlah yang bermakna dan mengandung <50% kolesterol. Terdapat

dua macam batu pigmen yang dikenal, yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat.

Batu pigmen hitam tersusun oleh kalsium bilirubinat (80%), kalsium karbonat, kalsium fosfat, glikoprotein musin dan sedikit kolesterol. Faktor resiko

terbentuknya batu pigmen hitam antara lain hemolisis, sirosis hepatis, dan usia tua. Terbentuknya batu pigmen ini didasarkan pada konsep pengendapan

bilirubin. Bilirubin terkonjungasi mempunyai kelarutan yang tinggi, sehingga garam kalsium-bilirubin mono/diglukuronida mudah larut dalam

cairan empedu. Sebaliknya, bilirubin yang tidak-terkonjungasi tidak larut dan dapat kita simpulkan bahwa bilirubin jenis inilah yang mengendap pada batu

pigmen. Bilirubin tidak terkonjungasi sebenarnya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil dalam cairan empedu (1%).
Oleh sebab itu, tampaknya kandung empedu sendiri memiliki mekanisme mekanisme yang meningkatkan solubilitas bilirubin tidak terkonjungasi tersebut.

Kelainan hemolitik menghasilkan bilirubin tak terkonjungasi dalam jumlah besar, hal ini tentunya lebih kondusif terhadap pembentukan batu pigmen hitam.

Batu pigmen coklat berbeda dari batu pigmen hitam. Bila batu pigmen hitam hampir selalu terbentuk di kandung empedu, batu pigmen coklat dapat

terbentuk di saluran empedu, bahkan setelah kolesistektomi. Seperti batu pigmen hitam, insiden batu pigmen coklat juga meningkat pada usia tua, dan

sedikit lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki.

Faktor predisposisi lainnya adalah infeksi dan kelainan anatomis saluran empedu, seperti penyakit Caroli yang cenderung mengakibatkan stasis aliran

empedu. Kelainan hemolitik bukan merupakan faktor predisposisi batu pigmen coklat. Batu pigmen coklat dan hitam sama-sama mengandung garam kalsium

dan bilirubin tidak terkonjungasi, tapi batu pigmen coklat hanya sedikit sekali mengandung kalsium karbonat maupun fosfat. Yang menarik dari batu pigmen

coklat ialah komposisi asam lemak bebasnya yang cukup besar, terutama palmitat dan stearat.

Adanya asam lemak tersebut dalam batu pigmen coklat menyokong hipotesis bahwa batu pigmen coklat terbentuk karena infeksi dan statis, karena

fosfolipase bakteri umumnya menghasilkan asam palmitat dan stearat dari pemecahan lesitin.

Progresi penyakit batu empedu berlanjut

Batu di kandung empedu umumnya tidak menunjukan gejala (silent gall stone) kecuali bila batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau ke

dalam duktus koledokus. Diperkirakan 60-80% dari batu empedu adalah asimtomatik. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya batu empedu bervariasi. Pada

pasien dengan nutrisi total perenteral atau pada orang gemuk dengan penurunan berat badan yang cepat, intervalnya dapat dalam hitungan minggu.
Gambaran progresi penyakit kandung empedu yang berlanjut

Pada suku penduduk amerika asli (Native Americans) Pima, progresi dari empedu yang supersaturasi dengan kolesterol sampai pembentukan batu empedu

adalah 5-10 tahun. Bila batu empedu telah terbentuk, faktor resiko untuk timbulnya simtom tidak diketahui, namun jumlahnya relatif kecil. Sebaliknya sekali

timbul simtom resiko untuk berlanjutnya masalah relatif tinggi yakni 58-72 %. Lebih dari 90% komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis, dan

pankreatitis didahului oleh serangan nyeri. Komplikasi paling sering adalah gangren dan perforasi kandung empedu yang terjadi pada 40% kasus kolesistitis

akut.
Migrasi batu ke dalam leher kandung empedu akan menyebabkan obstruksi dari duktus sistikus yang akan mengakibatkan iritasi kimia wi dari mukosa

kandungan empedu oleh cairan empedu yang tertinggal, diikuti oleh invasi bakteri. Hal ini akan mengakibatkan kolesistitis akut atau kronik. Kolesistitis akut

akan perlahan-lahan menyembuh atau berkembang menjadi gangren akut dan perforasi dari kandung empedu atau empiema. Bila terjadi perforasi kandung

empedu akibatnya tergantung pada hubungan anatomi dengan struktur di dekatnya. Batu tersebut dapat terlokalisasi dan membentuk abses, dapat pula

berupa perforasi bebas dengan peritonitis atau dapat berhubungan dengan organ berongga dan timbul fistula.

Suatu perforasi lokal dengan tumpahan yang dibatasi dan tertutup rapat oleh omentum dan melekat dengan organ yang di sebelahnya merupakan bentuk

perforasi yang paling sering ditemukan, terbentuklah abses periokolesistik. Bila serangan akut mereda secara spontan, perubahan-perubahan inflamasi yang

kronik menetap dengan berikutnya diikuti eksaserbasi akut. Kolesistitis kronik dapat tenang, tetapi biasanya terdapat simtom dispepsia. Batu empedu

dapat bermigrasi dari kandung empedu yang meradang secara akut atau kronik ke organ di dekatnya. Batu dapat juga keluar melalui tinja atau tersangkut di

saluran makanan dan menyebabkan ileus batu empedu, biasanya batu tersebut berdiameter >2,5 cm dan tersangkut di valvula menyebabkan obstruksi

duktus koledikus dangan ikterus intermitten, kolangistis atau pankreatitis akut bilier bila menyumbat papula vateri, terutama batu-batu kecil (mikrolitiasis).

Kolangitis yang terjadi dapat naik ke hati dan menimbulkan abses. Bila kandung empedu perforasi ke usus halus di dekatnya, serangan kolesistitis akut

seringkali mereda karena dekompresi organ yang meradang.

Diagram gambaran umum patofisiologi kolelitiasis

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS BATU EMPEDU


Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien

dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).

Sebagian besar (sekitar 80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis maupun selama pemantauan. Studi perjalanan penyakit dari

1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20%

mendapat komplikasi.

Batu kandung empedu dapat tanpa gejala dan terdiagnosis secara kebetulan dengan ultrasonografi selama pemeriksaan kesehatan berkala atau lainnya.

Batu-batu tersebut umumnya dibiarkan saja. Pada pengamatan selanjutnya pasien ini, hanya sebagian kecil akan menunjukkan simtom. Pada suatu

penelitian, hanya sekitar 10% dari batu empedu yang asimtomatik akan timbul gejala dalam 5 tahun dan hanya 5% yang memerlukan tindakan bedah. Hanya

kurang lebih pada setengah pasien dengan batu empedu simtomatik dilakukan kolesistektomi dalam kurun waktu 6 tahun sesudah di diagnosis.

Pasien batu empedu nampaknya dapat mentolerir simtomnya selama periode waktu yang cukup lama dan

lebih memilih tanpa kolesistektomi. Umumnya gejala yang timbul tidak dalam bentuk emergensi. Koleisistektomi profilaktif dan dengan alasan untuk

mencegah kanker kandung empedu tidak boleh dilakukan karena resikonya kecil dan kurang dari pada resiko kolesistektomi.
Diagram penyakit batu empedu, gejala, tipe batu dan penyebabnya

Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri di perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan

kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri di perut atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial.

Kebanyakan batu di kandung empedu (hampir 80%) asimtomatik dan ditemukan secara tidak sengaja oleh pemeriksaan untuk alasan lain. Kolik: bilier

adalah simtom yang paling spesifik dan keluhan utama pada 70-80% pasien yang simtomatik. Gejala yang timbul adalah akibat obstruksi atau inflamasi karena

batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu dan menyumbat duktus sistikus atau ke duktus koledokus. Kolik ini dirasakan di kuaran kanan atas atau

epigastrium yang dapat menjalar ke punggung bagian kanan atau bahu kanan
Nyeri ini bersifat episodik dan dapat dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau oleh makan besar. Nyeri dapat juga timbul tanpa suatu pencetus

dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat dirasakan di daerah substemal atau prekordial sehingga salah diinterpretasikan sebagai iskemia miokard.

Kadang-kadang nyeri dapat dirasakan di kuadran kiri atas dari abdomen. Nyeri timbul karena spasme di sekitar

duktus sistikus yang tersumbat; nyeri pada kolesistitis akut disebabkan oleh peradangan dinding kandung empedu. Kolik bilier dimulai secara tiba-

tiba dan intensitasnya meningkat tajam dalam interval 15 menit ke suatu plateau yang menetap selama 3 sampai 5 jam. Nyeri batu bersifat bertahan/menetap

dan tidak bergelombang, sehingga istilah kolik bilier kurang tepat. Nyeri mereda lebih perlahan-lahan. Pada suatu episode nyeri yang lebih dari 5 jam perlu

dicurigai adanya kolesistitis. Episode nyeri bilier sering disertai dengan mual dan muntah-muntah, pasien biasannya gelisah dan tidak bisa mendapatkan

posisi yang nyaman dapat berlangsung mingguan, bulanan atau tahunan. Kolik bilier harus dapat dibedakan dengan dispepsia yang non spesifik. Hal ini

dikarenakan keluhan flatulens, pirosis, erofagia, rasa tidak nyaman di perut yang samar-samar, dan intoleransi terhadap makanan berlemak merupakan

keluhan yang umumnya ditemukan pada banyak pasien selain kolelitiasis.

Kemampuan untuk membedakan kolik bilier yang sesungguhnya dari simtom-simtom abdomen yang non spesifik secara bermakna berpengaruh pada

keberhasilan menangani penyakit kandung empedu. Sebagai contoh, kolisistektomi yang dilakukan pada kolik bilier yang dinilai secara tepat bukan pasien

dengan dispepsia non spesifik serta perbandingan dengan kolilitiasis. Peningkatan kadar bilirubin serum dan atau alkali fosfatase mencurigakan suatu batu

duktus koledokus. Demam atau menggigil dengan nyeri bilier biasanya menunjukan suatu penyulit seperti kolesistitis, penkreatitis atau kolangitis.

Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga

gambaran klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.

Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang

dijalarkan sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan

hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus pada 20 % kasus, umumnya derajat

ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.

Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh

batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.

Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.

Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan

dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain

kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena

perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.

Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan

organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini

menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.

Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga

terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari

tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.

Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri

sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran

empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri

bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai dengan 50 % dari semua pasien dengan batu kandung

empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik

akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan kolesistektomi untuk

semua pasien dengan batu empedu asimtomatik. (Silbernagl, Lang, 2000).

Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit,

dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,

terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual

dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. (Sjamsuhidayat, 2011).

Pasien batu empedu dengan komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara

wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum.

Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh

rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke

ujung skapula (dinamakan tanda Collin). Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada

pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu perut

kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka

atau laparoskopik

Beberapa tanda dan gejala umum kolelitiasis:


1. Rasa nyeri dan kolik bilier. Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu
akan mengalami distensi dan akhimya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba
massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini
biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi
besar. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik
bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu
keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung
empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan.
Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien
melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga dada. Nyeri pada kolesitiasis
akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga diperlukan preparat analgesik yang kuat seperti
meperidin. Pemberian morfin dianggap dapat meningkatkan sfasme sefingter oddi sehingga perlu
dihindari.
2. Ikterus. Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan persentase
yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah
empedu ke dalam deodonum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu: getah empedu yang tidak
lagi dibawa kedalam deodonum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat
kulit dan membrane mukosa berwana kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-
gatal yang mencolok pada kulit.
3. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine
berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut "Clay-colored"
4. Defisiensi vitamin. Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorbsi vitamin A,D,E dan K. bila
batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan
mengalirkan isinya keluardan proses inflamasi segera meredadalam waktu yang relative singkat,
jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan
abses,nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata

Manifestasi klinis batu empedu berkaitan dengan lokasi batu :


Kolelitiasis (batu empedu terletak di kandung empedu)

Batu yang terdapat di kandung empedu dapat tidak memberikan gejala (asimptomatik), memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis akut, nyeri bilier,

nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia flatulen.

Impaksi batu di infundibulum (Hartmann pouch) kandung empedu menyebabkan spasme kandung empedu sehingga menimbulkan nyeri bilier. Jika batu

jatuh kembali, kandung empedu menjadi kosong dan nyeri hilang, sedangkan impaksi yang berlangsung terus menyebabkan nyeri berlanjut. Empedu yang

terperangkap mengalami konsentrasi dan menimbulkan iritasi kimia dan inflamasi lokal yang menimbulkan nyeri yang menetap dan berlangsung berhari-

hari. Isi kandung empedu dapat mengalami infeksi sekunder. Infeksi pada kandung empedu dijumpai pada sekitar 30% pasien batu empedu. Keadaan ini akan

menimbulkan toksemia dan mengarah pada terjadinya empiema, gangren ataupun perforasi. Empiema akan menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas

abdomen dan pireksia yang hilang timbul. Peningkatan edema dan menurunnya vaskularisasi menyebabkan infark dinding kandung empedu dan kemudian

mengalami perforasi.

Gambar batu empedu terperangkap di Hartmann’s pouch (gambar kiri)

Kontraksi kandung empedu terhadap batu merupakan penjelasan yang banyak dipakai untuk menerangkan timbulnya nyeri postprandial, meski demikian

tidak ditemukan adanya korelasi yang jelas antara keluhan ini dengan adanya batu empedu pada populasi umum. Mukokel dapat timbul ketika batu
mengalami impaksi pada Hartmann pouch. Kandung empedu mensekresi mukus pada batu yang menyumbat sehingga menimbulkan pembesaran kandung

empedu sehingga dapat teraba pada palpasi.

Korelasi antara temuan patologi dalam kandung empedu dan gambaran klinis yang timbul, tidak jelas. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah

nyeri perut kuadran kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah

epigastrium postprandial. Nyeri ini bertambah pada inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar ke punggung atau ujung scapula (Collin’s sign).

Keluhan ini dapat disertai oleh mual, muntah, dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung selama berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai

dengan toksemia, nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy's sign. Pada kasus yang lebih lanjut, dapat diraba massa yang

mengalami peradangan akibat kandung empedu yang edema dikelilingi oleh omentum yang melekat. Tanda klinis dari toksisitas dan pireksia yang hilang

timbul perlu dicurigai adanya empiema dan nyeri peritonismus pada perut bagian atas sebagai tanda perforasi kandung empedu. Adanya ikterus mengarah

pada koledokolitiasis meskipun kompresi duktus biliaris komunis akibat kandung empedu yang edema dan mengalami peradangan (sindrom Mirizzi)

merupakan faktor yang juga perlu dipertimbangkan

Nyeri bilier memberikan gejala yang menyerupai kolesistitis akut, namun biasanya tidak dipengaruhi oleh gerakan dan berakhir setelah beberapa jam.

Nyeri yang timbul seringkali dipresipitasi oleh makanan yang berlemak dan menghilang spontan. Nyeri kronis akibat batu empedu dikaitkan dengan dispepsia

flatulen, yang ditandai oleh rasa penuh setelah makan, sering bersendawa, mual, dan regurgitasi makanan.

Koledokolitiasis

Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi

kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.

Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri

didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga

gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.

Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus

koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah

kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal

dan duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.

Anggapan tradisional yang berkembang mengenai gejala klinis penderita batu pada CBD adalah mereka biasanya tidak mengalami nyeri kolik karena CBD

tidak mempunyai otot polos. Meski demikian, nyeri pada daerah perut kanan atas setelah kolesistektomi merupakan gejala akibat batu yang terdapat pada

CBD. Batu yang menyangkut pada ujung distal CBD juga berkaitan dengan mual dan muntah.

Ikterus obstruksi timbul jika batu mengalami impaksi di dalam CBD, terutama di ampula. Batu dapat lewat secara spontan atau kembali ke CBD dengan

berkurangnya ikterus atau tetap mengalami impaksi. Batu pada ujung distal CBD juga dapat menimbulkan pankreatitis akibat obstruksi temperer duktus
pankreatikus dan dapat berkaitan dengan ikterus yang hilang timbul. Kolangitis asending timbul bila timbul infeksi akibat obstruksi dan drainase sistem bilier

yang buruk. Pada pasien dengan batu CBD, kuman koliform dijumpai pada 80% kasus.

Trias Charcot yang dihasilkan akibat sumbatan batu berupa nyeri, ikterus, dan demam (dengan atau tanpa menggigil). Kolangitis akut dapat menimbulkan

syok septikemia, yang dikenal dengan kolangitis supuratif obstruktif akut.

Adanya keluhan nyeri perut kanan atas setelah kolesistektomi dapat menjadi indikasi adanya kolelitiasis. Meski demikian, batu CBD dapat tidak disertai

gejala dan ditemukan secara insidental pada saat kolesistektomi atau karena adanya komplikasi seperti ikterus obstruktif, pankreatitis, atau kolangitis

ascending. Nyeri lebih berkaitan dengan ikterus obstuktif karena batu daripada karena keganasan. Selain penemuan bilirubin di dalam urin dan faeses yang

pucat, ikterus obstruksi juga berkaitan dengan pruritus dan steatorea. Pemeriksaan fisik jarang menjumpai adanya perabaan kandung empedu dan gejala

pankreatitis harus dicari. Kolangitis asending perlu dicurigai bila ada panas yang disertai menggigil dan pireksia yang fluktuatif pada penderita ikterus

obstruktif . Penderita dapat memberikan gambaran bakteremia atau septikemia dengan flushing, takikardia dan hipotensi.

DIAGNOSIS
Diagnosis batu empedu didasarkan pada temuan klinis yang ditunjang oleh data laboratorium dan pemeriksaan penunjang radiologis.

Pemeriksaan tes fungsi hepar merupakan pemeriksaan rutin pada penderita batu empedu. Meski tidak banyak dipengaruhi oleh kolelitiasis, tes fungsi hati

dapat terganggu pada koledokolitiasis. Peningkatan bilirubin indirek terjadi pada ikterus prehepatik, seperti pada hemolisis yang berlebihan. Gambaran

biokimiawi dari ikterus hepatik, misalnya pada hepatitis, adalah peningkatan bilirubin direk dan indirek, SGOT, SGPT, dengan nilai alkali fosfatase yang relatif

normal. Ikterus posthepatik (obstruktif) memberikan gambaran kenaikan bilirubin direk dan alkali fosfatase dengan nilai SGOT dan SGPT yang relatif normal.

Pada kasus lanjut ikterus obstruktif atau kolangitis akut, nilai transaminase meningkat akibat kerusakan yang timbul pada sel-sel hepar. Pada keadaan

akut, kadar amilase perlu diperiksa untuk mencari kemungkinan terjadinya pankreatitis dan pemeriksaan leukosit untuk membantu penilaian adanya

kolesistitis akut.

Untuk membedakan nyeri yang diakibatkan oleh kandung empedu dan penyakit intraabdomen lainnya kadang dibutuhkan pemeriksaan foto polos

abdomen, namun batu empedu yang memberikan gambaran radioopak kurang dari 10%, sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan. Kadang kala,

pada kasus obstruksi intestinal, gambaran udara tampak pada ductus biliaris, mengarahkan kecurigaan adanya fistula kolesistoenterik dan gallstoneileus.

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang paling banyak digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis kolelitiasis. Pemeriksaan ini relatif mudah

dilakukan, tidak terlalu menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien, mencegah radiasi dan efek toksisitas zat kontras, serta dapat menilai struktur organ

intraabdomen bagian atas lainnya. Dinding kandung empedu dan isinya serta ukuran CBD serta batu di dalamnya dapat dideteksi. Reliabilitas pemeriksaan

ini untuk menilai kolelitiasis sangat tinggi, meski penilaian adanya koledokolitiasis lebih rendah serta kemampuan operator sangat menentukan hasil temuan.
Gambaran ultrasonografi batu empedu pada vesika felea yang memberikan gambaran hipoechoic dengan acoustic shadow

(tanda panah)

Penggunaan kolesistografi oral untuk mendeteksi batu empedu sangat berkurang dengan adanya USG. Pemeriksaan tergantung pada fungsi kandung

empedu untuk mengkonsentrasikan kontras media. Hasil false negatif pada batu yang kecil berkisar 6-8%. Pemeriksaan ini mempunyai peran dalam

mengidentifikasi diskinesia bilier.

CT scan lebih akurat dalam mencari batu CBD dibandingkan USG, dengan sensitivitas yang tinggi.
Gambaran hasil kolesistografi oral menunjukan gambaran batu yang radiolusen yang mengambang di dalam kandung

empedu

Hidroxyiminodiacetic acid (HIDA) / hepatobiliary scintigraphy yang diberi label dengan Technisium diekskresi ke dalam sistem bilier setelah injeksi

intravena. Pemeriksaan ini membantu dalam mendiagnosis kolesistitis akut, memberi informasi patensi duktus sistikus namun kurang baik dalam

menggambarkan adanya batu di kandung empedu, ataupun di CBD.


Percutaneus transhepatic cholangiography (PTC) paling baik dikerjakan pada pasien yang mempunyai pelebaran cabang bilier, namun bukan merupakan

pemeriksaan rutin pada pasien yang dicurigai kolelitiasis. Endoscopic retrograde cholangiopancreaticography (ERCP) merupakan pemeriksaan penting dalam

pencitraan preoperative untuk melihat gambaran CBD.

Dengan visualisasi langsung menggunakan duodenoskopi, papila dapat secara selektif dikanulasi untuk mendapatkan gambaran duktus pankreas dan CBD.

Zat kontras yang larut dalam air diinjeksikan untuk memperlihatkan gambaran sistem bilier. Pemeriksaan ini bisa pula digunakan untuk terapi yaitu dapat

dilakukan sfinkterotomi, pemasangan stent, dan ekstraksi batu.

Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran

terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama bernpa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri

lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang barn menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan

perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang

seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah

pada waktu menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh oleh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang merupakan

tanda rangsang peritoneum setempat. (Heuman, 2011)

Pada batu duktus koledokus riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas akan disertai dengan tanda sepsis seperti demam dan menggigil

bila terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin bewarna gelap yang hilang timbul, bebarapa dengan ikterus karena hepatitis juga.

Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan lebih banyak ditemukan pada daerah tungkai daripada di badan.

Pada kolangitis dengan sepsis yang berat dapat terjadi keadaan kegawatan disertai syok dan gangguan kesadaran.

Sehingga pertanyaan-pertanyaan khusus yang dapat ditanyakan dalam anamnesa adalah:

 Apakah terdapat nyeri pada perut kanan atas? Berlangsung berapa lama? Bagaimana nyerinya,
seperti apa? Apakah pasien dapat melakukan aktivitas walaupun nyeri? Apakah nyeri tersebut
terus menerus, berulang atau hilang timbul? Apakah nyeri timbul setelah makanan makanan
tertentu seperti makanan tinggi lemak? Apakah ada tempat nyeri yang lain? Apakah nyerinya
menjalar? Atau nyeri juga dirasakan di tempat lain?
 Apakah yang dirasakan pasien setelah makan makanan berlemak? Begah atau nyeri? Atau gejala
dispepsia lainnya. Bagaimana pola menu makanan pasien?
 Apakah pasien memiliki riwayat demam, badan kekuning-kuningan atau urin dengan warna
gelap? Apakah keluhan-keluhan tersebut hilang timbul atau menetap? Dan sejak kapan keluhan
berlangsung?
 Apakah ada keluhan gatal juga?
 Apakah pasien menggunakan pil kontrasepsi? Ataukah pernah mengalami rawatan di rumah
sakit dengan pemberian nutrisi parenteral total berkepanjangan? Apakah pasien sedang dalam
keadaan hamil?

TANDA DAN GEJALA AKUT TANDA DAN GEJALA KRONIS

TANDA: TANDA:

1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme 1. Biasanya tak tampak gambaran pada
abdomen
2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba
2. Kadang terdapat nyeri di kwadran kanan atas
pada kwadran kanan atas

3. Kandung empedu membesar dan nyeri

4. Ikterus ringan

GEJALA: GEJALA:

1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang 1.Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat abdomen
bagian atas (mid epigastrium), Sifat : terpusat di
menetap epigastriurn menyebar ke arah skapula kanan

2. Mual dan muntah 2. Nausea dan muntah

3. Febris (>38,5°C) 3. Intoleransi dengan makanan berlemak

4. Flatulensi

5. Eruktasi (bersendawa)

Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan batu empedu tanpa gejala tidak memiliki temuan abnormal pada pemeriksaan fisik.

Membedakan kolik empedu tanpa komplikasi dari kolesistitis akut atau komplikasi lain adalah hal penting. Pada pemeriksaan keduanya sering hadir

dengan gejala yang sama, dan pemerikasaan fisik dapat membantu untuk membedakan keduanya.
Koledokolitiasis dengan obstruksi dari saluran empedu menghasilkan ikterus kulit dan scleral yang berkembang selama beberapa jam sampai hari sehingga

bilirubin terakumulasi.

Pemeriksaan fisik batu kandung empedu

Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops kandung

empedu, epidema kandung empedu dan pankreatitis.

Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak anatomik kandung empedu. Tanda murphy positif, apabila nyeri

tekan bertambah sewaktu penderita menarik napas karena kantung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti

menarik

napas.

Pada kolesistitis akut radang kandung empedu dengan iritasi peritoneal yang dihasilkan akan menyebabkan rasa sakit dengan terlokalisasi (Jelas) di

kuadran kanan atas, biasanya dengan berulang dan menetap. Takikardia dan diaforesis dapat hadir sebagai konsekuensi dari rasa sakit. Ini hams diatasi

dengan penanganan nyeri yang tepat.

Adanya demam, takikardi persisten, hipotensi, atau ikterus memerlukan pencarian untuk komplikasi kolelitiasis, termasuk kolesistitis, kolangitis,

pankreatitis, atau penyebab sistemik lainnya

Dalam kasus yang parah, kolesistitis akut, kolangitis, atau pankreatitis akut, suara usus sering mangkir atau hypoactive. Karena kandung empedu tidak

meradang dalam kolik empedu, rasa sakit hebat yang lokal dan viseral;

Pemeriksaan fisik batu saluran empedu

Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau tanda pada fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Patut diketahui bahwa

bila kadar bilirubin darah kurang 3 mg/dl gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan empedu saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul ikterus

klinik.

Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi, akan ditemukan gejala kilnis yang sesuai dengan ringan beratnya kolangitis

tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang, biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias charchot yaitu demam dan

menggigil, nyeri di daerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik akan timbul gejala Pentade dan

Reynold, berupa gejala trias charchot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma. Pada trias Charcot nyeri kuadran

kanan atas dengan penyakit kuning dan demam adalah karakteristik primer.

Kalau ditemukan riwayat kolangitis yang hilang timbul, harus dicurigai kemungkinan hepatolitiasis.

Pankreatitis akut batu empedu sering ditandai dengan nyeri epigastrium. Pada kasus yang parah, perdarahan retroperitoneal dapat menghasilkan

ekimostasis dari panggul dan ekimostasis periumbilical (tanda Cullen dan tanda Grey-Tumer).
Apabila ditemukan kelainan ini, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung

empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis

kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang

tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. (Heuman, 2011).

Contoh hasil pemeriksaan penunjang yang menyatakan diagnosis kolelitiasis positif

 Darah lengkap: Leukositosis sedang (akut).


 Bilirubin dan amilase serum: Meningkat.
 Enzim hati serum-AST (SGOT): ALT (SGPT); LDH; agak meningkat alkaline fosfat dan 5-nukletiase;
Di tandai obstruksi bilier.
 Kadar protrombin: Menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbsi
vitamin K.
 Ultrasound: Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan/atau ductus empedu (sering
merupakan prosedur diagnostik awal).
 Kolangeopankreatografi retrograd endeskopik: Memperlihatkan percabangan bilier dengan
kanualasi duktus koledukus melalui deudenum.
 Kolangiografi transhepatik perkutaneus: Pembedaan gambaran dengan flouroskopi anatara
penyakit kantung empedu dan kanker pankreas ( bila ikterik ada ).
 Kolesistogram (untuk kolositisis kronis): Menyatakan batu pada sistem empedu. Catatan:
kontraindikasi pada kolesititis karena pasien terlalu lemah untuk menelan zat lewat mulut.
 Skan CT: Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu, dan membedakan
anatara ikterik obstruksi/non obstruksi.
 Skan hati (dengan zat radioaktif): Menunjukan obstruksi percabangan bilier.
 Foto rontgen abdomen (multiposisi): Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu empedu,
kalsifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
 Foto rontgen dada: Menunjukan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri.

Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Batu Empedu (kolelitiasis)


Pemeriksaan laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat

terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi yaitu apabila terdapatnya batu pada duktus sistikus menyebabkan inflamasi dan fibrosis disekitar duktus

koledokus sehingga menekan duktus koledokus akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum. (Beltran, 2012). Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin

disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali

terjadi serangan akut. (Doherty, 2010).

Apabila ada sindroma Mirizzi akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu, dinding yang edema di daerah

kantong (pouch) Hartmann dan penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di

dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali ada serangan akut. Amilase serum

dapat meningkat sedikit (kurang dari 3 kali normal) pada kolesistitis akut dan kolangitis. Peningkatan amilase yang nyata lebih banyak mendukung ke arah

pankreatitis akut.

Peningkatan "kimia faal hati"-AST (Aspartat transaminase) dan ALT (Alanin transaminase), fosfatase alkali, GGT (Gama Glutamil Transferase), bilirubin total

- dapat meningkat pada penyakit saluran empedu . Walaupun tidak spesifik, hal ini mengarahkan perhatian kita pada cabang biliar, terutama jika fosfatase

alkali, 5 nukleotidase (5-NT) dan GGT meningkat sangat tinggi menandai obstruksi bilier.

Pada pasien dengan komplikasi batu empedu dicurigai, tes darah harus menyertakan sebuah

sel darah lengkap (CBC) menghitung dengan diferensial, panel fungsi hati, dan amilase dan lipase.

Kolesistitis akut berhubungan dengan leukositosis polymorphonuclear. Namun, sepertiga dari pasien dengan kolesistitis, leukositosis mungkin tidak

akan terwujud.

Pada kasus yang parah, peningkatan ringan enzim hati dapat disebabkan oleh luka peradangan hati yang berdekatan. Koledokolitiasis dengan obstruksi

saluran empedu akut umum (CBD/ductus koledokus) awalnya menghasilkan peningkatan akut di tingkat transaminase hati (alanin dan aspartate

aminotransferases), diikuti dalam beberapa jam dengan kadar bilirubin meningkat. Semakin tinggi tingkat bilirubin, semakin besar nilai prediktif untuk

obstruksi CBD. batu CBD hadir pada sekitar 60% dari pas1en dengan tingkat bilirubin serum lebih dari 3 mg / dL.

Jika obstruksi berlanjut, penurunan progresif di tingkat transaminase dengan meningkatnya alkali fosfatase dan kadar bilirubin dapat dicatat selama

beberapa hari. Prothrombin time mungkin meningkat pada pasien dengan obstruksi CBD berkepanjangan. Akibat sekunder adalah deplesi vitamin K

(penyerapan yang bergantung pada empedu) karena obstruksi penuh. Pada duktus pankreas karena batu di ampula Vateri bisa disertai dengan peningkatan

dalam serum lipase dan amilase tingkat.

Pengujian berulang berguna dalam mengevaluasi pasien dengan komplikasi batu empedu. Peningkatan tingkat bilirubin dan enzim hati mungkin

menunjukkan bagian spontan dari sebuah batu menghalangi. Sebaliknya, kenaikan tingkat bilirubin dan transaminase dengan leukositosis dalam menghadapi

terapi antibiotik dapat menunjukkan peningkatan gejala dengan kebutuhan untuk intervensi mendesak. basil kultur darah positif.
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat - Oksalat Transaminase ) dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat - Piruvat

Transaminase ) merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi

bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu. (Doherty, 2010).

Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus

meningkatkan sintesis enzym ini.

Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama

dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin.

Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat

diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral. (Doherty, 2010).

Tes laboratorium:

1. lekosit: 12.000 - 15.000 /iu (Normal: 5000 - 10.000 iu).


2. Bilirubin : meningkat ringan
3. Amilase serum meningkat. (Normal: 17 - 115 unit/l00ml).
4. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena obstruksi sehingga
menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapiler : 2 - 6 rnenit).
5. USG : menunjukkan adanya bendungan /hambatan , hal ini karena adanya batu empedu dan
distensi saluran empedu ( frekuensi sesuai dengan prosedur diagnostik)
6. Endoscopic Retrograde choledocho pancreaticography (ERCP), bertujuan untuk melihat kandung
empedu, tiga cabang saluran empedu melalui ductus duodenum.
7. PTC (percutaneous transhepatic cholangiography): Pemberian cairan kontras untuk menentukan
adanya batu dan cairan pankreas.
8. Cholecystogram (untuk Cholesistitis kronik) : menunjukkan adanya batu di sistim billiar.
9. CT Scan : menunjukkan gellbalder pada cysti, dilatasi pada saluran empedu, obstruksi/obstruksi
joundice.
10. Foto Abdomen : Gambaran radiopaque (perkapuran ) galstones, pengapuran pada saluran atau
pembesaran pada gallblader.

Bila dikhususkan pemeriksaan darah dapat dirangkum :

 Kenaikan serum kolesterol


 Kenaikan fosfolipid
 Penurunan ester kolesterol
 Kenaikan protrombin serum time
 Kenaikan bilirubin total, transaminase
 Penurunan urobilirubin
 Peningkatan sel darah putih
 Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di duktus utama

Sebelum dikembangkannya pencitraan mutakhir seperti ultrasound (US), sejumlah pasien dengan penyakit batu empedu sering salah didiagnosis sebagai

gastritis atau hepatitis berulang seperti juga didapatkan sebanyak 60% pada penelitian di Jakarta yang mencakup 74 pasien dengan batu saluran empedu.

Dewasa ini Ultra sound merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu kandung empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95%

sedangkan untuk deteksi batu saluran empedu sensitivitasnya relatif lebih rendah.

Pada satu studi di Jakarta yang melibatkan 325 pasien dengan dugaan penyakit bilier, nilai diagnostik ultrasound dalam mendiagnosis batu saluran

empedu telah dibandingkan dengan endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) sebagai acuan metode standar kolangiografi direk. Secara

keseluruhan akurasi ultrasound untuk batu saluran empedu adalah sebesar 77%.

ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90%, spesifisitas 98%, dan akurasi 96%, tetapi prosedur ini invasif

dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal.

Batu Pigmen Hitam atau campuran batu empedu mungkin mengandung kalsium yang cukup untuk tampil radiopak di film biasa. Temuan udara dalam

saluran empedu pada foto-foto rontgen polos mungkin menunjukkan perkembangan fistula koledokoenterik atau gejala primer dengan organisme

pembentuk gas. Pengapuran di dinding kandung empedu (disebut kantong empedu porselen) menandakan kolesistitis kronis parah.

Peran utama foto rontgen polos dalam mengevaluasi pasien dengan penyakit batu empedu yang diduga adalah untuk menyingkirkan penyebab lain dari

sakit perut akut.

Pemeriksaan Radiologis

Foto polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang

kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu

yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam

usus besar, di fleksura hepatica (flexura hepatica). (Heuman, 2011).

Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus biliaris. Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi) dan dapat

diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos. Mungkin pula penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang mirip bahan kontras.
Kadang-kadang dinding kandung empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut porcelain gallbladder, yang penting sebab dari hubungan kelainan ini dengan

karsinoma kandung empedu.

Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk segitiga (mercedes-benz sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara tidak

langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau duktus choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke dalam traktus

biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau kolon. Gas kadang-kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi cholangitis disebabkan oleh

organisme pembentuk gas. Gas di dalam kandung empedu dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah manifestasi dari infeksi serupa dan biasanya

timbul pada diabetes, sekunder terhadap kemacetan dari arteri kistik disebabkan diabetic angiopathy.

Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan secara tidak langsung adanya usus nekrosis tetapi itu dapat terjadi hanya dengan

kolesistitis berat.
gambar hasil foto polos (rontgen) pada pasien kolelitiasis, tampak batu multiple

Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu

intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh

peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.
Kemampuan untuk menentukan ukuran duktus biliaris dan untuk mengevaluasi parenkim hepar dan pankreas sangat menguntungkan sekali. Seorang

ultrasonografer yang mempunyai skill diperlukan untuk mendapatkan hasil yang optimum. Ultrasonografer memperlihatkan patologi anatomi dari pada

patophysiology, kolesistografi oral memperlihatkan kedua-duanya. Sebab banyak orang yang mempunyai batu kandung empedu asimptomatik. Ada suatu

derajat tertentu agar batu tampak pada ultrasonografi kandung empedu adalah pasien mengeluh. Ultrasonografi kandung empedu dapat mendeteksi batu

kecil dari kolesistografioral. Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain dari batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma

kandung empedu.

Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. (Heuman, 2011).

Penggunaan USG dalam mendeteksi batu di saluran empedu sensitivitasnya sampai 98 % dan spesifitas 97,7 %. Keuntungan lain dari pemeriksaan cara ini

adalah mudah dikerjakan, aman karena tidak invasive dan tidak perlu persiapan khusus. Ditambah pula bahwa USG dapat dilakukan pada penderita yang

sakit berat, alergi kontras, wanita hamil dan tidak tergantung pada keadaan faal hati. Ditinjau dari berbagai segi keuntungannya, Ugandi menganjurkan agar

pemeriksaan USG dipakai sebagai langkah pemeriksaan awal.

Ultrasonografi dapat memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai :

 Memastikan adanya batu empedu


 Menunjukkan berapa batu empedu yang ada dan juga ukurannya.
 Melihat lokasi dari batu empedu tesebut. Apakah di dalam kandung empedu atau di
 dalam duktus.

Ada 2 jenis pemeriksaan menggunakan ultrasonografi, yaitu :

1. Ultrasonografi transabdominal. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, murah dan tidak
membahayakan pasien. Hampir sekitar 97% batu empedu dapat didiagnosis dengan
ultrasonografi transabdominal, namun kurang baik dalam mengidentifikasi batu empedu yang
berlokasi di dalam duktus dan hanya dapat mengidentifikasi batu empedu dengan ukuran lebih
besar dari 45 mm.
2. Ultrasonografi endoskopi. Ultrasonografi endoskopik dapat memberikan gambaran yang lebih
baik daripada ultrasonografi transabdominal. Karena sifatnya yang lebih invasif dan juga dapat
mendeteksi batu empedu yang berlokasi di duktus biliaris lebih baik. Kekurangannya adalah
mahal dari segi biaya dan banyak menimbulkan risiko bagi pasien.
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat

dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi inisasi.

Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada dalam keadan

distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Dengan pemeriksaan ini bisa ditentukan lokasi dari batu

tersebut, ada tidaknya radang akut, besar batu, jumlah batu, ukuran kandung empedu, tebal dinding, ukuran CBD (Common Bile Duct) dan jika ada batu

intraduktal. Pemeriksan USG juga dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.

Gambar Kolelitiasis pada hasil USG, tampak batu multiple

Ultrasonografi adalah prosedur pilihan pada kantong empedu yang dicurigai atau penyakit empedu, dan juga tes yang paling sensitif, spesifik, noninvasive,

dan murah untuk mendeteksi batu empedu. Selain itu, sederhana, cepat, dan aman pada kehamilan, dan tidak mengekspos pasien terhadap radiasi

yang berbahaya atau kontras intravena. Keuntungan tambahan adalah bahwa hal itu dapat dilakukan oleh praktisi terampil di samping tempat tidur.

American College of Radiology (ACR) dalam panduan kriteria kelayakan nyeri kuadran kanan atas, yang diterbitkan pada tahun 2010, mendukung kesimpulan

ini.

Sensitivitas adalah variabel dan tergantung pada kemampuan operator, tetapi pada umumnya, sangat sensitif dan spesifik untuk batu empedu yang lebih

besar dari 2 mm. Hal ini kurang jadi untuk mikrolithiasis atau lumpur empedu.

USG sangat berguna untuk mendiagnosis kolesistitis akut tanpa komplikasi. Fitur sonografi dari kolesistitis akut termasuk penebalan dinding kandung

empedu (> 5 mm), cairan pericholecystic, distensi kandung empedu (> 5 cm), dan tanda Murphy sonografi. Kehadiran beberapa kriteria diagnostik yang

meningkatkan akurasi. Batu empedu muncul sebagai fokus echogenic dalam kantong empedu.

Mereka bergerak bebas dengan perubahan posisi dan melemparkan sebuah bayangan akustik. (Lihat gambar di bawah).
Gambar Kolesistitis dengan batu kecil di leher kandung empedu pada USG.

Ultrasonografi juga sangat membantu dalam kasus-kasus yang dicurigai kolesistitis akut dalam upaya untuk mengeluarkan abses hati dan proses

parenkim hati lainnya.

Contoh lain penampakan kolelitiasis pada hasil USG


Ketika kantong empedu benar-benar penuh dengan batu empedu, batu mungkin tidak terlihat pada USG. Namun, jarak dekat garis Echogenic ganda (salah

satu dari dinding kandung empedu dan satu dari batu) dengan bayangan akustik mungkin jelas.

Duktus biliarliaris komunis (CBD). Batu yang tidak terlihat sering pada ultrasonografi transabdominal (sensitivitas, 15-40%). Deteksi batu CBD ini terhambat

oleh adanya gas dalam refleksi, duodenum mungkin dan bias berkas suara dengan lengkungan saluran, dan lokasi saluran luar titik fokus optimal

transduser.

Di sisi lain, dilatasi dari CBD pada gambar ultrasonografi merupakan indikator tidak langsung dari obstruksi CBD. CBD dilatasi diidentifikasi secara

akurat, dengan akurasi hingga 90%. Namun, temuan ini mungkin tidak ada jika halangan adalah onset baru-baru ini. Kegunaan temuan ultrasonografi sebagai

prediktor batu CBD adalah di terbaik 15-20% .

USG Endoskopi

USG Endoskopi (EUS) juga merupakan teknik yang akurat dan relatif noninvasif untuk mengidentifikasi batu di saluran empedu distal umum. Sensitivitas

dan spesifisitas deteksi batu CBD dilaporkan dalam kisaran 85-100%.

EUS adalah suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen gastroskop dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar. Dibandingkan

dengan ultrasound transabdominal, EUS akan memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya ditaruh di dekat organ yang

diperiksa.

Peran EUS untuk mendiagnosis batu saluran empedu pertama kali dilaporkan tahun 1992. Hasil penelitian ini dan studi berikutnya memperlihatkan

bahwa EUS mempunyai akurasi yang sama dibandingkan ERCP dalam mendiagnosis dan menyingkirkan koledokolitiasis.

Pada satu studi, sensitivitas EUS dalam mendeteksi batu saluran empedu adalah sebesar 97% dibandingkan dengan ultrsound yang hanya sebesar 25%,

dan CT 75%. Selanjutnya EUS mempunyai nilai prediktif negatif sebesar 97% dibandingkan dengan sebesar 56% untuk US dan sebesar 75% untuk CT. Dalam

studi ini EUS juga lebih sensitif dibandingkan dengan US dan CT dalam mendiagnosis batu saluran empedu bila saluran tidak melebar. Selanjutnya EUS lebih

sensitif dibandingkan US transabdominal atau CT untuk batu dengan diameter kurang dari 1 cm. Beberapa studi memperlihatkan EUS dan ERCP tidak

menunjukan perbedaan dalam hal nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif negatif maupun positif. Secara keseluruhan, akurasi EUS dan ERCP untuk batu

saluran empedu juga tidak memperlihatkan perbedaan bermakna.

Walaupun demikian, angka kejadian komplikasi ERCP lebih tinggi bermakna dibandingkan dengan EUS. Kesulitan pemeriksaan EUS dapat terjadi bila ada

striktur pada saluran cerna bagian atas atau pasca reseksi gaster. Sayangnya teknik pencitraan ini belum banyak diikuti oleh praktisi kedokteran di Indonesia

sebab hal ini berhubungan dengan masalah latihan, pengalaman, dan tersedia instrumen EUS.

Laparoskopi USG

Laparoskopi USG telah menunjukkan potensi yang menjanjikan sebagai metode utama untuk pencitraan saluran empedu selama kolesistektomi

laparoskopi. Yao et al. mampu mengevaluasi saluran empedu dengan USG laparoskopi selama kolesistektomi laparoskopi di 112 dari 115 pasien (97,4%)

dengan ditemukannya kolelitiasis.


Pada pasien yang sebelum operasi dikategorikan sebagai memiliki probabilitas rendah batu saluran empedu, angka kejadian batu yang ditemukan adalah

7%, dalam orang-orang yang sebelum operasi dinilai memiliki probabilitas menengah dari batu tersebut, angka kejadian adalah 36,4%; dan pada mereka yang

dinilai dengan probabilitas tertinggi batu saluran empedu, angka kejadian adalah 78,9%.

Para peneliti menyarankan bahwa dengan meningkatkan pengalaman dengan USG laparoskopi, metode ini bisa menjadi rutin untuk mengevaluasi

saluran empedu selama kolesistektomi laparoskopi. Selain itu, Yao dkk menyarankan evaluasi pra operasi agresif wajib saluran empedu umum pada mereka

yang diduga memiliki resiko tinggi atau menengah koledokolitiasis.

Kolesistografi

Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu dan banyak diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic compound diberikan

oral yang diserap didalam usus kecil, diekskresi oleh hati dan dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan untuk menemukan batu kandung

empedu yang tidak mengapur sebelum operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal lain dari kandung empedu.

Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi oral. Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang mengandung

iodine 50%). Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah membuat suatu pengaruh yang hebat pada diagnosa traktus biliaris. Ini telah menggantikan

kolesistografi oral sebagai cara imaging utama karena ini menawarkan bermacam-macam keuntungan antara lain tidak mempergunakan sinar x, tidak perlu

menelan kontras.

Untuk penderita tertentu, kolesistografi (Teknik radiografi) dengan kontras cukup baik dilakukan karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat

untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar

bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan

kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. (Heuman, 2011). Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari

patologi fisiologi dari sistem biliaris. Foto dengan pemberian kontras baik oral maupun intravena diharapkan batu yang tembus sinar akan terlihat. Jika

kandung empedu tidak tervisualisasikan sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang dengan dosis ganda zat kontras. Goldberg dan kawan kawan menyatakan

bahwa reliabilitas pemeriksaan kolesistografi oral dalam mengindentifikasikan batu kandung empedu kurang lebih 75 %. Bila kadar bilirubin serum lebih dari

3 mg% kolesistografi tidak dikerjakan karena zat kontras tidak diekskresi ke saluran empedu. Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil

USG meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan

pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena hepar tidak dapat

menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.(Smeltzer, 2002)


Contoh hasil kolesistografi pada kolelitiasis

Kolangiografi transhepatik perkutan (PTC)

Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat

dimasuki oleh jarum baru yang "kecil sekali". Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan kontraindikasi. (Heuman, 2011).

Kolangiografi transhepatic perkutan (PTC) mungkin merupakan modalitas pilihan pada pasien yang sulit dilakukan ERCP (misalnya, mereka dengan

operasi lambung sebelumnya atau batu yang menghalangi distal CBD), tidak adanya endoscopist yang berpengalaman, dan pada pasien dengan penyakit

batu luas intrahepatik dan cholangiohepatitis. Sebuah jarum panjang dimasukan secara perkutan dan secara transhepatik mencapai saluran intrahepatik,

dan kolangiografi dilakukan. Sebuah kateter dapat ditempatkan di saluran empedu atas dengan sebuah kawat pemandu. Koagulopati yang belum dikoreksi

merupakan kontraindikasi untuk PTC, dan ukuran normal dari saluran intrahepatik membuat prosedur yang sulit. Antibiotik profilaksis dianjurkan untuk

mengurangi risiko efek samping terinfeksi.


Gambaran prosedur tindakan percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) / Kolangiografi transhepatic perkutan

Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP : Endoscopic retrograde Cholangio-Pancreatograft)

Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi

endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus

serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan memungkinkan

visualisassi serta evaluasi percabangan bilier. (Smeltzer, 2002)

Endoscopiic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) merupakan pencitraan radiografi dari saluran-saluran empedu. Dalam prosedur ini, endoskop

dilewatkan ke dalam duodenum dan papilla Vateri melalui kanulasi. Radiopak cair kontras disuntikkan ke

dalam saluran empedu, memberikan kontras yang sangat baik pada gambar radiografi. Batu di empedu muncul sebagai cacat pada saluran. Saat ini, ERCP

biasanya dilakukan bersamaan dengan sfingterotomi retrograde endoskopi dan ekstraksi batu empedu. Indikasi utama dari ERCP adalah pada ikterus

obstruktif misalnya karena batu empedu.

Pada prosedur ini sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam

duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk

mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus
yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah

diangkat.

ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstrahepatik (panah pendek) dan di duktus intrahepatik (panah panjang)

Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) memberi injeksi langsung duktus koledokus dengan bahan kontras. Ini nilai spesial dalam mendeteksi batu

di dalam duktus koledokus dan radang serta kelainan neoplastik duktus. Papilotomi, biopsi, mencari keterangan batu dari duktus biliaris, striktura dilatasi dan

penempatan nasobiliari stent untuk membebaskan obstruksi semua mungkin dengan ERCP, sedangkan “Percutaneus Transhepatic Cholangiography”

dilakukan dengan penyuntikan bahan kontras dibawah fluroscopy melalui jarum sempit, gauge berada di dalam parenkim hati.ini penting, sama alasannya

dengan ERC dan keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage empedu, bila perlu biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan

cairan dan menempatkan eksternal dan internal drainage stents dpat dikerjakan secara percutan.

Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat

teramati. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma
yang menembus duodenum dan sebagainya) Teknik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis

merupakan komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi

transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi yang baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk

jenis batu duktus koledokus yang tertinggal). (Heuman, 2011).

Skintigrafi

Skintigrafi dengan Technetium-99m asam hepatoiminodiacetic (HIDA) dapat bermanfaat dalam diagnosis diferensial nyeri perut akut. Scintigraphy

memberikan sedikit informasi tentang non-obstructing kolelitiasis dan tidak dapat mendeteksi patologis lain, tetapi sangat akurat untuk diagnosis

penyumbatan saluran kistik. HIDA biasanya diambil oleh hati dan dikeluarkan ke empedu, di mana ia mengisi kantong empedu dan dapat dideteksi dengan

kamera gamma. Injeksi intravena dari technitium labeled imminodiacetic acid compounds memberikan imaging segera dari kandung empedu dan

radioaktivitas dapat diikuti ke dalam duodenum.

Koleskintigrafi merupakan salah satu prosedur yang dapat mendeteksi obstruksi duktus biliaris sebelum dilatasi duktus timbul dan dapat dilihat dengan

ultrasoundgrafi. Berguna untuk mendeteksi atresia biliaris pada neonatus dan kebocoran empedu oleh berbagai penyebab.

Kegagalan HIDA untuk mengisi kantong empedu, sementara mengalir bebas ke dalam duodenum, merupakan indikasi penyumbatan saluran kistik atau

duktus sistikus. Sebuah kantong empedu nonvisualizing pada HIDA scan pada pasien dengan nyeri perut mendukung diagnosis kolesistitis akut. Hasil

positif palsu didapatkan pada pasien puasa berkepanjangan dan kolesistitis kronik.

CT scan

Computed tomography (CT) scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan massa retroperitoneal (misalnya, massa

pankreatik). Bila hasil ultrasound masih meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan. (Heuman, 2011). Keunggulan Tomografi Komputer adalah dengan

memperoleh potongan obyek gambar suara secara menyeluruh tanpa tumpang tindih dengan organ lain. Karena mahalnya biaya pemeriksaan, maka alat ini

bukan merupakan pilihan utama.

CT scanning lebih mahal dan kurang sensitif dibandingkan ultrasonografi untuk mendeteksi batu kandung empedu. CT tidak begitu bernilai dalam

mengevaluasi kandung empedu dan sistem ductus bila dibandingkan metoda yang lain, tetapi berguna pada studi neoplasma parenkim hati. Dalam

penentuan gas di dalam vena porta juga lebih sensitif dari pada foto polos. CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dan menentukan komposisi batu. CT scan

sering digunakan dalam hasil pemeriksaan nyeri perut, karena menyediakan gambar yang sangat baik dari semua jeroan perut. CT scan lebih unggul daripada

ultrasonografi untuk demonstrasi batu empedu pada saluran empedu distal umum. Batu empedu sering ditemukan secara kebetulan pada CT. Temuan pada

CT untuk kolesistitis akut mirip dengan yang ditemukan di sonogram. Meskipun tidak studi awal pilihan dalam kolik empedu, CT dapat digunakan dalam

tantangan diagnostik atau untuk lebih ciri komplikasi penyakit kandung empedu. CT sangat berguna untuk mendeteksi batu intrahepatik atau primary

piogenik yang berulang.


CT-Scan abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple

Magnetic Resonance Imaging / Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)

Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk

mengamati duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.
Contoh Hasil MRCP pada kolelitiasis

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan Kolangiopankreatografi resonansi magnetic/Magnetic Resonance CholeoPancreatography (MRCP) telah

muncul sebagai studi imaging (pencitraan) yang sangat baik untuk identifikasi noninvasif batu empedu di mana saja di saluran empedu, termasuk saluran

empedu (lihat gambar di bawah). Karena biaya dan kebutuhan peralatan canggih dan perangkat lunak yang cukup tinggi, biasanya dicadangkan untuk kasus-

kasus di mana koledokolitiasis dicurigai. Pedoman The American College of Radiology (ACR) merekomendasikan MRI sebagai studi pencitraan sekunder jika

gambar USG tidak mengakibatkan diagnosis jelas kolesistitis akut atau batu empedu.
Gambaran MRI, tampak sludge di kantong empedu.

Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kolelitiasis (batu empedu) :

a. Asimptomatik

Dua pertiga orang dengan batu empedu tidak memberikan keluhan dan jarang mengalami komplikasi. Dari studi didapatkan bahwa 10-20% orang yang

asimptomatik mengalami keluhan dalam perjalanan hidupnya, umumnya berupa nyeri bilier. Gejala yang berat seperti kolesistitis akut terjadi rata-rata 1-3%

setiap tahunnya serta kematian akibat komplikasi terjadi pada 0,5-1%, menunjukkan bahwa perjalanan penderita batu empedu yang asimptomatik umumnya

benign.

b. Nyeri bilier dan kolesistitis kronis

Keluhan tersering akibat batu empedu adalah nyeri bilier. Nyeri dirasakan tiba-tiba pada epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen dan dapat

menjalar ke punggung atau sekitar ujung skapula. Pengunaan istilah kolik bilier kurang tepat untuk menggambarkan nyeri ini karena nyeri biasanya persisten,

mulai dari 15 menit hingga 24 jam, dan menghilang secara spontan atau dengan pemberian analgetik. Keluhan sering disertai oleh mual dan muntah, berasal

dari rangsangan visera akibat distensi kandung empedu karena obstruksi atau lewatnya batu melalui duktus sistikus.
diagram perjalanan sifat dan intensitas nyeri kolik bilier berdasarkan waktu dan lokasi batu

Diagnosis banding nyeri epigastrium akut yang hebat :

1. Kolik bilier
2. Ulkus peptikum
3. Spasme esofagus
4. Infark miokard
5. Pankreatitis akut

c. Kolesistitis akut
Komplikasi tersering yang dialami penderita batu empedu yang membutuhkan intervensi bedah adalah kolesistitis akut. Hal ini terjadi akibat impaksi batu

pada duktus sistikus atau pada infundibulum kandung empedu, sehingga menimbulkan obstruksi. Kandung empedu menjadi distensi dan terjadi proses

inflamasi akut. Berbeda dengan nyeri bilier yang berlangsung beberapa jam, nyeri yang disebabkan oleh kolesistitis akut berlangsung hingga berhari-hari.

Mulanya, nyeri viseral dan tumpul timbul, namun setelah proses inflamasi mencapai transmural, peritoteum viseral dan parietal yang berdekatan mulai

teriritasi. Nyeri dirasakan terlokalisasi pada kuadran kanan atas, disertai defans muskuler dan nyeri lepas. Tanda klinis yang klasik adalah Murphy's sign

(berhentinya inspirasi bila dilakukan palpasi pada kuadran kanan atas perut). Keluhan penyerta berupa mual dan muntah, anoreksia, dan demam yang tidak

tinggi. Pada beberapa kasus, kita dapat meraba adanya massa pada perut kanan atas, sebagai upaya tubuh untuk mengatasi proses inflamasi yang terjadi

dengan melakukan walling off dan kompartemenisasi kandung empedu oleh oragn sekitar, seperti omentum mayor, duodenum, dan kolon kanan.

Pemeriksaan laboratorium memberikan gambaran yang tidak spesifik, dapat berupa leukositosis ringan dan peningkatan sedikit tes fungsi hati. Konfirmasi

diagnosis didapatkan dari USG yang memberikan gambaran penebalan dinding kandung empedu dan cairan perikolesistik yang patognomonik. Pemeriksa

USG juga dapat menemukan adanya tanda Murphy dengan menekan transduser pada daerah kanan atas (sonographic Murphy's sign). Gambaran yang berat

dari kolesistitis berupa empiema kandung empedu (terdapatnya pus dan debris pada kandung empedu) dan kolesistitis emfisematosa (nekrosis dan udara di

dalam dinding kandung empedu). Tampilan ini terutama banyak ditemukan pada penderita diabetes melitus.

d. Koledokolitiasis

Batu pada CBD memberikan berbagai gejala, meliputi ikterus, kolangitis, pankreatitis akut, dan sepsis. Koledokolitiasis dapat berasal dari batu kandung

empedu yang bermigrasi ke CBD melalui duktus sistikus, batu yang tertinggal setelah operasi traktus biliaris (retain stones), atau batu yang terbentuk secara

primer pada duktus biler, baik intrahepatik maupun ekstrahepatik. Insidensi kolelitiasis tidak diketahui secara pasti, namun didapatkan angka hingga 15%

dari pasien yang menjalani operasi batu kandung empedu disertai dengan batu pada CBD. Batu pada saluran empedu juga banyak ditemukan pada striktur

biler benigna, sclerosing cholangitis, dan kolangitis piogenik yang rekuren.

Gambaran klinis dan beberapa pemeriksaan laboratorium biokimia dapat mengarahkan kecurigaan adanya kolelitiasis, namun konfirmasi diagnostik

didapatkan dari pemeriksaan radiologi, termasuk kolangiografi. Kolangiografi sering pula dilakukan intraoperatif pada saat operasi kolelitiasis dilakukan,

dengan indikasi terabanya batu pada saluran empedu, CDB yang dilatasi, peningkatan tes fungsi hepar, dan adanya riwayat ikterus, kolangitis, serta

pankreatitis.

e. Kolangitis

Secara klinis, tanda klasik dari kolangitis adalah trios Charcot, yaitu nyeri perut, demam, dan ikterus. Penyebab utama kolangitis adalah batu yang

mengobstruksi bagian distal CBD. Nyeri perut disebabkan oleh peningkatan tekanan intraduktal dan distensi kandung empedu, sedangkan ikterus disebabkan

oleh obtruksi kedua lobus hepar. Jika hanya sebagian dari hepar yang mengalami obstruksi, lobus hepar yang lain masih bisa

mengkonjugasikan dan mensekresikan empedu. Demam disebabkan oleh respons sistemik terhadap infeksi, karena 50-70% penderita batu empedu

simptomatik mengandung bakteri.


Kombinasi adanya obstruksi dan bakteri dalam CBD, pada tekanan intrabilier diatas 15 cmH20 akan menyebabkan bakteri masuk kedalam vena hepatika

dan sistem limfatik perihepatik dengan konsekwensi terjadi bakteriemi sistemik. Normal tekanan bilier adalah berkisar 7 sampai 14 cm H20.

Kolangitis dapat mengancam jiwa dan berlangsung cepat. Keadaan ini terjadi akibat refluks bakteri dari lumen traktus bilier yang melewati membran

kanalikuli dan kemudian beredar ke dalam sistem sirkulasi sistemik.

Reynolds dan Dragan menerangkan lebih jauh tentang trios klasik kolangitis yang disertai syok septic dan penurunan kesadaran, yang kemudian dikenan

dengan "Reynolds' pentad".

f. Pankreatitis akut

Pankreatitis akut terjadi pada 5% pasien batu empedu dan lebih sering dijumpai pada batu kecil multipel, duktus sistikus yang lebar, dan adanya hubungan

antara CBD dan duktus pankreatikus. Batu empedu berukuran kecil yang melewati CBD dan papilla kadang-kadang mengobstruksi duktus pankreatikus atau

memungkinkan terjadinya refluks cairan duodenum atau empedu ke dalam duktus pankreatikus sehingga menyebabkan terjadinya pankreatitis akut.

g. Gallstone ileus

Batu empedu dapat menimbulkan berbagai gejala, termasuk perubahan fungsi dan motilitas usus. Gallstone ileus memberikan gejala obstruksi usus

halus. Perjalanan terjadinya gallstone ileus dimulai dari terbentuknya fistula akibat upaya tubuh untuk melokalisasi kolesistitis dengan melibatkan organ-

organ yang berdekatan. Fistula kolesistoduodenal merupakan fistula yang paling sering terjadi, meski fistula yang melibatkan kolon, lambung, atau usus

halus segmen distal dapat pula terjadi. Batu empedu yang dapat menyebabkan usus biasanya berukuran besar, lebih dari 2 cm. Ketika batu tersebut memasuki

traktus intestinal melalui fistula, batu tersebut dapat menyangkut pada bagian tersempit dari usus, yaitu ileum terminal.

lieus akibat batu empedu harus dicurigai pada penderita yang menunjukkan gejala obstruksi tanpa adanya hernia inkarserata atau riwayat operasi

sebelumnya.

h. Kolesistitis akalkulus

Keadaan ini jarang dijumpai, namun dapat mengancam jiwa. Berbeda dengan kolsesistitis akut, kolesistitis akalkulus lebih disebabkan oleh iskemia

kandung empedu dari pada akibat obstruksi duktus sistikus. Keadaan ini biasanya dijumpai pada pasien dengan keadaan sakit yang berat, sepsis, puasa yang

lama, dan dirawat di ruang perawatan intensif. Pada kondisi-kondisi tersebur, stasis bilier, aktivasi faktor XII, endotoksin, dan distensi kandung empedu

turut berperan mengurangi perfusi dan merupakan faktor predisposisi terjadinya keadaan yang ireversibel. Kejadian gangren, empiema,

dan perforasi lebih sering dijumpai pada kolesistitis akalkulus, dengan insidensi mencapai 75% dan angka kematian hingga 40%.

Diagnosis kelainan ini cukup sulit mengingat umumnya penderita dalam sedasi dan tidak komunikatif.

i. Kolangitis piogenik rekuren


Asia Tenggara merupakan tempat endemis bagi kelainan ini, sementara di Amerika Serikat insidensinya semakin meningkat. Kelainan ini mempunyai

karakteristik adanya batu pigmen intrahepatik dan ekstrahepatik tanpa ditemukan adanya kelainan pada kandung empedu. Patogenesis mengenai kelainan

ini tidak jelas, namun beberapa faktor etiologi diajukan, seperti infeksi parasit (Clonorsis sinensis, Ascaris lumbricoides), infeksi bakteri yang indolen,

dan malnutrisi protein. Terdapat pelebaran dan striktur pada duktus biler dan pembentukan batu intrahepatik.

Pasien mengeluh nyeri perut dan demam. Ikterus lebih jarang dijumpai karena obstruksi biasanya parsial.

j. Sindrom Mirizzi

Kehr (1905) pertamakali mengemukakan tentang proses patologi obstruksi CBD (common bile duct /duktus koledokus) oleh tekanan diluar CBD. Mirizzi,

seorang ahli bedah Argentina, tahun 1948, pertama kali melaporkan adanya pasien dengan sekumpulan gejala ikterus yang disebabkan oleh reaksi inflamasi

akibat impaksi batu di duktus sistikus atau infundikulum kandung empedu. Saat itu ia berpendapat, proses inflamasi disebabkan oleh spasme fisiologis dan

anatomis dari otot polos sirkuler di dalam duktus hepatikus komunis. Penemuan kemudian membuktikan bahwa sfinkter seperti itu tidak ada. Saat ini,

diketahui ada 4 komponen yang ditemukan pada sindrom Mirizzi:

 Anatomi duktus sistikus atau inf indibulum kandung empedu yang berjalan paralel terhadap
duktus hepatikus komunis
 Impaksi batu pada duktus sistikus atau infundibulum kandung empedu
 Obstruksi mekanik duktus hepatikus oleh batu atau akibat inflamasi sekunder
 Ikterus, kemungkinan kolangitis rekuren, dan terjadinya sirosis bilier

McSherry et al. (1982) membagi kelainan ini menjadi dua tipe. Tipe I, duktus hepatikus tertekan oleh batu berukuran besar yang terimpaksi di duktus

sistikus atau Hartmann's pouch. Proses inflamasi yang terjadi dapat menyebabkan striktur. Tipe II, batu mengerosi duktus hepatikus, sehingga menyebabkan

fistula kolesistokoledokal.

Csandes et al. (1989) membagi tipe kedua berdasarkan erosi yang terjadi pada duktus hepatikus komunis dalam tiga bagian, sehingga membuat klasifikasi:

tipe I, kompresi eksterna CBD akibat impaksi batu pada infundibulum kandung empedu atau duktus sistikus; tipe II, fistula kolesistobilier (kolesistohepatik

atau kolesistokoledokal) dengan erosi kurang dari sepertiga lingkaran CBD; tipe III, fistula melibatkan erosi pada 2/3 lingkaran CBD; tipe IV, terjadi destruksi

lengkap CBD.

Keadaan ini dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering dijumpai pada orang tua. Gambaran klinis berupa ikterus tanpa disertai nyeri atau

kolangitis, tergantung apakah terjadi kontaminasi atau tidak. Diagnosis preoperatif penting untuk menghindari komplikasi operasi, khususnya pada

kolesistektomi laparoskopi, karena CDB dengan ukuran normal dapat keliru dianggap sebagai duktus sistikus yang berdilatasi, sehingga terligasi. Hasil USG

yang menemukan adanya dilatasi duktus biliaris intrahepatik, CBD yang berukuran normal, dan adanya batu di infundibulum kandung empedu atau duktus

sistikus, perlu dicurigai adanya sindrom Mirizzi. Kemungkinan suatu sindrom Mirizzi perlu dipikirkan jika pada CT scan didapatkan gambaran penyempitan
tiba-tiba pada CBD supraprankreas tanpa adanya massa neoplasma. Selain itu, USG dan CT scan penting untuk menyingkirkan adanya massa pada porta

hepatis akibat keganasan.

Kolangiografi penting dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan adanya fistula, dengan kolangiografi melalui ERCP memberikan gambaran

yang lebih baik daripada PTC .

k. Nyeri bilier dan Kehamilan

Kelainan kandung empedu merupakan hal yang dapat menyulitkan selama kehamilan. Gambaran klinis yang sering dijumpai berupa kolik bilier yang

memburuk dan kolesistitis akut. Ikterus dan pankreatitis sebagai akibat koledokolitiasis jarang ditemukan. Pemeriksaan radiologis yang relatif aman hanyalah

USG.

Diagnosis Diferensial (Differential Diagnosis) Kolelitasis (Batu empedu)

 Kolisistitis akut. Merupakan suatu komplikasi dari kolilitiasis dimana batu empedu pada kandung
empedu menyebabkan peradangan. Gejala klinik antara keduanya mmp dan nyans sama karena
keadaan kolisistitis akut adalah komplikasi dari kolilitiasis. Perbedaannya adalah biasanya pada
peradangan timbul demam dan nyeri pada kolisistitis umunya sangat berkesimambungan dan
nyeri berat lebih dari 12 jam. Sehingga berbeda dengan kolisistitia yang umunya nyerinya dapat
diabaikan, dapat menghilang sendiri dan tidak berlangsung selama > 12 jam
 Kolangitis. Kolangitis adalah inflamasi atau infeksi pada sistem duktus biliaris yang biasanya
berhubungan dengan infeksi bacterial. Ini merupakan salah satu komplikasi dan dapat menjadi
gejala klinis juga pada kolilitiasis. Kolangitis dapat terjadi bila batu empedu pada saluran empedu
menyebabkan peradangan dan dapat menimbulkan juga nyeri kolik. Karena adanya peradangan
maka biasanya gejala yang umum muncul adalah adanya demam yang tidak muncul pada
kolilitiasis, selain itu terdapat pula ikterus obstruktif, menggigil dan nyeri perut pada tempat yang
sama dengan kolilitiasis.
 Pankreatitis akut. Merupakan salah satu dari komplikasi kolilitiasis dan juga dapat menjadi
manifestasi klinis dari kolilitiasis. Gambaran klinis keduanya hampir sama yaitu nyeri pada
abdomen bagian atas yang menjalar ke punggung, pireksia dan takikardia. Tempat nyeri yang
hampir sama. Selain itu adanya keluhan yan setelah makan pun hampir sama, selain karena letak
kedua organ yang berdekatan. Dapat dibedakan dengan menetapnya demam dan peningkatan
nyata dari amilase dan lipase serum ada atau urin pada pasien dengan pankreatitis akut.
 Ulkus peptikum dan gastritis. Ulkus peptikum dan gastritis dapat menstimulasi kolik, tetapi sering
menghilang dengan makan atau antasida. Persamaan antara kolelitiasis dan ulkus peptikum dan
gastritis adalah nyeri kolik yang memiliki predileksi yang hampir sama pada kuadran kanan atas
sehingga sering dikeliru mendiagnosis. Terutama pada batu empedu tanpa gejala lain selain nyeri
dan keluhan yang sama timbul setelah makan.

KOMPLIKASI KOLELITIASIS (BATU EMPEDU)

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:

a. Asimtomatik

b. Obstruksi duktus sistikus

c. Kolik bilier

d. Kolesistitis akut :

 Empiema
 Perikolesistitis

 Perforasi

e. Kolesistitis kronis :

 Hidrop kandung empedu


 Empiema kandung empedu
 Fistel kolesistoenterik
 Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi

ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus

sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung

empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus

sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat

sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis

generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terns maju sampai duktus

koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya

ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cema melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

Kolesistitis akut terjadi ketika batu empedu masuk dan mendesak dalam duktus sistikus menyebabkan kandung empedu menjadi melebar dan semakin

meradang.Pasien mengalami rasa sakit dari kolik empedu, namun, bukannya selesai secara spontan, rasa sakit terus berlanjut dan memburuk.

Pertumbuhan berlebih dari kolonisasi bakteri dalam kandung empedu senng terjadi, dan, dalam kasus yang parah, sehingga terjadi akumulasi nanah

dalam kandung empedu, yang disebut empiema kandung empedu. Dinding kandung empedu dapat menjadi nekrotik, mengakibatkan perforasi dan abses

perikolesistik. Kolesistitis akut dianggap memerlukan bedah darurat walaupun rasa sakit dan peradangan mungkin mereda dengan tindakan konservatif,

seperti hidrasi dan antibiotik.

Pada keadaan kronis batu empedu dapat menyebabkan fibrosis progresif dari dinding kandung empedu dan hilangnya fungsi kandung empedu, disebut

kolesistitis kronis. Patogenesis komplikasi ini tidak sepenuhnya dipahami. Serangan berulang dari kolesistitis akut mungkin dapat memainkan peran.

Kemungkinan iskemia lokal dapat dihasilkan oleh tekanan batu dinding kandung empedu.Kantong empedu kronis fibrosis dapat menjadi menyusut.

Adenocarcinoma empedu adalah kanker umum yang biasanya berkembang dalam penyakit batu empedu dan kolesistitis kronis. Kanker empedu

umumnya menyerang hati berdekatan dan saluran empedu umum, menimbulkan penyakit kuning. Prognosis buruk kecuali kanker terlokalisir di empedu, di

mana kolesistektomi kasus mungkin kuratif.

Kadang-kadang, sebuah batu besar mungkin mengikis dinding kandung empedu sehingga menjadi viskus dengan organ yang berdekatan (biasanya

duodenum), menghasilkan fistula kolesistoenterik. Batu itu, jika cukup besar, dapat menghambat usus kecil, biasanya pada tingkat ileum, fenomena disebut

ileus batu empedu.

Komplikasi batu di saluran empedu


Batu empedu pada awalnya disimpan dalam kantong empedu oleh katup duktus kistik. Setelah episode serangan batu empedu di saluran kistik, katup

ini dapat menjadi seprti hilang dan batu bisa masuk ke dalam saluran empedu umum. Pasien dengan batu empedu yang telah lolos satu batu, batu lainnya

cenderung untuk lolos lebih banyak beberapa bulan berikutnya.

Batu di saluran empedu dapat tidak menunjukkan gejala, tetapi, lebih umum, mereka menimbulkan dampak pada bagian distal di ampula Vateri. Hal

ini dapat menghasilkan kolik empedu bisa dibedakan dari yang disebabkan oleh batu duktus kistik. Karena impaksi yang umum batu saluran empedu

hambatan aliran empedu dari hati ke usus meningkat, tekanan dalam saluran empedu intrahepatik, menyebabkan enzim hati meningkat dan penyakit kuning.

Overgrowth bakteri dalam empedu stagnan selain sebuah batu menghalangi saluran umum menghasilkan peradangan bemanah cabang hati dan empedu,

disebut gangguan primer yang masuk dalam karakteristik Charcot yaitu demam, sakit kuning, dan nyeri kuadran kanan atas. Pasien dengan cepat dapat

berkembang mengalami shok septik kecuali obstruksi duktus di atasi.

Sebuah batu berdampak pada ampula Vateri dapat menghambat saluran pankreas, yang mengarah ke dalam situ aktivasi protease pankreas dan

memicu serangan pankreatitis akut. Nyeri pankreas berbeda dari rasa sakit empedu. Rasa sakit ini terletak di daerah epigastrium dan midabdominal dan

tajam, parah, terus menerus, dan memancarkan ke belakang. Mual dan muntah sering hadir, dan episode sebelumnya yang sama dilaporkan oleh sekitar

15% penderita. Impaksi batu di saluran empedu distal umum sering lega spontan dalam waktu beberapa jam untuk hari oleh bagian dari batu ke dalam usus.

Komplikasi lainnya, peradangan dari kolelitiasis kronis dapat menyebabkan fusi

kandung empedu ke cabang empedu extrahepatic, menyebabkan sindrom Mirizzi. Atau, fistula ke dalam saluran usus

dapat membentuk dan menyebabkan ileus batu empedu.


Gambar komplikasi kolelitiasis berdasarkan predileksi batu empedu dan patofisiologi perjalanan penyakit

Manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan penunjang komplikasi atau akibat lanjut kolelitiasis (batu empedu)

Secara umum batu empedu akan terlihat sebagai gambaran hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk bayangan akustik

dibawahnya. Batu yang kecil dan tipis kadang-kadang tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada keadaan yang meragukan perubahan posisi penderita,

misalnya duduk, sangat membantu. Seorang pasien dapat datang ke sentra layanan kesehatan sudah dalam keadaan lanjut ataupun sudah terjadi komplikasi,

berikut beberapa keadaan medis yang menyertai kolelitiasis (batu emepdu) :

Kolesistitis (radang empedu)


USG abdomen merupakan prosedur standard dalam menentukan diagnosa adanya
kolesistitis (radang empedu). Pemeriksaan ini relatif sederhana, cepat dan aman bagi pasien serta
dapat dilakukan pada siapa saja termasuk wanita yang sedang hamil. Sensitivitas USG dalam hal
ini bervariasi tergantung dari operator tetapi secara umum USG memiliki sensitivitas dan
spesivisitas yang tinggi untuk mendeteksi adanya batu empedu dengan ukuran > 2mm. USG
abdomen juga sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kolesistitis akut tanpa komplikasi.
Gambaran yang didapatkan pada keadaan ini adalah adanya penebalan dinding kandung empedu
(> 5 mm), cairan perikolekistik, distensi kandung empedu > 5 mm. Ketika kandung empedu sudah
dipenuhi oleh batu seluruhnya, batu-batu tersebut dapat tidak terlihat pada gambaran USG
namun masih bisa didapatkan gambaran acoustic shadow.

Gambaran USG kandung empedu disertai dengan batu dan acoustic shadow

Kolesistitis akut
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu disertai keluhan nyeri
perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. (Lesmana, 2009). Hampir semua kolesistitis akut terjadi
akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam kantong Hartmann. Komplikasi ini
terdapat pada lima persen penderita kolesistitis. Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut
kolesistitis akalkulosa, dapat ditemukan pasca bedah.
Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat menyebabkan
pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi lisolesitin, yaitu senyawa
toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteria agaknya kecil
saja meskipun kemudian dapat terjadi supurasi (nanah/pemanahan). Komplikasi kolesistitis akut
adalah empiema, gangrene, dan perforasi.
Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang sendiri atau tidak,
derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat keadaan, seperti
diabetes mellitus.
Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang khas. Proses awal
berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan akhimya
fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan penyakit, tetapi
kebanyakan pada minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi spontan, tanda radang
akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai berbulan-bulan kemudian sisa
peradangan dan nanah masih tetap ada. Hampir 90% kandung empedu yang diangkat dengan
kolesistektomi menunjukan jaringan parut lama, yang berarti pada masa lalu pernahah menderita
kolesistitis, tetapi umumnya penderita menyangkal tidak pemah merasa ada keluhan.
(Sjamsuhidajat, 2011).
Sebanyak 90 - 95 % kolesistitis disebabkan sekunder karena kolelitiasis. Secara umum
kolesistitis merupakan suatu proses inflamasi. Obstruksi batu pada duktus sistikus merupakan
faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya distensi kandung empedu, inflamasi, serta edema
dinding kandung empedu. Pada kolesistitis akut kandung empedu menjadi menebal dan
kemerahan disertai dengan perdarahan subserosa dan cairan perikolestatik. Selain itu pada
mukosa kandung empedu tampak hiperemis serta nekrosis di beberapa tempat. Jika disertai
dengan adanya infeksi sekunder bakteri, dapat terjadi kolesisititis gangrenosa dan terbentuk abses
atau empyema di dalam kandung empedu. Kadang kala juga dapat terjadi perforasi di dareah
subhepatik.
Tanda utama pada kolesistitis akut ialah sering ditemukan batu, penebalan dinding kandung
empedu, hidrops dan kadang-kadang terlihat eko cairan di sekelilingnya yang menandakan adanya
perikolesistitis atau perforasi. Sering diikuti rasa nyeri pada penekanan dengan transducer yang
dikenal sebagai morgan sign positif atau positif transducer sign. Kekurangan pengisian kandung
empedu menunjukkan adanya obstruksi duktus sistikus dan tanda-tanda kolesistitis akuta.

Manifestasi klinis kolesistitis akut


Kolesistitis akut dapat bermula dengan adanya serangan kolik bilier, tapi hal ini berlawanan
dengan keadaan kolik bilier itu sendiri yaitu karena nyeri yang timbul tidak menghilang. Nyeri
tersebut terus menerus menetap selama beberapa hari. Pasien sering kali mengalami demam dan
mengeluhkan adanya anoreksia, mual, muntah , lemas, dan apabila proses inflamasi sudah
menjalar ke peritoneum parietale, maka pasien akan malas untuk bergerak karena adanya nyeri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri fokal pada abdomen kuadran kanan atas, dan Murphy
sign yang positif merupakan tanda yang khas pada keadaan ini. Pada pemeriksaan laboratorium
bisa didapatkan jumlah leukosit normal atau leukositosis sedang dengan jumlah 12.000 –
15.000/mm3 dan adanya peningkatan sedang dari bilirubin serum < 4mg/ml seiring dengan
peningkatan fosfatase alkali, transaminase dan amilase. Adanya ikterus berat menandakan adanya
batu pada duktus sistikus komunis atau obstruksi pada duktus sistikus karena inflamasi
perikolestatik sebagai akibat dari impaksi batu pada infundibulum kandung empedu yang secara
mekanis mengakibatkan obstruksi duktus sistikus ( Mirizzi syndrome).

Pemeriksaan penunjang kolesistitis akut


USG abdomen merupakan pemeriksaan penunjang radiologis yang paling bermanfaat dalam
mendiagnosa adanya kolesistitis akut dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 95 %. Pada USG
abdomen didapatkan gambaran berupa penebalan dinding kandung empedu disertai dengan
cairan perikolestatik. Nyeri tekan pada daerah kandung empedu saat probe USG menekan daerah
tersebut juga mengindikasikan adanya kolesistitis akut (sonographic Murphy sign positif). Selain
USG abdomen juga dapat dilakukan CT scan abdomen dengan gambaran yang didapatkan berupa
adanya penebalan dinding kandung empedu disertai dengan cairan perikolestatik, dan batu
empedu.

Kolesistitis kronik
Kolesistitis kronik adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai
dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. Kolesistitis kronik merupakan
kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan. Penyebabnya hampir selalu batu
empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosa adalah kolik bilier, dispepsia,
dan ditemukannya batu empedu pada pemeriksaan ultrasonografi atau kolesistografi oral.
Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan "berat" seperti gorengan, yang mengandung banyak
lemak, tetapi dapat juga timbul setelah makan bermacam jenis kol. Kolik bilier yang khas dapat
juga dicetuskan oleh makanan berlemak dan khas kolik bilier dirasakan di perut kanan atas.
(Sjamsuhidajat, 2011).
Sekitar dua per tiga pasien dengan kolelitiasis juga mengalami kolesistitis yang
dikarakteristikan dengan adanya serangan nyeri berulang dan keadaan ini sering juga dinamakan
dengan kolik bilier. Nyeri terjadi ketika batu empedu menyumbat duktus sistikus sehingga
menghasilkan peningkatan tekanan dinding kandung empedu yang progresif. Secara patologi
terjadi perubahan kandung empedu mulai dari keadaan yang normal dengan hanya sedikit
inflamasi kronik pada mukosa menjadi kandung empedu yang mengkerut dengan fibrosis
transmural serta adhesi ke struktur sekitarnya.

Manifestasi klinis kolelitiasis kronik


Keluhan utama pasien biasanya berupa nyeri terus menerus dan makin makin dirasa nyeri
selama 1 jam pertama dan biasanya berlangsung selama 1-5 jam. Nyeri dirasakan terutama pada
epigastrium atau abdomen kuadran kanan atas dan seringkali menyebar ke punggung kanan
diantara skapula. Nyeri ini bisa sangat hebat dan muncul tiba-tiba, biasanya muncul pada malam
hari atau setelah pasien mengkonsumsi makanan berlemak. Keluhan ini dapat juga disertai dengan
mual dan muntah. Nyeri juga dapat bersifat episodik, pasien dapat mengeluhkan adanya serangan
nyeri yang menyebar diselingi dengan keadaan normal tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan adanya nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas pada saat timbul episode nyeri. Jika
pasien sedang dalam keadaan bebas nyeri, maka pemeriksaan fisik dapat memberikan hasil yang
normal. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan hasil tes fungsi hati dan leukosit
yang normal pada pasien kolesistitis yang tidak memiliki komplikasi. Kondisi kolelitiasis
yang atipikal juga sering muncul. Pada keadaan ini biasanya tidak ditemukan nyeri abdomen kanan
atas meskipun terdapat batu di dalam kandung empedu nya. Jika nyeri berlangsung selama lebih
dari 24 jam, harus segera dicurigai terjadinya impaksi batu di dalam duktus sistikus atau terjadi
kolesistitis akut. Impaksi batu tersebut akan mengakibatkan kondisi yang dinamakan dengan
hydrops kandung empdu dimana terjadi keadaan berikut yaitu cairan empdu diabsorbsi namun
epitel kandung empedu terus menerus menghasilkan sekret mukus sehingga terjadi distensi
kandung empedu oleh mukus.

Pemeriksaan penunjang kolelitiasis kronik


Pada USG kandung empedu sering tidak atau sukar terlihat. Dinding menjadi sangat tebal dan
eko cairan lebih terlihat hiperekoik. Sering terdapat pada kolesistitis kronik lanjut dimana kandung
empedu sudah mengisut (contracted gallblader). Kadang-kadang terlihat hanya eko batunya saja
yang terlihat pada fossa vessika felea.

Koledokolitiasis
Batu pada duktus sistikus komunis dapat memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari ukuran
kecil, besar, dengan jumlah tunggal maupun multipel dan dapat ditemukan pada 6 – 12 % pasien
dengan kolelitiasis dan insidennya akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Adanya batu
pada duktus sistikus ini disebabkan karena migrasi batu dari duktus sistikus.

Manifestasi Klinis koledokolitiasis


Koledokolitiasis dapat bersifat asimptomatik dan seringkali ditemukan secara tidak sengaja.
Koledokolitiasis dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi total maupun parsial dan dapat juga
bermanifestasi sebagai kolangitis atau pankreatitis bilier. Nyeri yang ditemukan pada pasien relatif
sama dengan nyeri yang dirasakan pada keadaan kolik bilier. Pada pemeriksaan fisik bisa
didapatkan hasil yang normal namun dapat juga ditemukan adanya nyeri tekan abdomen kuadran
kanan atas atau pada daerah epigastrium disertai juga dengan adanya ikterus. Keluhan yang
dirasakan bisa hilang timbul biasanya berupa nyeri dan ikterus hilang timbul yang diakibatkan
karena adanya batu yang secara sementara mengimpaksi ampulla dan kemudian berpindah. Untuk
batu yang kecil, maka batu ini dapat melewati ampulla secara spontan disertai dengan
menghilangnya gejala-gejala klinis namun lambat laun batu akan mengimpaksi secara total dan
mengakibatkan ikterus progresif. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
bilirubin serum, fosfatase alkali, dan transaminase.
Pemeriksaan penunjang koledokolitiasis
USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis pertama yang berguna untuk
mengidentifikasi adanya batu pada kandung empedu dan menentukan ukuran duktus sistikus
komunis. Pada USG abdomen didapatkan gambaran berupa pelebaran duktus sistikus komunis >
8 mm. Selain USG abdomen juga dapat dilakukan pemeriksaan Magnetic Resonance
Cholangiography (MRC) yang dapat memberikan gambaran anatomis yang detail dalam
mendeteksi koledokolitiasis dengan nilai sensitivitas dan spesivisitas sebesar 95 dan 89 %. Selain
itu dapat juga dilakukan pemeriksaan Endoscopic Cholangiography yang merupakan gold standard
untuk mendeteksi adanya koledokolitiasis. Dengan Endoscopic Cholangiography bisa didaptakan
keuntungan yaitu selain dapat digunakan sebagai sarana diagnostik, juga berguna sekaligus
sebagai sarana terapi.

Gambaran MRCP normal yang menunjukkan duktus sistikus komunis (panah biru) dan duktus
pankreatikus (panah putih)
Gambaran MRCP yang menunjukkan 2 buah batu pada duktus sistikus komunis.

Kelainan saluran empedu


Pada penderita-penderita yang diduga dengan obstruksi saluran empedu, USG merupakan
pemeriksaan pertama dari serangkaian prosedur pencitraan. Saluran empedu intra hepatik akan
mudah dilihat bila terjadi pelebaran karena selaluberjalan periportal anterior. Hal ini menjadi
sangat penting karena pelebaran saluran empedu ini kadang-kadang sudah terlihat sebelum
bilirubin darah meningkat.
Bila kita ragu-ragu apakah suatu duktus koledukus melebar arau tidak, maka pemeriksaan
dilakukan setelah penderita diberi makan lemak lebih dahulu. Pada keadaan obstruksi duktus
koledukus, maka setelah fatty meal tersebut akan terlihat lebih lebar, sedangkan pelebaran
fisiologik, misalnya pada usia tua, diman elastisitas dinding saluran sudah berkurang, maka
diameternya akan menjadi lebih kecil.
Pada dasarnya lebar saluran empedu sangat bergantung pada berat atau tidaknya obstruksi
yang terjadi. Pada penderita-penderita yang mengalami obstruksi sebagian (partial obstruction)
baik disebabkan oleh duktus koledukus, tumor papila vateri ataukolangitis sklerosis, kadang-
kadang tidak memperlihatkan pelebaran saluran empedu sama sekali, tetapi mungkin saja
dijumpai pelebaran yang berkala.
Pada setiap pelebaran duktus koledukus, pemeriksaan terhadap kaput pankreas dan duktus
pankreatikus wirsungi adalah sangat membantu dalam menentukan lokasi sumbatantersebut
Pada umumnya terhadap penderita-penderita dengan ikterus yang tidak ditemukan adanya
saluran empedu yang melebar, maka dugaan kita beralih kepada kelainan-kelainan parenkim hati
misalnya pada sirosis hati, hepatitis, maupun metastasis, yang pada umumnya dapat dibedakan
dari parenkim hati normal.
Pada saat ini kegunaan utama USG dalam pemeriksaan saluran empedu adalah untuk
menentukan ikterus, apakah berasal dari kelainan hepatoseluler atau karena obstruksi saluran
empedu. Namun demikian sampai saat ini belum ada zat kontras yang dapat digunakan seperti
halnya pada kolesistografi. Didalam parenkim hati, kita harus dapat membedakan pelebaran
saluran empedu dari vena hepatika serta vena porta.

Pelebaran saluran empedu


Merupakan tabung (tubulus) yang anekoik (cairan) dengan dinding hiperekoik yang berkelok-
kelok dan sering berlobulasi. Kadang-kadang berkonfluensi membentuk gambaran stellata yang
tidak terdapat pada vena portae. Pada dinding bawah bagian posteriornya mengalami penguatan
akustik (acoustic enhancement)
Kadang-kadang dijumpai suatu keadaan dimana lokasi obstruksi traktus biliaris sangat sukar
dideteksi, maka pemeriksaan lanjutan seperti kolongiografi transhepatik (PTC) atau retrograd
endoskopik kolangiopankreatikografi (ERCP) sangat diperlukan.
Gambaran ERCP dengan batu empedu pada duktus sistikus komunis

Kolangitis
Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang tersumbat baik
secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam lumen saluran
empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar lumen
misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding saluran
empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran empedu.
Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu karena adanya obstruksi
dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik adalah trias charcot yang
meliputi nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterus dan demam yang didapatkan pada 50% kasus.
Kolangitis akut supuratif adalah trias charcot yang disertai hipotensi, oliguria, dan gangguan
kesadaran.
Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan, yang akan membaik sendiri, sampai
dengan keadaan yang membahayakan jiwa di mana dibutuhkan drainase darurat. Penatalaksanaan
kolangitis akut ditujukan untuk: a) Memperbaiki keadaan umum pasien dengan pemberian cairan
dan elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit, b) Terapi antibiotic parenteral, dan c) Drainase
empedu yang tersumbat. Beberapa studi acak tersamar memperlihatkan keunggulan drainase
endoskopik dengan angka kematian yang jauh lebih rendah dan bersihan saluran empedu yang
lebih baik dibandingkan operasi terbuka. Studi dengan control memperkuat kesimpulan bahwa
angka kematian dengan ERCP hanya sepertiga dibandingkan dengan operasi terbuka pada pasien
dengan kolangitis yang berat. Oleh karenanya, ERCP merupakan terapi pilihan pertama untuk
dekompresi bilier mendesak pada kolangitis akut yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
(Lesmana, 2009).
Kolangitis merupakan satu dari dua komplikasi utama dari batu duktus koledokus, sedangkan
komplikasi lainnya lagi berupa pankreatitis bilier. Kolangitis akut merupakan suatu infeksi bakteri
yang menyebar dari bawah ke atas yang disebabkan karena adanya obstruksi parsial maupun total
dari duktus biliaris. Dalam keadaan normal, cairan empedu yang dihasilkan oleh hati bersifat steril,
demikian pula dengan kondisi steril cairan empedu yang disimpan di dalam kandung empedu
dipertahankan dengan aliran empedu yang berkesinambungan disertai dengan substansi
antibakterial yang terdapat di dalam cairan empedu itu sendiri berupa imunoglobulin. Gabungan
antara infeksi bakteri disertai dengan obstruksi bilier yang umumnya disebabkan karena batu
empedu merupakan faktor yang penting dalam terjadinya kolangitis. Organisme-organisme yang
umumnya menyebabkan kolangitis yaitu antara lain Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Streptococcus faecalis, dan Bacteroides fragilis.

Manifestasi Klinis Kolangitis


Kolangitis dapat bermanifestasi sebagai suatu kondisi yang bervariasi mulai dari keadaan klinis
yang ringan, sedang, dapat sembuh spontan sampai dengan suatu keadaan berat dan mengancam
jiwa seperti pada keadaan septikemia. Gejala yang paling umum muncul adalah gejala-gejala yang
dikenal sebagai Charcot triad dan muncul pada dua pertiga dari pasien-pasien yaitu berupa
demam, nyeri epigastrium atau nyeri abdomen kuadran kanan atas, dan disertai dengan ikterus.
Gejala klinis yang muncul dapat berkembang secara progresif disertai sepsis dan keadaan ini
dikenal sebagai Reynolds pentad (adanya demam, ikterus, nyeri abdomen kuadran kanan atas,
syok septik dan perubahan status mental). Namun demikian keadaan ini juga bisa bermanifestasi
sebagai suatu keadaan yang atipikal yaitu berupa demam yang tidak terlalu tinggi, ikterus atau
nyeri abdomen kanan atas. Keadaaan ini biasanya terjadi pada orang dewasa yang bila mengalami
infeksi ini tidak memberikan gejala yang bermakna sampai suatu saat jatuh kedalam
kondisi sepsis. Pada pemeriksaan abdomen, hasil yang ditemukan tidak dapat dibedakan dari
keadaan kolesistitis akut. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium bisa ditemukan adanya
leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali serta transaminase.

Pemeriksaan Penunjang Kolangitis


Pemeriksaan USG abdomen berguna untuk mendeteksi adanya kolangitis apabila pada pasien
tersebut belum pernah didiagnosa memiliki batu empedu sebelumnya karena dalam pemeriksaan
akan nampak adanya batu empedu disertai dengan duktus yang berdilatasi. Pemeriksaan
radiologis definitif yang juga berguna untuk diagnosa adalah Endoscopic Retrograde
Cholangiopangcreatography (ERCP), namun apabila ERCP tidak tersedia, dapat dilakukan
pemeriksaan Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC). Dengan ERCP dan PTC dapat
ditentukan level sereta penyebab obstruksi, memungkinkan pengambilan cairan empedu untuk
dikultur, pengambilan batu empedu apabila terdapat batu empedu, dan drainase cairan empedu
dengan kateter drainase atau dengan stent. CT scan dan MRI juga dapat berguna untuk menetukan
apakah terdapat masssa periampular sebagai penyebab dari dilatasi duktus.

Pankreatitis bilier
Pankreatitis adalah reaksi peradangan pankreas. Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu
empedu baru akan terjadi bila ada obtruksi transien atau persisten di papilla Vater oleh sebuah
batu. Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis bilier atau menambah beratnya
pancreatitis.
Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pankreatitis bilier akut yang ringan
menyalurkan batunya secara spontan dari saluran empedu ke dalam duodenum pada lebih dari
80% dan sebagian besar pasien akan sembuh hanya dengan terapi suportif kolangiografi. Sesudah
sembuh pada pasien ini didapatkan insidensi yang rendah kejadian batu saluran empedu sehingga
tidak dibenarkan untuk dilakukan ERCP rutin.
Sebaliknya, sejumlah studi menunjukan bahwa pasien dengan pancreatitis bilier akut yang
berat akan mempunyai resiko yang tinggi untuk mempunyai batu saluran empedu yang tertinggal
bila kolangiografi dilakukan pada tahap dini sesudah serangan. Beberapa studi terbuka tanpa
kontrol memperlihatkan sfingterektomi endoskopik pada keadan ini tampaknya aman dan disertai
penurunan angka kesakitan dan kematian. (Lesmana, 2009).
Batu empedu yang terdapat di duktus biliaris komunis sering memiliki hubungan dengan
terjadinya pankreatitis akut. Obstruksi duktus pankreatikus karena impaksi batu atau obstruksi
sementara oleh batu yang kemudian melewati ampulla dapat mengakibatkan pankreatitis. USG
saluran empedu pada pasien dengan pankreatitis merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang disebabkan sifatnya berat, tindakan ERCP disertai
dengan sfinkterektomi dan ekstraksi batu dapat menghentikan perjalanan penaykit pankreatitis.
Setelah pankreatitis hilang, harus langsung dilakukan pengangkatan kandung empedu saat itu
juga. Jika terdapat batu empedu dan pankreatitis yang terjadi tidak terlalu berat serta dapat
sembuh spontan,maka hal ini menandakan bahwa batu empedu sudah melewati duktus / ampulla
. Untuk pasien-pasien dengan kondisi seperti ini, perlu dilakukan kolesistektomi dengan
kolangiogram intraoperatif atau ERCP preoperatif.

PENATALAKSANAAN KOLELITIASIS

Penatalaksanaan dan penanganan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif

diperlukan. Biasanya yang dipakai ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi

yaitu terapi oral garam empedu (asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik apabila batu kecil < 1 cm dengan

tinggi kandungan kolesterol.

Penatalaksanaan berdasarkan tahap kolelitiasis

a. Batu empedu asimtomatik

Pada umumnya, kolesistektomi profilaksis saat ini tidak dianjurkan untuk penanganan batu empedu yang asimptomatik. Hal ini disebabkan rendahnya

kejadian timbulnya gejala ataupun komplikasi pada penderita batu empedu yang asimptomatik. Hal ini juga berlaku pada penderita diabetes. Meski demikian,

karena tingginya morbiditas dan mortalitas pada operasi emergensi pada pasien diabetes, penanganan segera dilakukan begitu gejala awal timbul.

Kolesistektomi insidental pada pasien batu empedu asimtomatik yang menjalani operasi abdomen nonbilier. Yang pasti, kolesistektomi insidental tidak

dianjurkan pada pasien dengan risiko komplikasi tinggi, misalnya pada sirosis dan hipertensi portal. Tidak didapatkan data yang cukup mengenai tindakan

kolesistektomi profilaksis pada pasien dengan anemia sel sabit, kolelitiasis asimptomatik pada anak, pasien dengan terapi imunosupresi, yang akan menjalani

transplantasi, dan mereka yang tidak dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang memadai untuk jangka panjang.
Penanganan profilaktik untuk batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan. Sebagian besar pasien dengan batu asimtomatik tidak akan mengalami

keluhan dan jumlah, besar dan komposisi batu tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya

ringan sehingga penanganan dapat diambil secara elektif. Hanya sebagian kecil yang akan mengalami simtom akut kolesistitis akut, kolangitis, pankreatitis

dan karsinoma kantong empedu.

Pengobatan bedah batu empedu tanpa gejala dan tanpa penyakit medis yang menyulitkan tidak disarankan. Risiko komplikasi yang timbul dari intervensi

lebih tinggi daripada risiko penyakit tanpa gejala.

Orang dengan diabetes dan wanita yang sedang hamil harus dilakukan tindak lanjut untuk menentukan apakah mereka menunjukkan gejala atau

mengembangkan komplikasi.

Namun, kolesistektomi batu empedu asimtomatik dapat dipertimbangkan untuk diindikasikan pada pasien berikut:

 Pasien dengan batu empedu besar lebih besar dari 2 cm


 Pasien dengan nonfunctional atau kalsifikasi (porselen) kandung empedu diamati pada studi
pencitraan dan yang berisiko tinggi karsinoma kandung empedu
 Pasien dengan cedera tulang belakang atau neuropati sensori yang mempengaruhi perut
 Pasien dengan anemia sel sabit dimana membedakan antara nyeri penyakit dan kolesistitis
mungkin sulit.

Pasien dengan faktor risiko komplikasi dari batu empedu dapat ditawarkan kolesistektomi elektif, bahkan jika mereka memiliki batu empedu tanpa

gejala. Kelompok-kelompok ini termasuk orang dengan ketentuan sebagai berikut dan demografi antara lain sirosis hipertensi portal, anak-anak, pasien calon

transplantasi dan diabetes dengan gejala minor. Pasien dengan kandung empedu kalsifikasi atau porselin harus mempertimbangkan kolesistektomi elektif

karena mungkin meningkatkan risiko karsinoma (25%).

Risiko kanker kandung empedu pada pasien kolelitiasis juga sangat rendah (1/1000 pasien pertahun), kecuali pada pasien dengan kandung empedu

yang mengalami kalsifikasi (porcelain gallbladder), yang mempunyai risiko kanker hingga 25%, bahkan pada kandung empedu yang tidak mengandung batu.

Risiko kanker juga lebih tinggi pada pasien dengan polip kandung empedu yang soliter dengan diameter lebih dari 1 cm, anomali pancreatic-biliary ductal

junction, batu empedu lebih dari 3 cm, dan pada suku Indian di Amerika. Belum diperoleh data yang konklusif mengenai tindakan kolesistektomi profilaksis

pada keadaan keadaan tersebut.

Beberapa resiko tinggi yang dianjurkan menjalani kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik

 Sisa angka harapan hidup > 20 tahun


 Kalkuli > 3mm dengan adanya patient cystic duct
 Kalkuli radioopak
 Polip kandung empedu
 Kandung empedu yang tidak berfungsi
 Diabetes mellitus
 Perempuan di bawah 60 tahun
 Wilayah dengan prevalensi kanker kandung empedu yang tinggi
 Pasien dalam daftar tunggu transplantasi organ non hepatic misalnya jantung dan ginjal (Sumber
: Springer-Verlag GmbH & Co, Patino JF, Quintero GA. Asymptomatic cholelithiasis
revisited, World J Surg 1998; 22: 1119-24)

b. Batu Empedu Simptomatik

Jika penderita batu empedu mulai mengalami keluhan (simptomatik), angka rekurensi tinggi. Karenanya, setiap pasien perlu diterapi. Kesulitan yang

dialami adalah menentukan gejala mana yang disebabkan oleh batu empedu. Nyeri bilier yang khas adalah nyeri yang hebat, episodik, berlokasi pada

epigastrium atau kanan atas, berakhir 1-5 jam, dan dapat membangunkan pasien saat tidur di malam hari. Hampir 90% pasien dengan keluhan khas ini dapat

hilang keluhannya setelah diterapi. Pasien dengan risiko tinggi untuk anestesi umum diterapi secara nonoperatif. Hasil dari penanganan pasien dengan batu

empedu kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasien dengan keluhan nyeri yang tidak khas ataupun dengan keluhan dispepsia (intoleransi

makanan berlemak, kembung, dan sering bersendawa). Pada penderita tersebut, sebaiknya dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mencari

penyebab lain, seperti irritable bowel syndrome (IBS), ulkus peptikum, atau refluks esofageal.

c. Batu Empedu dengan komplikasi

Komplikasi batu empedu mempunyai potensi membahayakan jiwa dan perlu penanganan yang sesuai dan segera, sesuai dengan jenis komplikasi yang

timbul. Pada kolesistitis akut penanganan kolesistektomi dini (24-48 setelah gejala awal timbul) kini lebih banyak dianut ketimbang kolesistektomi yang

ditunda. Pada kolangitis, terapi meliputi terapi suportif, antibiotika, dan dekompresi. Terapi sindrom Mirizzi tipe I adalah kolesistektomi, sedangkan tipe II

meliputi parsial kolesistektomi dan anastomosis bilioenterik. Selanjutnya akan dibahas di bawah pada bagian jenis-jenis penatalaksanaan kolelitiasis
Gambaran secara umum arah penatalaksanaan batu empedu

Jenis-Jenis Penatalaksanaan

I. Konservatif

Disolusi (pelarutan) batu empedu

Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia, penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi

kolesterol pada empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu

mencegah kristalisasi.

Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18

bulan dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol. (Klingensmith, Chen, 2008).

Dua asam empedu, asam kenodeoksikolat (AKDK) dan asam ursodeoksikolat (AUDK) telah digunakan untuk pelarutan batu empedu. Kedua asam empedu

ini menekan sintesis kolesterol di hati dengan menghambat hindroksil metil glutarin CoA (HMG-CoA) reduktase dan meningkatkan aktivitas dari 7a-
dehidrogenase sehingga meningkatkan sintesis asam empedu. AUDK juga menurunkan absorbsi/resorpsi kolesterol di usus dan memperpanjang waktu

nukleasi dari empedu. Asam empedu pilihan untuk pelarutan batu empedu adalah AUDK karena efek samping diare dan rambut rontok serta angka

keberhasilan yang lebih rendah dari AKDK. Dosis AUDK 8-12 mg/kg BB/hari dengan efikasi secara keseluruhan sekitar 6-12 bulan. Calon ideal untuk terapi

disolusi ini adalah: batu kolesterol non kalsifikasi yang terapung di dalam kandung empedu, diameter : < 5 mm, telah disingkirkan kemungkinan batu pigmen

atau batu yang telah mengalami kalsifikasi, batu dengan diameter lebih dari 1,5 cm jarang dapat larut, dan

kandung empedu masih berfungsi dengan pemeriksaan kolesistografi oral dengan duktus sistikus masih paten pada pemeriksaan scan hepatobilier.

Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pemah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi

hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa

disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.

Terapi disolusi dengan asam kenodeoksikolat (chenodeoxycholic acid, CDCA) pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Mekanisme kerjanya

dengan mereduksi sifat lithogenic/litogenik dan derajat saturasi kolesterol dengan asam empedu melalui inhibisi selektif terhadap enzim

hydroxymethylglutaryl (HMG)-CoA reduktase yang berperan dalam biosintesis kolesterol. Namun, karena efektivitasnya yang rendah dan dengan

mempertimbangkan efek samping yang ditimbulkan, penggunaannya tergantikan oleh asam ursodeoksikolat. Penggunaan asam empedu untuk melarutkan

batu empedu cukup efektif pada pasien simptomatik dengan batu kolesterol kecil (kurang dari 5 mm) yang mengambang pada kandung empedu yang

fungsional. Keadaan ini ditemukan pada 15% pasien batu empedu simptomatik. Terapi ini membutuhkan pemberian obat selama 6-12 bulan dan diperlukan

monitoring hingga dicapai disolusi. Keefektifan terapi ini mencapai 60% pada batu berukuran kurang dari 10 mm dan 90% pada batu empedu berukuran

kurang dari 5 mm. Tetapi, hampir separuhnya mengalami rekurensi dalam 5 tahun. Angka rekurensi lebih rendah pada batu tunggal, individu yang tidak

gemuk, dan penderita muda. Saat ini, indikasi terapi disolusi dengan asam empedu terbatas pada pasien dengan kondisi komorbid yang tidak memungkinkan

operasi secara aman dan pada pasien yang menolak operasi.

Disolusi kontak

Di akhir tahun 1980-an, kelompok peneliti dari klinik Mayo memperkenalkan konsep kolesistolitolisis transhepatik secara perkutan. Metode ini

didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut kolesterol ke kandung empedu. Dengan anatesi lokal, pigtail catheter dimasukkan perkutan melalui

parenkim hati ke dalam kandung empedu. Hal ini dapat dilakukan dengan tuntunan fluoroskopi atau USG. Pelarut poten kolesterol, seperti methyltert-

butylether dan monooctanoin, kemudian diinfuskan secara langsung ke dalam kandungempedu. Pada pemberian methyltert-butylether, pembatasan

waktu kontak antara instilasi dan aspirasi sangat diperlukan untuk mencegah tumpahnya pelarut ini ke dalam duktus biliaris. Bila hal ini terjadi, keluhan nyeri

perut yang transien dan duodenitis dapat timbul. Angka rekuresi tindakan ini mencapai 10% pertahun dan 50% dalam 5 tahun, jadi cukup tinggi dan dapat

dijadikan panduan dalam pertimbangan pemilihan terapi.

Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin atau metil tertier butil eter/MTBE) dapat juga dengan melalui jalur: melalui selang

atau kateter yang dipasang perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T Tube untuk

melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
Bahan pelarut (solven) yang dapat melarutkan batu kolesterol dapat dimasukan langsung ke kandung empedu secara perkutan dengan dituntun

ultrasonografi. Solusi yang dipakai adalah MTBE (metil terbutil etan) dan akan melarutkan batu kolesterol dalam 1-3 hari. Efek samping meliputi komplikasi

penempatan kateter, efek samping dari MTBE yang mengalir ke duodenum/ anemia hemolitik, duodenitis hemoragik dan pneumoni aspirasi. Cara ini dipakai

pada batu kolesterol kecil tanpa kalsifikasi; kontraindikasi adalah baru pigmen atau batu yang telah mengalami kalsifikasi, sirosis hati dengan hipertensi portal

dan koagulopati. Saat ini terapi ini sudah banyak ditinggalkan.

Pengangkatan non bedah

Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus

koledokus. Prosedur pertama sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T Tube atau lewat fistula yang terbentuk

pada saat insersi T Tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur kedua adalah

penggunaan endoskop ERCP. Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus

koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari spingter Oddi sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar;

pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit untuk bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi dengan jaring atau halon kecil

pada ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi, namun kondisi

pasien harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi dan pankreatitis.

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) / Litotripsi

ESWL diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an. Para peneliti di Jerman mendapatkan hasil hilangnya batu pada 95% pasien simptomatik dengan

batu empedu yang tidak mengalami kalsifikasi dengan diameter berukuran kurang dari 20 mm pada kandung empedu yang fungsional. Keberhasilan mencapai

60% pada batu serupa yang berukuran 20-30 mm. Kelompok yang diindikasikan mendapat terapi ini mencakup 16% pasien batu empedu yang simptomatik

secara keseluruhan. Efektivitas ESWL memerlukan terapi adjuvan asam ursodeoksikolat. Rekurensi jarang timbul pada pasien dengan batu tunggal, namun

lebih sering pada batu multipel. Komplikasi ESWL umumnya ringan, seperti peningkatan sementara kadar enzim liver, nyei bilier sementara (20-40%),

pankreatitis ringan (1-2%), hemobilia dan hematuria (8-14%). Meski demikian, sampai saat ini FDA belum memberikan izin bagi pemakaian ESWL untuk terapi

batu empedu di Amerika Serikat.

Prosedur noninvasiv ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu

atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.(Smeltzer, 2002). Litotripsi gelombang elektrosyok ini

meskipun sangat populer beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah

dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat. (Klingensmith, Chen, 2008).

Prosedur ini pada prinsipnya adalah berhasil memecah batu empedu tanpa pembedahan, dengan menggunakan gelombang yang diarahka kepada batu

empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Setelah batu tersebut dipecah secara
bertahap, pecahnya akan bergerak spontan dari kandung empedu dan dikeluarkan melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang

diberikan per oral.

Metode ini mengkombinasikan dua cara yakni terapi oral asam empedu (AUDK/ asam ursodeoksikolat) dan fragmentasi batu empedu. Dengan ESWL,

gelombang kejut dengan amplitudo tinggi yang dihasilkan oleh elektrohidrolik: eksternal atau alat listrik piezo yang diarahkan pada batu kandung empedu

di bawah tuntunan ultrasonografi. Tujuan ESWL agar menghasilkan fragmen-fragmen kecil (< 3mm) yang dapat melalui duktus sistikus dan duktus koledokus

sehingga dapat dibuang ke duodenum. Fragmen yang tersisa di kandung empedu dilarutkan oleh AUDK. AUDK diberikan beberapa minggu sebelum dan

bersama dengan ESWL, dilanjutkan selama beberapa bulan sampai batu tidak tampak lagi.

Kriteria pemilihan pasien untuk ESWL adalah sama dengan kriteria untuk terapi oral asam empedu. Hasil terbaik didapat bila batu-batunya tunggal dan

kecil. Efek samping ESWL adalah pasca prosedur seperti kolik bilier, pankreatitis dan cedara transien dari paru atau ginjal kanan. Walaupun ESWL ini jelas

bermanfaat pada beberapa pasien, mahalnya harga unit litotripsor, terbatasnya pasien yang memenuhi syarat, potensi kambuh, masih diperlukannya terapi

medis sesudahnya, dan perkembangan laparoskopi telah membatasi antusias penggunaan ESWL.

Pasien dengan batu empedu multipel memiliki angka kekambuhan lebih tinggi daripada yang dengan batu soliter. Angka kekambuhan jangka panjang

dengan ESWL juga tinggi yakni 15% pada tahun pertama, dan 60% pada tahun ke 5,5. Salah satu tantangan utama dari terapi non bedah untuk batu empedu

adalah pencegahan kekambuhan. Belum sepenuhnya disetujui apakah dosis rendah jangka panjang dari AUDK dapat memberikan perlindungan terhadap

kekambuhan.

Litotripsi juga dapat dilakukan secara endoskopik atau endoscopic lithotripsy, misalnya dengan ultrasound disebut ultrasonic lithotripsy, suhu dan listik

yaitu electrohydraulic lithotripsy (EHL), mekanik atau mechanical lithotripsy, dan laser lithotripsy.

Litotripsi intrakorporeal, pada Litotripsiintrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu dapat dipecah dengan menggunakan gelombang

ultrasound, laser berpulsa atau litrotipsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu kemudian fragmen batu dikeluarkan

dengan cara irigasi dan aspirasi.

II. Dietetik

Prinsip penanganan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk

memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat badan dan

keseimbangan cairan tubuh.

Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang

dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga harus dihindarkan. (Lesmana, 2009).

Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi, maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak

mengeluarkan gas akan sangat membantu.

Syarat-syarat diet pada penyakit kandung empedu yaitu:


 Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicema.
 Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori dikurangi.
 Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak.
 Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi. (Lesmana, 2009).

Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu (kolesistitis) sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik

dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien

memburuk.(Smeltzer, 2002) Manajemen terapi nutrisi:

 Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein


 Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
 Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
 Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
 Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)

Medika mentosa (farmakoterapi)

Beberapa preparat yang biasanya digunakan sepanjang terapi :

Ranitidin

 Komposisi: Ranitidina HCl setara ranitidina 150 mg, 300 mg/tablet, 50 mg/ml injeksi.
 Indikasi: Ulkus lambung termasuk yang sudah resisten terhadap simetidina, ulkus duodenum,
hiperekresi asam lambung (Dalam kasus kolelitiasis ranitidin dapat mengatasi rasa mual dan
muntah / anti emetik).
 Perhatian: Pengobatan dengan ranitidina dapat menutupi gejala karsinoma lambung, dan tidak
dianjurkan untuk wanita hamil.

Buscopan (analgetik /anti nyeri)

 Komposisi: Hiosina N-bultilbromida 10 mg/tablet, 20 mg/ml injeksi.


 Indikasi: Gangguan kejang gastrointestinum, empedu, saluran kemih wanita.
 Kontraindikasi: Glaukoma hipertrofiprostat.

Buscopan Plus

 Komposisi: Hiosina N-butilbromida 10 mg, parasetamol 500 mg.


 Indikasi: Nyeri paroksimal pada penyakit usus dan lambung, nyeri spastik pada saluran uriner,
bilier, dan organ genital wanita.

NaCl

 NaCl 0,9 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida yang dimana kandungan osmolalitasnya sama
dengan osmolalitas yang ada di dalam plasma tubuh.
 NaCl 3 % berisi Sodium Clorida/Natrium Clorida tetapi kandungan osmolalitasnya lebih tinggi
dibanding osmolalitas yang ada dalam plasma tubuh.

Untuk antibiotika akan dibahas selanjutnya di bagian antibiotika di bawah.

Alternatif

Ada suatu terapi alternatif yang dinamakan "gallbladder flush" atau "liver flush". Jadi dalam terapi ini, seseorang minum 4 gelas "apple cider" dan makan

5 buah apel per hari selama 5 hari, lalu segera setelah itu mengonsumsi magnesium dan kemudian minum jus lemon atau anggur yang dicampur minyak

zaitun sebelum tidur. Paginya, orang tersebut akan mengeluarkan kotoran berwama hijau dan sesuatu yang berwama coklat (yang diyakini merupakan

batunya) tanpa rasa sakit. Alternatif ini masih kontroversial dan memerlukan studi ilmiah komprehensif yang lebih lanjut.

III. Operatif kolesistektomi

Kolesistektomi terbuka

Kolesistektomi terbuka pertama kali diperkenalkan oleh Langenbuch (1882) dan lebih dari 100 tahun menjadi terapi pilihan untuk mengobati penderita

batu empedu yang simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Pada laparotomi,

visualisasi langsung dan palpasi kandung empedu, duktus biliaris, duktus sistikus, dan pembuluh darah memungkinkan diseksi dan pengangkatan batu

empedu secara aman dan akurat. Kadang kala kolangiografi intraoperatif dilakukan sebagai tambahan. Eksplorasi CBD saat operasi bervariasi antara 3-21%.
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, biloma, dan infeksi. Kolesistektomi terbuka masih merupakan tindakan pembanding

terhadap metode terapi yang lain dan merupakan alternatif terapi bedah yang aman. Data baru-baru ini menunjukkan angka mortalitas pada pasien yang

menjalani kolesistektomi terbuka yang elektif hampir mencapai nol persen. Dari 42.000 pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989.

Angka kematian secara keseluruhan 0,17%, pada pasien kurang dari 65 tahun, angka kematian 0,03% sedangkan pada penderita di atas 65 tahun, angka

kematian mencapai 0,5%.

Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau memiliki komplikasi dari batu empedu,

kecuali terdapat kontraindikasi seperti umur atau kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan operasi terbuka. Dalam beberapa kasus empiema kandung

empedu, drainase sementara nanah dari kandung empedu (cholecystostomy) mungkin lebih dipilih terlebih dahulu untuk stabilisasi kondisi dan untuk

memungkinkan kemudian kolesistektomi secara elektif.

Pada pasien dengan batu kandung empedu yang diduga bersamaan batu saluran empedu umum/ductus koledokus (CBD), dokter bedah dapat melakukan

kolangiografi intraoperatif pada saat kolesistektomi. CBD dapat dieksplorasi menggunakan sebuah choledochoscope. Jika batu CBD ditemukan, batu tersebut

biasanya dapat diekstraksi secara intraoperatif. Atau, ahli bedah dapat membuat fistula antara saluran empedu dan distal duodenum yang berdekatan

(choledochoduodenostomy), yang memungkinkan batu untuk lolos tanpa membahayakan ke dalam usus.

Gambaran garis besar langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:

1. Insisi

Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi kocher, insisi kocher termodifikasi dan insisi tranverse.
Gambar Jenis-Jenis insisi pada abdomen 1= Insisi kocher

7= Insisi transverse

2. Peletakan 2 mop basah

Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon transversum dan usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common bile duct untuk

menyingkirkan gaster ke kiri.

3. Dapat melihat kandung empedu

Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter agar kandung empedu lebih terekspos.

4. Pengangkatan kandung empedu

Terdapat 2 metode :

a. Metode duct first

Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian dipisahkan setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD (common bile duct), CHD (common hepatic duct) dan CD (cystic duct)

Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat

b. Metode fundus first

Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus sistikus.

Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD

Setelah kolesistektomi, sekitar 5-10% pasien mengalami diare kronis. Hal ini biasanya dihubungkan dengan garam empedu. Frekuensi sirkulasi

enterohepatic garam empedu meningkat setelah kandung empedu diangkat, sehingga garam empedu lebih banyakmencapai usus besar. Dalam usus besar,

garam empedu merangsang sekresi mukosa garam dan air.

Diare post-kolesistektomi biasanya ringan dan dapat dikelola dengan menggunakan sesekali agen antidiare yang dijual bebas, seperti loperamide, diare

lebih sering dapat diobati dengan obat sehari-hari dengan resin yang mengikat asam empedu.

Setelah kolesistektomi, beberapa individu dapat mengalami sakit berulang menyerupai kolik empedu. Sindrom post-kolesistektomi adalah istilah

terkadang digunakan untuk kondisi ini.

Banyak pasien dengan sindrom rasa sakit fungsional post-kolesistektomi jangka panjang yang awalnya salah didiagnosis berasal dari empedu sebagai

penyebabnya. Gejala ini yang persisten setelah kolesistektomi bukan kejadian langka. Diagnosis dan terapi harus diarahkan pada penyebab yang sebenarnya.

Beberapa individu dengan sindrom post-kolesistektomi memiliki gangguan motilitas yang mendasari sphincter Oddi, disebut tardive empedu, di mana

sfingter gagal untuk relaksasi biasanya setelah konsumsi makan. Diagnosis dapat didirikan di pusat-pusat kesehatan khusus dengan manometry endoskopi

empedu. Dalam kasus lanjut tardive empedu, sfingterotomi retrograd endoskopik biasanya efektif dalam mengurangi gejala.

Komplikasi pascaoperasi yang sering dijumpai dibagi menjadi komplikasi bilier dan nonbilier. Komplikasi tersering adalah sisa batu pada CBD, leakage

atau fistula bilier, atau trauma traktus bilier.

Postcholecystectomy syndrome (sindroma post kolesistektomi) adalah keluhan nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang episodik dan tidak berkaitan

dengan makanan setelah seseorang menjalani kolesistektomi. Nyeri tersebut biasanya berupa kolik dan intermiten, namun dapat pula konstan dan

berlangsung 24-48 jam. Biasanya mengenai seorang perempuan setengah baya yang pernah kolesistektomi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Jika

nyeri mereda, pemeriksaan abdomen dan laboratorium biasanya normal. Etiologi pasti timbulnya nyeri tidak j elas. Dugaan yang umum adalah adanya

peningkatan tekanan di dalam ampula Vateri karena obstruksi intermiten dari sfinkter Oddi. Hal ini dapat timbul akibat kelainan organik (batu,

neoplasma duktus, fibrosis papiler) ataukelainan fungsional mekanisme sfinkter akibat diskinesia bilier. Asumsi lain yang berkembang adalah adanya cystic

stump syndrome, yaitu terbentuknya batu pada sisa duktus sistikus yang panjang, dan cystic duct neuroma, berupa jaringan saraf yang mengalami transeksi

dan terperangkap di dalam jaringan fibrosis serta menghasilkan nyeri.Adanya nyeri pasca operasi juga perlu dipikirkan penyebab lain.

Sumber kelainan bilier yang menyebabkan sindroma post kolesistektomi


 Batu di CBD
 Sisa kandung empedu
 Striktur karena trauma
 Sisa duktus sistikus
 Pipilitis stenosis
 Diskinesia bilier

Sumber kelainan non bilier yang menyebabkan nyeri post kolesistektomi

 Irritable bowel syndrome


 Peptic ulcer
 Reflux esophagitis
 Nonbiliary pancreatitits liver disease coronary artery disease
 Intraabdominal adhesions
 Intercostals neuritis
 Wound neuroma

Operasi kolesistektomi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk

kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma duktus empedu, perdarahan,

dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara

keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %.

(Doherty, 2010).

Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah

 Pasien dengan batu empedu > 2cm


 Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi keganasan
 Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut. (Heuman, 2011).
Penatalaksanaan praoperatif, disamping pemeriksaan sinar –x pada kandung epedu, pembuatan foto thoraks,elektrokardiogram dan pemeriksaan faal

hati dapat dilakukan. Terapi komponen darah dapat dikerjakan sebelum pembedahan. Kebutuhan nutrisi perlu dipertimbangkan, suplemen hidrolisat protein

mungkin diperlukan untuk membantu kesembuhan luka dan mencegah kerusakan hati.

Persiapan sebelum operasi kandung empedu serupa dengan persiapan bagi setiap tindakan laparotomi abdominal bagian atas. Instruksi dan penjelasan

tentang mobilisasi tubuh dan nafas harus sudah dilakukan sebelum pembedahan dilakukan. Pneumonia dan atelektasis merupakan komplikasi yang sering

terjadi pascaoperatif terbuka semacam ini yang mungkin terjadi tetapi sering dapat dihindari dengan latihan nafas dalam serta sering membalik tubuh.

Penatalaksanaan pra operatif:

1. Pemeriksaan sinar X pada kandung empedu


2. Foto thoraks
3. Elektrokardiogram
4. Pemeriksaan faal hati
5. Vitamin k (diberikan bila kadar protrombin pasien rendah)
6. Terapi komponen darah
7. Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa scara intravena bersama suplemen
hidrolisat protein mungkin diperlikan untuk membentu kesembuhan Iuka dan mencegah
kerusakan hati.

Penanganan bedah/operatif pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama,

untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala yang dirasakan pasien sudah mereda

atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bila mana kondisi psien mengharuskannya, Tindakan operatif dapat meliputi:

 Sfingerotomy endosokopik
 PTBD (percutaneus transhepatik biliarian drainage)
 Pemasangan "T Tube " saluran empedu koledoskop
 Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube

Kolesistektomi minilaparotomi

Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi yang lebih kecil dengan efek nyeri pascaoperasi yang lebih rendah. Disebut juga

Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4cm, luka insisi dapat diperlebar untuk

mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar.


Kolesistektomi laparoskopik

Dikembangkan sejak tahun 1987, kolesistektomi laparoskopi sekarang menjadi terapi pilihan untuk penderita batu empedu yang simptomatik. Di seluruh

dunia, 75% tindakan kolesistektomi dilakukan dengan laparoskopi. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pascaoperasi yang lebih minimal, pemulihan yang

lebih cepat, hasil kosmetik yang lebih baik, menyingkatkan masa perawatan di rumah sakit, dan biaya yang lebih murah. Berbeda dengan kolesistektomi

terbuka, pada laparoskopik hanya membutuhkan 4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi juga cepat. Indikasi tersering adalah nyeri bilier

yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka, yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anastesi umum dan koagulopati yang tidak

dapat dikoreksi. Tindakan ini mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang minimal. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, leakage

(bocor) dari stump duktus sistikus, dan trauma (cedera) duktus biliaris. Risiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara

0,5-1%.

Prosedur (endoskopik) membawa perubahan yang dramatis pada cara pendekatan dalam penatalaksanaan kolelitiasis. Dilakukan lewat insisi yang kecil

atau luka tusukan (biasanya 4) melalui dinding abdomen pada umbilicus. Pada prosedur ini, rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida

(pneumoperitonium) untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur abdomen. Sebuah endoskop serat-optik

dipasang melalui, luka insisi umbilicus yang kecil, luka tusukan dibuat pada dinding abdomen untuk memasukkan instrument bedah lainnya kedalam bidang

operasi. Kamera yang disambung dengan endoskop tersebut memungkinkan gambaran intra abdominal ditransmisikan ke sebuah monitor. Keuntungan pada

prosedur bedah endoskopik ini adalah bahwa pasien tidak akan mengalami ileus paralitik seperti yang terjadi pada operasi bedah abdomen terbuka, dan rasa

nyeri abdominal pasca operatif tidak begitu hebat.

Kolesistitis akut awalnya menjadi kontraindikasi relatif untuk menjalani kolesistektomi laparoskopi. Namun ternyata, bila dilakukan sesuai dengan

prosedur, tindakan laparoskopi dapat dilakukan dengan aman. Pada kondisi klinis kolesistitis akut ini, operator harus memahami kesulitan teknik yang

mungkin timbul, lama operasi yang lebih panjang, serta besarnya kemungkinan konversi tindakan menjadi kolesistektomi terbuka (25%).

Kesimpulan tentang batu empedu dan kolesistektomi laparoskopi: dari the National Institutes of Health Concensus Conference, 14 - 16 September

1992:

 Kolesistektomi terbuka tetap menjadi standar untuk acuan pertimbangan terapi lain
 Terapi asam empedu oral, dengan atau tanpa electrohydraulic shock-wave lithotripsy, kurang
efektif
 Disolusi kontak mempunyai keterbatasan klinik
 Kolesistektomi lapararoskopi aman dan efektif
 Diusahakan tindakan kolesistektomi laparoskopi untuk keamanan maksimal dan biaya yang
efektif

Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah

sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin
sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih

sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil. Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak

terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk

aktifitas olahraga. (Hunter, 2007).

Beberapa pasien dapat mengalami gejala sindrom pasca kolesistektomi seperti dispepsia, diare yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi berlebihan

dari garam empedu, nyeri bilier yang disebabkan oleh spasme sfingter oddi. (Engram, 2009).

Kolesistostomi

Yaitu adalah drainase kandung empedu, dikombinasikan dengan pengambilan batu, dapat dilakukan secara perkutan atau melalui operasi dengan anatesi

lokal. Indikasinya terbatas pada pasien dengan risiko operasi yang buruk dan pasien batu empedu obstruksi dengan keadaan umum yang jelek. Kadang-

kadang, kolesistostomi merupakan pilihan jika kolesistektomi terbuka tidak aman untuk dilakukan. Angka kematian mencapai 10-12%, biasanya berkaitan

dengan penyakit penyerta.

Pada pasien yang mengalami empiema kandung empedu dan sepsis, kolesistektomi bisa berbahaya. Dalam hal ini, ahli bedah dapat memilih untuk

melakukan cholecystostomy, prosedur minimal yang melibatkan penempatan tabung drainase di kantong empedu. Hal ini biasanya menghasilkan perbaikan

klinis. Setelah pasien stabil, kolesistektomi terbuka dapat dilakukan dalam keadaan elektif. Kolesistostomi juga dapat dilakukan dalam beberapa kasus oleh

ahli radiologi invasif di bawah panduan CT-scan. Pendekatan ini menghilangkan kebutuhan untuk anestesi dan sangat menarik pada pasien yang secara klinis

tidak stabil.

Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi yang lebih luas atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat sistem

bilier tidak jelas, kandung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk

drainase diikat dengan jahitan kantong tembakau (purse-string suture). Kateter untuk drainase dihubungkan dengansistem drainase untuk mencegah

kebocoran getah empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu kedalam rongga peritoneal. Meskipun resikonya lebih rendah dari bedah

kolesistostomi memiliki angka mortalitas yang tinggi ( yang dilaporkan sampai setinggi 20% sampai 30%) yang biasanya disebabkan oleh proses penyakit

pasien yang mendasarinya.

Kolangiografi Intraoperatif

Kemajuan bedah laparoskopi menjadikan tindakan kolangiografi intraoperatif menjadi perdebatan. Tindakan kolangiografi intraoperatif pada pasien

yang menjalani kolesistektomi terbuka dilakukan secara selektif, yaitu pada pasien dengan koledokolitiasis yang teraba, distensi CBD dan adanya batu

empedu yang multipel. Namun demikian, belum ada kesepakatan pemakaiannya pada tindakan secara laparoskopi. Peran kolangiografi, bagaimanapun,

cukup membantu dalam mendeteksi batu di CBD dan mengkonfirmasi adanya kelainan anatomis pada duktus.

Sfingterotomi Endoskopi
Jika operasi pengangkatan segera batu saluran umum empedu (CBD) tidak layak dilakukan, sfingterotomi retrograd endoskopik dapat menjadi pilihan.

Dalam prosedur ini, seorang endoscopist akan mengkanulasi saluran empedu melalui papilla Vateri. Menggunakan sphincterotome elektrokauter,

endoscopist membuat sayatan berukuran kurang lebih 1 cm melalui sfingter dari Oddi dan bagian intraduodenal dari saluran empedu, menciptakan

lubang dimana batu dapat diekstraksi.

ERCP terapiutik ini dengan melakukan sfingtertomi endoskopik untuk mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi pertama kali dilakukan tahun

1974. Sejak itu teknik ini telah berkembang pesat dan menjadi standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.

Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat, balon-ekstraksi atau kateter Fogarty / kateter basket melalui muara yang

sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar spontan bersama tinja atau dikeluarkan melalui mulut bersama endoskopnya.

Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada

penderita ini dianjurkan litotripsi lebih dahulu untuk mengeluarkan batu duktus koledokus secara mekanik melalui papilla vater dengan alat ultrasonic atau

laser. Umumnya penghancuran ini dilakukan bersama-sama atau dilengkapi dengan sfingterotomi endoskopik.

Pada awalnya sfingterotomi endoskopi hanya diperuntukan pada pasien berusia lanjut yang mempunyai batu saluran empedu residif atau tertinggal

pasca kolesistektomi atau mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami komplikasi operasi saluran empedu.

Pada kebanyakan pusat pelayanan kesehatan besar ekstrasi batu sukses dapat dicapai pada 80-90% dengan komplikasi dini sebesar 7-10% dan mortilitas

1-2%. Komplikasi penting dari sfingterotomi dan ekstraksi batu meliputi pankreatitis akut, perdarahan dan perforasi.

Keberhasilan sfingterotomi yang begitu mengesankan ini dan kehendak pasien yang kuat telah mendorong banyak pusat pelayanan kesehatan untuk

memperluas indikasi sfingterotomi endoskopi terhadap orang dewasa muda dan bahkan pasien kandung empedu utuh dengan masalah klinis batu saluran

empedu.

Di Indonesia sendiri khususnya di Jakarta, sfingterotomi endoskopik telah mulai dikerjakan pada tahun 1983, tapi berkembangnya belum merata ke

semua senter karena ERCP teraputik ini membutuhkan ketrampilan khusus dan jumlah pasien yang adekuat serta alat fluroskopi yang memadai untuk

mendapatkan hasil foto yang baik.

Pada suatu penelitian di Jakarta pada tahun 1991 keberhasilan ekstraksi batu saluran empedu dengan teknik non-operatif ini didapatkan pada 123 (85%)

dari 142 kasus dengan komplikasi 10%.

Sfingterotomi Retrograde Endoskopi ini sangat berguna pada pasien yang sakit kritis disebabkan oleh efek dari batu empedu di ampula Vateri. Indikasi

lain untuk prosedur ini adalah sebagai berikut:

 Pengambilan batu saluran empedu umum (duktus koledokus) yang secara tidak sengaja tertinggal
selama kolesistektomi sebelumnya
 Kliring preoperative batu dari saluran empedu umum untuk menghilangkan kebutuhan untuk
eksplorasi saluran empedu intraoperatif umum, terutama dalam situasi di mana keahlian dokter
bedah laparoskopi dalam eksplorasi saluran empedu terbatas atau risiko anestesi pasien tinggi
 Mencegah kambuhnya batu empedu pankreatitis akut atau komplikasi lainnya dari
choledocholithiasis pada pasien yang terlalu sakit saat ini untuk menjalani kolesistektomi
elektif atau yang dalam jangka panjang memiliki prognosis buruk

Koleostostomi perkutan

Koleostostomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis kolelitiasis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus

menjalani tindakan pembedahan atau anestesi umum, pasien ini mencakup para penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal

ginjal, paru dan hati. Dibawah pengaruh anestesi local sebilah jarum yang halus dutusukkan lewat dindung abdomen dan tepi hati didalam kandung empedu

dengan dipandu dengan USG. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan jarum telah adekuat kemudian kateter dimasukkan kedalam kandung empedu

untuk dekompresi saluran empedu. Antibiotik diberikan sebelum, selama, dan sesudah pelaksanaan tindakan.

Kholedoskopi intraoperatif pada eksplorasi terbuka CBD

Pada kebanyakan laporan operasi dikatakan batu empedu yang tertinggal saat eksplorasi CBD berkisar 10 %, akan tetapi dengan kolangiografi

intraoperatif dapat menurunkan insidensi. Banyak yang menganjurkan penggunaan koledoskopi untuk menurunkan insidensi batu empedu yang tertinggal.

Operasi untuk batu CBD

Sekitar 12% pasien kolelitiasis simptomatik yang menjalani operasi juga disertai adanya koledokolitiasis. Indikasi adanya kolelitiasis 90% ditunjukkan

dengan adanya riwayat ikterus, kolangitis, pankreatitis, dan tes fungsi hepar yang abnormal.

Terapi yang optimal meliputi pengangkatan batu pada CBD dan kandung empedu. Hal ini dapat dikerjakan dengan dua tahap, yaitu ERCP yang dikuti dengan

kolesistektomi laparoskopi atau melalui satu tahap yaitu kolesistektomi dan eksplorasi CBD secara laparoskopi ataupun dengan operasi terbuka. Angka

morbiditas dan mortalitas bedah terbuka lebih tinggi dari tindakan laparoskopi. Berdasarkan penelitian terakhir efektif itas tindakan eksplorasi CBD secara

laparoskopi tidak berbeda bermakna dengan ERCP dalam mengangkat batu CBD. Pilihan di antara keduanya tergantung pada kemampuan sarana dan

keahlian.

Pada pasien yang tua dan lemah, ERCP dan sfinkterotomi serta ekstraksi batu tanpa kolesistektomi dapat dipertimbangkan, mengingat timbulnya gejala

lebih lanjut hanya ter jadi pada 10% kasus.

Jika dicurigai adanya batu CBD pada pasien yang sudah menjalani kolesistektomi, ERCP dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengekstraksi batu.

Pengangkatan batu menggunakan dormia basket atau balon. Untuk batu yang multipel, pigtail stent diinsersi untuk drainase empedu; hal ini akan

memungkinkan keluarnya batu. Batu yang besar atau keras dihancurkan dengan litotriptor mekanik. Jika ERCP tidak memungkinkan, batu diangkat secara

bedah.
Algoritma penanganan pasien dengan kolelitiasis

IV. Penatalaksanaan pada Cholecystitis, Cholecystolithiasis, Choledocholithiasis, dan Cholangitis

Cholecystitis (Kolesistitis)

Cholecystitis adalah peradangan kandung empedu. Penatalaksanaan cholecystitis bergantung pada beratnya kondisi dan ada atau tidaknya komplikasi.

Kasus yang tidak berat sering kali tidak memerlukan tindakan operasi, namun pada kasus yang berat memerlukan pendekatan pembedahan. Pada pasien

yang kondisinya tidak stabil, percutaneous transhepatic cholecystostomy drainage sangat sesuai. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi. Terapi

definitif melibatkan cholecystectomy atau penempatan perangkat drainase; oleh karena itu diperlukan konsultasi dengan ahli bedah. Konsultasi dengan ahli

gastroenterologi untuk mempertimbangkan terapi ERCP yang sesuai jika ditemukan juga choledocholithiasis.

Pasien yang menderita cholecystitis tidak diperkenankan menerima pengobatan dan diet apapun melalui oral. Tetapi pada cholecystitis yang tidak berat,

cairan dan diet rendah lemak dapat diberikan sampai tiba waktu untuk dilakukannya operasi. (Bloom, 2011).
Terapi Initial dan Antibiotik

Pada cholecystitis akut terapi initial termasuk penggunaan kateter, rehidrasi melalui intravena, koreksi elektrolit, analgesik, dan pemberian antibiotik

melalui intravena. Untuk kasus yang sedang, terapi antibiotik dosis tunggal spectrum luas cukup adekuat. Beberapa pendapat lain pemberiannya juga dapat

diikuti dengan:

 The Sanford Guide merekomendasikan penggunaan piperacillin/tazobactam (3.375 g IV setiap 6


jam atau 4.5 g IV setiap 8 jam), ampicillin/sulbactam (3 g IV setiap 6 jam), atau meropenem (1 g
IV setiap 8 jam). Untuk kasus yang berat, the Sanford Guide merekomendasikan
imipenem/cilastatin (500 mg IV setiap 6 jam).
 Regimen altematif menggunakan cephalosporin generasi ketiga ditambah metronidazole (1 g IV
loading dosis diikuti 500 mg IV setiap 6 jam).
 Bakteri yang sering pada cholecystitis yaitu Escherichia coli, Bacteroides fragilis, Klebsiella,
Enterococcus, dan Pseudomonas sp.
 Gejala muntah dapat diatasi dengan pemberian antiemetic dan nasogastric suction
 Oleh karena proses yang cepat pada akut acalculous cholecystitis menjadi ganggren dan
perforasi, pengenalan dan intervensi dini sangat diperlukan.
 Pengobatan secara suportif harus diberikan termasuk restorasi dari stabilitas hemodinamik dan
antibiotik untuk gram negatif flora enteric dan anaerob jika terdapat kecurigaan adanya infeksi
pada saluran empedu.
 Stimulasi untuk kontraksi kandung empedu dapat digunakan kolesistokinin secara intravena.
(Bloom, 2011).

Konservatif

Pengobatan rawat jalan sesuai untuk pasien dengan kasus cholecystitis yang tidak berat. Pengobatan dengan antibiotik, analgetik, dan terapi definitif dengan

pengawasan. Medikasi yang dapat diberikan yaitu:

 Antibiotik profilaksis dengan levofloxacin (500 mg peroral setiap hari) dan metronidazole (500 mg
peroral dua kali sehari).
 Antiemetik, seperti oral/rectal promethazine atau prochlorperazine, untuk kontrol rasa mual and
untuk mencegah kekurangan cairan dan elektrolit.
 Analgetik, seperti oral oxycodone/acetaminophen. (Bloom, 2011).
Cholecystolithiasis (kolesistolitiasis)

Cholecystolithiasis adalah batu pada duktus sistikus. Pengangkatan batu pada duktus sistikus dilakukan dengan menggunakan single-incision

laparoscopic surgery (SILS) untuk kolesistektomi melalui insisi trans-umbilical, dengan menarik duktus sistikus keluar sepanjang vena cavernous, kemudian

mengamankan duktus sistikus dari Calot's triangle dan melakukan ligasi arteri sistikus. (Shirasu, 2013).

Choledocholithiasis (koledokolitiasis)

Choledocholithiasis adalah batu saluran empedu terletak pada duktus koledokus.

Operatif dan Non Operatif

Modalitas yang dapat digunakan dalam terapi non-surgical adalah ERCP dan prosedurnya bernama sphincterotomy, dimana operasinya adalah untuk

memotong otot pada duktus komunis agar batu dapat dialirkan atau dapat dilakukan pengangkatan batu (Vorvick, 2011), percutaneous extraction, dan ESWL

(Extracorporeal Shock Wave Litotripsy). Sedangkan terapi surgical adalah open choledochotomy, transcystic exploration, drainage procedures,

cholecystectomy. (Dandan, 2007).

Koledokostomi adalah tindakan dimana insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang

sebuah kateter kedalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Umumnya Koledokostomi dilakukan bersama-sama

kolesistektomi.

Medikamentosa (farmakoterapi)

1. Antibiotik-sebagai profilaksis ataupun terapi bila terbukti terdapat infeksi


2. Agen H-2 antagonist, sukralfat, dan proton pump inhibitor-profilaksis terhadap stress ulcer.
(Dandan, 2007).

Cholangitis (kolangitis)

Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun

dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur.

Penderita yang menunjukkan gejala kolangitis akut harus dirawat dan dipuasakan. Apabila ada distensi perut, dipasang pipa lambung. Dilakukan koreksi

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, penanganan syok, pemberian antibiotika sistemik dan pemberian vitamin K sistemik kalau ada koagulapati.

Biasanya keadaan umum dapat diperbaiki dalam waktu 24-48 jam.


Tindakan utama adalah melancarkan aliran bilier untuk mengatasi infeksi serta untuk memperbaiki fungsi hati, dan pemberian antibiotika yang adekuat.

Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneous transhepatic biliar drainage= PTBD) biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu

alternative untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien

dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik.

Operatif dan Non Operatif

Melancarkan aliran bilier bisa dilakukan secara operatif atau non operatif yakni per

endoskopi atau perkutan bilamana memiliki fasilitas tersebut. Ekstraksi batu dengan endoskopi sesudah dilakukan sphincterotomy dilakukan langsung

sesudah dilakukan kolangiografi. Bilamana usaha pengeluaran batu empedu gagal, mutlak pula dipasang pipa nasobilier untuk sementara sambil

menunggu tindakan yang definitif. (Nurman, 1999).

Antibiotika

Pemilihan antibiotika, mikroorganisme yang paling senng sebagai penyebab adalah E. Coli dan Klebsiella, diikuti oleh

Streptococcus faecalis. Pseudomonas aeroginosa lebih jarang ditemukan kecuali pada infeksi iatrogenik, walaupun demikian antibiotika yang dipilih perlu

yang dapat mencakup kuman ini. Walaupun kuman anaerob lebih jarang, kemungkinan bahwa kuman ini bertindak sinergis dengan kuman aerob

menyebabkan bahwa pada pasien yang sakitnya sangat berat, perlu diikutsertakan antibiotika yang efektif terhadapnya. Tidak ada antibiotika

tunggal yang mampu mencakup semua mikroorganisme, walaupun beberapa antibiotika seperti sefalosporin dan kuinolon memiliki spectrum luas.

Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada waktu yang lalu telah direkomendasikan karena dapat mencakup kuman tersebut di atas selain harganya tidak

mahal. Kerugian kombinasi adalah bahwa aminoglikosida bersifat nefrotoksik. Generasi ketiga sefalosporin telah dipakai dengan berhasil pada kolangitis akut

karena dieksresikan melalui empedu. Terapi tunggal dengan cefoperazon telah terbukti lebih baik daripada kombinasi ampisilin dan

tobramisin, juga septasidin. Golongan karbapenem yang baru yakni imipenem yang memiliki spektrum luas juga berpotensi baik. Obat ini diberikan bersama

dengan silastatin. Siprofloksasin dari golongan kuinolon telah digunakan pada sepsis bilier dan memiliki spectrum yang luas; obat ini diekskresi melalui ginjal

dan juga penetrasi ke empedu. Bilamana dikombinasi dengan metronidasol untuk mencakup flora anaerob, akan sangat efektif. Untuk pencegahan secara

oral terhadap kolangitis rekuren dapat dipilih terapi tunggal dengan ampisilin, trimetoprin atau sefalosporin oral seperti sefaleksin. (Nurman, 1999).

EDUKASI
Pencegahan kolelitiasis yang dapat dilakukan antara lain berhubungan dengan makanan yang dikonsumsi dan faktor-faktor resiko yang memicu terjadinya

kolelitiaisis. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain melakukan kontrol kesehatan berkala. Orang dengan faktor resiko harap lebih memperhatikan faktor-

faktor lainnya yang dapat memicu terjadinya kolilitiasis. Pada orang yang tidak sengaja ditemukan batu empedu karena komposisi terbesar batu empedu

adalah kolesterol, sebaiknya menghindari makanan berkolesterol tinggi yang pada umumnya berasal dari lemak hewani. Namun harus diperhatikan pula,

apabila batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani
pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak

perlu dilakukan pembatasan makanan.Seimbangkan menu makanan dan pola hidup yang sehat. Pamantauan pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral

total dalam waktu lama penting dilakukan. Pada orang yang melakukan diet pastikan menu yang dikonsumsi seimbang dan tidak menurunkan berat badan

dalam waktu yang cepat.

Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari

metabolisme lemak, sehingga pasien dianjurkan atau dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol yang tinggi terutama yang berasal

dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah yang

dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh.

PROGNOSIS
Prognosis nya adalah tergantung dari besar atau kecilnya ukuran batu empedu, karena akan menentukan penatalaksanaannya, serta ada atau tidak dan

berat atau ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam

jiwa. Walaupun demikian, dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan biasanya baik.

Setelah kolesistektomi, batu dapat timbul kembali di saluran empedu. Secara terpisah, kolesistektomi laparoskopi insisional tunggal tampaknya terkait

dengan angka hernia insisional sebesar 8%, pada individu dengan umur ≥50 tahun dan body mass index (BMI) (≥30 kg/m2) sebagai factor prediksi independen.

Kurang dari separuh pasien dengan batu empedu menimbulkan gejala. Tingkat kematian untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan kurang dari

10% morbiditas. Tingkat kematian untuk kolesistektomi cito adalah 3-5% dengan morbiditas 30-50%. Setelah kolesistektomi, batu bisa muncul kembali di

saluran empedu. Sekitar 10-15% pasien memiliki koledokolitiasis terkait. Prognosis pada pasien dengan koledokolitiasis tergantung pada keberadaan dan

beratnya komplikasi. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak layak untuk menjalani operasi, 45% tetap asimtomatik dari koledokolitiasis,

sedangkan 55% mengalami berbagai tingkat komplikasi. Umumnya dengan penanganan yang baik, kondisi pasien yang tidak terlalu buruk, komplikasi yang

tidak berat dan fasilitas serta tindakan yang tepat pasien dapat sembuh.

DAFTAR PUSTAKA

 Beltran MA. Mirizzi Syndrome. World J Gastroenterol. 2012; 18: 4639-4648.


 Bloom A. Cholecystitis Treatment & Management. 2011. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-treatment#aw2aab6b6b1aa.
 Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. Jakarta: EGC; 2001.
 Dandan I. Choledocholithiasis. 2007. Available at:
http://www.eglobalmed.com/opt/MedicalStudentdotcom/www.emedicine.com/med/topic350.
htm.
 Doherty, GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition. US:
McGraw-Hill Companies; 2010.
 Engram Barbara. Cholesistectomy. In: Medical Surgical Nursing Care Plans. Delmar: A Division of
Wadsworth Inc; 2009.
 Guyton, Arthur C. Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th edition. Jakarta: EGC; 2007.
 Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Available at: http://emedicine.medscape.
com/article/175667-overview.
 Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart's Principles of Surgery. 8th edition. US: McGraw-
Hill Companies; 2007.
 Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery. In : Washington
Manual of Surgery. 5th edition. Washington : Lippincott Williams & Wilkins; 2008.
 Lesmana, L. Penyakit Batu Empedu. In : Sudoyo B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S Editors. Ilmu
Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Intema Publishing; 2009. p. 721-26.
 Nurman A. Kolangitis Akut Dipandang dari Sudut Penyakit Dalam. J Kedokteran Trisakti. 1999;
18(3): 123-9.Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam: Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. 6th edition. Jakarta: EGC; 2006.
 Shirasu T. Case report: Single-incision laparoscopic cholecystectomy for cholecystolithiasis
coinciding with cavernous transformation of the portal vein: report of a case. 2013. Available at:
http://www.biomedcentral.com/1471- 2482/13/1Of abstract.
 Silbemagl S, Lang F. Gallstones Diseases. In : Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme;
2000.
 Sjamsuhidajat R, de Jong W. Kolelitiasis. In: Bulm Ajar 11nm Bedah. 3r d edition. Jakarta: EGC;
2011.
 Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th Edition. Jakarta: EGC; 2006.
 Vorvick L. Choledocholithiasis. 2013. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ ency/article/000274.htm. Beltran MA. Mirizzi
Syndrome. World J Gastroenterol. 2012; 18: 4639-4648.
 Lee Sp, Selijima J, Gallstone, In: Yamanda T, Alpers DH, Owying C, Powel DW, Silverstein FE, eds.
Text book of gastro enterology. New York : J.B. Lippincot Come; 1991 : 94: 1996 - 84.
 Lesmana, L.A, 1995, Batu Empedu, Dalam Noer. S, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I edisi 3,
hal 380- 83, Balai Penerbit FK UI, Jakarta.
 Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Penerbit Media
Aesculapius, FKUI, Jakarta.
 Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, hal
71- 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
 Richard S. Snell, 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 - 266, Penerbit EGC, Jakarta
 Sjamsuhidajat R, Wim de jong, 1997. Kolelitiasis; Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed Revisi, hal. 767 - 733,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
 Sherlock. S, Dooley J. Disease of the Liver and Biliary Sistem 9th. ed. London : Blackwell Scientific
Publication, 1993.
 Saunders KD, Cates J A, Roslyn J J . Pathogenesis of gallst ones. In: The Surgical Clinics of North
America, Biliary Tract Surgery. Pitt HA (e d). WB Saunders Co, Philadelphia, Vol .70, No. 6, 1990:
1197-1216
 Meyers WC, Jones RS. Gallstones. In: Textbook of Liver and Biliary Surgery. JB Lippincott Co,
Phil adelphia, 1990: 228
 Harris HW. Biliary system. In: Surgery, Basic Science and Clinical Evidence. Norton JA et al. (e d).
Spinger, New Yor k, 2000: 553-84
 Roslyn, Joel J; Kahng Kim U; Calculous Gallbladder Diseases; in Digestive Tract Surgery: A Text and
Atlas, edited by Bell, Ricard H; Rikkers, Layton F; and Mulholland, Michel W; Lippincott Raven
Publishers; Philadelphia; 1996; 383 - 402
 Schwartz, Seymour I; Gallbladder and Extrahepatic Biliary System; in Principles of Surgery;
seventh ed; McGraw Hill Intl; Singapore; 1999; 1437 - 1465
 Meshikhes, A>W; Asymptomatic gallstones in the laparoscopic era, Dep Of surgery, Damman
Central Hospital, Damman, Saudi Arabia,; in J.R. Coll.Surg.Edinburg, December 2002, 742 - 748
 Turney, Sean; Pitt, Henry A; Choledocolithiasis and Chol angitis; in Digestive Trqct Surgery: A Text
and Atlas, edited by Bell, Ricard H; Rikkers, Layton F; and Muholland, Michel W; Lippincott Raven
Publishers; Philadelphia; 1996;
 Nathanson Leslie K; Gallst ones. In: Hepatobiliary and Pancreatic Surgery. Garden OJ (2n d e d).
WB Saunders Co, London , 2001; 213 - 237
 Beckingham IJ. Gallstone disease, clinical r eview. In: BMJ, Vol. 322, 2001:91-4
 Binmoeller, Kenneth F; Thonke, Frank; Soehendra, Nib; Endoscopic treatment of Mirizzi's
syndrome. In: Gastrointestinal Endoscopy, Vol. 39, No. 4, 1993: 532 - 536
 Gallstones and laparoscopic cholecyst ectomy, National Institute of Health Concensus
Development Conference Statement, 19 (3), 1992: 1-20
 Sali A. Gallstones-aetiology and dissolusion. In: Maingot's Abdominal Operations, 9t h e d.
Schwartz SI, Ellis H (e d). Appleton & Lange, Norwalk, 1990: 1381-1404
 Giurgiu DIN, Roslyn JJ. Calculous Biliary Diseases, In: Nyhus Greenfield Mastery of Surgery; 3r d e
d; CR-Room. WB Saunders Co,chapter 41
 Munson J W, Sanders LE. Cholecystctomy revisited. In: The Surgical Clinics of North America, Vol.
74 , No. 4, 1994: 741-54
 Moody,Frank G; Kwong, Kar en; PostChloecystectomy syndrome; in the Practise of General
surgery; Bland Kirby I ;ls t ed; W B Sauders; Philadelphia; 2002; 653 - 658

Kata Kunci Pencarian : Ilmu Penyakit Dalam, Gastroenterologi, Hepatologi, Gastroenterohepatologi, Sp.Pd, Spesialis penyakit dalam konsultan, Kgeh, Tesis,

Desertasi, Disertasi, Artikel Ilmiah, Karya Tulis ilmiah, Jurnal, Makalah, Skripsi, Referat, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem

Based Learning, askep, asuhan keperawatan, SKP (Satuan Kredit Profesi), Ujian, Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx

 Share This:
 Facebook
 Twitter
 Google+

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:
Posting Komentar
Langganan: Posting Komentar (Atom)

Search for:
TRANSLATE THIS WEBPAGE :

AD

CATEGORIES

Ilmu Penyakit Dalam Hematologi Kardiologi Infeksi Tropik Nefrologi Gastroenterologi Pulmonologi Endokrinologi Leukemia Medis Terkini Hepatologi
Kumpulan Latihan Soal

ADVERT

POSTING TERBARU

Your browser does not support JavaScript!

PAGES

 Home
 Disclaimer
 About Us
 Contact Us
 Privacy Policy

BERGABUNGLAH DENGAN KOMUNITAS KAMI

SILAHKAN LIKE DI FAC EBOOK UNTUK MENGIKUTI PERKEMBANGAN ARTIKEL BARU

Informasi Kedokteran dan Kesehatan

ENTRI POPULER

Reaksi Transfusi Darah

Definisi Reaksi transfusi adalah semua kejadian ikutan yang terjadi karena transfusi darah. Potensi untuk
terjadinya kompl...

Infark Miokard Akut (AMI)

Definisi Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh
obstruksi sirkulasi ke dae...

Penyakit Jantung Hipertensif (Hipertensive Heart Disease)

Definisi Hipertensi adalah peninggian tekanan darah diatas nilai normal. Ini termasuk golongan penyakit
yang terjadi akiba...

Gagal Jantung (Heart Failure)

Definisi Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang
ditandai oleh sesak napas ...

Angina Pektoris
Definisi Angina pektoris berasal dari bahasa Yunani, ankhon, yang berarti ‘mencekik’ dan pectus yang berarti
‘dada’. Jadi, angina pect...

Kor Pulmonal

Definisi Kor pulmonal / Cor Pulmonale atau disebut juga Pulmonary Heart Disease adalah suatu kondisi
gagal jantung sisi ...

Tamponade Jantung

Definisi Tamponade jantung adalah sindrom klinik dimana terjadi penekanan yang cepat atau lambat
terhadap jantung akibat adanya akumu...

Struma Nodosa Nontoksik (SNNT)

DEFINISI Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba nodul satu
atau lebih tanpa disertai...

Dislipidemia (Bagian Pertama) : Definisi, Patofisiologi, Klasifikasi, Manifestasi Klinis, Diagnosis

Untuk bagian kedua dapat dibaca di sini DEFINISI Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang
ditandai oleh peningka...


Trombosis Vena

Definisi Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk arteri,
vena, ruangan jantung da...

UNTUK BERLANGGANAN MELALUI PEMBERITAHUAN EMAIL

Submit

KEHIDUPAN YANG BERMANFAAT ADALAH KEHIDUPAN HEBAT

ILMU ADALAH KUNCI KEMAJUAN

TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG

PENCARIAN UNTUK WEBSITE INI SILAHKAN KETIK DI BAWAH

Telusuri

Copyright © Informasi Kedokteran Dan Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai