Tugas Fisika Medis II

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 34

TUGAS FISIKA MEDIS II

DETEKTOR RADIASI

Oleh :

Tri Andini Wati

Yuni Rahmawati

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
DETEKTOR RADIASI

1. Gas-Filled Detector
Gas-Filled Detector atau Detektor isian gas merupakan detektor yang paling sering
digunakan untuk mengukur radiasi. Detektor ini terdiri dari dua elektroda, positif dan
negatif, serta berisi gas di antara kedua elektrodanya. Elektroda positif disebut sebagai
anoda, yang dihubungkan ke kutub listrik positif, sedangkan elektroda negatif disebut
sebagai katoda, yang dihubungkan ke kutub negatif. Kebanyakan detektor ini berbentuk
silinder dengan sumbu yang berfungsi sebagai anoda dan dinding silindernya sebagai
katoda sebagaimana berikut:

gambar 1. Skema Gas-Filler Detector


Radiasi yang memasuki detektor akan mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion positif
dan ion-ion negatif (elektron). Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut sebanding
dengan energi radiasi dan berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas. Daya ionisasi
gas berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor tersebut
akan memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun arus listrik. Ion-ion
primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai.
Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik yang ditangkap
sebagi sebuah sinyal yang mengindetifikasikan adanya radiasi. Pergerakan ion tersebut di
atas dapat berlangsung bila di antara dua elektroda terdapat cukup medan listrik. Bila
medan listriknya semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion tersebut akan semakin besar
sehingga mampu untuk mengadakan ionisasi lain.
Dengan memanfaatkan tingkah laku ion-ion gas dalam medan listrik, telah
berhasil dikembangkan tiga jenis alat pantau radiasi yang menggunakan gas sebagai
detektornya, yaitu:
 alat pantau kamar ionisasi (Ionization Region)
 alat pantau proporsional (Proportional Region), dan
 alat pantau Geiger-Muller (GM) Region.
Ketiganya mempunyai bentuk dasar dan prinsip kerja yang sama. Perbedaanya terletak
pada tegangan operasi masing-masing.
gambar 2. Grafik pembagian daerah kerja Gas-Filled Detector

a. Detektor Kamar Ionisasi (ionization chamber)


Sebagaimana terlihat pada kurva karakteristik gas di atas, jumlah ion yang dihasilkan
di daerah ini relatif sedikit sehingga tinggi pulsanya, bila menerapkan pengukuran model
pulsa, sangat rendah. Oleh karena itu, biasanya, pengukuran yang menggunakan detektor
ionisasi menerapkan cara arus. Bila akan menggunakan detektor ini dengan cara pulsa
maka dibutuhkan penguat pulsa yang sangat baik. Detektor kamar ionisasi beroperasi
pada tegangan paling rendah. Jumlah elektron yang terkumpul di anoda sama dengan
jumlah yang dihasilkan oleh ionisasi primer. Dalam kamar ionisasi ini tidak terjadi
pelipat-gandaan (multiplikasi) jumlah ion oleh ionisasi sekunder. Dalam daerah ini
dimungkinkan untuk membedakan antara radiasi yang berbeda ionisasi spesifikasinya,
misalnya antara partikel alfa, beta dan gamma.

gambar 3. Visualisasi dari operasi detector kamar ionisasi

Keuntungan detektor ini adalah dapat membedakan energi yang memasukinya dan
tegangan kerja yang dibutuhkan tidak terlalu tinggi. Respon seragam baik untuk radiasi
gamma dan membaca dosis yang akurat secara keseluruhan, mampu mengukur tingkat
radiasi yang sangat tinggi, tingkat radiasi tinggi yang berkelanjutan tidak menurunkan gas
filled.
Sedangkan kelemahannya adalah arus yang timbul sangat kecil, kira-kira 10-12 A
sehingga memerlukan penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi.
Output yang rendah memerlukan sirkuit canggih elektrometer dan operasi dan akurasi
mudah terpengaruh oleh kelembaban

b. Detektor Proporsional
Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih tinggi daripada kamar
ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya multiplikasi gas yang besarnya
bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan tegangan yang digunakan. Karena
terjadi multiplikasi maka ukuran pulsa yang dihasilkan sangat besar. Setiap pasangan ion
menghasilkan longsoran tunggal sehingga suatu pulsa arus keluaran yang dihasilkan yang
sebanding dengan energi yang disimpan oleh radiasi.

gambar 4. Proses multiplikasi ion


Multiplikasi terjadi karena elektron-elektron yang dihasilkan oleh ionisasi primer
dipercepat oleh tegangan yang digunakan sehingga elektron tersebut memiliki energi
yang cukup untuk melakukan ionisasi berikutnya (ionisasi sekunder).
Keuntungan dalam penggunaan proporsional region adalah kemampuannya untuk
mengukur energi radiasi dan memberikan informasi spectrographic, membedakan antara
alpha dan beta partikel, dan bahwa detektor area yang luas dapat dibangun. Serta mampu
mendeteksi radiasi dengan intensitas cukup rendah.
Kekurangannya adalah memerlukan sumber tegangan yang super stabil, karena
pengaruh tegangan pada daerah ini sangat besar terhadap tingkat multiplikasi gas dan
juga terhadap tinggi pulsa out put. Kabel anoda halus dan bisa kehilangan efisiensi dalam
detektor aliran gas karena pengendapan, efisiensi dan operasi dipengaruhi oleh masuknya
oksigen ke dalam gas filler, dan jendela pengukuran mudah rusak dalam detektor area
yang luas.

c. Detektor Geiger-Muller
Tegangan akan mengakibatkan proses ionisasi yang terjadi dalam detektor menjadi
jenuh. Pulsa yang dihasilkan tidak lagi bergantung pada ionisasi mula-mula maupun jenis
radiasi. Jadi, radiasi jenis apapun akan menghasilkan keluaran sama. Ionisasi diperkuat di
dalam tabung dengan Efek Discharge Townsend untuk menghasilkan pulsa deteksi yang
mudah diukur. Ionisasi terjadi terutama karena elektron yang dipancarkan oleh dinding
chamber oleh proses efek fotolistrik ketika sinar gamma memasuki ruangan. Untuk
menghindari efek ini, 10% etil alkohol dan 90% argon ditambahkan. Etil alkohol
menyerap foton yang dipancarkan oleh de-eksitasi atom gas.

Townsend Avalanche adalah proses ionisasi gas di mana elektron bebas ionisasi gas
di mana elektron bebas dipercepat oleh medan listrik, bertabrakan dengan molekul gas,
dan muncul electron bebas. Elekron mengalami percepatan sehingga memungkinkan
konduksi listrik melalui gas. Detektor GM hanya dipakai untuk mengetahui ada tidaknya
radiasi. Potensial kerja pada G-M ditentukan dengan mencatat aktivitas (cpm) pada setiap
perubahan tegangan. Kemudian dibuat grafik.
Kemiringan plateau ditentukan dengan cara mengambil 50 volt ke kiri dan 50 volt ke
kanan.

gambar 5. Sebaran kecepatan pada tabung Geiger Muller

Dead Time dan Resolving Time pada GM

Waktu mati (dead time) adalah waktu saat detektor tidak dapat mencatat karena
radiasi terhambat oleh ion-ion + yang terbentuk pada radiasi pertama. Waktu pemulihan
(recovery time) adalah selang waktu antara waktu mati dan pulih kembali. Waktu pisah
(resolving time) adalah waktu minimum yang diperlukan agar partikel pengion
berikutnya dapat dicatat setelah pencacahan atas partikel pengion sebelumnya.
Proses pembacaan
 Pembacan tiap detik : Biasanya digunakan ketika alpha atau beta partikel yang
terdeteksi
 laju dosis radiasi, ditampilkan dalam unit seperti “Sievert” . Biasanya
digunakan untuk mengukur laju dosis gamma atau sinar-X. pembacaan dapat
dilakukan secara analog atau digital, instrumen modern yang menawarkan
komunikasi serial dengan komputer host atau jaringan. Sebuah opsi
menghasilkan klik terdengar mewakili jumlah peristiwa ionisasi terdeteksi.

Kelebihan dan kekurangan:


Kelebihannya adalah Detektor murah dengan berbagai macam ukuran dan aplikasi,
sinyal output yang besar dihasilkan dari tabung, dapat mengukur dosis gamma secara
keseluruhan ketika menggunakan tabung energi kompensasi. Sedangkan kekurangannya
tidak dapat mengukur energi radiasi (tidak ada informasi spectrographic). Tidak dapat
mengukur tingkat radiasi tinggi karena waktu mati (dead time). Karena pulsa output dari
tabung Geiger-Müller selalu besarnya sama terlepas dari energi radiasi insiden, tabung
tidak dapat membedakan antara jenis radiasi. Ketidakmampuan untuk mengukur tingkat
radiasi tinggi karena " deat time " tabung. Ini merupakan periode sensitif setelah setiap
ionisasi gas selama setiap radiasi insiden waktu" tabung. Ini merupakan periode sensitif
setelah setiap ionisasi gas selama setiap radiasi insiden lebih lanjut tidak akan
menghasilkan hitungan yang lebih rendah dari yang sebenarnya

2. Scintilation Counter
Detektor jenis ini menggunakan dasar efek sintilasi (kelipan/intensitas sinar yang
menumbuk fosfor) apabila bahan sintilator dikenai suatu radiasi nuklir. Proses ini
terutama disebabkan oleh proses eksitasi yang diikuti oleh deeksitasi. Untuk radiasi α
biasa dipakai bahan ZnS(Ag), CsI(Tr). Untuk radiasi β adalah jenis plastik, organik
(antrasin). Sedang untuk γ sering dipakai NaI(Tl) juga plastik. Detektor sintilasi selalu
terdiri dari dua bagian yaitu bahan sintilator dan photomultiplier. Bahan sintilator
merupakan suatu bahan padat, cair maupun gas, yang akan menghasilkan percikan
cahaya bila dikenai radiasi pengion. Photomultiplier digunakan untuk mengubah percikan
cahaya yang dihasilkan bahan sintilator menjadi pulsa listrik. Mekanisme pendeteksian
radiasi pada detektor sintilasi dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu :
 proses pengubahan radiasi yang mengenai detektor menjadi percikan cahaya di
dalam bahan sintilator dan
 proses pengubahan percikan cahaya menjadi pulsa listrik di dalam tabung
photomultiplier

Bahan Sintilator
Di dalam kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai
pita valensi dan pita konduksi yang dipisahkan dengan tingkat energi tertentu. Pada
keadaan dasar, ground state, seluruh elektron berada di pita valensi sedangkan di pita
konduksi kosong. Ketika terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan
bahwa energinya akan terserap oleh beberapa elektron di pita valensi, sehingga dapat
meloncat ke pita konduksi. Beberapa saat kemudian elektron-elektron tersebut akan
kembali ke pita valensi melalui pita energi bahan aktivator sambil memancarkan percikan
cahaya.

Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh
jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya.
Percikan-percikan cahaya ini kemudian ‘ditangkap’ oleh photomultiplier.
Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering digunakan sebagai
detektor radiasi.
Kristal NaI(Tl)
Kristal ZnS(Ag)
Kristal LiI(Eu)
Sintilator Organik

Sintilator Cair (Liquid Scintillation)


Detektor ini sangat spesial dibandingkan dengan jenis detektor yang lain karena berwujud
cair. Sampel radioaktif yang akan diukur dilarutkan dahulu ke dalam sintilator cair ini
sehingga sampel dan detektor menjadi satu kesatuan larutan yang homogen. Secara
geometri pengukuran ini dapat mencapai efisiensi 100 % karena semua radiasi yang
dipancarkan sumber akan “ditangkap” oleh detektor. Metode ini sangat diperlukan untuk
mengukur sampel yang memancarkan radiasi b berenergi rendah seperti tritium dan C14.

Masalah yang harus diperhatikan pada metode ini adalah quenching yaitu berkurangnya
sifat transparan dari larutan (sintilator cair) karena mendapat campuran sampel. Semakin
pekat konsentrasi sampel maka akan semakin buruk tingkat transparansinya sehingga
percikan cahaya yang dihasilkan tidak dapat mencapai photomultiplier.

Tabung Photomultiplier
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri atas dua bagian
yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila bahan sintilator berfungsi untuk
mengubah energi radiasi menjadi percikan cahaya maka tabung photomultiplier ini
berfungsi untuk mengubah percikan cahaya tersebut menjadi berkas elektron, sehingga
dapat diolah lebih lanjut sebagai pulsa / arus listrik.
Tabung photomultiplier terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan
photokatoda yang berfungsi sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat
beberapa dinode untuk menggandakan elektron. Photokatoda yang ditempelkan pada
bahan sintilator, akan memancarkan elektron bila dikenai cahaya dengan panjang
gelombang yang sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan diarahkan, dengan perbedaan
potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan memancarkan beberapa elektron
sekunder bila dikenai oleh elektron.

Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua
dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yang
terkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor
kumpulan elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.

Detektor NaI(Tl)

merupakan detektor jenis sintilasi. Bahan sintilator berupa kristal tunggal Natrium
Iodida yang didopping dengan sedikit Tallium. NaI(Tl) adalah sintilator yang paling
banyak digunakan untuk mendeteksi sinar γ. Dalam bentuk kristal tungga berdiameter
0,75 m dan tebal 0,25 m serta memiliki tingkat kerapatan sebesar 3,67 x 103 kg/m3.
Karena rapat massanya yang besar, nomor atom yang tinggi dan ukuran yang besar maka
NaI(Tl) sangat efisien untuk mendeteksi radiasi gamma. Sinar gamma yang terdeteksi
berinteraksi dengan atom-atom bahan sintilator berupa interaksi efek fotolistrik,
hamburan Compton, dan efek pembentukan pasangan. Elektron bebas hasil interaksi
selanjutnya akan mengalamiproses ionisasi dan penetralan (excitasi). Detektor NaI(Tl)
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah medium sintilasi berupa sintilator NaI(Tl)
dimana partikel yang terdeteksi akan menimbulkan pulsa cahaya. Bagian kedua adalah
tabung pengubah pancaran cahaya menjadi pulsa listrik setelah proses penggandaan yaitu
Photo Multiplier Tub (PMT).

gambar 6. Skema detector sintilasi

gambar 7. Spectrum energy sinar gamma dari 60Co


Kelebihan dan kekurangan :

Kelebihannya yakni bekerja sangat cepat; yaitu dapat memberikan pulsa listrik
dan kembali ke tahanan semula, kemudian siap digunakan lagi dalam waktu yang sangat
pendek (10-8 s). Dapat dirancang untuk memberikan ukuran pulsa yang berbanding lurus
dengan kehilangan energi radiasi di dalam sintilator. Mempunyai efisiensi pendeteksian
terhadap sinar gamma lebih tinggi dibandingkan pencacah isi gas.

3. Detektor Semikonduktor (detector semiconductor)

Detektor ini menggunakan bahan utama semikonduktor yang merupakan


gandengan positif (P) dan negatif (N), ada beberapa jenis semikonduktor yaitu: high
purity germanium, high purity silicon, lithium drifted germanium dan lithium drifted
silicon. Jika detektor tidak teradiasi, maka tidak mengalirkan arus listrik, sedangkan
apabila ada radiasi dapat memberikan lubang (hole) pada bahan gabungan, sehingga
muncul arus listrik. Alat ini cukup sederhana, hanya saja volume aktif bahan yang
dimiliki sangat kecil.
Bahan semikonduktor, yang diketemukan relatif lebih baru daripada dua jenis
detektor isian gas dan sintilasi, terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu
silikon atau germanium, secara umum semuanya terikat dalam ikatan kovalen, sehingga
seluruh pita valensi terisi penuh sedang pita konduksi kosong.
Detektor ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan
dengan detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat, serta mempunyai resolusi yang
lebih baik daripada detektor sintilasi.
gambar 8. struktur pita energi elektron
Pada dasarnya, bahan isolator dan bahan semikonduktor tidak dapat meneruskan
arus listrik. Semikonduktor memiliki orde energi gap yang kecil sekitar 1 ev atau kurang.
Sedangkan isolator energi gap nya dapat mencapai 5 ev. Hal ini disebabkan semua
elektronnya berada dipita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Perbedaan tingkat
energi antara pita valensi dan pita konduksi di bahan isolator sangat besar sehingga tidak
memungkinkan elektron untuk berpindah ke pita konduksi ( > 5 eV ).
Sebaliknya, perbedaan tersebut relatif kecil pada bahan semikonduktor ( < 3 eV )
sehingga memungkinkan elektron untuk meloncat ke pita konduksi bila mendapat
tambahan energi. Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh
bahan sehingga beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi.
Bila di antara kedua ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial maka
akan terjadi aliran arus listrik. Jadi pada detektor ini, energi radiasi diubah menjadi energi
listrik.

Prinsip Kerja Detektor Semikonduktor


Pada prinsipnya detektor semikonduktor bekerja melalui konsep konduktivitas
suatu bahan yang disebabkan oleh adanya radiasi ionisasi. Energi radiasi yang memasuki
bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan sehingga memberikan energi yang cukup
besar.
gambar 9. Mekanisme kerja detektor semikonduktor
Pada suhu ruang, beberapa elektron tereksitasi ke pita konduksi dan ada lubang di
pita valensi. Lubang ini dapat diisi elektron dari atom sebelahnya maka seakan lubang ini
dapat bergerak(tentu mmuatan positif inti atom tak berpindah). Untuk mengontrol
konduksi di semikonduktor, sejumlah kecil bahan dari golongan III atau V yang dikenal
sebagai doping diberikan pada bahan semikonduktor ini. Dengan adanya bahan doping
gol. V maka ada atom dari doping ini yang kelebihan elektron (tak berpasangan).
Elektron ini mudah terksitasi ke pita konduksi. Bahan ini menjadi semikonduktor tipe n.
Sebaliknya kalau doping dari golongan III maka atom doping hanya bervalensi 3 maka
ada sebuah lubang yang mudah diisi oleh elektron dari pita valensi. Bahan ini menjadi
semikonduktor tipe p)

Semikonduktor dengan doping dari golongan V


(menjadi semikonduktor tipe n)

Semikonduktor dengan doping dari golongan III


(menjadi semikonduktor tipe p)

Sambungan semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N


dengan tipe P (PN junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke
tipe N sedangkan kutub negatifnya ke tipe P.
gambar 10. konstruksi Detektor Semikonduktor
Jika semikonduktor tipe n dan tipe p disambungkan maka elektron dari tipe n
akan menyeberang sambungan menuju tipe p menyebabkan terjadinya daerah deplesi. Di
sekitar sambungan ini pembawa muatan bebas ternetralisasi. Akibatnya terjadi medan
listrik di sekitar sambungan yang mencegah penyeberangan selanjutnya. Bila partikel
radioaktif memasuki daerah deplesi dan menimbulkan ionisasi (pasangan elektron dan
hole) maka elektron dan hole akan bergerak dalam arah berlawanan di bawah medan
listrik yang ada sehingga tercipta pulsa elektronik yang sebanding dengan energi partikel
radioaktif tersebut.
Hal diatas menyebabkan pembawa muatan positif akan tertarik ke atas (kutub
negatif) sedangkan pembawa muatan negatif akan tertarik ke bawah (kutub positif),
sehingga terbentuk (depletion layer) lapisan kosong muatan pada sambungan PN. Dengan
adanya lapisan kosong muatan ini maka tidak akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi
pengion yang memasuki lapisan kosong muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru,
elektron dan hole, yang akan bergerak ke kutub-kutub positif dan negatif. Tambahan
elektron dan hole inilah yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa atau arus listrik.
Sambungan semikondutor n
dan p

Sambungan semikonduktor jenis n dan


p yang bertindak sebagai detektor
semikonduktor.

Tampak bahwa di daerah deplesi ada


medan listrik yang mencegah
rekombinasi berikutnya.

Pada gambar bawah bias eksternal


digunakan

Kelebihan dan kekurangan Detektor Semikonduktor


Oleh karena daya atau energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan ion-ion ini
lebih rendah dibandingkan dengan proses ionisasi di gas, maka jumlah ion yang
dihasilkan oleh energi yang sama akan lebih banyak. Hal inilah yang menyebabkan
detektor semikonduktor sangat teliti dalam membedakan energi radiasi yang
mengenainya atau disebut mempunyai resolusi tinggi. Sebagai gambaran, detektor
sintilasi untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi sebesar 50 keV, artinya,
detektor ini dapat membedakan energi dari dua buah radiasi yang memasukinya bila
kedua radiasi tersebut mempunyai perbedaan energi lebih besar daripada 50 keV. Sedang
detektor semikonduktor untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi 2 keV. Jadi
terlihat bahwa detektor semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi radiasi.
Sebenarnya, kemampuan untuk membedakan energi tidak terlalu diperlukan dalam
pemakaian di lapangan, misalnya untuk melakukan survai radiasi. Akan tetapi untuk
keperluan lain, misalnya untuk menentukan jenis radionuklida atau untuk menentukan
jenis dan kadar bahan, kemampuan ini mutlak diperlukan. Sehingga detektor radiasi
berbasis semikonduktor ini adalah detektor yang memiliki kinerja paling tinggi dan
sekaligus membutuhkan metode operasi yang paling rumit dari detektor-detektor tipe
lainnya.
Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah harganya lebih mahal,
pemakaiannya harus sangat hati-hati karena mudah rusak dan beberapa jenis detektor
semikonduktor harus didinginkan pada temperatur. Nitrogen cair sehingga memerlukan
dewar yang berukuran cukup besar.

Tipe Detektor Semikonduktor

Terdapat tiga tipe detektor semikonduktor. Tipe pertama merupakan detektor


semikonduktor yang dapat bekerja tanpa menggunakan pendingin. Detektor ini
digunakan untuk radiasi sinar-X. Termasuk dalam tipe ini adalah detektor Si-Li.

gambar 11. Detektor Si-Li

Tipe detektor semikonduktor yang kedua adalah detektor yang menggunakan


pendingin (biasanya berupa nitrogen cair). Detektor yang berpendingin ini memiliki
performa lebih baik dari detektor semikonduktor yang tidak menggunakan pendingin, dan
merupakan detektor radiasi terbaik hingga saat ini. Detektor ini digunakan untuk radiasi
sinar gamma. Gambar dibawah menunjukkan suatu sistem deteksi dengan detektor tipe
HP-Ge berpendingin nitrogen cair.

gambar 12. Sistem deteksi HP-Ge dan sistem pendinginnya

Tipe detektor semikonduktor yang ketiga adalah Surface barrier. Detektor ini
digunakan untuk radiasi alpha dan beta.

Pada prakteknya detektor semikonduktor dioperasikan dengan tegangan balik


sekitar 1000-3000V. Tegangan ini berfungsi untuk meningkatkan medan listrik yang
menyebabkan pengumpulan muatan menjadi lebih efisien. Fungsi lainnya adalah untuk
memperlebar daerah deplesi.

Dosimetri Semikonduktor

Sistem dosimetri dioda silikon

Sebuah dosimeter dioda silikon adalah dioda persimpangan positif-negatif.


Dimana dioda diproduksi dengan memilih silikon tipe-n atau tipe-p dan penghitung-
doping permukaan untuk menghasilkan jenis bahan yang berlawanan.
gambar 13. Dosimeter n-Si atau p-Si

Prinsip kerjanya yaitu tebal lapisan biasanya beberapa mikrometer. Ketika


dosimeter disinari, partikel bermuatan yang dibebaskan yang memungkinkan arus sinyal
mengalir. Dioda dapat dioperasikan dengan dan tanpa ada bias. Dalam mode fotovoltaik
(tanpa bias), tegangan yang dihasilkan sebanding dengan laju dosis.

gambar 14. Prinsip kerja dosimeter semikonduktor

Jenis Dosimeter Semikonduktor


MOSFET (Metal Oxide Semiconductor Field Effect Transistor) adalah suatu
transistor dari bahan semikonduktor (silikon) dengan tingkat konsentrasi ketidakmurnian
tertentu. Tingkat dari ketidakmurnian ini akan menentukan jenis transistor tersebut, yaitu
transistor MOSFET tipe-N (NMOS) dan transistor MOSFET tipe-P (PMOS). Bahan
silicon digunakan sebagai landasan (substrat) dari penguras (drain), sumber (source), dan
gerbang (gate). Selanjutnya transistor dibuat sedemikian rupa agar antara substrat dan
gerbangnya dibatasi oleh oksida silikon yang sangat tipis. Oksida ini diendapkan di atas
sisi kiri dari kanal, sehingga transistor MOSFET akan mempunyai kelebihan dibanding
dengan transistor BJT (Bipolar Junction Transistor), yaitu menghasilkan disipasi daya
yang rendah.
Prinsip kerja MOSFET yaitu :
 Radiasi Pengion menghasilkan pembawa muatan dalam oksida Si.

 Muatan membawa bergerak menuju substrat silikon di mana muatan-muatan tersebut


terjebak.
 Hal ini menyebabkan penumpukan muatan menyebabkan perubahan dalam ambang batas
tegangan antara gerbang dan substrat silikon.
Dosimeter MOSFET didasarkan pada pengukuran dari tegangan ambang, yang
merupakan fungsi linear dari dosis serap. Dosis yang terintegrasi dapat diukur selama
atau setelah iradiasi. Karakteristik:
• MOSFET memerlukan sambungan ke tegangan bias selama iradiasi.
• MOSFET memiliki umur yang terbatas.
• Sinyal yang diukur tergantung pada asal MOSFET dosimeter.

4. Film
Film badge merupakan salah satu alat pencatat dosis radiasi yang diterima oleh
pekerja radiasi sesuai dengan PP.No.11 tahun 1975, tentang Keselamatan terhadap
Pekerja Radiasi, maka setiap individu yang bekerja di unit pelayanan radiologi
diharuskan memakai alat pencatat radiasi tersebut.

gambar 15. Komponen dari dosimeter film

Komponen dosimetri film badge ini terdiri dari film, seperti film yang digunakan
untuk rongten gigi, dan tempat film (holder). Holder film dosimetri ini mempunyai fungsi
penting yaitu sebagai penyaring atau filter. Terdapat beberapa jenis filter separti plastik
setebal 0,5 mm dan 3mm, aluminium 0,6 mm, tembaga 0,3 mm,campuran Sn 0,8 mm dan
Pb 0,4 mm serta campuran Cd 0,8 mm dan Pb 0,4 mm. Masing-masing jenis filter
tersebut berfungsi untuk menyaring jenis radiasi atau energi radiasi yang berbeda.
Dosimetri film badge ini mempunyai sifat akumilasi yang cukup baik. Film-film yang
ada dipasaran dapat digunakan sampai 3 bulan. Detektor film dapat “menyimpan” dosis
radiasi yang telah mengenainya secara akumulasi selama film belum diproses. Semakin
banyak dosis radiasi yang telah mengenainya, atau telah mengenai orang yang
memakainya, maka tingkat kehitaman film setelah diproses akan semakin pekat.

gambar 16. Prinsip kerja dosimeter film

Dektetor yang digunakan disini adalah penghitaman film, yang berbentuk emulsi
butiran-gutiran perak halida, biasanya perak bromida (AgBr), ditunjang oleh matrik
gelatin dan kemudian dilapisi bahan "acetat". Film ini berfungsi sebagai detector karena
apabila terkena radiasi, ion Ag+ akan berubah menjadi Ag dan disebut sebagai bayangan
“latent”. detektor ini dapat menyimpan atau merekam dosis radiasi yang mengenainya
secara akumulasi selama film belum diproses. Pemprosesan dilakukan dengan larutan
kimia yang akan memunculkan bayangan hitam pada film tersebut. Tingkat kehitaman
bayangan film sebanding dengan intensitas radiasi yang mengenainya. Semakin banyak
radiasi yang mengenainya, tingkat kehitaman film akan semakin pekat. Holder film selain
sebagai berfungsi sebagai tempat film, juga sebagai filter. Holder film badge terdapat
beberapa filter yaitu Alumunium, timah hitam dan tembaga atau seng yang gunanya
untukmembedakan jenis dan energi radiasi yang mrngenainya. Pengukuran hanya
terbatas sampai dengan 300 rem.
Energi radiasi pengion yang mengenai film akan menyebabkan beberapa butiran
AgBr terionisasi (AgBr). Semakin besar dosis radiasi yang diserap semakin banyak
butiran AgBr yeng terionisasi. Dalam proses pencucian dengan larutan pengembang
(developer) butiran-butiran Ag+ yang terionisasi akan berubah menjadi logam perak yang
berwarna hitam. Proses pencucian kedua dengan larutan fixer akan melarutkan molekul-
molekul AgBr sisa,Sedangkan yang telah menjadi logam perak akan terikat kuat seabagai
bayangan hitam laten. Terlihat bahwa tingkat kehitaman bayangan akan sesuai dengan
banyak dosis yang telah mengenainya.
Di pasar terdapat beberapa merk film maupun holder, tetapi BATAN selalu
menggunakan film dengan merk Kodak buatan USA dan holder merk Chiyoda buatan
Jepang. Hal ini dilakukan agar mempunyai standar atau kalibrasi pembacaan yang tetap.

gambar 17. Pembacaan dari dosimeter film

Cara pembacaan film badge tidak dapat dibaca secara langsung, melainkan
menggunakan alat “densitometer”. Film Badge menggunakan satuan millirem. Jika
radiasi gamma kurang dari 20 millirem tidak dapat diukur secara akurat. Akan tetapi
cukup akurat untuk eksposur lebih besar dari 100 millirem.

Keuntungan dan kelemahan dosimeter film :

Keuntungan utama dari film lencana sebagai perangkat pemantauan personil adalah
bahwa ia menyediakan catatan permanen, ia mampu membedakan antara energi foton
yang berbeda, dan dapat mengukur dosis karena jenis radiasi yang berbeda. Hal ini cukup
akurat untuk eksposur lebih besar dari 100 millirem. Kelemahan utama adalah bahwa
film badge harus dikembangkan dan dibaca oleh prosesor (yang memakan waktu cukup
lama), pemaparan panas berkepanjangan dapat mempengaruhi film, dan eksposur kurang
dari 20 millirem radiasi gamma tidak dapat diukur secara akurat. Kelemahan yang
lainnya adalah untuk mengetahui dosis yang telah mengenainya harus diproses secara
khusus dan membutuhkan peralatan tambahan untuk membaca tingkat kehitaman film,
yaitu densitometer.

gambar 18. Dosimeter film

Dosimeter film ini biasanya dikenakan di luar pakaian, di sekitar dada atau badan
untuk mewakili dosis ke "seluruh tubuh". Lokasi ini memantau paparan sebagian besar
organ vital dan mewakili sebagian besar massa tubuh. Dosimeter tambahan dapat dipakai
untuk menilai dosis untuk ekstremitas atau di bidang radiasi yang bervariasi tergantung
pada orientasi tubuh ke sumber. Kuantitas pengukuran dosis, dosis pribadi setara Hp (d),
didefinisikan oleh Komisi Internasional tentang Perlindungan Radiologi (ICRP) sebagai
dosis yang setara dalam jaringan lunak pada kedalaman yang tepat, d, di bawah titik yang
ditentukan pada tubuh manusia. Titik yang ditentukan khusus untuk posisi di mana
dosimeter individu dipakai. Kedalaman jaringan yang menarik termasuk kedalaman
jaringan dari lapisan kulit hidup (0,07 cm), lensa mata, (0,30 cm), dan dosis "dalam", atau
dosis ke seluruh tubuh (1,0 cm).

5. Dosimeter Termoluminisensi (TLD)


Dosimeter thermoluminescent (TLD) adalah jenis dosimeter radiasi. Sebuah TLD
mengukur radiasi pengion paparan dengan mengukur intensitas cahaya tampak yang
dipancarkan oleh kristal di dalam detektor ketika kristal dipanaskan. Intensitas cahaya
yang dipancarkan tergantung pada paparan radiasi. Bahan yang menunjukkan
thermoluminescence sebagai respons terhadap radiasi pengion termasuk kalsium fluorida,
lithium fluoride, kalsium sulfat, borate lithium, kalsium borat, kalium bromida, dan
feldspar. Ini ditemukan pada tahun 1954 oleh Profesor Farrington Daniels dari University
of Wisconsin-Madison.
Dosimeter ini sangat menyerupai dosimeter film badge, hanya detektor yang
digunakan ini adalah kristal anorganik thermoluminisensi, misalnya bahan Litium Florida
(LiF). LiF dapat menyimpan atau merekam dosis radiasi yang diberikan. Kemudian, TLD
akan memancarkan cahaya (foton) jika dipanaskan pada suhu tertentu. Proses yang terjadi
pada bahan ini bila dikenai radiasi adalah proses termoluminisensi. Senyawa lain yang
sering digunakan untuk TLD adalah CaSO4.
TLD digunakan untuk mengukur dosis radiasi gamma, sinar-x dan beta, serta
neutron. Thermoluminescence (TL) merupakan fenomena luminesensi yang dapat diamati
ketika bahan padat tersebut menerima stimulasi panas. Pada TL, intensitas luminesensi
sebanding dengan energi radiasi pengion yang diserap bahan fosfor sebelumnya. Pada
saat proses pembacaan, TLD yang menerima panas akan menyebabkan perangkap-
perangkap menjadi kosong dari elektron-elektron terjebak. Elektron yang masih
terperangkap dapat dikosongkan dengan annealing. Pada proses pembacaan TLD dengan
waktu baca pendek dan laju pemanasan tinggi, elektron-elektron pada perangkap stabil
atau perangkap dalam tidak seluruhnya dibersihkan. Proses pembacaan tambahan
dosimeter akan menghasilkan kurva yang dapat digunakan sebagai informasi dosis
setelah dosimeter dipapari radiasi pengion.
Dalam aplikasinya, TLD akan kehilangan informasi dosis setelah menerima
stimulasi panas, namun dengan metode PTTL (photo-transferred thermoluminecent)
dapat dibaca ulang. Metode PTTL kurang diminati karena berpeluang terjadinya
penumpukan informasi dosis radiasi latar, sehingga menimbulkan kesalahan yang
signifikan dalam estimasi dosis. Radiasi latar akan meningkat jika penyimpanan dalam
waktu yang cukup lama atau di lokasi yang memiliki paparan radiasi latar relatif tinggi.
Dosimeter ini digunakan selama jangka waktu tertentu, misalnya satu bulan, baru
kemudian diproses untuk mengetahui jumlah dosis radiasi yang telah diterimanya.
Pemprosesan dilakukan dengan memanaskan kristal TLD sampai temperatur tertentu,
kemudian mendeteksi percikan-percikan cahaya yang dipancarkannya. Alat yang
digunakan untuk memproses dosimeter ini adalah TLD reader.
Prinsip Kerja TLD seperti efek fotolistrik. Ketika LiF mendapatkan dosis radiasi
dengan energi tertentu, maka elektron-elektron akan dalam kristal LiF akan naik ke level
energi yang lebih tinggi. Kebanyakn elektron tersebut akan kembali ke level energi
awalnya pada keadaan dasar, namun ada beberapa elektron yang terjebak dalam
impuritas. Apabila LiF dipanaskan, maka elektron yang terjebak tersebut akan terangkat
ke level energi yang lebih tinggi dimana dari sana elektron-elektron tersebut akan
kembali ke keadaan dasar dengan memancarkan cahaya (foton). Banyaknya cahaya
(foton) yang dipancarkan akan proporsional dengan energi yang terserap dari pemberian
dosis radiasi. Selanjutnya, banyaknya cahaya (foton) tersebut akan dibaca oleh TLD
reader. Penggunaan TLD telah banyak digunakan dalam instansi-instansi yang
berhubungan dengan radiasi untuk personel monitoring pekerja radiasi, biasanya dalam
bentuk chip yang dikemas dalam wadah seperti kartu tanda pengenal. Dengan adanya
proses pemanasan inilah maka detector ini disebut Thermo Luminesence Dosimeter.
Dapat mengukur dosis radiasi sampai dengan 4.000 rem.

gambar 19. Prinsip kerja dosimeter TLD

Pada proses penyerapan radiasi beberapa material akan menyimpan energi yang
diserap pada kondisi yang kurang stabil. Jika materi tersebut diberikan energi secara
sistematis energi yang kurang stabil tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk ultraviolet,
cahaya tampak atau infra merah, fenomena tersebut dikenal dengan nama proses
luminisensi. Proses penyimpanan energi radiasi terjadi diawali saat radiasi mengenai
materi, pada saat tersebut electron bebas dan hole terbentuk. Pada materi yang memiliki
sifat luminisensi, terdapat suatu daerah storage trap yang terletak di antara pita konduksi
dan valensi . Electron dan hole yang terbentuk akan bersatu lagi atau terjebak di dalam
storage trap. Jumlah electron yang terjebak akan sebanding dengan jumlah radiasi yang
mengenai material luminisensi. Elektron yang terjebak akan keluar dan bersatu kembali
dengan hole jika detector luminisensi diberikan energi dalam bentuk panas secara
sistematis. Pada saat electron dan hole bergabung akan dipancarkan cahaya yang akan
ditangkap oleh penguat cahaya PMT (Photomultiplier Tube). Bahan yang memiliki sifat
luminisensi disebut dengan nama Thermoluminescenct detector atau TLD. Beberapa jenis
materi yang bersifat luminisense antara lain CaSO4:Mn,Dy, LiF:Mg,Ti, LiF:Mg,Cu,P.
Sebelum digunakan TLD harus dipanaskan terlebih dahulu pada suhu tertentu untuk
menghapus energi yang masih tersisa didalam TLD.
TLD secara garis besar terdiri dari planchet, PMT dan elekrometer. Planchet
berfungsi untuk meletakkan dan memanaskan materi TLD, PMT berfungsi menangkap
cahaya luminisensi dan mengubah menjadi sinyal listrik, dan memperkuat sinyal akhir,
elektrometer berfungsi mencatat sinyal PMT dalam satuan arus atau muatan. Sinyal hasil
pembacaan TLD disebut kurva pancar”. Kurva pancar diperoleh dengan memberikan
panas dengan laju kenaikan panas secara konstan sampai suhu tertentu, dan kurva
digambarkan sebagai fungsi suhu.

Keunggulan dan kelemahan tld

Fenomena TL dapat diamati pada banyak jenis bahan fosfor, namun hanya
beberapa yang menunjukkan sifat sesuai dengan kebutuhan dalam aplikasi dosimetri.
Untuk aplikasi dosimetri personal, persyaratan dosimetrik yang harus dimiliki dosimeter
adalah kemampuan jangkauan dosis antara 10-5 sampai 5×10–1 Gy dengan ketidakpastian
(pada 1 SD) adalah –30% dan +50%. Pada kasus tertentu, perkiraan ulang dosis radiasi
eksternal dalam dosimetri personal merupakan permasalahan penting yang tidak dapat
diselesaikan dengan TLD. Secara umum, diasumsikan bahwa setelah TLD melalui proses
pembacaan dan annealing akan menyebabkan seluruh perangkap elektronnya menjadi
kosong. TLD merupakan dosimeter personal pemantauan dosis radiasi eksternal paparan
radiasi gamma, sinar-x dan beta. Dalam dosimetri neutron, pemantau paparan radiasi
neutron yang memiliki spektrum energi yang sangat lebar mulai dari neutron termik,
epitermik, sedang, dan neutron cepat (<10-2 eV – > 107 eV) membutuhkan pasangan
dosimeter yang sensitif terhadap neutron dan gamma. Keunggulan TLD adalah terletak
pada ketelitiannya. Selain itu, ukuran kristal TLD relatif lebih kecil, bentuk kristal dapat
disesuaikan dengan holder dan setelah diproses kristal TLD tersebut dapat digunakan
berulang-ulang. Kelemahan TLD adalah data pengukuran yang didapat hanya dapat
dibaca satu kali saja, membutuhkan penyimpanan yang stabil, memiliki efek fading dan
sangat sensitive terhadap cahaya.

gambar 20. Dosimeter TLD

TLD memiliki tingkat sensitivitas yang cukup baik terhadap radiasi dan mampu
mengukur dosis radiasi yang cukup lebar dari beberapa μ Gy sampai 10 Gy. Sehingga
sampai saat ini, TLD masih digunakan lebih dari 90% untuk pengukuran dosis personal
paparan radiasi eksternal. Karena TLD memerlukan stimulasi panas dalam proses
pembacaan tanggapannya dan TLD tidak dapat dibaca ulang, maka hal ini menjadi
kelemahan TLD sebagai dosimeter pemantauan dosis eksternal pada masa yang akan
datang. Dosimeter LiF : Mg, Cu, P merupakan TLD yang memiliki tingkat sensitivitas
lebih tinggi dibanding TLD lainnya.

6. Gel Dosimetry
Dosimeter gel dibuat dari bahan kimia peka radiasi yang, setelah penyinaran atau
radiasi pengion, memolimerisasi sebagai fungsi dari dosis radiasi yang diserap.
Dosimeter gel (3D) digunakan untuk mendeteksi dan memverifikasi distribusi dosis yang
digunakan dalam radioterapi kanker. Hanya gel dosimeter yang mengandung air dan agen
gelling dianggap.
Perubahan warna yang diinduksi radiasi pada pewarna digunakan untuk
menyelidiki dosis radiasi dalam gel. Selanjutnya, dosis foton dan elektron dalam gel agar-
agar diselidiki menggunakan spektrofotometri. Gel dosimetri menunjukkan bahwa
perubahan karena radiasi pengion dalam larutan dosimetri, dapat diukur dengan
menggunakan resonansi magnetik nuklir (NMR).
Dosimeter gel umumnya terdiri dari dua jenis, yaitu Fricke dan dosimeter polimer
gel dan biasanya dievaluasi atau read-out menggunakan magnetic resonance imaging
(MRI), tomografi komputer optik (CT), CT x-ray atau ultrasound.

Dosimeter gel Fricke


Sifat relaksasi magnetic resonance (NMR) dari larutan Fricke atau sulfit sulfida
yang diiradiasi menunjukkan bahwa perubahan yang disebabkan radiasi, di mana ion-ion
besi (𝐹𝑒 2+ ) diubah menjadi ion besi (𝐹𝑒 3+ ), dapat dikuantifikasi menggunakan
pengukuran-pengukuran relaksasi NMR. Selanjutnya, larutan dosimetri Fricke yang
tersebar di seluruh matriks gel dapat digunakan untuk memperoleh informasi dosis
spasial tiga dimensi (3D) menggunakan magnetic resonance imaging (MRI). Inisiasi
dosimetri 3D modern terkait dengan dua perkembangan penting. Perkembangan pertama
adalah penggunaan MRI untuk mendeteksi dan mengukur perubahan yang disebabkan
radiasi dalam larutan Fricke. Perkembangan kedua adalah stabilisasi spasial informasi
dosis dengan menyebarkan larutan Fricke ke seluruh matriks gel. Namun, stabilitas
spasial yang buruk dari gel Fricke karena difusi ion 𝐹𝑒 3+ membatasi waktu yang
diizinkan antara iradiasi dan pengukuran. Keberhasilan terbatas dalam mengurangi
tingkat difusi diperoleh dengan menggunakan agen gelling yang berbeda (gelatin,
agarose, sephadex dan polivinil alkohol) dan agen chelating seperti xylenol orange, yang
menginduksi perubahan warna yang memungkinkan pencitraan optik.
Dosimeter tipe-gel Fricke bagaimanapun tidak mempertahankan distribusi dosis
yang stabil secara spasial karena difusi ion dalam dosimeter yang diiradiasi. Larutan
Fricke dengan berbagai agen gelling seperti gelatine, agarose, sephadex dan polivinil
alkohol (PVA) bersama dengan agen chelating seperti xylenol orange (XO) mengurangi
difusi. Masalah difusi bagaimanapun dianggap sebagai salah satu yang signifikan dalam
dosimeter gel. Gel Fricke menarik untuk dosimetri 3D karena mudah dipersiapkan, secara
radiologis setara jaringan dan memberikan hasil yang dapat direproduksi. Namun, seperti
gel populer lainnya yang digunakan dalam dosimetri, gel Fricke sensitif terhadap kondisi
selama persiapan, penyinaran dan pembacaan (misalnya pengotor dan suhu). Hasil kimia
(nilai G) dari larutan Fricke dipengaruhi oleh oksigen (yaitu, G = 15,5 ± 0,2 ion / 100 eV
untuk dosimeter dalam kesetimbangan dengan udara dan G = 8,2 ± 0,3 untuk dosimeter
bebas oksigen). Meskipun dosimeter Gel Fricke mungkin tampak sederhana pada
pandangan pertama, simulasi Monte Carlo yang memprediksi perilaku fundamental
larutan Fricke (tanpa agen gelling) bertanggung jawab atas lebih dari 60 reaksi kimia
untuk mensimulasikan interaksi antara radiasi dan air beroksigen. Sebelas atau lebih
reaksi tambahan diperlukan untuk memperhitungkan interaksi dengan 𝑆𝑂4 2− dan 𝐹𝑒 2+
Reaksi tambahan akan diperlukan untuk memperhitungkan interaksi dengan gelatin dan
agen chelating. Akibatnya, Fricke gel dosimeter tidak sesederhana itu. Tingkat
kompleksitas yang melekat ini harus diingat ketika mengevaluasi dosimeter 3D potensial
lainnya.

Dosimeter gel Polimer


Polimer gel dosimeter mengandung air dan gelatin, bersama dengan monomer dan
crosslinker yang berpolimerisasi dalam menanggapi radikal bebas yang dihasilkan oleh
radiolisis air. Jumlah polimer silang yang membentuk dan mengendap di setiap lokasi
dalam gel tergantung pada dosis radiasi lokal dan konsentrasi lokal monomer dan
crosslinker. Pembentukan partikel polimer berikatan silang (microgels) menginduksi
perubahan dalam sifat fisik dosimeter yang dapat dideteksi menggunakan beberapa teknik
pencitraan (misalnya, MRI, CT optik, x-ray CT dan scan ultrasound). Distribusi dosis
radiasi kemudian dapat diperkirakan dari gambar 3D yang dihasilkan dan digunakan
untuk memverifikasi rencana perawatan yang diterapkan.
Dosimeter PAG terdiri dari monomer acrylamide (Aam) dan N, N'-
methylenebisacrylamide (Bis) crosslinker dilarutkan dalam matriks gelatin berair. Reaksi
utama yang terjadi selama kopolimerisasi radikal bebas dari akrilamida dan bisakrilamida
Meskipun polyacrylamide linear adalah polyacrylamide yang dapat larut dalam air
presipitat. Polimer yang diendapkan dipegang dalam posisi oleh matriks gelatin,
melestarikan informasi spasial melalui cara yang lebih efektif daripada di Fricke gel
dosimeter. Meskipun molekul polimer yang tergeser tidak dapat dengan mudah berdifusi,
monomer yang tidak bereaksi dapat dengan mudah berdifusi melalui gel selama dan
setelah penyinaran. Akibatnya, hasil dosimetri tidak akurat dapat diperoleh dalam situasi
di mana polimer radikal bertahan selama jangka waktu yang panjang dan mampu
bereaksi dengan monomer dan crosslinker yang menyebar (misalnya, dalam gel PAG
anoxic di mana radikal dapat bertahan selama lebih dari 12 jam dan dalam aplikasi
brachytherapy dosis dosis rendah di mana radikal dihasilkan terus menerus selama
beberapa minggu. Perhatikan bahwa semua dosimeter polimer gel saat ini menghadapi
masalah yang sama dengan difusi molekul.

gambar 21. Struktur kimia monomer yang digunakan dalam dosimetri gel polimer

Perkembangan yang signifikan dalam bidang dosimetri gel terjadi menggunakan


formulasi dosimeter polimer alternatif . Dosimeter polimer jenis gel baru ini, yang
dikenal sebagai MAGIC gel, mengikat oksigen atmosfer dalam kompleks metal-organik
sehingga menghilangkan masalah inhibisi oksigen dan memungkinkan gel polimer untuk
diproduksi di atas bangku di laboratorium. Ini menciptakan apa yang dikenal sebagai
dosimeter gel normoksik, dibandingkan dengan formulasi PAG sebelumnya yang
kemudian dikenal sebagai dosimeter gel hipoksia. Formula gel polimer MAGIC terdiri
dari asam metakrilat, asam askorbat, gelatin dan tembaga. Prinsip utama di balik gel
MAGIC adalah dalam pemulung oksigen asam askorbat. Asam askorbat mengikat
oksigen bebas yang terkandung dalam matriks gelatin berair menjadi kompleks metalo-
organik dan proses ini diprakarsai oleh tembaga sulfat. Itu kemudian menunjukkan bahwa
antioksidan lain dapat digunakan dalam pembuatan gel normoksik termasuk tetrakis
(hidroksimetil) fosfonium klorida. Pekerjaan juga termasuk pengembangan formulasi
baru gel normoksik dan gel polimer kurang beracun.

Dosimeter gel Micelle

Jordan dan rekan kerja mengembangkan dosimeter micelleic micelle gel untuk
pembacaan optik. Resep gel terdiri dari pewarna leuco berwarna (misalnya, leuco
malachite green atau leuco kristal violet) diemulsi dalam matriks hidrogel menggunakan
surfaktan. Molekul leukun-dye bereaksi dengan radikal bebas yang dihasilkan oleh
radiolisis air, berubah dari tidak berwarna menjadi sangat berwarna ketika dosis radiasi
meningkat. Misel adalah kumpulan molekul surfaktan yang dirakit sendiri yang memiliki
bagian hidrofilik dan hidrofobik. Di atas konsentrasi misel kritis (CMC), molekul-
molekul surfaktan menyesuaikan diri sehingga bagian hidrofobiknya menjauh dari air di
sekitarnya menuju pusat-pusat misel, meninggalkan bagian hidrofiliknya dalam kontak
dengan air. Tujuan utama penggunaan misel dalam dosimeter mikchromic micelle gel
adalah untuk mengemulsi molekul leuco-dye yang larut dalam air di dalam inti
hidrofobik misel untuk mendistribusikan zat warna leuko di seluruh volume gel 3D.
Manfaat kedua adalah bahwa misel secara signifikan lebih besar daripada molekul
leukon-dye individu. Akibatnya, misel, yang mengandung zat warna leuko, memiliki
difusivitas rendah dalam matriks gel. Menggunakan emulsi leuko-dye molekul sebagai
molekul reporter menghasilkan stabilitas spasial informasi dosis yang lebih baik,
dibandingkan dengan dosimeter optik bebas micell seperti Fricke gel dosimeters dan
polimer gel dosimeter.

Dosimeter gel micelle saat ini dapat memperoleh manfaat dari perbaikan lebih
lanjut karena sensitif terhadap cahaya dan sensitif suhu selama penyinaran dan cenderung
memudar seiring waktu. Mereka juga memiliki sensitivitas dosis yang relatif rendah dan
mungkin memiliki ketergantungan dosis-tingkat yang signifikan. Salah satu manfaat
menggunakan misel dalam 3D gel dosimeter adalah bahwa, tidak seperti dosimeter gel
tradisional, molekul reporter tidak perlu larut dalam air. Bahkan, kelarutan air yang
sangat rendah atau dapat diabaikan akan membantu mengurangi difusi dan akan
meningkatkan stabilitas spasial. Akibatnya, berbagai molekul reporter hidrofobik baru
dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam gel micelle 3D. Salah satu jenis molekul
reporter yang tidak larut dalam air yang baru-baru ini dipelajari adalah 10,12-
pentacosadiynoic acid (PCDA), yang merupakan molekul reporter yang digunakan dalam
film. PCDA berubah warna sebagai respons terhadap reaksi dengan radikal bebas karena
mengandung gugus diacetylene (yaitu, dua ikatan rangkap tiga karbon-karbon yang
dipisahkan oleh ikatan tunggal karbon-karbon). Ketika diacetylenes oligomerize sebagai
respons terhadap radikal bebas, mereka menghasilkan perubahan warna yang intens
karena ikatan ganda dan rangkap tiga terkonjugasi. Sayangnya, PCDA dan dua
diacetylenes lainnya terbukti tidak sesuai untuk dosimeter gel micelle karena mereka
tidak oligomerize dalam misel. Namun demikian, dosimeter gel micelle layak studi lebih
lanjut dan pengembangan karena sifat difusi mereka dan berbagai molekul reporter baru
yang dapat dipertimbangkan.

Dosimeter Genipin gel

Sebuah dosimeter gel baru-baru ini yang mengandung genipin, gelatin dan air saat
ini sedang dipelajari untuk aplikasi dosimeter radioterapi. Genipin adalah penghubung
silang alami dari banyak jenis polimer hidrogel, termasuk gelatin. Selama reaksi silang
gelatin dengan genipin dalam media berair, campuran perlahan berubah dari tidak
berwarna menjadi biru tua. Titik leleh dari gel yang dihasilkan jauh lebih tinggi daripada
gel gelatin bebas genipin. Gel pemutih biru transparan sebagai respons terhadap iradiasi
dan perubahan warna dapat dikuantifikasi secara optik. Informasi dosis 3D yang stabil
dapat diperoleh sesaat setelah radiasi. Genipin bereaksi secara linear terhadap dosis
radiasi antara 100 dan 1000 Gy. Menurunkan pH menggunakan asam sulfat
meningkatkan sensitivitas dosis gel genipin ke dosis antara 0 dan 100 Gy sehingga gel ini
mungkin menjanjikan untuk dosimetri radioterapi 3D di masa depan.

Kelebihan dan kekurangan dosimeter gel

Gel Fricke digunakan karena mereka relatif sederhana dan dapat direproduksi,
meskipun mereka memiliki masalah signifikan dengan stabilitas spasial karena difusi.
Kimia gel Fricke sebenarnya cukup rumit dan melibatkan sejumlah besar reaksi kimia.
Selain itu, kepekaan mereka tergantung pada konsentrasi oksigen. Efektivitas gel Fricke
yang bergantung pada oksigen harus diingat ketika mencari resep dosimeter gel yang
baru dan lebih baik.

Sensitivitas oksigen adalah masalah penting dalam dosimeter polimer gel, bahkan
ketika mereka diproduksi menggunakan THPC sebagai pemulung oksigen. Akibatnya,
perhatian besar harus diambil untuk mencegah kebocoran oksigen selama waktu antara
pembuatan gel dan iradiasi. Jika tidak, hasil yang menyesatkan bisa diperoleh.
Penggunaan kalibrasi gel internal (yaitu, menggunakan informasi dosis mendalam)
daripada botol kecil direkomendasikan sebagai alat untuk mendeteksi ketika kontaminasi
oksigen telah terjadi.

Dosimeter polimer gel yang mengandung NIPAM dan bukannya akrilamida


sedang dikembangkan dan digunakan karena lebih aman untuk dibuat dan digunakan.
Namun, meskipun NIPAM kurang beracun dan kurang mungkin dicerna oleh penyerapan
kulit atau inhalasi, tindakan pencegahan keamanan kimia yang tepat masih harus diambil
ketika digunakan. NIPAM gel dengan tinggi % T memungkinkan crosslinker tambahan
untuk dibubarkan, sehingga peningkatan sensitivitas dan resolusi dosis dapat diperoleh
untuk digunakan dengan CT scan x-ray. Resep T% lebih rendah lebih baik untuk
digunakan dengan MRI dan pemindaian optik; resep yang berbeda harus digunakan
dengan teknik pencitraan yang berbeda.

Gel mikel menjanjikan karena sifat difusi yang menguntungkan dan kisaran
molekul reporter yang larut dalam air yang mungkin dipertimbangkan. Genipin gel juga
menjamin penyelidikan dan pengembangan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai