Referat Stunting Fix
Referat Stunting Fix
Referat Stunting Fix
Latar belakang
Pendek di identifikasikan dengan membandingkan tinggi seseorang anak dengan standar tinggi
anak pada populasi yang normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Anak dikatakan
pendek (stunting) jika tingginya berada dibawah -2 SD dari standar WHO.1
Studi studi saat ini menunjukan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi
pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak anak pendek
menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang kurang
pendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena
itu anak pendek merupakan predictor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara
luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di massa yang akan
datang.1
Pendek (stunting) merupakan tragedi yang tersembunyi. Pendek terjadi karena dampak
kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan anak. Kerusakan yang terjadi
mengakibatkan perkembangan anak yang irreversible (tidak bisa diubah), anak tersebut tidak akan
pernah mempelajari atau mendapatkan sebanyak yang dia bisa.1
Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas
yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita pendek (stunting),
pengendalian penyakit menular dan penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi
masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas
pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana Pembangunan jangka
Menengah Tahun 2015-2019. Target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek)
pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% (RPJMN. 2015-2019). Intervensi gizi
spesifik umumnya dilakukan di sector kesehatan, namun hanya berkontribusi 30%, sedangkan
70%nya merupakan kontribusi intervensi gizi sensitive yang melibatkan berbagai sector seperti
ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, Pendidikan,
social dan sebagainya.2
BAB II
1. Definisi
Perawakan pendek atau short stature adalah tinggi badan yang berada dibawah persentil ke 3 atau
-2 SD pada kurva pertumbuhan yang berlaku pada populasi tersebut atau kurva baku NCHS.
Perawakan pendek dapat disebabkan karena berbagai kelainan endokrin maupun non-endokrin.
Penyebab terbanyak adalah kelaianan non-endokrin seperti penyakit infeksi kronik, gangguan
nutrisi, kelainan gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan lain lain. Pemantauan tinggi badan
dibutuhkan untuk menilai normal tidaknya pertumbuhan anak. Deteksi dini penyimpangan
pertumbuhan diperlukan untuk pemberian hasil yang lebih baik.3
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah lima tahun) akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak
bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru
Nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted)
adalah balita dengan Panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umumnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (multicentre growth reference study) 2006.
Sedangkan definisi stunting menurut Kementrian Kesehatan (kemenkes) adalah balita dengan nilai
z score nya kurang dari -2 SD / Standar deviasi (stunted) – 3 SD (severely stunted).4
Stunting merupakan keadaan tubuh yang pendek menurut umur hingga melampaui defisit -2 SD
dibawah median standar panjang atau tinggi badan menurut umur. Telah diketahui bahwa semua
masalah anak pendek, bermula pada proses tumbuh kembang janin dalam kandungan sampai usia
2 tahun. Apabila dihitung dari sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi sampai anak usia 2
tahun merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan manusia, disebut sebagai window
opportunity.5
2. Epidemiology
Pada tahun 2015 Kementerian Kesehatan melaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang
merupakan studi potong lintang dengan sampel dari rumah tangga yang mempunyai balita di
Indonesia. Hasil mengenai persentase balita pendek adalah sebagai berikut.2
Menurut hasi PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan
persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.
Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika
prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya presentase balita pendek di Indonesia juga tinggi dab
merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga
, prevalensi balita pendek di Indonesia tertinggi dibandingkan Myanmar (35%) Vietnam (23%)
Malaysia (17%) Thailand (16%) dan singapura (4%). Global Nutritiom Report (GNR) tahun 2014
melaporkan bahwa Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai
3 masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita.2
3. Etiology
Stunting disebabkan oleh factor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh factor gizi buruk
yang di alami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat
mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu diberlakukan pada 1.000 hari pertama
kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa factor yang menjadin penyebab
stunting dapat digambarkan sebagai berikut:4
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta
dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air
Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia
diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MP- ASI juga
dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta
membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan
maupun minuman.4
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan
bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2
dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya
akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum
terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).4
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan harga
makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber (RISKESDAS
2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan
di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura.
Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3
ibu hamil yang mengalami anemia.4
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan
bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1
dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.4
Namun diliteratur lain disebutkan juga penyebab stunting adalah: 5
1. Salah satu faktor risiko kejadian Stunting kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang
lama, sehingga dapat terjadi perlambatan pertumbuhan dan berpengaruh terhadap status
gizi. Penyakit infeksi ( diare dan ISPA ) dapat mengakibatkan berat badan turun secara
akut dan berpengaruh pada status gizi balita bila terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Balita dengan status gizi yang kurang mempunyai sistem imun yang rendah yang dapat
membuat balita mudah terkena penyakit infeksi.5
2. Anak dengan defisiensi vitamin A memiliki kecenderungan stunting karena pada masa
anak-anak vitamin A mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel, apabila terjadi
defisiensi dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan dapat meningkatkan risiko infeksi
seperti penyakit campak dan diare.5
3. Paparan pestisida yang diterima oleh ibu hamil dapat juga menjadikan bayinya stunting.
Beberapa jenis pestisida dikenal sebagai thyroid disrupting chemicals (TDCs), dapat
mengganggu struktur dan fungsi kelenjar tiroid, mengganggu sintesis, sekresi, transpor,
pengikatan dan eliminasi hormon tiroid, yang berdampak terjadinya hipotiroidisme.
Hipotiroidisme pada ibu hamil menyebabkan terjadinya gangguan tumbuh-kembang
janin/anak yang dilahirkannya.5
4. Defisiensi seng akan menyebabkan perubahan pada beberapa sistem organ seperti sistem
saraf pusat, saluran pencernaan, sistem reproduksi dan fungsi pertahanan tubuh baik.
Faktor predisposisi terjadinya defisiensi seng adalah karena: a. Konsumsi dan absorbsi
kurang, b. Meningkatnya pengeluaran, c. Utilisasi kurang, d. Kebutuhan meningkat.
Manifestasi defisiensi Zn yang khas pada anak adalah keterlambatan pertumbuhan.5
4. Patogenesis.
Meskipun prevalensi stunting pada tingkat global yang tinggi, untuk penjelasan ini, jalur yang
paling mudah dikerjakan untuk intervensi yang efektif adalah mendorong pertumbuhan yang sehat
di negara berkembang. Dari studi epidemiologi jelas bahwa pemberian ASI yang kurang optimal
dan pemberian makanan pelengkap tidak adekuat, infeksi berulang dan defisiensi mikronutrien
merupakan faktor terjadinya stunting. Kegagalan pertumbuhan juga terjadi dalam interaksi faktor-
faktor sosial, seperti akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan, stabilitas politik, urbanisasi,
kepadatan penduduk dan jaringan dukungan sosial, meninjau pemahaman saat ini tentang
kegagalan pertumbuhan di seluruh perjalanan hidup dan mencoba untuk intervensi.6
Pertumbuhan janin diatur oleh interaksi kompleks antara status gizi ibu, endokrin ,sinyal metabolik
dan perkembangan plasenta. Ukuran bayi yang baru lahir merupakan cerminan dari lingkungan
intrauterine; prevalensi bayi berat lahir rendah (<2,5 kg) sekitar enam kali lebih tinggi dalam
negara berkembang dibandingkan dengan negara-negara maju. The INTERGROWTH-21st
Project, melakukan sebuah studi populasi pertumbuhan janin di delapan negara, menunjukkan
bahwa panjang bayi baru lahir sangat mirip di antara wanita yang makmur, sehat, dan terdidik.
Bayi dengan berat lahir rendah termasuk yang lahir terlalu cepat (prematur), terlalu kecil (kecil
untuk usia kehamilan, SGA), atau keduanya. Pada tahun 2010, sekitar 27% bayi lahir hidup secara
global adalah SGA dan hampir 3 juta bayi lahir prematur dan SGA memiliki risiko pertumbuhan
dan kematian yang lebih tinggi. Menggunakan data dari study yang dilakukan, Christian et al.
menunjukkan bahwa, risiko stunting postnatal meningkat nyata di antara bayi yang lahir prematur.6
Kekurangan gizi ibu berkontribusi pada sekitar 20% kematian ibu dan meningkatkan risiko hasil
kehamilan yang merugikan, kematian anak dan stunting. Perawakan ibu yang pendek, indeks
massa tubuh yang rendah dan berat badan yang buruk selama kehamilan adalah indeks utama yang
terkait dengan bayi berat lahir rendah. Kehamilan dini selama masa remaja, ketika ibu sendiri
masih tumbuh, meningkatkan risiko stunting ibu lebih lanjut. Kelahiran yang berjarak dekat juga
meningkatkan tuntutan nutrisi pada ibu.6
Pemberian ASI eksklusif (EBF) selama 6 bulan pertama telah direkomendasikan oleh WHO sejak
2001. Meskipun manfaat EBF untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Kegagalan
pertumbuhan yang terus menerus dari kehidupan janin melalui 6 bulan pertama kehidupan
pascanatal menunjukkan keberadaan faktor-faktor umum, yang belum terdefinisi dengan baik.
Dalam sebuah studi tentang pasangan ibu-bayi Zimbabwe, ada bukti peradangan kronis di awal
kehidupan (oleh Usia 6 minggu). Tingkat penanda inflamasi (misalnya CRP) secara terus-menerus
lebih tinggi pada stunted dibandingkan pada bayi tanpa stunting, dan dikaitkan dengan tingkat
peradangan ibu saat lahir, menunjukkan satu mekanisme umum yang potensial yang
menghubungkan kegagalan pertumbuhan.6
Kekurangan vitamin A, seng, zat besi dan yodium umum, dan beberapa defisiensi mikronutrien
sering ditemukan pada anak, yang mana mempengaruhi banyak aspek seperti aspek fisiologi,
termasuk fungsi saraf dan kekebalan tubuh. Diperkirakan sekitar 17,3% dari populasi global
berada dalam risiko kekurangan zinc dan prevalensi negara tertentu dari asupan zinc yang tidak
adekuat berhubungan dengan prevalensi stunting di 138 negara berpenghasilan rendah dan
menengah. konsumsi zinc harian (10 mg / hari) selama 24 minggu menyebabkan kenaikan rata-
rata (SD) sekitar 0,38 cm. Penelitian yang menyelidiki dampak vitamin A pada pertumbuhan telah
melaporkan hasil yang beragam.6
Beberapa dekade yang lalu, studi di Guatemala menunjukkan bahwa infeksi berulang dapat
mengganggu pertumbuhan, terutama selama paruh kedua masa bayi, penelitian selanjutnya telah
mengkonfirmasi pengamatan ini. Namun, ada hubungan dua arah antara infeksi dan kekurangan
gizi; beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang kekurangan gizi mengalami
peningkatan frekuensi, durasi dan keparahan infeksi. Oleh karena itu sulit untuk membedakan
sebab dan akibat.6
Diare adalah salah satu infeksi yang paling sering terjadi di masa kanak-kanak, terutama dalam
kondisi sanitasi dan kebersihan yang buruk, meskipun hasil studi bervariasi, apakah diare tidak
dapat menyebabkan stunting. Dalam analisis data dari sembilan studi berbasis masyarakat dengan
data diare, Secara keseluruhan, 25% pengerdilan dikaitkan dengan lima atau lebih episode diare
dapat menyebabkan stunting. Dalam penelitian yang lebih baru; seorang anak dengan beban diare
(23 hari per tahun) adalah 0,38 cm lebih pendek pada usia 2 tahun daripada anak tanpa diare.6
Pertanyaan tentang potensi pemulihan di luar 1000 hari pertama tetap penting untuk berbagai
komponen sindrom stunting dapat terjadi pada waktu yang berbeda. Apa yang menyebabkan
pertumbuhan kurang juga dapat terjadi melebihi 24 bulan, dan apakah intervensi akan bermanfaat
meningkatkan, tetap tidak pasti. Masa remaja adalah waktu di luar masa bayi ketika kecepatan
pertumbuhan adalah maksimal dan merupakan kesempatan terakhir untuk mengejar pertumbuhan
yang kurang, meskipun untuk mencapai potensi pertumbuhan penuh mungkin membutuhkan
pertumbuhan yang terbatas.6
6. Dampak stunting
Kelompok Studi Gizi Ibu dan Anak (Victora dkk. 2008) meninjau penelitian kohort dari lima
negara berpenghasilan rendah dan menengah: Brasil, Guatemala, India, Filipina, dan Afrika
Selatan. Penelitian ini melibatkan tindak lanjut jangka panjang pada anak-anak hingga remaja
akhir dan dewasa. Kelompok studi menyimpulkan bahwa bayi dengan ukuran kecil saat lahir dan
stunting pada masa kanak-kanak dikaitkan dengan perawakan pendek pada masa dewasa, akan
menyebabkan kurangnya lemak pada massa tubuh, sekolah kurang, berkurangnya fungsi
intelektual, mengurangi pendapatan dan menurunkan berat lahir bayi yang lahir dari wanita yang
sendiri telah kerdil sebagai anak-anak. Bukti terbaru juga menunjukkan bahwa anak-anak yang
lahir dari wanita yang kerdil memiliki risiko kematian yang lebih besar daripada anak-anak dari
ibu dengan tinggi badan normal.8
Anak-anak yang stunted biasanya tumbuh menjadi orang dewasa kerdil , Ada kesempatan untuk
memperbaiki defisit tinggi selama masa remaja karena anak-anak kerdil sering mengalami
keterlambatan dalam pematangan tulang, memperpanjang periode total waktu untuk pertumbuhan
tinggi badan. Namun, potensi untuk secara substansial mengurangi defisit tinggi selama masa
remaja terbatas karena penundaan pematangan biasanya lebih pendek dari 2 tahun. Selain itu,
remaja yang memasuki periode ini kerdil sering hidup di bawah kondisi gizi, sosio-ekonomi dan
lingkungan yang sama merugikan yang memicu stunting ketika mereka masih anak-anak. 8
2) Dalam jangka Panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognittif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah
sakit dan resiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, penyakit jantung dan pembuluh
darah, kanker stroke dan disabilitas pada usia tua
Kesemuanya itu akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, produktifitas dan
daya saing bangsa.9
7. Tatalaksana stunting
7.1 Diagnosis
- Anamnesis.3
riwayat kelahiran dan persalinan, meliputi juga berat dan Panjang lahir (untuk
mengetahui ada tidaknya pertumbuhan janin terhambat)
data antropometri kedua orang tua (untuk menentukan potensi tinggi genetic)
Kriteria awal untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut (khusus) pada anak dengan
perawakan pendek
Data riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa hanya 15,3% bayi di Indonesia yang
mendapatkan ASI eksklusif 6 bulan, bahkan pada bulan pertama hanya 39,8% bayi
yang masih mendapatkan ASI eksklusif. ASI adalah makanan ideal untuk bayi
sehingga pemberian ASI eksklusif berhasil adalah dengan inisiasi menyusui dini.
Langkah kedua adalah posisi dan perlekatan yang benar, serta bayi mengisap secara
efektif (mengisap kuat, perlahan , dalam, disertai jeda dibeberapa isapan). Langkah
ketiga adalah menilai kecukupan ASI. Kecukupan ASI dipastikan dengan frekuensi
buang air kecil 6-8 kali sehari, durasi menyusu 10-30 menit untuk satu payudara dan
kenaikan berat badan yang adekuat. ASI memiliki komponen imunologis yang dapat
melindungi bayi dari pathogen dilingkungan melalui mekanisme spesifik berupa
antibody (igA, igG dan igM) dan non spesifik yang meliputi lactoferin, lisozim, efek
anti viral, dan anti protozoa dari asam lemak bebas dan monogliserida. 10
WHO Global strategy for feeding infant and young children pada tahun 2003
merekomendasikan agar pemberian MPASI memenuhi syarat, yaitu: 10
Tepat waktu (timely) artinya MPASI harus diberikan saat ASI eksklusif sudah tidak dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi bayi
1. Adekuat, artinya MPASI memiliki kandungan energi, protein, dan mikronutrien bayi
sesuai usianya.
2. Aman, artinya MPASI disiapkan dan disimpan dengan car acara yang higenis,
diberikan menggunakan tangan dan peralatan makan yang bersih
3. Diberikan dengan cara yang benar (properly fed) artinya MPASI diberikan dengan
memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang seorang anak. Frekuensi makan dan
metode pemberian makan harus dapat mendorong anak untuk mengonsumsi makanan
secara aktif dalam jumlah yang cukup menggunakan tangan, sendok, atau makan
sendiri (disesuaiakan dengan usia dan tahap perkembangan seorang anak)
9. Tindakan untuk mengurangi pengerdilan.11
• Kembangkan target pengerdilan nasional yang sejalan akan berkontribusi pada pencapaian
Global World Health Assembly.
• Perkuat metode untuk menilai secara akurat beban pengerdilan, agar dapat merencanakan secara
efektif, merancang dan memonitor program pencegahan stunting
• Memasukkan penilaian pertumbuhan linear ke dalam rutinitas layanan kesehatan anak, untuk
memberikan kritis, secara realtime informasi untuk pengaturan dan kemajuan target pemantauan.
• Mengintegrasikan nutrisi dalam strategi promosi kesehatan dan memperkuat kapasitas layanan
pengiriman di sekolah dasar sistem kesehatan dan perawatan berbasis masyarakat untuk
pencegahan stunting dan malnutrisi akut, didukung oleh program perlindungan social.
2. Menetapkan kebijakan dan / atau memperkuat intervensi untuk meningkatkan gizi dan kesehatan
ibu, dimulai dengan gadis remaja.11
• Terapkan program yang memberikan mingguan suplementasi zat besi dan folat, serta pencegahan
dan pengobatan infeksi dan suplemen gizi selama kehamilan.
• Mengesahkan kebijakan tenaga kerja, termasuk bersalin perlindungan, mendukung eksklusif dan
berkelanjutan menyusui.
• Lindungi dan promosikan ASI eksklusif di enam bulan pertama untuk menyediakan nutrisi
“aman” dan lindungi bayi dari infeksi gastrointestinal.
• Promosikan konsumsi diet yang sehat dan terdiversifikasi, termasuk makanan kaya nutrisi
berkualitas tinggi dalam masa makan komplementer (6-23 bulan).
• Memupuk praktik penyimpanan dan penanganan makanan yang aman, ke hindari infeksi dari
kontaminasi mikroba dan mikotoksin.
4. Perkuat intervensi berbasis masyarakat, termasuk peningkatan air, sanitasi dan kebersihan
(WASH), untuk melindungi anak-anak dari diare penyakit dan malaria, cacingan dan
Adapun menurut literatur lain intervensi gizi terdiri dari intervensi gizi spesifik dan sensitive.9
1. Intervensi gizi spesifik : merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000
hari pertama kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka
kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sector kesehatan.
a) Intervensi dengan sasaran ibu hamil
Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan
energi dan protein kronis
Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
Mengatasi kekurangan iodium
Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil
Melindungi ibu hamil dari malaria
b) Intervensi dengan sasaran Ibu menyusui dan anak 0-6 bulan
Mendorong inisiasi menyusui dini
Mendorong pemberian ASI eksklusif
c) Intervensi dengan sasaran Ibu menyusui dan anak 7-23 bulan
Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI
Menyediakan obat cacing
Menyediakan suplementasi zink
Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan
Memberikan perlindungan terhadap malaria
Memberikan imunisasi lengkap
Melakukan pencegahan dan pengobatan diare
Analisis meneliti factor factor yang berhubungan dengan stunting pada anak 0-23 bulan dari tiga
kabupaten di Indonesia. Prevalensi stunting pada populasi ini (28,4%) lebih rendah dari data survei
nasional 2013 untuk Indonesia (23,9%) dan serupa di maluku utara (29,0%). Penelitian
menemukan bahwa anak yang kerdil yang sumber asal air minumnya tidak diolah kemungkinan
menjadi kerdil adalah 3X ditambah dengan jamban yang tidak nyaman.12
Hubungan antara WASH dan status gizi belum sepenuhnya diselidiki di Indonesia. Selain itu
evaluasi di Jawa Timur menemukan pengurangan prevalensi kecacingan yang ditularkan melalui
tanah dan hasilnya terjadi peningkatan tinggi badan, berat badan pada anak yang memiliki kakus
yang cukup memadai tapi hanya untuk orang yang mampu membangun kakus. Hasil penelitian
iniadalah membangun kakus sebagai hasil dari program.12
Kesimpulan
Berbagai studi menyebutkan berbagai factor individu, rumah tangga, dan tingkat masyarakat yang
terkait dengan pengerdilan, factor risiko utama termasuk anak laki laki, anak anak yang dianggap
kecil saat lahir, anak anak dari keluarga yang kurang mampu (miskin) dan anak anak yang lahir
ditumah dengan bantuan dari dukun, perlunya intervensi di tingkat individu. diperlukan untuk
mrningkatkan kesehatan anak pada tingkat individu, penekanan harus diberikan pada ibu yang
mendidik dan terutama ibu muda tentang kesehatan dan praktik pemberian makan anak termasuk
sumber air minum yang aman untuk anak anak mereka.13 Intervensi yang meningkatkan kualitas
rumah tangga dan memperbaiki kondisi air dan sanitasi harus diimplementasikan untuk
mengurangi stunting. Kegiatan program perencanaan keluarga yang mendukung ibu selama
kehamilan dan menyusui dapat berdampak positif pada bayi baru lahir dan saudara kandung yang
lebih tua.14 Dengan menggunakan tinggi menurut umur z score (HAZ) sebagai indicator status gizi
anak dalam analisis factor penentu perubahan status gizi dari waktu ke waktu dan di seluruh daerah
pedesaan dan perkotaan. Stunting didefinisikan sebagai HAZ kurang dari 2 SD standar refensi
internasional NCHS / CDC/ WHO.15
DAFTAR PUSTAKA
2. Pusat data dan informasi kementrian kesehatan RI. 2016. Situasi Balita Pendek. Jakarta. Hal.1.
3. IDAI. 2010. Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Jilid 1. Jakarta. IDAI.
Hal 243-8.
4. Kepmenkes. 2017. 100 kabupaten/kota prioritas yntuk intervensi anak kerdil (stunting).
Kepmenkes. Hal 5.
5. Wellina W, Kartasurya M, Rahfilludin Z. 2013. Faktor Risiko Stunting pada anak umur 12-
www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4232245/
7. Onis M, Branfa F. 2016. Childhood stunting: a global perspective. WHO. Diunduh 18-9-2018
www.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc5084763/
8. Kathryn D, Begum K. 2011. Long-term consequences of stunting in early life. Di unduh 18-9-
2018 www.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1740-8709.201100349.x
9. Kementrian desa, pembangunan daerah tertinggal, transmigrasi. 2017. Buku saku desa dalam
10. IDAI. Rekomendasi praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi dan batita di Indonesia
www.who.int/nutrition/topics/globaltargets_stunting_policybrief.pdf
from cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene
www.bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-016-3339-8
13. Chirande L, Charwe D, Agho K. Determinants of stunting and sever stunting among under-
14. Altare C, Darge T, Mutebei G. factors associated with stunting among pre-school children in
www.academic.oup.com/tropej/article/62/5/390/2414101
15. Zanello G, Srinivasan S, Shankar B. What explains Cambodia success in reducing child
https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.371/journal.pone.0162668