Mencegah Stunting Sulsel Melalui Intervensi Kelor Pada Ibu Hamil
Mencegah Stunting Sulsel Melalui Intervensi Kelor Pada Ibu Hamil
Mencegah Stunting Sulsel Melalui Intervensi Kelor Pada Ibu Hamil
Pendahuluan
Masalah stunting menjadi topik yang banyak dibicarakan orang saat ini. Berdasarkan data
WHO, Indonesia adalah negara yang menyumbang angka anak stunting nomor lima terbesar di
dunia. Data ini sesuai dengan angka kejadian stunting pada anak di Indonesia yang cenderung
stabil dalam sepuluh tahun terakhir ini. Kondisi ini agak berbeda dengan apa yang dicapai oleh
berbagai negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, atau Vitnam. Hasil survey nasional
terakhir memperlihatkan angka kejadian stunting pada anak Balita di Indonesia adalah 36,8%
pada tahun 2017 atau hanya sedikit lebih rendah dari survey kesehatan dasar pada tahun 2013
yaitu 37.2% (Litbangkes, 2014).
Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai angka kejadian stunting yang lebih tinggi dari angka
nasional. Survey nasional pada tahun 2010 dan 2013 memperlihatkan angka stunting yang agak
tinggi, berturut-turut sebesar 44,7% dan 44,9%. Angka ini sangat berbeda dengan survey
Penilaian Status Gizi (PSG) yang dilakukan pada tahun 2015, 2016 dan 2017 yaitu berturut-turut
sebesar 34,1% , 35,7% dan 34,8%. Walaupun angka ini jauh lebih rendah dari angka
sebelumnya namun angka ini tetap lebih tinggi dari rata-rata nasional. Ini menunjukkan program
penanggulangan stunting di Provinsi Sulawesi Selatan belum berjalan dengan baik.
Hal yang patut disyukuri adalah upaya pencegahan stunting di Indonesia telah menjadi agenda
penting di tingkat nasional. Berbagai langkah telah diambil pemerintah untuk menekan angka ini
dengan target RPJMN menurun dari 37,2% menjadi 28%. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan
pada tahun ini (2018) adalah memilih beberapa kabupaten/kota dalam proyek pencegahan
stunting secara multisektor. Semua bidang yang terkait diharapkan terlibat secara optimal.
Salah satu intervensi yang memberi harapan dalam penurunan stunting adalah intervensi melalui
ibu hamil. Makalah ini dibuat untuk menyajikan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh penulis bersama tim di Universitas Hasanuddin dengan memberikan suplemen daun kelor
pada ibu hamil.
Stunting adalah terhambatnya proses pertumbuhan linear yang diukur berdasarkan panjang badan
atau tinggi badan per umur. Penamaan stunting ini lebih banyak ditujukan pada usia di bawa
lima tahun (Balita). Anak Balita yang panjang badan atau tinggi badan lebih rendah dari standar
international WHO sebanyak dua standar deviasi disebut stunting. Dalam bahasa Indonesia yang
baku, istilah stunting ini disebut dengan anak pendek. Istilah pendek dan sangat pendek biasa
digunakan oleh para ahli untuk membedakan antara mereka yang berada pada tinggi badan lebih
rendah dari 2 standar deviasi (pendek) dan lebih rendah dari 3 standar deviasi (sangat pendek).
Kajian literatur memperlihatkan bahwa stunting pada anak Balita dihubungkan dengan tingginya
angka kejadian penyakit dan kematian, rendahnya kemampuan belajar, meningkatnya resiko
penyakit menular dan tidak menular pada orang dewasa, serta rendahnya kemampuan ekonomi
dan produktifitas (Tumilowicz, Beal and Neufeld, 2018). Hubungan antara kejadian stunting
pada usia dini dengan kejadian penyakit degeneratif yang banyak diderita oleh masyarakat saat
ini semakin kuat. Penyakit degeneratif yang dimaksud termasuk diabetes, hipertensi, serta
penyakit jantung dan pembuluh darah. Mekanisme hubungannya dapat dijelaskan sejak
terjadinya kegagalan pertumbuhan dalam kandungan di mana pada saat dalam kandungan
perkembangan organ tubuh janin memerlukan berbagai zat gizi mikro yang optimal (Islam et al.,
2018).
Mekanisme yang terkait dengan stunting juga seringkali dihubungkan dengan kondisi ibu
sebelum hamil. Kajian epigenetik yang telah banyak berkembang telah memperlihatkan betapa
kondisi ibu hamil empat bulan sebelum hamil akan menentukan bagaimana pertumbuhan janin
dalam kandungan dan perkembangannnya setelah lahir (Furness, Dekker and Hague, 2010).
Para ahli menyebutnya dengan masa perikonsepsi yaitu empat bulan sebelum konsepsi dan
empat bulan sestelah konsepsi. Kesiapan dari ovum dan sperma yang membawa kode genetic
dari ke dua orang tuanya, dan selanjutnya diikuti dengan kondisi lingkungan dalam rahim sangat
mempengaruhi keadaan janin. Kondisi lingkungan pada ibu sangat dipengaruhi apa yang
dikonsumsi oleh ibu termasuk kondisi psikologis ibu.
Studi di berbagai negara yang dilakukan pada anak Baduta (bawa dua tahun) dan Balita telah
memperlihatkan bahwa berbagai faktor yang dihubungkan dengan kejadian stunting adalah
faktor social ekonomi keluarga, pendidikan ibu, berat badan ibu sebelum hamil, pola makan ibu
hamil, kondisi psikologis ibu hamil, berat badan lahir, pemberian ASI, serta kualitas dan
kuantitas makanan pendamping ASI (Fikadu, Assegid and Dube, 2014)Islam et al.,
2018)(Shinsugi et al., 2015)(Kofuor et al., 2014). Studi yang dilakukan di Indonesia khususnya
di Sulawesi Selatan telah memperlihatkan juga factor utama kejadian stunting adalah berat badan
lahir anak, praktek pemberian ASI, dan pendidikan ibu (Hadju et al.,2003)(Hafid, 2015).
Tanaman kelor saat ini dikenal dengan pohon ajaib (Miracle tree). Betapa tidak, kandungan gizi
pada kelor terlihat sangat tinggi khususnya untuk kandungan vitamin dan mineral atau sering
disebut dengan gizi mikro. Selain itu, kandungan fitokimia pada daun kelor juga sangat tinggi
dibandingkan dengan tanamana lainnya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwan kandungan
vitamin A, zat besi, vitamin C, kalsium dan protein jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
tanamana lainnya yang sudah dikenal selama ini seperti wortel (vitamin A), bayam (zat besi),
dan jeruk (vitamin C) (Fahey, 2005)(Kasolo et al., 2010)(Anwar et al., 2007).
Berdasarkan kandungan gizi ini, daun kelor baik dalam bentuk ekstrak maupun tepung telah
digunakan di berbagai belahan dunia. Di Afrika, tanaman kelor digunakan pada ibu hamil dan
anak balita dalam memperbaiki status gizi. Tanaman kelor tidak lagi ditanam secara tradisional
namun telah dibudidayakan dan dipanen berdasarkan waktu yang telah ditetapkan untuk
memperoleh tepung daun kelor yang berkualitas. Teknologi pasca panen telah banyak dipelajari
sehingga kualitas kandungan zat gizi dan fitokimia yang ada dalam daun kelor tetap terjaga. Di
beberapa negara daun kelor dan bagian lainnya seperti buah, batang, dan akar dipakai sebagai
obat untuk penyakit-penyakit tertentu (Shih et al., 2011)(Napitupulu et al., 2014)(Anwar et al.,
2007).
Kandungan zat gizi dan berbagai asam amino pada daun kelor dapat dilihat pada Tabel 1. Seperti
yang terlihat, daun kelor sangat kaya dengan kandungan gizi makro dan mikro. Beberapa
vitamin dan mineral terlihat sangat tinggi seperti kalsium, magnesium, fosfor, dan kalium.
Begitupun dengan vitamin seperti vitamin A dan vitamin C (Fuglie, 2005). Kandungan asam
amino yang bervariasi menunjukkan kualitas protein nabati dari tanaman kelor ini juga cukup
baik. Itulah sebabnya, dalam beberapa studi intervensi memperlihatkan adanya peningkatan
status gizi yang bermakna pada mereka yang memperoleh supelemen kelor dalam beberapa
lama.
Selain zat gizi, daun kelor juga kaya dengan kandungan fitokimia. Kandungan flavonoid yang
bersifat antioksidan yang kuat cukup tinggi pada daun kelor. Disamping itu, beberapa enzim
yang sangat diperlukan dalam metabolsme juga banyak ditemukan pada daun kelor. Kandungan
fitokimia yang bersifat antioksidan ini yang banyak dihubungkan dengan manfaat daun kelor
terhadap penyembuhan beberapa penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, asam urat, dan
penyakit kanker.(Dangi, Jolly and Narayanan, 2008)(Anwar et al., 2007)(Jaiswal et al., 2009).
Di Universitas Hasanaddin telah dikembangkan suplemen daun kelor baik yang berupa tepung
maupun ekstrak. Beberapa penelitian telah dikembangkan dengan subjek ibu hamil yang
mengalami anemia maupun yang normal. Setiap penelitian ini telah memperlihatkan hasil yang
menarik dan telah dipublikasi secara internasional. Tabel 2 memperlihatkan rangkuman dari
enam penelitian yang telah dilakukan di wilayah Sulawesi Selatan yaitu di Gowa (Otoluwa et al.,
2014)(Iskandar et al., 2015), Takalar, Makassar (Muis, Hadju, Russeng, Naiem and Faculty,
2014)(Nadimin et al., 2015), dan Jeneponto.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa seluruh penelitian yang dilakukan adalah studi eksperimen
murni dengan desain randomized, double blind, controlled design. Inilah adalah desain
penelitian eksperimen yang tertinggi. Subjek penelitian umumnya adalah ibu hamil yang
mengalami anemia. Hal ini sengaja dilakukan untuk memperoleh subjek yang sensitive dengan
peningkatan hemoglobin. Namun demikian ada sebagian penelitian mengikutkan seluruh ibu
tanpa melihat status anemianya. Dua penelitian ini menggunakan kelompok ibu hamil yang
beresiko tinggi yaitu ibu hamil yang bekerja secara informal (Muis, Hadju, Russeng, Naiem,
Faculty, et al., 2014) dan ibu hamil yang terpapar asap rokok. Variabel dampak yang diukur
dalam penelitian ini semuanya melihat perubangan kadar hemoglobin, berat badan ibu hamil, dan
berat badan lahir. Sebagian lainnya mengukur tanda biokimia dari kerusakan gen yaitu 8-OHdG
dan MDA serta penanda stress yaitu kadar kortisol.
Secara umum dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemberian ektrak daun kelor dapat diberikan
bersamaan dengan tablet besi/asam folat yang menjadi program pemerintah saat ini. Dengan
tambahan satu kapsul saja (500mg ekstrak), program penanggulangan anemia menjadi lebih
efektif. Bahkan, beberapa keuntungan seperti pertambahan berat badan ibu hamil dan berat
badan lahir bayi dapat diperoleh dengan tambahan suplemen kelor ini. Namun, pada pemberian
dengan jumlah doses yang tinggi (2000mg ekstrak kelor) memperlihatkan bahwa pemberian
yang diberikan bersamaan dengan tablet besi/asam folat tidak dapat memberikan kenaikan
hemoglobin (Muis, Hadju, Russeng, Naiem, Faculty, et al., 2014). Ada kemungkinan, tingginya
kadar besi dan zink pada ekstrak daun kelor akan berinteraksi dengan kadar zat besi pada tablet
iron/asam folat.
Studi intervensi kelor pada ibu hamil yang dilakukan di beerapa daerah di Sulawesi Selatan juga
memperlihatkan bahwa pada ibu hamil yang normal (tidak anemia) pemberian kelor memberikan
efek peningkatan hemoglobin yang sama dengan pemberian tablet besi/asam folat. Ini
menunjukkan bahwa sumber makanan local dapat digunakan sebagai program penanggulangan
anemia. Apabila kapsul ekstrak kelor ini dapat diproduksi dengan harga terjangkau maka dapat
menggantikan tablet iron/asam folat sebagai program nasional. Keuntungan yang diperoleh
dengan pemberian kelor ini akan memberikan dampak yang lebih besar. Apalagi, pemberian
tablet iron/asam folat ini dipertanyakan pada mereka yang tidak anemia atau yang beresiko untuk
mengalami pre-eklampsia (Al-azzawi, 2014).
Pemberian kelor juga menjadi sangat penting pada mereka yang mengalami stress seperti ibu
hamil pekerja informal dan ibu hamil yang terpapar asap rokok. Komponen fitokimia yang
bersifat sebagai antioksidan terlihat memberikan efek yang positif terhadap ibu hamil. Studi di
Jeneponto pada ibu hamil yang memperoleh tepung daun kelor memperlihatkan bahwa mereka
yang mengalami stress tetap melahirkan bayi dengan berat badan lahir yang normal. Berbeda
dengan kelompok yang menerima kelor yang diekstraksi dengan air dan kelompok yang
menerima zat besi/asam folat saja. Hal ini sangat penting mengingat kondisi ibu rumah tangga
pada kelompok masyarakat miskin atau dengan social ekonomi rendah memiliki kadar stress
yang lebih besar dibanding mereka dari keluarga dengan social ekonomi menengah ke atas.
Penelitian yang telah dilaksanakan ini telah membuka mata kita bahwa potensi daun kelor yang
banyak terdapat di wilayah Sulawesi Selatan dapat digunakan sebagai bahan suplemen pada
tahap awal suatu kehidupan yaitu pada ibu hamil bahkan pada remaja putri. Kebutuhan gizi yang
memegang peran penting dalam setiap unsur kejadian manusia dapat terpneuhi bila remaja putri
atau ibu hamil memperoleh suplemen daun kelor yang adekuat. Apabila ini dapat terpenuhi,
maka kondisi ibu menjadi lebih baik sehingga kehidupan janin dalam rahim pun akan berjalan
dengan baik. Akibatnya, bayi yang lahir akan berada dalam status gizi yang optimal dan
seterusnya akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Semua ini dapat mencegah anak dari
stunting.
Pencegahan stunting di Sulawesi Selatan sudah saatnya untuk dilakukan secara komprehensif.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa kejadian stunting di Sulawesi Selatan
disebabkan oleh berbagai factor yang sangat terkait satu dengan lainnya. Namun demikian,
focus pada kondisi awal suatu kehidupan yaitu sejak persiapan memasuki masa konsepsi,
selanjutnya periode kehamilan dan awal kehidupan dua tahun pertama menjadi usaha
penanggulangan stunting yang perlu diprioritaskan.
Studi yang telah dilakukan di Sulawesi Selatan telah memperlihatkan bahwa daun kelor yang
dalam bentuk tepung sekalipun sudah memberikan efek yang signifikan terhadap perbaikan
kesehatan ibu hamil dan bayi yang dilahirkan. Ini berarti, pembuatan tepung yang sangat
sederhana, yang dapat dibuat di tingkat masyarakat bahkan keluarga, dapat menjanjikan sebagai
upaya menyiapkan generasi pelanjut yang lebih baik. Tanaman kelor yang melimpah dan
tumbuh subur di mana-mana menjadi sumber suplemen yang harus diutamakan. Apalagi dengan
areal tanah yang masih cukup luas di berbagai daerah dapat dijadikan areal kebun kelor yang
potensial dapat memenuhi kebutuhan seluruh remaja putri dan ibu hamil di Sulawesi Selatan.
Seandainya ditangani secara professional, daun kelor yang tumbuh di wilayah Sulawesi Selatan
ini menjadi potensi yang luar biasa dan menjadi sumber pendapatan bagi daerah.
Sangat diharapkan upaya pembuatan kebun kelor dengan teknologi budidaya yang modern yang
dapat menyiapkan bahan baku yang berkualitas dan dapat memberikan manfaat yang besar
terhadap ibu hamil. Hal ini membutuhkan suatu industri pengolahan bahan alami secara efisien
sehingga harga jual dari suplemen yang dihasilkan menjadi terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat, khususnya dapat dijadikan sebuah program di tingkat provinsi bahkan di tingkat
naasional. Untuk semua itu, harus ada pihak yang berkomitmen melakukan semua itu.
Akhirnya, kita menyadari bahwa komitmen pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam
setiap kebijakan yang ingin dilaksanakan. Tanpa komitmen yang kuat, pelaksanaan program ini
akan lemah dan kurang memberikan dampak yang bermakna. Untuk itu, harus ada sosialsisasi
yang kuat untuk menyadarkan semua sektor bahwa kelor adalah tanaman ajaib yang dapat
menjadi solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh bangsa saat ini. Generasi yang akan lahir
dan tumbuh dan menjadi pemimpin di masa yang akan datang harus memperoleh gizi yang
cukup sejak mereka berada dalam kandungan ibunya dan itulah masa-masa yang tidak dapat
tergantikan oleh masa sesudahnya. Tanaman kelor ada di sekitar kita dan ilmu dan teknologi
tentang hal itu telah kita miliki. Tanggung jawab kita semuanya mewujudkannya dalam bentuk
program di masyarakat.
Daftar Pustaka
Al-azzawi, S. K. (2014) ‘Effect of Vitamin C , Folic acid and Iron Supplements on Oxidative
Stress in Preeclamptic Women in Hilla City Abstract : Introduction ’:, (6), pp. 1852–1861.
Anwar, F. et al. (2007) ‘Moringa oleifera: a food plant with multiple medicinal uses’,
Phytotherapy Research: An International Journal Devoted to Pharmacological and
Toxicological Evaluation of Natural Product Derivatives. Wiley Online Library, 21(1), pp. 17–
25.
Dangi, S. Y., Jolly, C. I. and Narayanan, S. (2008) ‘Antihypertensive Activity of the Total
Alkaloids from the Leaves of Moringa oleifera Antihypertensive Activity of the Total Alkaloids
from the Leaves of Moringa oleifera’, 0209. doi: 10.1076/phbi.40.2.144.5847.
Fahey, J. W. (2005) ‘Moringa oleifera: A Review of the Medical Evidence for Its Nutritional,
Therapeutic, and Prophylactic Properties. Part 1.’, pp. 1–24.
Fikadu, T., Assegid, S. and Dube, L. (2014) ‘Factors associated with stunting among children of
age 24 to 59 months in Meskan district , Gurage Zone , South Ethiopia : a case-control study’,
pp. 1–7.
Fuglie, L. J. (2005) ‘THE MORINGA TREE A local solution to malnutrition’, WHO Report,
(221).
Furness, D. L. F., Dekker, G. A. and Hague, W. M. (2010) ‘Increased lymphocyte micronucleus
frequency in early pregnancy is associated prospectively with pre-eclampsia and / or intrauterine
growth restriction’, 25(5), pp. 489–498. doi: 10.1093/mutage/geq032.
Hadju, V. et al. (no date) ‘Junral stunting medika nusantara (Veni)’.
Hafid, F. (no date) ‘abstrak 47th APACPH Fahmi Stunting’.
Iskandar, I. et al. (2015) ‘Effect of Moringa Oleifera Leaf Extracts Supplementation in
Preventing Maternal Anemia and’, International Journal of Scientific and Research
Publications, 5(2), pp. 5–7.
Islam, M. M. et al. (2018) ‘Risk factors of stunting among children living in an urban slum of
Bangladesh : findings of a prospective cohort study’. BMC Public Health, pp. 1–13. doi:
10.1186/s12889-018-5101-x.
Jaiswal, D. et al. (2009) ‘Effect of Moringa oleifera Lam . leaves aqueous extract therapy on
hyperglycemic rats’, 123, pp. 392–396. doi: 10.1016/j.jep.2009.03.036.
Kasolo, J. N. et al. (2010) ‘Phytochemicals and uses of Moringa oleifera leaves in Ugandan rural
communities’, 4(9), pp. 753–757.
Kofuor, E. et al. (2014) ‘Correlates of stunting among children in Ghana’.
Litbangkes (2014) Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013. Jakarta.
doi: Q.
Muis, M., Hadju, V., Russeng, S., Naiem, M. F. and Faculty, P. H. (2014) ‘Effect of Moringa
Leaves Extract on Occupational Stress and Nutritional Status of Pregnant Women Informal
Sector Workers’, International Journal of Current Research and Academic Review, 2(11), pp.
86–92.
Muis, M., Hadju, V., Russeng, S., Naiem, M. F., Faculty, P. H., et al. (2014) ‘International
Journal of Current Research and Academic Review’, 2(11), pp. 86–92.
Nadimin et al. (no date) ‘The Extract of Moringa Leaf Has an Equivalent Effect to Iron Folic
Acid in Increasing Hemoglobin Levels of Pregnant Women : A randomized Control Study in the
Coastal Area of Makassar’, International Journal of Sciences: Basic and Applied Research,
4531, pp. 287–294.
Napitupulu, V. S. et al. (2014) ‘Efektifitas Ekstrak Kulit Batang Kelor Terhadap Perubahan
Histopatologi Testis Tikus yang diinduksi Aloksan ( EFFECTIVENESS OF MORINGA
OLEIFERA BARK EXTRACTS ON HISTOPATHOLOGY CHANGES RATS TESTES
INDUCED BY ALLOXAN )’, 3(2), pp. 155–162.
Otoluwa, A. et al. (2014) ‘Effect of Moringa Oleifera Leaf Extracts Supplementation in
Preventing Maternal DNA Damage’, 4(11), pp. 1–4.
Shih, M. et al. (2011) ‘Effect of Different Parts ( Leaf , Stem and Stalk ) and Seasons ( Summer
and Winter ) on the Chemical Compositions and Antioxidant Activity of Moringa oleifera’, pp.
6077–6088. doi: 10.3390/ijms12096077.
Shinsugi, C. et al. (2015) ‘Factors associated with stunting among children according to the level
of food insecurity in the household : a cross-sectional study in a rural community of Southeastern
Kenya’, ??? ???, pp. 1–10. doi: 10.1186/s12889-015-1802-6.
Tumilowicz, A., Beal, T. and Neufeld, L. M. (2018) ‘A review of child stunting determinants in
Indonesia’, (March), pp. 1–10. doi: 10.1111/mcn.12617.
Tabel 2. Penelitian intervensi kelor pada ibu hamil di Sulawesi Selatan