Sap Gagal Nafas New
Sap Gagal Nafas New
Sap Gagal Nafas New
GAGAL NAFAS
Disusun Oleh :
Kelompok V
Nama Npm
Ahmad Gifari 1614201120524
Akhmad Zarjani 1614201120553
Andis Septama 1614201120520
Ekky Rusmalina 1614201120521
Hadijatul Jannah 1614201120539
Haidir Rasyid 1614201120522
Hestina Damayanti 1614201120519
Mia Milia Rahman 1614201120554
Noorlailan Najaah 1614201120535
Rezky Mulia Aspihani Putri 1614201120536
Sarvia 1614201120552
Siti Fatimah 1614201120538
Suryadi 1614201120541
C. Materi penyuluhan
1. Menjelaskanpengertian Gagal Nafas
2. Menjelaskan penyebab Gagal Nafas
3. Menjelaskan tanda dan Gagal Nafas
4. Menjelaskan Komplikasi Gagal Nafas
5. Menjelaskan cara pengobatan Gagal Nafas
D. Metode
Persentasi,dan Tanya jawab
E. Media
Leaflet, LCD, Laptop
F. Kegiatan Penyuluhan
No Waktu Kegiatan Penyebab Kegiatan Peserta Pelaksana
G. Evaluasi
Pertanyaan :
1. Apa pengertian Gagal Nafas
2. Apa penyebab Gagal Nafas
3. Sebutkan tanda dan Gagal Nafas
4. Apa saja komplikasi Gagal Nafas
5. Bagaimana cara pengobatan Gagal Nafas
Jawaban :
1. Pengertian Gagal Nafas
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbondi oksida
arteri), dan asidosis.
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana system respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Keadekuatan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan
untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
PENGELOLAAN :
1. Menghilangkan penyebabnya
2. Memberikan respiratory support
Respiratory support kita gunakan tiga metode :
a. Terapi oksigen
b. Pulmonary toilet(mobilisasi pengeluaran sekret)
c. Memberi ventilasi buatan
Pasien-pasien dengan respiratory insuffisiensi yang berat mungkin
sekaligus memakai ke-3 metode tersebut, sedangkan kasus-kasus yang
sedang atau ringan hanya memerlukan satu atau dua metode saja.
H. Pengorganisasian
1. Tim penyaji : Andis Septama
2. Moderator : Rezki Mulia Aspihani Putri
3. Notulen : Noor lailan Naajah
4. Observasi : Ekky Rusmalina dan Sarvia
5. Keamanan : Haidir Rasyid
6. Audiens : Akhmad Zarjani, Mia Milia Rahman, Hadijatul
Jannah, Hestina Damayanti, Suryadi, Siti Fatimah, Ahmad Gifari.
MATERI
GAGAL NAFAS
A. Pengertian Gagal Nafas
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbondi oksida arteri),
dan asidosis.
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana system respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Keadekuatan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk
memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.
3. Bronkodilator
Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos, tetapi
beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi.
4. Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama,
efek sampingnya sangat berkurang, sehingga dosis yang lebih besar dan
lebih lama dapat diberikan. Peningkatan dosis dan frekuensi pemberian
sering kali dibutuhkan.
Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan
pemberian dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik
terhadap reseptor α2, juga tidak menunjukan kelebihan dalam mengatasi
bronkospasme. Agonis beta-adrenergik kerja lama (LABA), berguna untuk
penggunaan kronik seperti mencegah bronkospasme, tetapi tidak
direkomendasikan untuk serangan bronkospasme akut.
5. Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik)
tergantung pada derajat tonus parasimpatis instrinsik. Antikolinergik
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis
kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan
dengan agonis beta-adrenergik. Ipatropium bromide tersedia dalam bentuk
MDI (metered-dose-inhaler) atau larutan untuk nebulisasi. Efek samping
seperti takikardi, palpitasi dan retensi urin jarang terjadi.
6. Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-
adrenergik. Mekanisme kerjanya melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada
siklik AMP (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi
reseptor beta-adrenergik dan aktivitas anti-inflamasi. Efek sampingnya
antara lain takikardi, mual, muntah, aritmi, hipokalemi, perubahan status
mental dan kejang.
7. Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menurunkan inflamasi jalan napas.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Kortikosteroid
inhalasi sangat jarang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk
karena provokasi bronkospasme. Kortikosteroid yang lebih kuat mempunyai
efek samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis dan
perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan
obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi telah dihubungkan
dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan
weaning.
Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemi, hipokalemi,
retensi natrium dan air, miopati steroid akut, gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.
9. Ventilasi Mekanik
a. Ventilasi mekanik Konvensional
Ventilasi mekanik meningkatkan ventilasi semenit dan menurunkan
ruang rugi. Pendekatan ini adalah pengobatan utama untuk
hiperkapni akut dan hipoksemi berat. Strategi utama untuk ventilasi
mekanik harus menghindari tekanan tinggi puncak inspirasi dan
optimalisasi perekrutan paru-paru.
Pada orang dewasa dengan ARDS, strategi untuk memberikan
volum tidal yang rendah (6 mL/kg) dengan mengoptimalisasikan
tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) menawarkan manfaat
kelangsungan hidup lebih besar dibandingkan dengan volum tidal
yang tinggi (12 mL/kg).
Menurut strategi hiperkapni ARDS, CO2 arteri diperbolehkan
meningkat sampai 100 mmHg namun pH darah dipertahankan lebih
dari 7,2 dengan cara pemberian larutan buffer intravena. Hal ini
dilakukan untuk membatasi tekanan udara inspirasi kurang dari
35 cmH2O. PEEP harus diterapkan ke titik di atas tekanan infleksi
seperti pada distensi alveolar dipertahankan sepanjang siklus ventilasi.
Ventilasi mekanik konvensional mengoptimalkan rekrutmen paru-
paru, meningkatkan tekanan rata-rata jalan napas dan kapasitas
residu fungsional, dan mengurangi atelektasis diantara siklus napas.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2001. Bukusaku Patofisiologi. Edisi bahasa Indonesia.
Jakarta : EGC
Doengoes, E. Marilyn, et all, alih bahasa Kariasa IM. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Hudak and Gallo. 1994. Critical Care Nursing, A Holistic Approach. Philadelpia :
JB Lippincott company
Reksoprodjo Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa
Aksara
Anonim.(2012). Asuhan Keperawatan Gagal Napas. www.ilmukeperawatan.com.
Diakses tanggal 18 Januari 2012.
Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia,
EGC, Jakarta.
1. Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia
drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu
cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen
yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-
pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan
adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian.
Pada kondisi ini oksigen harusdiberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan
dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila
diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino,
2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan
sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah
mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara
0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara
bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal
cathethers, dan dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih
efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury maskmenggunakan prinsip jet
mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk mengirimkan secara
akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK dan
gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah
rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut.
Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask,
yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk
penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Sue dan
Bongard, 2003).
g. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal
nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk
masing-masing penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).