Referat Sifilis Dalam Kehamilan Aldhi
Referat Sifilis Dalam Kehamilan Aldhi
Referat Sifilis Dalam Kehamilan Aldhi
UNIVERSITAS ANDALAS
Oleh :
dr. ALDHI
Peserta PPDS OBGIN
Pembimbing :
i
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ...................................................................................................... 1
BAB II .............................................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 3
2.1 Definisi ................................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ......................................................................................................... 3
2.3 Faktor risiko.......................................................................................................... 4
2.4 Etiologi ................................................................................................................... 5
2.5 Patofisiologi ........................................................................................................... 5
2.6 Gambaran klinis ................................................................................................... 7
2.7. Sifilis dalam kehamilan ..................................................................................... 11
2.8 Sifilis kongenital.................................................................................................. 13
2.9 Perawatan antenatal ........................................................................................... 14
2.10 Diagnosis ............................................................................................................ 14
2.11 Konseling setelah tes......................................................................................... 19
2.12 Tatalaksana ....................................................................................................... 19
2.13 Reaksi Jarisch-Herxheimer ................................................................................. 20
BAB III .......................................................................................................................... 22
KESIMPULAN ............................................................................................................. 22
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 23
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1………………….………………….………………….…………………5
Gambar 2………………….………………….………………….…………………7
Gambar 3………………….………………….………………….…………………8
Gambar 4………………….………………….………………….…………………8
Gambar 5………………….………………….………………….…………………9
Gambar 6………………….………………….………………….…………………10
Gambar 7………………….………………….………………….…………………13
Gambar 8………………….………………….………………….…………………13
Gambar 9………………….………………….………………….…………………17
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Terapi infeksi pada ibu efektif untuk mencegah transmisi ibu ke janin.
Penicilin G, diberikan secara parenteral, merupakan obat sifilis pilihan.1 Terapi
sebaiknya dimulai sebelum usia gestasi 18-20 minggu untuk mencapai
kesembuhan 100%.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh
bakteri spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Penyakit ini bersifat kronik dan
sistemik.1 Abrasi kecil pada mukosa vagina merupakan portal masuk, sedangkan
eversi serviks, hiperemia meningkatkan risiko penularan. Bakteri ini bereplikasi
dan menular melalui saluran limfatik dalam hitungan jam atau hari. Waktu
inkubasi yang diperlukan sekitar 3 sampai 4 minggu bergantung pada faktor inang
dan ukuran inokulum.6,7
2.2 Epidemiologi
Insidensi sifilis yang menurun secara dramatis setelah perang dunia ke-2
dengan ditemukannya penisilin, meningkat secara global selama 3 dekade
terakhir. Negara maju juga mengalami peningkatan kasus sifilis sejak tahun 1997.
Pada tahun 2012, hampir 3000 pasien menderita sifilis di klinis khusus
genitourinari di Inggris. Laki-laki yang berhubungan sex dengan laki-laki (LSL)
merupakan 80% pasien sifilis dan hampir 90% di Skotlandia. Kebanyakan pasien
sifilis juga terjangkit HIV. Sifilis kongenital juga terjadi di UK namun angka
kejadiannya sangat rendah, terutama terjadi pada ibu dengan sosioekonomi yang
rendah.8
Pada tahun 2010, sebanyak 13,774 kasus sifilis primer dan sekunder
dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention.2 Menurut World
Health Organization (WHO) pada tahun 2012 terdapat sebanyak 5,6 juta kasus
3
sifilis baru pada remaja dan dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia, dengan
angka insidensi global 1,5 kasus per 1000 perempuan dan laki-laki. Diperkirakan
prevalensi kasus sifilis di tahun 2012 adalah 18 juta dan yang paling sering di
Afrika.3 Hasil STBP 2011 menunjukkan prevalensi sifilis yang cukup tinggi di
kalangan populasi kunci, yaitu 10% pada WPSL, 9% pada LSL, 25% pada waria
dan 2% pada penasun. Prevalensi dan kejadian komplikasi IMS pada saat ini
masih cukup tinggi. Meskipun upaya pengendalian IMS telah dilakukan,
prevalensi IMS di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang berarti.4 Biaya
yang diperlukan untuk mengobati sifilis untuk satu orang di Amerika Serikat
adalah $572 dan akan lebih mahal lagi apabila disertai HIV.9
CDC merekomendasikan semua orang dengan sifilis untuk melakukan
pemeriksaan HIV. Tukak genital yang disebabkan sifilis menyebabkan infeksi
HIV lebih mudah terjadi dan meningkatkan risiko terkena HIV 2-5 kali. Pada
tahun 2010 Kasus sifilis pada perempuan di Amerika adalah 1,1 kasus per
100.000 .10
4
2.4 Etiologi
2.5 Patofisiologi
Treponema pallidum memiliki kemampuan metabolisme yang terlepas
sehingga bakteri ini sangat bergantung pada host. T. pallidum tidak dapat bertahan
hidup melebihi beberapa jam di luar tubuh host dan tidak dapat dikultur secara in
5
vitro, sehingga sulit untuk memahami organisme ini. Setelah terjadi inokulasi, T.
pallidum melekat pada sel, termasuk epitel, fibroblast-like, dan sel endotelial,
berikatan dengan fibronektin, laminin, atau komponen lain serum hist, membran
sel, dan matrik ekstraseluler. T. pallidum dapat membelah secara cepat di darah,
melewati berbagai barrier seperti blood brain barrier dan barrier plasenta,
menginfeksi berbagai jaringan dan organ. Diseminata berujung pada berbagai
manifestasi sifilis, seperti lesi yang jauh dari tukak pertama. Sifilis juga dapat
menginfeksi janin.15
T. pallidum tidak memiliki faktor virulensi seperti bakteri lain, seperti
endotoksin lopipolisakarida. Namun, bakteri ini menyebabkan respon imun secara
cepat yang dimediasi oleh membran lipoprotein, yang terjadi sesaat setelah
infeksi. Infeksi pada semua stadium berujung pada infiltrasi limfosit, makrofak,
dan sel plasma. Sel T CD4 banyak ditemukan di tukak, dan CD8 banyak
ditemukan di lesi sifilis sekunder. Infeksi menyebabkan munculnya sitokin Th1,
termasuk IL-2 dan interferon gama, walaupun downregulasi respon Th1 selama
sifilis sekunder, bersamaan dengan peningkatan titer antibodi, dapat berkontribusi
pada kemampuan organisme untuk mengelakkan respon imun host.16
Respon imun humoral dimulai dengan produksi antibodi IgM sekitar 2
minggu setelah paparan, dan IgG 2 minggu berikutnya. IgM dan IgG terus
diproduksi selama infeksi dan berujung pada pembentukan kompleks imun. Titer
antibodi memuncak selama diseminata bakteri, pada sifilis sekunder. Beberapa
antibodi bereaksi silang dengan spesies treponemal lain, dan beberapa spesifik
terhadap subspesies T. pallidum. Respon imun berperan aktif melawan organisme
membantu memblokir pelekatan organisme ke sel host, dan meningkatkan
fagositosis.15
Respon imun cukup kuat untuk mencegah infeksi ulang sifilis pada orang
yang tidak diberi terapi. Namun, respon imun tidak cukup untuk mengeradikasi T.
pallidum dari host. Selain kemampuan menekan respon Th1, organisme ini
mampu bersembunyi pada jaringan yang tidak tercapai oleh sistem imun seperti
sistem saraf pusat, mata, dan plasenta. Organisme ini tidak cukup banyak untuk
memicu respo imun host, dan mengubah protein permukaannya selama infeksi
6
melalui konversi gen, dan menggagalkan sistem imun untuk mencegah akses
bakteri terhadap besi, yang penting untuk pertumbuhan bakteri.17
Respon imun juga menjadi penyebab kerusakan jaringan pada sifilis.
Kerusakan akson di dekat tukak dapat menyebabkan ulkus yang tidak nyeri.15, 18
7
Gambar 3. Perjalanan penyakit sifilis pada individu yang tidak diterapi. 8
Gambar 4. Ulkus pada perempuan. Sebuah ulkus dilapisi oleh fibrin dan jaringan nekrotik
di orifisium uretra.15
8
- Sifilis primer
Sekiter 3 minggu setelah paparan (9-90 hari) akan muncul ulkus, tunggal, tidak
nyeri, keras, diameter 1-2 cm pada tempat inokulasi. Ulkus memiliki dasar yang bersih
namun dapat terjadi infeksi sekunder yang nyeri. Terkadang ulkus dapat berjumlah
multipel. Tempat paling sering adalah batang penis, perineum, kanalis anal, labia,
fourchette dan serviks. Lokasi non genital seperti bibir dan puting. Ulkus disertai
pembesaran nodus limfe regional, yang nyri dan kenyal. Ulkus akan sembuh sendiri
dalam 3-16 minggu, meninggalkan bekas.8
- Sifilis sekunder
Stadium sekunder terjadi 6 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi, yang bersifat
luas, simetris, ruam eritematosa di tubuh dan ekstremitas (terutama telapak kaki dan
telapak tangan.
Gambar 5. Karakteristik lesi sifilis sekunder pada telapak tangan (A) dan kaki (B). Lesi
palmoplantar dapat berupa makula atau papul, diskret atau difus, tidak bersisik, sedikit
bersisik, atau hiperkeratotik.15
9
alopesia, uveitis anterior, neuritis optik, retinitis, hepatosplenomegali, nefritis, dan
meningitis asimtomatik merupakan manifestasi lain. Stadium ini bersifat self limiting dan
diikuti oleh stadium latent. Satu dari 4 pasien mengalami relaps stadium sekunder hingga
2 tahun setelah infeksi.8
Gambar 6. (A)Destruksi kartilago dan tulang nasal gumma menyebabkan saddle nose. (B)
perforasi kartilago nasal dan kulit
Terdapat 3 jenis sifilis akhir, seperti sifilis tersier jinak (gummatous), neurosifilis, dan
sifilis kardiovaskular. Kondisi ini sangat jarang ditemukan karena pemakaian antibiotik
yang cukup luas. Kondisi ini dapat terjadi 2-40 tahun setelah infeksi.5
Sifilis tersier benign ditandai oleh adanya satu atau lebih gumma, yang muncul
di berbagai struktur tubuh, dan muncul sebagai organomegali (liver, limpa), lesi desak
10
ruang (otak) atau lesi destruktif (tulang keras, palatum, septum nasal). Di kulit, gumma
muncul sebagai nodul atau ulkus berbatas tegas.20
Keterlibatan neurologi dapat terjadi sejak stadium sifilis sekunder. Pada
stadium akhir, dapat terjadi keterlibatan parenkim otak atau korda spinalis, yang
menyebabkan general paresis of the insane (GPI) atau tabes dorsalis. GPI ditandai oleh
kejang, dementia, dan waham kebesaran. Tabes dorsalis ditandai oleh nyeri seperti
sengatan listrik, ataksia, gangguan buli, abnormalitas pupil (Argyll Robertson pupils),
gangguan refleks, dan Charcot;s joints. Keterlibatan meningovaskular sistem saraf pusat
dapat menyebabkan stroke dan kelumpuhan nervus fasialis.5
Sifilis kardiovaskular, dalam bentuk aortitis, dapat terjadi pada 70-80% pasien
sifilis yang tidak diberikan terapi 10-25 tahun setelah infeksi. Sekuele yang dapat terjadi
seperti regurgitasi aorta, stenosis ostium koroner yang muncul dengan gejala angina, dan
aneurisma aorta asenden.5
11
Awalnya terdapat asumsi bahwa treponama tidak melewati plasenta hingga usia
gestasi 20 minggu. Peneliti terdahulu percaya bahwa lapisan sel Langhan’s dari
sitotrofoblas merupakan barier plasenta yang efektif; keterlibatan janin tidak terjadi pada
usia gestasi awal. Namun, teori ini kemudian gugur karena ternyata lapisan sel Langhans
tetap ada selama hamil. Pada tahun 1974, harter & Benirscheke memeriksa jaringan janin
dari ibu abortus spontan yang terinfeksi sifilis. Dengan pewarnaan silver dan teknik
immunofluorescence, mereka mengidentifikasi spirocaeta pada janin setelah usia gestasi
9 dan 10 minggu.21 Infeksi janin dianggap disebabkan karena gangguan plasenta,
ketimbang penularan yang sebenarnya. Namun, bukti definitif yang menunjukkan
kemampuan treponema melewati plasenta di kehamilan awal dibuktikan oleh Nathan et
al.22 mereka melakukan amniosentesis antara minggu 14 dan 19 (rata-rata 16,8 minggu)
pada 11 perempuan yang terinfeksi sifilis namun tidak diterapi. Proses treponema
mencapai cairan amnion masih belum diketahui.23
Literatur terbaru menyebutkan bahwa infeksi pada janin dapat terjadi kapan pun
selama kehamilan dan pada stadium mana pun. Kemungkinan transmisi bergantung pada
stadium infeksi (pada ibu yang tidak diterapi), berkisar 70-100% pada sifilis primer, 40%
pada sifilis laten dini dan 10% pada sifilis akhir.15
12
2.8 Sifilis kongenital
13
tetapi manifestasi klinis baru terlihat sampai tahun kedua kehidupan. Manifestasi
biasanya berupa Keratitis interstisial, limfadenopati, hepatosplenomegali,
kerusakan tulang, anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis.7
2.10 Diagnosis
2.10.1 Diagnosis sifilis pada janin
14
konfirmasi dengan tes treponema, yaitu TPHA (Treponema Pallidum
Haemagglutination Assay), TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination
assay), FTA-ABS (fluorescent treponemal antibody absorption) dan TP rapid
(Treponema palidum). Kombinasi ini dapat mengindentifikasi adanya infeksi dan
menjelaskan tahapan dari penyakit.27
Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes
treponema yang lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya
memerlukan sedikit pelatihan petugas dan tidak memerlukan peralatan dan
penyimpanan khusus. Penggunaannya sangat mudah dan memberikan hasil dalam
waktu yang relatif singkat (10-15 menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau
TPPA, sensitivitas rapid test ini berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya
berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak hanya digunakan sebagai tes konfirmasi
tetapi dapat digunakan untuk skrining sifilis di tempat layanan, walaupun seperti
tes treponema lainnya, tes ini tidak dapat digunakan untuk memantau efektivitas
pengobatan atau membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi
15
adekuat. Karena ada risiko penularan pada bayinya yang dapat bermanifestasi
sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil tes non treponema positif
atau treponema positif harus segera diobati. Di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia, TP rapid dapat digunakan untuk
skrining sifilis ibu hamil. Jika mengunakan TP Rapid dan hasilnya positif, bila
memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan laboratorium yang
lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan maka terapi
sifilis pada ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin penisilin 2,4
juta unit saja sudah dapat mencegah penularan infeksi pada janin. Pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang lebih lengkap TP rapid dapat dikombinasi dengan tes
lain, misalnya RPR dan TPHA.27
Tes sifilis mempunyai awal masa jendela, sehingga hasil negatif pada tes
sifilis belum tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis. Karena itu, tes pada
ibu hamil perlu diulang kembali pada saat sebelum melahirkan terutama ibu hamil
didaerah prevalensi tinggi sifilis atau ibu hamil berisiko tinggi IMS. Tes pada saat
sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi ulang, khususnya pada ibu hamil
yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan tes sebelumnya.27
Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema
dan tes treponema dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di
bawah ini.27
16
Gambar 9. Alur tes serologis sifilis bila Tes Treponema dan Non treponema
tersedia.27
Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-
reaktif) sampai empat minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat
diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR
atau VDRL negatif. 27
•Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak
perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
•Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR
kuantitatif untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif
atau laten, serta untuk memantau respons pengobatan.
17
•Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir dan berapapun titernya, anamnesis tidak ada
•ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien diobservasi dan di tes ulang tiga
bulan kemudian.
- Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga bulan
kemudian
- Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh
• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir bila:
- Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis
laten lanjut dan dievaluasi tiga bulan kemudian.
- Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan
dievaluasi tiga bulan kemudian. Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan
setelah terapi:
- Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih,
terapi dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama dan
setiap enam bulan di tahun kedua untuk mendeteksi infeksi baru.
- Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan reinfeksi
atau sifilis laten.27
18
kasus ekstrim ini, konsultasi dengan neonatologi mengenai rencana penundaan
pengobatan, persalinan dan perawatan harus dipertimbangkan.27
2.12 Tatalaksana
Terapi sifilis pada kehamilan bertujuan untuk eradikasi infeksi pada ibu
dan mencegah atau mengobati sifilis kongenital pada janin. Pemberian penisilin G
parenteral merupakan pengobatan yang disarankan pada semua tahapan sifilis
pada kehamilan. Selama hamil, disarankan pemberian dosis kedua seminggu
setelah benzatin penisilin G dosis awal diberikan.27
19
Tabel 1. Terapi Sifilis pada Ibu Hamil27
Sifilis Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM, satu
laten kali/minggu selama 3 minggu berturut-turut.
Catatan:
20
treponemal dari spirochetes dan peningkatan kadar sitokin yang bersirkulasi
(tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6, interleukin-8).28
Reaksi dimulai dalam satu hingga dua jam pengobatan, memuncak pada
delapan jam, dan biasanya hilang dalam 24 hingga 48 jam. Reaksi mungkin lebih
umum pada wanita HIV-positif. Semua pasien harus diberi konseling tentang
risiko dan gambaran klinis dari reaksi demam ini dan penyedia pelayanan
kesehatan harus mempertimbangkan mengamati pasien selama satu hingga dua
jam sebelum dia meninggalkan fasilitas rawat jalan. Manajemen berupa perawatan
suportif (misalnya antipiretik, cairan intravena).28
Pada penelitian terhadap 33 perempuan hamil di texas yang
terinfeksi sifilis dan diterapi dengan benzatin penicilin, 15 (45%) mengalami JHR
yang lebih sering pada infeksi primer dan sekunder dibandingkan infeksi laten;
biasanya akan terjadi 2-8 jam setelah terapi, memuncak pada 6-12 jam, dan
menyebabkan demam dan kontraksi uterin. Ibu hamil harus diberitahu untuk
melaporkan jika adanya gejala persalinan atau penurunan aktivitas janin; evaluasi
dan perawatan sesuai dengan standar obstetri biasa. Risiko terjadinya reaksi
Jarisch-Herxheimer bukan merupakan kontraindikasi untuk pengobatan sifilis.
Pramedikasi dengan TNF-a antibodi atau kortikosteroid tampaknya mencegah
reaksi, tetapi tidak digunakan secara luas dengan data terbatas dari risiko dan
manfaat relatif dari pendekatan ini, khususnya pada wanita hamil. 29
21
BAB III
KESIMPULAN
22
Daftar Pustaka
23
19. Peeling R, Hook E.The pathogenesis of syphilis: the great mimicker, revisited. J
Pathol. 2006;208: 224–32
20. M. E. Kent and F. Romanelli,. Reexamining syphilis: an update on
epidemiology, clinical manifestations, and management. Annals of
Pharmacotherapy. 2008;42:226-36.
21. Harter CA, Bernirsche K. Fetal syphilis in the first trimester. American journal
of obstetrics and gynecology. 1976;124:705-11
22. Nathan L, Bohman VR, Sanchez PJ, Leos NK, Twickler DM, Wendel GD. In
utero infection with treponema pallidum in early pregnancy. Prenatal diagnosis.
1997;17:119-23
23. Berman S. Maternal syphilis: Pathophysiology and treatment. Bulletin of the
world health organization. 2004;82:433-8
24. Newman L, Kamb M, Hawkes S, Gomez G, Say L. Global estimates of syphilis
in pregnancy and associated adverse outcomes: Analysis of multinational
antenatal surveillance data. PLOS Medicine. 2013;10:100-3.
25. Mani, S. B., Pegany, R., Sheng, D., Wendel, S. K., & Gaydos, C. A. Maternal
Syphilis : Variations in prenatal screening , treatment , and diagnosis of
congenital Syphilis. Columbia Medical Review. 2017;1:20-9.
26. Rac MW, Bryant SF, Cantey JB. Maternal titers after adequate syphilotherapy
during pregnancy. Clin Infect Dis. 2015;60:686–90.
27. Indonesia. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina
Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan
HIV dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI. 2015.
28. Hicks, C.B., Norwitz, E. R. Syphillis in Pregnancy. Wolters Kluwer. 2017:1-31
29. Butler T.The Jarisch–Herxheimer reaction after antibiotic treatment of
spirochetal infections: A review of recent cases and our understanding of
pathogenesis. American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2016;1-16
24