Referat Sifilis Dalam Kehamilan Aldhi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

SIFILIS DALAM KEHAMILAN

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh :

dr. ALDHI
Peserta PPDS OBGIN

Pembimbing :

dr. Roza Sriyanti, SpOG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP M. DJAMIL PADANG
2018

i
DAFTAR ISI

BAB I ............................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ...................................................................................................... 1
BAB II .............................................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 3
2.1 Definisi ................................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi ......................................................................................................... 3
2.3 Faktor risiko.......................................................................................................... 4
2.4 Etiologi ................................................................................................................... 5
2.5 Patofisiologi ........................................................................................................... 5
2.6 Gambaran klinis ................................................................................................... 7
2.7. Sifilis dalam kehamilan ..................................................................................... 11
2.8 Sifilis kongenital.................................................................................................. 13
2.9 Perawatan antenatal ........................................................................................... 14
2.10 Diagnosis ............................................................................................................ 14
2.11 Konseling setelah tes......................................................................................... 19
2.12 Tatalaksana ....................................................................................................... 19
2.13 Reaksi Jarisch-Herxheimer ................................................................................. 20
BAB III .......................................................................................................................... 22
KESIMPULAN ............................................................................................................. 22
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 23

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Terapi sifilis pada ibu hamil……………………….……………………20

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1………………….………………….………………….…………………5
Gambar 2………………….………………….………………….…………………7
Gambar 3………………….………………….………………….…………………8
Gambar 4………………….………………….………………….…………………8
Gambar 5………………….………………….………………….…………………9
Gambar 6………………….………………….………………….…………………10
Gambar 7………………….………………….………………….…………………13
Gambar 8………………….………………….………………….…………………13
Gambar 9………………….………………….………………….…………………17

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sifilis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan bakteri
Treponema pallidum, namun mekanisme aksi atau apa yang menentukan virulensi
infeksinya.1
Pada tahun 2010, sebanyak 13,774 kasus sifilis primer dan sekunder
dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention.2 Menurut World
Health Organization (WHO) pada tahun 2012 terdapat sebanyak 5,6 juta kasus
sifilis baru pada remaja dan dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia, dengan
angka insidensi global 1,5 kasus per 1000 perempuan dan laki-laki. Diperkirakan
prevalensi kasus sifilis di tahun 2012 adalah 18 juta dan yang paling sering di
Afrika.3 Hasil STBP 2011 menunjukkan prevalensi sifilis yang cukup tinggi di
kalangan populasi kunci, yaitu 10% pada WPSL, 9% pada LSL, 25% pada waria
dan 2% pada penasun. Prevalensi dan kejadian komplikasi IMS pada saat ini
masih cukup tinggi. Meskipun upaya pengendalian IMS telah dilakukan,
prevalensi IMS di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang berarti.4
Sifilis ditularkan melalui kontak langsung dengan tukak sifilis saat
berhubungan seks melalui vagina, anal, atau oral. Tukak primer terjadi 3 minggu
setelah kontak dan sering bersifat asimtomatik. Tukak sifilis bersifat kaku, bulat,
kecil, tidak nyeri, dan bertahan hingga 3-6 minggu.1
Sifilis pada kehamilan yang tidak diterapi dapat berujung pada kematian
janin, stillbirth, prematur, bayi berat lahir rendah, kematian neonatus dan bayi,
dan penyakit kongenital pada bayi.1 Pencegahan penularan sifilis dari ibu ke bayi
dapat dilakukan dengan deteksi dini melalui skrining pada ibu hamil dan
mengobati ibu yang terinfeksi sifilis dan pasangannya. Pada tahun 2007 dilakukan
skrining sifilis dengan menggunakan rapid test di tiga propinsi yang mencakup
empat kabupaten/kota di DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Skrining
tersebut dilakukan terhadap 2.332 ibu hamil yang datang pada kunjungan pertama
antenatal. Hasilnya menunjukkan bahwa 24 orang (1,45%) di antara ibu hamil
tersebut terinfeksi sifilis.4

1
Terapi infeksi pada ibu efektif untuk mencegah transmisi ibu ke janin.
Penicilin G, diberikan secara parenteral, merupakan obat sifilis pilihan.1 Terapi
sebaiknya dimulai sebelum usia gestasi 18-20 minggu untuk mencapai
kesembuhan 100%.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sifilis adalah suatu infeksi menular seksual, yang disebabkan oleh
bakteri spirochaeta, yaitu Treponema pallidum. Penyakit ini bersifat kronik dan
sistemik.1 Abrasi kecil pada mukosa vagina merupakan portal masuk, sedangkan
eversi serviks, hiperemia meningkatkan risiko penularan. Bakteri ini bereplikasi
dan menular melalui saluran limfatik dalam hitungan jam atau hari. Waktu
inkubasi yang diperlukan sekitar 3 sampai 4 minggu bergantung pada faktor inang
dan ukuran inokulum.6,7

Sedangkan maternal sifilis bisa menyebabkan infeksi fetal melalui


beberapa rute. Penularan dapat terjadi pada masa kehamilan, kontak saat
persalinan dan kontak dengan lesi sifilis setelah persalinan. Penularan sifilis dari
ibu ke bayi biasanya berlangsung melalui transmisi transplasenta. Walaupun
penularan dari ibu ke bayi dapat terjadi pada minggu ke-9 kehamilan, namun
biasanya penularan terjadi pada minggu ke-16 dan ke-28 kehamilan. Sifilis pada
ibu hamil yang tidak diobati dapat mengakibatkan keguguran, prematuritas, bayi
berat lahir rendah, lahir mati dan sifilis kongenital.6

2.2 Epidemiologi
Insidensi sifilis yang menurun secara dramatis setelah perang dunia ke-2
dengan ditemukannya penisilin, meningkat secara global selama 3 dekade
terakhir. Negara maju juga mengalami peningkatan kasus sifilis sejak tahun 1997.
Pada tahun 2012, hampir 3000 pasien menderita sifilis di klinis khusus
genitourinari di Inggris. Laki-laki yang berhubungan sex dengan laki-laki (LSL)
merupakan 80% pasien sifilis dan hampir 90% di Skotlandia. Kebanyakan pasien
sifilis juga terjangkit HIV. Sifilis kongenital juga terjadi di UK namun angka
kejadiannya sangat rendah, terutama terjadi pada ibu dengan sosioekonomi yang
rendah.8
Pada tahun 2010, sebanyak 13,774 kasus sifilis primer dan sekunder
dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention.2 Menurut World
Health Organization (WHO) pada tahun 2012 terdapat sebanyak 5,6 juta kasus

3
sifilis baru pada remaja dan dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia, dengan
angka insidensi global 1,5 kasus per 1000 perempuan dan laki-laki. Diperkirakan
prevalensi kasus sifilis di tahun 2012 adalah 18 juta dan yang paling sering di
Afrika.3 Hasil STBP 2011 menunjukkan prevalensi sifilis yang cukup tinggi di
kalangan populasi kunci, yaitu 10% pada WPSL, 9% pada LSL, 25% pada waria
dan 2% pada penasun. Prevalensi dan kejadian komplikasi IMS pada saat ini
masih cukup tinggi. Meskipun upaya pengendalian IMS telah dilakukan,
prevalensi IMS di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang berarti.4 Biaya
yang diperlukan untuk mengobati sifilis untuk satu orang di Amerika Serikat
adalah $572 dan akan lebih mahal lagi apabila disertai HIV.9
CDC merekomendasikan semua orang dengan sifilis untuk melakukan
pemeriksaan HIV. Tukak genital yang disebabkan sifilis menyebabkan infeksi
HIV lebih mudah terjadi dan meningkatkan risiko terkena HIV 2-5 kali. Pada
tahun 2010 Kasus sifilis pada perempuan di Amerika adalah 1,1 kasus per
100.000 .10

2.3 Faktor risiko


Penelitian di China menunjukkan terdapat beberapa faktor risiko
terjadinya sifilis pada perempuan hamil antara lain tidak menikah, berpendidikan
rendah, berganti-ganti pasangan seksual, pasangan bepergian selama 12 bulan
terakhir, riwayat induksi aborsi, dan riwayat infeksi menular seksual
sebelumnya.12
Penelitian oleh Macedo et al 2016 di Brazil menemukan faktor risiko
sifilis pada ibu hamil antara lain pendidikan rendah, tidak punya akses telefon,
agama katolik, kehamilan 4 atau lebih, pasangan seksual tiga atau lebih dalam
satu tahun terakhir, penyalahgunaan obat-obatan sebelum usia 18 tahun, dan
penyalahgunaan obat-obatan oleh pasangan.13

4
2.4 Etiologi

Gambar 1. Treponema Pallidum1


Penyebab sifilis adalah treponema pallidium, yang ditularkan ketika
hubungan seksual dengan cara kontak langsung dari luka yang mengandung
treponema. Treponema dapat melewati selaput lendir yang normal atau luka pada
kulit. 10-90 hari sesudah treponema memasuki tubuh, terjadilah luka pada
kulitprimer (chancre atau ulkus durum).5
Treponema pallidum adalah spiroceta yang motil, berukuran 5-15 um,
berbentuk melingkar namun memiliki morfologi gelombang datar apabila dilihat
pada mikroskop elektron. Bakteri ini bergerak dengan pergerakan spiral akibat
rotasi filamen flagela di ruang periplasma. Terdapat setidaknya 57 sub tipe,
walaupun hanya beberapa saja yang menyebabkan penyakit.5
Transmisi seksual terjadi saat spiroceta mendapat akses melalui abrasi
atau kerusakan mukosa vagina atau anus melalui kontak oral-genital atau genital-
genital dengan pasangan yang terinfeksi. Transmisi masih dapat terjadi saat lesi
mukosa sudah sembuh. Selain itu, penularan pada ibu hamil dapat terjadi melalui
plasenta atau pada saat persalinan (penularan vertikal). Waktu inkubasi rata-rata
setelah transmisi adalah 21 hari.14

2.5 Patofisiologi
Treponema pallidum memiliki kemampuan metabolisme yang terlepas
sehingga bakteri ini sangat bergantung pada host. T. pallidum tidak dapat bertahan
hidup melebihi beberapa jam di luar tubuh host dan tidak dapat dikultur secara in

5
vitro, sehingga sulit untuk memahami organisme ini. Setelah terjadi inokulasi, T.
pallidum melekat pada sel, termasuk epitel, fibroblast-like, dan sel endotelial,
berikatan dengan fibronektin, laminin, atau komponen lain serum hist, membran
sel, dan matrik ekstraseluler. T. pallidum dapat membelah secara cepat di darah,
melewati berbagai barrier seperti blood brain barrier dan barrier plasenta,
menginfeksi berbagai jaringan dan organ. Diseminata berujung pada berbagai
manifestasi sifilis, seperti lesi yang jauh dari tukak pertama. Sifilis juga dapat
menginfeksi janin.15
T. pallidum tidak memiliki faktor virulensi seperti bakteri lain, seperti
endotoksin lopipolisakarida. Namun, bakteri ini menyebabkan respon imun secara
cepat yang dimediasi oleh membran lipoprotein, yang terjadi sesaat setelah
infeksi. Infeksi pada semua stadium berujung pada infiltrasi limfosit, makrofak,
dan sel plasma. Sel T CD4 banyak ditemukan di tukak, dan CD8 banyak
ditemukan di lesi sifilis sekunder. Infeksi menyebabkan munculnya sitokin Th1,
termasuk IL-2 dan interferon gama, walaupun downregulasi respon Th1 selama
sifilis sekunder, bersamaan dengan peningkatan titer antibodi, dapat berkontribusi
pada kemampuan organisme untuk mengelakkan respon imun host.16
Respon imun humoral dimulai dengan produksi antibodi IgM sekitar 2
minggu setelah paparan, dan IgG 2 minggu berikutnya. IgM dan IgG terus
diproduksi selama infeksi dan berujung pada pembentukan kompleks imun. Titer
antibodi memuncak selama diseminata bakteri, pada sifilis sekunder. Beberapa
antibodi bereaksi silang dengan spesies treponemal lain, dan beberapa spesifik
terhadap subspesies T. pallidum. Respon imun berperan aktif melawan organisme
membantu memblokir pelekatan organisme ke sel host, dan meningkatkan
fagositosis.15
Respon imun cukup kuat untuk mencegah infeksi ulang sifilis pada orang
yang tidak diberi terapi. Namun, respon imun tidak cukup untuk mengeradikasi T.
pallidum dari host. Selain kemampuan menekan respon Th1, organisme ini
mampu bersembunyi pada jaringan yang tidak tercapai oleh sistem imun seperti
sistem saraf pusat, mata, dan plasenta. Organisme ini tidak cukup banyak untuk
memicu respo imun host, dan mengubah protein permukaannya selama infeksi

6
melalui konversi gen, dan menggagalkan sistem imun untuk mencegah akses
bakteri terhadap besi, yang penting untuk pertumbuhan bakteri.17
Respon imun juga menjadi penyebab kerusakan jaringan pada sifilis.
Kerusakan akson di dekat tukak dapat menyebabkan ulkus yang tidak nyeri.15, 18

2.6 Gambaran klinis


Sifilis memiliki berbagai gambaran klinis dan dapat menyerupai penyakit lain.

Riwayat alamiah sifilis tertera pada gambar 2 dan 3.8


Gambar 2. Perjalanan penyakit sifilis.8

7
Gambar 3. Perjalanan penyakit sifilis pada individu yang tidak diterapi. 8

2.6.1 Sifilis awal

Gambar 4. Ulkus pada perempuan. Sebuah ulkus dilapisi oleh fibrin dan jaringan nekrotik
di orifisium uretra.15

8
- Sifilis primer
Sekiter 3 minggu setelah paparan (9-90 hari) akan muncul ulkus, tunggal, tidak
nyeri, keras, diameter 1-2 cm pada tempat inokulasi. Ulkus memiliki dasar yang bersih
namun dapat terjadi infeksi sekunder yang nyeri. Terkadang ulkus dapat berjumlah
multipel. Tempat paling sering adalah batang penis, perineum, kanalis anal, labia,
fourchette dan serviks. Lokasi non genital seperti bibir dan puting. Ulkus disertai
pembesaran nodus limfe regional, yang nyri dan kenyal. Ulkus akan sembuh sendiri
dalam 3-16 minggu, meninggalkan bekas.8

- Sifilis sekunder
Stadium sekunder terjadi 6 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi, yang bersifat
luas, simetris, ruam eritematosa di tubuh dan ekstremitas (terutama telapak kaki dan
telapak tangan.

Gambar 5. Karakteristik lesi sifilis sekunder pada telapak tangan (A) dan kaki (B). Lesi
palmoplantar dapat berupa makula atau papul, diskret atau difus, tidak bersisik, sedikit
bersisik, atau hiperkeratotik.15

Lesi berbentuk makular, makulo papular, bersisik/psoriasiformis, dan pustular (jarang).


Ruam bisa gatal bisa tidak. Bercak mukosa sering ditemukan di lidah dan tonsil, dengan
pola ulkus seperti jalur keong klasik pada margo ginggiva dan mukosa bukal. Di
perineum dan area intertriginosa, muncul plaks dengan bagian atas yang datar
(kondilomata lata), yang sangat infeksius.8
Limfadenopati generalisata merupakan gejala yang umum muncul. Ruam dapat
disertai gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, dan malaise. Manifestasi lain berupa

9
alopesia, uveitis anterior, neuritis optik, retinitis, hepatosplenomegali, nefritis, dan
meningitis asimtomatik merupakan manifestasi lain. Stadium ini bersifat self limiting dan
diikuti oleh stadium latent. Satu dari 4 pasien mengalami relaps stadium sekunder hingga
2 tahun setelah infeksi.8

2.6.2 Sifilis latent


Pasien asimtomatik dengan serologi treponemal positif namun tanpa keterlibatan sistemik
menandakan stadium latent. Stadium latent awal berlangsung hingga 2 tahun setelah
infeksi, dimana saat itu kemungkinan relaps sifilis sekunder cukup tinggi. Setelah 2
tahun, pasien memasuki stadium laten akhir dan 60% pasien simtomatik untuk seumur
hidup mereka.5, 19

2.6.3 Sifilis akhir

Gambar 6. (A)Destruksi kartilago dan tulang nasal gumma menyebabkan saddle nose. (B)
perforasi kartilago nasal dan kulit

Terdapat 3 jenis sifilis akhir, seperti sifilis tersier jinak (gummatous), neurosifilis, dan
sifilis kardiovaskular. Kondisi ini sangat jarang ditemukan karena pemakaian antibiotik
yang cukup luas. Kondisi ini dapat terjadi 2-40 tahun setelah infeksi.5
Sifilis tersier benign ditandai oleh adanya satu atau lebih gumma, yang muncul
di berbagai struktur tubuh, dan muncul sebagai organomegali (liver, limpa), lesi desak

10
ruang (otak) atau lesi destruktif (tulang keras, palatum, septum nasal). Di kulit, gumma
muncul sebagai nodul atau ulkus berbatas tegas.20
Keterlibatan neurologi dapat terjadi sejak stadium sifilis sekunder. Pada
stadium akhir, dapat terjadi keterlibatan parenkim otak atau korda spinalis, yang
menyebabkan general paresis of the insane (GPI) atau tabes dorsalis. GPI ditandai oleh
kejang, dementia, dan waham kebesaran. Tabes dorsalis ditandai oleh nyeri seperti
sengatan listrik, ataksia, gangguan buli, abnormalitas pupil (Argyll Robertson pupils),
gangguan refleks, dan Charcot;s joints. Keterlibatan meningovaskular sistem saraf pusat
dapat menyebabkan stroke dan kelumpuhan nervus fasialis.5
Sifilis kardiovaskular, dalam bentuk aortitis, dapat terjadi pada 70-80% pasien
sifilis yang tidak diberikan terapi 10-25 tahun setelah infeksi. Sekuele yang dapat terjadi
seperti regurgitasi aorta, stenosis ostium koroner yang muncul dengan gejala angina, dan
aneurisma aorta asenden.5

2.7. Sifilis dalam kehamilan


Infeksi sifilis pada kehamilan tidak memiliki perbedaan dengan infeksi sifilis
pada ibu yang tidak hamil. Seringkali sifilis pada perempuan tidak terdiagnosa karena
bersifat asimtomatik. Lesi sifilis ini harus dibedakan dengan herpes genital, yang berupa
vesikel berisi cairan dan nyeri. Saat pecah, akan meninggalkan ulkus dangkal yang nyeri
dan sembuh dalam 7-14 hari. Walaupun tidak memiliki gejala, sifilis ini dapat ditularkan
ke janin.1
Infeksi janin adalah akibat penularan hematogen dari ibu yang terinfeksi sifilis,
walaupun penularan saat persalinan dapat diakibatkan karena kontak langsung lesi
genitalia yang infeksius. Penyebaran secara hematogen bergantung pada terjadinya
spirochaetaemia maternal. Stadium awal sifilis ditandai oleh spirochaetaemia,
kemungkinan penularan kejanin hampir 100% apabila ibu memiliki sifilis dini.11
Setelah sifilis sekunder, kemungkinan rekurensi spirochaetaemia menurun
seiring berjalannya waktu; kemungkinan penularan secara seksual 2 tahun setelah infeksi
sifilis cukup rendah. Walaupun kemungkinan penularan ke janin dapat mencapai 70%
empat tahun setelah infeksi pertama, kebanyakan bayi yang lahir dari ibu sifilis akhir
latent tidak terinfeksi.3 Faktor utama yang menentukan kemungkinan transmisi janin
adalah stadium sifilis ibu dan durasi paparan in utero. Sehingga, dalam membahas
penularan ke janin, terdapat beberapa hal penting: apabila perempuan dengan sifilis
akhirnya hamil, harus ditentukan stadium apa saat terjadinya konsepsi dan usia
gestasional saat mendapatkan infeksi.1

11
Awalnya terdapat asumsi bahwa treponama tidak melewati plasenta hingga usia
gestasi 20 minggu. Peneliti terdahulu percaya bahwa lapisan sel Langhan’s dari
sitotrofoblas merupakan barier plasenta yang efektif; keterlibatan janin tidak terjadi pada
usia gestasi awal. Namun, teori ini kemudian gugur karena ternyata lapisan sel Langhans
tetap ada selama hamil. Pada tahun 1974, harter & Benirscheke memeriksa jaringan janin
dari ibu abortus spontan yang terinfeksi sifilis. Dengan pewarnaan silver dan teknik
immunofluorescence, mereka mengidentifikasi spirocaeta pada janin setelah usia gestasi
9 dan 10 minggu.21 Infeksi janin dianggap disebabkan karena gangguan plasenta,
ketimbang penularan yang sebenarnya. Namun, bukti definitif yang menunjukkan
kemampuan treponema melewati plasenta di kehamilan awal dibuktikan oleh Nathan et
al.22 mereka melakukan amniosentesis antara minggu 14 dan 19 (rata-rata 16,8 minggu)
pada 11 perempuan yang terinfeksi sifilis namun tidak diterapi. Proses treponema
mencapai cairan amnion masih belum diketahui.23
Literatur terbaru menyebutkan bahwa infeksi pada janin dapat terjadi kapan pun
selama kehamilan dan pada stadium mana pun. Kemungkinan transmisi bergantung pada
stadium infeksi (pada ibu yang tidak diterapi), berkisar 70-100% pada sifilis primer, 40%
pada sifilis laten dini dan 10% pada sifilis akhir.15

12
2.8 Sifilis kongenital

Gambar 7. keratitis interstisialis dan lesi mukokutaneous pada sifilis kongenital.7

Gambar 8. Gigi Hutchison.7

Sifilis pada ibu hamil yang tidak diobati dapat mengakibatkan


keguguran, prematuritas, bayi berat lahir rendah, lahir mati dan sifilis kongenital.
Sifilis kongenital sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, sifilis
kongenital dini, dari bayi lahir sampat kurang dari 2 tahun dan sifilis kongenital
lanjut, dimana penyakit ini persisten hingga lebih dari 2 tahun setelah kelahiran.
Sifilis kongenital kemungkinan asimtomatis pada lebih dari 50 % kasus, terutama
pada minggu pertama kehidupan. Biasanya gejala muncul pada bulan pertama

13
tetapi manifestasi klinis baru terlihat sampai tahun kedua kehidupan. Manifestasi
biasanya berupa Keratitis interstisial, limfadenopati, hepatosplenomegali,
kerusakan tulang, anemia, gigi Hutchinson, neurosifilis.7

2.9 Perawatan antenatal


Skrining sifilis bersamaan dengan perawatan antenatal (ANC) sangat
direkomendasikan oleh WHO dan CDC. Diperkirakan bahwa setiap tahun 2 juta
wanita hamil terinfeksi sifilis, hanya 85% wanita hamil yang memiliki akses
layanan antenatal di seluruh dunia setidaknya sekali. Lebih sedikit, 58%,
memiliki akses sebanyak empat atau lebih kunjungan ANC. Dari wanita yang
menerima ANC adekuat, hanya dua pertiga yang diuji untuk sifilis. Skrining
lebih awal, dan dengan demikian pengobatan lebih dini. , memiliki dampak
terbesar pada kesehatan ibu dan janin.24, 25

2.10 Diagnosis
2.10.1 Diagnosis sifilis pada janin

Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan penting untuk diagnosis


sifilis kongenital sebelum persalinan. Pada penelitian yang dilakukan Rac et al
2014 yang melibatkan 235 perempuan yang didiagnosa sifilis setelah 18 minggu
menemukan bahwa 31% memiliki kelainan USG. Kelainan yang ditemukan
berupa hepatomegali (79%), plasentomegali (27%), polihidramnion (12%),
asites (10%), dan velositometri doppler abnormal di arteri serebral media (33%).
Placentomegali dan hepatomegali akan hilang setelah diberikan terapi. Sifilis
kongenital didiagnosa pada 39% bayi dengan USG abnormal. Penelitian ini
menunjukkan bahwa USG tidak hanya mengidentifikasi kelainan pada janin
namun juga memonitor terapi sifilis pada ibu.26

2.10.2 Diagnosis sifilis pada ibu

Tes serologi sifilis banyak digunakan untuk tujuan diagnostik dan


skrining. Terdiri atas dua jenis, yaitu tes non-treponema dan treponema. Biasanya
pemeriksaan tes sifilis dilakukan dalam dua langkah. Pertama, tes non-
treponema, yaitu RPR (rapid plasma reagin/rapid test) atau VDLR (venereal
diseases research labotory). Jika hasil tes reaktif (positif), selanjutnya dilakukan

14
konfirmasi dengan tes treponema, yaitu TPHA (Treponema Pallidum
Haemagglutination Assay), TP-PA (Treponema pallidum particle agglutination
assay), FTA-ABS (fluorescent treponemal antibody absorption) dan TP rapid
(Treponema palidum). Kombinasi ini dapat mengindentifikasi adanya infeksi dan
menjelaskan tahapan dari penyakit.27

Tes non-treponema mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi


terhadap bahan-bahan lipid dari sel-sel T. pallidum yang hancur. Antibodi ini
dapat timbul sebagai reaksi terhadap infeksi treponema, namun dapat juga timbul
pada berbagai kondisi lain, yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut)
dan penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun kronis). Karena itu, tes ini
bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu. Tes seperti ini
dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau
keberhasilan terapi. Karena tes non-spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes
spesifik treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining.27

Tes treponema lebih bersifat spesifik terhadap Treponema. Tes ini


mendeteksi antibodi yang bersifat spesifik terhadap Treponema, Tes ini dapat
menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup, walaupun terapi sifilis telah
berhasil. Tes jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi
aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Tes treponemal hanya
menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak dapat
menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif.27

Saat ini telah tersedia rapid test syphilis atau TP rapid; merupakan tes
treponema yang lebih sederhana, cepat, menggunakan darah lengkap, hanya
memerlukan sedikit pelatihan petugas dan tidak memerlukan peralatan dan
penyimpanan khusus. Penggunaannya sangat mudah dan memberikan hasil dalam
waktu yang relatif singkat (10-15 menit). Jika dibandingkan dengan TPHA atau
TPPA, sensitivitas rapid test ini berkisar antara 85-98%, dan spesifisitasnya
berkisar antara 93-98%. TP rapid tidak hanya digunakan sebagai tes konfirmasi
tetapi dapat digunakan untuk skrining sifilis di tempat layanan, walaupun seperti
tes treponema lainnya, tes ini tidak dapat digunakan untuk memantau efektivitas
pengobatan atau membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi

15
adekuat. Karena ada risiko penularan pada bayinya yang dapat bermanifestasi
sebagai sifilis kongenital, semua ibu hamil dengan hasil tes non treponema positif
atau treponema positif harus segera diobati. Di fasilitas pelayanan kesehatan
dasar, jika RPR atau TPHA tidak tersedia, TP rapid dapat digunakan untuk
skrining sifilis ibu hamil. Jika mengunakan TP Rapid dan hasilnya positif, bila
memungkinkan rujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan dengan laboratorium yang
lebih lengkap untuk diperiksa titer RPR, bila tidak memungkinkan maka terapi
sifilis pada ibu hamil dapat langsung diberikan. Satu dosis benzatin penisilin 2,4
juta unit saja sudah dapat mencegah penularan infeksi pada janin. Pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang lebih lengkap TP rapid dapat dikombinasi dengan tes
lain, misalnya RPR dan TPHA.27

Tes sifilis mempunyai awal masa jendela, sehingga hasil negatif pada tes
sifilis belum tentu menyatakan seseorang bebas dari sifilis. Karena itu, tes pada
ibu hamil perlu diulang kembali pada saat sebelum melahirkan terutama ibu hamil
didaerah prevalensi tinggi sifilis atau ibu hamil berisiko tinggi IMS. Tes pada saat
sebelum melahirkan dapat mendeteksi infeksi ulang, khususnya pada ibu hamil
yang pasangannya tidak diobati atau belum pernah dilakukan tes sebelumnya.27

Bagan alur tes serologis sifilis dengan mengunakan tes non treponema
dan tes treponema dan tes yang hanya mengunakan TP rapid dapat dilihat di
bawah ini.27

16
Gambar 9. Alur tes serologis sifilis bila Tes Treponema dan Non treponema
tersedia.27

Hasil tes non-treponemal (RPR atau VDRL) masih bisa negatif (non-
reaktif) sampai empat minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes ini dapat
diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis dengan hasil RPR
atau VDRL negatif. 27

Hasil positif tes RPR/VDRL perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-


PA/TP rapid.

•Jika hasil tes konfirmasi: non-reaktif, maka dianggap positif palsu dan tidak
perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.

•Jika hasil tes konfirmasi: reaktif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR
kuantitatif untuk menentukan titer, sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif
atau laten, serta untuk memantau respons pengobatan.

17
•Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir dan berapapun titernya, anamnesis tidak ada

•ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien diobservasi dan di tes ulang tiga
bulan kemudian.

- Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes ulang tiga bulan
kemudian

- Jika RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh

- Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif

• Jika RPR reaktif, TP rapid reaktif dan tidak ada riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir bila:

- Titer RPR < 1:4 (1:2 dan 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis
laten lanjut dan dievaluasi tiga bulan kemudian.

- Titer > 1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif dan
dievaluasi tiga bulan kemudian. Evaluasi terhadap titer RPR dilakukan tiga bulan
setelah terapi:

- Jika titer RPR turun dua tahap (misalnya dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih,
terapi dianggap berhasil. Ulangi evaluasi setiap tiga bulan di tahun pertama dan
setiap enam bulan di tahun kedua untuk mendeteksi infeksi baru.

- Jika titer tidak turun dua tahap, maka dilakukan evaluasi kemungkinan reinfeksi
atau sifilis laten.27

Setelah diagnosis sifilis pada ibu hamil, evaluasi sonografi dilakukan


untuk janin dengan umur gestasi >20minggu untuk mencari tanda tanda dari sifilis
kongenital. Hepatomegali, penebalan plasenta, hidramnion, asites, hydrop fetalis
dan peningkatan arteri selebral tengah pada pemeriksaan doppler velosimetri
merupakan indikasi dari infeksi pada janin.27

Untuk janin usia yang layak dengan temuan sonografi, pemantauan


jantung janin antepartum sebelum pengobatan dianjurkan. Deselerasi lambat
spontan atau non reaktif kemungkinan merefleksikan janin yang sangat sakit yang
mungkin tidak dapat menoleransi dengan baik reaksi Jarisch-Herxheimer. Di

18
kasus ekstrim ini, konsultasi dengan neonatologi mengenai rencana penundaan
pengobatan, persalinan dan perawatan harus dipertimbangkan.27

2.11 Konseling setelah tes


Pemberian konseling setelah tes diberikan pada ibu hamil, berdasarkan
hasil tes, sebagai berikut.

1. Hasil tes sifilis “non-reaktif” atau negatif:

• penjelasan tentang masa jendela/window period

• pencegahan untuk tidak terinfeksi di kemudian hari

2. Hasil tes sifilis “reaktif” atau positif

• Penjelasan mengenai aspek kerahasiaan

• Penjelasan tentang rencana pemberian obat benzatin benzyl penisilin

• Pemberian informasi sehubungan dengan kehamilan, misalnya dukungan gizi


yang memadai untuk ibu hamil, termasuk pemenuhan kebutuhan zat besi dan
asam folat

• Konseling hubungan seksual selama kehamilan (abstinensia, saling setia atau


menggunakan kondom secara benar dan konsisten)

• Pemberian informasi bahwa pasangan harus diobati

• kesepakatan tentang jadwal kunjungan lanjutan.27

2.12 Tatalaksana
Terapi sifilis pada kehamilan bertujuan untuk eradikasi infeksi pada ibu
dan mencegah atau mengobati sifilis kongenital pada janin. Pemberian penisilin G
parenteral merupakan pengobatan yang disarankan pada semua tahapan sifilis
pada kehamilan. Selama hamil, disarankan pemberian dosis kedua seminggu
setelah benzatin penisilin G dosis awal diberikan.27

19
Tabel 1. Terapi Sifilis pada Ibu Hamil27

Stadium Terapi sifilis pada ibu hamil

Sifilis Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM dosis


primer tunggal ; dosis kedua dianjurkan
dan
sekunder

Sifilis Benzatin benzyl penicillin 2,4 juta IU, injeksi IM, satu
laten kali/minggu selama 3 minggu berturut-turut.

Catatan:

Bila di fasilitas pelayanan kesehatan tidak di temukan obat Benzatin benzyl


penicillin dan yang ada hanya Procain benzyl penicillin, untuk terapi sifilis dosis
Procain benzyl penicillin 600.000 IU setiap hari selama minimal 30 hari berturut
turut, pasien mendapatkan dosis total 18 juta IU.

Sebelum injeksi benzathin benzylpenicillin atau procain benzyl penicillin


perlu dilakukan uji penisilin terlebih dulu untuk memastikan pasien tidak alergi
terhadap penisilin.2

2.13 Reaksi Jarisch-Herxheimer


Pengobatan sifilis dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer, reaksi febris akut
disertai dengan sakit kepala, mialgia, ruam, dan hipotensi. Gejala-gejala ini
dianggap merupakan hasil dari pelepasan sejumlah besar lipopolisakarida
treponemal dari spirochetes dan peningkatan kadar sitokin yang bersirkulasi
(tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6, interleukin-8).28
Pengobatan sifilis dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer, reaksi febris akut
disertai dengan sakit kepala, mialgia, ruam, dan hipotensi. Gejala-gejala ini
dianggap merupakan hasil dari pelepasan sejumlah besar lipopolisakarida

20
treponemal dari spirochetes dan peningkatan kadar sitokin yang bersirkulasi
(tumor necrosis factor alpha (TNF-alfa), interleukin-6, interleukin-8).28
Reaksi dimulai dalam satu hingga dua jam pengobatan, memuncak pada
delapan jam, dan biasanya hilang dalam 24 hingga 48 jam. Reaksi mungkin lebih
umum pada wanita HIV-positif. Semua pasien harus diberi konseling tentang
risiko dan gambaran klinis dari reaksi demam ini dan penyedia pelayanan
kesehatan harus mempertimbangkan mengamati pasien selama satu hingga dua
jam sebelum dia meninggalkan fasilitas rawat jalan. Manajemen berupa perawatan
suportif (misalnya antipiretik, cairan intravena).28
Pada penelitian terhadap 33 perempuan hamil di texas yang
terinfeksi sifilis dan diterapi dengan benzatin penicilin, 15 (45%) mengalami JHR
yang lebih sering pada infeksi primer dan sekunder dibandingkan infeksi laten;
biasanya akan terjadi 2-8 jam setelah terapi, memuncak pada 6-12 jam, dan
menyebabkan demam dan kontraksi uterin. Ibu hamil harus diberitahu untuk
melaporkan jika adanya gejala persalinan atau penurunan aktivitas janin; evaluasi
dan perawatan sesuai dengan standar obstetri biasa. Risiko terjadinya reaksi
Jarisch-Herxheimer bukan merupakan kontraindikasi untuk pengobatan sifilis.
Pramedikasi dengan TNF-a antibodi atau kortikosteroid tampaknya mencegah
reaksi, tetapi tidak digunakan secara luas dengan data terbatas dari risiko dan
manfaat relatif dari pendekatan ini, khususnya pada wanita hamil. 29

21
BAB III

KESIMPULAN

1. Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema


pallidum
2. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual secara genital, anal, maupun
oral
3. Ibu hamil yang terinfeksi sifilis dapat menularkan sifilis ke janin melalui aliran
darah plasenta
4. Diagnosis pada ibu dapat dilakukan dengan VDRL dan TPHA sedangkan pada
janin dapat dilakukan pemeriksaan USG
5. Terapi sifilis dengan benzatin penicilin pada kehamilan bertujuan untuk eradikasi
infeksi pada ibu dan mencegah atau mengobati sifilis kongenital pada janin

22
Daftar Pustaka

1. Santis M D, Luca C, Mappa I, Spagnuolo T, Licameli A, Straface G, et al.


Syphilis infection during pregnancy: fetal risks and clinical management.
Hindawi publishing corporation infectious diseases in obstetrics and
gynecology. 2012;1-5
2. Centers for disease control and prevention national overview of sexually
transmitted diseases (STDs), http://www.cdc.gov/std/stats10/natoverview.htm,
2010.
3. WHO guideline on syphilis and treatment for pregnant woman. World health
organization. New York: 2017.
4. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Direktorat jenderal bina kesehatan
ibu dan anak. Pedoman manajemen program pencegahan penularan HIV dan
sifilis dari ibu ke anak. Jakarta. 2015
5. Tsimis M, Sheffield J. Update on syphilis and pregnancy. Birth defects research.
2017;109:347–52
6. Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L., &
Wenstrom, K. D. Maternal Anatomy and Physiology. In Williams Obstetrics.
25th ed. New York: The McGraw-Hill Companies. 2018. P. 23-46
7. Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV Dan
sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta : Kementrian Kesehatan
RI. 2014
8. Shuktankar A. Syphilis. Medicine. 2014;04:1-5
9. H. W. Chesson, D. Collins, and K. Koski. Formulas for estimating the costs
averted by sexually transmitted infection (STI) prevention programs in the
United States. Cost Effectiveness and Resource Allocation. 2008;6:1-6
10. K. A. Workowski and S. Berman. Sexually transmitted diseases treatment
guidelines. Morbidity and mortality weekly report. 2010;59:1-113
11. Center for disease control and prevention National Center for HIV, STD, and
TB prevention. Sexually transmitted disease surveillance. CDC: Atlanta, GA,
2017.
12. Zhou H, Chen X, Hong F, Pan P, Yang F, Cai Yu, et al. Risk factors for syphilis
infection among pregnant women: results of a case-control study in Shenzhen,
China. Sex Transm Infect. 2007;83:476–80
13. Macedo V, Lira P, Frias P, Romaguera L, Caires S, Ximenes R. Risk factors for
syphilis in women: case-control study.Rev Saude Publica. 2017;51:78.
14. Sweet RL, Gibbs RS. In: Infectious diseases of the female genital tract.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2002.
15. Katz K. Syphilis. In: Fitzpatrick dermatology in general medicine. 8th ed. New
York: The McGraw-Hill Companies. 2012. p. 2471-92
16. Lafond RE, Lukehart SA: Biological basis for syphilis. Clin Microbiol Rev.
2006;19:29-49.
17. Sena AC, White BL, Sparling PF: Novel Treponema pallidum serologic tests: A
paradigm shift in syphilis screening for the 21st century. Clin Infect Dis.
2010;51:700-8
18. Marra CM: Update on neurosyphilis. Curr Infect Dis Rep. 2009;11:127-34.

23
19. Peeling R, Hook E.The pathogenesis of syphilis: the great mimicker, revisited. J
Pathol. 2006;208: 224–32
20. M. E. Kent and F. Romanelli,. Reexamining syphilis: an update on
epidemiology, clinical manifestations, and management. Annals of
Pharmacotherapy. 2008;42:226-36.
21. Harter CA, Bernirsche K. Fetal syphilis in the first trimester. American journal
of obstetrics and gynecology. 1976;124:705-11
22. Nathan L, Bohman VR, Sanchez PJ, Leos NK, Twickler DM, Wendel GD. In
utero infection with treponema pallidum in early pregnancy. Prenatal diagnosis.
1997;17:119-23
23. Berman S. Maternal syphilis: Pathophysiology and treatment. Bulletin of the
world health organization. 2004;82:433-8
24. Newman L, Kamb M, Hawkes S, Gomez G, Say L. Global estimates of syphilis
in pregnancy and associated adverse outcomes: Analysis of multinational
antenatal surveillance data. PLOS Medicine. 2013;10:100-3.
25. Mani, S. B., Pegany, R., Sheng, D., Wendel, S. K., & Gaydos, C. A. Maternal
Syphilis : Variations in prenatal screening , treatment , and diagnosis of
congenital Syphilis. Columbia Medical Review. 2017;1:20-9.
26. Rac MW, Bryant SF, Cantey JB. Maternal titers after adequate syphilotherapy
during pregnancy. Clin Infect Dis. 2015;60:686–90.
27. Indonesia. Kementrian kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Bina
Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan
HIV dan sifilis dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI. 2015.
28. Hicks, C.B., Norwitz, E. R. Syphillis in Pregnancy. Wolters Kluwer. 2017:1-31
29. Butler T.The Jarisch–Herxheimer reaction after antibiotic treatment of
spirochetal infections: A review of recent cases and our understanding of
pathogenesis. American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2016;1-16

24

Anda mungkin juga menyukai