Sejarah La Galigo
Sejarah La Galigo
Sejarah La Galigo
La Galigo adalah sebuah karya sastra yang terbentang sepanjang zaman. Epos yang panjangnya
melebihi Mahabharata ini berisi kisah di abad lalu, yang sempat menjadi kepercayaan di antara
masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sayangnya, gerakan pemurnian ajaran agama, prasangka
dan pula modernisasi telah bersekutu menggempur “kesaktian” warisan budaya ini. Akibatnya,
karya sastra ini kini hanya dikenal di kalangan akademisi. Padahal, La Galigo memiliki kekuatan
yang mengejutkan. Sebuah hajat besar bulan Maret lalu digelar di Kabupaten Barru untuk
menghidupkan kembali roh Sureq Galigo. Ikuti laporan wartawan TEMPO Yusi A. Pareanom
langsung dari Bumi Celebes untuk menjejaki keajaiban Sawerigading.
La Galigo
Syahdan, pada abad ke-15, dunia telah mengenal La Galigo. Bahkan 300 ribu larik epik itu konon
sudah lahir ketika abad Masehi baru mencium bumi. Sungguh tua, sungguh panjang usia kisah
yang pernah menjadi bagian dalam kehidupan suku Bugis ini. Inilah epos yang konon terpanjang
di seluruh dunia. Jumlah ini jauh lebih gemuk ketimbang
epos agung Mahabharata, yang terdiri dari 150 ribu-200 ribu baris, atau Iliad dan Odyssey yang
“hanya” terdiri dari 16 ribu baris. Karena itulah, bulan Maret silam, puluhan peneliti dan pakar
internasional bertemu di Barru, Sulawesi Selatan, untuk mendiskusikan karya sastra mahapanjang
yang istimewa ini.
Di Barru, tempat waktu berjalan merayap, Sureq Galigo diperkenalkan kembali pada publik. Istilah
pengenalan kembali memang ironis. Sureq Galigo yang usianya sudah berabad-abad itu di masa
lalu adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan rakyat Sulawesi Selatan, khususnya suku
Bugis. Namun, fakta di lapangan, karya sastra ini sudah mulai dilupakan.
Maka, selama Festival La Galigo itu, Desa Pancana sejenak berubah wajah. Desa yang terletak di
pinggir pantai Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, yang biasa disiram aroma amis ikan laut, pada
Maret silam dikunjungi ribuan orang dari berbagai kawasan yang memenuhi lorong-lorong
kampung. Jalan masuk yang membelah tambak di desa itu malah macet gara-gara banyaknya
mobil yang parkir. Hiburan macam ini memang jarang ditemui.
Tapi tidak semuanya senang dengan hiruk-pikuk ini. Hajjah Siti Ara, 42 tahun, pedagang obat di
Pasar Sentral Barru, terang-terangan mengaku kecewa. Ia datang ke festival dengan harapan bisa
menyimak Masureq, pembacaan La Galigo atau Sureq Galigo (penamaan ini untuk membedakan
dengan nama tokoh I La Galigo) yang khidmat da menghanyutkan. Harapannya meleset karena
situasi festival mirip pasar malam yang sesak dengan pedagang. Siti, yang semasa sekolah
menengah pernah main drama dengan tema La Galigo, juga menyesalkan banyaknya atraksi
kesenian yang tak ada hubungan dengan tema festival.
Jadi, apa sesungguhnya yang membuat La Galigo begitu istimewa? Dan, bagaimana karya itu bisa
sedemikian panjang? Ia membentangkan dongeng tentang tujuh generasi. Ini berbeda dengan
cerita rakyat dari daerah lain di Indonesia, yang umumnya berbentuk banjaran (kisah satu tokoh
dari lahir sampai meninggal). Cerita kolosal ini juga terlihat dengan 1.000 tokoh penting yang
menghuni episode-episodenya. Christian Pelras, ilmuwan asal Prancis, sempat membuat 672 kartu
nama tokoh-tokoh Sureq Galigo.
Tentu, bukan ini saja yang menjadikan Galigo unik. Campbell Macknight, guru besar emeritus
antropologi di Universitas Nasional Australia di Canberra, menyebut Galigo adalah pencapaian
kultural yang signifikan. Faktanya, materi teks Galigo paling banyak dielaborasi dalam pelbagai
versi dalam bahasa Bugis.
La Galigo menyebar dengan dua cara: tradisi lisan dan tulis. Tradisi pertama dikenal oleh hampir
semua etnik di Sulawesi, bahkan sebagian Kalimantan dan Semenanjung Melayu. Adapun yang
kedua praktis hanya dilakukan oleh masyarakat Bugis. Sebagai satu karya, La Galigo punya
konvensi bahasa (yaitu bahasa Galigo yang untuk mudahnya bisa disebut juga bahasa Bugis
Kuno), sastra, metrum (guru lagu dan guru wilangan), dan alur. Misalnya, satu bait pasti terdiri
dari lima baris dan nama tokohnya pasti terdiri dari lima suku kata: Sawerigading, I La Galigo, I
We Cudaiq, dan seterusnya.
Galigo diperkirakan lahir pada abad-abad awal Masehi. Sampai abad ke-15, penyebarannya masih
lisan, dengan bahasa yang masuk rumpun Austronesia (yang digunakan hingga Kepulauan Fiji).
Bukti yang mendukung adalah kemiripan sistem hierarki sosial yang digunakan etnik-etnik Pasifik
yang masuk rumpun ini. Tradisi tulis diduga baru dimulai pada abad ke-15. Sejak naskah ini
didokumentasi, Galigo sudah mengembara ke negara-negara jauh, terutama Belanda. Yang masuk
sampai ke perpustakaan negara Amerika Serikat di Washington, DC, pada abad ke-19 adalah buah
tangan Husin bin Ismail, seorang munsyi Bugis kelahiran Wajo yang tinggal di Singapura.
Struktur Galigo bisa dibagi dalam dua bagian besar, kisah awal yang bersifat kosmologiyang
menceritakan asal-usul kehadiran manusia di bumi. Bagian kedua yang menceritakan sistem status
yang sangat penting sebagai pegangan dalam kehidupan sosial Bugis. Menurut Fachruddin Ambo
Enre, guru besar sastra di Universitas Negeri Makassar, bagian yang menceritakan manusia
pertama alias nenek moyang raja-raja Bugis, terutama orang Luwu, dianggap sakral. Naskah ini
tidak boleh dibaca sembarangan. Bahkan judul sureq ini sengaja menggunakan nama Galigo,
bukannya Sawerigading. Padahal Sawerigading adalah peran utama. Namun, alasan tak
menggunakan nama Sawerigading sebagai judul karena nama itu tak boleh diucapkan
sembarangan.
Bagian penciptaan alam semesta malah didudukkan lebih wingit lagi sehingga betul-betul
dirahasiakan untuk kalangan terbatas. Tak semua bangsawan Bugis yang masih menyimpan
naskah periode ini sudi membagi pengetahuannya pada orang lain. Colliq Pujié Arung Pancana
Toa, perempuan bangsawan Bugis yang menghimpun kisah Galigo untuk peneliti Belanda Dr. B.F.
Mathhes pada 1852, misalnya, memulai penulisan lontaraq dengan adegan musyawarah para dewa
untuk menurunkan Batara Guru sebagai cikal bakal manusia di bumi.
Alhasil, siklus kisah Galigo sebelum manusia lahir–yang dianggap sebagai periode “keramat”–
masih diketahui sekelumit belaka. Salah satunya adalah naskah Mula rilingé Sangiang Serrí (Mulai
Diciptakannya Sangiang Serrí). Naskah ini diperoleh Christian Pelras, peneliti dari Prancis, dari
seorang bangsawan Bugis. Naskah ini bercerita tentang Wé Oddang Nriwú, anak bungsu pasangan
Dewa Langit Datu Patotoe dan Datu Palinge. Wé Oddang, adik Batara Guru, dikisahkan memiliki
kecantikan yang sanggup membuat para lelaki yang melihatnya gila (kecantikan perempuan
macam ini sepertinya mirip Remedios The Beauty, tokoh dalam novel One Hundred
Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez). Agar tidak menimbulkan malapetaka di mana-
mana, Wé Oddang akhirnya diubah bentuknya menjadi tanaman padi dengan nama baru Sangiang
Serrí. Dengan begini, ia tetap dicintai banyak orang dan sekaligus tak mengundang marabahaya.
Cerita Sangiang Serrí inilah yang melahirkan tradisi upacara persembahan para petani sebelum
memulai musim tanam.
Bagian utama dari La Galigo tak lain adalah kehidupan Sawerigading. Cerita cucu Batara Guru
ini sedemikian memikat, sehingga rakyat Sulawesi Selatan menganggap sosok ini nyata. Artinya,
Galigo diperlakukan sebagai sumber sejarah untuk periode zaman tembaga-besi akhir (prasejarah).
Bisakah? Ian Caldwell, dosen sejarah di Universitas Hull, Inggris, yang melakukan penelitian
arkeologis sealama tiga tahun di Luwu dan sekitarnya, menampiknya. Alasannya, anakronisme
(penempatan kejadian pada waktu yang salah) yang bertaburan di dalam naskah La Galigo.
Misalnya, gambaran Kerajaan Luwu dan Cina raja adalah cerminan keadaan politik dan
demografis pada abad ke-15 sampai 17. Padahal, dari pemakaian bahasa Galigo yang arkaik (tidak
lazim dipakai), terlihat bahwa Galigo lahir pada masa yang jauh lebih kuno.
Kisah pengembaraan Sawerigading dengan kapal La Welérénngé ke pelbagai negeri jauh, bila
dilihat dengan kacamata ilmu pelayaran yang sebenarnya, terlihat ganjil. Waktu tempuh untuk
daerah yang secara geografis sangat dekat bisa memakan waktu berbulan-bulan, sedangkan untuk
daerah yang lebih jauh malah ditempuh dengan waktu singkat saja. Karena itu, Horst H. Liebner,
ilmuwan asal Jerman yang bertahun-tahun mempelajari seluk-beluk perahu tradisional Sulawesi
Selatan, menilai bahwa perjalanan Sawerigading adalah perjalanan mimpi. Alhasil, toponomi
sebagian Nusantara menurut Galigo—dengan Luwu sebagai “pusat dunia”–menurut Liebner tak
lebih dari upaya mengagung-agungkan kejayaan Bugis tanpa melihat kenyataan dunia riil. “Kaum
ningrat Bugis masa itu ingin dielu-elukan sebagai penguasa jagat raya,” kata Liebner.
Menilik bertaburnya “kesembronoan” data tersebut, diduga perawi Galigo adalah para perempuan
bangsawan Bugis yang tak akrab dengan dunia pelayaran ataupun geografi. Indikasi yang
menunjukkan identitas pengarang adalah penggambaran pernik upacara serta aktivitas bissu yang
demikian detail. Hal ini lebih banyak diketahui golongan wanita ningrat.
Genangan fantasi dalam Galigo memang jadi mencemaskan bila naskah tersebut dipakai sebagai
rujukan sejarah. Di sisi lain, hal ini dinilai Nirwan Ahmad Arsuka, kurator Bentara Budaya, justru
menunjukkan kekuatan sastra Galigo. Ia memuji daya imajinasi para pengarangnya. Namun yang
paling memikat hati Nirwan dari Galigo adalah petingkah tokoh-tokoh utamanya. Ia menilai
Galigo berlari jauh melampau zamannya. “Penggambaran yang begitu transparan sangat dekat
dengan kecenderungan sastra mutakhir dunia yang sudah melampaui romantisme dan siap
berdamai dengan sosok-sosok anti-hero,” kata Nirwan yang berdarah Bugis ini.
Uraian kecerdasan para perawi Galigo bisa lebih panjang lagi dituliskan. Namun hal ini tak akan
bisa menutupi fakta bahwa sureq ini kini kian pudar pesonanya. Banyak faktor yang membuat
Galigo surut. Gempuran awal pada Galigo dimulai ketika Islam masuk ke Sulawesi pada abad ke-
14. Awalnya, masih terjadi sinkretisme yang memberi ruang hidup ajaran Galigo. Misalnya, para
dewata dalam epos ini digolongkan kelompok jin yang baik, sementara Sangiang Serrí tidak lagi
disebut dewi padi tapi jiwa padi. Namun, sejak akhir abad ke-18, di Sulawesi Selatan mulai
berkembang ajaran yang menginginkan ajaran agama Islam dilaksanakan secara murni. Puncaknya
adalah periode 1950-1965, masa ketika Darul Islam memberontak. Bissu, sebagai salah satu
pewaris utama ajaran Galigo, menjadi korban yang paling mengenaskan. Bissu yang tersisa juga
tak bisa berkiprah lebih banyak karena pamor bangsawan Bugis yang jadi pengayom mereka juga
ikut redup. Faktor lain yang menenggelamkan kesaktian Galigo adalah modernisasi. Epos yang
dulu memiliki fungsi menghibur jadi tak laku bila dibandingkan dengan acara televisi. Para petani
pun lebih percaya pada pupuk dan benih unggul ketimbang memberi sesajian pada Sangiang Serrí.
Namun Fachruddin melihat nasib buruk ini tidak dialami Galigo saja, tetapi juga karya sastra
tradisional lainnya di Sulawesi Selatan. Ia melihat generasi yang lebih muda tak tertarik karena
orang tua mereka sudah tak menaruh perhatian. Perkecualian tentu ada. Maqbul Halim, 29 tahun,
penggiat sebuah lembaga swadaya masyarakat di bidang media massa yang tinggal di Makassar,
mengaku masih membaca La Galigo. “Sewaktu kecil, di kampung saya di Wajo, dari orang tua
dan kakek-nenek saya, saya sering mendengar penggalan cerita tentang kehidupan jawara atau
jagoan bangsawan Bugis yang ternyata adalah bagian dari Galigo.” Pemuda ini terlihat fasih
berbicara tentang naskah ini. Tapi orang seperti Maqbul sangat sedikit.
Upaya untuk mengembalikan Galigo pada publiknya sebetulnya sudah dimulai cukup lama oleh
kalangan akademisi. Namun jalannya sampai saat ini masih tersaruk. Fachruddin mencontohkan
beratnya langkah penerbitan 12 jilid naskah Galigo (yang pekerjaan transliterasi dan
penerjemahannya dalam bahasa Indonesia sudah dirampungkan Muhammad Salim dalam kurun
waktu 5 tahun 3 bulan). “Yang siap memberikan suntikan dana justru pemerintah Belanda, ironis,
padahal untuk dua jilid hanya butuh sekitar Rp 100 juta,” kata Fachruddin.
Dalam seminar di Barru, banyak usul untuk menghidupkan kembali La Galigo secara populer:
pembuatan sinetron, komik, ataupun penulisan ulang dalam bentuk novel. Yang sudah dimulai–
sekalipun baru tahap praproduksi–adalah pembuatan film La Galigo. Penggagasnya adalah
koreografer dan penari Restu Iman Sari dan sutradara pemenang Emmy Award asal Amerika
Serikat, Rhoda Grauer. Awalnya, duet ini berniat membuat film dokumenter tentang perahu
tradisional Bugis. Ternyata mereka malah “tersesat’ membikin film tentang bissu. Dari produksi
ini, mereka mengenal epos Galigo dan tak punya pilihan lain kecuali terpikat. “Sulit dipercaya ada
hal sepenting Galigo di bumi ini yang tidak dikenal secara global,” kata Grauer.
Pertanda baik dari kerja Restu dan Grauer–yang kini senang dipanggil dengan nama Makkarodda
(seperti salah satu tokoh dalam Galigo)– adalah kesediaan Robert Wilson menjadi sutradara
pementasan La Galigo. Wilson adalah sutradara panggung yang sangat terkemuka di Amerika.
Salah satu kerjanya yang paling kondang adalah Einstein on the Beach (1976), yang disebut-sebut
sebagai pendekatan yang sepenuhnya baru untuk teater musikal. Film yang dijadwalkan kelar
tahun 2004 kelak diharapkan bisa membuka mata banyak pihak. Sesungguhnya, keindahan La
Galigo memang bukan cuma warisan untuk suku Bugis.
Yusi Avianto Pareanom dan Syarief Amir (Barru)
Sumber: Tempo No. 06/XXXI/8 – 14 April 2002
Andhini Prabawati Pertama kali kami mendengar epos La Galigo karena ada seseorang yang
menyarankan untuk menampilkan epos tersebut pada pementasan budaya nusantara di Politeknik
Telkom untuk pertama kalinya. Jujur saja, pada awalnya kami sendiri pun tidak tahu menahu
tentang epos tersebut. Setelah mencari tahu, kami pun menemukan kenyataan bahwa memang
epos tersebut tidak terlalu dikenal di negaranya sendiri, Indonesia. Epos tersebut justru lebih
terkenal di luar negeri! Ironis, ya! Namun, kami rasa belum terlambat. Daripada tidak sama
sekali, maka kami pun memutuskan untuk menuliskan sedikit mengenai sejarah epos La Galigo
melalui sumber-sumber yang kami dapatkan. Dengar-dengar epos La Galigo pun sedang
diperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai Memory of The World (MOW) atau
ingatan kolektif manusia berupa warisan dokumenter yang secara sah dapat menjadi bukti
sejarah manusia. Semoga saja terlaksana. Dan semoga saja melalui ini bisa membuat para
pembaca semua mengetahui (walaupun sedikit) mengenai epos La Galigo.
* * * Sejarah La Galigo Epos La Galigo atau biasa juga dikenal dengan I La Galigo merupakan
karya sastra (epos) yang terpanjang di dunia. La Galigo adalah hasil karya sastra dari Kerajaan
Luwu, Sulawesi Selatan, Indonesia. Isinya sebagian berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa
Bugis kuno. Epos ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta oleh raja dunia atas atau
raja langit bernama La Patiganna. Disebutkan pula bahwa epos ini bercerita tentang
Sawerigading, seorang perantau juga pahlawan yang gagah berani. La Galigo sebenarnya tidak
tepat disebut sebagai teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos-mitos. Namun, epos La
Galigo tetap dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai kebudayaan Bugis sebelum
abad ke-14. La Galigo telah dipentaskan di beberapa negara Eropa. Pada tahun 2004, La Galigo
dipentaskan di Belanda, Perancis, dan Amerika. Pementasan tersebut mendapatkan respon yang
sangat positif dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan, koran The New York Times yang
biasanya sangat kritis memberikan komentar yang positif. Pementasan La Galigo tersebut
terlaksana di bawah bimbingan Robert Wilson, yang sayangnya seorang seniman teater dari
Amerika Serikat dan bukan dari negeri sendiri. Sehingga pada akhirnya cerita diadaptasi dan
merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan
Makassar. Informasi mengenai salinan naskah-naskah La Galigo sebagian besar terdapat di
perpustakaan Leiden, Belanda. Naskah lainnya juga terdapat di Jakarta, yakni di perpustakaan
Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memiliki 15
buah naskah Bugis. Kandungan La Galigo Epos bermula dengan penciptaan dunia. Ketika dunia
masih kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), raja langit, La Patiganna, mengadakan
musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib.
Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan berupa pelantikan anak lelaki raja langit yang
tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (bumi) dan memakai gelar Batara Guru. Sebelum
turun ke bumi, ia harus melalui masa ujian selama 40 hari 40 malam. Tidak lama sesudah ujian
tersebut, Batara Guru kemudian turun ke bumi, di Ussu’, daerah Luwu’ yang saat ini menjadi
Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone. Di kemudian hari, La Toge’ langi’ menikahi sepupunya
We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, raja alam gaib. Batara Guru kemudian digantikan
oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. La Tiuleng sendiri lalu
mendapatkan dua orang anak kembar bernama Lawe atau Sawerigading dan seorang anak
perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar tersebut tidak dibesarkan bersama-
sama sehingga pada suatu saat Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng akibat
ketidaktahuannya bahwa mereka masih bersaudara. Ketika ia mengetahui hal tersebut, ia lantas
meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Sawerigading lantas melanjutkan
perjalanannya ke Kerajaan Tiongkok. Selama perjalanan ia mengalahkan beberapa pahlawan
termasuk pemerintah Jawa Wolio yakni Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia lantas
menikahi putri Tiongkok bernama We Cudai. Sawerigading sendiri digambarkan sebagai
seorang kapten kapal yang perkasa. Ia pernah mengunjungi berbagai macam tempat, seperti
Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa
Ritengnga (diduga Jawa Timur dan Jawa Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (diduga Sunda
Timur dan Sunda Barat) serta Melaka. Ia pun dikisahkan pernah mengunjungi surga dan alam
gaib. Sawerigading sendiri dikisahkan merupakan ayah dari La Galigo yang kemudian bergelar
Datunna Kelling. La Galigo juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, perantau, dan
pahlawan yang hebat. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari berbagai negara.
Namun, seperti ayahnya pula, La Galigo dikisahkan tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki La
Galigo yang bernama La Tenritatta’ lah yang dikisahkan terakhir dinobatkan menjadi raja di
Luwu’.
* * * Isi epos ini merujuk pada masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi.
Hal ini dibuktikan dengan pemukiman yang berpusat di muara sungai, tempat kapal-kapal besar
boleh berlabuh. Pusat pemerintahan pun yang terdiri dari istana dan rumah-rumah bangsawan
terletak berdekatan dengan muara sungai. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan
(Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-
pedagang asing. Kehadiran pedagang asing disambut baik di kerajaan Bugis. Para pedagang
tersebut baru boleh berniaga setelah membayar cukai kepada pemerintah. Perniagaan ketika itu
menggunakan sistem barter. Ketika itu, laut menjadi media yang sangat penting untuk saling
berhubungan antar kerajaan. Golongan muda bangsawan di Bugis ketika itu pun dianjurkan
untuk merantau sejauh mungkin sebelum mereka diberi tanggung jawab yang besar.
Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh
(bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah
bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke
Woliomelawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk
Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan
Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo
Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah
lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari
Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng,
nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang
tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah
kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La
Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-
nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo:
Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
La Galigo di Gorontalo
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan
beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’
dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya.
Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di
negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu
yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang
beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade
memimpin pasukan berkerissementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan
kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik
dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe.
Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah
Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu
adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan
gelar Lasandenpapang.
La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia.
Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugisyang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga
unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh ‘Keraing
Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu
ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan
beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam
perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora
dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Hal ini
menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassarbermigrasi ke tempat lain. Contohnya,
serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681,
sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’
dari Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La
Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut
olehBelanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala
Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan
Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam
sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah
dengan puteri-puteri Johor, Kedah danSelangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja
(Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Manambung (menjadi Sultan Mempawah dan Matan),
Opu Daeng Cella’ (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di
dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis
seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita
mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak
perempuannya, Sitti Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau
Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun
demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di
dalam La Galigo.
La Galigo dalam seni pentas
La Galigo sudah diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah diadaptasi
oleh Rhoda Grauer. Pertunjukan ini telah dipertunjukkan sejak tahun 2004 di Asia, Eropa,
Australia dan Amerika Serikat.
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan, para aktor tidak saling berbicara tapi
mengekspresikan diri mereka melalui tari dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang
narator dalam versi bahasa Bugis aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan
penggunaan ekstensif efek cahaya untuk karakteristik pekerjaan Wilson dan disertai pula oleh
musik oleh ansambel panggung. Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional Sulawesi,
namun sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh komponis Jawa Rahayu Supanggah setelah
riset yang intensif di Sulawesi Selatan.
Untuk menciptakan ekspresi dramatis yang lebih baik, instrumen Jawa dan Bali lainnya
ditambahkan ke dalam lima instrumen Sulawesitradisional aslinya, dan instrumen lain yang baru
juga dibuat, sehingga akhirnya terdapat 70 instrumen yang dimainkan oleh 12 musisi. [4]Para
pelaku produksi pentas ini terdiri dari 53 pemusik dan penari yang semuanya datang secara
ekslusif dari Indonesia dan sebagian besar dari Sulawesi, serta salah satu dari sedikit pendeta
tradisional bissu (pendeta non gender) Bugis, yang tersisa dari komunitas non gender Bugis,
Puang Matoa Saidi yang menceritakan sebagian dari cerita.
Sumber: sanggarsenicolliqpujie