Deskripsi Perkembangan Pendidikan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

Deskripsi Perkembangan Pendidikan

Teknologi Kejuruan di Indonesia

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Herminarto Sofyan M.Pd.

Disusun Oleh :

Rizki Ilyas Dermawan 16504241043


Hasfi Nur Muharom 16504241044
Arga kuncoro Jati 16504244021
Fajar Indra Rahmana 16504244023
Nanja Dwi Kurniawan 16504244025

PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2018
A. Perkembangan pendidikan teknologi kejuruan di Indonesia

Keberadaan pendidikan kejuruan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang


sejak zaman VOC. Dahulu pada zaman VOC sekolah kejuruan yang pertama kali
didirikan adalah Akademi Pelayaran (Academic Der Marine) pada tahun 1743 kemudian
ditutup pada tahun 1745. Kuswana dalam bukunya berjudul "Filsafat Pendidikan
Teknologi, Vokasi dan Kejuruan" menjelaskan bahwa sejak zaman VOC sekolah
kejuruan sudah didirikan., yaitu akademi pelayaran. Kemudian ditutup pada tahun
1745. Ketika kekuasaan beralih dari VOC ke Pemerintah Hindia Belanda, didirikan juga
sekolah kejuruan pertama dijaman hindia belanda yaitu Ambachts School Van Soerabaia
(Sekolah Pertukangan Surabaya) pada tahun 1853. kemudian disusul dengan pendirian
lembaga serupa di jakarta dengan nama Ambachts Leergang pada tahun 1856. Kedua
sekolah ini pengelolaannya masih oleh swasta. Baru pada akhir abad ke 19 pemerintah
mendirikan sekolah kejuruan lainnya.
Perkembangan pendidikan kejuruan di Indonesia tidak pernah lepas dari
kebijakan politik etika yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Munculnya Politik
Etika sebagai akibat dari protes dari keresahan kaum intelektual belanda terhadap
kebijakan sistem tanam paksa dan kapitalisme yang bertentang dengan nilai
kemanusiaan oleh belanda yang mengaku bangsa berperadaban tinggi. oleh karena itu,
Ratu Belanda pada pidatonya mengumumkan tentang kebijakan tersebut dengan
memberikan anggaran pembangunan di bidang pendidikan sebagai bentuk kepedulian
Pemerintah Belanda terhadap tanah jajahannya. Maka didirikanlah sekolah sekolah di
Indonesia termasuk sekolah yang berbasis kejuruan.
Menurut Supriadi (dalam Kaswana 2012: 192) sampai pada akhir masa penjajahan
belanda tahun 1940 telah didirikan beberapa sekolah kejuruan di Indonesia, antara lain
:
1. Technice School (7 lembaga)
2. Ambachts School (36 lembaga)
3. Handel School ( 21 lembaga)
4. Niverheids School (4 lembaga)
5. Landbouw School ( 6 lembaga)
6. Middlebare Technise (2 lembaga)
7. Middlebare Handel (4 lembaga)
8. Middlebare Meisje (1 lembaga)
9. Kweek Scholl (4 lembaga)
10. Middlebare Kweek (3 lembaga)
Jumlah diatas merupakan gambaran yang pantastis akan kemajuan pendidikan
kejuruan pra kemerdekaan. Pada masa setelah kemerdekaan Ambachts Leergang
dikenal dengan Sekolah Pertukangan (SPT) kemudian ambacht school menjadi Sekolah
Pertukangan Lanjutan (SPL) serta Technische School menjadi Sekolah Teknik
danTechnische High School menjadi Institute Teknologi Bandung.
Pada masa pemerintahan orde baru (PELITA), pemerintah menempatah pendidikan
kejuruan sebagai bagian dari integrasi Pembangunan Nasional. Pada tahun pertama
Pelita I didirikannya 8 STM Pembangunan. Kemudian Tahun kedua
dibangunnya Technical Training Center (Balai Latihan Pendidikan Teknik) atas bantuan
pinjaman dari World Bank dan tenaga ahli dari UNESCO. Tahun keempat PELITA I
diadakannya proyek Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik (PMPT) dengan pusat
penyelenggaraan di STM Instruktor (bekas SGPT) di Jalan Dr. Rum No. 9 Bandung,
dengan sasaran utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada proyek-proyek
STM Pembangunan dan BLPT. Dengan Semakin pesatnya perkembangan pendidikan
kejuruan maka perlu adanya pelembagaan proyek penataaran guru teknik maka atas
bantuan tenaga ahli dari australia baka dibentuklahTechnical Teacher Upgrading
Center (TTUC).
hingga saat ini fokus Pemerintah pada pendidikan kejuruan semakin gencar dilakukan
karena potensi pendidikan kejuruan dalam menyokong sektor pembanguan di Indonesia
begitu menjanjikan. Dengan pendidikan kejuruan akan dihasilkan calon tenaga kerja
yang terampil dan siap bekerja. Sejarah panjang pendidikan kejuruan di Indonesia
menjadi bukti penting bahwa pola penyelenggaraan pendidikan ini memberikan
sumbangsih yang begitu nyata untuk pembangunan di Negara Indonesia, sampai-
sampai pada zaman Pemerintahan Orde Baru, pendidikan kejuruan menjadi bagian
integral dalam proses Rencana Pembangunan di Indonesia. Para aktor pelaksana
pendidikan kejuruan juga harus mampu meningkatkan prestasi pendidikan kejuruan
agar penataan dan pengelolaannya akan semakin lebih baik dari tahun ke tahun
sehingga dapat lebih meningkatkan sumbangsih pada Negara Indonesia, khususnya
dalam pemenuhan tenaga kerja yang terampil.

1. Pra-Pelita I
Sekolah kejuruan yang dikenal pada Pra-Pelita I meliputi : ST, SMEP dan SKKP
pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan ST M, SMEA, SKKA
pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Selain itu ada SSRI, SMIND,
KOKAR dan INRI yang berorientasi pada pendidikan seni dan kerajinan, serta
berbagai kursus-kursus antara lain KPA, KPAA, KKP dan KkPA. Rencana
Pembangunan Semesta Berencana yang pernah dikenal pada zaman
pemerintahan orde lama pernah merencanakan pertumbuhan sekolah kejuruan
secara besar-besaran sehingga mencapai perbandingan 75 % : 25 % antara
sekolah kejuruan dengan sekolah umum.

Rencana besar yang tidak ditunjang oleh perencanaan yang baik dan kemampuän
keuangan negara pada waktu itu, mendorong masyarakat secara swadana
membangun sekolah kejuruan sebagai langkah persiapan untuk penegerian.
Berdasarkan pendekatan pembangunan sekolah seperti ini, maka jumlah sekolah
kejuruan berkembang dengan pesat tetapi dengan fasilitas fisik (bangunan,
peralatan dan perabot) yang sangat tidak memadai. Selain itu, kekurangan guru
sangat dirasakan karena kekurangan calon yang dihasilkan lembaga pendidikan
tenaga guru. dan terjadilah pengangkatan guru besar-besaran dari tamatan STM,
SMC-A dan untuk mengajar di STM, SMEA dan SKKA. Kurikulum sekolah kejuruan
yang bersifat nasional, pertama kali diterbitkan pada tahun 1964, yang dikenal
dengan Kurikulum 1964. Gambaran program pendidikan kejuruan yang dapat
dikenal dengan Kurikulum 1964, adalah sebagai berikut:
Pertama, tujuan pendidikan kejuruan tidak jelas dan ambivalen- Pendidikan
kejuruan semestinya mempersiapkan tamatannya untuk memasuki dunia kerja,
namun dalam kenyataannya tidak memberikan kemampuan untuk itu, dan
bahkan secara langsung memberikan bekal untuk melanjut ke pendidikan yang
lebih tinggi. Konsekuensi ambivalensi tujuan pendidikan kejuruan ini adalah tidak
jelasnya kualifikasi tamatan dalam hubungannya dengart tingkatan keahlian di
dunia kerja.

Kedua, kurikulum 1964 SMK memiliki isi yang sarat teori. Bobot praktek
kejuruannya hanya berkisar antara 5% sampai 20% dari keseluruhan program
pendidikan dan itupun dilaksanakan secara terpisah dengan teori kejuruannya.
Kurikulum 1964 SMK cenderung berpedoman pada "subject matter approach "
dari pada "competency based approach " sehingga tamatannya cenderung
memiliki kemampuan "pengetahuan" (knowing) dari pada kemampuan
"pengerjaan" (doing).

Ketiga, metode penyampaian yang digunakan adalah komunikasi satu arah.


Karena itu, gurunya cenderung aktif dan siswanya yang pasif, Di samping itu,
metode penyampaian yang digunakan juga cenderung abstrak (hanya dengan
kata-kata). Jarang digunakan metode-metode berbasis pengalaman langsung
seperti misalnya magang dan praktek di perusahaan.

2. Pelita I (1969/1970 - 1973/1974)


Berdasarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama, pembangunan
pendidikan kejuruan mulai dibenahi dan mulai diupayakan melalui suatu sistem
yang diharapkan dapat menunjang pembangunan nasional Berikut adalah
beberapa karakteristik program pembangunan pendidikan kejuruan yang
diharapkan menunjang pembangunan nastonal pada Pelita l.

Pertama, pendidikan kejuruan melakukan rehabilitasi bangunan (ruang praktek,


ruang praktikum/laboratorium) dan peralatan (mesinr alat, perlengkapan, dsb).
Rehabilitasi ini dimaksudkan agar praktek dan praktikum kejuruan benar-benar
lebih optimal, yang sebelumnya kurang terlaksana.

Kedua, bentuk lain konkretisasi gagasan utama pada Pelita I adalah


dikembangkannya 12 Instalasi Pendidikan Teknik (IPT), yang kemudian 8
diantaranya berkembang menjadi STM Pembangunan (4 tahun) yang terletak di
Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, ujung Pandang,
Temanggung dan Pekalongan. Empat IPT lainya berkembang menjadi Sekolah
Menengah Teknologi Pertanian, yaitu di Metro (Lampung), Tangerang, Boyolali
dan Jember.

Ketiga, pembangunan 5 Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) di Jakarta,


Bandung,Surabaya, Medan, dan Ujung Pandang, dibangun melalui dana
pinjaman World Bank untuk melayani praktek kejuruan bagi para siswa dari 15
STM Negeri di sekitar BLPT-BLPT tersebut. Tujuan pembangunan 5 BLPT
tersebut adalah agar STM tidak perlu mengadakan fasilitas sendiri-sendiri.

Keempat, dalam rangka peningkatan mutu guru kejuruan, maka pada tahun
1973 mulai diselenggarakan penataran guru melalui proyek Peningkatan Mutu
Pendidikan Teknik (PMPT), yang kemudian ditingkatkan menjadi Proyek
Penataran Guru Pendidikan Teknik (PGPT).

3. Pelita II (1974/1975-1978/1979)

Pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita II mulai dititik beratkan pada


kesesuaiannya dengan kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan nasional.
Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembenahan pendidikan kejuruan untuk
diselaraskan dengan struktur piramida tenaga kerja Indonesia saat itu. Namun
demikian konsep pendidikan kejuruan pada Pelita II memiliki banyak kelemahan,
khususnya yang berkaitan dengan penerapan kurikulum 1976 SMK, antara lain :
a. Karena tujuan SMK terminal, maka SMK kurang diminati oleh masyarakat,
terutama oleh masyarakat yang berasal dari kalangan menengah dan
atas.

b. Pemisahan teori kejuruan dan praktek kejuruan akibat pengaruh konsep


Bloom Taxonomy (yang memisahkan antara kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor), menyebabkan kurang sambungnya antara teori kejuruan
dan praktek kejuruan dan sering terjadi konflik antara keduanya.
Akibatnya, program kejuruan tersebut kurang bermakna bagi penyiapan
peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.

c. Kurikulum 1976 SMK sangat sarat pedoman dan petunjuk pelaksanaan,


sampai-sampai cara mengajarpun dibuatkan petunjuk pelaksanaan
(juklak) melalui pendekatan PPSI. Akibatnya para guru menjadi kurang
kreatif dan kurang berani mengambii prakarsa- prakarsa baru yang
inovatif.

4. Pelita III (1979/1980 - 1983/1984)

GBHN 1978 mengamanatkan bahwa pada Pelita III, Indonesia telah menetapkan
dasar-dasar yang kuat untuk memasuki tahap industrialisasi pada Pelita IV, V,
dst. Karena itu, pertumbuhan industri harus dipacu, dan ini membutuhkan
sumberdaya manusia yang cukup banyak dan bermutu tinggi. Sebagian
sumberdaya manusia yang dimaksud dapat disiapkan melalui pendidikan
kejuruan.

Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam pengembangan pendidikan


kejuruan pada Pelita III antara lain (1) Peningkatan mutu guru teknik melalui
peningkatan status PGPT menjadi Pusat Pengembangan dan Penataran Guru
Teknik (1981) dan untuk guru non teknik telah dikembangkan Pusat
Pengembangan dan Penataran Guru Kejuruan (1982) ber!okasi di Ragunan, yang
sekarang menjadi PPPG Kejuruan yang berlokasi di Sawangan; (2) Peningkatan
mutu guru melalui program D3 bekerjasama dengan IKIP dan IPB; (3) Merintis
pendirian /penambahan beberapa PPPG "Keiuruan" Iainny'a (PPPG Teknonogi
Medan dan di Malang, PPPG Pertanian di Cianjur, dan PPPG Kesenian di
yogyakarta); (4) Pengadaan fasiiitas fisik bangur:an, perabot; dan (5)
Pengadaan Buku.

5. Pelita IV (1984/1985 - 1988/1989)

Perubahan pendidikan kejuruan yang menonjol pada Pelita IV adalah


penyempurnaan Kurikulum SMK 1976 menjadi kurikulum SMK 1984. Berbeda
dengan kurikulum SMK 1976, maka jenis pengelompokkan pendidikan kejuruan
Kurikulum SMK 1984 menjadi pertanian dan kehutanan, rekayasa, usaha dan
perkantoran, kesehatan dan kemasyarakatan, kerumahtanggaan, dan budaya.
Pada dasarnya, kurikulum SMK 1984 memiliki karakteristik sebagai berikut :

Pertama, kurikulum SMK 1984 tidak hanya bersifat terminal seperti kurikulum
1976, tetapi juga memberi peluang siswanya untuk me!anjutkan ke jenjang
pendidikan tinggi.

Kedua, adanya keterpaduan antara teori dan praktek kejuruan, yang


sebelumnya terpisah. Karena itu, Kurikulum 1984 juga mengintegrasikan domain
kognitif, afektif dan psikomotor yang sebelumnya terpisah-pisah.

Ketiga titik beratnya pada proses tanpa mengabaikan hasil pendidikan.

Keempat, istilah yang digunakan adalah kelompok rumpun dan program studi.

Kelima, kurikulum disusun dengan pola program inti dan program pilihan.
Program inti wajib diikuti oleh semua siswa, sedang program pilihan mengacu
kepada kemampuan profesional, disesuaikan dengan bakat, minat, dan
kebutuhan lingkungan. Program pilihan dituangkan dalam berbagai macam
program studi. Proporsi antara program inti dan program pilihan adalah 60%
dibanding 40%.
6. Pelita V (1989/1990 - 1993/1994).
Adapun realisasi pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita V, antara
lain: (1) kemantapan sistem pendidikan menengah kejuruan yang tertuang
dalam PP No. 29 tahun 1990, kelembagaan SMK dengan Kepmendikbud No.
490/U/1992, dan Kurikulum 1994 SMK dengan Kepmendikbud No. 080/U/1993;
(2) penataan dan pemantapan manajemen sekolah yang dilakukan melalui
pendekatan Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS); (3) pengembangan fungsi
PPPG " Kejuruan" menjadi Pusat Pengembangan Pendidikan Kejuruan; (4)
perintisan unit produksi; (5) perintisan dan pengembangan institusi pasangan;
serta (6) melanjutkan program rehabilitasi fasilitas fisik sekolah dan
pembangunan sekolah baru.

Anda mungkin juga menyukai