Makalah Fitoterapi Dasar

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FITOTERAPI DASAR

GASTRO-ESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

DISUSUN OLEH :

Okta Nurandi Pratama 1408010157

Sri Margi Lestari 1408010172

Reza Sistanti R 1408010185

Chatarina Rissty D.R 1408010187

Desintya Fryda Lucyani 1408010194

Fina Laelatussilmi 1408010199

Mira Peranika R. 1408010200

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2016
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gastroesophagus reflux disease (GERD) adalah suatu gangguan dimana isi
lambung mengalami reflux secara berulang ke dalam esophagus, yang bersifat kronis
dan menyebabkan terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu. GERD
dipicu oleh reflux dari gaster dan duodenum ke esophagus. Pasien GERD sering kali
tidak menyadari adanya GERD dan gagal menemukan terapi yang tepat sehingga
menyebabkan para dokter mendiagnosis dan terapi kurang tepat. Pre valensi GERD
Negara- Negara barat sebesar 10-20%, lebih banyak di temukan pada laki-laki kulit
putih dan usia tua. Di Amerika prevalensi GERD dan komplikasinya di asia termasuk
di Indonesia secara umum lebih rendah di bandingkan dengan negara barat namun
demikian data terakhir menunjukan bahwa prevalensinya semakin meningkat.

Beberapa factor resiko terjadinya GERD diasia-pasifik yaitu usia lanjut, jenis
kelamin laki-laki, ras, riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks
masa tubuh dan merokok. Masalah heatburn dan regurtigasi didapatkan pada 6% dan
16% populasi. Rata-rata sekitar 30% pria dan 23% wanita mengalami keluhan GERD
sekali dalam seminggu.

GERD dapat dibagi menjadi dua menjadi dau, yaitu erosive esophagitis dan non-
erosive refluks diases. Pasien-pasien NERD tidak di dapatkan lesi pada esophagus pada
pemeriksaan endoskopi. Beberapa hal yang berperan dalam pathogenesis GERD
diantaranya adalah peranan infeksi hilikobakter pilori, peranan kebiasaan atau gaya
hidup ala barat dengan diet tinggi lemak, peran motilitas dan hipersensitivitas visceral.
Peranan infeksi H. Pilori dalam pathogenesis GERD relative kecil dan kurang di
dukung oleh data yang ada. Peranan alcohol, diet serta factor psikis tidak bermmakna
dalam pathogenesis GERD sedangkan rorkok, dan berat badan berlebih dikatakan
sebagai factor resiko terjadinya GERD. Beberapa obat-obatan bronkodilator dapat juga
mempengaruhi GERD.
B. Rumusan Masalah
 Memenuhi tugas kuliah Fitoterapi Dasar.
 Tanaman obat apa yang dapat digunakan untuk mengobati GERD (Gastro-
Esophageal Reflux Disiase) ?
 Apa saja kandungan yang terdapat pada tanaman obat untuk mengatasi GERD
(Gastro-Esophageal Reflux Disiase) ?

C. Tujuan
 Untuk memenuhi tugas kuliah Fitoterapi Dasar.
 Untuk mengetahui tanaman obat yang dapat digunakan untuk mengobati GERD
(Gastro-Esophageal Reflux Disiase).
 Untuk mengetahui kandungan yang terdapat pada tanaman obat untuk
mengatasi GERD (Gastro-Esophageal Reflux Disiase).
 Untuk menginformasikan tanaman obat untuk GERD (Gastro-Esophageal
Reflux Disiase).
II. ISI
A. Definisi GERD ( Gastro-Esophageal Reflux Disiase)
Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and
classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence-based consensus),
penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome)
di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi
yang berat yang dapat timbul adalah Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di
kardia dan esofagus (Vakil dkk, 2006),(Makmun, 2009).

B. Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi
umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010),
sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia
Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia
Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah
10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-
2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan
Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-
RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua
pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia (Makmun, 2009).

C. Etiologi Dan Patogenesis


Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang
cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009). Esofagus dan gaster dipisahkan
oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower
esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)
(Makmun,2009). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme : 1). Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran
retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya
tekanan intra abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis
terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus
(pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan
faktor ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya
refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed
gastric emptying (Makmun, 2009).
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung (Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan rendahnya
sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah satu alasan
mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di Jepang yang
dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya hubungan terbalik
antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori. Hamada dkk
menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi H.pylori, khususnya
pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi terhadap refluks hiatus hernia
(Goh dan Wong, 2006).
Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas (non acid
reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral (Makmun,2009).

D. Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium
atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik.
Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris.
Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur
atau keganasan yang berkembang dari Barret’s esophagus. Odinofagia bisa muncul jika
sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat (Makmun,2009).
Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala
tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non
kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma,
bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain (Makmun 2009), (Jung, 2009).
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high
pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES
(Makmun,2009). Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara
bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara
gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).
Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan utama
dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata ”heartburn”
mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang sesuai untuk
heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina, Jepang,
Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa yang
mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan bahwa pasien
memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan
Melayu mengeluhkan ”angin” yang merujuk pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai
akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD yang salah didiagnosis
sebagai penderita non cardiac chestpain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun
belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian
yang sama juga sering ditemui di Indonesia.
GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-
gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan
produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-
Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum,
pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-
hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung
kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007).

E. Gejala GERD ( Gastro-Esophageal Reflux Disiase)


Gejala PRGE yaitu heartburn, regurgitasi, nyeri dada, disfagia atau water brash.
Heartburnyaitu rasa tidak nyaman, sensasi panas atau perasaan terbakar dibawah/belakang
dada (sternum) kadang-kadang menjalar ke arah leher atau punggung

(belakang).

Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai


esofagus atau faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa
asam atau pahit. Water brash yaitu refleks sekresi saliva di mulut yang distimulasi oleh
asam di esofagus.

Gejala PRGE menggunakan kuesioner RDQ (Reflux Disease Questionnaire) oleh


Dent atau Chinese GERD Study Group. Kuesioner untuk menilai hubungan PRGE dan
asma mengadopsi Field dkk. Esofagitis ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi
menggunakan klasifikasi Los Angeles dan atau pemeriksaan histopatologi hasil biopsi
esofagus.

F. Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan
untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas,
pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal,
dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam) (Makmun,2009).

American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah


mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,
merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)

a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk
modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk dilakukan
jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barret’s
esophagus, atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of
Evidence : IV)

b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan


Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus
dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi
displasia. (Level of Evidence : III)

c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk


konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik khas
maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk
memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas yang sedang menjalani
terapi. (Level of Evidence : III)

d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe


ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti
refluks. (Level of Evidence : III)

Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association


(AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position
Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12
pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji
diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai
berikut : (Hiltz dkk, 2008)

a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus
dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang
diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya kelainan
secara visual, mukosa yang normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus
dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari.
Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau
malignansi.
c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang
tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran
endoskopinya normal.
d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wirelesspH
dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien dengan
dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali
sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki kelainan pada manometri.

G. Tujuan Terapi GERD ( Gastro-Esophageal Reflux Disiase)


Tujuan penatalaksanaan GERD adalah mengurangi atau menghilangkan gejala
refluks, mengurangi kekambuhan atau lama penyakit GERD, mempercepat penyembuhan
mukosa esofagus, serta mencegah komplikasi, seperti striktur (penyempitan) esofagus,
esofagus Barret, dan kanker esofagus. Penatalaksanaan GERD terdiri dari
penatalaksanaan tanpa obat (nonfarmakologi) dan dengan obat (farmakologi).

H. Fitoterapi
1. Sambiloto
Kandungan : kalgemin, antrograhit, garam kalium, garam natrium
Terapi : gunakan sambiloto kering 9-15 gram lalu direbus, lalu diminum

2. Kunyit
Kandungan : Kurkumin (1) mampu mencegah dan memperbaiki yang diinduksi oleh
fenilbutazon dan aspirin. (2)meningkatkan mucus lambung sehingga aktifitas nyeri
lambung dapat di minimalisir dengan stimulasi produksi mucus.
Dosis : 165 mg/kg BB (jus) dan 10 g/kg BB (serbuk).
3. Lidah Buaya
Kandungan : Lidah buaya berguna untuk mengatasi asam lambung berlebih, sifatnya
meredakan atau sebagai antiinflamasi di dalam esofagus yang mana akan mencegah
asam lambung naik ke kerongkongan.
Regimen terapi : setengah gelas lidah buaya sebelum makan akan membantu
menenangkan asam lambung.
Efek samping : Perlu diwaspadai efek laksatif atau meningkatkan frekuensi dari buang
air besar

4. Meniran
Regimen terapi : dengan meminum rebusan daun meniran dalam 3 gelas air bersih dan
ditambahkan madu murni. Minum secara teratur 3 x 1 sehari.

5. Lemon
Khasiat lemon dalam mengobati GERD. Perlu diketahui sifat-sifat air lemon yang
membuatnya mujarab sebagai obat GERD :
a. Membentuk kalsium karbonat yang menetralkan asam-asam pencerna.
b. Menyeimbangkan tingkat Ph tubuh
c. Meredakan rasa sakit dan radang di dalam dada dan kerongkongan
d. Menyeimbangkan tingkat asam atau alkali sehingga sistem pencernaan dapat
berfungsi dengan semestinya
e. Mengandung vitamin Cdan A , pektin dan serat yang dibutuhkan tubuh untuk
dapat berfungsi dengan semestinya. Selain itu juga membantu menyembuhkan
refluks asam serta rasa sakit dan berbagai gejala lain yang disebabkan oleh refluks
asam
f. Mengandung solenium, potasium dan kalsium. Potasium membantu menetralkan
asam lambung secara efektif.
g. Memiliki sfat alkali yang tinggi dan kandungan gulanya sangat rendah, sehingga
efek alkalinya jauh melebihi sifat keasamannya
h. Mengurangi radang yang menhyebabkan rasa sakit dalam sisem pncernaan.
i. Secara alami air lemon bersifat antibakteri sehingga mampu membunuh kuman
penyakit yang menyebabkan masalah pencernaan.
j. Membersihkan berbagai racun dan kotoran dari usus, ginjal, dan organ pencernaan
lain.
k. Membuat produksi asam hidrocloric dalam lambung dan produksi empedu dalam
hati jadi teratur. Keduanya sangat penting untuk proses asimulasi nutrisi dari
makan dengan semestinya.

Regimen terapi : 1 gelas air hangat 250 ml ditambah perasan jeruk lemon, minum
secara teratur setiap pagi hari setelah bangun tidur secara teratur. Tunggu 20 menit
sebelum makan.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Gastro-Esophageal Reflux (GER) didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung
ke esophagus atau lebih proximal. GER merupakan proses fisiologis yang terjadi dengan
tingkat keparahan dan durasi yang berbeda pada tiap individu. Pada GER isi lambung
mengalir kembali ke esophagus. Sebagian episode GER tersebut tidak menimbulkan
gejala atau keluhan. GER bisa terjadi beberapa kali dalam sehari pada bayi sehat, anak-
anak, dan dewasa. Tanda dan gejala dari GERD yaitu mulas, regurgitasi (naiknya
makanan dari kerongkongan atau lambung tanpa disertai rasa mual maupun kontraksi
otot perut yang sangat kuat), disfagia (kesulitan menelan), asma, pneumonia, suara serak,
aspirasi. Gejala lain yaitu nyeri menelan (odynophagia), nyeri dada (atipikal non kardiak
dan mual). GERD dapat menyerang anak-anak dengan gejala yang paling nyata pada bayi
adalah muntah dan meludah berlebihan. Reflux biasanya memburuk pada beberapa bulan
pertama kehidupan, puncaknya sekitar 6-7 bulan dan kemudian secara bertahap
berkurang. Pengobatan GERD dapat dilakukan dengan penambahan formula makanan
pada keadaan khusus, kepala pada tempat tidur bisa diangkat 6 inci untuk membantu
mengurangi reflux pada waktu malam, pemberian obat-obatan dan operasi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Heidelbrought, Joel. 2003. Gastroefophagus Refluk Disease. Faculty of Michigan
Philip O. katz, Laurent B. Corrigen 3dum : Guidelines for the Diagnosis and Management
of Gastroesophageal Reflux Disease. American College
Irawati, Sylvi. 2011. Penatalaksanaan Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Bulletin
Rasional

Anda mungkin juga menyukai