MAKALAH Kel.10 HADIS EKONOMI
MAKALAH Kel.10 HADIS EKONOMI
MAKALAH Kel.10 HADIS EKONOMI
“Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hadis Ekonomi Ekonomi
Dosen Pengampu :
Desri Nengsih,Lc.,MA
Disusun Oleh :
kelompok 10
T.A 2022/2023
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ekonomi Islam bertujuan untuk mempelajari upaya manusia mencapai al- falah
(kesejahteraan) dengan sumber daya yang ada melalui jalan pertukaran. 1 Islam
mengenal adanya nilai-nilai spiritualisme pada setiap materi yang dimiliki, yang
menjadi sentral dalam setiap konsep moralnya adalah semua barang adalah milik Allah
swt dan bagaimana melakukan transaksi perdagangan yang sesuai dengan aturan main
syariah2 Islam memberikan ajaran kapan seorang muslim melakukan transaksi, serta
bagaimana mekanisme transaksi perdagangan. Demikian pula sebaliknya islam tidak
memperkenangkan adanya kecurangan dalam melakukan transaksi.
Dalam dunia ekonomi jual beli merupakan praktek yang paling sering kita remui
dalam kehidupan sehari-hari. Pada prakteknya berdasarkan ayat-ayat atau dalil yang
membahas jual beli, para ulama sepakat bahwa hukum jual beli adalah mubah (boleh). 3
Akan tetapi pada prakteknya ada penyimpangan yang terjadi sehingga jual beli itu akan
berubah hukum menjadi dilarang (haram) seperti praktek penimbungan barang, yaitu
salah satu cara seseorang untuk memonopoli pasar dengan cara membeli barang
sebanyak-banyaknya pada saat harga rendah kemudian menyimpannya dan menjualnya
dengan harga yang tinggi pada saat harga dipasar itu jika mengalami kenaikan.
Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam hukum
persaingan usaha melarang melakukan penimbunan harta, yang dimaksud untuk
menaikkan harga jika suatu saat nanti barang akan menjadi langkah.
Istilah yang digunakan adalah ikhtikar yang artinya larangan-larangan menimbun
Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam hukum
1
Muhamad Nadratuzzaman, Produk Keuangan dalam Islam di Indonesia dan Malaisyia
(Jakarta: PT. Raja Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 7.
2
Mustafa Edwin Nasution, Pengantar Eksklusif Ekonomi Islam (Cet. V; Jakarta:
Kencana, 2016), h. 173.
3
Misbahuddin, E-commerce dan Hukum Islam (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 115.
1
persaingan usaha melarang melakukan penimbunan harta, yang dimaksud untuk
menaikkan harga jika suatu saat nanti barang akan menjadi langkah.4
Istilah yang digunakan adalah ikhtikar yang artinya larangan-larangan menimbun
barng. Dengan kata lain, membeli barang dengan maksud mengumpulkan dari pasar pada
saat langka kemudian dijual kembali pada saat masyarakat membutuhkan barang
tersebut dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
Perilaku ini dilarang, karena akan berpengaruh negative terhadap jumlah barang
yang tersedia sehingga ketersediaan dan permintaan barang menjadi tidak stabil, artinya
terjadi distorsi pasar.
Oleh karena hal dalam latar belakang di atas sehingga mendorong penulis untuk
melakukan sebuah kajian literatur yang dituangkan dalam sebuah makalah yang
berjudul: “Larangan Menimbun Harta”.
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Masalah
4
La Ode Husen , Hukum Persaingan Usaha; Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia (Cet. I;
Makassar: CV. Social Politic Jenius, 2017), h. 77.
2
B. PEMBAHASAN
tengkulak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni pedagang perantara (yang
membeli hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik pertama); peraih: harga
beli para tengkulak umumnya lebih rendah daripada harga pasar.6 Jadi, Perilaku
lebih dari satu orang petani yang ada di satu desa atau beberapa desa.
Tengkulak sebagai pembeli yaitu ia membeli hasil pertanian dari satu atau lebih
menjembatani transaksi antara petani dengan pembeli yang akan membeli hasil
pertanian tersebut. Mereka aktif membeli dan mengumpulkan barang dari produsen
(petani) di daerah produksi dan menjualnya kepada pedagang yang berikutnya dan
5
Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jakarta: Putra Karya, 1997), 274.
6
Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi ke dua (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 1039.
7
Zainal Abidin dkk, Pemasaran Hasil Perikanan (Malang: UB Press, 2017), 99.
3
Tengkulak sebagai pemasar yaitu ia memasarkan hasil pertanian yang
dihasilkan oleh petani selaku produsen kepada banyak jejaringnya sebagai konsumen.
Tengkulak sebagai kreditor/ pemilik modal yaitu ia memberikan uang atau modal
kepada petani yang kemudian petani tersebut harus mengganti uangnya dengan cara
dicicil. Jika petani tidak dapat membayar maka tengkulak akan mengambil kemudian
membeli hasil pertanian yang dihasilkan oleh petani dengan harga yang rendah. Disatu
sisi, tengkulak memang dapat membantu petani melalui peminjaman uang yang dapat
dibayar pada saat panen, tetapi dilain pihak petani tidak dapat memiliki kebebasan
Dalam jual beli ada juga yang mendekati dengan tengkulak, dalam fiqh
muamalah disebut badan perantara. Badan Perantara dalam jual beli disebut pula
simsar, yaitu seseorang yang menjualkan barang orang lain atas dasar bahwa seseorang
itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya. Orang yang
dewasa ini. Walaupun namanya simsar, komisioner, dan lain-lain, namun mereka
atas namanya sendiri maupun atas nama perusahaan yang memiliki barang.
Berdagang secara simsar dibolehkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi
8
Erfrida Nurul Azizah, “Peran Positif Tengkulak dalam Pemasaran Buah Manggis Petani: studi
Jaringan Sosial Tengkulak di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor”, Indonesian Journal Of
Sociology and Education Policy, 1 (Desember 2016), 85.
9
Hendi Suhendi, fiqih muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), 85 .
4
b. Hadis dan Terjemahan
menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid, telah menceritakan kepada kami Ma'mar
dari 'Abdullah bin Thawus dari Bapaknya dari Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma
dagang (sebelum mereka sampai di pasar) dan janganlah orang kota menjual kepada
orang desa." Aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma, "Apa arti sabda
beliau, "Dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa." Dia menjawab,
dagangan. Ini adalah madzhab Syafi‟i, Malik, dan jumhur ulama. Sedangkan Imam
5
Jual beli dengan sistem talaqqi rukban merupakan sistem jual beli yang sah,
tersebut masuk pasar. Larangan ini berlaku manakala tempat pencegatan itu
6
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku
atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Penimbunan harta atau dalam bahasa arab lebih dikanl dengan Ihtikar (تكا ر
) اال ْح, yaitu penimbunan barang sehingga persediaan (Stok) hilang di pasar dan harga
10
Misbahuddin, E-commerce dan Hukum Islam (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 115.
11
Imam Mustofa, Fiqih Mu‟amalah Kontenporer (Cet. I; Jakarta: Rajawali Press, 2016), h. 85.
12
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2018), h. 42.
7
harga melonjak.
3. Al-Maliki mendefenisikan ihtikar sebagai penyimpanan barang oleh produsen,
baik makanan, pakaian, dan segala barang yang merusak pasar.
Dari pendapat diatas dapat ditarik makna bahwa praktek tersebut merupakan
suatu penimbunan barang pada saat lapang sehingga dapat membuat bara ng tersebut
akan menjadi langkah dipasarannya dan menjaulnya pada saat harganya berangsur
mulai melonjak.
telah menceritakan kepada kami Sulaiman -yaitu Ibnu Bilal- dari Yahya -yaitu
Ibnu Sa'id- dia berkata, "Sa'id bin Musayyab menceritakan bahwa Ma'mar
berkata, "Rasulullah Saw. bersabda, "Barang siapa menimbun barang, maka dia
Ada beberapa definisi yang diberikan oleh ulama tentang ihtikar. Imam
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan
dari peredarannya.” Imam Ghazali mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan
oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika
harga melonjak.” Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan,
“penyimpanan barang oleh produsen: baik makananm pakaian, dan segala barang
yang bisa merusak pasar.”Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut
aktivitas menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya
8
ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis
barang yang ditimbun beda.
1. Ulama Mazhab Maliki, sebagian ulama Mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf dan Ibnu
Abidin (dua nama terakhir adalah ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) menyatakan larangan
menimbun tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan. Tetapi meliputi seluruh
barang yang dibutuhkan masyarakat. Alasannya, yang menjadi ilat (motivasi hukum)
dalam larangan melakukan penimbunan adalah “kemudharatan yang menimpa orang
banyak”. Sebab, kemudharatan yang menimpa orang banyak itu tidak terbatas pada
makanan, pakaian, dan hewan, tetapi juga mencakup seluruh barang yang dibutuhkan
orang.
2. Imam Asy-Syaukani juga tidak memerinci barang apa saja yang ditimbun, sehingga
seseorang bisa dikatakan sebagai penimbun jika menyimpan barang untuk dijual
ketika harga melonjak. Bahkan, Imam Asy-Syaukani tidak membedakan apakah
penimbun itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal ataupun dalam
keadaan tidak stabil. Hal ini perlu dibedakan karena menurut jumhur ulama jika sikap
para pedagang dalam menyimpan barang tersebut bukan untuk merusak harga pasar,
tentu tidak ada larangan. Maklum, Imam Asy-Saukani termasuk kelompok ulama
yang mengharamkan penimbunan pada seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat.
3. Sebagian ulama Mazhab Hanbali dan Imam Al-Ghazali mengkhususkan keharaman
penimbuna pada jenis produk makanan saja. Alasannya, karena yang dilarang dalam
nash hanyalah makanan. Menurut mereka, karena masalah ihtikar menyangkut
kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya dan kebutuhan orang banyak,
maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash saja. Adapun
ulama dari kalangan Mazhab Syafi‟i dan Hanafi membatasi ihtikar pada komoditas
yang berupa makanan bagi manusia dan hewan. Menurut mereka, komoditas yang
9
terkait dengan kebutuhan orang banyak pada umumnya hanya dua jenis itu. Oleh
karena itu, perlu dibatasi.
Adapun yang dimaksud sebagai jual beli oplosan di sini ada dua pengertian.
Pengertian yang pertama, adalah jual beli barang dengan dua tumpukan yang
berbeda dan kualitas barang yang bisa dibedakan, namun pembeli meminta untuk
dijadikan satu wadah. Misalnya, tumpukan pertama terdiri atas apel kualitas super.
Sementara tumpukan lain terdiri atas apel dengan kualitas biasa. Karena kedua
tumpukan disusun berdasarkan kualitas yang berbeda, maka harganya pun berbeda.
10
Pengertian yang kedua, yang dimaksud dengan jual beli oplosan di sini adalah
penjual memiliki dua barang yang masing-masing memiliki kualitas super (harga
12.000/kg) dan kualitas biasa (harga 11.000/kg). Kemudian keduanya dioplos dengan
takaran yang sama, atau takaran yang berbeda dengan melebihkan takaran salah
“Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta
Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan
kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan, lalu beliau
basah, maka beliau pun bertanya, "Apa ini wahai pemilik makanan?" sang pemiliknya
menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda,
"Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas makanan agar manusia dapat
melihatnya. Barang siapa menipu maka dia bukan dari golongan kami." (HR. Muslim)
11
c. Penjelasan Hadis dan Analisis Larangnya
tipuan. Kalau sudah mengandung unsur tipuan (misalnya agar dianggap bahwa
mengakibatkan bahaya dan sebagainya tentu saja terkena larangan. Sehingga dalam
hal urusan dunia, hukum asalnya adalah boleh-boleh saja, selagi tidak ada dalil atau
Berbeda kalau yang dioplos itu agama (Islam) dengan lainnya, maka langsung
terlarang. Islam tidak boleh dioplos dengan selain Islam. Karena Islam itu wahyu
Allah, sedang Nabi Muhammad shallalahu „alaihi wa sallam saja hanya mengikuti
wahyu.ketika mengenai urusan agama (ibadah) maka tidak boleh ada kreatifitas kita,
karena kita hanya untuk mengikuti, bukan membuat syari‟at agama. Sebaliknya,
mengenai urusan dunia, maka dipersilakan berkreasi, selagi tidak ada larangan.
Dengan demikian, sebenarnya meyakini dan melaksanakan Islam itu mudah, jelas,
dan tidak ruwet. Tinggal mengikuti aturan dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam.
Namun keadaannya jadi ruwet dan sulit dibenahi, ketika sudah dibalik-balik
persoaannya. Yang tidak boleh diberi kreasi apa-apa yakni urusan agama, justru
diberi kreasi dan inovasi (masukan), maka akibatnya terkena dalil tentang amalannya
tertolak. Misalnya, tentang hal-hal yang berkaitan dengan orang meninggal dunia,
sejatinya sudah ada aturannya dalam Islam. Lalu, misalnya diadakan pemaduan
12
(oplosan) dengan adat Fir‟aun, memperingati 40 hari kematian, maka dilarang dalam
Islam.
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu
Larangan Larangan menurut bahasa adalah lawan dari perintah yang berarti
menghentikan diri dari sesuatu.13 Sedangkan larangan menurut istilah sebuah
perkataan yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu pekerjaan dalam bentuk
istiʻla>ʼ (dari atas ke bawah). Dengan kata lain, larangan bisa diartikan sebagai
tuntutan Allah kepada hambanya untuk meninggalkan suatu perbuatan. Sabagaimana
firman Allah swt.
Sumpah di dalam bahasa Arab dikenal dengan lafaz halafa yang berarti
mula>zamah (keharusan) maksudnya apabila manusia telah bersumpah berarti dia
13
Musṭafah bin Mu ammad bin Sala>mah, al-Ta si>s fi Us}u>l al-Fiqh ala Du>i‟ al-Kitab wa alSunnah
(Riyaḍ: Maktabah al- aramain, t.th), h. 310.
13
telah mengharuskan dirinya untuk melaksanakan sumpahnya itu. Sumpah dalam
bahasa Arab biasa juga dikenal dengan lafaz aima>n jamak dari yami>n , dan asal
dari yami>n adalah tangan, diistilahkan dengan sumpah karena kebiasaan orang Arab
apabila bersumpah dia memukul tangan kanan saudaranya dengan tangan kanannya.14
Dan kadang juga disebut dengan qasama atau aqsama yang juga berarti sumpah.
1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Allah swt.
untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan;
14
Kama>l bin Sayyid Sa>lim, a i Fiqhi al-Sunnah, juz II ( al-Qa>hirah: Maktabah
Tawfiqiyyah, 2003), h. 285.
15
Kama>l bin Sayyid Sa>lim, a i Fiqhi al-Sunnah, juz II, h.285
14
c. Penjelasan Hadis dan Analisis Larangnya
dan sebagainya).
2) Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu
sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan
dan sebagainya.
15
d. Ayat Al-Qur‟an Terkait Hadis
mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak
akan menyapa mereka, tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, dan tidak
penjelasan An Nawawi Asy Syafii bahwa maksudnya adalah adanya kesepakatan antara
pemilik barang dengan peminat barang tersebut untuk mengadakan transaksi jual beli
namun keduanya belum mengadakan transaksi lalu datanglah orang ketiga menemui
penjual lantas mengatakan akulah yang akan membelinya. Hal ini hukumnya haram jika
sudah ada kesepakatan harga antara pemilik barang dengan penawar pertama.
16
b. Hadis dan Terjemahan
“Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya; dari
Ahmad)
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan hal ini telah melakukan
yang dilakukan oleh orang yang melanggar larangan di atas adalah transaksi
jual beli yang sah. Sedangkan menawar barang yang dijual dengan sistem
lelang hukumnya tidak haram meski barang tersebut sudah ditawar oleh
orang sebelumnya.
17
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
18
C. PENUTUP
a. Kesimpulan
tengkulak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni pedagang perantara (yang
membeli hasil bumi dan sebagainya dari petani atau pemilik pertama); peraih: harga
beli para tengkulak umumnya lebih rendah daripada harga pasar.2 Jadi, Perilaku
menahan barang yang dikumpulkan saat harga murah kemudian menjualnya pada saat
harga barang tersebut tinggi. yang dimaksud dengan jual beli oplosan di sini adalah
penjual memiliki dua barang yang masing-masing memiliki kualitas super (harga
Larangan Larangan menurut bahasa adalah lawan dari perintah yang berarti
perkataan yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu pekerjaan dalam bentuk
antara pemilik barang dengan peminat barang tersebut untuk mengadakan transaksi jual
beli namun keduanya belum mengadakan transaksi lalu datanglah orang ketiga
19
b. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya penulis akan lebih focus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dipertanggung
jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
20
DAFTAR PUSTAKA
Husen, La Ode. Hukum Persaingan Usaha; Hakikat Fungsi KPPU di Indonesia. Cet. I;
al-Dawri>, Qaht}a>n Abd al-Rahma>n. S{afwah al-Ahka>m min Nail al-Awt}a>r wa Subul al-
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia Press, 1992.
al-S{a>lih, S{ubhi>}. Ulu>m al- {adi> wa Mush alah, terj. Tim Pustaka Firdaus, Membahas
21