Prinsip-Prinsip Menafsirkan Alquran

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Prinsip-prinsip menafsirkan alquran

A. Standar dalam menafsirkan alquran


Para ahli menggunakan beberapa istilah untuk menjelaskan prinsip-prinsip dasar tafsir.
Di antaranya adalah Shurut al-Mufassir, Adab al-, dan Ummahat Ma’akhid al-Tafsir. Istilah-
istilah tersebut digunakan secara parsial, tidak disistemasikan secara tegas dalam topik prinsip-
prinsip dasar tafsir (asas al-tafsir). Karenanya, diperlukan media secara metodologis untuk
memahaminya secara komprehensif(Huda, 2018).
Prinsip-prinsip dasar tafsir diklasifikasikan ke dalam empat bagian, yakni: (1) aspek metodologis
(prosedur), (2) ilmu-ilmu yang diperlukan, (3) kriteria /kualifikasi personalitas, dan (4) etika.
Pertama, aspek metodologis (prosedur):
1) Menafsirkan, lebih dulu, al-Qur’an dengan al-Qur’an.
2) Mencari penafsiran dari al-Sunnah.
3) Meninjau pendapat para sahabat.
4) Memeriksa pendapat tabi’in.
Kedua, ilmu-ilmu yang diperlukan:
(1) Bahasa, (2) Nahwu, (3) Tasrif, (4) Ishtiqaq, (5) Ma’aniy, (6) Bayan, (7) Badi‘, (8) Qira’ah,
(9) Usul al-Din, (10) Usul al-Fiqh, (11) Asbab al-Nuzul, (12) Nasikh-Mansukh, (13) Fiqh, (14)
Hadis-hadis tentang penafsiran lafal mujmal dan mubham, dan (15) Mawhibah.20 Ketiga,
kriteria/kulalifikasi personalitas: Seorang mufassir disyaratkan memenuhi kriteria: (1) berakidah
yang benar, (2) bersih dari hawa nafsu, (3) berpengetahuan bahasa Arab, dengan segala
cabangnya, (4) berpengetahuan bahasa, (5) berpengetahuan pokok-pokok ilmu yang berkaitan
dengan al- Qur’an, (6) berkemampuan pemahaman yang cermat.
Keempat, etika.
(1) Berniat baik dan bertujuan benar, (2) berakhlak baik, (3) taat dan beramal, (4) berlaku jujur
dan teliti dalam penukilan, (5) tawaddu’, (6) berjiwa mulia, (7) vokal dalam menyampaikan
kebenaran, (8) berpenampilan baik, (9) bersikap tenang dan mantap, (10) mendahulukan orang
lain yang lebih utama daripada dirinya, (11) mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah
penafsiran secara baik.23 Khusus aspek ketiga dan keempat, pemisahan antara keduanya
didasarkan pada
alasan substantif-tipikal masingmasing. Aspek kualifikasi personal merupakan segi statis yang
bercirikan kedirian (individualisasi) mufassir. Sementara aspek etika merupakan segi dinamis
dalam interaksi kedirian mufassir dengan pihak di luarnya. Apabila keempat aspek tersebut
disimplifikasikan, maka aspek pertama dan kedua dapat disatukan kedalam aspek tafsir
(metodologis), sedangkan aspek ketiga dan keempat ke dalam aspek mufassir(Huda, 2018).
Prinsip penafsiran menurut Ibnu Taymiyah terdiri dari :
a. Semua ayat-ayat Al-Qur‘an telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. karena sudah menjadi
tugas Rasul untuk menerangkan dan memberi contoh bagaimana mengaplikasikan setiap ayat
dalam Al-Qur‘an tersebut dalam kehidupan sehari-hari ummatnya. Sehingga tidak ada satu
ayatpun yang luput dari penjelasan Rasul SAW.
b. Perbedaan penafsiran yang terjadi di kalangan mufassir bersifat variatif, sehingga dapat
dikompromikan dan tidak menghilangkan makna yang dimaksud oleh mufassir lain. Hal ini
disebabkan oleh penggunaan istilah yang berbeda untuk mengungkapkan maksud yang sama,
penggunaan istilah yang khusus untuk menerangkan yang umum, penggunaan kata yang
memiliki banyak makna dan penggunaan istilah yang berdekatan maknanya.
c. Sumber periwayatan yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan dalam penafsiran. Sumber
periwayatan yang shahih dapat diterima oleh semua pihak, tetapi sumber periwayatan yang
lebihrendah tingkat keshahihannya akan menimbulkan penerimaan yang berbeda dan berakibat
pada penafsiran yang berbeda pula. Hal-hal yang pokok dan penting dalam agama Islam pasti
mempunyai periwayatan yang shahih. Oleh karenanya, penguasaan sumbersumber periwayatan,
ilmu hadis dan mustholah hadis menjadi penting untuk mendapatkan penafsiran yang benar akan
ayat-ayat Al-Qur‘an serta mengurangi perbedaan antar golongan.
d. Istidlal yang berbeda akan berakibat kepada penafsiran yang berbeda pula.
e. Metode terbaik dalam penafsiran Al-Qur‘an adalah dengan mengikuti penafsiran generasi
terdahulu ummat ini, yaitu dengan menafsirkan ayat AlQur‘an dengan ayat Al-Qur‘an yang lain.
Setelah itu, menafsirkan Al-Qur‘an dengan menggunakan hadis yang shahih karena apa yang
dikatakan dan dilakukan oleh Rasul saw. dalam kehidupannya merupakan cerminan dari ayat-
ayat Al-Qur‘an. Selanjutnya menggunakan pendapat para sahabat Rasul saw. sebagai sosok-
sosok secara langsung mendengar dan menyaksikan implementasi Al-Qur‘an dari/oleh Rasul
saw. Apabila tidak deketemukan penafsiran atau penjelasan dengan ketiga cara di atas, maka
penafsiran dari tabi'in pun diambil sebagai sumber penafsiran, meskipun tidak semua ulama
sepakat dengan hal ini. Dalam hal ini Ibnu Taymiyah membahasnya sebagai cara atau proses
penafsiran Al-Qur‘an dan tidak membahasnya sebagai sebuah jenis tafsir yang oleh ulama lain
dimasukkan sebagai tafsîr bi al-ma'tsûr yang kemudian memunculkan diskusi tentang posisi
penafsiran Al-Qur‘an dengan Al-Qur‘an dalam tafsîr bi al-ma'tsûr. Tetapi diakui oleh para ulama
bahwa cara / thuruq yang dituliskan Ibnu Taymiyah merupakan cara terbaik dalam penafsiran
Al-Qur‘an.
f. Penafsiran Al-Qur‘an tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan ra'yu saja, tanpa bersandar
kepada nash. Hal ini akan tertolak meskipun hasil penafsiran yang dilakukan adalah
benar(Mutmainah, 2014).

Beberapa prinsip-prinsip pemahaman teks yang dipegang teguh oleh Husein dalam memahami
ayat-ayat relasi gender dalam karya karyanya.
Pertama, Prinsip Alquran sebagai kitab Hidayah, berdasarkan pada beberapa ayat Alquran, ia
mengasumsikan bahwa Alquran adalah kitab petunujuk (hidayah) dan rahmat. Baginya, Alquran
sudah menjelaskan dengan terang bahwa ia adalah buku hidayah (hudan li al-nas) dan untuk
menebar kerahmatan semesta (rahmatan lil‘alamin). Kedua pernyataan ini menurutnya
memberikan penjelasan bahwa Alquran merupakan kitab (bacaan) yang terbuka (inklusif) bagi
setiap manusia dimanapun dan kapanpun terhadap orang-orang yang menginginkan terwujudnya
sistem kehidupan yang berkeadilan, merahmati, dan yang mensejahterakan seluruh umat
manusia. Terma kerahmatan ini mengandung makna kebaikan, kasih sayang, cinta kebebasana,
kesetaraan, keadailan, dan norma norma kemanusian lainnya. Menurutnya hakikat dari nilai-nilai
itu adalah tujuan moral yang ingin diwujudkan dalam tata kehidupan manusia, nilai-nilai tersebut
menurutnya diturunkan dan dikembangkan dari prinsip utama Islam yakni tauhid. Alquran
adalah korpus terbuka untuk diakses oleh manusia dalam mewujudkan universalime Islam.
Kedua, memahami Alquran berarti Mengetahui dengan jelas kondisi dan konteks (muqtdhayat
al-Ahwal) dari ayat yang akan dibahas. Prinsip ini kemudian dielaborasaikan pada pentingnya
bagi seseorang yang akan memahami Alquran mengetahui asbab al-Nuzul, makiyyah-
madaniyyah dan muhkam- mutashabbih.
Ketiga, memahami kondisi bahasa (nafs al-Lughah) misalnya melakukan diferensiasi antara
narasi berita dan narasi perintah atau larangan dalam memahami aspek cara mengungkap sisi
petunjuk dalam Alquran . Menurutnya petunjuk itu dinarasikan pada dua bentuk, yakni narasi
berita (khabari, deskriptif) kedua narasi perintah atau larangan (thalabi, preskreptif). Yang harus
selalu diperhatikan menurutnya bahwa melakukan pemahaman narasi perintah atau larangan itu
tidaklah mudah. Preksriptif tidak selalu bermakna kewajiban (li al-Qujub) dan keharaman (li al-
Tahrim). Perintah dapat diartikan anjuran, saran atau himbauan, bahkan ancaman. Larangan
dapat diartikan peringatan, tidak dianjurkan dan sebagainya. Pemahaman terhadap hal- hal
tersebut memerlukan referensi-refensi (dilalah) lain yang mendukungnya. Narasi pereksriptif
inilah yang kemudian banyak menjadi perhatian bagi ahli hukum (fuqaha).
Keempat, prinisp berikutnya dalam memahami teks Alquran , sesorang harus dengan jelas
mengetahui konteks mukhatab (audiens), konteks mukhatib (pembicara), sesorang harus lebih
dulu mengetahui apakah ayat ini berkaitan dengan pembahasan akidah, ibadah, atau muamalah,
karena dengan mengetahui hal tersebut seorang pembaca Alquran dapat memhami posisi
mukhatib berbicara sebagai naqid, mukhbir atau mubtakir. Sedangkan menyertakan pengetahuan
tentang audien (mukhatab) ketika memahami Alquran dapat menjaga dari kesalahan pemahaman
tentang maksud ayat. Posisi mukhatab yang dimaksud dalam ayat yang sedang dikaji dapat
diketahui dengan melihat pada asbab al-Nuzul atau kajian pada apakah ayat ini makiyyah atau
madaniyah. Kedua kajian itu hakekatnya dapat membantu seorang pengkaji Alquran mengetahui
tradisi, adat istiadat masyarakat Arab dalam berbahasa, bertingkah laku dan berinteraksi ketika
teks-teks Alquran diturunkan (al-umur al-kharijiyyah) dari ayat itu sekaligus juga memperkaya
pengetahuannya tentang horison teks baik tentang al-sawabiq (konteks yang telah lalu) dan
lawahiq (konteks yang menyertainya) serta hal-hal yang tidak terbatas lainnya. Kelima,
menurutnya teks Alquran yang bersifat partikular tidak dapat membatasi teks universal. ia
melakuakan prinsip melakukan diferensiasi antara ayat ayat partikular dan ayat ayat universal.
Menurut Husein ada dua kategori teks, yakni teks-teks universal dan teks-teks partikular. Teks
universal adalah teks yang mengandung prinsip-prinsip kemanusian untuk semua orang disegala
ruang dan waktu (kemanusian universal) dinataranya yang tertuang dalam DUHAM dan juga
kulliyat al- Khams-nya al-Ghazali. Teks universal ini menurut Husein adalah apa yang
dikategorikan muhkamat oleh pada ulama.24 Sedangakan teks partikular adalah teks -teks yang
menunjukan pada kasus tertentu. Teks partikular muncul sebagai respon atas suatu kasus atau
peristiwa, oleh karena itu teks ini bersifat selalu terkait dengan kasus tertentu, karenanya teks
partikular harus dimaknai secara kontekstual. Isu-isu kepemimpinan laki-laki atas perempuan,
perwaliyan perempuan, poligami, kewarisan dan lain lain adalah contoh teks-teks partikular. Ia
juga termasuk pada kategori Mutashabihat, interpretable, dan dapat dinterpretasikan karena dapat
menghasilkan pemahaman yang berbeda-beda. Mayoritas ulama ahli hukum biasanya
berpendapat bahwa jika terjadi pertentangan anatara teks universal dan teks- tesk partikular,
maka teks partukular membatasi teks universal. Husein Muhammad mengikuti pendapat al-
Shatibi yang menolak pandangan di atas25. Artinya baginya teks partikular tidak dapat
membatasi teks universal. Alasan yang dipegangnya bahwa ia percaya pesan pesan agama yang
ditulis dalam teks Alquran itu selalu mengandung tujuan dan ruh kemanusian. Tujuan ini dapat
dipelajari dan diwujudkan karena ia bersifat rasional, dan bukan hal yang harus terkait dengan
kebenaran scriptural. Prinsip inilah yang kemudian melahirkan prinsip berikutnya, yakni prinsip
hasil penafsiran sebagai bentuk pemahaman dari teks Alquran tidak boleh bertentangan maqasid
al-Shari’ah atau kulliat al-Khams.
Keenam, bahwa hasil penafsiran sebagai bentuk pemahaman dari teks Alquran tidak boleh
bertentangan maqasidal-syariah atau kulliat al-Khams. Sebenarnya prinsip ini berjalin kelindan
dengan basis teologi pemikirannya tentang konsep tauhidullah dan asumsi dasar bahwa Alquran
itu petunjuk dan rahmat lil ‘alamin. Prinisp di atas mencerminin premis mayor dari pemikiran
Husein adalah menganggap bahwa Alquran itu hudan li al-Nas (petunjuk bagi manusia) dan
rahmatan li al-‘Alamin (kesejahteraan bagi manusia), oleh sebab itu maka pemahaman pada teks
Alquran harus sejalan dengan prinsip maqasid al-Shari’ah.
Ketujuh, menurut Husein Muhammad, Pemahaman atas teks juga bisa dilakukan dengan
menggunakan nalar rasional (ihalah ‘ala dalil al-Naql), melalui indilkasi-indikasi sejumlah
konteks, isyarat-isyarat, simbol- simbol (rumuz). perubahan-perubahan (harakat), konteks yang
mendahuluinya (al- sawabiq) dan lawahiq (konteks yang menyertainya) serta hal-hal yang tidak
terbatas.
Kedelapan, Prinsip Sunnah Nabi Sebagai Metode Ijtihad. Sunnah nabi disini tentu saja bukan
hadis-hadis literal yang sudah dibukukan dalam kitab kitab hadis populer dan ternama. Jika
selama ini sunnah nabi dijadilkan sumber hukum dalam ijtihad, maka tidak demikian halnya
dengan Husein. Ia menganggap sunah nabi sebagai produk ijtihad nabi yang dinamis.
Menurutnya agak sulit jika memahami Alquran hanya dilakukan sendiri tanpa mmeperhatikan
sejarah kehidupan nabi, karena ayat-ayat itu bersifat situasional, dan juga tidak mungkin ayat-
ayat iti diajarkan tanpa menyinggung aktifitas nabi yang meliputi politik, ekonomi dan
pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, hanya dengan mengetahui kehidupan nabi dan zamanya,
ajaran Alquran akan memiliki pertalian yang logis. Sebab itu sunnah nabi memiliki posisi yang
penting. Dan sunnah nabi itu harusnya diinterpretasikan pada nilai- nilai yang dapat
diadaptasikan dengan konteks kekinian. Konsep sunnah menurut Husein Muhammad adalah
konsep pengayoman daripada sebuah kandungan khusus yang mutlak.
Kesembilan,Husein mendasarkan penafsirannya pada prinsip-prinsip agama Islam, yaitu
keadilan ('adalah), musyawarah (shura), persamaan (musawah), menghargai kemajemukan
(ta'addudiyah), bertoleransi terhadap perbedaan (tasamuh), dan perdamaian (ishlah).
Sebagai feminis muslim, Husein Muhammad telah mencoba merespon persoalan kehidupan
kontemporer dengan paradigma metodologis tafsir feminis. Prinsip-prinsip pernafsirannya
sebenarnya bernuansa Hermneutis. Hanya saja ia tidak melandaskan pikirannya pada para filosof
barat. Dengan jeli ia telah melandaskan pemikirannya pada dua pemikir ternama di dunia Islam
yakni al-Ghazali dan al-Shathibi. Prinsip penafsiran yang berkaiatan dengan teks yang diambil
dari al-Shathibi prinsip tentang pengetahuan sejumlah kondisi dan konteks (muqtdhayat al-
ahwal), kondisi bahasa (nafs al-Lughah), konteks mukhat}ab (audiens), konteks mukhat}ib
(pembicara), Sedangkan prinsip pemahamn dari sisi horison konteks teks dengan mengetahui
konteks yang lebih luar (al-Umur al-Kharijiyyah) yakni pemahaman tentang tradisi, adat istiadat
masyarakat Arab dalam berbahasa, bertingkal laku dan berinteraksi ketika teks-teks Alquran
diturunkan. Pemahaan atas teks juga bisa dilakukan dengan menggunakan nalar rasional (ihalah
‘ala dalil al-Naql), melalui indilkasi- indikasi sejumlah konteks, isyarat-isyarat, simbol simbol
(rumuz). perubahan-perubahan (harakat), konteks yang mendahuluinya (al- sawabiq) dan
lawahiq (konteks yang menyertainya) serta hal-hal yang tidak terbatas(Zulaiha, 2018)
B. Kaidah-kaidah tafsir
Kaidah-kaidah tafsir terdiri dari kaidah dan tafsir, secara etimologi kaidah-kaidah dalam
bahasa arab disebut denga qawa’id merupakan bentuk jamak dari qa’idah yang secara
etimologi berarti peraturan, undang-undang, dan asas. Sedangkan secara terminologi kaidah
didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang
mencakup semua bagian-bagiannya.(Khoiri, 2015)
Qawa`id adalah bentuk jamak dari Qa`idah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “kaidah” dengan makna: rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah
pasti; patokan; dalil (dalam matematika). Dalam bahasa Arab makna Qaidah adalah:
peraturan, prinsip, dasar, asas, pondasi, model, pola, mode(Syamsuri, 2011).
Sedangkan tafsir dalam bahasa arab berasal dari kata -fasara - secara bahasa penjelasan,
memberi komentar, penjelasan dari sebuah ayat yang sulit difahami, memperlihatkan.
Sedangkan tafsir secara terminologi adalah ilmu yang membahas terhadap al-Qur’an dari
aspek petunjuknya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dengan kapasitas yang dimiliki
manusia.7 Selain terminologi tafsir tersebutl, ‘Ali al-Jurjani pun mendefinisikan
bahwasannya tafsir adalah menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat, keadaanya,
kadungannya, serta sebab-sebab diturunkannya, dengan melihat lafaz yang jelas. Dengan
berdasarkan penjelasan di atas kaidah-kaidah tafsir atau qawa’id tafsir adalah sebuah undang-
undang yang disusun oleh ulama dengan kajian yang mendalam untuk digunakan memahami
makna-makna al-Qur‟an, hukum-hukum serta petunjuk-petunjuk di dalamnya. Atau juga
dapat didefinisikan dengan ketetapan-ketetapan yang dapat membantu mufasir dalam
menarik makna-makna serta pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Qur‟an dan mengurai
kemusykilan di dalamnya.(Khoiri, 2015)
Tafsir secara etimologi bermakna; menyingkap/membuka dan penjelasan mengeluarkan
sesuatu dari tempat tersebunyi/samar ke tempat yang jelas/terang. Definisi tersebut
menegaskan bahwa kaidah mencakup semua bagian-bagiannya. Maka kaidah tafsir
didefinisikan sebagai “Ketentuan umum yang membantu seorang penafsir untuk menarik
makna atau pesan-pesan al-Qur’an”.
Kaidah dasar penafsiran mencakup :
1. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Al- Qur’an kita sudah ketahui bahwa beberapa ayatnya ditafsirkan bagian ayat
lainnya, adakalanya suatu ayat menjelaskan ayat-ayat yang disebutkan secara ringkas
dengan ayat yang lebih luas, adakalanya suatu ayat menafsirkan makna ayat yang
global (mujmal) dengan yang terperinci (mufashshal).
Adapun contoh penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an sebagai berikut:
Terjemahnya:
Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa(Q.S.2 :2)
Ayat di atas ditafsirkan oleh ayat selanjutnya:
Terjemahnya:
“yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka.”(Q.S.2 :3)
2. Penafsiran al-Qur’an dengan Hadis Nabi.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa Nabi Muhammad saw. telah menjelaskan
seluruh makna ayat-ayat al-Qur’an, dimana NabiMuhammad saw. tidak temukan maka
penafsiran al-Qur’an dengan sabda Nabi saw. sebagaimana dalam QS. An-Nisa’ ayat
15:

Terjemahnya:
Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka
telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Ayat di atas ditafsirkan oleh hadis Nabi saw: Seorang perawan dan Jejaka (yang
melakukan zina) dihukum 100 kali dera dan pengasingan selama satu tahun.
3. Penafsiran al-Qur’an dengan Pendapat Sahabat.
Sahabat termasuk orang yang mengetahui hal ihwal ketika al-Qur’an dinuzulkan,
karena mereka mempunyai kemampuan untuk memahami al-Qur’an secara benar dan
pengalaman yang saleh.
Adapun instrumen yang dipergunakan sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an
mencakup pengetahuan bahasa Arab, pengetahuan tentang tradisi dan kebudayaan
bangsa Arab, pengetahuan tentang Yahudi dan Nasranidi Arab ketika itu, dan
kejeniusan mereka.contoh atsar sahabat yaitu penafsiran Ibn Abbas tentang dalam QS.
Al-Nisa’ ayat 2 dengan dosa besar.

4. Penafsiran al-Qur’an dengan Pendapat Tabi’in.


Penafsiran al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in terdapat perbedaan pendapat
yang cukup tajam, sebagian pendapat mengatakan bahwa penafsiran dengan pendapat
Tabi’in termasuk penafsiran dengan al-ra’yu. tidak lebih dari seorang mufassir (selain
Nabi dan sahabat).
Pendapat lain yang mengatakan pendapat Tabi’in termasuk tafsir ma’tsur.
Alasannya, penafsiran mereka diakui juhur berdasar pada apa yang mereka terima dari
sahabat(Nur, 2013).
Ada beberapa kaidah yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an, Diantaranya:
1. Kaidah Bahasa
Pendekatan bahasa yang dilakukan dalam memberikan penafsiran terhadap Alquran
sangat penting karena Alquran sangat sarat makna, dan tidak akan diketahui hakikat
makna yang terkandung di dalamnya tanpa pengetahuan yang dalam tentang ilmu bahasa
Arab. Ilmu tafsir sangat membutuhkan bantuan berbagai ilmu lain, antara lain ilmu
bahasa (Al-’Aridl, 1994: 4). Kaidah bahasa berfungsi untuk mengetahui penjelasan kosa
kata dan arti yang dikandung berdasarkan maknanya.(Pangeran, 2007)
Pentingnya menggunakan kaidah kebahasaan dalam memahami ayat Alquran adalah
karena ayat-ayat Alquran yang memiliki sejumlah makna tidak mungkin hanya dipahami
dalam suatu konteks pemahaman sebab tidak terbatas kemungkinan terdapat pengertian
lain terhadap ayat-ayat tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa ayat
Alquran berikut: QS Al-Ma’aarij (70): 19 – 22 : Terjemahnya: Sesungguhnya manusia
diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir; Apabila ia ditimpah kesusahan ia berkeluh
kesah, dan apabila Ia mendapat kebaikan, Ia amat kikir, kecuali orang-orang yang
mengerjakan salat.
Dapat dipahami bahwa apa yang disebutkan oleh Allah dalam ayat tersebut merupakan
suatu hal yang memang secara umum dimiliki oleh setiap manusia dengan tidak melihat
agama dan keyakinan seseorang, kecuali bagi orang-orang yang memiliki keimanan
dengan senantiasa menegakkan ibadah salat dalam kehidupannya. Selanjutnya dapat pula
dilihat pada QS Al-Ashr (103): 1-3 : Terjemahnya : Demi masa. Sesungguhnya manusia
itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran. Kata al-insan yang terdapat pada ayat di atas menunjuk
pada semua manusia, merugi, kecuali orang yang salat dan sabar (Dahlan, t.th.,: 61).

2. Kaidah Ushul
Pendekatan dengan menggunakan Kaidah ushul merupakan suatu cara untuk
memahami suatu masalah yang dilihat dari sudut manfaat, sehingga dengan cara ini akan
memungkinkan kita mengetahui makna Alquran, khususnya yang berkaitan perintah
untuk melakukan pekerjaan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.
Pendekatan terhadap ayat-ayat Alquran dengan menggunakan kaidah ushul,
biasanya digunakan pada ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah di Madinah, di mana
isinya menyangkut syariah Islam dengan macam-macam cabangnya. Pada dasarnya,
semua ayat Alquran yang diturunkan di dalamnya memuat berbagai persyaratan atau
kaitan keadaan, maka hukum-hukumnya tidak berlaku secara keseluruhan melainkan jika
di dalam kasus yang hendak ditentukan hukumnya terdapat persyaratan atau kaitan
keadaan tersebut. Penyimpangan atau pengecualian dari ketentuan ini hanya terjadi pada
ayat-ayat tertentu yang sangat sedikit jumlahnya. Banyak mufassir yang memberikan
pemikirannya bahwa persyaratan atau kaitan yang terdapat di dalam suatu ayat tidak
dimaksudkan menjadi syarat atau kaitan berlakunya suatu hukum. Dalam hal ini, yang
perlu diketahui ialah bahwa setiap kata di dalam Alquran pasti mengandung maksud dan
faedah, meskipun tidak berkaitan secara langsung dengan masalah hukum. Perlu pula
diberikan suatu ketegasan di dalam menjelaskan hukum-hukum syara’ baik yang berupa
prinsip-prinsip umum maupun bagian-bagian terperinci dari suatu masalah. Di mana
Alquran selalu menyebutkannya dengan bentuk keadaan yang paling maksimal.
Tujuannya ialah agar kita dapat mengetahui dengan jelas nilai-nilai positif yang terdapat
di dalam suatu perintah ataupun akibat dari sesuatu yang dilarang. Seseorang yang
disebut muslim adalah orang mengakui keesaan Allah, sedangkan ia akan disebut kafir
jika mengingkarinya” (Syaltut, 1986: 18). Oleh sebab itu, dari penjelasan nas-nas yang
terdapat dalam Alquran, jelas diketahui bahwa barang siapa yang menyembah selain
Allah, maka ia dapat dikategorikan sebagai kafir dan musyrik. Demikian pula halnya
mengenai alasannya, kita mengetahui bahwa tindakannya itu tidak mempunyai dalil atau
alasan yang dapat dibenarkan. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Mu’minun (23):
117 : Terjemahnya : Dan barang siapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah
padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya
perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak beruntung.

Jika dilihat makna ayat di atas seakan-akan Allah mengaitkan tindakan syirik dengan
kalimat (yang tidak ada alasannya). Sehingga seolah-olah jika ada alasannya, perbuatan
syirik dapat dibenarkan. Dengan kata lain kalimat tersebut merupakan suatu celaan yang
sangat tajam terhadap orang-orang musyrik atas kebodohannya. Selanjutnya dalam
persoalan yang lain dapat pula kita temukan penafsiran Alquran dengan menggunakan
pendekatan kaidah ushul yang berkaitan dengan masalah larangan berjual beli di saat
azan Jumat dikumandangkan. Hal ini dimaksudkan karena dapat melalaikan ibadah salat
Jum’at” (Abuddin Nata, 1995: 128). Walaupun pada mulanya hal seperti ini masih
dikategorikan bersifat mubah, karena dikhawatirkan akan meninggalkan perintah yang
wajib, maka dapat berubah menjadi haram. Sebagaimana disebutkan dalam QS Al-
Jumu’ah (62): 9 : Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan sembahyang pada han Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Sebaliknya perbuatan yang pada mulanya bersifat
mubah, jika hal itu dianggap sebagai suatu cara untuk melaksanakan perbuatan sunnat
atau wajib, perbuatan tersebut diperintahkan untuk dilaksanakan, sehingga status
hukumnya pun akan berubah menjadi sunnat atau wajib. Dengan kata lain, hukum
perbuatan mubah dapat berubah-ubah sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya.
Perkembangan berpikir manusia senantiasa disertai oleh wahyu yang dapat memecahkan
persoalan yang dihadapi manusia(Pangeran, 2007)

3. Kaidah Logika
Agar pemahaman seseorang terhadap Alquran, dapat lebih mendekati maksud
yang terkandung di dalam ayat-ayat Alquran, pendekatan logika merupakan suatu cara
terbaik, khususnya dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan ketauhidan dan
ilmu pengetahuan. Penggunaan logika sebagai salah satu cara untuk mencerahkan
kandungan Alquran merupakan sebuah keharusan, di mana kenyataan-kenyataan yang
ada baik yang bersumber dan nas-nas aqliah, maupun yang bersumber dan hasil
pengamatan manusia harus mampu dipadukan agar tidak terjadi kesalahan dalam
memahami makna Alquran, khususnya yang berkaitan dengan masalah alam dan
manusia. Seperti halnya dalam setiap ilmu pengetahuan, dalam pemikiran keagamaan
juga ada hubungan penafsiran antara penafsir dan pengalaman (Wilkes, 1985).Salah satu
bukti peran logika dalam memahami ayat-ayat Alquran adalah tentang proses penciptaan
alam. Sebab jika akal digunakan sesuai dengan fungsinya maka akan sampai kepada iman
(Musa, 1988),Jika kita memperhatikan salah satu keunikan Alquran ialah dalam segi
metode pengajaran dan penyampaian pesan-pesannya ke dalam jiwa manusia di mana
metode penyampaian tersebut sangat mudah dipahami, singkat, jelas dan rasional.
(Pangeran, 2007)
Metode tersebut dapat ditemukan misalnya ketika Alquran menjelaskan keesaan
Tuhan dan orang-orang musyrik, tentang sikap dan kenyataan yang akan dihadapi oleh
orang mukmin dan orang musyrik, Hal seperti itu semuanya diungkapkan melalui
perumpamaan yang bersifat konkrit. Dengan demikian, jika mendengarkan dan membaca
Alquran, kita akan dapat merasakan seolah-olah pesan yang disampaikan dapat dirasakan
secara langsung. Tuhan mengumpamakan Alquran seperti hujan yang turun, sedangkan
hati manusia diumpamakan seperti tanah dan lembah (Pangeran, 2007)Sebagai contoh
dari apa yang dikemukakan di atas dapat dikemukakan beberapa ayat Alquran yang
berkaitan dengan penjelasan tersebut, antara lain QS Al-Baqarah (2): 74: Terjemahnya:
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.
Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dan padanya
... Selanjutnya dalam QS. al-A’raf (7): 57 : Terjemahnya : Dan Dialah uang meniupkan
angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan);
hingga apabila angin itu telah membawa awan mengandung air, Kami halau ke suatu
daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan
dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan.
Perumpamaan yang dikemukàkan oleh Alquran tersebut, memberikan pencerahan
pemikiran bagi manusia khususnya menyangkut tentang penggunaan akal dalam
memahami ajaran agama. Penggunaan logika dalam memahami Alquran tidak sebatas
kebutuhan sesaat, tetapi merupakan suatu kewajiban, karena dengan menggunakan akal
yang tepat, manusia akan sampai kepada tujuan hidupnya, yakni mencapai kesejahteraan
hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Akal dalam agama merupakan alat yang
diberikan Tuhan kepada manusia untuk dimanfaatkan dalam mencari dan memahami
segala sesuatu yang terdapat di alam mi, sehingga dengan demikian ia dapat menemukan
hakikat kehidupan yang abadi.(Pangeran, 2007)

Kaidah-kaidah tafsir pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian pokok;
1. Kaidah-kaidah yang bersumber dari disiplin ilmu tertentu seperti ilmu bahasa
dan Ushul Fiqhi. Keragaman sumber itu menjadikan kaidah dimaksud dapat diterapkan
juga dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya dalam bahasa Arab, perbedaan fungsi-
fungsi huruf waw (‫)و‬, tsumma (‫)مﺛ‬, dan fa (‫)ف‬. Demikian juga makna-makna yang
dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata seperti penggunaan fi’il madhi atau fi’il
mudhari, atau perbedaan kandungan makna antara kalimat misalnya jumlah fi’liyah
dengan jumlah Ismiyah. Kaidah-kaidah Ushul Fiqhi juga banyak diadopsi oleh tafsir,
Misalnya : “perintah pada dasarnya mengandung makna wajib, kecuali jika ada yang
mengalihkannya”. Di sini sangat dibutuhkan keluasan ilmu agar dapat menemukan dalil-
dalil yang mengalihkannya itu. Saat ini kajian sastra dan bahasa Arab dalam Alqur’an
terus berkembang dan makin banyak penemuan-penemuan baru tentang kehebatan
Alqur’an.
2. Kaidah yang khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah masuk ke
dalam penafsiran agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan. Misalnya; Kaidah- kaidah
yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran. Demikian
pula yang menyangkut sistimatika penyusunan urutan uraian. Misalnya kapan
didahulukan, uraian Asbab al-Nuzul dari munasabah ayat dan kapan sebaliknya.
Bagaimana sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al- Qur’an, apakah maknanya
sama atau berbeda. Demikian juga, apakah dalam al- Qur’an ada kata atau huruf yang tak
bermakna (zaidah) dan seterusnya.
3. Kaidah yang diambil dan bersumber langsung dari pengamatan terhadap al-
Qur’an dan boleh jadi tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu yang lain.
Misalnya penggunaan bentuk fi’il Mudhari untuk suatu peristiwa masa lalu. Kalau al-
Qur’an menggunakan model ini, biasanya dimaksudkan untuk mengisyaratkan keindahan
atau keburukan peristiwa itu. Firman Allah yang menggambarkan pembunuhan orang-
orang Yahudi terhadap Nabi-Nabi yang dilukiskan dengan kata-kata ‫ ءﺎﯾﺑﻧﻻا ﻧوﻠﺗﻘﯾ‬:
yaqtuluna al-anbiya’ yakni dalam bentuk fi’il mudhari, padahal pembunuhan itu telah
berlalu sekian lama.

C. Syarat-syarat mufassir
Syarat mental bagi seorang mufassir adalah
1. Aqidah yang benar, sebab aqidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya dan
seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash dan berkhianat dalam
menyampaikan berita. Apabila seseorang menyusun kitab tafsir, maka di-ta’wi>l-kan
ayat-ayat yang bertentangan dengan aqidahnya dan membawanya pada madzhabnya yang
batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan madzhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan
keterangan menarik seperti dilakukan oleh golongan Qadariyah, Syi’ah Rafidhah,
Mu’tazilah dan para pendukung fanatik madzhab lain sejenis lainnya.
3. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan suatu makna atas
yang lain atau meyimpulkan makna yang sejalan dengan nas}-nas} syariat.
4. Niat yang baik dan bertujuan benar. Sebab amal perbuatan itu bergantung pada
amalnya. Orang yang mempunyai ilmu-ilmu syariat hendaknya mempunyai tujuan dan
tekad membangun kebaikan umum.
5. Berakhlaq baik, karena mufassir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak
akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlaq
dan perbuatan mulia.
6. Taat dan beramal. Ilmu akan lebih diterima oleh khalayak melalui orang yang
mengamalkannya daripada mereka yang hanya memiliki ketinggian pengetahuan dan
kecermatan kajiannya.
7. Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, sehingga mufassir tidak berbicara dan
menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara ini ia akan
terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
8. Tawadlu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh
yang menghalangi seorang ’alim dengan kemanfaatan ilmunya.
9. Berjiwa mulia.
10. Vokal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang haq dihadapan penguasa yang dzalim.
11. Berpenampilan yang baik yang menjadikan mufassir yang berwibawa dan terhormat
dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri dan berjalan.
Namun sikap ini hendaknya tidak dipaksa-paksakan.
12. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara
tetapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap dan jelas, kata demi kata.
13. Mendahulukan orang yang lebih utama darinya. Seorang mufassir hendaknya tidak
gegabah untuk menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih
hidup dan tidak pula merendahkan mereka sesudah mereka wafat. Tetapi hendaknya ia
menganjurkan belajar pada mereka dan membaca kitab-kitabnya(Masrur, 2018).

syarat mental mufassir yang diakui universal sebagai berikut:


1. Aqidah yang benar. Pendapat ini muncul disetiap pendapat ulama;
2. Bersih dari hawa nafsu. Pendapat ini dikemukakan oleh tiga ulama dari lima ulama di
atas. Pendapat ulama ”tidak menafsiri dengan madzhab yang rusak” bisa masuk dalam
sub ini; tidak melampaui batas menafsiri ayat yang menjadi hak prerogatif Allah (bisa
masuk no.2 dan no.6);
3. Niat baik dan tujuan yang benar. Dikemukakan oleh tiga ulama dari lima ulama di atas,
dengan bahasa yang relatif sama.
4. Taat dan mengamalkan ilmunya. Dikemukakan dua ulama dari lima ulama. Banyak
pendapat para ulama di atas yang bersifat partikular yang sebenarnya masuk pada sub ini.
Di antaranya: taat, taqwa, wira’i, jujur, akhlaq yang baik, penampilan yang baik, tawadu’,
lemah lembut, berjiwa mulia, bersikap tenang, vokal menyampaikan kebenaran, zuhud,
mengamalkan isi al-Qur’an dan hadis, mendahulukan orang yang lebih utama darinya.
Imam Zarkasyi dalam al-Burhan berkata, orang yang selalu tenggelam dalam dosa tidak
akan berhasil memahami makna-makna al-Qur’an dan rahasianya.
5. Berpegang teguh pada sunnah diungkapkan tiga ulama dari lima ulama di atas. Poin
nomor empat di atas, juga bisa masuk dipoin nomor lima ini, karena orang yang
mengamalkan poin nomor empat, sebenarnya ia telah mengamalkan ajaran yang terdapat
dalam hadis.
6. Mengerahkan tenaga untuk belajar atau membekali diri dengan ilmu. Hal ini
diungkapkan oleh semua ulama di atas dengan redaksi yang berbeda-beda, namun
meaning-nya sama. Misalnya redaksi: memiliki wawasan agama yang tinggi; tidak
ceroboh dalam menjelaskan al-Qur’an tanpa menguasai bahasa Arab, dasar-dasar syariat,
dan ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam penafsiran; Manhaj yang benar; pemahaman yang
cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan suatu makna atas yang lain atau
meyimpulkan makna yang sejalan dengan nas-nas syariat; tidak melampaui batas
menafsiri ayat yang menjadi hak prerogatif Allah; tidak membabi-buta menyatakan
pendapatnya(Masrur, 2018).

Huda, S. (2018). Tafsir al-Qur’an: Konsep Dasar, Klasifikasi, dan Perkembangannya.


https://doi.org/10.13140/RG.2.2.21097.39528
Khoiri, A. (2015). BEBERAPA KAIDAH TAFSIR DALAM PERSPEKTIF M. QURAISH
SHIHAB, 38–130.
Masrur, I. (2018). TELAAH KRITIS SYARAT MUFASSIR ABAD KE-21. Studi Al-Quran Dan
Tafsir, 2(2), 191–193. https://doi.org/10.30762/qof.v2i2.557
Mutmainah. (2014). PRINSIP-PRINSIP PENAFSIRAN AL-QUR’AN IBNU TAYMIYAH.
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ).
Nur, J. (2013). QAWA’ID AL-TAFSIR HUBUNGANNYA DENGAN BAHASA ARAB
(Kaidah-Kaidah Dasar yang Harus Dikuasai Dalam Pembelajaran Tafsir). Jurnal Al-Ta’dib,
6(2), 19–29.
Pangeran, I. (2007). BEBERAPA KAIDAH PENAFSIRAN ALQURAN. Jurnal Hunafa, 4(2),
281–290.
Syamsuri. (2011). PENGANTAR QAWA`ID AL-TAFSIR. Sulesana, 6(2), 91–97.
Zulaiha, E. (2018). ANALISA GENDER DAN PRINSIP PRINSIP PENAFSIRAN HUSEIN
MUHAMMAD PADA AYAT-AYAT RELASI GENDER. Al-Bayan: Jurnal Studi Al-
Qur‘an Dan Tafsir, 3(1), 1–11.

Musa, M. Y. (1988). Al-quran dan Filsafat. Jakarta: PT. Bulan Bintang.


Wilkes, K. (1985). Agama dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai