Kultur Jaringan Umbi Mikro Kentang

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

INDUKSI UMBI MIKRO KENTANG (Solanum tuberosum L.

) SECARA IN
VITRO DENGAN BEBERAPA KONSENTRASI KINETIN

MINI RISET

Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Kasutjianingati., M.Si


Vega Kartika Sari, S.P, M.Sc
Sepdian Luri Asmono, S.P., M.Si
Teknisi : Riani Ningsih., S.ST
Suseno Edi N., A.Md

Kelompok 1 Golongan A
1. Nadia Putri Lestari (A31170172)
2. Ridwan Akhfany (A31170358)
3. Sri Lestari (A31170744)

PROGRAM STUDI PRODUKSI TANAMAN HORTIKULTURA


JURUSAN PRODUKSI PERTANIAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER

2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu jenis
tanaman hortikultura yang dapat dikonsumsi umbinya. Saat ini pendayagunaan
kentang semakin meluas. Tanaman kentang memiliki prospek yang cukup baik
apabila dikembangkan di Indonesia (Minarsih, 2004). Kendala utama dalam
peningkatan produksi kentang adalah pengadaan kentang berkualitas yang belum
memadai. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut adalah
dengan memanfaatkan bioteknologi yaitu melalui kultur jaringan. Melalui teknik
in vitro pada tanaman kentang dapat dihasilkan benih berupa umbi mini atau umbi
mikro (Mellor and Stace Smith, 1987).
Penggunaan umbi mikro sebagai salah satu propagul kentang memiliki
beberapa keunggulan, antara lain: (1) propagul umbi mikro berasal dari eksplan
bebas penyakit akan menghasilkan umbi mikro nyang bebas penyakit, (2) umbi
mikro akan menghasilkan tanaman yang seragam dan umur panen yang sama
dengan umbi biasa, (3) kebutuhan lahan untuk umbi mikro hanya 4-5 kg/Ha
dibandingkan dengan umbi biasa yang memerlukan 1-2 ton bibit/Ha, (4) mudah
dalam penyimpanan transportasi dan pengiriman, (5) mudah memenuhi
persyaratan karantina untuk lalulintas propagul unggul baik dalam maupun luar
negeri (Wattimena, 1995). Menurut Inawati (1989), untuk bibit, umbi mikro lebih
mudah digunakan daripada stek mikro, karena umbi mikro lebih mudah
beradaptasi dengan lingkungan luar sehingga dapat langsung ditanam di lapang
tanpa melalui tahap aklimatisasi, sedangkan stek mikro mutlak memerlukan
aklimatisasi, selain itu umbi mikro lebih mudah disimpan dan dikirim.
Salah satu faktor pendukung pembentukan umbi mikro yaitu inhibitor, dan
zat pengatur tumbuh. Konsentrasi dan jenis ZPT merupakan salah satu komponen
penentu keberhasilan in vitro (Yusnita, 2003). Sitokinin adalah zat pengatur
tumbuh yang memiliki fungsi mendorong pembelahan sel-sel pada tumbuhan
biasanya terakumulasi pada perakaran tunas pucuk serta jaringan meristem yang
aktif melakukan pembelahan. Pada umumnya sitokinin yang digunakan dalam
kultur jaringan ialah kinetin, karena jauh lebih murah dan tahan terhadap
degradasi (Wattimena et al., dalam Adiyanto, 2010). Berdasarkan penelitian
(Ni’mah dkk, 2012), induksi umbi mikro pada kentang kultivar granola kembang
dengan konsentrasi 5 ppm kinetin menghasilkan rata-rata jumlah tunas sebanyak
4,11; rata-rata jumlah nodus sebanyak 39; rata-rata kecepatan waktu induksi umbi
mikro sebesar 64,88 hari; rata-rata jumlah umbi sebanyak 2,22; dan rata-rata berat
basah umbi sebesar 0,31 gram.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diperoleh rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaiamana pengaruh beberapa konsentrasi kinetin terhadap induksi umbi
mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosumL.) ?
2. Pada konsentrasi berapa pemberian kinetin yang paling efektif terhadap
induksi umbi mikro tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi kinetin terhadap induksi umbi
mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)
2. Mengetahui konentrasi kinetin yang paling efektif terhadap induksi umbi
mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Dapat mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi kinetin terhadap induksi
umbi mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)
3. Dapat mengetahui konsentrasi kinetin yang paling efektif terhadap induksi
umbi mikro pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kentang


Kentang memiliki nama ilmiah Solanum tuberosum L. Dalam dunia
tumbuhan, kentang diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum tuberosum L.
Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman dari suku Solanaceae
yang memiliki umbi batang yang dapat dimakan dan disebut “kentang” pula.
Tanaman ini berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran tinggi Andes Amerika
Utara. Daerah yang cocok untuk budidaya kentang adalah dataran tinggi atau
pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.300 meter di atas permukaan laut, dengan
curah hujan 1.500 mm per tahun, suhu rata-rata harian 18-21◦C, serta kelembaban
udara 80-90 persen. Tanaman kentang adalah salah satu tanaman budidaya
tetraploid (2n = 4x = 40) yang merupakan herba (tanaman pendek tidak berkayu)
semusim. Kentang membentuk umbi di bawah permukaan tanah dan menjadi
sarana perbanyakan secara vegetatif. Dalam budidaya kentang, perbanyakan
dilakukan melalui model ini sehingga keragaman kentang di ladang sangat rendah
(Gklinis, 2009).
Kentang merupakan tanaman dikotil bersifat musiman, berbentuk
semak/herba dengan filotaksis spiral. Tanaman ini pada umumnya ditanam dari
umbi (vegetatif) sehingga sifat tanaman generasi berikutnya sama dengan
induknya. Stolon tumbuh secara horizontal sepanjang 12,5-30 cm, menebal bagian
ujungnya untuk membentuk umbi. Periode inisiasi pembentukan umbi terjadi pada
5-7 minggu setelah tanam. Pada saat ini, tinggi bagian tanaman yang tumbuh di
atas permukaan tanah berkisar antara 15-30 cm. Jumlah umbi yang tinggi
memerlukan kondisi yang baik selama minggu pertama dan kedua periode inisiasi
pembentukan umbi (Adiyoga et al., 2004).
Pembentukan umbi membutuhkan panjang penyinaran (fotoperiodisitas)
yang pendek, sedangkan untuk pembentukan bunga memerlukan hari panjang
antara 16-18 jam. Di daerah tropis dengan fotoperiodisitas yang pendek (antara
12-13 jam), pembentukan umbi dimulai lebih cepat, pertumbuhan daun-daun
cepat terhenti, dan kematian daun juga lebih cepat sehingga secara keseluruhan
masa pertumbuhannya lebih pendek (Soelarso, 1997).

2.2 Kultur Jaringan


Kultur jaringan tanaman adalah salah satu pendekatan budidaya pertanian
yang sudah berpijak pada konsep how to create yang melengkapi serta
memungkinkan peningkatan efektivitas dan produktivitas bertanam tradisional
(Santoso dan Nursandi, 2003). Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah
teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan dan sel tanaman. Jaringan dapat
dikulturkan pada agar padat atau dalam medium hara cair (Wetter and Constabel,
1991). Pada pemahaman sederhana Culture mengandung arti budidaya sedangkan
in–vitro dalam botol, berarti Culture in–vitro merupakan budidaya tanaman dalam
botol. Pengertian lebih luas dari istilah itu adalah teknik budidaya sel, jaringan
dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan
aseptik atau bebas mikroorganisme (Santoso dan Nursandi, 2003).
Sel-sel, jaringan atau organ tanaman ditanam secara in-vitro (diluar
lingkungan tumbuhnya) dengan menggunakan larutan bahan hara sintetik,
ternyata dapat beregenerasi menjadi tunas dan akar yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi tanaman normal yang mampu hidup mandiri (Wetter and
Constabel, 1991). Menurut Wetherell (1982), didalam masing-masing sel
tumbuhan mengandung informasi genetik dan atau sarana fisiologis tertentu yang
mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan pada lingkungan yang
sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal dengan sebagai totipotensi. Sel
tumbuhan bersifat totipoten artinya sel bukan embrionik memiliki kemampuan
untuk berdeferensiasi menjadi sel embrionik, kemudian berkembang menjadi
individu baru yang lengkap, jika lingkungan mendukung (Salisbury and Ross,
1995).

2.3 Umbi Mikro


Umbi mikro merupakan umbi yang dihasilkan planlet in vitro. Umbi mikro
lebih mudah ditangani selama proses pengiriman, distribusi, serta penyimpanan
karena ukurannya yang relatif kecil (Perez-Alonso et al. 2010). Namun
pemanfaatannya masih belum optimal, karena masih terkendala oleh terbatasnya
informasi potensi daya hasil umbi mikro dalam menghasilkan benih umbi mini.
Padahal telah banyak publikasi yang melaporkan pemanfaatan umbi mikro dalam
pertukaran plasma nutfah, sebagai benih dasar dalam produksi benih kentang
terutama sebagai bahan dalam memproduksi umbi mini (Nistor et al. 2010,
Bolandi et al. 2011).
Beberapa faktor yang memengaruhi produksi umbi mikro antara lain
genotip (Aslam dan Iqbal 2010, Nistor et al. 2010), media yang meliputi sumber
dan konsentrasi karbon (Altindal dan Karadogan 2010), tanpa atau dengan
kombinasi zat pengatur tumbuh sitokinin (Aslam dan Iqbal 2010), suhu
(Otroshy et al. 2009), bahan pemadat media (Uranbey et al. 2004), dan panjang
penyinaran (Uranbey 2005). Teknik pengumbian in vitro dapat
dilakukan langsung dari penanaman eksplan pada media pertumbuhan yang
sekaligus merupakan media pengumbian (Uranbey 2005) dan tidak langsung
melalui dua tahap, yaitu pertumbuhan planlet dan kemudian periode pengumbian
(Perez-Alonso et al. 2010, Nistor et al. 2010).

2.4 Media Kultur


Kesuksesan kegiatan kultur jaringan akan ditentukan dan sangat
tergantung oleh pemilihan media yang digunakan. Media kultur jaringan
mengandung bahan-bahan esensial dan komponen pengoptimal. Bahan esensial
terdiri atas garam-garam mineral, sumber karbon dan energi, vitamin dan zat
pengatur tumbuh. Sedang komponen yang berperan untuk optimalisasi adalah N-
organik, asam organik subtrat komplek, arang aktif dan lain-lain (Santoso dan
Nursandi, 2003). Wetherell (1982) menyatakan tanaman membutuhkan garam
mineral yang terdiri dari enam elemen makronutrien yaitu Nitrogen, Kalium,
Magnesium, Kalsium, Belerang dan Fosfor. Sedangkan elemen mikro nutrien
terdiri dari tujuh elemen yaitu Besi, Mangan, Seng, Tembaga, Boron,
Molibdenum dan Khlor dalam bentuk ikatan kimia dan perbandingan yang sesuai.
Dwidjoseputro (1980) menyatakan bahwa terdapat persenyawaan N-
organik pada beberapa tumbuhan yaitu asparagin, glutamin dan urea. Asparagin
dan glutamin masuk golongan amida. Glutamin dapat terjadi dari penggabungan
amina kepada gugusan karboksil pada asam glutamat asam amino tertentu atau
amida dapat merangsang pertumbuhan eksplan (Wetherell, 1982). N-organik
sering digunakan karena dianggap bermanfaat, terutama diperlukan pada saat
inisiasi kalus terjadi, atau dapat dipergunakan untuk dapat mempertahankan kultur
kalus atau suspensi yang hendak diarahkan ke tahapan morfogenesis (Santoso dan
Nursandi, 2003).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)


Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (< 1mM) mampu mendorong, menghambat atau secara
kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Santoso dan
Nursandi, 2003). Keberadaan ZPT dalam kegiatan kultur jaringan adalah perlu,
karena kegiatan kultur jaringan menggunakan bahan tanam (sel, jaringan, organ)
dan budidayanya terkendali. Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting
dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat
perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh, antara lain : (1) jenis ZPT yang
akan digunakan, (2) konsentrasi ZPT, (3) urutan penggunaan, (4) periode masa
induksi dalam kultur tertentu, (5) kelemahan aktifitasnya (Gunawan, 1995).

2.6 Kinetin
Kinetin merupakan zat pengatur tumbuh yang tergolong ke dalam sitokinin
sintetik, dalam penggunaannya dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh lainnya,
mempengaruhi proses sitokenesis atau pembelahan sel. Aktivitas ini yang menjadi
kriteria utama untuk menggolongkan suatu zat pengatur tumbuh ke dalam
sitokinin. Kinetin merupakan hormon golongan sitokinin yang pertama kali
ditemukan dan jenis sitokinin alami yang dihasilkan pada jaringan yang tumbuh
aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Kinetin berfungsi untuk pengaturan
pembelahan sel dan morfogenesis (Wetherell, 1982). Kientin sering digunakan
dalam kultur jaringan sebab harganya muraj dan tahan terhadap degradasi
(Wattimena et al, dalam Adiyanto, 2010). Pola pengaruh kinetin terhadap
pengumbian ialah kuadratif, yaitu optimum pada tingkat tertentu dan akan
menurun dengan penambahan kinetin (Inawati, 1989).

2.7 Hipotesis
1. Pemberian beberapa komposisi kinetin terhadap induksi umbi mikro pada
tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)
2. Diperoleh satu komposisi kinetin terbaik dalam induksi umbi mikro pada
tanaman kentang (Solanum tuberosum L.
BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Politeknik Negeri
Jember. Penelitian dimulai pada bulan September 2018 sampai dengan Desember
2018.

3.2 Alat dan Bahan


a. Alat
Alat-alat yang digunakan adalah masker, jas laboratorium, Laminar
Air Flow Cabinet (LAFC), autoclaf, oven, timbangan analitik, gelas ukur,
beaker glass, cawan petri, scapel, pinset, gunting, PH meter, handsprayer,
hot plate magnetic stirer, pipet, micro pipet, lampu bunsen, kulkas, rak
kultur, botol kultur, alat pengaduk, lampu fluroescence, panci, dan
kompor.
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah eksplan, media MS, agar-agar,
aquadest steril, BAP, kinetin, NaOH, HCl, alkohol 96% dan 70%, tissue,
aluminium foil, kertas label, plastik tahan uap air panas.

3.3 Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
menggunakan metode non faktorial, 4 perlakuan dan setiap perlakuan diulang
sebanyak lima kali. Masing-masing unit terdiri dari dua botol, jumlah botol 40,
jumlah eksplan setiap botol tiga eksplan, jumlah eksplan keseluruhan 120,
kebutuhan media setiap botol kultur 25 ml, kebutuhan total media setiap perlakuan
250 ml dan kebutuhan total media dasar yang digunakan 1000 ml.
Non faktorial komposisi media yang terdiri atas 4 perlakuan, yaitu:
(P0) MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP (kontrol),
(P1) MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP + 3 ppm Kinetin,
(P2) MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP + 6 ppm Kinetin,
(P3) MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP + 9 ppm Kinetin.

3.4 Langkah Kerja


3.4.1 Pembuatan Media Perlakuan
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Menimbang gula sebanyak 90 gram gula pasir dan melarutkannya
dengan aquadest sebanyak 200 ml
3. Mengambil dan menuangkan larutan stok A-H satu per satu
kedalam erlenmeyer secara hati-hati sejumlah sesuai dengan
banyaknya media yang akan dibuat dengan pedoman pada hasil
perhitungan yang telah diperoleh
4. Menambahkan aquadest hingga volume larutan 800 ml
5. Membangi larutan sebanyak 200 ml menjadi 4 perlakuan sesuai
masing-masing perlakuan:
a. MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP (kontrol)
1) Menambahkan 3 ppm BAP/l (0,75 ppm/250 ml) BAP
kedalam larutan media
2) Mengukur pH larutan menggunakan pH meter.
Menambahkan NaOH (bila pH terlalu rendah) dan
tambahkan HCl (bila pH terlalu tinggi) sedikit demi sedikit
sampai pH mencapai 5,7 – 5,8
3) Menambahkan aquadest hingga volume 250 ml
4) Menuangkan larutan kedalam panci bersamaan dengan
menuangkan agar-agar sebanyak 8 gr/l (2 gr/ 250 ml)
5) Sambil diaduk terus, memanaskan larutan diatas kompor
sampai agar-agar larut benar
6) Menuangkan media kedalam botol kultur yang telah diberi
label sesuai perlakuan sebanyak 25 ml
7) Menutup botol kultur dengan tutup plastik

b. MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP + 3 ppm


Kinetin
1) Menambahkan 3 ppm BAP/l (0,75 ppm/250 ml) BAP dan 3
ppm Kinetin/l (0,75 ppm/250 ml) Kinetin kedalam larutan
media
2) Mengukur pH larutan menggunakan pH meter.
Menambahkan NaOH (bila pH terlalu rendah) dan
tambahkan HCl (bila pH terlalu tinggi) sedikit demi sedikit
sampai pH mencapai 5,7 – 5,8
3) Menambahkan aquadest hingga volume 250 ml
4) Menuangkan larutan kedalam panci bersamaan dengan
menuangkan agar-agar sebanyak 8gr/l (2 gr/ 250 ml)
5) Sambil diaduk terus, memanaskan larutan diatas kompor
sampai agar-agar larut benar
6) Menuangkan media kedalam botol kultur yang telah diberi
label sesuai perlakuan sebanyak 25 ml
7) Menutup botol kultur dengan tutup plastik

c. MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP + 6 ppm


Kinetin
1) Menambahkan 3 ppm BAP/l (0,75 ppm/250 ml) BAP dan 6
ppm Kinetin/l (1,5 ppm/250 ml) Kinetin kedalam larutan
media
2) Mengukur pH larutan menggunakan pH meter. Tambahkan
NaOH (bila pH terlalu rendah) dan tambahkan HCl (bila
pH terlalu tinggi) sedikit demi sedikit sampai pH mencapai
5,7 – 5,8
3) Menambahkan aquadest hingga volume 250 ml
4) Menuangkan larutan kedalam panci bersamaan dengan
menuangkan agar-agar sebanyak 8gr/l (2 gr/250 ml)
5) Sambil diaduk terus, memanaskan larutan diatas kompor
sampai agar-agar larut benar
6) Menuangkan media kedalam botol kultur yang telah diberi
label sesuai perlakuan sebanyak 25 ml
7) Menutup botol kultur dengan tutup plastik.

d. MS + 90 gr/l gula + 8 gr/l agar-agar + 3 ppm BAP + 9 ppm


Kinetin
1) Menambahkan 3 ppm BAP/l (0,75 ppm/250 ml) BAP dan 9
ppm Kinetin/l (2,25 ppm/250 ml) Kinetin kedalam larutan
media
2) Mengukur pH larutan menggunakan pH meter. Tambahkan
NaOH (bila pH terlalu rendah) dan tambahkan HCl (bila
pH terlalu tinggi) sedikit demi sedikit sampai pH mencapai
5,7 – 5,8
3) Menambahkan aquadest hingga volume 250 ml
4) Menuangkan larutan kedalam panci bersamaan dengan
menuangkan agar-agar sebanyak 8gr/l (2 gr/ 250 ml)
5) Sambil diaduk terus, memanaskan larutan diatas kompor
sampai agar-agar larut benar
6) Menuangkan media kedalam botol kultur yang telah diberi
label sesuai perlakuan sebanyak 25 ml
7) Menutup botol kultur dengan tutup plastik
6. Mensterilkan media tersebut kedalam autoclaf pada suhu 121°C
dengan tekanan 17,5 psi selama 30 menit
7. Setelah sterilisasi, mengangkat media dan menyimpan dalam ruang
penyimpanan media.
3.4.2 Penanaman
a. Persiapan tempat dan alat praktikum
1) Mesterilisasi ruang transfer menggunakan lampu UV selama 60
menit sebelum ruang digunakan
2) Laminar air flow disteril dengan cara menyemprot semua
sisinya termasuk meja kerja dengan alkohol 70% kemudian
dilap hingga kering
3) Memasukkan lampu bunsen, tempat merendam alat disekting,
disekting set dan peralatan yang dibutuhkan kedalam laminar
air flow yang sebelumnya semua peralatan telah disemprot
dengan alkohol 70%
4) Menyalakan lampu dan blower kemudian menyalakan lampu
bunsen
5) Mensterilisasi alat yang akan digunakan dengan cara mencelup
alat kedalam alkohol 96% kemudian dibakar pada lampu
bunsen
6) Ruang dan alat siap digunakan. Sterilisasi alat dilakukan setiap
kali akan digunakan pada setiap tahap pekerjaan.

b. Inokulasi eksplan
1) Menyiapkan alat dan bahan
2) Mengambil botol kultur yang berisi media sesuai perlakuan dan
membuka tutup botol didepan lampu bunsen
3) Mensterilkan pinset, pisau scapel menggunakan alkohol 96%
yang dibakar
4) Membuka botol eksplan kentang yang akan digunakan untuk
inokulasi dan mengambil eksplan kentang secukupnya
menggunakan pinset kedalam cawan petri
5) Melakukan inokulasi dengan cara memotong eksplan kentang
per ruas dan menanam 3 eksplan per botol pada media sesuai
perlakuan
6) Menutup botol kultur dengan rapat dan lapisi dengan plastik
wrap dibagian tutup botol
7) Mengulangi hal yang sama sesuai dengan media perlakuan
sebanyak 5 ulangan dan per ulangan 2 unit sampel.

3.5 Parameter Pengamatan


a. Tinggi tanaman
Pengamatan dilakukan seminggu sekali dengan mengukur tinggi tanaman
menggunakan penggaris dimulai dari bagian pangkal hingga titik tumbuh.
b. Jumlah ruas
Pengamatan dilakukan seminggu sekali dengan menghitung jumlah ruas
yang muncul pada setiap tanaman dalam media perlakuan.
c. Jumlah umbi
Pengamatan dilakukan pada akhir praktikum dengan menghitung
banyaknya umbi yang terdapat pada masing-masing media perlakuan.
d. Bobot umbi
Pengamatan dilakukan pada akhir praktikum dengan cara menimbang
bobot umbi menggunakan timbangan digital pada masing-masing media
perlakuan
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tinggi tanaman


Tabel 1. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap tinggi
tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro.
Rata-rata tinggi tanaman (cm)
PERLAKUAN 7 14 21 28 35 49 56 63
HSS HSS HSS HSS HSS HSS HSS HSS
MS+90 gr gula + 3
0,325 0,72 0,87 1,085 1,18 1,69 1,915 2,12
ppm BAP
MS+90 gr gula + 3
ppm BAP + 3 ppm 0,3 0,675 0,83 1,195 1,19 2,025 3,045 4,215
kinetin
MS+90 gr gula + 3
ppm BAP + 6 ppm 0,335 0,38 0,506 0,875 0,955 1,705 2,035 2,33
kinetin
MS+90 gr gula + 3
ppm BAP + 9 ppm 0,405 0,525 0,34 0,87 0,975 1,595 2,06 2,25
kinetin
Sumber: Data primer,2018
Berdasarkan data diatas bahwa pemberian beberapa konsentrasi kinetin
hasil terbaik pada media perlakuan dengan konsentrasi 3 ppm kinetin. Menurut
Wattimena (1995), pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan tanaman
meningkatkan poliferasi pucuk ketiak. Sitokinin dapat menghambat dominansi
apikal dan merangsang poliferasi tunas ketiak dan munculnya tunas-tunas ketiak
baru (Puspaningtyas, 1988). Adanya sukrosa yang ditambahkan ke dalam media
sebagai karbon dan sumber energi yang digunakan tanaman untuk tumbuh.
Sukrosa memiliki beberapa peran penting dalam media, yaitu sebagai karbon,
sumber energi, pengatur tekanan osmotik, mengatur stabilisai membran, dan
berperan sebagai pelindung terhadap stress. Peran sukrosa dalam mengatur
tekanan osmotik mempengaruhi kemampuan jaringan dalam penyerapan air dari
media ke dalam tanaman. Menurut Srilestari (2005), pada media yang banyak
mengandung sukrosa akan lebih pekat daripada yang sedikit mengandung sukrosa.
Manurung (2007), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi sitokinin
yang diberikan maka jumlah tunas yang tumbuh semakin banyak tetapi
pertumbuhan masing-masing tunas terhambat, karena sitokinin hanya berperan
dalam sitokinesis tetapi tidak dapat meningkatkan pertumbuhan organ. Akibatnya
penambahan sitokinin eksogen tidak lagi berpengaruh, bahkan dapat menghambat
pertumbuhan karena konsentrasi sitokinin menjadi eksesif.
4.5
4
3.5 MS+90 gr gula + 3 ppm
3 BAP
Jumlah

2.5 MS+90 gr gula + 3 ppm


BAP + 3 ppm kinetin
2
1.5 MS+90 gr gula + 3 ppm
BAP + 6 ppm kinetin
1
MS+90 gr gula + 3 ppm
0.5 BAP + 9 ppm kinetin
0
7 HSS 14 21 28 35 49 56 63
HSS HSS HSS HSS HSS HSS HSS

Gambar 1. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap tinggi


tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro

4.2 Jumlah Ruas


Tabel 2. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap jumlah ruas
tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro.

Rata-rata jumlah ruas (helai)


PERLAKUAN 7 14 21 28 35 49 56 63
HS HS HS HS HS HS HS HS
S S S S S S S S
MS+90 gr gula + 3 ppm
0 0 0 1 2,66 4,5 5,56 7,36
BAP
MS+90 gr gula + 3 ppm
0 3 4 2,75 3,29 3,93 3,93 6,45
BAP + 3 ppm kinetin
MS+90 gr gula + 3 ppm
0 0 1 1,66 2,29 2,75 3,5 5,25
BAP + 6 ppm kinetin
MS+90 gr gula + 3 ppm
2 0 4 2,4 2,9 3,63 4,3 5,76
BAP + 9 ppm kinetin
Sumber: Data primer, 2018
Berdasarkan data diatas bahwa hasil terbaik diperoleh dari perlakuan MS
90 gram gula + 3 ppm BAP. Hal ini terjadi sebab, BAP merupakan hormon yang
berperan dalam pembentukan tunas, lebih stabil dan tahan terhadap oksidasi serta
paling murah diantara sitokinin lainnya. Selain itu, BAP berperan dalam mengatur
pertumbuhan daun dan pucuk. Oleh karena itu, dengan adanya penambahan
kinetin menghasilkan jumlah ruas yang sedikit. Dengan adanya penambahan
kinetin dapat menghambat perkembangan ruas tanaman kentang.

6
MS+90 gr gula + 3 ppm
5 BAP
Jumlah

MS+90 gr gula + 3 ppm


4 BAP + 3 ppm kinetin

3 MS+90 gr gula + 3 ppm


BAP + 6 ppm kinetin
2
MS+90 gr gula + 3 ppm
BAP + 9 ppm kinetin
1

0
7 HSS 14 21 28 35 49 56 63
HSS HSS HSS HSS HSS HSS HSS

Gambar 2. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap jumlah


ruas tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro.

4.3 Jumlah umbi


Tabel 3. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap jumlah umbi
tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro.
Jumlah umbi
PERLAKUAN
(buah)
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP 16
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP + 3 ppm
22
kinetin
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP + 6 ppm
10
kinetin
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP + 9 ppm
14
kinetin
Sumber: Data primer, 2018
Dari hasil pengamtan jumlah umbi yang terbentuk hasil terbanyak pada
perlakuan MS 90 gram gula + 3 ppm BAP + 3 ppm kinetin. Hal ini tidak terlepas
dari peran konsentrasi sukrosa dan kinetin yang ditambahkan pada media.
Sitokinin diduga berpengaruh sitokinin terhadap metabolisme karbohidrat,
sehingga akan menyebabkan terjadinya induksi umbi mikro (Wattimena,1995).
Dalam proses metabolisme karbohidrat, sitokinin terlibat dalam proses pengaturan
aktivitas enzim phosporylase dan sintetase tepung (Gunawan,1987). Menurut
Smith (dalam Inawati, 1989), asimilat karbon ditranslokasi ke umbi dalam bentuk
sukrosa, kemudian digunakan sebagai bahan dalam sintesis pati. Pembentukan
pati diawali dengan meningkatnya aktivitas sintesis pati yang berarti terjadi
peningkatan aktivitas enzim ADP-glukosa pirofosforilase dan UDP-glukosa
pirofosforilase. Aktivitas ADP-glukosa pirofosforilase dihubungkan dengan fase
pembagian sel-sel prokambium menjadi umbi.
Menurut Palmer dan Smith (dalam Gunawan, 1987) fungsi sitokinin dalam
pengumbian dan pertumbuhan umbi ialah mengatur aktivitas pembelahan sel dan
khususnya membentuk sebuah wadah baru sebagai tempat hasil asimilasi selain
mengatur laju pembelahan sel dan arah perpanjangan sel. Media dengan
konsentrasi pekat berarti benyak terdapat molekul-molekul, sehingga arah gerakan
difusi ialah ke tempat yang kekurangan molekul atau yang berkonsentrasi rendah.
Sumber karbohidrat dan energi yang biasa digunakan konsetrasinya berkisar 2-
3%. Konsentrasi sukrosa (4-10%) lebih tinggi dari normal (3%) dalam media
kultur jaringan mendorong pembentukan organ-organ penyimpanan dalam
beberapa spesies (Wang dan Hu, dalam Warnita, 2008). Pada tahap awal
pengumbian terjadi pembengkakan dan pembesaran umbi yang merupakan akibat
pembesaran sel yang berfungsi sebagai sel-sel penyimpanan yang baru. Semakin
banyak jumlah umbi yang dihasilkan, maka berat basah umbi mikro juga akan
semakin banyak, dimana umbi mikro dan berat basah umbi mempunyai hubungan
korelasi yang positif.
25

20
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP

15
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP +
3 ppm kinetin

10 MS+90 gr gula + 3 ppm BAP +


6 ppm kinetin
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP +
5 9 ppm kinetin

0
63 HSS

Gambar 3. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap jumlah


umbi tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro.

4.4 Bobot umbi


Tabel 4. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap bobot umbi
tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro.
Bobot umbi
PERLAKUAN
(gram)
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP 5,28
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP + 3 ppm
11,22
kinetin
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP + 6 ppm
1,8
kinetin
MS+90 gr gula + 3 ppm BAP + 9 ppm
3,5
kinetin
Sumber: Data primer, 2018
Berdasarkan data diatas bahwa hasil terbaik dipeoleh dari perlakuan MS 90
gram gula + 3 ppm BAP + 3 ppm kinetin sebesar. Media yang ditambahkan
perlakuan kinetin akan menghambat pertumbuhan vegetatif (tunas dan ruas)
tanaman sehingga energi dan sumber karbon untuk proses tersebut
diakumulasikan untuk membentuk umbi. Menurut Harjadi (1993), jikalau fase
generatif lebih dominan atas fase vegetatifnya, maka penumpukan karbohidrat
dominan atas pemakaiannya sehingga lebih banyak karbohidrat yang disimpan
daripada digunakan. Peningkatan bobot basah merupakan hasil dari aktivitas
pembesaran sel dalam hal ini BAP berperan dalam memacu pembesaran sel, yang
menyebabkan peningkatan bobot basah (Salisbury and Ross, 1995). Menurut
Warnita (2008), berat basah umbi berkaitan dengan jumlah dan ukuran umbi.
Jumlah umbi yang banyak dan diameter umbi yang besar akan memberikan berat
basah yang tinggi.
12

10

0
MS+90 gr gula + 3 MS+90 gr gula + 3 MS+90 gr gula + 3 MS+90 gr gula + 3
ppm BAP ppm BAP + 3 ppm ppm BAP + 6 ppm ppm BAP + 9 ppm
kinetin kinetin kinetin

Gambar 4. Pengaruh pemberian beberapa konsentrasi kinetin terhadap bobot umbi


tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) in-vitro.
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan
bahwa :
1. Hormon kinetin berpengaruh dalam pertumbuhan tanaman kentang, respon
yang dihasilkan ialah pada tinggi tanaman pada konsentrasi 3 ppm kinetin
sebanyak 4,125 pada 63 HSS. Selain itu kinetin juga berpengaruh dalam
pembentukan umbi selain sukrosa.
2. Hasil terbaik untuk induksi umbi mikro dengan menggunakan konsentrasi
3 ppm kinetin. Dimana dengan konsentrasi 3 ppm kinetin mampu
menghasilkan jumlah umbi sebesar 22 buah dengan bobot 11,22 gram.
DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W., S Rachman, T. Agoes, S. Budi. J, K. U. Bagus, R. Rini dan M.


Darkam. 2004. Profil Komoditas Kentang. Balai Penelitian Tanaman
Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia Indonesia
Jakarta.
Gklinis. 2009. Kentang: Sumber Vitamin C dan Pencegah Hipertensi.
http://www.gizi.net/cgi/bin/berita/fullnews.cgi?newssid1084847086,8
0496
Gunawan, L. W. 1995. Teknik Kultur In vitro dalam Hortikultura. Penerbit
Penebar Swadaya. Jakarta.
Inawati, K. 1989. Produksi Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.) Melalui
Manipulasi Media. Diakses melalui
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/38690/A89KI
N.pdf?sequence=1, tanggal 25 Desember 2018.
Manurung LY, Santi. 2007. Pengaruh Auksin (2,4-D) dan Sitokinin
(BAP) dalam Kultur in Vitro Buah Makasar (Brucea javanica [L.]
Merr.) [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Mellor, F. C and R. Stace-Smith, 1987. VirusFree Potatoes Through Meristem
Culture. Biotechnology in agiculture and forestry. Vol. 3 Potato.
Springer – Verlag Berlin Heidelberg.
Minarsih. 2004. Pengaruh Tahap Perbanyakan Bibit Hasil in vitro Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Umbi Kentang (Solanum tuberosum L.).
Skripsi. Universitas Nasional. Jakarta.
Nikmah, F., Ratnasari, E., dan Budiprama, L. S., 2012. Pengaruh Pemberian
Berbagai Kombinasi Konsentrasi Sukrosa dan Kinetin terhadap Indksi
Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.) Kultivar Ganola
Kembang secara In Vitro: Jurnal Lentera Bio. Vol 1, No 1: 41-48.
Salisbury, F. B and C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan ; Perkembangan
Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan. Jilid Tiga. Edisi keempat.
Terjemahan R Lukman dan Sumaryono. ITB. Bandung
Santoso, U dan F. Nursandi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Penerbit Universitas
Muhammadiyah Malang. Malang
Soelarso, B. 1997. Budidaya Kentang Bebas Penyakit. Penerbit. Kanisius.
Yogjakarta.
Warnita. 2008. Modifikasi Media Pengumbian Kentang dengan Beberapa Zat
Penghambat Tumbuh. Diakses melalui
http://repository.unand.ac.id/2529/1/9.__WARNITA.doc, tanggal 31
Desember 2018.
Wattimena G. A. 1995. In-Vitro Microtubers as an Alternative Techology for
Potato Production. Diakses melalui
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs?PNABW179.pdf, tanggal 16 September
2018.
Wetherell, D.F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In vitro. Terjemahan
Koensoemardiyah (ed.). Fivery Publishing Group Inc. Wayne, New
Jersey.
Wetter, L.R and F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi
kedua. ITB. Bandung.
LAMPIRAN

1. Jadwal kegiatan praktikum


No. Tanggal Kegiatan
Pembuatan judul mini riset, pengumpulan artikel, serta pengumpulan
1 14-Sep-18
logbook
2 21-Sep-18 Pengumpulan proposal mini riset
3 28-Sep-18 Pengumpulan revisi proposal mini riset
4 05-Okt-18 Pembuatan media tanam mini riset dan sterilisasi media
5 12-Okt-18 Penanaman kentang mini riset
Pengumpulan proposal mini riset, pembuatan ulang media tanam mini riset,
6 19-Okt-18
pengamatan ke-1
7 26-Okt-18 Pengamatan ke-2
8 02-Nov-18 Pengamatan ke-3, penanaman ulang tanaman mini riset, seminar proposal
9 09-Nov-18 Pengamatan ke-4, penanaman Anggrek Dendobium
10 16-Nov-18 Pengamatan ke-5, pembuatan media tanam anggrek (MS+arang aktif)
11 30-Nov-18 Pengamatan ke-6, penanaman Anggrek Dendrobium
12 07-Des-18 Pengamatan ke-7
13 14-Des-18 Pengamatan ke-8
2. Lampiran Foto
Perlakuan MS + 90 gram gula + 3 ppm BAP
Perlakuan MS + 90 gram gula + 3 ppm BAP + 3 ppm kinetin
Perlakuan MS + 90 gram gula + 3 ppm BAP + 6 ppm kinetin
Perlakuan MS + 90 gram gula + 3 ppm BAP + 9 ppm kinetin

Anda mungkin juga menyukai