KLP 1 Pharmaceutical Care Dan DRP

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 38

Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAGIAN 1
PHARMACEUTICAL
CARE

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 1


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang
menyelenggarakan upaya kesehatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan
pegangan bagi semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia termasuk Puskesmas.
Peningkatan kinerja pelayanan kesehatan dasar yang ada di Puskesmas dilakukan
sejalan dengan perkembangan kebijakan yang ada pada berbagai sektor. Adanya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi diikuti pula dengan menguatnya
kewenangan daerah dalam membuat berbagai kebijakan. Selama ini penerapan dan
pelaksanaan upaya kesehatan dalam kebijakan dasar Puskesmas yang sudah ada
sangat beragam antara daerah satu dengan daerah lainnya, namun secara keseluruhan
belum menunjukkan hasil yang optimal. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan,
yang berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi
masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi
pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan
kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan
untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 2


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

yang berhubungan dengan kesehatan. Tuntutan pasien dan masyarakat akan


peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari
paradigma lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma
baru yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan
Kefarmasian (pharmaceutical care).

B. Ruang Lingkup
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia dan sarana dan prasarana.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 3


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah unit pelaksana teknis dinas


kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.
Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk
penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, dan Analis Farmasi.
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian;
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 4


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.

Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:


a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan:
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:


a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.

Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus


didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sumber daya kefarmasian meliputi:
a. sumber daya manusia; dan

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 5


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

b. sarana dan prasarana.

Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, harus


dilakukan pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian meliputi:
a. monitoring; dan
b. evaluasi.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 6


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang


langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan
Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien.

Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:


1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,
keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien
yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.

Pelayanan farmasi klinik meliputi:


1. Pengkajian dan pelayanan Resep
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Konseling
4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Evaluasi Penggunaan Obat

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 7


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

A. Pengkajian dan pelayanan Resep


Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun
rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
1. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Nama, dan paraf dokter.
3. Tanggal resep.
4. Ruangan/unit asal resep.

Persyaratan farmasetik meliputi:

1. Bentuk dan kekuatan sediaan.


2. Dosis dan jumlah Obat.
3. Stabilitas dan ketersediaan.
3. Aturan dan cara penggunaan.
4. Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat).
Persyaratan klinis meliputi:
1. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
2. Duplikasi pengobatan.
3. Alergi, interaksi dan efek samping Obat.
4. Kontra indikasi.
5. Efek adiktif.

Kegiatan Penyerahan (Dispensing) dan Pemberian Informasi Obat merupakan


kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik Obat, memberikan
label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai
pendokumentasian.
Tujuan:
1. Pasien memperoleh Obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 8


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

2. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan.

B. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan:
1. Menyediakan informasi mengenai Obat kepada tenaga kesehatan lain di
lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.
2. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
Obat (contoh: kebijakan permintaan Obat oleh jaringan dengan
mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang
memadai).
3. Menunjang penggunaan Obat yang rasional.

Kegiatan:
1. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif
dan pasif.
2. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon,
surat atau tatap muka.
3. Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-lain.
4. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
masyarakat.
5. Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
6. Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan

Pelayanan Kefarmasian.
1. Sumber informasi Obat.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 9


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

2. Tempat.
3. Tenaga.
4. Perlengkapan.

C. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal
pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas,
cara penyimpanan dan penggunaan Obat.
Kegiatan:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2. Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh dokter kepada
pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question), misalnya apa
yang dikatakan dokter mengenai Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek
yang diharapkan dari Obat tersebut, dan lain-lain.
3. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat
4. Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan Obat untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.

Faktor yang perlu diperhatikan:


1. Kriteria pasien:
a. Pasien rujukan dokter.
b. Pasien dengan penyakit kronis.
c. Pasien dengan Obat yang berindeks terapetik sempit dan poli farmasi.
d. Pasien geriatrik.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 10


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

e. Pasien pediatrik.
f. Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
2. Sarana dan prasarana:
a. Ruangan khusus.
b. Kartu pasien/catatan konseling.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat
risiko masalah terkait Obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial,
karateristik Obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan Obat,
kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana
menggunakan Obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di
rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat.

D. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara
mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
1. Memeriksa Obat pasien.
2. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
3. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan Obat.
4. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam
terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan, pembuatan
dokumentasi dan rekomendasi.

Kegiatan visite mandiri:


a. Untuk Pasien Baru
1) Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 11


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

2) Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi dan jadwal


pemberian Obat.
3) Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari rumah,
mencatat jenisnya dan melihat instruksi dokter pada catatan pengobatan
pasien.
4) Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan masalah
terkait Obat yang mungkin terjadi.
b. Untuk pasien lama dengan instruksi baru
1) Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan Obat baru.
2) Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah pemberian Obat.
c. Untuk semua pasien
1) Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.
2) Membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian masalah
dalam satu buku yang akan digunakan dalam setiap kunjungan.

Kegiatan visite bersama tim:


a. Melakukan persiapan yang dibutuhkan seperti memeriksa catatan pegobatan
pasien dan menyiapkan pustaka penunjang.
b. Mengamati dan mencatat komunikasi dokter dengan pasien dan/atau keluarga
pasien terutama tentang Obat.
c. Menjawab pertanyaan dokter tentang Obat.
d. Mencatat semua instruksi atau perubahan instruksi pengobatan, seperti Obat
yang dihentikan, Obat baru, perubahan dosis dan lain- lain.

Hal-hal yang perlu diperhatikan:


a. Memahami cara berkomunikasi yang efektif.
b. Memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan pasien dan tim.
c. Memahami teknik edukasi.
d. Mencatat perkembangan pasien.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 12


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya
kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan Obat. Untuk itu, perlu juga
dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan Obat sehingga
tercapai keberhasilan terapi Obat.

E. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan


atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Tujuan:
1. Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal dan frekuensinya jarang.
2. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah sangat
dikenal atau yang baru saja ditemukan.

Kegiatan:
1. Menganalisis laporan efek samping Obat.
2. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping Obat.
3. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
4. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 13


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi


Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan
efek samping.
Tujuan:
1. Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
2. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan Obat.

Kriteria Pasien
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.

5. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit

6. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang


merugikan.

Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Membuat catatan awal.
3. Memperkenalkan diri pada pasien.
4. Memberikan penjelasan pada pasien.
5. Mengambil data yang dibutuhkan.
6. Melakukan evaluasi.

7. Memberikan rekomendasi.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 14


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

F. Evaluasi Penggunaan Obat

Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara terstruktur

dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan sesuai indikasi,

efektif, aman dan terjangkau (rasional).

Tujuan:
1. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
2. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.

Setiap kegiatan pelayanan farmasi klinik, harus dilaksanakan sesuai standar


prosedur operasional. Standar Prosedur Operasional (SPO) ditetapkan oleh Kepala
Puskesmas. SPO tersebut diletakkan di tempat yang mudah dilihat. Contoh standar
prosedur operasional sebagaimana terlampir.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 15


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2016


TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 16


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAGIAN 2
DRUG RELATED PROBLEM

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 17


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DRP (Drug Related Problem) merupakan keadaan yang tidak diinginkan
pasien terkait dengan terapi obat serta hal-hal yang mengganggu tercapainya hasil
akhir yang sesuai dan dikehendaki untuk pasien. Tujuh penggolongan DRp menurut
Cipolle adalah penggunaan obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat
tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terapi yang digunakan terlalu rendah, adverse
drug reactoin, dosis terapi yang trlalu tinggi, dan ketidakpatuhan. Hal-hal yang terkait
dengan DRP seharusnya dapat dicegah dan dikurangi keberadaannya melalui
pengenalan secara awal terhadap adanya DRP oleh seorang farmasis.
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi pasien.
Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya ketidakpatuhan
terhadap program pengobatan. Penyebab ketidakpatuhan tersebut salah satunya
disebabkan kurangnya informasi tentang obat. Selain itu, regimen pengoatan yang
kompleks dan kesulitan mengikuti regimen pengobatan yang diresepkan merupakan
masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Selain maslah
kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang tidak diinginkan dari penggunaan
obat. Dengan diberikannya informasi obat kepada pasien maka maslah terkait obat
seperti penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu
tinggi, dosis subterapi, serta interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep
baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu
penggunaan, saran ketaatan dan pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek
merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk
penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencanapemantauan lanjutan. Selain
itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan menekankan hal-
hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 18


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Drug Related Problem?
2. Bagaimana cara identifikasi Drug Related Problem?
3. Apa saja contoh studi kasus Drug Related Problem?

1.3 Tujuan Makalah


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Drug Related Problem.
2. Mengetahui bagaimana cara identifikasi Drug Related Problem.
3. Mengetahui apa saja contoh kasus Dug Related Problem.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 19


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAB II
ISI

2.1 Pengertian Drug Related Problem (DRP)


Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan,
berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan
pada kenyataannya atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
diharapkan. Drug Related Problem merupakan masalah yang terkait obat dapat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga
terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care Network Europe
mendefinisikan masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian suatu kondisi terkait
dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinik
kesehatan yang diinginkan.
2.1.1 Komponen primer dari Drug Related Problems:
a. Pasien mengalami keadaan yang tidak dikehendaki.
Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit kerusakan, cacat
atau sindrom dan dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisiologis, sosial,
bahkan kondisi ekonomi.
b. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.
Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug Related Problems
(DRPs). Hubungan yang biasanya terjadi antara keadaan yang tidak dikehendaki
dengan terapi obat adalah kejadiaan itu akibat dari terapi obat atau kejadian itu
membutuhkan terapi obat( Cipolle et al., 1998). Drug Related Problems (DRPs)
terdiri dari DRPs actual dan DRPs potensial. DRPs actual adalah problem yang
sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs
potensial adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi
obat yang sedang digunakan oleh pasien (Yunita et al., 2004).
2.1.2 Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :
a. Membutuhkan obat tambahan.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 20


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Penyebabnya yaitu pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profil


aksi atau pramedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan pengobatan
kontinu, memerlukan terapi kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau
potensiasi dan atau ada kondisi kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.
b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.
Hal ini dapat terjadi sebagai berikut: menggunakan obat tanpa indikasi yang
tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat, minum beberapa obat
padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan atau minum obat untuk mengobati
efek samping.
c. Menerima obat yang salah.
Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif, ketidaktepatan
pemilihan obat, alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat yang
diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan atau obat bukan yang paling aman.
d. Dosis terlalu besar.
Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, dan jangka
waktu tidak tepat.
e. Dosis terlalu kecil.
Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, jangka waktu terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan
sediaan yang tidak tepat.
f. Pasien mengalami adverse drug reactions.
Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat yang tidak aman,
pemakaian obat tidak tepat, interaksi dengan obat lain, dosis dinaikkan atau
diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan adverse drug reaction dan atau pasien
mengalami efek yang tak dikehendaki yang tidak diprediksi.
g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum obat
secara benar (non compliance).

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 21


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak
mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk tidak mau
minum obat karena alas an pribadi dan atau pasien lupa minum obat .
Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs)
tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data esensial
dan farmasis bertugas menentukan data apa yang dibutuhkan .
2.1.3 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori
:
a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras,
sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan jantung,
status nutrisi, serta harapan pasien.
b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini dan
masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara
pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.
c. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan,
prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang
yang merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis,
data laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya .
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya
diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta
pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit.
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan
memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu
mudah dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas
kesembuhannya. Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan konseling, edukasi
dan informasi kepada pasien .
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas
hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 22


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs)


adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau
potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical Care
Network Europe., 2006).

2.2 Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)


Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)
mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network
Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping
atau toksisitas.
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan
memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan
kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak
jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat
tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih
besar atau lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak
menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak
diresepkan.
5. Interaksi obat (Interaction)
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang
bermanifestasi atau potensial.
6. Masalah lainnya (Others)

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 23


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang
kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan
klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu
pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi DRP:
1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk
penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien
menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk
daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama
perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien
yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang
sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya,
penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang
tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar
pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP
kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas
atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang
seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat
batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut
sudah mengandung paracetamol.
2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 24


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

 Terapi multi obat (polifarmasi)

Polifarmasi merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh pasien dan


penulisan obat berlebihan oleh dokter dimana pasien menerima rata-rata 8-10
jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan
penyakit dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian
puyer pada anak dengan batuk pilek yang berisi :
a. Amoksisillin
b. Parasetamol
c. Gliseril Guaiakolat
d. Deksametason
e. CTM
f. Luminal

Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, seorang farmasis bisa


menkonfirmasikan atau mendiskusikan terlebih dahulu kepada dokter sehingga
penggunaan yang tidak perlu seperti deksametason dan luminal sebaiknya tidak
diberikan untuk mencegah terjadinya regimen terapi yang salah.
 Frekuensi pemberian

Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara
konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau
4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam
sehari.
Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3
kali sehari.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 25


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin
sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.
 Durasi dari terapi

Contohnya penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu


kurum pengobatan, meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama
sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap
enam jam, untuk antibiotik hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah
berada diatas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit.
b. Pasien menerima obat yang benar tetapi dosisnya terlalu rendah
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis
terapinya. Hal ini dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya
terapi sehingga pasien tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi
kesehatannya. Hal-hal yang menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah
yang terlalu sedikit antara lain ialah kesalahan dosis pada peresepan obat,
frekuensi dan durasi obat yang tidak tepat dapat menyebabkan jumlah obat
yang diterima lebih sedikit dari yang seharusnya, penyimpanan juga
berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat, selain itu cara pemberian
yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang masuk ke dalam
tubuh pasien.
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan kejadian tersebut
yaitu antara lain obat diresepkan dengan metode fixed model (hanya merujuk
pada dosis lazim) tanpa mempertimbangkan lebih lanjut usia, berat badan, jenis
kelamin dan kondisi penyakit pasien sehingga terjadi kesalahan dosis pada
peresepan. Adanya asumsi dari tenaga kesehatan yang lebih menekankan
keamanan obat dan meminimalisir efek toksik terkadang sampai mengorbankan
sisi efektivitas terapi. Ketidakpatuhan pasien yang menyebabkan konsumsi obat
tidak tepat jumlah, antara lain disebabkan karena faktor ekonomi pasien tidak

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 26


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara
menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari
pada penyakit ISFA Pneumonia.
3. Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan
dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko
efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien
menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan
dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat.
Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan,
menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh
kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan
karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak
benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi
obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang
berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik
mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi
ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit
bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi
pada setiap orang.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 27


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

2. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi
alergi mencakup tipe berikut :
a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera
(hipersensitivitas)
b. Tipe II, sitotoksik
c. Tipe III, serum
d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik,
nefropati.
4. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan
karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena
ketidakcukupan adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat
medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
a. Persepsi tentang kesehatan
b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 28


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Akibat dari ketidakpatuhan (non-compliance) pasien untuk mengikuti aturan


selama pengobatan dapat berupa kegagalan terapi dan toksisitas. Ketidakpatuhan
seolah-olah diartikan akibat kelalaian dari pasien, dan hanya pasienlah yang
bertanggung jawab terhadap hal-hal yang terjadi akibat ketidakpatuhannya. Padahal
penyebab ketidakpatuhan bukan semata-mata hanya kelalaian pasien dalam
mengikuti terapi yang telah ditentukan, namun banyak faktor pendorongnya, yaitu :
a. Obat tidak tersedia
Tidak tersedianya obat yang dibutuhkan pasien diapotek terdekat menyebabkan
pasien enggan untuk menebus obat keapotek lain.
b. Regimen yang kompleks
Jenis sediaan obat terlalu beragam, misalnya pada saat bersamaan pasien
mendapat sirup, tablet, tablet hisap, dan obat inhaslasi, hal ini dapat
menyebabkan pasien enggan minum obat.
c. Usia lanjut
Misalnya, banyak pasien geriatrik menggunakan lima atau eman obat-obatan
beberapa kali dalam sehari pada waktu yang berbeda. Kesamaan penampilan
seperti ukuran, warna, atau bentuk obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada
kebingungan. Beberapa pasien geriatrik dapat mengalami hilang daya ingat
yang membuat ketidak patuhan lebih mungkin.
d. Lamanya terapi
Pemberian obat dalam jangka panjang misalnya pada penderita TBC, DM,
arthritis, hipertensi dapat mempengaruhi kepatuhan pasien, dimana pasien
merasa bosan dalam penggunaan obat tersebut yang menyebabkan efek terapi
tidak tercapai.
e. Hilangnya gejala
Pasien dapat merasa lebih baik setelah menggunaan obat dan merasa bahwa ia
tidak perlu lebih lama menggunakan obatnya setelah reda. Misalnya, ketika
seorang pasien tidak menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik setelah ia
merasa bahwa infeksi telah terkendali. Hal ini meningkatkan kemungkinan

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 29


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

terjadinya kembali infeksi, sehingga pasien wajib diberi nasehat untuk


menggunakan seluruh obat selama terapi antibiotik.
f. Takut akan efek samping,
Timbulnya efek samping setelah meminum obat, seperti : ruam kulit dan nyeri
lambung atau timbulnya efek ikutan seperti urin menjadi merah karena minum
obat rimpafisin dapat menyebabkan pasien tidak mau menggunakan obat.
g. Rasa obat yang tidak enak
Masalah rasa obat-obatan paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan
oral oleh anak-anak, misalnya dalam formulasi obat cair oral bagi anak-anak
penambahan penawar rasa dan zat warna dilakukan untuk daya tarik, sehingga
mempermudah pemberian obat dan meningkatkan kepatuhan.
h. Tidak mampu membeli obat
Ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif mahal,
pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi penggunaan obat yang lebih
mahal.
i. Pasien lupa dalam pengobatan.
j. Kurangnya pengetahuan terhadap kondisi penyakit, pentingnya terapi dan
petunjuk penggunaan obat.
Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka,
apalagi manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan oleh obat. Biasanya
pasien menetapkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan pengharapan
yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi harapan,
mereka cenderung tidak patuh. Oleh karena itu diperlukan edukasi pada pasien
tentang kondisi penyakitnya, manfaat serta keterbatasan terapi obat.
Dari beberapa faktor pendorong terjadinya ketidakpatuhan, apoteker
memiliki peran untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan memberikan
informasi tentang pentingnya pengobatan pada keadaan penyakit pasien. Selain
itu, diperlukan juga komunikasi yang efektif antara dokter dan apoteker

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 30


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

sehingga upaya penyembuhan kondisi penyakit pasien dapat berjalan dengan


baik.
5. Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling
tepat dari yang tersedia. Banyak reaksi merugikan dapat dicegah, jika dokter serta
pasien melakukan pertimbangan dan pengendalian yang baik. Pasien yang bijak tidak
menghendaki pengobatan yang berlebihan. Pasien akan bekerjasama dengan dokter
untuk menyeimbangkan dengan tepat keseriusan penyakit dan bahaya obat. Dengan
demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan
spektrum penyakit.
6. Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain
yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat
atau berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua
kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya
efek klinik yang diharapkan. Interaksi obat dapat terjadi sebagai berikut:
1. Obat-Makanan
Interaksi obat-makanan perlu mendapat perhatian dalam kegiatan pemantauan
terapi obat. Ada 2 jenis yang mungkin terjadi:
a. Perubahan parameter farmakokinetik (absorpsi dan eliminasi). Misalnya, obat
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membenuk ikatan
sehingga obat tdak dapat diabsorbsi dan menurunkan efektifitas.
b. Perubahan dalam efikasi terapi obat (misalnya, makanan protein tinggi
meningkatkan kecepatan metabolisme teophillin). Sebagai tambahan, banyak
obat diberikan pada saat lambung kosong. Sebaliknya, terapi obat dapat
mengubah absorpsi secara merugikan dari penggunaan suatu bahan gizi.
2. Obat-Uji Laboratorium

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 31


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Interaksi obat-uji laboratorium terjadi apabila obat mempengaruhi akurasi uji


diagnostik. Interaksi ini dapat terjadi melalui gangguan kimia. Misalnya,
laksatif antrakuinon dapat mempengaruhi uji urin untuk urobilinogen atau oleh
perubahan zat yang diukur. Apabila mengevaluasi status kesehatan pasien
apoteker harus mempertimbangkan efek terapi obat pada hasil uji diagnostik.
3. Obat-Penyakit
Interaksi obat-penyakit juga merupakan masalah yang perlu dipantau. Apoteker
harus mengevaluasi pengaruh efek merugikan suatu obat pada kondisi medik
pasien. Dalam pustaka medik, interaksi obat-penyakit sering disebut sebagai
kontraindikasi absolut dan relatif. Misalnya, penggunaan kloramfenikol dapat
menyebabkan anemia aplastik, dan penggunaan antibiotik aminoglikosida dapat
menyebabkan nefrotoksik.
4. Obat-Obat
Interaksi antara obat-obat merupakan masalah yang perlu dihindari. Semua obat
termasuk obat non resep harus dikaji untuk interaksi obat. Apoteker perlu
mengetahui interaksi obat-obat yang secara klinik signifikan. Suatu interaksi
dianggap signifikan secara klinik jika hal itu mempunyai kemungkinan
menyebabkan kerugian atau bahaya pada pasien. Interaksi antar obat dapat
berakibat merugikan atau menguntungkan. Interaksi obat dianggap penting
secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi
efektivitas obat yang berinteraksi, terutama bila menyangkut obat dengan batas
keamanan yang sempit.

2.3 Studi Kasus DRP (Drug Related Problem)


Dalam ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki
tugas primer yaitu mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai
pengobatan yang rasional dan optimal. Secara ringkas langkah-langkah untuk
mengidentifikasi dan menangani DRPs adalah sebagai berikut :
1. Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 32


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

2. Menentukan penyebab terjadinya DRPs


3. Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs
4. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan
untuk evaluasi

2.3.1 Kasus
CONTOH ANALISA KASUS DRP

Resep
20-7-2011
R/ Metformin 500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide 5 XV
S 1 dd 1
R/ Captopril 50 XLV
S 3 dd 1
R/ furosemid X
S ½-0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin 5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak 50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin 10 XV
S 0-0-1

Pro : Tn. SS (66 tahun)

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 33


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

ANALISA
a. Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi,
hiperkolesterolemia, ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.

b. Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
 Metformin, antidiabetes golongan biguanid
 Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea
 Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin
(ACEI)
 Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
 BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
 Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
 Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
 Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin

Kombinsai metformin dan glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain


berupa hipertensi diperbolehkan. Seperti halnya pada kasus resep nomor 2. Dosis
kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis
maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk
metformin.
Penanganan hipertensi dalam kasus ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi,
yaitu captopril (ACE inhibitor), furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok
kanal kalsium). Kombinasi tersebut diperbolehkan. Dosis furosemid merupakan dosis
terendah yaitu 20 mg, dengan waktu pemberian yang tepat yaitu pada pagi hari.
Sedangkan dosis captopril merupakan dosis maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam
dosis terbagi 3. Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 34


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut
usianya (66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan
furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan
pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah
menurun dan menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang
terlibat dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga
resiko hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia,
ditambah dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa
dipantau.
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam
dosis rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema
perifer. Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian
furosemid, maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis. Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.
Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi
terjadinya ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan
bahwa pasien mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan
diklofenak pada saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang
lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien telah dinyatakan mengalami
sindrom dispepsia.
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat
terapi AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak
mendapat obat untuk indikasi ini. Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati
sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi
hiperlipidemia. Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan.

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 35


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

Pemberian vitamin B kompleks, yang mengandung asam nikotinat, akan membentu


menghambat pembentukan kolesterol dan trigliserida, sehingga akan membantu
menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539)
Interaksi yang mungkin terjadi
1. Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang
digunakan bersama-sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek
hipotensif, ACE inhibitor juga akan bekerja pada sistem kanal kalsium,
meski tidak secara langsung, begitu pun dengan furosemid.
2. Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi
captopril menurun. (DIF)

c. Saran
Dari uraian diatas dapat disarankan :
 Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya, ada
baiknya dosis captopril dikurangi
 Konsumsi captopril 1 jam sebelum makan, untuk menghindari interaksinya
dengan makanan
 Pasien perlu diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih
dalam resep tersebut terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek yang
tidak menyenangkan pada saluran cerna, berupa iritasi lambung (natrium-
diklofenak), mual, muntah, diare (metformin dan glibenklamid). Ranitidine
dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid mungkin perlu
diberikan.
 Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non
farmakologis, berupa diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
 Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
 Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 36


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

BAB III
KESIMPULAN

Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diharapkan,


berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan
pada kenyataannya atau potensial mengganggu keberhasilan penyembuhan yang
diharapkan. Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :
a. Membutuhkan obat tambahan.
b. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.
c. Menerima obat yang salah.
d. Dosis terlalu besar.
e. Dosis terlalu kecil.
f. Pasien mengalami adverse drug reactions.
g. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak
minum obat secara benar (non compliance).

Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)


1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug
Reaction/ADR)
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)
5. Interaksi obat (Interaction)
6. Masalah lainnya (Others)

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 37


Pharmaceutical Care dan Drug Related Problem Farklin 1

DAFTAR PUSTAKA

online. Huda Safarina. “DRUG RELATED PROBLEM”


www.academia.edu/19546219/.Diakses tanggal 5 Maret 2019.
https://www.academia.edu/19546219/DRUG_RELATED_PROBLEM

Kelompok 1 _ Farklin 1 _ STIFA PM 2019 Page 38

Anda mungkin juga menyukai