KLP 1 Pharmaceutical Care Dan DRP
KLP 1 Pharmaceutical Care Dan DRP
KLP 1 Pharmaceutical Care Dan DRP
BAGIAN 1
PHARMACEUTICAL
CARE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat. Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang
menyelenggarakan upaya kesehatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan
pegangan bagi semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia termasuk Puskesmas.
Peningkatan kinerja pelayanan kesehatan dasar yang ada di Puskesmas dilakukan
sejalan dengan perkembangan kebijakan yang ada pada berbagai sektor. Adanya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi diikuti pula dengan menguatnya
kewenangan daerah dalam membuat berbagai kebijakan. Selama ini penerapan dan
pelaksanaan upaya kesehatan dalam kebijakan dasar Puskesmas yang sudah ada
sangat beragam antara daerah satu dengan daerah lainnya, namun secara keseluruhan
belum menunjukkan hasil yang optimal. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan,
yang berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi
masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi
pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan
kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayanan kesehatan masyarakat.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan
untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah
B. Ruang Lingkup
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia dan sarana dan prasarana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
BAB III
PELAYANAN FARMASI KLINIK
Kegiatan:
1. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif
dan pasif.
2. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon,
surat atau tatap muka.
3. Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-lain.
4. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
masyarakat.
5. Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga
kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
6. Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan
Pelayanan Kefarmasian.
1. Sumber informasi Obat.
2. Tempat.
3. Tenaga.
4. Perlengkapan.
C. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta keluarga pasien.
Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal
pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas,
cara penyimpanan dan penggunaan Obat.
Kegiatan:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2. Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh dokter kepada
pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question), misalnya apa
yang dikatakan dokter mengenai Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek
yang diharapkan dari Obat tersebut, dan lain-lain.
3. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat
4. Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan Obat untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.
e. Pasien pediatrik.
f. Pasien pulang sesuai dengan kriteria di atas.
2. Sarana dan prasarana:
a. Ruangan khusus.
b. Kartu pasien/catatan konseling.
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat
risiko masalah terkait Obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial,
karateristik Obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan Obat,
kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana
menggunakan Obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di
rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat.
D. Ronde/Visite Pasien
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara
mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
gizi, dan lain-lain.
Tujuan:
1. Memeriksa Obat pasien.
2. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
3. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan Obat.
4. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam
terapi pasien.
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan, pembuatan
dokumentasi dan rekomendasi.
Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya
kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan Obat. Untuk itu, perlu juga
dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan Obat sehingga
tercapai keberhasilan terapi Obat.
Tujuan:
1. Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal dan frekuensinya jarang.
2. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah sangat
dikenal atau yang baru saja ditemukan.
Kegiatan:
1. Menganalisis laporan efek samping Obat.
2. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping Obat.
3. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
4. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
Kriteria Pasien
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3. Adanya multidiagnosis.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
Kegiatan:
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Membuat catatan awal.
3. Memperkenalkan diri pada pasien.
4. Memberikan penjelasan pada pasien.
5. Mengambil data yang dibutuhkan.
6. Melakukan evaluasi.
7. Memberikan rekomendasi.
Tujuan:
1. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
2. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
BAGIAN 2
DRUG RELATED PROBLEM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DRP (Drug Related Problem) merupakan keadaan yang tidak diinginkan
pasien terkait dengan terapi obat serta hal-hal yang mengganggu tercapainya hasil
akhir yang sesuai dan dikehendaki untuk pasien. Tujuh penggolongan DRp menurut
Cipolle adalah penggunaan obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat
tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terapi yang digunakan terlalu rendah, adverse
drug reactoin, dosis terapi yang trlalu tinggi, dan ketidakpatuhan. Hal-hal yang terkait
dengan DRP seharusnya dapat dicegah dan dikurangi keberadaannya melalui
pengenalan secara awal terhadap adanya DRP oleh seorang farmasis.
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu bagi pasien.
Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun akibat adanya ketidakpatuhan
terhadap program pengobatan. Penyebab ketidakpatuhan tersebut salah satunya
disebabkan kurangnya informasi tentang obat. Selain itu, regimen pengoatan yang
kompleks dan kesulitan mengikuti regimen pengobatan yang diresepkan merupakan
masalah yang mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Selain maslah
kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang tidak diinginkan dari penggunaan
obat. Dengan diberikannya informasi obat kepada pasien maka maslah terkait obat
seperti penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu
tinggi, dosis subterapi, serta interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat resep
baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan waktu
penggunaan, saran ketaatan dan pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek
merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk
penyimpanan, informasi pengulangan resep dan rencanapemantauan lanjutan. Selain
itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali dan menekankan hal-
hal terpenting terkait pemberian informasi mengenai obat.
BAB II
ISI
Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak
mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk tidak mau
minum obat karena alas an pribadi dan atau pasien lupa minum obat .
Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs)
tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data esensial
dan farmasis bertugas menentukan data apa yang dibutuhkan .
2.1.3 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori
:
a. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis, ras,
sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan jantung,
status nutrisi, serta harapan pasien.
b. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini dan
masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan cara
pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.
c. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan,
prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang
yang merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari farmasis,
data laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya .
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya
diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta
pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit.
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah dan
memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak selalu
mudah dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas
kesembuhannya. Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan konseling, edukasi
dan informasi kepada pasien .
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas
hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang
kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas(memerlukan
klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu
pemeriksaan laboratorium.
Klasifikasi DRP:
1. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk
penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
a. Pasien memerlukan obat tambahan
Keadaan yang ditemukan pada DRP adalah suatu keadaan ketika pasien
menderita penyakit sekunder yang mengakibatkan keadaan yang lebih buruk
daripada sebelumnya, sehingga memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama
perlunya terapi tambahan antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien
yang tidak mendapatkan pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang
sinergis, dan terapi untuk tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya,
penggunaan obat AINS biasanya dikombinasikan dengan obat antihistamin 2
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya iritasi lambung.
b. Pasien menerima obat yang tidak diperlukan
Pada kategori ini termasuk juga penyalahgunaan obat, swamedikasi yang
tidak benar, polifarmasi dan duplikasi. Merupakan tanggungjawab farmasi agar
pasien tidak menggunakan obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP
kategori ini dapat menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas
atau efek samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan diluar yang
seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi obat
batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk tersebut
sudah mengandung paracetamol.
2. Efektivitas
a. Pasien menerima regimen terapi yang salah
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara
konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau
4 kali sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam
sehari.
Contohnya: frekwensi pemberian amoksisilin 4 kali sehari yang seharusnya 3
kali sehari.
cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau aspirin
sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.
Durasi dari terapi
mampu menebus semua obat yang diresepkan, dan pasien tidak paham cara
menggunakan obat yang tepat. Misalnya pemberian antibiotik selama tiga hari
pada penyakit ISFA Pneumonia.
3. Keamanan
a. Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi
Pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi dibandingkan
dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko
efek toksik dan bisa jadi membahayakan Hal-hal yang menyebabkan pasien
menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain ialah kesalahan
dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang tidak tepat.
Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan,
menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh
kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
b. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse drug reaction)
Dalam terapinya pasien mungkin menderita ADR yang dapat disebabkan
karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat yang tidak
benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya interaksi
obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat tertentu.
ADR merupakan respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.
Pada umumnya ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
1. Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang
berlebihan atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik
mengimbas hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung. Reaksi
ini seringkali bergantung dosis dan mungkin disebabkan oleh suatu penyakit
bersamaan, interaksi obat-obat atau obat-makanan. Reaksi tipe A dapat terjadi
pada setiap orang.
2. Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi
alergi mencakup tipe berikut :
a. Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera
(hipersensitivitas)
b. Tipe II, sitotoksik
c. Tipe III, serum
d. Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
3. Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik,
nefropati.
4. Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan
karsinogenesis.
5. Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena
ketidakcukupan adrenokortikal.
4. Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat
medis atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain :
a. Persepsi tentang kesehatan
b. Pengalaman mengobati sendiri
c. Pengalaman dengan terapi sebelumnya
d. Lingkungan (teman, keluarga)
e. Adanya efek samping obat
f. Keadaan ekonomi
g. Interaksi dengan tenaga kesehatan (dokter, apoteker, perawat).
2.3.1 Kasus
CONTOH ANALISA KASUS DRP
Resep
20-7-2011
R/ Metformin 500 XLV
S 3 dd 1
R/ Glibenklamide 5 XV
S 1 dd 1
R/ Captopril 50 XLV
S 3 dd 1
R/ furosemid X
S ½-0-0
R/ BC XLV
S 3 dd 1
R/ Amlodipin 5 XV
S 1 dd 1
R/ Na-diklofenak 50 XXX
S 0-0-1
R/ Simvastatin 10 XV
S 0-0-1
ANALISA
a. Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus, hipertensi,
hiperkolesterolemia, ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
b. Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai berikut :
Metformin, antidiabetes golongan biguanid
Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonylurea
Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin
(ACEI)
Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretic
BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin
mg/hari, lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut
usianya (66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan
furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan
pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah
menurun dan menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor
dapat menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang
terlibat dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga
resiko hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia,
ditambah dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa
dipantau.
Meski ada kemungkinan lain, bahwa maksud penggunaan furosemid dalam
dosis rendah adalah untuk mengatasi resiko efek samping amlodipin, berupa udema
perifer. Amlodipin dapat menyebabkan terjadinya udema perifer, dengan pemberian
furosemid, maka aktivitas urinary meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk mengobati gejala nyeri akibat
osteoarthritis. Diklofenak merupakan antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif.
Dosis yang diberikan adalah dosis tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif lainnya, diklofenak dapat menginduksi
terjadinya ulkus peptikum, sedangkan dalam diagnosanya dokter telah menyatakan
bahwa pasien mengalami sindrom dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan
diklofenak pada saluran cerna tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang
lebih aman, perlu dipertimbangkan, mengingat pasien telah dinyatakan mengalami
sindrom dispepsia.
Dalam kasus ini, pasien telah didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat
terapi AINS yang dapat memperparah sindrom tersebut, namun pasien tidak
mendapat obat untuk indikasi ini. Tak ada obat yang diberikan untuk mengobati
sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada malam hari 10 mg, untuk terapi
hiperlipidemia. Penggunaan simvastatin pada penderita diabetes diperbolehkan.
c. Saran
Dari uraian diatas dapat disarankan :
Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya, ada
baiknya dosis captopril dikurangi
Konsumsi captopril 1 jam sebelum makan, untuk menghindari interaksinya
dengan makanan
Pasien perlu diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih
dalam resep tersebut terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek yang
tidak menyenangkan pada saluran cerna, berupa iritasi lambung (natrium-
diklofenak), mual, muntah, diare (metformin dan glibenklamid). Ranitidine
dan antiemetic seperti domperidon atau metoklopramid mungkin perlu
diberikan.
Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non
farmakologis, berupa diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA