APOTEK BU Aliah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 78

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK PRODYA CARE MAKASSAR
GELOMBANG 2
PERIODE 17 FEBRUARI – 17 MARET 2019

NURUL FAIKHA
N014 18 1 045

SEMESTER AKHIR 2018 - 2019


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK PRODYA CARE MAKASSAR
GELOMBANG 2
PERIODE 17 FEBRUARI – 17 MARET 2018

NURUL FAIKHA
N014 18 1 045

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator PKPA Farmasi Perapotek Pembimbing PKPA Farmasi Perapotekan
Program Studi Profesi Apoteker Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin

Dr. Aliyah, M.S., Apt. Rahmita Burhamzah, S.Si., M.Si., Apt.


NIP. 19570704 198603 2 001 NIP.19920709 201807 4 001

Makassar, Mei 2019


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Puji syukur penulis


panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, atas berkat, rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan semua kegiatan selama empat minggu
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Perapotekandi Apotek Prodya
Care Makassarserta telah menyelesaikan laporan ini sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi,
Universitas Hasanuddin.
Pada kesempatan ini, dengan penuh rasa syukur dan kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Rahmita Burhamzah, S.Si., M.Si., Apt.sebagai pembimbing PKPA
Farmasi Perapotekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
2. Bapak Septian Suryo S.Si.,Apt. sebagai pembimbing PKPA Farmasi
Perapotekan di apotek Prodya Care Makassar.
3. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar beserta para wakil
dekan.
4. Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.
5. Koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.
6. Segenap dosen, pegawai, dan pengelola Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
7. Rekan-rekan mahasiswa PKPA Farmasi Perapotekan gelombang 2 Fakultas
Farmasi, Universitas Hasanuddin.
8. Orang Tua, saudara-saudari terkasih, sahabat-sahabat serta orang-orang yang
telah berjasa bagi penulis yang senantiasa memberikan dukungan berupa doa
dan semangat serta bantuan materil, maupun non materil.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dari laporan ini masih


sangat jauh dari kesempurnaan, karena itu jika ada saran dan kritik yang

iii
membangun akan sangat membantu kedepannya. Akhir kata, dengan penuh
kerendahan hati penulis mengharapkan kiranya laporan ini dapat memberikan
manfaat kepada kita semua.

Makassar, Mei2019

Nurul Faikha

iv
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar belakang 1
I.2 Tujuan pelayanan resep di apotek 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
II.1Standar Pelayanan kefarmasi di Apotek 3
II.2 Pelayanan Farmasi Klinik 3
II.3 Penggolongan Obat 7
II.4 Prekursor 12
II.5 Obat Tradisional 12
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 15
III.1 Contoh resep 15
III.2 Skrining Resep 24
III.2.1 Skrining administratif 24
III.2.2 Skrining farmasetik 25
III.2.3 Skrining klinis 26
III.3 Uraian obat dalam resep 33
III.4 Penyiapan obat 39
III.5 Etiket dan copy resep 40
III.5.1 Etiket 40
III.5.2 Copy resep 42
III.6 Penyerahan obat 43

v
BAB IV PENUTUP 44
IV.1 Kesimpulan 36
IV.2 Saran 36
DAFTAR PUSTAKA 37
LAMPIRAN 39

vi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Kelengkapan administratif resep 16

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Logo obat bebas 7


2. Logo obat bebas terbatas 8
3. Logo peringatan pada obat bebas terbatas 8
4. Logo obat keras 9
5. Logo obat narkotika 11
6. Logo Jamu 13
7. Logo Obat Terstandar 14
8. Logo Fitofarmaka 14
9. Contoh copy resep 34

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Contoh format surat pesanan narkotika 39


2. Contoh format surat pesanan psikotropika 40
3. Contoh format surat pesanan prekursor farmasi 41
4. Cotoh format laporan stok akhir narkotika 42
5. Contoh format laporan penggunaan morphin, pethidin dan derivatnya 43
6. Format laporan pemasukan dan pengeluaran psikotropika 44
7. Format laporan pengadaan dan penyerahan obat mengandung prekur-
sor farmasi 45

ix
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang


Apotek merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan upaya
kesehatan. Apotek adalah tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Pekerjaan kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (DepKes RI, 2009).

Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung


jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.Pelayanan
apotek merupakan salah satu pelayanan kesehatan di Indonesia. Pelayanan apotek
saat ini telah berubah orientasi dari drug oriented menjadi patient oriented dengan
berdasarkan pharmaceutical care. Salah satu contoh dari pelayanan kefarmasian
di apotek yaitu pelayanan resep (KemenKes, 2015).

Pelayanan resep berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 35 tahun


2014terdiri dari pengkajian resep meliputipersyaratan administratif terdiri dari
nama pasienumur, jenis kelamin, dan berat badan pasien, nama dokter, nomor
SIP, alamat, nomor telepon, dan paraf, serta tanggal penulisan resep. Kesesuian
farmasetik seperti bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas, dan kompatibilitas,
serta pertimbanganklinis meliputi ketepatan indikasi dan dosis obat, aturan dan
cara serta lama penggunaan obat, duplikasi atau polifarmasi, reaksi obat yang
tidak diinginkan seperti alergi atau efek samping, kontraindikasi, serta interaksi
obat Tahap kedua dari pelayanan resep yaitu penyiapan obat meliputi penyiapan,
2

penimbang, pencampur, pengemasan dan memberikan etiket pada wadah setelah


itu dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep,
kemudian penyerahan obat kepada pasiendisertai pemberian informasi dan
edukasi (KemenKes, 2015).

Komunikasi Informasi dan Edukasi dilakukan oleh apoteker untuk


memberikan informasi secara akurat, tidak bias, dan terkini kepada dokter,
apoteker lain, perawat, profesi kesehatan lain, dan terutama pasien.Dalam
pelayanan kesehatan yang baik, informasi obat menjadi sangat penting terutama
informasi dari apoteker, baik untuk dokter, perawat dan penderita.Informasi yang
diberikan sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan
obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi(KemenKes, 2009).

I.2 Tujuan Pelayanan Resep


Laporan ini merupakan salah satu tugas PKPA apotek mengenai pelayanan
resep, Adapun tujuan pelayanan resep, yaitu:

1. Mengetahuialur pelayanan resep mulai dari penerimaan resep, skrining


administratif, skrining farmasetik dan skrining klinis hingga penyerahan obat
pada pasien dengan pemberian informasi tentang obat.
2. Mengetahui dan memahami gambaran penanganan resep, baik yang rasional
maupun irasional.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai


pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian.Sedangkan pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
(PerMenKes No.73, 2016).

II.1. 1 Pelayanan farmasi klinik

Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan


kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan
farmasi klinik meliputi (MenKes RI, 2016):

1. Pengkajian dan pelayanan resep


Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.

Kajian administratif meliputi:


a. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.
b. Nama dokter, nomor surat izin praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf.
c. Tanggal penulisan resep.

Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:


a. Bentuk dan kekuatan sediaan.

3
4

b. Stabilitas.
c. Kompatibilitas (ketercampuran obat).

Pertimbangan klinis meliputi:


a. Ketepatan indikasi dan dosis obat.
b. Aturan, cara dan lama penggunaan obat.
c. Duplikasi dan/atau polifarmasi.
d. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi
klinis lain).
e. Kontraindikasi.
f. Interaksi.
2. Dispensing
Dispensing terdiri atas penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi
obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep:
1) Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep.
2) Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
1) Warna putih untuk obat dalam/oral.
2) Warna biru untuk obat luar dan suntik.
3) Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi.
d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang
berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah.
3. Pelayanan informasi obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker
dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan
5

kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada
profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk
obat resep, obat bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain.

Kegiatan pelayanan informasi obat di apotek meliputi:


a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
b. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan).
c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang
sedang praktik profesimelakukan penelitian penggunaan obat.
e. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
f. Melakukan program jaminan mutu.
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime


questions.Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan
dengan metode health belief model.Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa
pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan.
5. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
6

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan


pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker,


meliputi :
a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan.
b. Identifikasi kepatuhan pasien.
c. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya
cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.
d. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
e. Monitoring pelaksanaan, efektivitas dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien.
f. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah.
6. Pemantauan terapi obat (PTO)
Pemantauan terapi obatmerupakan proses yang memastikan bahwa seorang
pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien, yaitu :
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima obat lebih dari lima jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima obat yang menyebabkan reaksi obat yang merugikan.
7. Monitoring efek samping obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan
7

pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi
fungsi fisiologis.

II.1. 2. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
sesuai peraturan perundang-undangan meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan(PerMenKes, No.
73, 2016) :
1. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya
dan kemampuan masyarakat.
2. Pengadaan
Pengadaan dilakukan untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka
pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan
perundang - undangan.
3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan
dengan kondisi fisik yang diterima.
4. Penyimpanan
Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah
baru. Wadah sekurang - kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal
kadaluwarsa. Semua obat/ bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
8

Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang


lainnya yang menyebabkan kontaminasi.Sistem penyimpanan dilakukan dengan
memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara
alfabetis.Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First in First Out).
5. Pemusnahan dan Penarikan
Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan.Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika
dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang
memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan
berita acara pemusnahan. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5
(lima) tahun dapat dimusnahkan.
Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-
kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain
yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep dan selanjutnya dilaporkan
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. Pemusnahan dan penarikan sediaan
farmasi dan bahan medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -
undangan. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan
perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi
sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan
laporan kepada Kepala BPOM.Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,
9

penyimpanan dan pengeluaran.Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya


kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang - kurangnya
memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran
dan sisa persediaan.
7. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan
internal dan eksternal.Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan
untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan
lainnya.Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan, meliputi
pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya. Petunjuk teknis
mengenai pencatatan dan pelaporan akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.

II.2 Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik


kefarmasian oleh Apoteker (PerMenKes No. 9 2017).
1. Tugas dan fungsi apotek
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 (2009), tugas dan fungsi apotek
adalah :
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker.
b. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
10

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan


farmasi antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetik.
d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional.
2. Persyaratan Apotek
Menurut PerMenKes No. 9 Tahun 2017 tentang apotek, pendirian apotek
harus memenuhi persyaratan, meliputi :
a. Lokasi
Lokasi pendirian apotek harus memenuhi persyaratan kesehatan
lingkungan dan dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan dan komoditi lainya diluar sediaan farmasi.
b. Bangunan
1) Bangunan apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan
dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak,
dan orang lanjut usia.
2) Bangunan apotek harus bersifat permanen.
3) Bangunan bersifat permanen dapat merupakan bagian dan/atau terpisah
dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah
susun, dan bangunan yang sejenis.
c. Sarana, prasarana, dan peralatan
Apotek harus memiliki:
1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan
brosur/materi informasi.
3) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan
meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.
11

4) Ruang racikan.
5) Tempat pencucian alat.
d. Ketenagaan
Apoteker pemegang Surat Izin Apotek (SIA) dalam menyelenggarakan
apotek dapat dibantu oleh apoteker lain, tenaga teknis kefarmasian dan/atau
tenaga administrasi.

3. Perizinan Apotek
Menurut Undang-undang No. 9 tahun 2017 tentang apotek setiap pendirian
apotek wajib memiliki izin dari Menteri, selanjutnya Menteri melimpahkan
kewenangan pemberian izin kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Izin
berupa Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang selama memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh SIA, apoteker harus mengajukan permohonan tertulis
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
b. Permohonan harus ditandatangani oleh apoteker disertai dengan kelengkapan
dokumen administratif meliputi:
1) Fotokopi STRA dengan menunjukkan STRA asli;
2) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
3) Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
4) Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
5) Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
c. Paling lama dalam waktu 6 hari kerja sejak menerima permohonan dan
dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan
pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek.
d. Tim pemeriksa harus melibatkan unsur Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
yang terdiri atas:
1) Tenaga kefarmasian; dan
12

2) Tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.


e. Paling lama dalam waktu 6 hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim
pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
f. Paling lama dalam waktu 12 hari kerja sejak Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menerima laporan dan dinyatakan memenuhi persyaratan,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai
POM.
g. Dalam hal hasil pemeriksaan dan dinyatakan masih belum memenuhi
persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan surat
penundaan paling lama dalam waktu 12 hari kerja.
h. Terhadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi persyaratan,
pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu satu bulan
sejak surat penundaan diterima.
i. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan, maka
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan (SP).
j. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat enam, apoteker pemohon
dapat menyelenggarakan apotek dengan menggunakan BAP sebagai
pengganti SIA.

II.3 Tenaga kefarmasian

Menurut Undang–undang No. 9 tahun 2017 tentang apotek dan Peraturan


Pemerintah No. 51 tentang pekerjaan kefarmasian, tenaga kefarmasian adalah tenaga
yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian.
13

1. Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Dalam menjalankan praktik kefarmasian
apoteker harus memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dan Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA).SIPA adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada apoteker sebagai pemberian
kewenangan untuk menjalankan praktik kefarmasian.STRA adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh konsil tenaga kefarmasian kepada apoteker yang telah
diregistrasi (UU RI No. 9, 2017).
Tugas dan fungsi apoteker sesuai dengan kompetensi yaitu nine stars
pharmacist adalah sebagai berikut (WHO, 2006) :
a. Care giver,  artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien, memberi
informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya.
b. Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya mampu
mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu mengambil
keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada pasien.
c. Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi dengan baik dengan
pihak ekstern (paasien atau customer) dan pihak intern (tenaga professional
kesehatan lainnya).
d. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di apotek.
Sebagai seorang pemimpin, apoteker merupakan orang yang terdepan di
apotek, bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari manajemen
pengadaan, pelayanan, administrasi, manajemen SDM, serta bertanggung
jawab penuh dalam kelangsungan hidup apotek.
e. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam hal
pelayanan, pengelolaan manajemen apotek, pengelolaan tenaga kerja dan
administrasi keuangan. Oleh karena itu, apoteker harus mempunyai kemampuan
mnajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu
manajemen.
14

f. Life long learner,  artinya apoteker harus terus-menerus menggali ilmu


pengetahuan, senantiasa belajar, menambah pengetahuan dan keterampilan
serta mampu mengembangkan kualitas diri.
g. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing bagi
stafnya, harus mau meningkatkan kompetensinya, harus mau menekuni
profesinya, tidak hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, tetapi harus
dapat melaksanakan profesinya tersebut dengan baik.
h. Researcher, artinya apoteker berperan serta dalam berbagai penelitian guna
mengembangkan ilmu kefarmasiannya.
i. Entrepreneur, artinya apoteker harus juga dapat menjadi seorang pengusaha.
Berbagai macam keahlian yang dimiliki seorang apoteker akan mendukung
kemampuannya untuk menjadi seorang pengusaha, baik dalam kesehatan
maupun non kesehatan. Pendidikan yang diajarkan kepada apoteker haruslah
mendukung dan mendorong seorang apoteker menjadi entrepreneur.
2. Tenaga Teknis Kefarmasian
Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya
farmasi dan analis farmasi.Dalam menjalankan praktik kefarmasian tenaga teknis
kefarmasian harus memiliki Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian
(SIPTTK).SIPTTK adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota kepada tenaga teknis kefarmasian sebagai pemberian kewenangan
untuk menjalankan praktik kefarmasian (UU RI No. 9, 2017).

II.4 Penggolongan obat

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.2380/A/SK/VI/83 tahun 1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas dan obat
bebas terbatas, penggolongan obat terdiri atas:
15

II.4.1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter.Contoh obat bebas seperti Magtral Forte®, Teradi®, dan Sanfuliq®.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan
garis tepi berwarna hitam, dengan ukuran diameter lingkaran terluar dan tebal
garis tepi yang proporsional, berturut-turut minimal l cm dan 1 mm (KepMenKes,
No.2380, 1983).

Gambar 1. Penandaan obat bebas


(Sumber : KepMenKes RI No.2380/A/SK/VI/83)

II.4.2. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas atau obat daftar “W”, menurut bahasa Belanda “W”
singkatan dari “Waarschuwing” adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan
tanda peringatan. Contoh obat bebas terbatas seperti L-Bio®, Argomed®, Laxana®,
dan Benacol®. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam, dengan ukuran diameter
lingkaran terluar dan tebal garis tepi yang proporsional, berturut-turut minimas l
cm dan 1 mm (KepMenKes,No.2380, 1983).

Gambar 2. Logo obat bebas terbatas


(Sumber : KepMenKes RI No.2380/A/SK/VI/83)
16

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa
empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan
memuat pemberitahuan berwarna putih.

Gambar 3. Tanda peringatan obat bebas terbatas


(Sumber : KepMenKes RI No.2380/A/SK/VI/83)

Beberapa contoh obat bebas terbatas:


1. P No. 1 : Procold®, Komix®, Neo Rheumacyl Neuro®, Bufect®, Bisolvon®
2. P No. 2 : Tantum verde®, Betadine® gargle, Forinfec® gargle
3. P No. 3 : Canesten® krim, Solinfec® krim, Micrem® krim, Insto®, Braito tears®
4. P No. 4 :Serbuk mengandung scopolamine yang untuk dibakar, asma sigaret
5. P No. 5 : Rivanol® kompres yang digunaakan untuk kompres luka
6. P No. 6 : Anusol® suppositoria

II.4.3. Obat Keras


17

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter.Contohnya seperti Captopril, Domperidone, Metformin, dan Ketorolac.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah
dengan garis tepi berwarna hitam (SKMenKes No. 347/Menkes/SK/VII/1990).

Gambar 4. Logo obat keras


(Sumber : KepMenKes RI No.2396/A/SK/VIII/86)

1. Obat Wajib Apotek


Obat wajib apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh
Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun apoteker boleh
memberikan obat keras, namun ada persyaratan yang harus dilakukan dalam
penyerahan OWA, yaitu (SKMenKes No. 347/Menkes/SK/VII/1990, 1990):
a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam obat wajib apotek yang bersangkutan.
b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
c. Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek
samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Penggolongan OWA :
a. Daftar Obat Wajib Apotek No. 1 (KepMenKes No.347, 1990)Daftar OWA
nomor 1 meliputi 7 kelas terapi Obat, meliputi : Oral kontrasepsi (linestrenol,
Kombinasi Etinodiol diasetat-mestranol, Norgestrel-etinil estradiol,
Linestrenoil-etinil estradiol.
b. Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 (KepMenKes No. 924, 1993)
Daftar OWA nomor 2 meliputi 34 jenis Obat diantaranya : Benorilate,
ibuprofen 400 dan 600 mg masing-masing maksimal masing-masing 10 tablet,
18

omeprazole 7 tablet, Bacitracin, clindamicin, piroxicam, prednisolon, Urea


masing-masing maksimal 1 tube, sucralfat 20 sulfasalasin masing-masing
maksimal 20 tablet
c. Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 (KepMenKes No. 1176, 1999)
Daftar OWA nomor 3 meliputi 6 kelas terapi Obat yakni : Saluran pencernaan
dan metabolisme (famotidin 20, 40 mg dan ranitidin 150 mg maksimal
masing-masing 10 tablet), Obat kulit (asam fusidat maksimal 1 tube), Sistem
Muskuloskeletal (Allopurinol 100 mg, natrium diklofenak 25 mg dan
piroksikam 10 mg masing-masing 10 tablet)

2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku (PerMenKes No.3, 2015). Obat golongan ini hanya boleh dijual dengan
resepdokter dan diberi tanda huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi
berwarna hitam.

Penggolongan psikotropika:
a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: brolamfetamina, etisiklidina, mekatinona, tenamfetamina,
Tenoksilidina (UU No. 5, 1997).
b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobat-an dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu penge-tahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
amfetamina, deksamfetamina, fensiklidina, metilfenidat, sekobarbital (UU No.
5, 1997).
19

c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan


banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : amobarbital, butalbital, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital (UU
No. 5, 1997).
d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobat-an
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan (UU No. 5, 1997). Contoh : alprazolam, diazepam,
fenobarbital, klobazam, zolpidem (PerMenKes No. 9, 2015)

Pengelolaan psikotropika berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015, meliputi:

1. Pemesanan psikotropika
Pemesanan psikotropika dalam bentuk obat jadi dapat dilakukan berdasarkan
surat pesanan (SP) dari apoteker penanggung jawab. Surat pesanan
psikotropika dapat digunakan untuk satu atau beberapa jenis psikotropika dan
harus terpisah dari pesanan barang lain. Surat pesanan psikotropika dibuat
sekurang-kurangnya tiga rangkap.
2. Penyimpanan psikotropika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015, lemari khusus penyimpanan
psikotropika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Terbuat dari bahan yang kuat dan memiliki kunci;
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang
berbeda;
c. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum

d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab/apoteker


20

yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.


3. Pencatatan dan pelaporan psikotropika
Pencatatanp psikotropika berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal
43 ayat 1 dan 3; dan pasal 44 meliputi :
1) Apotek yang melakukan penyaluran atau penyerahan psikotropika, wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
psikotropika.
2) Pencatatan paling sedikit terdiri atas:
a. Nama, bentuk sediaan, kekuatan dan jumlah persediaan
b. Tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan
c. Jumlah yang diterima
d. Tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan
e. Jumlah yang disalurkan/diserahkan
f. Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
penyerahan dan
g. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
3) Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,
dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan psikotropika wajib
disimpan secara terpisah paling singkat 5 tahun.
Pelaporan psikotropika berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal 45
ayat 6,7 dan 10 meliputi :
1) Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan
penggunaan psikotropika setiap bulan kepada kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat dan
disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2) Pelaporan penyerahan/penggunaan psikotropika terdiri atas :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c. Jumlah yang diterima
21

d. Jumlah yang diserahkan


4. Pemusnahan psikotropika
Pemusnahan psikotropik hanya dilakukan dalam hal:
a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku
dan/atau tidak dapat diolah kembali;
b. Telah kedaluarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa
penggunaan;
d. Dibatalkan izin edarnya; atau
e. Berhubungan dengan tindak pidana.
Pemusnahan dilaksanakan oleh industri farmasi, PBF, instalasi farmasi
pemerintah, apotek, instalasi farmasi Rumah Sakit, instalasi farmasi klinik,
lembaga ilmu pengetahuan, dokter atau toko obat. Instalasi Farmasi
Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan harus melakukan penghapusan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang
milik negara/daerah.
Pemusnahan psikotropik harus dilakukan dengan:
a. Tidak mencemari lingkungan; dan
b. Tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Pemusnahan psikotropik dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:
a) kementerian kesehatan dan badan pengawas obat dan makanan, bagi
instalasi farmasi pemerintah pusat;
b) dinas kesehatan provinsi dan/atau balai besar/balai pengawas obat dan
makanan setempat, bagi importir, industri farmasi, pbf, lembaga ilmu
pengetahuan, atau instalasi farmasi pemerintah provinsi; atau
22

c) Dinas kesehatan kabupaten/kota dan/atau balai besar/balai pengawas


obat dan makanan setempat, bagi apotek, instalasi farmasi Rumah
Sakit, instalasi farmasi klinik, instalasi farmasi pemerintah
kabupaten/kota, dokter, atau toko obat.
b. kementerian kesehatan, badan pengawas obat dan makanan, dinas
kesehatan provinsi, balai besar/balai pengawas obat dan makanan
setempat, dan dinas kesehatan kabupaten/kota menetapkan petugas di
lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat
permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
d. Psikotropik dalam bentuk bahan baku, produk antara, dan produk ruahan
harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang
berwenang sebelum dilakukan pemusnahan.
e. Psikotropika dalam bentuk obat jadi harus dilakukan pemastian kebenaran
secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan. Dalam hal
pemusnahan psikotropik dilakukan oleh pihak ketiga, wajib disaksikan
oleh pemilik psikotropika dan saksi.

3. Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (PerMenKes No.3, 2015). Tanda
khusus untuk obat narkotika berdasarkan 2 donasi obat nius Stbl. 1927 nomor 278
adalah “Palang Medali Merah” yang berupa lingkaran bulat berwarna putih dengan
garis tepi berwarna merah dengan lambing palang medali merah didalamnya.
23

Gambar 5. Logo obat narkotika


(Sumber :DitBinFar, 2007)

Penggolongan narkotika :
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan (UU
No.35, 2009). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 tahun 2017
tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, daftar narkotika golongan I
bertambah menjadi 114 macam. Contoh narkotika golongan I adalah tanaman
Papaver somniferum L., opium, kokain dan ganja.
b. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan (UU No.35, 2009). Contoh narkotika golongan
II adalah petidin, morfin, fentanil, metadona, difenoksin, dan betametadol.
c. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (UU No.35,
2009). Contoh narkotika golongan III adalah kodeina, dekstropropoksifena,
asetil dihidrokodeina, nikokodina, dan norkodeina.

Dalam rangka mempermudah pengawasan penggunaan narkotika di wilayah


Indonesia maka kegiatan-kegiatan pengelolaan narkotika diatur dalam PerMenKes
nomor 3 tahun 2015 tentang peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan
narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi. Berdasarkan PerMenKes RI No. 3
tahun 2015, pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan :
1. Pemesanan Narkotika
24

1. Surat pemesanan (SP) khusus narkotika yang terdiri atas minimal tiga rangkap
yaitu untuk BPOM, untuk DINKES Kabupaten/Kota, dan untuk arsip apotek.
2. Surat pemesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk satu jenis narkotika
dan harus terpisah dari pesanan barang lain.
2. Penyimpanan Narkotika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015, lemari khusus penyimpanan
narkotika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Terbuat dari bahan yang kuat
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai dua buah kunci yang berbeda
c. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
3. Pencatatan dan pelaporan narkotika
Apotek yang melakukan penyaluran atau penyerahan narkotika wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika,
pencatatan yang dilakukan paling sedikit terdiri atas (PerMenKes RI, No. 3,
2015):
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika.
b) Jumlah persediaan;
c) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d) Jumlah yang diterima;
e) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
f) Jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g) Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan;
dan
h) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Apotek wajib membuat, menyimpan dan menyampaikan laporan pemasukan
dan penyerahan/penggunaan narkotik setiap bulan kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dengan tembusan kepala balai setempat. Pelaporan yang dimaksud
25

paling sedikit terdiri atas nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika, jumlah
persediaan awal dan akhir bulan, jumlah yang diterima dan jumlah yang
diserahkan. Laporan disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya
(PerMenKes RI, No. 3, 2015).
4. Pemusnahan narkotika
Pemusnahan narkotika hanya dilakukan dalam hal: (PerMenKes RI, No. 3, 2015):
a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau
tidak dapat diolah kembali;
b. Telah kedaluarsa;
c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d. Dibatalkan izin edarnya;
e. Berhubungan dengan tindak pidana.
Pemusnahan narkotika dilakukan jika narkotika sudah tidak memenuhi syarat
untuk digunakan bagi pelayanan kesehatan dan atau untuk pengembangan.
Apoteker atau dokter yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara
pemusnahan narkotika yang memuat: (PerMenKes RI, No. 3, 2015):
a. Tempat dan waktu (jam, hari, bulan dan tahun).
b. Nama pemegang izin khusus.
c. Nama, jenis, dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
d. Cara memusnahkan.
Tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi
pemusnahan. Kemudian berita acara tersebut dikirim kepada kepala dinas
kesehatan, balai POM setempat dan arsip dokumen (PerMenKes RI, No. 3, 2015).

II.4.4. Prekursor Farmasi


26

Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri
farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin,
ergometrine, atau potasium permanganate (PerMenKes No.3, 2015).
Prekursor digolongkan menjadi prekursor tabel I dan prekursor tabel II, yang
dimaksud prekursor dalam penggolongan tabel I merupakan badan awal dan
pelarut yang sering digunakan dan diawasi lebih ketat dibandingkan prekursor
dalam penggolongan pada tabel II [ CITATION KeM10 \l 1033 ].

Tabel 1. Bahan awal dan pelarut prekursor


No Nama
1 Acetic Anhydride.
2 N-Acetylanthranilic Acid.
3 Ephedrine.
4 Ergometrine.
5 Ergotamine.
6 Isosafrole.
7 Lysergic Acid.
8 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone.
9 Norephedrine.
10 1-Phenyl-2-Propanone.
11 Piperonal.
12 Potassium Permanganat.
13 Pseudoephedrine.
14 Safrole.

Tabel II. Bahan awal dan pelarut prekursor


No. Nama
1 Acetone.
2 Anthranilic Acid.
3 Ethyl Ether.
4 Hydrochloric Acid.
5 Methyl Ethyl Ketone.
6 Phenylacetic Acid.
7 Piperidine.
8 Sulphuric Acid.
9 Toluene
27

Kegiatan-kegiatan pengeloloaan prekursor farmasi, yaitu:


a. Pemesanan prekursor farmasi
Pemesanan prekursor farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a) Surat pesanan khusus prekursor farmasi;
b) Surat pesanan khusus prekursor farmasi dapat digunakan untuk satu atau
beberapa jenis prekursor farmasi dan dapat harus terpisah dari pesanan
barang lain;
c) Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya tiga rangkap.
b. Penyimpanan prekursor farmasi
Apotek harus menyimpan prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat
penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
c. Pencatatan dan pelaporan prekursor farmasi
Apotek yang melakukan penyaluran prekursor farmasi, wajib membuat
pencatatn mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran prekursor farmasi.
Pencatatan paling sedikit terdiri atas:
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan;
b) Jumlah sediaan;
c) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d) Jumlah yang diterima;
b) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan;
c) Jumlah yang disalurkan/diserahkan;
d) Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau
penyaluran/penyerahan;
e) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Pelaporan penyerahan atau penggunaan prekursor farmasi terdiri atas:
a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan sediaan prekursor farmasi;
b) Jumlah sediaan awal dan akhir bulan;
c) Jumlah yang diterima;
28

d) Jumlah yang diserahkan.


d. Pemusnahan prekursor farmasi
Pemusnahan prekursor farmasi hanya dilakukan dalam hal (PerMenKes RI, No.
3, 2015):
a) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau
tidak dapat diolah kembali;
b) Telah kedaluarsa;
c) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan / untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan;
d) Dibatalkan izin edarnya;
e) Berhubungan dengan tindak pidana.
Apotek yang melaksanakan pemusnahan prekursor farmasi harus membuat
berita acara pemusnahan. Berita acara pemusnahan paling sedikit memuat:
a) Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;
b) Tempat pemusnahan;
c) Nama penanggung jawab apotek;
d) Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain apotek tersebut;
e) Nama dan jumlah prekursor farmasi yang dimusnahkan;
f) Cara pemusnahan
g) Tanda tangan penanggung jawab.

II.4.6. Obat Tradisional

Selain obat-obatan kimia, terdapat juga obat dari produk alam yang dikenal
dengan nama obat tradisional. Menurut Permenkes RI No 6 (2012) tentang industri
dan usaha obat tradisional, obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang
berasal dari tumbuhan, hewan, mineral,sediaan sarian (galenik), atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun digunakan untuk pengobatan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan, No.6,
29

2012).Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan


Republik Indonesia, Nomor: HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokkan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, obat tradisional
yang ada di Indonesia dapat dikategorikan menjadi :

a. Jamu
Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang tidak memerlukanpembuktian
ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan pembuktianempiris atau turun
temurun.Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi
persyaratan mutu yang berlaku. Contoh : Tolak Angin®, Antangin®, Woods’
Herbal®, Diapet Anak®, dan KukuBima Gingseng®.

Gambar 6. Logo dan penandaan jamu (BPOM, 2004)

b.Obat Herbal Terstandar


Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinikpada
hewan dan bahan bakunya telah di standarisasi. Obat herbal terstandar harus
memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat
dibuktikan secara ilmiah atau praklinik, telah dilakukan standarisasi terhadap
bahan baku yang digunakan dalam produk jadi. Contoh : Diapet®, Lelap®, Fitolac®,
Diabmeneer®, dan Glucogarp®.
30

Gambar 7. Logo dan penandaan obat herbal terstandar (BPOM, 2004)

c. Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang dapat disejajarkandengan
obat modern karena telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik pada hewan dan uji klinik pada manusia, bahan baku dan
produk jadinya telah di standarisasi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria aman
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan dengan uji
klinis, telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi. Contoh: Stimuno®, Tensigard®, Rheumaneer®, X-gra® dan Nodiar®
(12).

Gambar 8. Logo dan penandaan fitofarmaka (BPOM, 2004)


31

BAB III
PELAYANAN RESEP

III.1 Contoh Resep

Gambar. 6 Contoh resep

31
32

III.2 Skrining resep

III.2.1 Skrining administratif


Tabel1. Persyaratan administrasi resep

Tidak
Kelengkapan Ada Keterangan
Ada
Nama dokter √ - dr. Nurul Faikha, Sp. PK
N014 18 1 045
Surat Izin Praktik (SIP) √ -

Alamat dokter √ - Jl. G. Bawakaraeng 116/91 C


Inscriptio No. Telp
√ - 082396543127
Praktek/Rumah
Tanggal penulisan
√ - 18 Februari 2019
resep
Tanda R/ √ - R/ Sifrol0,125mg No XX
Nama obat √ - ʃ0-0-1
Dosis √ - R/ Levoben ½ tab No.1
Prescriptio
Bentuk Sediaan √ - Arkine 1 mg
Jumlah yang diminta √ - m.f caps No. LX
ʃ2 dd caps I
R/ Govotil0,25 mg
Riklona 0,25 mg

Aturan pemakaian √ - m.f capsNo.LX


ʃ 2 dd caps 1
R/ Orinox60 mg no. X
Signatura ʃ 1 dd tab 1
R/ Umaron no. I
Nama Pasien √ - Ny. BA

Umur Pasien √ - Tidak Tercantum

Bobot Badan √ - Tidak Tercantum

Jenis Kelamin - √ Tidak Tercantum

Alamat Pasien √ - Tidak Tercantum

No Tlp. Pasien - √ Tidak Tercantum

Subscriptio Paraf Dokter - √ Tidak Tercantum


Keterangan: Skrining Administratif didasarkan pada resep Asli pasien Ny. BA pada saat datang
ke Apotek untuk mengambil obatnya.
33

Berdasarkan resep tersebut, terdapat kekurangan dalam hal persyaratan


administratif antara lain:
1. Aturan pakai obat tidak ditulis dengan menggunakan aturan dan bahasa latin
yang sesuai serta tidak tercantum waktu penggunaan obat. Hal ini penting
untuk memperoleh keefektivan terapi obat serta dibutuhkan dalam
meningkatkan kepatuhan pasien. Penulisan 2 dd 1 sebaiknya diganti menjadi
S. b.d.d. caps. I yang artinya 2 kali sehari 1 kapsul, aturan penggunaan
lainnya seperti a.c. (ante coenam = sebelum makan) atau p.c. (post coenam =
sesudah makan) tidak tercantum. Jika pada resep ditemukan hal tersebut maka
apoteker harus menjelaskan pada pasien dan menuliskannya pada etiket
mengenai waktu pemakaian obat tersebut.
2. Pada resep tersebut tidak tercantumkan umur, berat badan, jenis kelamin,
alamat dan nomor telepon pasien. Data lengkap pasien perlu diketahui untuk
memudahkan menghubungi pasien jika sewaktu-waktu terjadi kesalahan
dalam pemberian obat. Namun hal ini dapat diatasi dengan bertanya langsung
pada pasien atau keluarga pada saat penyerahan obat. Setelah ditelusuri
pasien telah menjalani pengobatan sejak desember 2016, diketahui pasien
berjenis kelamin perempuan, umur 40 tahun, alamat jalan ince nurdin no.37
A.
3. Tidak dicantumkan paraf dokter. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan,
resep harus memuat tanda tangan dokter atau penulis resep, hal ini sangat
berkaitan dengan legalitas dan keabsahan dari dokter tersebut, maupun tempat
praktiknya

III.2.2 Skrining farmasetik


1. Kesesuaian bentuk sediaan
Bentuk sediaan yang diberikan pada pasien yaitu kapsul dan tablet. Bentuk
sediaan tersebut sudah sesuai untuk pasien dewasa.
34

2. Stabilitas
Obat-obat yang diresepkan oleh dokter umumnya stabil disimpan di
tempat kering, pada suhu kamar (15°C - 30°C) dan terlindung dari sinar
matahari langsung.
3. Inkompatibilitas Obat
Inkompatibilitas obat yaitu reaksi yang tidak diinginkan yang terjadi
antara obat dengan cairan pelarut, dengan tempat obat, maupun dengan obat
lain. Resep racikan yang diberikan tidak mengalami inkompatibilitas secara
fisik selama pencampuran.

III.2.3 Skrining Klinis

III.2.3.1 Kesesuaian dosis


1. R/ pertama Sifrol® (MIMS, 2017)
Mengandung Pramipeksol HCl
Dosis lazim: 0,125–0,375 mg 1–3 x sehari
Dosis maksimum sehari: 4,5 mg
Dosis yang diberikan dokter adalah 0,125 mg 1 kali sehari pada malam hari.
Sekali = 1x 0,125 mg = 0,125 mg (memenuhi dosis lazim)
Sehari = 1 x 0,125 mg = 0,125 mg (memenuhi dosis lazim)
0,125
% Dosis Maksimum = x 100% = 2,7%
4,5
Berdasarkan perhitungan di atas, dosis sifrol telah memenuhi dosis lazim
sehingga dapat memberikan efek terapi.

2. R/ kedua (Racikan kapsul)


a. Levoben®( MIMS, 2017)
Mengandung Levodopa 100 mg, benserazide 25 mg
Dosis lazim: ½ tab–1 tab 3-4 x sehari
Dosis yang diberikan dokter adalah ½ tab 2 kali sehari setelah makan.
Sekali = 1x ½ tablet = ½ tablet (memenuhi dosis lazim)
Sehari = 2 x ½ tablet = 1 tablet (memenuhi dosis lazim)
35

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis levoben telah memenuhi dosis


lazim sehingga dapat memberikan efek terapi.

b. Arkine® (MIMS, 2017)


Mengandung Trihexyphenidyl HCl
Dosis lazim: 1 mg-10 mg 1-3 kali sehari
Dosis maksimum sehari: 15 mg sehari
Dosis yang diberikan dokter adalah 1 mg 2 kali sehari setelah makan.
Sekali = 1 x 1 mg = 1 mg (memenuhi dosis lazim)
Sehari = 2 x 1 mg = 2 mg (memenuhi dosis lazim)
2
% Dosis Maksimum = x 100% = 13,3%
15
Berdasarkan perhitungan di atas, dosis arkine telah memenuhi dosis lazim
sehingga dapat memberikan efek terapi.

3. R/ ketiga (Racikan kapsul)


a. Govotil®(BNF, 2018)
Mengandung Haloperidol
Dosis lazim: 0,5 mg–1 mg 3 x sehari
Dosis maksimum sehari: 5 mg sehari
Dosis yang diberikan dokter adalah 0,25 mg 2 kali sehari setelah makan.
Sekali = 1x 0,25 mg= 0,25 mg (tidak memenuhi dosis lazim)
Sehari = 2 x 0,25= 0,5 mg (tidak memenuhi dosis lazim)
0,5
% Dosis Maksimum = x 100% = 10%
5
Berdasarkan perhitungan di atas, dosis govotil tidak memenuhi dosis lazim
untuk sekali dan sehari pemakaian.

b. Riklona® (MIMS, 2017)


Mengandung Clonazepam
Dosis lazim: 0,25 mg–1 mg 2 kali sehari
Dosis maksimum sehari: 4 mg
36

Dosis yang diberikan dokter adalah 0,25 mg 2 kali sehari setelah makan.
Sekali = 1 x 0,25 mg = 0,25 mg (memenuhi dosis lazim)
Sehari = 2 x 0,25 mg = 0,50 mg (memenuhi dosis lazim)
0,50
% Dosis Maksimum = x 100% = 12,5%
4
Berdasarkan perhitungan di atas, dosis riklona telah memenuhi dosis lazim
sehingga dapat memberikan efek terapi.

4. R/ keempat Orinox® (BNF, 2018)


Mengandung Etoricoxib
Dosis lazim: 30-60 mg sekali sehari
Dosis maksimum sehari: 150 mg
Dosis yang diberikan dokter adalah 60 mg 1 kali sehari 1 tablet.
Sekali = 1 x 60 mg = 60 mg (memenuhi dosis lazim)
Sehari = 1 x 60 mg = 60 mg (memenuhi dosis lazim)
60
% Dosis Maksimum = x 100% = 40%
150
Berdasarkan perhitungan di atas, dosis orinox memenuhi dosis lazim
sehingga memberikan efek terapi.

5. R/ keempat Umaron® (MIMS, 2017)


Mengandung Sodium Hyaluronate
Dosis lazim: 20 mg sekali seminggu
Dosis maksimum seminggu: 20 mg
Dosis yang diberikan dokter adalah 20 mg, disuntikkan sekali seminggu.
Sekali = 1 x 20 mg = 20 mg (memenuhi dosis lazim dan dosis maksimum)
Berdasarkan perhitungan di atas, dosis umaron memenuhi dosis lazim
sehingga memberikan efek terapi.
37

II.2.3.2 Pertimbangan klinis


Berdasarkan resep, obat-obat yang diberikan diindikasikan untuk
mengatasi gejala parkinson dan juga mengalami gejala kecemasan serta
osteoartritis.

Sifrol mengandung Pramipeksol HCl 0,125 mg, diindikasikan untuk


mengatasi tanda dan gejala parkinson (MIMS). Levoben mengandung
Levadopa 100 mg dan Benserazide 25 mg diindikasikan untuk mengatasi tanda
dan gejala parkinson (MIMS). Arkine mengandung Triheksifenidil 2 mg
diindikasikan untuk mengatasi gejala parkinson dan juga sebagai penurun rasa
kaku yang terjadi di otot, mengatasi produksi saliva, keringat berlebih (Binfar,
2013).

Govotil mengandung Haloperidol 2 mg diindikasikan untuk mengatasi


golongan antipsikotik yang bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis pada
gangguan mental, seperti skizofrenia. Obat ini juga dapat membantu
mengurangi gejala sindrom Tourette, seperti gerakan otot yang tidak terkontrol.
Haloperidol bekerja dengan mengembalikan keseimbangan zat kimia alami
dalam otak, yakni neurotransmitter, sehingga dapat menimbulkan rasa tenang,
meredakan kegelisahan, serta mengurangi perilaku agresif dan keinginan untuk
menyakiti orang lain (Sweetman, 2009). Riklona mengandung Klonazepam 2
mg diindikasikan untuk mengatasi gejala sebagai antidpresan yang dapat
membantu mengobati gangguan kecemasan (termasuk agorafobia) pada orang
dewasa (Sweetman, 2009).

Orinox mengandung Etoricoxib 60 mg diindikasikan untuk Meringankan


gejala osteoarthritis (OA) (MIMS). Umaron mengandung Sodium hyaluronate
diindikasikan untuk mengatasi nyeri lutut pada penderita osteoartritis (MIMS).

Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai


dengan kebutuhan klinis pasien dengan jumlah dan waktu tertentu serta biaya
yang rendah. Irrational prescribing dapat kita lihat dalam bentuk pemberian
dosis yang berlebihan, (overprescribing) atau tidak memadai
38

(underprescribing), penggunaan banyak jenis obat yang sebenarnya tidak


diperlukan (polifarmasi), menggunakan obat yang lebih toksik padahal ada
yang lebih aman, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus, dan memberikan
beberapa obat yang berinteraksi (Sadikin, Z., 2011).

Pada resep yang diberikan dosis beberapa obat dianggap rasional karena
berada pada dosis terapi yang diinginkan. Namun, perlu dipertimbangkan
penggunaan beberapa obat yang saling berinteraksi yang dapat meningkatkan
atau mengurangi dosis terapi obat. Terdapat beberapa obat yang tidak rasional,
yaitu adanya obat yang tidak memenuhi dosis terapi seperi govotil.

Obat pertama adalah Sifrol®. Lama penggunaan obat ini yaitu 7 hari
diperoleh dari sediaan tablet Sifrol® 0,125 mg dan diberikan 3 kali sehari maka
obat tersebut habis setelah 7 hari.
6
Racikan kapsul pada resep kedua mengandung obat-obat yang mempunyai
efek terapi sinergis, Levoben dan Arkine merupakan obat yang diindikasikan
untuk mengatasi tanda dan gejala parkinson. Lama penggunaan obat ini yaitu
30 hari diperoleh dari sediaan Levoben dan Arkine masing-masing 30 tablet
yang dibuat menjadi 60 kapsul dan diberikan 2 kali sehari maka obat tersebut
habis setelah 30 hari.
6
Racikan kapsul pada resep ketiga mengandung obat-obat yang mempunyai
efek terapi sinergis, Govotil dan Riklona merupakan obat yang diindikasikan
untuk mengatasi gejala sebagai antidpresan yang dapat membantu
mengobati gangguan kecemasan dan sindrom tourette. Lama penggunaan obat
ini yaitu 30 hari diperoleh dari sediaan Govotil dan Riklona masing-masing 7,5
tablet yang dibuat menjadi 60 kapsul dan diberikan 2 kali sehari maka obat
tersebut habis setelah 30 hari.
6
39

Obat keempat adalah Orinox®. Lama penggunaan obat ini yaitu 10 hari
diperoleh dari sediaan tablet Orinox® 60 mg dan diberikan 1 kali sehari maka
obat tersebut habis setelah 10 hari. Obat kelima adalah Umaron®. Lama
penggunaan obat ini yaitu 1 hari diperoleh dari sediaan injeksi Umaron ® dan
diberikan 1 kali seminggu maka obat tersebut habis dalam1 hari.
6
Pada resep diberikan jenis obat simptomatik. Pengobatan simptomatik
bertujuan meringankan atau menyembuhkan gejala, bukan mengobati sumber
penyakit. Dalam resep terdapat tiga bentuk sediaan obat yaitu bentuk sediaan
kapsul, tablet dan injeksi.Bentuk sediaan kapsul dalam dosis terbagi yang
mengandung racikan 2 obat sebanyak masing-masing 60 kapsul. Resep racikan
ini diberikan 2 kali sehari.

Dalam Permenkes RI No.73 tahun 2016, disebutkan bahwa pasien dengan


polifarmasi adalah pasien yang menerima beberapa obat untuk indikasi yang
sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian obat lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat yang
mempunyai khasiat dan mekanisme yang sama (duplikasi). Pada resep tertera
7macam obat, dimana juga terdapat 7 macam zat aktif sehingga untuk kejadian
ini termasuk dalam kategori polifarmasi karena lebih dari 3 jenis obat.

Selain terjadi polifarmasi obat dalam resep ini juga ada duplikasi obat.
Duplikasi yaitu ada dua obat untuk mengatasi gejala parkinson yang diberikan
yaitu Sifrol dan Racikan kapsul Levoben dan Arkine dimana ketiga obat ini
memiliki mekanisme kerja yang serupa. Begitupun dengan Govotil dan
Riklona yang digunakan sebagai antidpresan yang dapat membantu
mengobati gangguan kecemasan (termasuk agorafobia) dan sindrom tourette
pada orang dewasa (Sweetman, 2009). Orinox dan Umaron juga memiliki
kesamaan yaitu diindikasikan untuk mengatasi nyeri lutut pada penderita
osteoartritis (MIMS).
40

Reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) atau adverse drug reaction
(ADR) adalah didefinisikan sebagai efek yang tidak diinginkan yang
berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul sebagai bagian dari aksi
farmakologis obat yang kejadiannya mungkin tidak dapat diperkirakan
(Edwards and Aronson, 2000).

Sifrol dapat menyebabkan nyeri otot, mengantuk, sesak napas, tremor,


mulut kering, detak jantung cepat dan tidak teratur bila diberikan dalam dosis
yang besar. Levoben dapat menyebabkan mual, muntah, pusing dan kejang
kelopak mata.Arkine dapat menyebabkan bola mata membesar dan pandangan
kabur, sulit buang air kecil, kering pada mulut, lelah dan pusing. Govotil dapat
menyebabkan pusing, sakit kepala, cemas dan sulit buang air kecil. Riklona
dapat menyebabkan kejang, tremor, kram otot, muntah dan insomnia.Orinox
dapat menyebabkan sulit bernapas, dada terasa sakit, mual muntah, pusing dan
konstipasi. Umaron dapat menyebabkan edema, ruam dan sensasi panas serta
nyeri lokal. (MIMS, PIONAS).

Dalam resep ditemukan kontraindikasi obat terhadap pasien yaitu


Haloperidol. Haloperidol kontraindikasi dengan penderita penyakit parkinson,
sehingga penderita parkinson yang menggunakan Haloperidol dapat
menyebabkan efek yang berlawanan dan memperburuk tanda-tanda Parkinson.
Sehingga perlu dihindari atau gunakan obat alternatif.

Interaksi obat dapat digolongkan menjadi interaksi farmakodinamik dan


interaksi farmakokinetika. Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan
ataupun menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik
yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk
obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena
adanya perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik
yang berbeda. Interaksi farmakodinamik adalah interaksiantara obat yang
bekerja pada sistem reseptor,tempat kerja atau sistem fisiologik yang
41

samasehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada
perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi
farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang
segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah
berdasarkan efek farmakodinamiknya. Umumnya kejadian interaksi
farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika
mekanisme kerja obat diketahui (Gitawati, 2008).

Pada resep yang dianalisa terdapat interaksi antara Haloperidol dan


Pramipexole, Haloperidol mengurangi efek Pramipexole dengan mekanisme
antagonisme farmakodinamik. Terdapat beberapa obat juga yang perlu
dimonitoring penggunaannya yaitu Haloperidol dan Clonazepam, Clonazepam
dan haloperidol keduanya meningkatkan efek sedasi. Begitupun dengan
Haloperidol dan Trihexyphenidyl, Haloperidol meningkatkan efek
Trihexyphenidil dengan mekanisme sinergisme farmakodinamik. Monitoring
penggunaan juga diperlukan untuk Levodopa dan Pramipexole, levodopa dan
pramipexole keduanya meningkatkan efek dopaminergik. Sebaiknya digunakan
dengan hati-hati. Terdapat penggunaan obat yang juga menyebabkan efek
samping minor yaitu trihexyphenidil dan levodopa, agen antikolinergik dapat
meningkatkan efek terapi levodopa, namun agen antikolinergik dapat
menyebabkan tardive diskinesia. dalam dosis tinggi, antikolinergik dapat
mengurangi efek levodopa dengan menunda penyerapan GI-nya (Medscape).

III.3 Uraian Obat dalam Resep


1. Sifrol® (MIMS, PIONAS)
a. Komposisi
Tiap tablet mengandung Pramipeksol HCl 0,125 mg
b. Nama Dagang
Sifrol®
c. Farmakologi
Pramipeksol digunakan sebagai kombinasi dengan Levodopa dan
karbidopa untuk pengobatan penyakit Parkinson awal. Agonis dopamine
42

yang digunakan untuk pengobatan Parkinson adalah Pramipeksol (agonis


D2), yang merupakan senyawa-senyawa kimia nonergot. Agonis dopamine
dapat digunakan untuk pengobatan Parkinson karena meskipun neuron-
neuron yang melepaskan dopamine menghilang, reseptor dopamine pasca
sinaps tetap ada dan berfungsi. Oleh karena itu, pemberian agonis
dopamine untuk merangsang reseptor-reseptor ini akan memperbaiki
keseimbangan inhibisi dan eksitasi dalam ganglia basal. Kerja dan efek
samping obat-obat ini serupa dengan L-dopa. Aktivasi reseptor dopamine
dalam kelenjar hipofisis menghambat pelepasan prolactin. Penurunan
prolactin ini dapat mengubah fungsi reproduksi
d. Indikasi
Penyakit parkinson, yang digunakan tunggal maupun sebagai terapi
tambahan dengan levodopa.
e. Kontraindikasi
wanita menyusui dan hipersensitif terhadap pramipeksol.
f. Efek Samping
Mual, konstipasi, mengantuk dan insomnia, pusing, halusinasi, diskinesia,
dan udem periferal.
g. Peringatan dan Perhatian
Kelainan psikosis, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ophtalmologi
karena adanya resiko gangguan penglihatan, penyakit kardiovaskuler
berat, hindari penghentian obat secara tiba-tiba (risiko sindrom neuroleptik
malignan), gangguan ginjal, kehamilan dan reaksi hipotensif dapat
menganggu pada beberapa pasien selama beberapa hari pertama
pengobatan.
h. Dosis
0,125 mg- 0,375 mg 1-3 x sehari

2. Levoben® tablet (MIMS, PIONAS)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung Levodopa 100 mg, Benserazide 25 mg.
43

b. Nama Dagang
Levoben®.
c. Farmakologi
Degenerasi basal ganglia pada otak penderita Parkinson menganggu fungsi
neuron dopaminergik di substansia nigra yang menyebabkan penurunan
konsentrasi neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, perlunya pengganti
dopamin dari luar tubuh untuk mengatasi defisiensi dopamin ini. Levodopa
diambil oleh neuron dopaminergik melalui proses dekarboksilasi pada
terminal presinaptik yang kemudian menghasilkan dopamin. Levodopa
dapat melewati sawar darah otak, sedangkan dopamin tidak dapat
melewati sawar darah otak. Maka levodopa disebut juga obat prekursor
dopamin. Namun, levodopa banyak dikarboksilasi menjadi dopamin di
jaringan ekstraserebral terutama traktus gastrointerstinal pada administrasi
oral dengan sangat cepat, sehingga hanya sedikit saja levodopa yang
berhasil sampai sistem saraf pusat. Maka dari itu, levodopa biasa diberikan
bersama dengan karbidopa atau benserazide, yaitu inhibitor dekarboksilase
untuk mencegah formasi dopamin di perifer. Inhibitor dekarboksilase ini
tidak dapat melewati sawar darah otak.
d. Indikasi
Semua jenis sindrom parkinson dengan fluktuasi, kecuali parkinsonisme
yang diinduksi obat, untuk mengendalikan gejala-gejala nokturnal.
e. Kontraindikasi
Glaukoma sudut sempit, psikosis, gangguan endokrin, ginjal, hati, paru,
osteomalasia, riwayat tukak peptik. Pasien dengan dugaan melanoma pada
lesi kulit yang tdk diketahui penyebabnya atau ada riwayat melanoma.
Pengguaan bersama amin simpatomimetik atau MAOI.
f. Efek Samping
Muntah, diare, mual, kegelisahan, ruam, peningkatan berkedip, kejang
kelopak mata dan pusing.
g. Peringatan dan Perhatian
Hipersensitivitas pada Levoben Tablet.
44

h. Dosis
- Dewasa (½-1 tablet 3-4 kali/hari)
- Lansia (½ tablet 1-2 kali/hari)

3. Arkine tablet (Baxter, 2010; Sweetman, 2009; MIMS, 2016)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung Trihexyphenidyl HCl 2 mg.
b. Nama Dagang
Arkine® tablet
c. Farmakologi
Trihexyphenidyl adalah antagonis selektif reseptor acetylcholine M1
muscarinic. Oleh sebab itu hanya bekerja pada M1 yaitu kortikal atau
neuronal dan bukan subtipe muskarinik perifer yaitu jantung dan
kelenjar. Trihexyphenidyl secara parsial menghambat aktivitas kolinergik
di susunan saraf pusat, yang bertanggung jawab atas gejala penyakit
Parkinson. Zat ini juga dipikirkan dapat meningkatkan ketersediaan
dopamin, zat kimia otak yang sangat penting dalam inisiasi dan kelancaran
kontrol gerakan otot secara sadar. Secara singkat mekanisme
kerja Trihexyphenidyl yaitu dengan cara memblokir impuls saraf dan
melemaskan otot-otot. Dengan demikian, gangguan gerakan yang tidak
normal atau tak terkendali akibat penyakit Parkinson ataupun efek
samping obat menjadi bisa dikendalikan.
d. Indikasi
Kekakuan, tremor, kejang, dan kontrol otot yang buruk pada penyakit
Parkinson.
e. Kontraindikasi
45

Riwayat alergi terhadap THP, gangguan fungsi jantung atau


adanya penyakit jantung, penyakit glaukoma sudut tertutup, pembesaran
prostat pada pria usia lanjut, dan gerakan usus yang terhambat atau
melambat (ileus).
f. Efek samping
Gangguan pencernaan (mulut kering, mual, sulit buang air besar
atau konstipasi), peningkatan tekanan bola mata, penglihatan kabur,
halusinasi, ileus, sulit buang air kecil dan sakit kepala.

g. Perhatian
Hati-hati penggunaan obat ini pada penderita ibu hamil dan menyusui.
h. Dosis dan aturan pakai
1 mg-10 mg 1-3 kali sehari

4. Govotil Tablet (MIMS 2016) (Sweetman, 2009)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung Haloperidol 2 mg dan 5 mg
b. Nama dagang
Govotil®
c. Farmakologi
Antipsikotik generasi pertama bekerja dengan memblokir reseptor
dopamin postsinaptik (D2) dalam sistem mesolimbik otak.Hipotesa
dopamin menyatakan bahwa obat antipsikotik menurunkan gejala psikosis
positif dengan menurunkan aktivitas dopamin pada sistem mesolimbik
otak tersebut. Selain memiliki afinitas untuk memblokade dopamin pada
reseptor postsinaptik (D2), obat-obat antipsikotik generasi pertama juga
memiliki afinitas untuk memblokir reseptor-reseptor lainnya seperti
reseptor 5HT2. Setiap obat antipsikotik tipikal memiliki afinitas yang
berbeda terhadap reseptor-reseptor lain yang dipengaruhinya. Dapat dilihat
bahwa pada semua obat antipsikotik golongan pertama terdapat afinitas
yang sangat tinggi terhadap reseptor D2.
46

d. Indikasi
Haloperidol adalah obat golongan antipsikotik yang bermanfaat untuk
mengatasi gejala psikosis pada gangguan mental, seperti skizofrenia.Obat
ini juga dapat membantu mengurangi gejala sindrom Tourette, seperti
gerakan otot yang tidak terkontrol.
e. Kontraindikasi
Keracunan berat dengan depresi sistem saraf pusat (SSP) dan ibu
menyusui
f. Efek samping
Disfungsi ereksi, gangguan siklus menstruasi, keinginan untuk terus
bergerak (akathisia), gangguan pada gerakan otot (distonia), gerakan tidak
terkendali pada lidah, wajah, dan bibir, berat badan bertambah, otot kaku,
sakit kepala.
g. Peringatan dan perhatian
Hati-hati bagi penderita gangguan jantung, gangguan pembuluh darah,
gangguan sistem saraf pusat, glaukoma, sindrom mulut kering, atau
penyakit Alzheimer.
h. Dosis
- Dewasa (0,5-1 mg 3 kali/hari)
- Anak usia >3 tahun (0,025-0,05 mg/kgBB per hari)

5. Riklona (Baxter, 2010; Sweetman, 2009; MIMS 2016)

a. Komposisi
Tiap tablet mengandung Clonazepam 2 mg.
b. Nama Dagang
Riklona®
c. Farmakologi
Clonazepam memperantai kerja asam amino GABA (Gamma Amino
Butyric Acid), neurotransmiter inhibisi utama di otak.K arena saluran
reseptor GABA dengan selektif memasukkan anion klorida ke dalam
47

neuron, aktivasi reseptor GABA menghiperpolarisasi neuron sehingga


terjadi inhibisi. Benzodiazepin menimbulkan efeknya dengan terikat ke
tempat khusus di reseptor GABA.[6] Reseptor GABA merupakan tempat
dimana obat golongan benzodiazepin bekerja, seperti diazepam.Diazepam
akan mengikat pada reseptor GABA secara alosterik, dimana ia akan
mengingat pada sisi lain selain sisi aktif dari reseptor GABA.Ketika
diazepam mengikat reseptor GABA, ia akan meningkatkan frekuensi dari
pembukaan reseptor tersebut. Diazepam menyebabkan peningkatan
konduktivitas dari reseptor GABA.Ketika neurotransmitter GABA
mengikat dengan reseptor, ia memicu perubahan konformasi dalam pori-
pori sehingga memungkinkan lebih banyak Cl- masuk ke dalam sel.Hal ini
menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel, akibatnya menghasilkan
penghambatan potensial aksi.Setelah mengikat, benzodiazepin mengunci
reseptor GABA menjadi konformasi yang meningkatkan pengikatan
GABA.Peningkatan GABA yang terikat pada reseptor meningkatkan
frekuensi membuka terkait kanal ion Cl-, sehingga memperkuat efek
penghambatan potensial aksi.
d. Indikasi
Mencegah sekaligus mengontrol kejang dan epilepsi.
e. Kontraindikasi
Gangguan fungsi organ hati, riwayat alergi klonazepam, konsumsi dan
kecanduan alkohol, penyakit glaucoma, psikosis (gangguan mental),
miastenia gravis, depresi pernafasan dan penurunan kesadaran.
f. Efek samping
Penurunan kesadaran, depresi, pusing, gangguan koordinasi gerakan
(ataxia), kelelahan (fatigue), gangguan ingatan, kebingungan dan infeksi
saluran pernapasan bagian atas.
g. Peringatan dan Perhatian
Hati-hati bagi penderita glaukoma, penyakit paru obstruktif kronis,
gangguan pada ginjal atau hati, sleep apnea (gangguan tidur), depresi,
48

kecenderungan untuk bunuh diri, amnesia, hiperaktif, gangguan


pernapasan, porfiria, gejala psikosis, dan myasthenia gravis.
h. Dosis
- Dewasa (0,25-1 mg 2 kali/hari)
- Anak usia >3 tahun (0,01-0,03 mg/kgBB per hari)

6. Orinox (Baxter, 2010; Sweetman, 2009; MIMS 2016)

a. Komposisi
Tiap tablet mengandung Etoricoxib 60 mg dan 120 mg.
b. Nama Dagang
Orinox®
c. Farmakologi
Etoricoxib bekerja dengan hanya menghambat enzim cyclo-oxygenase-2
(COX-2). Baik enzim COX 1 maupun COX 2 akan memproduksi
prostaglandin sebagai respon akibat cedera di tubuh, yang dapat
menyebabkan nyeri dan pembengkakan. Prostaglandin juga dihasilkan
untuk melindungi dinding lambung dan usus. Beda dengan COX 1, enzim
COX 2 tidak terdapat pada dinding lambung dan usus, sehingga ketika
dihambat, tidak akan menurunkan perlindungan terhadap dinding lambung
dan usus. Ini sebabnya, OAINS yang hanya menghambat COX 2, seperti
etoricoxib, memiliki risiko lebih kecil dalam menimbulkan efek samping
sakit maag, tukak lambung, atau ulkus duodenum.
d. Indikasi
Meredakan nyeri dan pembengkakan pada penderita osteoarthritis,
rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, dan radang sendi akibat
penyakit asam urat.
e. Kontraindikasi
Menderita gagal jantung mulai dari sedang hingga berat, mengidap
penyakit arteri koroner, mengidap penyakit arteri perifer, menderita
penyakit serebrovaskular dan mengidap polip hidung.
f. Efek samping
49

Mual dan muntah, sakit maag, konstipasi, pembengkakan pada tungkai,


pergelangan, dan telapak kaki, hipertensi, pusing, lebam pada kulit dan
sariawan.
g. Peringatan dan Perhatian
Hati-hati bagi hati-hati bagi yang memiliki riwayat perdarahan saluran
cerna dan tukak lambung, penyakit jantung, stroke, hipertensi, gangguan
fungsi hati, gangguan ginjal, diabetes, Crohn’s disease, serta kolesterol
tinggi.
h. Dosis
Dewasa (30-60 mg 1 kali/hari)

7. Umaron® Injeksi (Sweetman, 2009; MIMS 2016)

a. Komposisi
Tiap vial mengandung Sodium Hyaluronate 20 mg.
b. Nama Dagang
Umaron®
c. Farmakologi
Sodium hyaluronate berfungsi sebagai pelumas jaringan dan peredam
kejut. Senyawa ini membentuk larutan viskoelastis dalam air. Viskositas
larutan yang tinggi memberikan proteksi mekanis untuk jaringan (iris,
retina) dan lapisan sel (kornea, endotelium, dan epitel). Elastisitas larutan
membantu menyerap tekanan mekanis dan memberikan penyangga
pelindung untuk jaringan.
d. Indikasi
Umaron injeksi adalah obat yang digunakan untuk mengobati nyeri lutut
pada penderita osteoartritis bila terapi non-farmokologik dan analgesik
sederhana tidak memberikan hasil yang optimal.
e. Kontraindikasi
50

Jangan digunakan untuk pasien yang memiliki riwayat alergiterhadap


Sodium hyaluronate dan bila ada infeksi atau penyakit kulit di tempat
suntikan.
f. Efek samping
Nyeri dan pembengkakan pada tempat injeksi, edema, ruam, sensasi panas
dan nyeri lokal.
g. Peringatan dan Perhatian
Hati-hati menggunakan obat ini pada pasien dengan riwayat
hipersensitivitas terhadap obat lain, pasien dengan gangguan hati atau
riwayat gangguan tersebut.
h. Dosis
Dewasa (20 mg 1 kali/minggu)

III.4 Penyiapan obat


1. Racikan pertama
a. Perhitungan bahan untuk 60 kapsul
1
Levoben = x 60 = 30 tablet @ Levodopa 100 mg, Benserazide 25 mg
2
1
Arkine = x 60 = 30 tablet @ 2 mg
2
b. Pencampuran
1) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan sesuai perhitungan.
2) Obat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam penghalus
elektrik (blender) untuk dihaluskan hingga homogen.
3) Dimasukkan serbuk homogen tersebut kedalam cangkang kapsul
sebanyak 60 kapsul.
c. Pengemasan
Obat yang akan diserahkan harus dikemas rapi dalam kemasan
yang cocok, sehingga terjaga kualitas obatnya.Obat yang telah diracik
sebanyak 60 kapsul, dimasukkan ke dalam sak obat.Lalu diberi etiket putih
51

dengan aturan pakai 2 kali sehari 1 kapsul, diminum 15-30 menit sesudah
makan.

2. Racikan kedua
a. Perhitungan bahan untuk 60 kapsul
0,25
Govotil = x 60 = 7,5 tablet @ 2 mg
2
0,25
Riklona = x 60 = 7,5 tablet @ 2 mg
2
b. Pencampuran
1) Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan sesuai perhitungan.
2) Obat yang telah disiapkan kemudian dimasukkan ke dalam penghalus
elektrik (blender) untuk dihaluskan hingga homogen.
3) Dimasukkan serbuk homogen tersebut kedalam cangkang kapsul
sebanyak 60 kapsul.

c. Pengemasan
Obat yang akan diserahkan harus dikemas rapi dalam kemasan
yang cocok, sehingga terjaga kualitas obatnya. Obat yang telah diracik
sebanyak 60 kapsul, dimasukkan ke dalam sak obat. Lalu diberi etiket
putih dengan aturan pakai 2 kali sehari 1 kapsul, diminum 15-30 menit
sesudah makan.

3. Untuk obat Non Racikan


a. Obat Sifrol® dimbil 20 tablet, obat dikemas dan diberikan etiket putih
dengan aturan pakai 1 kali sehari. Obat ini diminum pada malam hari
sesudah makan.
b. Obat Orinox® dimbil 10 tablet, obat dikemas dan diberikan etiket putih
dengan aturan pakai 1 kali sehari. Obat ini diminum pada pagi hari
sesudah makan.
52

c. Obat Umaron® injeksi dimbil 1 vial, obat dikemas dan diberikan etiket
biru dengan aturan pakai disuntikkan 1 kali seminggu. Obat ini
disuntikkan langsung ke sendi lutut oleh tenaga medis.

III.5 Etiket dan copy resep


III.5.1 Etiket
1. Etiket racikan

Gambar 7. Etiket resep racikan kapsul pertama

Gambar 8. Etiket resep racikan kapsul kedua

2. Etiket non racikan

a. Sifrol
53

Gambar 9. Etiket resep Sifrol

b. Orinox

Gambar 10. Etiket resep Orinox

c. Umaron

APOTEK PRODYA
Jl. G. Bawakaraeng No. 116 Makassar 90222
Tlp. 0822 9363 4477 Email :[email protected]

Apoteker :Septian Suryo, S.Si., Apt. No.SIPA : 446/12-04/SIPA/DKK/I/2016

Gambar 11. Etiket resep Umaron


54

III.5.2 Copy Resep


55

Gambar 12. copy resep

III.6 Penyerahan Obat


56

Sebelum penyerahan obat terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan akhir


terhadap kesesuaian antara obat dan resep. Selanjutnya, dilakukan pemberian
informasi obat.Informasi yang diberikan kepada pasien pada saat penyerahan obat
adalah:
1. Dianjurkan kepada pasien agar menggunakan obat-obat ini sesuai anjuran
dokter, jangan meminum lebih dari dosis yang dianjurkan.
2. Untuk obat racikan pertama yang mengandung levoben dan arkinediminum
sebanyak 2 kali sehari, 1 kapsul pada pagi dan malam hari, dapat diminum 15
menit sesudah makan.
3. Untuk obat racikan kedua yang mengandung govotil dan riklonadiminum
sebanyak 2 kali sehari, 1 kapsul pada pagi dan malam hari, dapat diminum 30
menit sesudah makan.
4. Diinformasikan bahwa sifrol diminum sebanyak 1 kali sehari pada malam
hari.
5. Diinformasikan bahwa orinox diminum sebanyak 1 kali sehari pada pagi hari.
6. Diinformasikan bahwa umaron disuntikkan langsung ke sendi lutut sebanyak
1 kali seminggu pada siang hari.
7. Bila pasien lupa minum obat, minumlah dosis yang terlupa segera setelah
ingat, tetapi jika hampir mendekati dosis berikutnya, maka abaikan dosis yang
terlupa dan kembali ke jadwal selanjutnya sesuai aturan pakai. Jangan
menggunakan dua dosis sekaligus dalam waktu yang berdekatan.
8. Jika terjadi reaksi-reaksi yang tidak diinginkan seperti alergi selama
pengobatan, hentikan pengobatan dan hubungi dokter atau apoteker dengan
segera.
9. Semua obat yang diberikan sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup rapat, di
tempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya.
10. Obat sebaiknya dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
11. Untuk BUD (Beyond Use Date) resep racikan kapsul yaitu maksimal 6 bulan
sejak tanggal peracikan.
BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengkajian pada resep dapat disimpulkan beberapa hal
yaitu:
1. Berdasarkan skrining administrasi, pada resep tersebut dapat dikatakan
belum memenuhi semua kriteria resep yang seharusnya. Dari beberapa
kategori, resep tersebut tidak memenuhi aspek tanda tangan dokter,
penulisan nama latin, dan nomor telepon pasien.
2. Berdasarkan skrining pertimbangan klinis pada resep terdapat beberapa
interaksi obat secara farmakokinetik dan farmakodinamik yang dapat
terjadi dalam resep .
3. Berdasarkan hasil analisa obat yang terdapat pada resep, kemungkinan
pasien mengalami parkinson, gangguan cemas dan osteoartritis.

IV.2 Saran
Pencegahan medication error dapat dicegah bila para tenaga kesehatan
saling berkolaborasi.untuk itu, perlu adanya komunikasi antara apoteker pengelola
apotek dengan dokter penulis resep agar obat yang digunakan tepat untuk pasien.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatrics. 2013. Chronic Acetaminophen Exposure in


Pediatric Acute Liver Failure.
2. Badan POM. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan RI No. HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan
dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. BPOM : Jakarta

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri


Kesehatan No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Jakarta Depkes RI.

4. Departemen Kesehatan RI. 1990. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:


347/MenKes/SK/VlI/1990tentang Obat Wajib Apotik (OWA No.1). Depkes
RI: Jakarta
5. Departemen Kesehatan RI. 1997. Undang – undang Republik Indonesia No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika. Depkes RI: Jakarta
6. Departemen Kesehatan RI. 2009.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. 2009. Jakarta.

7. Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang – undang Republik Indonesia No.


35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Depkes RI: Jakarta
8. Departemen Kesehatan RI. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat
Tradisional. Jakarta: Depkes RI.

9. Departemen Kesehatan RI. 2015. Undang – undang Republik Indonesia No. 3


Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Depkes RI: Jakarta
10. Departemen Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Jakarta: Depkes RI

11. Departemen Kesehatan RI. 2017. Undang–Undang Republik Indonesia No.9


Tahun 2017 tentang Apotek. 2017. Jakarta. Mitra Info.

12. Departemen Kesehatan RI. 2018. Peraturan Menteri Kesehatan No. 7 Tahun
2018 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Depkes RI: Jakarta

58
13. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas
Terbatas. Jakarta.

14. Gitawati R. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang
Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008.

15. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk


Terapi Antibiotik. Kemenkes RI : Jakarta
16. Medscape. 2017. Drug Interaction Checker (online). Diakses 19 April 2018.
17. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1983. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk
Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta.

18. Menteri Kesehatan RI. 2008. Keputusan Menteri Keesehatan Republik


Indonesia No. 573 Tahun 2008 tentang Standar Profesi Asisten Apoteker.
Jakarta: Menteri Kesehatan RI.

19. Mims Indonesia. 2016. Petunjuk Konsultasi. PT. Buana Ilmu Populer Jakarta.
20. Siregar, Charles JP. 2003. Farmasi Rumah Sakit“Teori dan Penerapan”
EGC : Jakarta.
21. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.P.,
Kusnandar. 2013. ISO Farmakoterapi Buku 1. ISFI : Jakarta
22. Sweetman, S.C. 2009.  Martindale 36 The Complete Drug Reference. The
Pharmaceutical Press: London.
23. Terrie, Y.C. 2004. Understanding and Managing Polypharmacy in the
Elderly. Pharm Times 12(2): 84-87
24. Thompson JE. 2009. A Practical Guide to Contemporary Pharmacy Practice.
3rd ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins– Wolters Kluwer.
25. U.S. Pharmacopeia. 2007. The United States Pharmacopeia, USP 30/The
National Formulary, NF 25. Rockville, MD: U.S. Pharmacopeial Convention,
Inc.
26. Baxter, Karen. 2010. Stockley Drug Interactions 9th edition. Pharmaceutical
Press. Jakarta.pp. 339, 365, 388, 394, 838-844.

27. BNF. 2018. British National Formulary (74th ed.). London, UK: BMJ Group
and Pharmaceutical Press.

59
LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh format surat pesanan narkotika

SURAT PESANAN NARKOTIKA


Nomor : ………………………

Yang bertanda tangan di bawahini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………

MengajukanpesananNarkotikakepada :
Nama distributor : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telp : ………………………………………

denganNarkotika yang dipesanadalah:


(Sebutkannamaobat, bentuksediaan, kekuatan/potensi,
jumlahdalambentukangkadanhuruf)

Narkotikatersebutakandipergunakanuntuk :
Namasarana : ……………………………………..
(Industrifarmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/InstalasiFarmasiRumah
Sakit/InstalasiFarmasi
Klinik/InstalasiFarmasiPemerintah/LembagaIlmuPengetahuan)*
AlamatSarana : ……………………………………..

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesan

TandaTangandanStempel

NamaApoteker/KepalaLembagaIlmuPengetahuan
No.SIKA/SIPA/NIP

*Coret yang tidakperlu

Catatan:
- Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika
- Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) Rangkap
60
Lampiran 2. Contoh format surat pesanan psikotropika

SURAT PESANAN PSIKOTROPIKA


Nomor : ………………………

Yang bertanda tangan di bawahini :


Nama : ………………………………………
Lampiran
Jabatan 3. Contoh:format surat pesanan prekursor farmasi
………………………………………

MengajukanpesananPsikotropikakepada :
Nama distributor : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telp : ………………………………………

denganPsikotropika yang dipesanadalah:


(Sebutkannamaobat, bentuksediaan, kekuatan/potensi,
jumlahdalambentukangkadanhuruf)

Psikotropikatersebutakandipergunakanuntuk :
Namasarana : ……………………………………..
(Industrifarmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/InstalasiFarmasiRumahSa
kit/InstalasiFarmasiKlinik/InstalasiFarmasiPemerintah/LembagaIl
muPengetahuan)*
AlamatSarana : ……………………………………..

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesan

TandaTangandanStempel

NamaApoteker/KepalaLembagaIlmuPengetahuan
No.SIKA/SIPA/NIP

*Coret yang tidakperlu

Catatan:
- Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) Rangkap

61
Lampiran 3. Contoh format surat pesanan prekursor farmasi

SURAT PESANAN OBAT JADI PREKURSOR FARMASI


Nomor : ………………………

Yang bertanda tangan di bawahini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………

Mengajukanpesanan Obat Jadi Prekursor Farmasi kepada :


Nama distributor : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telp : ………………………………………

dengan Obat Jadi Prekursor Farmasi yang dipesanadalah:


(Sebutkannamaobat, bentuksediaan, kekuatan/potensi,
jumlahdalambentukangkadanhuruf)

Obat Jadi Prekursor Farmasi tersebutakandipergunakanuntuk :


Namasarana : ……………………………………..
(Industrifarmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/InstalasiFarmasiRumahSa
kit/InstalasiFarmasiKlinik/InstalasiFarmasiPemerintah/LembagaIl
muPengetahuan)*
AlamatSarana : ……………………………………..

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesan

TandaTangandanStempel

NamaApoteker/KepalaLembagaIlmuPengetahuan
No.SIKA/SIPA/NIP

*Coret yang tidakperlu

Catatan:
- Suratpesanandibuatsekurang-kurangnya 3 (tiga) Rangkap

62
Lampiran 4.Contoh form pelaporan narkotika

LAPORAN STOK AKHIR NARKOTIKA

:
…………………… BULAN :
NAMA APOTEK …… …………………………
:
…………………… TAHUN :
NO. IZIN APOTEK …… …………………………
:
……………………
ALAMAT ……
:
……………………
TELEPON ……

Pengeluaran
Persediaan
Nama Jumlah
Untuk
Persediaan Pemasukan Ket.
akhir
No. Bahan Satuan Keseluruhan
awal bulan Lain- Jml. bulan
Sediaan (4+7) Pembuatan
lain (8-11)
Tgl Dari Jumlah
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Makassar, …………….. 20..


Penanggung Jawab Apotek

( )
No. SIPA
Lampiran 5.Laporan penggunaan morphin, pethidin dan derivatnya

LAPORAN PENGGUNAAN MORPHIN, PETHIDIN, DAN DERIVATNYA

NAMA APOTEK : BULAN :


NO. IZIN APOTEK : TAHUN :
ALAMAT :
TELEPON :

PASIE
PEMASUKAN N DOKTER

NAMA TANGGAL NAMA SPESIALISKETERANGAN


ALAMAT
PENYERAHA ALAMA
NO. NARKOTIKA SATUAN NOMOR N JUMLAH NAMA T

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Makassar,……………..20…..

Apoteker Pengelola Apotek


51
Lampiran 6.Contoh form laporan pemasukan dan pengeluaran psikotropika

LAPORAN PEMASUKKAN DAN PENGELUARAN PSIKOTROPIKA

:
…………………… BULAN :
NAMA APOTEK …… …………………………
:
…………………… TAHUN :
NO. IZIN APOTEK …… …………………………
:
……………………
ALAMAT ……
:
……………………
TELEPON ……

Pengeluaran
Persediaan
Nama Jumlah Untuk
Persediaan Pemasukan
akhir
No. Bahan Satuan Keseluruhan Ket.
awal bulan Lain- Jml. bulan
Sediaan (4+7) Pembuatan
lain (8-11)
Tgl Dari Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 52 13
Makassar, …………….. 20..
Penanggung Jawab Apotek

( )
No. SIPA

Lampiran 7.Contoh form laporan pengadaan dan penyerahan obat mengandung prekursor farmasi

LAPORAN PENGADAAN DAN PENYERAHAN OBAT MENGANDUNG PREKURSORFARMASI*)

:
…………………… BULAN :
NAMA APOTEK …… …………………………
:
NO. IZIN …………………… TAHUN :
APOTEK …… …………………………
:
……………………
ALAMAT …… 53
TELEPON :
……………………
……

Pengeluaran Persediaan

Nama Jumlah
Untuk
Persediaan Pemasukan Akhir Ket.
No. Bahan Satuan Keseluruhan
awal bulan Lain- Jml. Bulan
Sediaan (4+7) Pembuatan
lain (8-11)
Tgl Dari Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Makassar, …………….. 20..


Penanggung Jawab Apotek

( )
No. SIPA

Anda mungkin juga menyukai