MEMAHAMI Ilmu Sosial

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 205

Memahami Ilmu Sosial

Bab 1

KONSEP DASAR ILMU-ILMU SOSIAL

A. Pengertian Ilmu Sosial

Ilmu sangat berjasa dalam membentuk dunia ini, hingga berkembang


sangat pesat. Menurut Ravert (2004 : 3) kemenangan-kemenangan ilmu
melambangkan suatu proses komulatif peningkatan pengetahuan dan
rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan takhayul; dan dari ilmulah
kemudian mengalir arus penemuan yang berguna untuk kemajuan hidup
manusia.
Gregory (2002: 6) mengatakan, “Jika dengan teknologi orang mengetahui
sebuah teori dari sesuatu, maka dengan ilmu seseorang memiliki sebuah teori
dari suatu penjelasan mengenai ‘mengapa’ sesuatu harus terjadi?”
Menurut Gie (1999: 85-86) di Indonesia istilah ilmu merupakan suatu
perkataan yang bermakna jamak, sebagai berikut.
1. Ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menunjuk pada segenap
pengetahuan ilmiah yang mengacu kepada ilmu umum (science in general).
2. Pengertian ilmu yang menunjuk pada salah satu bidang pengetahuan ilmiah
tertentu, seperti ilmu biologi, antropologi, psikologi, geografi, sejarah,

1
Memahami Ilmu Sosial

ekonomi, dan sebagainya. Sebenarnya dalam pengertiannya yang kedua


inilah yang lebih tepat digunakan khususnya di lingkungan akademis.
Selanjutnya Gie (1999: 88-130), mengatakan ilmu dipandang sebagai
kumpulan pengetahuan sistematis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
1. Ilmu sebagai kumpulan pengetahuan sistematis
Pengertian ini lebih menekankan bahwa ilmu merupakan berbagai
ensiklopedi sistematis.Pengertian ini telah dianut begitu luas dalam
berbagai ensiklopedi dan kepustakaan yang banyak membahas tentang
ilmu.
2. Ilmu sebagai metode penelitian
Pengertian ini mengemukakan penekannya bahwa ilmu itu pada hakikatnya
sebagai metode penlitian.Karena pada dasarnya ilmu merupakan suatu
metode untuk mengatasi masalah-masalah, sehingga memperoleh
pengetahuan yang objektif dan dapat diperiksa kebenarannya.
3. Ilmu sebagai aktivitas penelitian
Pengertian yang ketiga menekankan bahwa ilmu merupakan suatu aktivitas
penelitian. Proses tersebut bertitik tolak dari fakta-fakta keseharian dan
berakhir pada suatu teori yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Hal itu merupakan ciri yang terkandung dalam penelitian ilmu pengetahuan
sebagai bentuk aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara
sadar oleh manusia.Sebab ilmu tidak sekadar merupakan aktivitas tunggal
saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga merupakan suatu
proses. Proses dalam rangkaian aktivitas itu bersifat intelektual serta
mengarang kepada tujuan-tujuan tertentu (Soeprapto, 2003: 127).

Berdasarkan beberapa pengertian ilmu di atas, penulis memberikan


kesimpulan bahwa ilmu merupakan pengetahuan ilmiah yang mengacu kepada
ilmu umum yang dipandang sebagai keseluruhan, baik sebagai pengetahuan,
aktivitas penelitian, maupun metode untuk memperoleh pengetahuan baru.
Istilah sosial dalam ilmu sosial memiliki arti yang berbeda-beda,
misalmya istilah sosial dalam sosialisme dengan istilah departemen sosial, jelas
kedua-duanya menunjukkan makna yang sangat jauh berbeda. Menurut
Soekanto (1986: 11), apabila istilah sosial pada ilmu sosial menunjuk pada

2
Memahami Ilmu Sosial

objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme adalah suatu ideology yang berpokok


pada prinsip pemilikan umum atas alat-alat produkasi dan jasa-jasa dalam
bidang ekonomi (Fairchild, 1964: 296). Sedangkan istilah sosial pada
Departemen Sosial, menunjukkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan sosial.
Artinya kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan-
persoalan yang dihadapi masyarakat dalam bidang kesejahteraan, seperti tuna
karya, tuna susila, tuna wisma, orang jompo, anak yatim piatu, dan lain-lain.
Selain itu, Soekanto (1993: 464) mengemukakan bahwa istilah sosial pun
berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses-
proses sosial. Secara keilmuan, masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu
sosial, dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri atas beberapa segi. Dilihat dari
segi ekonomi, akan bersangkut-paut dengan faktor produksi, distribusi,
penggunaan barang, serta jasa-jasa. Di sinilah ilmu ekonomi yang akan
membahas tentang usaha-usaha menusia untuk memenuhi kebutuhan
materialnya dari bahan-bahan yang terbatas ketersediannya. Sedangkan dari
segi politik, antara lain berhubungan dengan kekuasaan dalam masyarakat.
Berbeda dengan psikologi sosial, yang pada hakikatnya mempelajari perilaku
manusia sebagai individu secara sosial. Selain itu, terdapat antropologi budaya
yang lebih menekankan pada masyarakat dan kebudayaannya, dan begitu
seterusnya untuk ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti geografi sosial, sejarah,
maupun sosiologi.
Berdasarkan pengertian sosial di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
sosial merupakan suatu ilmu yang objeknya adalah masyarakat yang
menunjukkan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial melalui perilaku
interpersonal. Dengan demikian, ilmu sosial merupakan pengetahuan ilmiah
yang objeknya adalah masyarakat sebagai pengetahuan, aktivitas penelitian,
maupun metode untuk memperoleh pengetahuan baru yang bersifat sosial
melalui perilaku interpersonal.
Ada beberapa pengertian ilmu-ilmu sosial yang ditemukan oleh para ahli.
MacKenxie (1996:7) dalam Sapriya (2009: 21), misalnya merumuskan disiplin
ilmu sosial sebagai, “All the academic disciplines which deal with men in their
social context.” Artinya, semua disiplin akademik yang berkaitan dengan
manusia dalam kontenks sosial.

3
Memahami Ilmu Sosial

Mausner (1979: 1) menegaskan bahwa, “The social sciences represent


yet another attempt to selve the puzzles inherent in the situation of man in
society.” Kincaid (1996:6) megemukakan, “Social science should describe how
institutions relate to and influence one another, how social structure develop
and change, and how those institutions and structures influence the fate of
individuals.”
Menurut Wallerstein (1997: 2) ilmu sosial adalah salah satu pewaris yang
jauh melampaui kearifan. Dengan demikian, ilmu sosial adalah sebagai upaya
untuk mencari kebenaran-kebenaran yang jauh melampaui kearifan yang telah
ada atau yang telah didedukasikan. Ilmu sosial adalah usaha penjelajahan
dunia modern. Akarnya tertanam pada upaya yang mekar sejak zaman keenam
belas, serta merupakan bagian dan bidang konstruksi dunia modern. Tujuannya
untuk mengembangkan pengetahuan sekular secara sistematis tentang realitas
yang hendak dibuktikan secara empiris.
Meskipun terdapat berbagai perbedaan pendapat tentang apa yang
disebut ilmu sosial, tetapi semuanya mengarah kepada pemahaman yang sama
bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas manusia
dalam kehidupan bersama (Sairin dalam Abdullah, 2006: 33).
Persoalannya sekarang bagaimana pesepsi masyarakat Indonesia
terhadap ilmu sosial dan bagaimana mereka pula memaknainya? Seperti
berlaku dalam masyarakat lainnya di dunia, masyarakat Indonesia juga terbawa
kepada pandangan umum bahwa ilmu itu menjadi terbagi dua kategori besar
yaitu ilmu eksakta dan ilmu-ilmu non-eksakta. Khusus untuk ilmu non-eksakta
masyarakat juga memilah antara ilmu sosial dan humaniora. Ilmu yang
berkaitan dengan filsafat, sastra, seni, san bahasa dikenal mereka sebagai ilmu
humaniora, sedangkan di luar itu adalah ilmu sosial (Sairin dalam Abdullah,
2006: 33-34).
Berdasarkan beberapa pengertian ilmu sosial di atas, penulis
menyimpulkan bahwa ilmu sosial merupakan ilmu yang berupaya untuk
mencari kebenaran-kebenaran mengenai perilaku dan aktivitas manusia dalam
kehidupan bersama di dalam masyarakat yang bersifat sosial.

4
Memahami Ilmu Sosial

B. Karakteristik Ilmu Sosial

Somantri (2001) dalam Sapriya (2009: 22) mengidentifikasi sejumlah


karakteristik dari ilmu-ilmu sosial, sebagai berikut.
a. Berbagai batang tubuh(body of knowledge) disiplin ilmu-ilmu sosial yang
diorganisasikan secara sistematis dan ilmiah.
b. Batang tubuh disiplin itu berisikan sejumlah teori dan generalisasi yang
handal dan kuat serta dapat diuji tingkat kebenarannya.
c. Batang tubuh ilmu-ilmu sosial ini disebut juga struktur disiplin ilmu, atau
ada juga yang menyebutnya dengan fundamental ideas.
d. Teori dan generalisasi dalam struktur itu disebut pula pengetahuan ilmiah
yang dicapai lewat pendekatan “conceptual” dan “syntactis” yaitu lewat
proses bertanya, berhipotesis, pengumpulan data (observasi dan
eksperimen).
e. Setiap teori dan generalisasi ini terus dikembangkan, dikoreksi, dan
diperbaiki untuk membantu dan menerangkan masa lalu, masa kini, dan
masa depan serta membantu memecahkan masalah-masalah sosial melalui
pikiran, sikap, dan tindakan terbaik.

Berdasarkan karakteristik ilmu-ilmu sosial di atas, dapat penulis


simpulkan bahwa ilmu sosial mengkaji berbagai disiplin ilmu yang
diorganisasikan secara sistematis dan ilmiah yang berisikan sejumlah teori yang
dapat diuji tingkat kebenarannya untuk membantu, mengembangkan, dan
menerangkan masa lalu, masa kini, dan masa depan serta membantu
memecahkan masalah-masalah sosial melalui berbagai nilai-nilai karakter yang
terpuji.

C. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Sosial

Untuk mengenal secara lebih mendalam mengenai ilmu sosial, perlu


terlebih dahulu mengenal disiplin ilmu-ilmu sosial. Sapriya (2009 : 23)
menyatakan sedikitnya ada tujuh disiplin ilmu-ilmu sosial yang kita kenal
selama ini menurut tradisi yang lebih cukup lama khususnya yang berkembang
sejak awal abad ke-20. Disiplin ilmu sosial tersebut dapat dijelaskan satu per
satu (Sapriya, 2009: 23-31) sebagai berikut.

5
Memahami Ilmu Sosial

1. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Geograf


Geografi berasal dari bahasa Yunani, asal kata geo berarti bumi dan
graphein yang berarti lukisan atau tulisan. Menurut pengertian yang
dikemukakan Eratosthenes, geographika berarti tulisan tentang bumi
(Sumaatmadja, 1988: 31).
Geografi telah berkembang sejak sebelum Masehi di Yunani khususnya.
Aktivitas manusia yang paling banyak menuntut keterampilan geografi adalah
perjalanan yang dilakukan para pedagang maupun tentara dalam peperangan
untuk perluasan wilayah. Di antara perjalanan darat yang terkenal adalah Via
Appia antara Roma dan Capua (350 SM) serta Jalan Sutera (antara Tiongkok
dengan Timur Tengah pada Abad Petengahan), telah menjadi sumber materi
geografi yang berharga saat itu (Supardan, 2009: 257).
Menurut Sapriya (2009: 25) geografi mempelajari permukaan bumi dan
bagaimana manusia mempengaruhi serta dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya.
Menurut Wikipedia dalam Ahmadi dan Amri (2011: 95) geografi adalah
ilmu tentang lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di
atas permukaan bumi. Sedangkan menurut Ahmadi dan Amri (2011: 88)
geografi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari/mengkaji bumi dan
segala sesuatu yang ada di atasnya, seperti penduduk, fauna, flora, iklim,
udara, dan segala interaksinya.
Berdasarkan beberapa pengertian geografi di atas, dapat penulis
simpulkan bahwa geografi merupakan ilmu yang membahas tentang bumi dan
seluruh isinya, baik manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan.
Karl Ritter dalam Supardan (2009: 227) menyatakan bahwa geography to
study the earth as the dwelling-place of man. Dalam pengertian the dwelling-
place of man tersebut bahwa bumi tidak hanya terbatas kepada bagian
permukaan bumi yang dihuni manusia saja, melainkan juga wilayah-wilayah
yang tidak dihuni manusia, sejauh wilayah itu penting artinya bagi kehidupan
manusia. Selanjutnya menurut Supardan (2009: 228) wilayah studi geografi
meliputi semua fenomena yang terdapat di permukaan bumi, baik alam
organiknya maupun alam anorganiknya dalam interelasi dan interaksinya dalam
ruang (spatial relationship), di mana semuanya itu dikaji.

6
Memahami Ilmu Sosial

Menurut Hartshorne (1960: 47), “Geography is that discipline that seeks


to describe and interpret the variable character from place to place of earth as
the world of man.” Mengingat ilmu geografi tersebut sangat luas dapat
dianalogikan sebagai perpaduan dari berbagai disiplin ilmu (murni, terapan,
eksak, noneksak, alam, sosial), maka geografi sering disebut sebagai “ibu” atau
“induk” ilmu pengetahuan.
Menurut Supardan (2009: 262) geografi adalah disiplin akademis yang
luas dan dinamis yang memiliki akar-akarnya baik dalam ilmu pasti alam, sosial,
bahkan humaniora.
Berdasarkan uraian di atas, penulis simpulkan bahwa geografi tidak
hanya membahas permukaan bumi dan isinya saja, melainkan juga wilayah lain
yang dapat memberikan manfaat bagi manusia.

Beberapa Konsep yang Berkaitan dengan Geograf


Menurut Supardan (2009: 264) konsep-konsep geografi yang akan
dikemukakan dalam tulisan ini mencakup tempat, sensus penduduk, iklim,
Laut, lingkungan, benua, urbanisasi, peta, kota, mortalitas, khatulistiwa,
demografi, tanah, transmigrasi, wilayah.

Lingkup Ilmu Geograf


Menurut Sumaatmadja (1988: 33) interelasi dan integrasi keruangan
gejala di permukaan bumi dari suatu wilayah ke wilayah lain selalu
menunjukkan perbedaan. Hal ini dapat kita kaji sendiri bahwa ciri-ciri umum
suatu wilayah dapat membedakan diri dari wilayah lainnya.Ciri umum yang
merupakan hasil interelasi, interaksi dan integrasi unsur-unsur wilayah yang
bersangkutan, merupakan obyek studi geografi yang komprehensif. Dengan
demikian, ruang lingkup disiplin geografi memang sangat luas dan mendasar.
Menurut Johnston (2000: 403) geografi secara sederhana merupakan
disiplin akademik yang terutama berkenaan dengan penguraian dan
pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam distribusi lokasi di
permukaan bumi. Fokusnya adalah sifat dan saling keterkaitan antara tiga
konsep, yaitu lingkungan, tata ruang, dan tempat.

7
Memahami Ilmu Sosial

2. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Sejarah


Pada dasarnya, istilah sejarah sudah lama dikenal di Indonesia. Menurut
Frederick dan Soeroto dalam Rochmat (2009: 1), “Kata sejarah diambil dari
bahasa Arab syajaratun yang artinya pohon atau keturunan atau asal-usul yang
kemudian berkembang sebagai kata dalam bahasa Melayu syajarah yang
akhirnya menjadi kata sejarah dalam bahasa Indonesia.” Walaupun demikian
diakui bahwa ada hubungan antara kata syajarah dengan kata sejarah,
seseorang yang mempelajari sejarah tertentu berkaitan dengan cerita, silsilah,
riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian (Sjamsuddin, 1996: 2).
Setelah menelusuri arti sejarah yang dikaitkan dengan arti kata syajarah
dan dihubungkan dengan pula dengan kata history, bersumber dari kata
historia (bahasa Yunani Kuno) dapat disimpulkan bahwa arti kata sejarah
sendiri sekarang ini mempunyai makna sebagai cerita, atau kejadian yang
benar- benar telah terjadi pada masa lalu.
Sunnal dan Haas (1993: 278) menyebutnya, “History is a chronological
study that interprets and gives meaning to events and applies systematic
methods to discover the truth.” Carr (1985: 30) menyatakan, bahwa, “History is
a continous process of interaction between the historian and his facts, and
unending dialogue between the present and the past.”
Sedangkan menurut Bauer dalam Tamburaka (2002: 15), “Sejarah ialah
ilmu yang mencoba menguraikan fenomena kehidupan yang berhubungan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi karena hubungan manusia dengan
masyarakat.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
sejarah adalah perisitiwa atau kejadian masa lalu yang berkaitan dengan
kehidupan manusia ditulis atau disusun secara objektif dan sistematis dengan
menguraikan fenomena kehidupan manusia untuk diambil pelajaran atau
hikmah dari kejadian tersebut yang berkaitan dengan berkaitan dengan cerita,
silsilah, riwayat dan asal-usul tentang seseorang atau kejadian yang benar-
benar terjadi di masa lalu.
Pada umumnya, para ahli sejarah pada umumnya sepakat untuk
membagi peranan dan kedudukan sejarah yang terbagi atas tiga hal, yakni
sejarah sebagai peristiwa; sejarah sebagai ilmu; sejarah sebagai cerita (Ismaun,
1993: 277).

8
Memahami Ilmu Sosial

Sejarah sebagai peristiwa. Adalah sesuatu yang terjadi pada masyarakat


manusia di masa lampau. Pengertian pada masyarakat manusia dan masa
lampau sesuatu yang penting dalam definisi sejarah. Sebab, kejadian yang tidak
memiliki hubungan dengan kehidupan masyarakat manusia, dalam pengertian
di sini, bukanlah merupakan suatu peristiwa sejarah. Sebaliknya, juga peristiwa
yang terjadi pada umat manusia, namun terjadi pada sekarang, bukan pula
peristiwa sejarah. Karena itu konsep siapa yang yang menjadi subyek dan
obyek sejarah serta konsep waktu, dua-duanya menjadi penting.
Pengertian sejarah sebagai peristiwa, sebenarnya memiliki makna yang
sangat luas dan beraneka ragam. Keluasan dan keanekaragaman tersebut sama
dengan luasnya dan kompleksitas kehidupan manusia. Beberapa aspek
kehidupan kita seperti aspek sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik,
kesehatan, agama, keamanan, dan sebagainya semuanya terjalin dalam
peristiwa sejarah. Dengan demikian, sangat wajar jika untuk memudahkan
pemahaman kita tentang para ahli sejarah mengelompokkan lagi atas beberapa
tema. Pembagian sejarah yang demikian itulah yang disebut pembagian
sejarah secara tematis, seperti: sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah
perekonomian, sejarah agama, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan, dan
sebagainya.
Selain pembagian sejarah berdasarkan tema (tematis), juga dikenal
pembagian sejarah berdasarkan periode waktu. Dalam pembagian sejarah
berdasarkan periodisasi tersebut kita dapat mengambil contoh untuk sejarah
Indonesia, yaitu zaman prasejarah, zaman pengaruh Hindu-Budha, zaman
pengaruh Islam, zaman kekuasaan Belanda, zaman pergerakan nasional, zaman
pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Revolusi Fisik, Orde Lama,
Orde Baru, dan Orde Reformasi. Sebagai patokan dalam menentukan tiap
periode atau zaman tersebut harus terpenuhi unsur pembeda antarperiode
satu dengan lainnya.
Apapun bentuknya, peristiwa sejarah, baru diketahui apabila ada sumber
yang sampai kepada sejarawan dan digunakan untuk menyusun peristiwa
berdasarkan sumber. Oleh karena suatu cerita sejarah sangat tergantung selain
oleh kemahiran sejarawan itu sendiri juga kelengkapan sumber yang tersedia.
Di sinilah kemahiran atau kecakapan seorang sejarawan diuji kemampuannya.

9
Memahami Ilmu Sosial

Menurut Gray (1964: 9), untuk menyusun suatu cerita dan eksplanasi sejarah
setidaknya ada enam langkah penelitian:
a) memilih satu topik yang sesuai;
b) mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik;
c) membuat catatan tentang itu, apa saja yang dianggap penting dan relevan
dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung
(misalnya dengan menggunakan system cards);
d) mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik
sumber);
e) menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola
yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan
sebelumnya;
f) menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan
mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti
sejelas mungkin.

Sejarah sebagai ilmu. Dalam pengertiannya kita mengenal definisi sejarah yang
bermacam-macam, baik yang menyangkut persoalan kedudukan sejarah
sebagai bagian dari ilmu sosial, atau sejarah sebagai bagian dari ilmu
humaniora, maupun yang berkembang di sekitar arti makna dan hakikat yang
terkandung dalam sejarah.
Bury (Teggart, 1960: 56) secara tegas menyatakan History is science; no
less, and no more. Sejarah itu adalah ilmu, tidak kurang dan tidak lebih.
Pernyataan ini mungkin tidak bermaksud untuk memberikan penjelasan
batasan tentang sesuatu konsep, melainkan hanya memberikan tingkat
pengkategorian sesuatu ilmu atau bukan. Penjelasan tersebut jelas tidak
memadai untuk untuk memperoleh sesuatu pengertian. Definisi yang cukup
simple dan mudah dipahami diperoleh dari Carr (1985: 30) yang menyatakan,
bahwa, “History is a continous process of interaction between the historian and
his facts, and unending dialogue between the present and the past.”
Pendapat Carr tersebut sejalan dengan pandangan Collingwood (1973: 9)
yang menegaskan bahwa, “Every historian would agree, I think that history is a
kind of research or inquiry.” Colingwood berpendapat bahwa sejarah itu
merupakan riset atau suatu inkuiri. Colingwood selanjutnya menegaskan

10
Memahami Ilmu Sosial

bahwa sasaran penyususnan sejarah adalah untuk membentuk pemikiran agar


kita dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba menemukan
jawaban-jawabannya. Oleh karena itu, menurut Colingwood, all history is the
history of thought, semua sejarah itu adalah sejarah pemikiran.
Selanjutnya, Kartodirdjo menegaskan bahwa sejarah dapat didefinisikan
sebagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau
(Kartodirdjo, 1992: 59). Pengalaman kehidupan kolektif inilah yang merupakan
landasan untuk menentukan identitasnya. Seperti dalam kehidupan masyarakat
tradisional, identitas seseorang dikembalikan ke asal-usulnya maupun keluarga
besarnya. Itulah sebabnya dalam historiografi masyarakat tradisional dilacak
secara dini asal-usulnya bahkan sampai ke mitologisnya. Keberadaan mitos
dalam suatu sejarah itu penting, mengingat dalam pemikiran sejarah diwarnai
oleh pandangan hidupnya, di mana manusia selalu merasa sebagai pusat alam
semesta kosmos (Kartodirdjo, 1992: 59-60).
Gottchalk (1986: 8) mengemukakan pendapat yang sedikit agak berbeda.
Ia mengatakan bahwa: “Sesungguhnya sejarawan yang menulis tidak menarik,
dalam hal itu merupakan sejarawan yang buruk. Secara profesional ia wajib
melukiskan peristiwa-peristiwa yang paling menggairahkan daripada masa
lampau dunia dan menghidupkan kembali suasananya, di samping melukiskan
peristiwa-peristiwa.”
Gottschalk berkesimpulan bahwa sejarah itu lebih berlanggam sastera,
dalam arti keberadaan sejarah itu lebih condong ke seni atau art, walaupun di
bagian lain ia mengakui bahwa sejarah juga sebagai ilmu. Gottschalk yang lebih
condong ke seni juga tidak sendirian. Beberapa sejarawan humaniora lainnya
juga bertengger seperti nama-nama Arthur Schlesinger, Jr., maupun Steel
Commager. Di tengah perdebatan ini, akhirnya muncul pendapat moderat.
Charles A. Beard, seorang sejarawan Amerika Serikat yang menulis artikel
Writen History as an Act of Faith menyatakan bahwa: “… kedua hal itu saling
mengisi. Pastilah bahwa sejarah memiliki metode ilmiah. Berjuta-juta fakta
sejarah dapat dipastikan secara meyakinkan baik bagi awam maupun bagi
para ahli, sama halnya dengan fakta …Kebenaran daripada suatu peristiwa itu
dibuktikan oleh satu seri dokumen yang telah diuji sedemikian seksama akan

11
Memahami Ilmu Sosial

otentisitasnya dan kredibilitasnya, sehingga hal itu dianggap oleh sejarawan


sebagai fakta, atau lebih tepat satu rangkaian fakta…”(Gottschalk, 1986: 4).

Sejarah Sebagai Cerita. Pada hakikatnya, sejarah merupakan hasil rekonstruksi


sejarawan terhadap sejarah sebagai peristiwa berdasarkan fakta-fakta sejarah
yang dimilikinya. Dengan demikian, di dalamnya terdapat pula penafsiran
sejarawan terhadap makna suatu peristiwa. Perlu diketahui bahwa buku-buku
sejarah yang kita baca, baik buku pelajaran di sekolah, karya ilmiah di
perguruan tinggi, maupun buku-buku sejarah lainnya, pada hakikatnya
merupakan bentuk-bentuk konkrit sejarah sebagai peristiwa (Ismaun, 1993:
280).
Sejarah dapat disimpulkan merupakan hasil rekonstruksi intelektual dan
imajinatif sejarawan tentang apa yang telah dipikirkan, dirasakan, atau telah
diperbuat oleh manusia, baik sebagai individu maupun kelompok berdasarkan
atas rekaman-rekaman lisan, tertulis atau peninggalan sebagai pertanda
kehadirannya di suatu tempat tertentu. Sejarah, bagi sejarawan, merupakan
wacana intelektual (intellectual discourse) yang tidak berkesudahan.

Karakteristik Sejarah
Sejarah merupakan kejadian atau peristiwa yang sudah pernah terjadi di
masa lampau. Oleh karena itu, yang menjadi konsep dasar dalam sejarah
adalah waktu, ruang, manusia, perubahan, dan berkesinambungan atau
berkelanjutan. Adapun karakteristik yang dimiliki sejarah menurut Ahmadi dan
Amri (2011: 67), sebagai berikut.
1. Unik, artinya peristiwa sejarah hanya sekali terjadi, tidak mungkin terulang
peristiwa yang sama kedua kalinya.
2. Penting, artinya peristiwa sejarah yang ditulis adalah yang dianggap
penting dan mempengaruhi perubahan dan perkembangan sepanjang
masa.

Lingkup Sejarah
Ruang lingkup ilmu sejarah secara tematik, memiliki cakupan yang luas.
Menurut Sjamsuddin (1996: 203-221), ilmu sejarah dapat dikelompokkan
menjadi dua belas jenis, yaitu sejarah sosial; sejarah ekonomi; sejarah

12
Memahami Ilmu Sosial

kebudayaan; sejarah demografi; sejarah politik; sejarah kebudayaan rakyat;


sejarah intelektual; sejarah keluarga; sejarah etnis; sejarah psikologi dan
psikologi histori; sejarah pendidikan; dan sejarah medis.

Sejarah sosial. Menurut Thame (2000: 983) sejarah sosial tidak hanya
menyediakan mata rantai yang dibutuhkan antara sejarah ekonomi dan politik.
Ruang lingkupnya dapat dapat mencakup kehidupan sehari-hari penghuni
sebuah kawasan di masa lampau: ini meliputi manusia dan juga hubungan
ekonomi dari berbagai kelas yang berbeda, ciri-ciri dari kehidupan keluarga
rumah tangga, kondisi ketenaga-kerjaan dan aktivitas waktu luang, sikap
manusia terhadap alam, budaya dari masing-masing zaman yang muncul dari
kondisi-kondisi umum ini serta mengambil bentuk dalam agama, literatur,
aksitektur, pembelajaran, dan pemikiran.
Bezucha (1972: x), mengartikan bahwa sejarah sosial itu sejarah budaya
yang mengkaji kehidupan sehari-hari anggota-anggota masyarakat dari lapisan
yang berbeda-beda dari periode yang berbeda-beda. Selain itu, sejarah sosial
merupakan sejarah dari masalah-masalah sosial; sejarah ekonomi lama.
Kemudian Hobsbawm (1972: 2) menyebutnya sejarah sosial mengkaji
sejarah dari orang-orang miskin atau kelas bawah; gerakan-gerakan sosial;
berbagai kegiatan manusia seperti tingkah laku, adat istiadat, kehidupan
sehari-hari; sejarah sosial dalam hubungannya dengan sejarah ekonomi.

Sejarah ekonomi. Sebenarnya sejarah ekonomi ini lebih merupakan kombinasi


dua disiplin ilmu yang telah berevolusi cukup lama. Di universitas-universitas
Eropa Barat sejarah ekonomi dipandang sebagai disiplin tersendiri. Sedangkan
di universitas-universitas Amerika Serikat, sejarah ekonomi dimasukkan ke
dalam depatemen sejarah atau ekonomi. Kemudian, sejak tahun 1960-an
terjadi perubahan yang dimulai dari Amerika Serikat, di mana aspek
kuantifikasinya model ini makin meningkat. Kini, di Amerika Serikat bidang ini
didominasi oleh ilmuwan yang mendapat pendidikan dasar sebagai ekonomi
(Engerman, 2000: 269).

13
Memahami Ilmu Sosial

Sejarah kebudayaan. Menurut Kartodirdjo (1992: 195), mengemukakan semua


perwujudan baik yang berupa struktur maupun proses dari kegiatan manusia
dalam dimensi ideasional, etis, dan estetis, adalah kebudayaan. Hal ini sejalan
dengan Sjamsuddin (1996: 213) yang mengemukakan, semua bentuk
manifestasi keberadaan manusia berupa bukti atau saksi seperti artifact (fakta
benda), menifact (fakta mental-kejiwaan) dan socifact (fakta atau hubungan
sosial), termasuk dalam kebudayaan.
Jadi, memang sejarah kebudayaan itu sangat luas. Tentu saja hal ini
berbeda dengan apa yang banyak diajarkan di tingkat persekolahan ruang
lingkup sejarah kebudayaan itu lebih berkisar pada arkeologi. Di dalamnya
termasuk peninggalan-peninggalan zaman Hindu-Budha, Islam, penjajahan
Belanda seta Jepang, yang berkaitan dengan kepercayaan, seni bangunan, seni
sastera, seni pahat, dan lain-lain. Namun, dalam pengertian sejarah
kebudayaan gaya baru tidak sesempit itu. Aspek-aspek seperti gaya hidup,
etika, dan etiket pergaulan, kehidupan kelurga sehari-hari pendidikan, berbagai
adat istiadat, upacara adat, siklus kehidupan, dan lain sebaginya (Kartodirdjo,
1992: 195).

Sejarah demograf. Sejarah demografi sudah ada sejak dahulu, yakni ketika
John Graunt mempublikasikan Natural and Political Observations Made Upon
the Bills Mortality (1662). Penulisan tulisan tersebut didasarkan atas data
kependudukan Inggris pada abad ke-16. Sebenarnya sejarah pelaksanaan
sensus kependudukan di dunia ini telah diadakan beberapa ribu tahun yang
lalu seusia dengan kerajaan Mesir kuno, Persia, Ibrani, Jepang kuno dan Yunani
kuno (Taeuber, 2000: 99).

Sejarah politik. Menurut Kartodirdjo (1992: 49) sejarah politik gaya baru dibuat
lebih menarik, mengingat dalam eksplanasinya lebih luas dan mendalam dan
tidak terjebak dalam determinisme historis. Dalam sejarah konvensional,
sejarah politik memiliki kedudukan yang dominan dalam historiografi Barat.
Akibatnya, timbul tradisi yang kokoh bahwa sejarah konvensional adalah
sejarah politik (Kartodirdjo, 1992: 46).

14
Memahami Ilmu Sosial

Sejarah intelektual. Sejarah intelektual lebih erat dengan aliran fenomenologi.


Dalam arti luas fenomenologi mengkaji tentang fenomena-fenomena atau apa
saja yang tampak. Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan
yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran
manusia (Bagus, 2000: 234). Jadi, singkatnya aliran ini berasumsi bahwa
kesadaran adalah realitas primer, realitas tersebut adalah segala sesuatu yang
diciptakan oleh manusia yakni kebudayaannya. Dalam hal ini berbeda dengan
sejarah mentalitas, yang mengkaji kepercayaan dan sifat-sifat rakyat
(Himmelfarb, 1987: 4).

Sejarah keluarga. Menurut Supardan (2009: 301) sejarah keluarga adalah


mereka yang ingin mencari pemahaman mengenai cikal bakal keluarganya
sendiri. Umumnya para sejarawan keluarga tidak merasa puas hanya
mengumpulkan nama dan tanggal-tanggal peristiwanya. Namun, mereka juga
ingin mempelajari sejarah nenek moyangnya dalam berbagai aspek kehidupan,
seperti; masa anak-anak dan remaja, pergaulan dengan teman, tetangga,
pekerjaan, pernikahan, kedapataan-kedapataan, sampai akhir hayatnya.

Sejarah etnis. Menurut Supardan (2009: 303) ruang lingkup sejarah etnis ini
mencakup kajian-kajian yang meliputi aspek-aspek sosial, ekonomi,
kebudayaan, kepercayaan-kepercayaan masyarakat, interaksi-interaksi dalam
lingkungan masyarakat atau kelompok, kekerabatan, perubahan-perubahan
sosial-budaya, migrasi, dan sebagainya. Untuk menyusun sejarah etnis yang
baik, diperlukan suatu pembahasan yang bersifat interdisipliner guna
mengungkap secara mendalam dari berbagai aspek kehidupan.

Sejarah psikologi. Hubungan antara sejarah dan psikologi memunculkan


pendekatan-pendekatan baru terhadap masa silam, khususnya yang diringkas
dalam empat slogan dan empat bahasa, yaitu: (1) subaltern history atau grass-
root history, (2) microstoria (sejarah mikro), (3) alltagsgeschichte (sejarah
keseharian), dan (4) historie del’immaginaire (sejarah mentalitas-intelektual)
(Burke 2001: 442).
Selanjutnya Burke (2001: 137) menyatakan tiga bentuk pendekatan,
yakni (1) menekankan sikap kolektif atau kelompok daripada individu, (2)

15
Memahami Ilmu Sosial

fokusnya kepada asumsi-asumsi tersirat daripada teori-teori eksplisit teruatama


pada akal sehat, dan (3) orientasinya pada struktur sistem keyakinan dan
perhatian terhadap kategori-kategori dalam menafsirkan pengalaman.

Sejarah pendidikan. Menurut Siver dalam Sjamsuddin (1996: 219) sejarah


pendidikan digunakan untuk berbagai macam tujuan, terutama sekali untuk
membangkitkan kesadaran bangsa dan kesatuan budayaan, pengembangan
profesi guru, atau kebanggaan terhadap lembaga-lembaga dan tipe pendidikan
tertentu. Selanjutnya, Sjamsuddin (1996: 220) menyatakan sejarah pendidikan
pada hakikatnya sama tuanya dengan sejarah pada umumnya. Dalam
pendekatan sejarah pendidikan pun sama halnya dengan pendekatan
historiografi sejarah secara umum, yakni lebih menekankan pendekatan
diakronik.

Sejarah medis. Penulisan sejarah medis dilatarbelakangi oleh kebutuhan para


dokter yang menyadari pentingnya pemahaman tradisi-tradisi pengobatan yang
berbeda-beda pada masa lalu. Hippocrates (460 SM) telah menulis ”Sumpah
Kediokteran” yang tertulis dalam Ancient Medicine, yang sampai sekarang
sumpah tersebut menjadi pijakan para dokter. Sejak abad ke-18 survey sejarah
kedokteran mulai ditekuni oleh para dokter seperti John Friend, Daniel Leclerc,
dan Kurt Sprengel (Bynum, 2000: 445).

Kegunaan Sejarah. Menurut Ahmadi dan Amri (2011: 68), sejarah memiliki
kegunaan sebagai berikut.
1. Guna edukatif (memberikan pendidikan). Guna edukatif memberikan
kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajarinya karena semangat
sebenarnya dari kepentingan mempelajari sejarah adalah nilai
konstektualnya.
2. Guna instruktif (memberi pengajaran). Guna instruktif memberikan
pelajaran mengenal sesuatu, baik keterampilan maupun pengetahuan.
3. Guna inspiratif (memberi inspirasi). Guna inspiratif memberikan ilham, ide
atau inspirasi bagi manusia masa sekarang. Contoh: kebesaran kerajaan-
kerajaan Nusantara masa lalu memberikan ilham kepada pendiri bangsa
untuk membangun kembali kebesaran masa lampau.

16
Memahami Ilmu Sosial

4. Guna rekreatif (memberi kesenangan). Guna rekreatif memberikan


kesenangan batin. Contoh: dengan berkunjung ke Candi Borobudur, kita bisa
membayangkan pembangunan masa itu. Dimulai jumlah pekerjaannya,
arsiteknya, lama pembangunan, tujuannya dan sebagainya sehingga dalam
hati dan pikiran kita menembus dimensi waktu.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diuraikan bahwa guna sejarah sebagai
edukatif, yaitu dengan belajar sejarah dapat memberikan pelajaran mengenai
pengalaman-pengalaman masa lalu. Guna sejarah sebagai instruktif, yaitu
dengan belajar sejarah dapat memberikan pengetahuan dari kisah yang
diceritakan. Guna sejarah sebagai inspiratif, yaitu dengan belajar sejarah dapat
memberikan inspirasi bagi manusia sekarang bahwa kejayaan masa lalu penting
untuk dibangun kembali. Guna sejarah sebagai rekreatif, yaitu dengan belajar
sejarah dapat memberikan kesenangan bagi yang membacanya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sejarah adalah studi
tentang kehidupan manusia di masa lampau. Para sejarahwan tertarik dengan
semua aspek kegiatan manusia di masa lampau. Ada dua pendekatan utama
untuk mengatasi permasalahan perolehan data yang tidak lengkap atau
mungkin menyimpang.

Sejarahwan deskriptif (atau naratif) menggunakan pendekatan agak berbau


sastra untuk menggambarkan pristiwa-pristiwa masa lampau; karyanya
mungkin memiliki nilai artistik, namun kurang objektif yang menjadi
karakteristik ilmu sosial.

Sejarahwan ilmiah; komitmennya terhada sikap dan metode ilmiah sebagai


pendekatan untuk menemukan dan merumuskan kehidupan masa lampau
sama komitmennya dengan ilmuan sosial lainnya.

3. Ruang Lingkup Ilmu Psikologi

Kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Purba, yaitu dari kata Psyche
(jiwa) dan logos (kajian mengenai sesuatu). Jadi kata psikologi bisa diartikan
sebagai suatu kajian mengenai sesuati yang memberikan kesan kepada jiwa
seseorang. Dengan kata lain, psikologi adalah kajian mengenai jiwa atau aspek

17
Memahami Ilmu Sosial

rohani manusia dan hewan secara saintifik. Psikologi sendiri dibedakan menjadi
3 bentuk, yaitu: psikologi sebagai ilmu, psikologi sebagai sains, dan psikologi
sebagai profesi atau pekerjaan (Indah, 2012: 1).
Banyak definisi tentang psikologi dalam berbagai cara, bentuk, dan isi.
Para ahli psikologi terdahulu mendefinisikan psikologi sebagai studi kegiatan
mental (Atkinson, 1996: 18). Istilah mental menyimpang masalah pikiran, akal
dan ingatan. William James (1980), ahli psikologi Jerman, memberikan definisi
bahwa psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena
dan kondisi-kondisinya. Fenomena di sini termasuk fenomena dan kondisi-
kondisinya. Fenomena disini termasuk apa yang kita sebut sebagai perasaan,
keinginan, kognisim berpikiran logis, keputusan, dan sebagainya (Supardan,
2009: 425).
Allport dalam Indah (2012: 1), mengartikan psikologi adalah satu upaya
untuk memahami dan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku
individu yang dipengaruhi oleh kehadiran orang lain secara aktual,
dibayangkan, atau hadir secara tidak langsung.
Menurut Richard Mayer dalam Indah (2012: 1), psikologi merupakan
analisi mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami
perilaku manusia. Menurut Wilhem Wundt & E.B Titchener dalam Indah (2012:
1), psikologi adalah pengalaman manusia yang dipelajari dari sudut pandang
pribadi yang mengalaminya. Sedangkan menurut Ishak Mad Shah dalam dalam
Indah (2012: 1), psikologi adalah suatu ilmu yang mengkaji tingkah laku dan
proses mental secara saintifik dan bersistematik. Psikologi ini bertujuan untuk
mengurai, menjelaskan, meramal, dan mengawasi tingkah laku dan proses
mental manusia ke arah peningkatan kualitas kehidupan
Perkataan psikologi sering di artikan atau di terjemahkan dengan ilmu
pengetahuan tentang jiwa atau di singkat dengan ilmu jiwa. Namun, menurut
Gerungan dalam El-Izzue I (2012: 4), berpendapat bahwa:
1. Ilmu Jiwa merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari yang memiliki arti
luas, difahami banyak orang dan meliputi segala pemikiran, pengetahuan,
tanggapan, tetapi juga segala khayalan serta spekulasi mengenai jiwa.

18
Memahami Ilmu Sosial

2. Psikologi merupakan suatu istilah “ilmu pengetahuan” yang meliputi ilmu


pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan
metode-metode ilmiah yang memenuhi syarat-syaratnya yang di mufakati
sarjana-sarjana psikologi pada zaman sekarang ini.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa psikologi studi ilmiah
mengenai proses perilaku dan proses-proses mental. Bidang khusus yang
terdapat di dalamnya sangat beraneka ragam, termasuk psikologi
eksperimental, psikologi fisiologi, psikologi perkembangan, psikologi sosial,
psikologi kepribadian, psikologi klinis dan penyuluhan, psikologi sekolah dan
pendidikan, serta psikologi industri dan permesinan.
Beberapa jenis ilmu psikologi, secara tematis maupun terapan, dapat
dirinci menjadi psikologi klinis dan konseling, psikologi sekolah dan pendidikan,
psikologi perkembangan, psikologi kepribadian, psikologi lintas budaya,
psikologi rekayasa, psikologi lingkungan, psikologi konsumen, serta psikologi
industry dan organisasi (Supardan, 2009: 427-439).

Psikologi Sosial (Social Psychology). Di antara fenomena psikologi sosial ini,


antara lain agresi dan kemarahan, altruism dan perilaku membantu, sikap
sosial persuasi, ketertarikan dan hubungan sosial, atribusi dan kognisi sosial,
kerja sama dan kompetisi, pembuatan keputusan kelompok, presentasi diri dan
manajemen kesan, peran-peran seksual, perilaku seksual, pembelajaran sosial,
dan sosialisasi (Jones, 2000: 996).

Psikologi Klinis dan Penyuluhan atau Konseling (Clinical Psychology and


Counselling). Psikologi Konseling (counseling psychology) merupakan suatu
psikologi terapan yang berusaha menciptakan, menerapkan, dan menyebarkan
pengetahuan mengenai pencegahan dan penanggulangan gangguan fungsi
manusia dalam berbagai kondisi (Brown dan Lent, 1992) dalam Supardan
(2009: 429).

Adapun tujuan bidang psikologi konseling tersebut adalah membantu


individu memahami dan mengubah krisis; meningkatkan kemampuan mereka

19
Memahami Ilmu Sosial

dalam menyelesaikan berbagai persoalan (American Psychological Association,


1985) dalam Supardan (2009: 429).

Psikologi Konstitusional (Constitutional Psychology). Psikologi konstitusional


mula-mula dirintis oleh Kretschmer pada tahun 1921 dengan menerbitkan
Korperbau und Charahter, kemudian disusul oleh Sheldon dengan karyanya The
Varieties of Human Physique (1940) yang menimbulkan banyak kritik sebagai
reaksinya (Supardan (2009: 430).

Psikofarmakologi merupakan pengetahuan tentang obat untuk mengobati


gangguan psikiatris. Pada zaman dahulu, khususnya sejak tahun 1950, seorang
psikiater hanya memiliki sedikit obat stimulant dan obat penenang nonspesifik
untuk mengobati kecemasan dan depresi. Dalam perkembangan, khususnya
pada tahun 1955, terjadi tiga penemuan farmakologi yang menandai revolusi
pengobatan psikiatri, yakni obat antipsikotik, antidepresan, dan lithium (Pope,
2000: 866).

Psikologi Okupasional (Accupational Psychology). Psikologi okupasional


banyak membahas tentang hubungan antara organisasi dengan individu dalam
teori peranan, makna kerja dalam pendekatan-pendekatan fenomenologi
terhadap kognisi, karier-karier kehidupan (life careers) dalam teori-teori
kehidupan (life-span theories) perkembangan manusia, dan hubungan
antarorganisasi dan antarnegara-kebangsaan dalam teori-teori konflik dan
negosiasi (Herriot, 2000: 714).

Psikologi Politik (Political Psychology). Merupakan bidang interdisipliner yang


tujuan subtantif dasarnya adalah untuk menyingkap saling keterkaitan antara
proses psikologi dan politik (Renshon, 2000: 784). Dalam kajiannya, biasanya
untuk psikologi lebih banyak menggunakan teori psikoanalisis, teori
kepribadian, psikologi sosial, psikologi perkembangan, dan psikologi kognitif.

Psikologi Sekolah dan Pendidikan (Psychology for the classroom and


Educational Psychology). Merupakan kajian tentang perilaku peserta didik di
sekolah yang substansinya merupakan gabungan psikologi perkembangan anak,

20
Memahami Ilmu Sosial

psikologi pendidikan, dan psikologi klinis yang berhubungan dengan setiap


anak untuk evaluasi kegiatan belajar, dan tes kepribadian yang merupakan
sebagian dari tugas mereka. Untuk psikologi pendidikan, merupakan kajian
tentang perilaku dalam bidang proses belajar mengajar.

Psikologi Perkembangan. LaBouvie dalam Descriptive Developmental Research


mengungkapkan bahwa: “Psikologi perkembangan sebagai cabang ilmu
psikologi menelaah berbagai perubahan intraindividual dan perubahan
interindividual yang terjadi di dalam perubahan intraindividual. Perubahan
tersebut tidak hanya mendeskripsikan, tetapi juga menjelaskan
ataumpengeksplikasikan perubahan-perubahan perilaku menurut tingkat
usia sebagai masalah hubungan anteseden (gejala mendahului) dan
konsekuensinya” (LaBouvie, 1975: 289).

Psikologi Kepribadian (Psychology od Personality). Alfred Adler (Hall dan


Lindzey (1993: 242) adalah ilmu perilaku tentang gaya hidup individu atau cara
karakteristik seseorang dalam bereaksi terhadap masalah-masalah dan tujuan
hidup. Hal itu mungkin lebih tepat, walaupun baru satu aspek saja, yaitu
tentang gaya, karakteristik, dan tujuan hidup. Sedangkan menurut Carl Jung
(1993: 182) dalam Supardan (2009: 434) merupakan ilmu perilaku tentang
integrasi dari ego, ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran kolektif, kompleks-
kompleks, dan arketip-arketip persona, serta anima.
Psikologi Lintas Budaya (Cross-Cultural Psychology). Psikologi lintas budaya
adalah kajian empiris mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang telah
memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat membawa kearah perbedaan
perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan.

Psikologi Rekayasa (Engineering Psychology). Dalam penggunaannya dewasa


ini bersifat agak fleksibel dan komprehensif, baik faktor manusiawi (human
factors) dan rekayasa faktor manusiawi (human factors enginnering). Begitu
luasnya istilah psikologi rekayasa, kadang kala digunakan dalam artian luas yang
secara praktis mencakup setiap kajian dalam psikologi industri.

21
Memahami Ilmu Sosial

Sekarang ini psikologi rekayasa berbeda dengan ketika disiplin ilmu ini
lahir. Bibliografi tentang bidang ini pada tahun 1970-an sudah mencapai ribuan
judul (Allusi dan Morgan, 1976).

Psikologi Lingkungan. Sebagaimana lazimnya dalam ilmu psikologi, istilah


lingkungan yang melekat dipertentangkan adalah berkaitan dengan keturunan
atau hereditas sebagai sumber perkembangan perilaku dan perubahan-
perubahan individual.
Karena itu, praktik pengasuh anak, pendidikan di sekolah, serta
hubungan antarpribadi merupakan bagian-bagian utama dari lingkungan
(Anastasi, 1989: 337). Sebaliknya, bidang psikologi lingkungan, begitu pula
halnya bidang interdisipliner dari hubungan tingkah laku lingkungan tertentu
dari lingkungan fisik termasuk lingkungan yang dibuat (artificial) maupun yang
natural (Wohlwill, 1970) dalam Supardan (2009: 437).

Psikologi Konsumen (Consumen Psychology). Membahas tingkah laku individu


sebagai konsumen. Mulai dari psikologi periklanan dan penjualan, objeknya
adalah komunikasi yang efektif, baik dari pihak pabrik maupun distributor
kepada konsumen (Anastasi, 1989: 389).
Dalam perkembanagan psikologi konsumen yang paling mencolok adalah
peralihan pusat perhatian psikologi konsumen sebagai konsumen (Jacoby,
1976).

Psikologi Industri dan Organisasi (Industrial and Organizational Psychology).


Merupakan penerapan dari prinsip-prinsip psikologi industri dan perdagangan.
Dalam kajian ini, terdapat tiga bidang kajian psikologi industry dan organisasi,
yakni psikologi personalia, psikologi industrial/sosial atau psikologi
industrial/klinis, dan psikologi sumber daya manusia atau rekayasa manusia
(Landy, 2000: 479) dalam Supardan (2009: 439).

Psikologi Personalia. Menekankan pembuatan keputusan mengenai seleksi


personalia, pelatihan, promosi, transfer pekerjaan, cuti, pemutusan hubungan
kerja, kompensasi, dan sebagainya (Atkinson, 1996: 23). Sedangkan alat yang
digunakan dalampsikologi personalia yang paling umum adalah analisis

22
Memahami Ilmu Sosial

pekerjaan dan tes kemampuan. Analisis pekerjaan berguna untuk


memudahkan dalam penentuan tugas-tugas yang paling penting maupun
paling sering dilaksanakan dalam mengukur keahlian dan kecakapan, melalui
survei, observasi dan interviu (Anastasi, 1989:34).

Psikologi Industri atau Sosial Klinis. Berurusan dengan penyesuaian timbal


balik antara orang-orang dan lingkungan-nya. Dalam hal ini, setiap pekerja
diteliti tentang kemampuan menyelesaikan diri, motivasi, kepuasan, kinerja,
kecenderungan untuk tetap bekerja di perusahaan, dan tingkay absensi (Landy,
2000: 480) dalam Supardan (2009: 440). Psikologi Industri atau klinis berurusan
dengan kesejahteraan psikologi para pekerja.

Psikologi Sumber Daya Manusia atau Rekayasa Manusia. Psikologi ini


menggunakan asumsi berkebalikan dari psikologi personalia, walaupun
masalahnya. Akan tetapi, psikolog sumber daya manusia, bahwa orang sebagai
konstanta atau faktor tetap, sedangkan lingkungan sebagai variable atau faktor
yang berubah.

Kegunaan Psikologi
Menurut El-Izzue I (2012: 4), manfaat mempelajari psikologi pendidikan:
a. Bisa memahami anak didiknya dan untuk sampai pada tahap ini kita perlu
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan anak sejak lahir.
b. Bisa mengetahui peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi dalam setiap fase
serta faktor yang menunjang dan menghambat potensi-potensi dasar yang
memiliki anak serta intelegensi dan bakat sifat-sifat serta cirri-ciri
kepribadian anak.
c. Bisa memahami hal-hal yang berhubungan dengan masalah belajar dan
mengejar serta vareasi serta modelnya.

Konsep yang berkembang dalam ilmu psikologi


Konsep yang dikembangkan dalam ilmu psikologi, seperti: motivasi,
konsep diri, sikap, presepsi, frustasi, sugesti, prestasi, crowding (kerumunan
masa), imitasi, kesadaran, fantasi, personalitasi, insting atau naluri, dan mimpi
(Supardan, 2009: 469-483).

23
Memahami Ilmu Sosial

Motivasi. Motivasi adalah suatu keadaan dan ketegangan individu yang


membangkitkan dan memelihara serta mengarahkan tingkah laku yang
mendorong (drive) menuju pada suatu tujuan (goal) untuk mencapai suatu
kebutuhan (need) (Chaplin, 1999: 310). Peranan motivasi dalam kehidupan
manusia sangat penting, bahkan menurut McCLelland (1953; 1961), seseorang
dianggap memiliki motivasi untuk berprestasi,jika ia memiliki keinginan untuk
berkarya (berpresentasi) lebih baik dari karya (presentasi) orang lain.

Konsep diri. Konsep diri merupakan penilaian tentang dirinya oleh orang lain
yang menyangkut aspek physical, perceptual, dan attitudinal (fisik,persepsi,
dan kesikapan). Konsep diri pub merupakan penilaian tentang dirinya yang
sering diibaratkan sama dengan atau serupa dengan hasil penilaian orang lain.
Dalam kaitannya dengan penilaian tersebut, Cooley mengeluarkan teori
tentang Looking Glass Self. Artinya, setiap hubungan sosial di mana seseorang
itu terlibat merupakan suatu cerminan diri yang disatukan dalam identitas
orang itu sediri (Johnson, 1986).

Sikap. Konsep sikap merujuk pada masalah yang lebih banyak bersifat evaluatif
efektif terhadap suatu kecenderungan atas reaksi yang dipilihnya. Sikap pun
menunjukkan penilaian kita apakah itu bersifat positif ataupun negatif
terhadap bermacam-macam entitas, misalnya individu, kelompok, objek,
tindakan, dan lembaga (Manis, 2000: 49) dalam Supardan (2009: 471).
Presepsi. Istilah persepsi Kamus Lengkap Psikologi karya Chaplin (1999: 358)
memiliki arti:
a) proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan
bantuan indera;
b) kesadaran dari proses-proses organis;
c) satu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal
dari pengalaman di masa lalu;
d) variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari
kemampuan organisasi untuk melakukan pembedaan di antara perangsang-
perangsang;
e) kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta
merta mengenai sesuatu.

24
Memahami Ilmu Sosial

Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa persepsi mengacu pada


mekanisme yang menjadi alat kita menyadari dan memproses informasi
tentang stimuli ataupun menjadi alat kita menyadari dan memproses informasi
tentang stimuli afektif.

Frustasi. Konsep frustasi setidaknya menunjuk pada dua pengertian berikut.


a. Frustasi merujuk pada terhalangnya tercapainya tujuan yang diharapkan
pada saat tertentu dalam rangkaian perilaku. Definisi ini dianut oleh
Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears dalam karyanya Frustration and
Aggression (1939: 7). Jadi, frustasi dianggap sebagai pembatas eksternal
yang menyebabkan seseorang tidak dapat memperoleh kesenangan yang
diharapkannya.
b. Frustasi sebagai reaksi emosional internal yang disebabkan oleh suatu
penghalang. Definisi ini dianut oleh Leonard Berkowitz dalam Aggression Its
Causes, Consequencs and Control. (1995: 42) dalam Supardan (2009: 474).

Dari dua definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa frustasi merupakan


suatu reaksi emosional yang disebabkan oleh gagal atau terhalangnya
pencapaian tujuan yang diharapkan.

Sugesti. Sugesti merupakan bagian dari bentuk interaksi sosial yang menerima
dengan mudah pengaruh orang lain tanpa diseleksi dengan peikiran yang kritis.
Tanpa penggunaan kekuatan fisik atau paksaan.Keaddan mental seseorang
menjadi mudah terkena sugesti orang lain, biasanya didahului oleh simpati,
rasa kagum, dan menyenangi sehingga sering mengikuti kehendak atau
pengaruh dari orang lain tersebut.

Prestasi. Prestasi merupakan pencapaian atau hasil yang telah dicapai yang
memerlukan sautu kecakapan atau keahlian dalam tugas akademis maupun
nonakademis (Chaplin, 1999: 310). Berkaitan dengan teori N’Ach (Need for
Achievement) McClelland, bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi
tinggi, tidaklah semata-mata karena mengejar materi dan meningkatkan status
sosial, melainkan memiliki nilai dan kebanggan tersendiri secara batiniah (dari
dalam) yang akan menentukan maju mundurnya suatu bangsa.

25
Memahami Ilmu Sosial

Crowding (kerumunan massa). Crowding (kerumunan massa) merupakan


suatu kumpulan orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama walaupun
tidak saling mengenal dengan emosi-emosi yang mungkin dibangkitkan dan
tidak krieis (Chaplin, 1999: 1888).
Menurut Gustav Le Bon (1841-1932) seorang ahli psikologi sosial Prancis
yang terkenal dengan bukunya Psychologie des foules (1895) bahwa suatu
masa seakan-akan memiliki suatu jiwa tersendiri yang berlainan sifatnya
dengan jiwa individu satu persatu (Supardan, 2009: 477).

Imitasi. Imitasi merupakan salah satu proses interaksi sosial yang banyak
terjadi dalam kehidupan sehari-hari dengan meniru perbuatan orang lain
secara disengaja. Pengaruhnya dapat positif dan negatif. Secara positif, imitasi
dapat menimbulkan pengaruh makin patuhnya terhadap norma-norma yang
berlaku, terutama dalam dengan maraknya penyiaran film-film kekerasan maka
di masyarakat dan sekolah pun kekerasan makin meningkat intensitasnya.

Kesadaran. Konsep kesadaran memiliki makna inti yang merujuk pada suatu
kondisi atau kontinum di mana kita mampu merasakan, berpikir, dan membuat
persepsi (Wright, 2000: 162). Kesadaran pun sangat dipengaruhi oleh sudut
pandang individual, dan kita mungkin dapat mengatakan bahwa aspek-aspek
subjektif dari kesadaran itu berada di luar penjelasan sistem ilmu pengetahuan
yang didasarkan pada pemahaman bersama, bahkan berada di luar semua
makna yang terkonstruksikan secara sosial.

Fantasi. Konsep fantasi merujuk pada kapasitas manusia yang luar biasa dalam
memberikan sosok pada sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, kemudian
melengkapinya dengan aneka pengandaian, baik itu secara spontan maupun
sengaja (Jaynes, 1977). Pemanfaatan fantasi dalam dunia seni sudah lama
merupakan sumber lahirnya puisi, drama, dan lukisan. Akan tetapi, baru pada
abad ke-20 fenomena tersebut menjadi kajian ilmiah formal dalam psikologi.
Penelitian James dalam The Primciples of Psychology (1980) tentang
fantasi yang sering diremehkan orang, dikemukaakan bahwa fantasi merupakan
suatu respons terhadap suatu rangsangan melalui proses asosiatif yang

26
Memahami Ilmu Sosial

kompleks. Dalam studi yang lebih komprehensif, fantasi dapat dikaji melalui
berbagai pendekatan dan metode psikologi, yaitu psikoanalitik, metode
proyektif, dan metode rist pertimbangan teoritis mutakhir (Singer, 2000: 344-
345).

Personalitas. Personalitas berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata persona
yaitu artinya topeng aktor. Merupakan sebuah konsep samar yang mencakup
seluruh karakteristik psikologi yang membedakan seseorang dengan yang
lainnya (Colman, 2000: 754). Menurut Gordon W. Allport, ada 50 definisi
personalitas yang berbeda-beda sejak ia melakukan penelitian (Allport, 1954).
Namun, secara garis besar personalitas pada hakikatnya merupakan organisasi
dinamis dalam individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisik yang
menentukan tingkah laku dan pikiran yang dimiliki secara karakteristik (Chaplin,
1999: 362).
Penelitian personalitas modern dilakukan oleh Francis Galton (1884) di
Inggris, kemudian disusul Alfred Binet dan Theodore Simontahun 1905 dengan
penelitian inteligensi. Penelitian itu terus berkembang, kendati tisak pernah
diakui secara akademis bahwa inteligensi sebagai bagian teori kepribadian
(Supardan, 2009: 481).

Pikiran. Istilah mind atau pikiran berasal dari bahasaTeutonic kuno, yaitu
gamundi yang artinya berpikir, mengingat, bermaksud, atau intend (Valentine,
2000: 667). Berbagai pengertian ini tampak sekali sebagai frase seperti
mengingat kembali (remind), memerhatikan (give one’s mind), dan mengubah
pikiran orang (to make up or change one’s mind).

Insting atau Naluri. Istilah insting atau naluri merujuk pada macam-macam
aktivitas yang luas. Ada yang mengartikan naluri sebagai suatu kecendrungan,
sikap atau int uisi yang dibawa sejak lahir. Begitu luasnya tentang pengertian
insting atau naluri, oleh karena itu menyulikan pembahasan secara ilmiah
(Beer, 2000).

Mimpi. Mimpi secara psikologi merujuk pada suatu aktifitas sederatan tamsil
simbolik, ide, gagasan, hasrat terpendam, kebutuhan , dan konflik yang saling

27
Memahami Ilmu Sosial

bertalian dan berlangsung selama tidur, selama dikuasai obat biusmaupun


selama dalam kondisi terhipnotis (Chaplin, 1999: 147). Sampai sekarang ini,
masih relatif sedikit dipahami bahkan sering kali diabaikan dalam berbagai
kajian kognisi. Terutama setelah metode introspeksi tergusur oleh metode-
metode objektif-positivistik tentang kesadaran pada periode perkembangan
ilmu-ilmu sosial di tahun 1930-1n dan 1940-an, studi tentang mimpi terpental
dan mandek dari kepustakaan dunia ilmu-ilmu sosial (Cartwright, 2000: 240).
Padahal mimpi memiliki peran penting yang lebih besar yang tidak disadari
orang-orang pada umumnya (Freud, 1962: 83-98).

Bab 2

28
Memahami Ilmu Sosial

KONSEP SOSIOLOGI, ANTROPOLOGI,


DAN POLITIK

A. Konsep Ilmu Sosiologi


1. Sejarah Perkembangan Sosiologi

Pada abad 19 kemudian muncul dua ilmu pengetahuan baru, yakni


psikologi dan sosiologi. Begitu juga Astronomi yang pada mulanya merupakan
bagian dari filsafat yang bernama kosmologi, sedangkan alamiah menjadi fisika,
filsafat kejiwaan menjadi psikologi, dan filsafat sosial menjadi sosiologi
(Soekanto, 1986; 3). Dengan demikian, lahirlah sosiologi, yang dalam
pertumbuhannya tidak dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti;
ekonomi, sejarah, politik, dan lain sebagainya. Lahirnya sosiologi sebagai ilmu
sosial tidak lepas peranannya dari seorang tokoh brilyan tetapi kesepian. Ia
adalah Auguste Comte (1798-1857), yang tidak hanya menemukan nama untuk
bidang studi yang belum dipraktekkan pada saat itu, tetapi juga mengklaim
status masa depan ilmu pengetahuan tentang hukum yang mengatur
perkembangan progresif namun teratur dari masyarakat terutama dari hukum
dinamika sosial dan hukum statis sosial (Bauman, 2003: 1032).

Tokoh lainnya ahli kemasyarakatan dari Inggeris, yaitu Herbert


Spencer (1820-1830), merupakan tokoh yang pertama-tama menulis tentang
masyarakat atas dasar data empiris yang konkrit yang dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Principles of Sociology. Ia mengemukakan bahwa kunci
memahami gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum evolusi universal
(Spencer, 1967). Gejala fisik, biologis, dan sosial itu semuanya tunduk pada
hukum dasar tersebut.
Emile Durkheim (1858-1917) yang diakui sebagai “bapak sosiologi”
dalam pengembangan disiplin sosiologi sebagai disiplin akademik, mengikuti
tradisi positivistik Prancis dan mengemukakan dalil keberadaan fakta sosial
yang spesifik, yang telah ditinggalkan oleh bentuk studi lainnya, khususnya

29
Memahami Ilmu Sosial

psikologi yang merupakan pesaing dari sosiologi yang paling nyata dalam tugas
menjelaskan keteraturan di dalam tindakan manusia yang dapat diamati.
Pada saat yang hampir sama, Max Weber (1864-1920) tokoh pendiri
akademik lainnya yang berusaha membentuk disiplin baru. Sosiologi dibedakan
oleh pendekatan dan pandaangan interpretatifnya daripada oleh pernyataan
bahwa seperangkat “fakta” terpisah merupakan wilayah eksklusif untuk
studinya. Bagi Weber, sosiologi dibedakan oleh usahanya untuk verstehen
(memahami) tingkah laku manusia. Untuk fokus kajiannya itu ia berbeda
dengan Durkheim yang menekankan fakta sosial tersebut. Bagi Weber
kenyataan sosial itu sebagai sesuatu yang didasarkan motivasi individu dan
tindakan sosial yang berarti. Dalam arti bahwa tinjauan Weber tersebut
berhubungan dengan posisi nominalis, yang berpendirian bahwa hanya
individu-lah yang riil secara obyektif.
Di Indonesia, walaupun secara formal sebelum kemerdekaan belum
berkembang sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, namun menurut Soemardjan
(1965) banyak di antara para pujangga dan pemimpin-pemimpin kita yang telah
memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajarannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu sosiologi
berkembang sangat pesat, yang semula pokok bahasannya fokus mengenai
masyarakat secara umum. Namun, saat ini sudah terbagi-bagi menjadi
beberapa disiplin ilmu sosiologi. Dengan demikian, jelas menunjukkan bahwa
unsur-unsur sosiologi tidak digunakan dalam teori murni sosiologis, akan tetapi
sebagai landasan untuk tujuan tertentu, terutama sebagai tata hubungan antar
manusia dan pendidikan.
2. Pengertian sosiologi

Secara terminologi sosiologi berasal dari bahasa Yunani, yakni kata


socius dan logos. Socius yang berarti kawan, berkawan, ataupun
bermasyarakat. Sedangkan logos berarti ilmu atau dapat juga berbicara
tentang sesuatu. Secara harfiah istilah sosiologi dapat diartikan ilmu tentang
masyarakat (Abdulsyani, 1987: 1). Jadi, sosiologi sebagai disiplin ilmu yang
mengkaji tentang masyarakat secara luas. Berikut beberapa definisi sosiologi
menurut para ahli dalam Supardan (2009: 69-70).
1. Pitirim Sorokin (1928: 760-761) mengemukakan bahwa sosiologi adalah

30
Memahami Ilmu Sosial

suatu ilmu tentang: (a) hubungan dan pengaruh timbal-balik antara aneka
macam gejala- gejala sosial, contohnya antara gejala ekonomi dengan non-
ekonomi seperti agama, gejala keluarga dengan moral, hukum dengan
ekonomi, dan sebagainya.
2. William Ogburn dan Meyer F Nimkoff (1959: 12-13) berpendapat bahwa
sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan
hasilnya, yaitu organisasi sosial.
3. Roucek dan Warren (1962: 3) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu
tentang hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompoknya.
4. J.A.A. van Doorn dan C.J. Lammers (1964: 24) mengemukakan bahwa
sosiologi ilmu tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan
yang bersifat stabil.
5. Meta Spencer dan Alex Inkeles (1982: 4) mengemukakan bahwa sosiologi
ilmu tentang kelompok hidup manusia.
6. David Popenoe (1983: 107-108) berpendapat bahwa sosiologi adalah ilmu
tentang interaksi manusia dalam masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
7. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1982: 14) menyatakan bahwa
sosiologi adalah ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial,
termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut mereka bahwa
struktur sosial keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok
yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial,
kelompok-kelompok serta lapisan sosial. Sedangkan proses sosial adalah
pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya
pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi
kehidupan politik, kehidupan hukum dengan agama, dan sebagainya
(Supardan 2009: 69-70).
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu dengan individu,
individu dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat. Selain itu,
sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini,
khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari
pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum.
Menurut Horton dan Hunt (1991: 4) obyek kajian sosiologi adalah
masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-

31
Memahami Ilmu Sosial

kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup; keluarga, etnis atau suku bangsa,


komunitas pemerintahan, dan berbagai organisasi sosial, agama, politik,
budaya, bisnis dan organisasi lainnya. Sosiologi pun mempelajari perilaku dan
interaksi kelompok, menelusuri asal-usul pertumbuhannya serta menganalisis
pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya.
Menurut Supardan (2009: 70) sosiologi berkonsentrasi pada
pemecahan masalah, tetapi kemunculan ilmu sosial ini dimaksudkan untuk
membuat manusia sebagai mahluk rasional ikut aktif ambil bagian dalam
gerakan sejarah, suatu gerakan yang diyakini memperlihatkan arah dan logika
yang belum diungkapkan oleh manusia sebelumnya. Karena itu sosiologi dapat
membuat manusia merasa seperti di rumah sendiri di dunia yang lebih mampu
mengendalikan diri mereka sendiri dan secara kolektif dan tidak langsung
kondisi tempat mereka harus beraktivitas.
Lebih lanjut Supardan (2009: 70-71) menyatakan sosiologi membantu
perkembangan dan mengatur proses pemahaman yang mendasar, baik
terencana maupun spontan. Sejak dari awal, sosiologi mengasumsikan bahwa
tidak semua transformasi modern itu bermanfaat atau diharapkan. Karena itu
sosiologi harus memberi peringatan kepada publik di semua lapisan, khususnya
di tingkat pembuat kebijakan, tentang adanya bahaya yang tersembunyi di balik
proses yang tidak terkendali itu. Sosiologi juga harus memberikan jalan keluar
untuk mencegah terjadinya proses yang tidak diinginkan tersebut, atau
mengusulkan cara untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Menurut Bauman (2000: 1032) sosiologi merupakan disiplin ilmu yang
memiliki cakupan luas dan banyak cabang yang dipersatukan meskipun tidak
terlalu kuat oleh strategi hermeneutika dan ambisi untuk mengoreksi
kepercayaan umum. Garis batas bidang tersebut mengikuti divisi fungsional
serta melembaga di dalam organisasi masyarakat yang menjawab tuntutan
efektif dari bidang manajemen yang telah mapan. Jadi, spesialisasi bentuk
pengetahuan terakumulasi dengan fokus pada penyimpangan dan kebijakan
korektif atau hukuman, politik dan istitusi politik, tentara dan perang, ras dan
etnis, perkawinan dan keluarga, pendidikan dan media kultural, teknologi
informasi, agama dan institusi agama, industri dan pekerjaan, kehidupan urban
dan persoalan-persoalannya, serta kesehatan dan kedokteran.

32
Memahami Ilmu Sosial

Berdasarkan uraian di atas, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang


membahas tentang kehidupan manusia dan membantu perkembangan dan
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat. Selain itu, sosiologi juga dapat
memberikan jalan keluar untuk mencegah terjadinya masalah. Sedangkan
sebagai obyek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia yang dilihat dari
sudut hubungan antarmanusia dan proses-proses yang timbul dari hubungan
manusia dalam masyarakat. Sosiologi diharapkan akan menemukan
kecenderungan histories dari penelaahan masyarakat modern, dan
memodifikasinya.

3. Karakteristik sosiologi

Menurut Soekanto (1986: 17) karakteristik sosiologi mencakup hal-hal,


sebagai berikut.
1. Sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial, bukan merupakan bagian ilmu
pengetahuan alam maupun ilmu kerokhanian. Perbedaan tersebut bukan
semata-mata perbedaan metode, namun menyangkut pembedaan
substansi, yang kegunaannya untuk membedakan ilmu-ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan gejala-gejala alam dengan ilmu-ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Khususnya,
pembedaan tersebut di atas membedakan sosiologi dari astronomi, fisika,
geologi, biologi dan lain-lain ilmu pengetahuan alam yang kita kenal. Selain
itu juga dapat dipahami karena kajian sosiologi sangat luas yakni tentang
masyarakat (interaksi sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur
sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial).
2. Sosiologi bukan merupakan disiplin yang normatif, melainkan suatu disiplin
yang bersifat kategoris. Artinya sosiologi membatasi diri pada apa yang
terjadi saat ini, dan bukan mengenai apa yang semestinya terjadi atau
seharusnya terjadi. Dengan demikian, sosiologi dapat dikategorikan sebagai
ilmu murni (pure science), dan bukan merupakan ilmu terapan (applied
science). Sebagai ilmu murni sosiologi bukan disiplin yang normatif. Artinya
sosiologi membatasi diri pada apa yang terjadi saat ini, serta bukan
mengenai apa yang terjadi seharusnya terjadi. Di sini berarti sosiologi tidak
menetapkan kearah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti

33
Memahami Ilmu Sosial

memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan


kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut sesuai dengan
harapan-harapan peneliti. Dengan demikian, dalam sosiologi tidak menilai
apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah.
Tentu saja berbeda dengan ilmu terapan yang bertujuan untuk
mempergunakan dan menetapkan ilmu pengetahuan tersebut dalam
masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat, contohnya
ilmu pendidikan.
3. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan pola-
pola umum (nomotetik). Berbeda dengan sejarah misalnya, (lebih banyak
meneliti dan mencari pola-pola khusus atau ideografik) yang menekankan
tentang keunikan sesuatu yang dikaji. Dalam arti bahwa sosiologi mencari
apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum dari interaksi
antarmanusia individu maupun kelompok dan perihal sifat hakikat, bentuk,
isi, struktur maupun proses dari masyarakat manusia.
4. Sosiologi merupakan ilmu sosial yang empiris, faktual, dan rasional. Dalam
istilah Spencer dan Inkeles (1982: 4) dan Popenoe (1983: 5) mereka
menyebutnya the science of the obvious atau jelas nyata.
5. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang abstrak, bukan tentang ilmu
pengetahuan yang konkret. Artinya, bahan kajian yang diperhatikan dalam
sosiologi adalah bentuk-bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat,
dan bukan wujudnya tentang masyarakat yang konkret.

6. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang menghasilkan pengertian-


pengertian dan pola-pola umum. Karena dalam sosiologi, meneliti dan
mencari apa yang menjadi prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum
daripada interaksi antarmanusia dan juga perihal sifat hakikat, bentuk, isi
dan struktur dari masyarakat. Sebagai ilmu pengetahuan yang umum, dan
bukan merupakan ilmu pengetahuan yang khusus, maka dalam sosiologi
mempelajari gejala umum yang ada pada interaksi manusia.
Sosiologi sebagai ilmu yang memfokuskan pada kajian pola-pola interaksi
manusia. Namun, semakin berkembangannya ilmu pengetahuan, sosiologi
sering dihubungkan dengan modernitas. Menurut Bauman (2000: 1023)
hubungan tersebut didasarkan beberapa alasan.

34
Memahami Ilmu Sosial

1. Mungkin satu-satunya denominator umum dari sejumlah besar mazhab


pemikiran dan strategi riset yang mengklaim mengandung sumber
sosiologis adalah fokusnya pada masyarakat. Fokus tersebut dapat
mengambil salah satu dari dua bentuk. Beberapa sosilog mengambil
pembahasan mengenai struktur dan proses yang dapat dianggap sebagai
atribut totalitas. Sarjana lainnya lebih menitikberatkan perbedaan yang
dibuat untuk kondisi dan perilaku individu dan kelompok individu
berdasarkan fakta bahwa mereka ini membentuk bagian dari totalitas
tersebut yang dinamakan masyarakat. Akan tetapi, masyarakat yang
dipahami sebagai wadah supraindividu dan mendorong atau membatasi
tindakan individu yang dapat dilihat secara langsung merupakan ciptaan
zaman modern yang berbeda dengan mayrakat masa lalu. Di dalam
masyarakat modern, tindakan cenderung mengambil bentuk mode perilaku
yang terkondisikan dan karena itu ada kemungkinan untuk diprediksi. Akan
tetapi, karena masyarakat adalah the rule of no body, tanpa alamat yang
pasti maka mekanisme-mekanisme yang mendasari pengkondisian ini
menjadi sulit untuk dibuktikan Mekanisme-mekanisme tersebut tidak
terwakili dalam kesadaran aktor yang perilakunya dibentuk oleh mekanisme
itu sendiri. Untuk memahaminya maka mekanisme tersebut harus
ditemukan terlebih dahulu. Baru setelah statistika berkembang dalam
sosiologi, hal ini dimungkinkan untuk memisahkan masyarakat sebagai
obyek studi otonom sebagai entitas yang berbeda dari individu, tindakan
yang termotivasi karena statistik dapat memberikan represntasi tunggal dari
tindakan massa (Bauman, 2000: 1025).
2. Fenomena modern lainnya yang khas adalah ketegangan konstan antar
manusia yang muncul dari latar belakang tradisional dan komunal, yang
berubah menjadi individu dan menjadi subyek tindakan otonom, serta
masyarakat sebagai batasan sehari-hari terhadap tindakan dari keinginan
individu. Paradoksnya adalah bahwa individu modern tidak dapat
sepenuhnya merasa nyaman dan betah tinggal dengan masyarakat,
sedangkan ia sebagai individu juga tidak dapat berada di luar masyarakat.
Akibatnya, studi tentang masyarakat dan ketegangan antarkapasitasnya,
baik itu untuk menghalangi atau memberdayakan, telah didorong oleh dua
kepentingan yang meskipun berkaitan, namun berbeda satu sama lain, dan

35
Memahami Ilmu Sosial

pada prinsipnya bertentangan satu sama lain dalam aplikasi praktis, serta
konsekuensinya. Di satu pihak, ia ada kepentingan untuk memanipulasi
kondisi sosial sedemikian rupa guna mendapatkan perilaku yang lebih
seragam, seperti yang dinginkan oleh pihak yang berkuasa. Persoalan utama
di sini adalah masalah disiplin, yaitu memaksa agar berperilaku dalam cara
tertentu meskipun mereka tidak sepakat, atau bahkan menolak terhadap
pihak-pihak pemegang kendali. Di pihak lain, ia ada kepentingan untuk
memahami mekanaisme regulasi sosial sehingga secara ideal, kapasitas
pemberdayaan mereka dapat digunakan maupun ditolak dalam upaya
penyeragaman tersebut.
Berdasarkan uraian mengenai karakteristik sosiologi di atas, berarti
sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial, bukan merupakan disiplin yang
normatif, melainkan suatu disiplin yang bersifat kategoris. Sosiologi mengkaji
bentuk-bentuk dan pola-pola peristiwa dalam masyarakat, dan mempelajari
gejala umum yang ada pada interaksi manusia, wujudnya bukan tentang
masyarakat yang konkret.

4. Ruang lingkup sosiologi


Menurut Supardan (2009: 78) ruang lingkup sosiologi dapat dibedakan
menjadi beberapa subdisiplin sosiologi, seperti sosiologi pedesaan (rural
sociology), sosiologi industri (industrial sociology), sosiologi perkotaan (urban
sociology), sosiologi medis (medical socilogy), sosiologi perempuan (woman
sociology), sosiologi militer (military socilogy), sosiologi keluarga (family
sociology), sosiologi pendidikan (educational sociology), sosiologi medis
(medical sociology), sosiologi seni (sociology of art). Subdisiplin sosiologi di
atas, diuraikan sebagai berikut.

Sosiologi pedesaan (rural sociology)


Sosiologi pedesaan saat ini terperangkap dalam sejumlah kontroversi
dan harapan. Sepanjang sejarahnya, sosiologi pedesaan tidak pernah dapat
secara efektif menyatakan statusnya sebagai disiplin ilmu tersendiri yang
memiliki obyek penyelidikan dan metode penjelasan yang khusus. Jika tradisi
awal mengasumsikan bahwa ada perbedaan menyolok antar lokasi pedesaan

36
Memahami Ilmu Sosial

yang membuat lokasi-lokasi itu mempunyai perbedaan dalam hal sosial dan
budaya dibandingkan dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial perkotaan.
Akhirnya, semakin banyak peneliti yang berpandangan bahwa lokasi pedesaan
hanya sekedar entitas empiris atau geografis tempat seseorang bekerja.
Keadaan desa tidak mensyaratkan teori atau implikasi metodologis khusus
untuk penelitian, tetapi sangat tergantung pada jenis masalah teoretis dan
metodologis yang dikandungnya, dan tidak semata-mata didasarkan pada
kenyataan yang sama-sama memiliki pengalaman pedesaan (Long, 2000: 942).

Sosiologi industri
Sosiologi industri sejak awal mendapat inspirasi dari pemikiran-
pemikaran Marx, Durkheim, dan Weber, walaupun secara formal siologi
industri lahir pada kurun waktu antara Perang Dunia-I dan II, serta secara
matang tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an (Grint, 2000: 488). Dari
pemikiran Marx setidaknya teori revolusi proletariat dari tumbuhnya alienasi
serta eksploitasi ekonomi, pengaruhnya sanga dirasakan pada periode antara
Perang Dunia I dan II, manakala terjadi lonjakan pengangguran dan krisis
ekonomi dunia, walaupun realitanya pengaruh ini kurang dominan. Sedangkan
dari pemikiran Weber, merupakan jantung dalam pembentukan sosiologi
industri. Namun, yang paling banyak dibicarakan analisis Weber tersebut
adalah tentang birokrasi, dan signifikansi dari dominannya bentuk-bentuk
otoritas ”legal-formal”, yakni otoritas yang legitimasinya berakar pada aturan-
atauran dan prosedur formal (Grint, 2000: 488).

Sosiologi medis (medical socyology)


Sosiologi medis merupakan bagian dari sosiologi yang kajiannya
memfokuskan pada pelestarian ilmu kedokteran khususnya pada masyarakat
modern (Amstrong, 2000: 643). Bidang ini berkembang pesat pada sejak tahun
1950-an sampai sekarang. Setidak-tidaknya ada dua alasan yang mendorong
pesatnya perkembangan bidang ini.
a. Berhubungan dengan asumsi-asumsi dan kesadaran bahwa problem yang
terkandung dalam perawatan kesehatan masyarakat modern adalah sebagai
bagian integral masalah-masalah sosial.

37
Memahami Ilmu Sosial

b. Meningkatnya minat terhadap pengobatan dalam aspek-aspek sosial dari


kondisi sakit (illness), terutama berkaitan dengan psikiatri (berhubungan
dengan penyakit jiwa), pediatri (kesehatan anak), praktek umum
(pengobatan keluarga) geriatrik (perawatan usia lanjut) dan pengobatan
komunitas (Amstrong, 2000: 643-644).

Sosiologi perkotaan (urban sociology)


Sosiologi perkotaan adalah studi sosiologi yang menggunakan berbagai
statistik di antara populasi dalam kota-kota besar. Kajiannya terutama di
pusatkan pada studi wilayah perkotaan di mana zone industri, perdagangan
dan tempat tinggal terpusat. Praktek ini menerangkan pengaruh penggunaan
tata ruang dan lingkungan kota besar dalam beberapa lokasi atau area
kemiskinan sebagai jawaban atas beberapa kultur, etnis, dan bahasa yang
berbeda, suatu mutu hidup yang rendah, beberapa kelompok kesukuan
berbeda dan suatu standard perwalian menjaga rendah bahwa semua jumlah
ke disorganisasi sosial (Supardan (2009: 83).

Sosiologi wanita (woman sociology)


Sosiologi wanita merupakan suatu perspektif menyeluruh tentang
keanekaragaman pengalaman yang terstruktur bagi kaum wanita. Dengan
mendefinisikan sosiologi wanita dalam arti pola-pola ketidakadilan yang
terstruktur, khususnya kerangka stratifikasi jender. Di samping itu secara
ekplisit adanya pengintegrasian penelitian yang progresif mengenai peran
jender dari disiplin sosiologi. Bidang kajian ini bergerak kearah suatu penilaian
sistematis tentang seluruh wanita, termasuk wanita kulit berwarna, wanita
kelas pekerja, wanita lanjut usia, dan sebagainya. Singkatnya yang dilakukan
oleh kaum wanita, ialah mengembangkan suatu sosiologi oleh, dan untuk
wanita (Ollenburger dan Moore, 1996: v).

Sosiologi militer (military sociology)


Sosiologi militer menyoroti angkatan bersenjata sebagai suatu organisasi
bertipe khusus dengan fungsi-fungsi sosial spesifik (Bredow, 2000: 664). Fungsi-
fungsi tersebut bertolak dari sutu tujuan organisasi keamanan dan sarana-

38
Memahami Ilmu Sosial

sarana, kekuatan, serta kekerasan. Sosiologi militer tersebut terus berkembang


pesat khususnya di Amerika Serikat, yang menurut Bredow (2000: 665),
terdapat lima bidang utama kajian sosiologi militer, sebagai berikut.
a. Problem-problem organisasi internal, yang menganalisis proses-proses
dalam kelompok kecil dan ritual militer dengan tujuan untuk
mengidentifikasi problem-problem disiplin dan motivasi serta menguraikan
cara-cara subkultur militer dibentuk.
b. Problem organisasional internal dalam pertempuran, di mana dalam hal ini
dianalisis termasuk seleksi para petinggi militer, kepangkatan, dan evaluasi
motivasi pertempuran.
c. Angkatan bersenjata dan masyarakat, yang mengkaji tentang citra profesi
yang berkaitan dengan dampak perubahan sosial dan teknologi, profil
rekrutmen angkatan bersenjata, problem-problem pelatihan dan
pendidikan tentara, serta peran wanita dalam angkatan bersenjata.
d. Militer dan politik. Dalam hal ini dianalisis ada suatu perbandingan bahwa
pada demokrasi Barat riset militer, terfokus pada kontrol politik terhadap
jaringan militer, kepentingan-kepentingan ekonomi dan administrasi lainnya.
Namun bagi negara-negara berkembang, memfokuskan berbagai sebab dan
konsekuensi dari kudeta militer yang diperankannya dengan membawa
atribut-atribut pembangunan dan Praetorisme (bentuk yang biasanya
diterapkan oleh militerisme negara berkembang).
e. Angkatan bersenjata dalam sistem internasional. Dalam hal ini dianalsisis
tentang aspek-aspek keamanan nasional dan internasional disertai
peralatan/perlengkapan dan pengendaliannya, serta berbagai operasi
pemeliharaan perdamaian internasional (Bredow, 2000: 665).

Sosiologi keluarga (family sociology)


Mempelajari pembentukan dan perkembangan keluarga, bentuk
keluarga, fungsi dan struktur keluarga, arah perkembangan keluarga pada masa
mendatang, permasalahan yang dihadapi keluarga serta penyelesainya,
masalah penyimpangan hubungan dengan sosialisasi, disorganisasi keluarga,
dan masalah keluarga berencana. Mencakup hubungan keluarga dengan sistem
sosial lainnya, seperti sistem pendidikan, ekonomi, pemerintahan, hubungan
keluarga dengan sistem nilai dan organisasi lainnya, serta implikasinya terhadap
anggota keluarga. Pendekatan sosiologis dalam melihat keluarga, peranan,

39
Memahami Ilmu Sosial

interaksi, dan fungsi keluarga dalam era modernisasi maupun pembangunan


(Goode, 2002: 37).

Sosiologi Agama
Sosiologi agama merupakan studi sosiologis yang mempelajari studi ilmu
budaya secara empiris, profane, dan positif yang menuju kepada praktek,
struktur sosial, latar belakang historis, pengembangan, tema universal, dan
peran agama dalam masyarakat (Goddijn, 1996: 36). Para ahli sosiologi agama
mencoba untuk menjelaskan efek masyarakat itu pada pada agama dan efek
agama terhadap masyarakat.

Sosiologi pendidikan (sociology of education)


Merupakan bidang kajian sosiologi yang perintisannya selalu dikaitkan
dengan sosiolog pendidikan bernama Lester Frank Ward pada tahun 1883, yang
menegaskan bahwa untuk memperbaiki masyarakat diperlukan pendidikan
(Ballantine, 1983: 11).
Sosiologi seni (sociology of art)
Sosiologi seni digunakan dari sosiologi seni-seni (sociology of arts) atau
sosiologi seni dan literatur (sociology of art and literature). Sedangkan sosiologi
seni-seni visual relatif jarang dikembangkan daripada sosiologi literatur, drama,
maupun film. Implikasinya sifat generik dari bidang kajian ini mau tidak mau
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam analisisnya, karena tidak selalu
terdapat hubungan linier antara musik dan novel dengan konteks atau
politiknya (Wolff, 2000: 41).
Berdasarkan uraian mengenai ruang lingkup sosiologi di atas, penulis
simpulkan bahwa berbagai disiplin ilmu sosiologi mengacu pada kehidupan
manusia sehari-hari dan untuk kepentingan manusia itu sendiri.

B. Kegunaan Sosiologi

Menurt Soekanto (1986: 339-340) kegunaan sosiologi secara praktis


dapat berfungsi untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan mengatasi problema
sosial. Adapaun problema sosial tersebut jika dilihat fokus kajiannya dapat
dibedakan berdasarkan bidang-bidang keilmuannya, seperti problema yang

40
Memahami Ilmu Sosial

berasal dari faktor ekonomi, mengenai kemiskinan dan pengangguran.


Sedangkan menurut Supardan (2009: 98) sosiologi berfungsi memberikan
informasi untuk mengatasi masalah-masalah keluarga, seperti disorganisasi
keluaraga.
Horton dan Hunt (1991: 48-49) mengemukakan bahwa studi sosiologi
yang menggunakan konsep-konsep sosiologi paling tidak ada dua manfaat:
1) kita memerlukan konsep yang diutarakan dengan teliti untuk
melangsungkan suatu diskusi ilmiah. Bagaimana saudara dapat akan
mampu menerangkan mesin pada seseorang yang tidak memiliki konsep
“roda”; dan
2) perumusan konsep menyebabkan ilmu pengetahuan bertambah.
Adapun konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi tersebut,
mencakup masyarakat, peran, norma, sanksi, interaksi sosial, konflik sosial,
perubahan sosial, permasalahan sosial, penyimpangan, globalisasi, patronase,
kelompok, patriarki, dan hierarki (Supadan, 2009: 136).

5. Hubungan Sosiologi dengan Ilmu Sosial Lainnya


Sosiologi ilmu tentang masyarakat yang mengkaji tentang struktur sosial,
proses-proses sosial, dan perubahan-perubahan sosial. Pada prinsipnya
semuanya memiliki hubungan di antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu
norma-norma sosial, lembaga-lemgaba sosial, dan lapisan sosial.
Dengan demikian, jelaslah bahwa di antara ilmu-ilmu sosial tersebut
memiliki hubungan dan ruang lingkup yang luas. Mengingat sosiologi selalu
berkaitan dengan perilaku manusia, maka aspek-aspek kehidupan seperti
politik, ekonomi, sosial, budaya, seni, sejarah, dan sebagainya memiliki
hubungan dengan sosiologi.

C. Konsep Ilmu Antropologi

1. Pengertian Antropologi
Perkembangan lahirnya antropologi melalui suatu tahapan yang panjang.
Koenjtaraningrat (1987: 27-28) memaparkan bahwa lembaga-lembaga
antropologi etnologi merupakan awal lahirnya antropologi. Lembaga Societe

41
Memahami Ilmu Sosial

Etnologique didirikan di Paris tahun 1839 oleh cendekiawan M.


Edwards. Sedangkan di London didirikan The Ethnological Society oleh seorang
tokoh anti perbudakan T. Hodgkin. Tujuan didirikannya lembaga ini adalah
menjadi pusat pengumpulan dan studi dari bahan etnografi yang berasal dari
sebanyak mungkin kebudayaan di dunia ini.
Menurut Koentjaraningrat (1987: 1-2) antropologi merupakan studi
tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat
tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun
pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Menurut Supardan (2009: 163) antropologi merupakan ilmu yang
berusaha mencapai pengertian atau pemahaman tentang manusia dengan
mempelajari aneka warna bentuk fisik, masyarakat dan kebudayaannya.
Pengertian antropologi menurut para ahli (dalam Ahmadi dan Amri,
2011: 166).
a. William A. Havilan : antropologi adalah studi tentang umat manusia dan
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia
dan perilakunya serta memperoleh pengertian lengkap tentang
keanekaragaman manusia.
b. David Hunter : antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan tidak
terbatas tentang umat manusia.
c. Koentjaraningrat : antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia pada
umumnya dengan mempelajari karakteristik warna, bentuk fisik masyarakat
serta kebudayaan yang dihasilkan (Ahmadi dan Amri, 2011: 166).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi


adalah ilmu yang mempelajari manusia dan perilakunya, dengan objek
kajiannya beragam manusia yang dilihat dari aneka warna, bentuk fisik, dan
kebudayaannya.
Menurut Sapriya (2009: 23) antropologi mempelajari budaya manusia.
Budaya yang diciptakan sebelum lahirnya zaman sejarah dan budaya pada
zaman modern.
Menurut Ahmadi dan Amri (2011: 166) antropologi adalah sebagai ilmu
yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan

42
Memahami Ilmu Sosial

(cara-cara perilaku, tradisi, dan nilai) yang dihasilkan, sehingga setiap manusia
satu dengan yang lainnya berbeda.
Menurut Kapplan dan Manners (1999: xiii) “Antropologi pada hakikatnya
mendokumentasikan kondisi manusia pada masa lampau dan masa kini.
Perhatian utamanya adalah pada masyarakat-masyarakat eksotis, masa
prasejarah, bahasa tak tertulis, dan adat kebiasaan yang aneh. Akan tetapi, itu
semata-mata adalah cara antropolog mengungkapkan perhatian terhadap
tempat-tempat dan saat ini. Cara yang ditempuh antropolog ini memberikan
sumbangan unik kepada pengetahuan kita tentang apa yang sedang terjadi di
dunia. Kita tidak dapat memahami diri-sendiri lepas dari pemahaman kita
tentang budaya. Tak peduli betapa primitive, betapa kuno, atau betapapun
remeh kelihatannya.”
Berdasarkan uraian di atas, antropologi merupakan ilmu yang mengkaji
kondisi manusia yang berbeda-beda pada masa lampau dan masa kini dengan
mengkaji masyarakat eksotis, masa prasejarah, bahasa tak tertulis, dan adat
kebiasaan dengan tujuan memahami tentang budaya.

1. Objektivitas dalam Antropologi


Kapplan dan Manners (1999: 33) menyatakan salah satu kelemahan
pendapat jika kaum antropolog berusaha menempatkan objektifitas dalam
pemikiran dan sikap para peneliti. Padahal, tempat yang lebih layak untuk
mencari dan menemukan objektivitas adalah dalam tradisi kritik suatu disiplin.
Sikap relativistik seperti itu masih memiliki kelemahan lain, yaitu di sana tidak
dibedakan antara apa yang oleh filsuf ilmu disebut sebagai konteks penemuan
dan konteks justifikasi.
Selanjutnya Kaplan dan Maners (1999: 32) mengemukakan antropolog
itu pulang dan menulis laporan mengenai “Cara hidup Suku….” Akan tetapi,
seberapa jauhkan catatan itu merupakan pantulan bias pribadi si antropolog itu
sendiri, rasa suka dan tidak sukanya sendiri? Masalah ini berulang kali disadari
dengan penuh keprihatinan oleh para antropolog. Mungkin kasusnya yang
klasik ialah Tepoztlan, suatu dusun di Meksiko Selatan. Etnografi awal
mengenai Tepotlan disusun oleh Robert Redfield pada akhir tahun 1920-an.

43
Memahami Ilmu Sosial

Gambaran yang muncul dari catatan itu ialah suatu komunitas yang harmonis,
egaliter, tentram dan damai.

2. Ruang Lingkup Antropologi


Menurut Supardan (2009: 163) ilmu antropologi terbagi ke dalam lima
subilmu yang mempelajari:
1. masalah asal dan perkembangan manusia atau evolusinya secara biologis;
2. masalah terjadinya aneka ragam cirri fisik manusia;
3. masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam
kebudayaan manusia;
4. masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam bahasa
yang diucapkan di seluruh dunia;
5. masalah mengenai asas-asas dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari
aneka ragam suku bangsa yang tersebar di seluruh dunia masa kini.
Berdasarkan kelima subdisiplin antropologi tersebut, Koentjaraningrat
(1981: 244) membuat bagan pembagian dalam ilmu antropologi tersusun pada
bagan di bawah ini.

Menurut Supardan (2009: 164) antropologi dibagi ke dalam dua bagian,


yaitu antropologi fisik dan antropologi budaya.

Antropologi Fisik. Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme


biologis yang melacak perkembangan manusia menurut evolusinya dan
menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis (species). Keistimewaan
apapun yang dianggap melekat ada pada dirinya yang dimiliki manusia, mereka
digolongkan dalam binatang menyusui, khususnya primata.

44
Memahami Ilmu Sosial

Antropologi Budaya. Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada


kebudayaan manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Menurut
Haviland (1999: 12) cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga
bagian, yaitu arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi. Untuk memahami
pekerjaan para ahli antropologi budaya, kita harus tahu tentang hakikat
kebudayaan yang menyangkut tentang konsep kebudayaan, dan
karakteristiknya; bahasa dan komunikasi, menyangkut hakikat bahasa, bahasa
dalam kerangka kebudayaan, serta kebudayaan dan kepribadian. Sedangkan
Burke (2000: 193) menyatakan antropologi budaya merupakan studi tentang
praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa,
dimana makna diciptakan dan diujui sebelum digunakan oleh masyaraka
manusia.
Menurut Supardan (2009: 166) saat ini, kajian antropologi budaya lebih
menekankan pada empat aspek, sebagai berikut.
a. Pertimbangan politik, di mana para antropolog budaya sering terjebak oleh
kepentingan-kepentingan politik dan membiarkan dalam penulisannya
masih terpaku oleh metode-metode lama yang sudah terbukti kurang layak
untuk menyusun sebuah karya ilmiah.
b. Menyangkut hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Jika pada awalnya
bertumpu pada asumsi-asumsi kepatuhan dan penguasaan masing-masing
anggota masyarakat terhadap kebudayaannya, sedangkan pada masa kini
dengan munculnya karya.
c. Menyangkut bahasa dalam antropologi budaya, di mana terjadi pergeseran
makna kebudayaan dari homogenitas ke heterogenitas yang menekankan
peran bahasa sebagai sistem formal abstraksi-abstraksi kategori budaya.
d. Preferensi dan pemikiran individual di mana terjadi hubungan antara jati diri
dan emosi, sebab antara kepribadian dan kebudayaan memiliki keterkaitan
yang erat.

Selain antropologi fisik dan antropologi budaya, ada antropologi


ekonomi, antropologi medis, antropologi psikologi, dan antropologi sosial.

Antropologi ekonomi. Antropologi ekonomi merupakan cara manusia dalam


mempertahankan dan mengekspresikan diri melalui penggunaan barang dan

45
Memahami Ilmu Sosial

jasa material (Gudeman, 2000: 259). Masyarakat sekarang dan masa lampau,
termasuk masyarakat non-Barat, yang fokusnya terarah pada bentuk dan
pengatuan kehidupan ekonomi, dalam kaitannya dengan perbedaan gaya
kekuasaan dan ideologi. Dengan demikian, ruang-lingkup antropologi ekonomi
tersebut mencakup; riset tentang teknologi, produksi, perdagangan, dan
konsumsi, serta tinjauan tentang berbagai bentuk pengaturan sosisl dan
ideologis manusia untuk mendukung kehidupan materi manusia.

Antropologi medis. Antropologi medis merupakan subdisiplin yang


sekarang paling populis di Amerika Serikat, bahkan tumbuh pesat di mana-
mana. Antropologi medis ini banyak membahas hubungan antara penyakit
dan kebudayaan yang tampak mempengaruhi evolusi manusia, terutama
berdasarkan hasil-hasial penemuan paleopatologi (Foster dan Anderson,
1986: vi).

Antropologi psikologi. Antropologi psikologi merupakan wilayah antropologi


yang mengkaji tentang hubungannya antara individu dengan makna dan nilai
dengan kebiasaan sosial dari sistem budaya yang ada (White, 2000: 856).
Adapun ruang lingkup antropologi psikologi tersebut sangat luas dan
menggunakan berbagai pendekatan pada masalah kemunculan dalam interaksi
antara pikiran, nilai, dan kebiasaan sosial. Sedangkan focus kajian bidang ini
terpusat pada individu dalam masyarakat makin mendekatkan hubungan
dengan psikologi dan psikiatri dibanding dengan mainstream antropologi.
Namun, secara historis bidang antropologi psikologi tersebut lebih dekat pada
psikoanalisis daripada psikologi eksperimental.

Antropologi social. Antropologi sosial mulai dikembangkan oleh James George


Frazer di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Dalam kajiannya, antropologi
sosial mendeskripsi proyek evolusionis yang bertujuan untuk merekonstruksi
masyarakat primitive asli dan mencatat perkebangannya melalui berbagai
tingkat peradaban. Selanjutmya, pada tahun 1920-an di bawah pengaruh
Brosnilaw Malinowski dan A.R. Radecliffe-Brown, penekanan pada antropologi
sosial Inggris bregerak menjadi suatu studi komperatif masyarakat
kontemporer (Kuper, 2000: 971). Selain itu para ahli antropologi sosial juga
lebih terbuka terhadap berbagai ide dari bidang-bidang disiplin lain termasuk
psikologi dan linguistik secara interdisipliner. Para ahli antropologi sosial juga

46
Memahami Ilmu Sosial

mempunyai kontribusi terhadap kajian-kajian penelitian terapan atas berbagai


persoalan, seperti hubungan etnik, imigrasi, efek medis, ketetapan endidikan,
dan pemasaran.

3. Tujuan dan Kegunaan Antropologi


Menurut Supardan (2009: 185) kerja lapangan dalam antropologi,
selama ini merupakan karya penyelamatan, di samping sebagai upaya yang
bersumber pada keprihatinan politis. Selain itu, merupakan tindakan yang
didorong oleh minat pada suatu persoalan tertentu. Di samping itu, setiap
antropolog yang memulai penelitian lapangan, pada umumnya mencari suatu
bangsa atau kelompok yang belum pernah diteliti. Tujuannya sudah jelas
adalah untuk memperluas arena perbandingan di samping untuk merekan
berbagai budaya sebelum budaya-budaya itu lenyap, agar dapat
menumbuhkan pemahaman yang lebih mendekati objektivitas sebagai sesuatu
kajian yang diangan-angankan.
Menurut Haviland (1999: 19-20) antropologi merupakan studi tentang
umat manusia. Ia tidak hanya sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat
akademis, tetapi juga merupakan suatu cara hidup yang berusaha
menyampaikan kepada para mahasiswa apa yang telah diketahui orang. Dalam
arti yang sedalam-dalamnya, banyak sesuatu yang mungkin mustahil sebab apa
yang diketahui dengan cara hidup bersama dengan mempelajari orang lain di
dunia yang asing, bukan hanya orang-orang asing itu, tetapi akhirnya pun
tentang diri sendiri.

4. Hubungan Antropologi dengan Ilmu Sosial Lainnya


Mengenai hubungan antropologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya,
Koentjaraningrat (1981: 35-41) mengemukakan sebagai berikut.

Hubungan antropologi dengan sosiologi


Objek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia terutama dari sudut
hubungan antarmanusia dan proses-proses yang timbul dari hubungan
manusia dalam masyarakat. Sedangkan dalam antropologi budaya mempelajari
gambaran tentang perilaku manusia dan konteks sosial budayanya. Jika saja

47
Memahami Ilmu Sosial

sosiologi orientasinya memusatkan perhatian secara khusus kepada orang yang


hidup di dalam masyarakat modern sehingga teori-teori mereka tentang
perilaku manusia cenderung terikat pada kebudayaan tertentu (culture-bound)
(Haviland, 1999: 12).

Hubungan antropologi dengan psikologi


Psikologi pada hakikatnya mempelajari perilaku manusia dan proses-
proses mentalnay. Dengan demikian, psikologi membahas faktor-faktor
penyebab perilaku manusia secara internal, seperti motivasi, minat, sikap,
konsep diri, dan lain-lain. Sedangkan dalam antropologi, khususnya antropologi
budaya, lebih bersifat faktor eksternal, yaitu lingkungan fisik, lingkungan
keluarga dan lingkungan sosial dalam arti luas. Kedua unsur itu saling
berinteraksi satu sama lain yang menghasilkan suatu kebudayaan melalui
proses belajar.

Hubungan antropologi dengan ilmu sejarah


Antropologi memberi bahan prehistory sebagai pangkal bagi tiap penulis
sejarah dari tiap bangsa di dunia. Selain itu, banyak persoalan dalam
hitoriografi dari sejarah suatu bangsa dapat dipecahkan dengan metode-
metode antropologi. Banyak sumber sejarah berupa prasasti, dokumen, naskah
tradisional, dan arsip kuno, di mana peranannya sering hanya dapat member
peristiwa-peristiwa sejarah yang terbatas pada bidang politik saja. Demikian
juga sebaliknya, bagi para ahli antropologi jelas memerlukan sejarah, terutama
sekali sejarah dari suku-suku bangsa dalam daerah yang didatanginya.

Hubungan antropologi dengan ilmu geograf


Kita dapat melihat bahwa geografi atau ilmu bumi itu mencoba
mencapai pengertian tentang keruangan (alam dunai) ini dengan member
gambaran tentang bumi serta karakteriidstik dari segala macam bentuk hidup
yang menduduki muka bumi. Di antara berbagai macam bentuk hidup di bumi
yang berupa flora dan fauna itu, terdapat sifatnya yang beranekaragam di muka
bumi ini. Disinilah antropologi berusaha menyelami keanekaragaman manusia
jika dilihat dari ras, etnis, maupun budayanya (Koenjtaraningrat, 1981: 36).

48
Memahami Ilmu Sosial

Begitu juga sebaliknya, seorang sarjana antropologi sangat memerlukan ilmu


geografi, karena tidak sedikit masalah-masalah manusia baik fisik maupun
kebudayaannya tidak lepas dari pengaruh lingkungan alamnya.

Hubungan antropologi dengan ilmu ekonomi


Aktivitas kehidupan ekonomi sangat dipengaruhi oleh sistem
kemasyarakatan. Dengan demikian, ilmu antropologi memiliki manfaat yang
tinggi bagi seorang ekonom.

Hubungan antara antropologi dengan ilmu politik


Seorang ahli antropologi dalam hal mempelajari suatu masyarakat guna
menulis sebuah deskripsi etnografi tentang masyarakat itu, pasti akan
menghadapi sendiri pengaruh kekuatan-kekuatan dan proses politik lokal serta
aktivitas dari cabang-cabang partai politik nasional. Dalam menganalisis
fenomena-fenomena tersebut, ia perlu mengetahui konsep-konsep dan
teori-teori dalam ilmu politik yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, antropologi merupakan ilmu yang
mempelajari tentang budaya manusia. Antropologi dapat dibedakan ke dalam
beberapa spesialisasi.
a. Antropologi sosial (antropologi budaya) merupakan ilmu yang mempelajari
tentang kelompok-kelompok manusia yang ada saat ini yang menggunakan
cara hidup (misalnya budaya) tertentu. Mereka dapat mengkaji budaya
manusia tertentu dengan cara mempelajari bagaimana bagian-bagian
budaya itu bias cocok dalam membentuk keseluruhan budaya manusia
yang bermakna, atau mereka dapat memilih dan mempelajari sejumlah
kebudayaan berdasarkan pola-pola perilaku untuk mendapatkan “perspektif
antarbudaya” tentang kondisi manusia.
b. Etnografi adalah seorang ahli antropologi yang punya spesialisasi dalam
mengumpulkan informasi tentang segala aspek budaya yang ada melalui
kerja lapangan.
c. Antropologi bahasa mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan manusia
dengan focus kajian pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial.

49
Memahami Ilmu Sosial

d. Antropologi fisik (biologi) menggunakan teknik-tekik ilmu pengetahuan alam


dalam studi makhluk hidup maupun yang nsudah berupa fosil dan primat
binatang seprti monyet atau kera.
e. Arkeologi menggunakan teknik-teknik penggilan dan analisis ilmiah sisa-sisa
fisik makhluk hidup untuk merekontruksi cara hidup manusia yang telah
musnah.
f. Primatologi meliputi ahli antropologi yang mempelajari prilaku kelompok
primat bukan makhluk manusia seperti baboon, simpense, dan gorilla.
Tegasnya, tiga spesialis terakhir ini lebih menyerupai ilmu-ilmu alam
daripada ilmu-ilmu sosial dalam focus dan metode kejiannya.

D. Konsep Ilmu politik

Ilmu politik mempelajari kebijakan umum (public policies). Mereka


tertarik dengan perkembangan dan penggunaan kekuaaan manusia dalam
masyarakat, khususnya yang tercermin dalam pemerintahan. Pada saat ini,
para ilmuwan politik telah memperluas perhatian dengan memasukkan
hubungan antara kebijakan umum dan masyarakat.

1. Sejarah Lahir dan Perkembangan Ilmu Politik


Ilmu Politik secara formal lahir sejak abad 19, namun sangat beragam
yang menyatakan lahirnya ilmu politik. Budiardjo (2000: 2) secara resmi politik
diakui sebagai ‘disiplin ilmu’ itu sejak berdirinya Ecole Libre des Science
Politiques di Paris tahun 1870, dan di London ‘School of Economic and Political
Science tahun 1895. Lain lagi dengan David E. Apter yang menulis buku
Introduction to Political Analysis, di mana ilmu ini sangat bercorak Amerika.
Menurut Supardan (2009: 521) lahirnya ilmu politik dari embrio sampai
pesatnya perkembangan ilmu disajikan secara sederhana dan secara tematis
yang mewarnai ilmu politik dari waktu ke waktu. Filsafat politik tidak berawal
dari ilmu pengetahuan, melainkan bertolak dari pemakaian common sense
(akal sehat) dalam tujuan-tujuan manusia. Saat dan urutan peristiwa-peristiwa
manusia merupakan suatu bentuk penjelasan, suatu cara menyusun, atau
merasionalkan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, wajar jika dalam
ilmu pengetahuan kuno belum mampu memberikan rumusan teori. Begitu pun

50
Memahami Ilmu Sosial

dalam ilmu politik, rasionalitas bukannya menjadi sesuatu yang bersifat


deduktif, melainkan untuk memperoleh suatu kualitas moral.
Zaman Plato (427-347 SM), seorang murid Socrates yang pernah
mengajarkan bahwa kebajikan berisi pengetahuan mengenai hal-hal yang baik,
karena itu masalahnya adalah membangun suatu negara yang di dalamnya
semua orang tertarik pada kebajikan. Selain itu Pythagoras (582-507 SM) pun
mengajarkan Plato bahwa kebajikan itu abstrak dan bahwa pengetahuan
mengenai yang abstrak adalah lebih nyata daripada pengetahuan mengenai
hal-hal yang berwujud dalam dunia empiris atau inderawi (Losco dan William,
2005: 151-53).
Dewasa ini, politik merupakan suatu fungsi antara penguasa dan yang
dikuasai pada semua bentuk pemerintahan dan setiap pemerintah harus
mampu menemukan apa yang mendatangkan kebajikan. Sedangkan
masyarakat harus memiliki kemampuan akal sehat yang memungkinkan dari
pengetahuan politik yang dimilikinya akan memiliki kualitas moral yang
memadai dalam usaha pencarian makna dalam kehidupan perorangan dan
masyarakat.
Pada akhir abad pertengahan dua prinsip penting muncul yang
mendorong transisi ke masa pencerahan (enlightenment) yang dimulai pada
abad ke-16.
1. Bahwa penguasa atau raja merupakan wakil rakyat, dengan lingkup
kekuasaan yang ditentukan oleh konstitusi yang sifatnya terbatas.
2. Bahwa komunitas politik bukan terdiri dari hak-hak pribadi semua
individu, melainkan hak-hak dewan perwakilan. Rakyat diwakili bukan
dalam kedudukan perorangan mereka, akan tetapi dalam kedudukan
politik sebagai warga negara (Apter, 1996: 74).
Prinsip-prinsip tentang tentang hak warga negara dan pembatasan
konstitusional terhadap kekuasaan para penguasa menjadi sekuler tatkala
pengertian-pengertian ini berkembang menjadi sebuah teori kontrak sosial
(social contract), dalam hal mana penguasa dan rakyat menjalin hubungan
hukum atau konstitusional mereka melalui perjanjian. Ide asli perjanjian itu
adalah persetujuan antara Tuhan dan manusia. Kemudian hal ini menjadi
perjanjian antara penguasa dan rakyat. Selama masa pencerahan, masyarakat
yang selama abad pertengahan dianggap sebagai jenis korporasi sebuah badan

51
Memahami Ilmu Sosial

hukum kemudian menjadi berdasar pada landasan konstitusi (Supardan, 2009:


525-526).
Berdasarkan uraian mengenai sejarah perkembangan ilmu politik di atas,
dapat disimpulkan bahwa ilmu politik berkembang sangat pesat, sejak lahir
hingga berkembang seperti dewasa ini, ilmu politik banyak perubahan dan
terus berkembang, sehingga ilmu politik menjadi suatu fungsi antara penguasa
dan yang dikuasai pada semua bentuk pemerintahan yang mendatangkan
sebuah kebajikan baru.

2. Pengertian Ilmu Politik


Menurut Supardan (2009: 492) istilah politik (politics) sering dikaitkan
dengan bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik ataupun negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan maupun dalam melaksanakan tujuan
tersebut.
Budiharjo (2000: 1) mengatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya,
karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Pada tahap itu ilmu politik
berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu-ilmu
sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi, serta dalam
perkembangan ini mereka saling mempengaruhi.
Barents (1965: 23) mengemukakan: De wetenschap der politiek is de
wetenschap ie het leven van de staat bestudeert… een maatschappelijk leven…
waarvan de taat een onderdeel vormnt. Aan het onderzoek van die staten,
zoals ze werken, is de wetenschap der politiek gewijd “Ilmu politik adalah ilmu
tentang kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat;
ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya.”
Surbakti (1999) mengatakan konsep politik merupakan interaksi antara
pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal
dalam suatu wilayah tertentu.
Berdasarkan bebepara pendapat di atas, ilmu politik sangat terkait
dengan kekuasaan, negara, dan pengaturan hidup bersama dalam upaya
mencapai kebaikan bermasyarakat.

52
Memahami Ilmu Sosial

Menurut Syarbaini (2002: 13), tumpuan kajian ilmu politik adalah upaya-
upaya memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, penggunaan
kekuasaan, dan bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan. Dengan
demikian maka:
1. Dilihat dari aspek kenegaraan, ilmu politik
mempelajari negara, tujuan negara, dan lembaga negara, serta hubungan
kekuasaan baik sesama warga negara, hubungan negara dengan warga
negara, dan hubungan antar negara.
2. Dilihat dari aspek kekuasaan ilmu politik
mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat, hakikat, dasar,
proses, ruang lingkup, dan hasil dari kekuasaan itu.
3. Dilihat dari aspek kelakuan, ilmu politik
mempelajari kelakuan politik dalam sistem politik yang meliputi budaya
politik, kekuasaan, kepentingan, dan kebijakan.
Budiharjo (2000: 8) dikatakan bahwa ilmu politik adalah bermacam-
macam kegiatan dalam suatu sistem politik yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem
politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala
prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.

3. Generalisasi-generalisasi Ilmu Politik


Generalisasi itu merupakan pernyataan hubungan dua konsep atau
lebih. Pernyataan tersebut boleh terbentang dari yang sangat sederhana ke
yang sangat kompleks. Kadang-kadang mereka dikenal sebagai prinsip-prisip
atau hukum. Dari pernyataan tersebut maka generalisasi-generalisasi dalam
Ilmu politik yang sering dikembangkan di tingkat pendidikan menengah
berkaitan dengan konsep-konsep yang telah dibahas sebelumnya, seperti di
bawah ini (Supardan, 2009: 577).

Negara. Jika pemimpin suatu negara menyalahgunakan kekuasaan untuk


melanggengkannya demi kepentingan pribadi dengan berbagai tindakan yang
sewenang-wenang, cepat atau lambat akan datang gerakan masa yang tidak

53
Memahami Ilmu Sosial

dapat dibendung sebagai respons atas tindakan penyalahgunaan kekuasaan


tersebut.

Kedaulatan rakyat. Meleletusnya Revolusi Prancis 1789, salah satu penyebab


yang dominan adalah disebabkan raja-raja Prancis berkuasa secara absolut,
dalam arti tiadanya kedaulatan rakyat Prancis yang dijunjung tinggi oleh
pemerintah.

Kontrol sosial. Dalam setiap pemerintahan, institusi masyarakat, maupun


pemerintahan, diperlukan suatu kontrol sosial untuk memudahkan
pengawasan jalannya suatu mekanisme perjanjain dan pemerintahan yang
telah disepakati.

Pemerintahan. Pemerintahan yang diktator sering menimbulkan suatu gerakan


msyarakat-bangsa untuk melakukan suatu revolusi yang mengarahkan
perlawanan terhadap rejim lama ketika menekan kebebasan dan menentang
pembaharuan.

Legitimasi. Sebetulnya di awal masa jabatannya pemerintahan Gusdur memiliki


legitimasi yang baik untuk melaksanakan agenda reformasi Indonesia,
mengingat ia memperoleh dukungan mayoritas dari berbagai elite dan partai
politik yang mendukungnya. Hanya saja karena ia sering “nyleneh” dan “keras
kepala” dengan seringnya melontarkan isu-isu yang kurang perlu, bongkar-
pasang kabinet, mondar-mandir ke luar negeri, bahkan tersandung dalam
Bulog-Gate, popularitas pemerintahannya menjadi pudar bahkan berakhir
secara tragis.

Oposisi. Tidak semua partai oposisi itu jelek, karena oposisi pun dapat menjadi
penyeimbang dan kontrol atas mekanisme pemerintahan yang ada. Sebaliknya,
pun tidak semua partai oposisi baik, karena tidak sedikit partai oposisi
terlahir hanya didasarkan pertimbangan emosional atas kekalahannya dalam
pemilihan umum yang telah lalu.

Sistem politik. Bagi pemerintahan yang menganut sistem politik yang komunis
maupun otoritarian, maka jelas kebebasan rakyat itu terkekang. Hal ini akan

54
Memahami Ilmu Sosial

berbeda dengan di negara-negara yang menganut sistem politik liberal seperti


di negara- negara Barat, kebebadas itu sangat luas, termasuk kebebasan
seksual di mana bagi kita hal itu perlu diatur dalam perundang-undangan.

Demokrasi. Tidak semua pemerintahan yang demokrasi itu memiliki


karakteristik universal, karena nilai-nilai budaya suatu negara-bangsa akan
turut mewarnai budaya politiknya.Dengan demikian pemahaman mengenai
pemerintahan yang demokrasi sarat dengan pengaruh nilai-nilai internal suatu
negara-bangsa.

Pemilihan umum. Pemilihan Umum merupakan salah satu indikator


pemerintahan yang demokrasi. Sebab melalui sarana pemilihan umum, aspirasi
rakyat ataupun kontituen dapat dikomodir dengan sistem pemilihan umum
yang baik.
Partai politik. Jika suatu pemerintahan mengaku dirinya demokrasi, sementara
partai politik dilarang berdiri, hal itu dapat dimetaforakan sebagai seekor
harimau yang dikebiri. Ia tidak dapat menikmati kehidupan yang bebas dan
melakukan reproduksi, berati sama halnya dengan tidak dapat menumbuh-
kembangkan kehidupan demokrasi yang sejati yang menghargai hak-hak asasi
setiap pribadi.

Desentralisasi. Desentralisasi menjadi keniscayaan dalam pemerintahan


Indonesia masa kini, tanpa mengurangi makna sebagai negara kesatuan. Sebab
tanpa desentralisasi, berarti tidak ada otonomi bagi daerah, segala sesuatunya
masih bersifatsentralistik, di mana kesenjangan antara pusat dan daerah akan
menjadi semakin timpang.

4. Ruang Lingkup Ilmu Politik


Ruang lingkup disiplin ilmu politik sangat luas. Menurut O’leary (2000:
794) dalam Supardan (2009: 494) subbidang utama ilmu politik meliputi:
pemikiran politik; teori politik; sejarah politik; analisis politik perbandingan;
administrasi publik; kebijakan publik; sosiologi politik; hubungan internasional;
dan teori-teori kenegaraan.

55
Memahami Ilmu Sosial

Pemikiran politik. Pemikiran politik adalah untuk menemukan makna dan


konteks yang asli dari wacana klasik, seringkali dengan cara memfokuskan pada
para penulis yang terlupakan dan dimarjinalkan, karenanya kajian pemikiran
politik harus diserahkan kepada para ahli sejarah.

Teori politik. Para ahli biasanya memiliki gaya sendiri-sendiri, kendati memiliki
ciri umum yang bersifat normatif dalam orientasi teori politiknya yang telah
lama berevolusi. Mereka menyampaikan secara akurat dengan pendekatan
logika matematika dari tema-tema dalam karya klasik.

Lembaga-lembaga politik. Merupakan kajian terhadap lembaga-lembaga


politik khususnya peranan konstitusi, eksekutif, birokrasi, yudikatif, partai
politik dan sistem pemilihan, yang mula-mula mendorong pembentukan formal
jurusan-jurusan ilmu politik di banyak niversitas pada akhir abad ke-19 (Miller,
2002: 790). Sebagian besar mereka tertarik pada penelusuran asal-usul dan
perkembangan lembaga-lembaga politik dan memberikan deskripsi-deskripsi
fenomenologis; memetakan konsekuensi-konsekuensi formal dan prosedural
dari institusi-institusi politik.

Sejarah politik. Banyak para ilmuwan politik yang menjelaskan tentang sejarah
politik walaupun sering bias terhadap sejarah kontemporer. Pada umumnya
mereka percaya bahwa tugas ilmuwan politik menawarkan penjelasan-
penjelasan retrodiktif bukannya prediksi-prediksi yang kritis dan sangat
deskriptif. Mereka yakin bahwa kebenaran terletak pada arsip-arsip
pemerintah. (O’Leary, 2000: 790).

Politik perbandingan. Merupakan asumsi dari para ilmuwan politik bahwa


fokus perbandingan memberikan satu-satunya cara untuk menjadi ilmu sosial
murni. Sebab bagi ilmuwan politik dalam pandangannya bahwa ilmu politik
berkaitan dengan upaya membangun hukum-hukum universal atau
generalisasi-generalisasi yang dapat memberikan penjelasan-penjelasan
fenomena politik yang tepat dan teruji.

56
Memahami Ilmu Sosial

Ekonomi politik. Subbidang ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa teori-teori
perilaku politik sebagaimana teori perilaku ekonomi, harus bermula dari premis
sederhana tentang manusia yang suka membangun prediksi-prediksi dari
perilaku mereka. Di sinilah letak hubungan ilmu politik dan ekonomi, di mana
manusia tidak pernah puas menggapai kepentingan diri yang rakus tersebut,
misalnya tentang ekonomi politik lingkaran bisnis, di mana para ahli teori
mencoba memprediksi bagaimana para politisi memanipulasi alat-alt ekonomi
untuk membangun atau menciptakan dukungan politik (Tufte, 1978).

Administrasi publik dan kebijakan umum. Administrasi publik dan kebijakan


umum merupakan cabang empiris dan normatif dari ilmu politik yang
tumpang-tindih dengan hukum dan ekonomi. Karena administrasi publik
memusatkan perhatiannya pada susunan institusional provisi pelayanan publik,
dan secara historis berkenaan dengan kepastian administrasi yang
bertanggungjawab dan adil, sedangkan para ahli kebijakan publik menganalisis
formasi dan penerapan kebijakan-kebijakan, serta memberikan manfaat
normatif dan empiris terhadap argumen-argumen yang digunakan untuk
menjustifikasi kebijakan-kebijakan tersebut.

Teori kenegaraan. Teori kenegaraan merupakan teori politik yang paling padu
dalam memberikan perhatian bagi teri politik kontemporer, pemikiran politik,
administrasi publik, kebijakan publik, sosiologi politik, dan hubungan
internasional (O’Leary, 2000: 794). Hal ini dapat dipahami mengingat
kebanyakan ilmu politik kontemporer memfokuskan pada organisasi negara
dalam sistem demokrasi liberal.

Hubungan internasional. Hubungan internasional merupakan hubungan antar


negara yang memfokuskan pada hubungan lintas negara dan inter-negara
dalam diplomasi, transaksi ekonomi, serta perang maupun damai dan
menyatakan bahwa ada hukum bangsa-bangsa yang sederajat dengan hukum
domestik negara-negara.

5. Tujuan Ilmu Politik

57
Memahami Ilmu Sosial

Menurut Supardan (2009: 516) terdapat tiga makna tujuan mempelajari


ilmu politik, sebagai berikut.

Perspektif intelektual. Tujuan ilmu politik adalah tindakan politik. Untuk


mencapainya, diperlukan pembelajaran untuk memperbesar kepekaan
pembelajar, sehingga ia dapat bertindak. Agat dapat bertindak dengan baik
secara politik, orang perlu mempelajari asas dan seni politik dan nilai-nilai yang
diangga penting oleh masyarakat, seperti bagaimana nilia-nilai dwujudkan
dalam lembaga-lembaga, serta taktik ataupun strategi yang akan digunakan
untuk bertindak.
Dalam pembelajarannya sudah mengenal metode yang bersifat kritis.
Tujuannya adalah untuk mnelaah kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para
penguasa dan berusaha untuk mengurangi ketidaktahuan dari mereka yang
dikuasi. Walaupun jaran kritis tersebut pada insipnya bersifat intelektual, tetapi
dapat menibulkan hal-hal yang bersifat praktis itu sebabnya tradisi intelektual
dapat dengan mudah menjadi subversif terhadap penguasa dan merangsang
timbulnya perdebatan politik.

Perspektif politik. Tujuan ini maksudnya adalah pandangan intelektual


mengenai politik tidak banyak berbeda dengan andangan politisi. Bedanya jika
politisi lebih bersifat segera (yang ada kini dan di sini, daripada hal-hal yang
teoritis), sedangkan intelektual dapat menjadi politisi jika ia mampu
memasukkan masalah politik dalam pelayanan suatu kepentiangan ataupun
tujuan.
Dunia politisi adalah dunia hari ini dan hari esok, sedangkan kaum
intlektual menaruh perhatian dalam tiga dimensi, yaitu hari kemarin, hari ini,
dan hari esok. Keutusan-keputusan dari politisi diuji dalam kenyataan
tanggapan publik yang keras. Suara lebih dahulu, sedangkan asas belakangan.
Jika tujuan pertama politisi adalah memperoleh kekuasaan, maka kaidah kedua
adalah mempertahankan kekuasaan.

Perspektif ilmu politik. Tujuan ini dipandang sebagai ilmu. Ia menilai politik
dari sisi intelektual dengan pertimbangan kritis serta memiliki kriteria yang

58
Memahami Ilmu Sosial

sistematis. Pendirian ini memandang kebutuhan ke depan, untuk meramalkan


akibat tindakan politik maupun kebijaksanaan para politisi. Jika para politisi
memandang politik sebagai pusat kekuasaan publik, kaum intelektual
memandang politik sebagai perluasan pusat moral dari diri.

Bab 3

MEMAHAMI TEORI KEPEMIMPINAN SOSIAL

A. Konsep Kepemimpinan

59
Memahami Ilmu Sosial

Kepeimpiminan sebagai sebuah proses untuk mempengaruhi orang lain,


agar mau mengikuti kehendak organisasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditentukan bersama. Hal ini sesuai dengan pandangan Ivancevich Konopaske,
dan Matteson (2002:428) yang mendifinisikan kepemimpinan sebagai,
“Process of influenching others to facilitate the attainment of organizationally
relevant goals,” yaitu, proses mempengaruhi orang lain untuk mendukung
pencapaian tujuan organisasi yang relevan.”
Kepemimpinan juga dapat dipahami sebagai tindakan seorang atau
kelompok pimpinan untuk memberikan arahan atas aktivitas-aktivitas kelompok
dalam mencapai tujuan yang diingnkan. Hal ini sesuai dengan definisi
kepemimpinan yang dikemukakan Obiwuru (2011:101) bahwa, "Leadership as
the individual behavior to guide a group to achieve the common target.”
Artinya, kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin
untuk mengarahkan aktifitas-aktifitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang
ingin dicapai bersama.

Kepemimpinan juga dapat dimaknai sebagai pemberian pengaruh oleh pimpinan


kepada pribadi-pribadi yang ada pada organisasi melalui komunikasi yang baik,
agar mereka secara sadar mau melaksanakan cita-cita bersama yang telah
digariskan organisasi, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik.
Kepemimpinan merupakan pemberian pengaruh antar pribadi, yang
dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses
komunikasi, ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu.
kepemimpinan juga dapat dimaknai sebagai proses pembentukan awal serta
pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi.
Kepemimpinan diarahkan untuk meningkatkan pengaruh sedikit
demi sedikit sehingga para pengikut dengan sadar mengikuti arahan-
arahan yang diberikan pimpinan tanpa melakukan paksaan. Kepemimpian
juga merupakan proses mempengaruhi aktifitas-aktifitas sebuah
kelompok yang diorganisir ke arah pencapaian tujuan.
Kepemimpinan sangat berhubungan dengan suatu proses pengaruh
sosial secara sengaja dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain untuk

60
Memahami Ilmu Sosial

mengelola kegiatan atau aktivitas serta hubungan di dalam sebuah organisasi


atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain,
kepemimpinan adalah sebuah proses memberi pengarahan yang berarti agar
inspirasi tergugah dan potensi bawahan dapat tumbuh dan berkembang.
“Leadership as use of leading strategy to offer inspiring motive and to enhance
the staff’s potential for growth and development.” (Obiwuru, 2011:101).
Dari berbagai definisi yang ada di atas, dapat dinyatakan bahwa
kepemimpinan sangat berhubungan dengan suatu proses pengaruh sosial yang
dalam hal ini, pengaruh tersebut sengaja dilakukan oleh pimpinan terhadap
orang lain pengikut untuk mengelola kegiatan serta hubungan di dalam sebuah
organisasi atau kelompok guna mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi. Atau
kepemimpinan dapat diartikan sebagai seni atau proses mempengaruhi
sekelompok orang, sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh
untuk meraih tujuan kelompok.

B. Pendekatan Teori Kepemimpinan

Teori kepemimpinan menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson,


(2002:429-433) dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu: 1) behavioral
approaches (teori kepemimpinan dengan pendekatan perilaku), dan 2)
Situational approaches (teori kepemimpinan dengan pendekatan situasional).
Pertama, pendekatan perilaku dapat dibedakan menjadi empat, yaitu meliputi:
1) seorang pemimpin dengan gaya job centered, berfokus merangsang
pegawai menyelesaikan tugas dan menerapkan supervisi melekat agar
pemakaian prosedur yang telah ditetapkan dapat tepat waktu dan cocok
dengan visi dan misi organisasi,
2) seorang pemimpin dengan gaya employee centered, yakni berfokus agar
tugas terselesaikan dengan baik, ia berkeyakinan bahwa pendelegasian
pengambilan keputusan dan membimbing pegawai memenuhi kebutuhan
dengan cara membentuk lingkungan kerja yang positif, akan lebih baik
dalam mencapai tujuan bersama,

61
Memahami Ilmu Sosial

3) seorang pemimpin dengan inisiatif struktur, yaitu pemimpin yang mengatur


dan mendefinisikan hubungan dalam kelompok, ia mempunyai
kecenderungan membuat pola yang baru dan menyalurkan komunikasi
serta mengatur hubungan bagaimana sebuah tugas dilakukan dengan baik
agar tujuan dapat tercapai dengan mudah, cepat, dan tepat, serta
4) seorang pemimpin yang konsiderasi, di mana menekankan perilaku yang
menunjukkan persahabatan, saling percaya, rasa hormat, hangat dalam
menjalin hubungan antara pemimpin dan pengikut.
Pendekatan kedua, yaitu pendekatan situasional yang meliputi:
1) model kepemimpinan kontingensi,
2) modek kepemimpinan jalur tujuan,
3) model kepemimpinan situasional, dan
4) model pertukaran antara pemimpin dan anggota.

Secara lebih detail akan dibahas satu-persatu sebagai berikut.


1. Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku berusaha menentukan apa yang dilakukan para
pemimpin efektif. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada dua aspek
perilaku kepemimpinan, yaitu fungsi kepemimpinan dan gaya
kepemimpinan. Pendekatan ini dibagi menjadi dua yaitu: 1) kepemimpinan yang
berpusat pada pekerja dan berpusat pada pekerjaan/produksi dan 2)
kepemimpinan struktur inisiatif dan consideration.
Kedua pendekatan perilaku kepemimpinan sebagaimana telah dijelaskan
di atas, oleh Rensis Likert dikatakan bahwa ada dua dimensi perilaku
kepemimpinan yaitu sebagai berikut.

1. Pemimpin yang berorientasi karyawan (pemimpin yang menekankan


hubungan antarpribadi). Pemimpin yang berorientasi karyawan mempunyai
dua kategori/dimensi perilaku kepemimpinan yaitu structure awal
(sejauhmana seorang pemimpin memungkinkan mendefinisikan dan

62
Memahami Ilmu Sosial

menstruktur peran bawahan dalam upaya mencapai tujuan) dan


pertimbangan (sejauh mana seorang pemimpin memungkinkan memiliki
hubungan pekerjaan yang dicirikan saling percaya menghargai gagasan
bawahan, dan memperhatikan perasaan mereka).
2. Pemimpin yang berorientasi produksi (pemimpin yang menekankan pada
aspek teknis atau tugas dari pekerjaan. Kepemimpinan yang berpusat pada
pekerjaan menggunakan metode pengukuran seperti interview, kuisioner,
dan respon kelompok yang tergabung. Subyeknya yaitu pemimpin formal
dan para pengikutnya, seperti di institusi publik, bank, rumah sakit,
perusahaan makanan, dan departemen pemerintah.
3. Kepemimpinan yang berpusat pada pekerja dan pekerjaan/produksi
menjelaskan prinsip dan metode kepemimpinan yang efektif yang mampu
mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Kriterianya: a) produktivitas pekerjaan tiap jam atau ukuran yang lain
dalam mengukur kesusksesan pencapaian tujuan produksi, b) kepuasan
kerja anggota organisasi, c) rata-rata pergantian, ketidakhadiran, dan
keluhan, d) biaya, e) sisa yang hilang, motivasi pekerja dan manajer.
Kepemimpinan struktur inisiatif dan konsideran menggunakan metode
pengukuran seperti kuisioner, respon kelompok, kelompok sebidang tugas,
pemimpin tingkat menengah dan atas. Kepemimpinan struktur inisiatif dan
konsideran, dengan tokohnya yaitu Fleismand, Stogdill, dan Shartle. Inisiatif
struktur meliputi perilaku di dalam kepemimpinan yang terorganisasi dan
tergabung di dalam kelompok, memelihara keberlangsungan saluran
komunikasi, petunjuk mengerjakan pekerjaan. Sementara itu, kepemimpinan
konsideran merujuk pada perilaku yang mengindikasikan persahabatan,
kepercayaan yang saling menguntungkan, kepedulian, kehangatan
persahabatan, dan pendekatan di antara pimpinan dan bawahan.

2. Pendekatan Situasional
Pendekatan ini mempunyai empat model, yaitu:
1) the contingency model dari Fred E. Fiedler (model kepemimpinan
kontingensi),
2) path goal model (model kepemimpinan pencapaian tujuan secara
bertahap) dari Robert House, dan

63
Memahami Ilmu Sosial

3) situational leadership theory (teori kepemimpinan situasional) dari


Harsey-Blanchard, dan
4) leader-member exchange dari Engle dan Lord.
Pertama, teori kontigensi model Fiedler memberikan postulat bahwa
hasil pekerjaan yang dilakukan oleh kelompok sangat bergantung pada
keterkaitan antara gaya kepemimpinan dan keuntungan situasional yang
menyertainya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ivancovich, yang
mengatakan bahwa, “The contingency model of leadership effectiveness
was developed by Fiedler and postulates that the performance of groups is
dependent on the interaction between leadership style and stuational
favorableness.” (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2002: 433). Dalam
hal ini Fiedler mengajukan tiga faktor yang menentukan seberapa
menguntungkan lingkungan yang dimiliki seorang pemimpin:
1) Leader-member relations, refer to he degree of confidence, trust, and
respect the follovershve in their leader; hubungan pemimpin pengikut,
menunjukkan tingkat kepercayaan, keyakinan, dan rasa hormat yang
dimiliki pengikut terhadap pemimpin mereka,
2) Task structure, is the second most important factor and refers to he
extent to which the tasks the followers are engaged in are structured;
struktur tugas adalah faktor kedua terpenting yang menunjukkan sejauh
mana tugas yang dilakukan para pengikut terstruktur,
3) position power, is the final factor and refers to the power in the
leadership position. Generally, greater authority equals greater
positionpower.” position power adalah faktor terakhir dan merupakan
kekuatan yang dimiliki oleh posisi pemimpin. (Ivancevich, Konopaske, dan
Matteson, 2002:433).
Umumnya, otoritas yang lebih tinggi merupakan tanda position
power yang lebih tinggi. Ada beberapa kritik terhadap model kepemimpinan
ini, yaitu:
1) instrument yang dikembangkan oleh Fierder mempunyai validitas dan
reliabilitas yang rendah, karena jumlahnya sedikit, diujicobakan kepada
sampel terbatas, analisis yang digunakan tidak menggunakan analisis
validitas yang representatif,

64
Memahami Ilmu Sosial

2) variabel Fierder tidak terdefinisikan dengan baik, khususnya berkaitan


dengan pada titik-titik mana tugas terstruktur menjadi tidak terstruktur, dan
sebaliknya, kapan tugas tidak terstruktur harus dirubah dan didalami agar
menjadi tugas terstruktur, sehingga memudahkan dalam analisis
3) terlalu mudah mengakomodasi hasil yang tidak sesuai dengan teori,
konseptual yang telah didefinisikan sebelumnya, ia bahkan menggunakan
kriteria-kriteria yang kurang jelas dalam membuat kisi-kisi instrumen.
Kedua, Path Goal Theory dari Robert House menyatakan bahwa,
pemimpin akan dapat menjadi efektif karena pengaruh atau efek positif sebagai
bentuk pemberian motivasi yang diberikan terhadap para pengikut, sehingga
kinerja dan kepuasan mereka meningkat. Teori ini dianggap sebagai path-goal,
karena terfokus pada bagaimana pemimpin mempengaruhi persepsi dari
pengikutnya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur
yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

Secara rinci dikatakan bahwa pemimpin menjadi efektif karena efek


positif yang mereka berikan terhadap motivasi para pengikut, kinerja, dan
kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal, karena terfokus pada
bagaimana pemimpin mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang tujuan
pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan. Goal yang mampu memberikan keyakinan dan harapan masa
depan yang baik, akan menjadi motivasi tersendiri bagi bawahan untuk
melakukan hal-hal yang positif bagi organisasi. (Ivancevich, Konopaske, dan
Matteson, 2002: 437).
Perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh bawahan sejauh
mereka pandang sebagai suatu sumber kepuasan segera atau kepuasan masa
depan. Ketika perilaku pemimpin dalam membawa organisasi diyakini
bawahan tidak dapat membawa organisasi ke depan lebih baik, lebih cerah,
lebih maju dan berbagai kelebihan lainnya, maka pengikut akan menjadi apatis,
tidak bergairah, dan sulit menerima kenyataan. Path Goal Theory dari Robert
House dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Perilaku atau gaya kepemimpinan yang meliputi (gaya direktif supportif,

65
Memahami Ilmu Sosial

partisipasi, berorientasi pada kemampuan) akan mempengaruhi persepsi


dan motivasi bawahan. Dalam hal ini pemimpin harus bisa mendorong
bawahan atau pengikut sehingga mereka dengan sadar berpaartisipasi,
dalam mencapai tujuan organisasi dengan cara berkerja sama dengan
kompak.
b. Persepsi dan motivasi bawahan juga dipengaruhi oleh locus of control,
pengalaman, dan kemampuan bawahan. Seseorang mempunyai locus of
control internal dan eksternal. Locus of control internal manakala seseorang
berkeyakinan bahwa keberhasilan seseroang sangat dipengaruhi oleh kerja
keras dan kemampuan pribadi dalam diri sendiri yang kuat. Sebaliknya,
locus of control eksternal, manakala seseorang berkeyakinan bahwa
keberhasilan dirinya hanya akan bisa dicapai manakala ada bantuan dari
Tuhan, atau orang lain. Tanpa ada bantuan dari mereke maka keberhasilan
tidak akan tercapai.

c. Selain itu, persepsi dan motivasi bawahan juga dipengaruhi faktor


instrumental seperti: tugas, sistem otoritas formal, dan kelompok kerja.
Tugas yang berat sekalipun, manakala dilaksanakan dengan penuh
keyakinan akan menjadi ringan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan,
manakala tidak dilakukan dengan penuh keyakinan, maka akan menjadi
berat.
d. Persepsi dan motivasi pada akhirnya dapat mempengaruhi kepuasan dan
kinerja karyawan sebagai outcome. Dengan persepsi yang bagus, motivasi
yang tinggi, akan tercipta kinerja yang bagus dan dapat mencapai kepuasan
kerja yang tinggi.

Ketiga, pendekatan kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard. Gaya


kepemimpinan ini difokuskan pada empat ranah yaitu, telling (ucapan), Selling
(penjualan), participating (keikutsertaan), dan delegating (pendelegasian)
(Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2002:440).
Telling, merupakan petunjuk, arahan, atau perintah dari pimpinan
kepada bawahan dengan menggunakan garis komando yang jelas, dan dapat
diterima dengan baik oleh bawahan atau pengikut manakala tidak

66
Memahami Ilmu Sosial

menimbulkan banyak interpretasi. Dengan kata lain, perintah yang jelas adalah
kunci keberhasilan pengikut dalam mengerjakan perintah.
Selling didefinisikan sebagai aturan yang diperlukan untuk mengerjakan
pekerjaan dan menceritakan kepada pegikut tentang apa, di mana, siapa,
kapan, dan bagaimana, pekerjaan harus dikerjakan. Selling menyangkut
langkah pemimpin memerintah bawahan dengan perintah terstruktur dan
harus dilakukan secara suportif, dengan harapan tugas tersebut dapat
terlakasana dengan baik tanpa ada sesuatu yang kurang.
Participating, pemimpin dan yang dipimpin bekerja sama di dalam
membuat keputusan tentang cara mencapai kualitas kerja yang paling baik.
Dengan partisipasi semua pihak yang berkaitan, maka pekerjaan akan menjadi
lebih baik. Tapi harus diingat bahwa dua kepala belum tentu lebih baik
daripada satu kepala. Dua kepala seorang pelaksana atau office boy, tentu
tidak akan lebih baik daripada satu kepala seorang sarjana yang kuliah dengan
sungguh-sungguh dalam membuat keputusan organisasi.
Delegating, pemimpin memberikan arahan tentang sesuatu secara
spesifik, dan mendelegasikan kepada direksi atau personal pendukung untuk
melaksanakan tugas sesuai arahan. Tanpa pendelegasian yang baik, maka
pemimpin akan kehabisan tenaga dan energinya dalam mencapai tujuan
organsiasi.
Keempat, teori Leader-Member Exchange (MLE) dari Engle dan Lord.
Teori mengatakan bahwa pemimpin membina ikatan dan hubungan pribadi
terhadap masing-masing bawahannya. Pendekatan ini mencoba memberikan
recognition (pengakuan) bahwa pemimpin tidak selalu terus menerus secara
konsisten menjadi pemimpin yang mensubordinat bawahan. Ia sesekalai harus
turun tangan sendiri bahkan memberi pengawasan atau perintah langsung,
saat melakukan supervise. Ia tidak hanya memberi pengakuan, tetapi juga
memberikan emphasizes (tekanan dan penegasan) bahwa bawahan tidak
menutup kemungkinan akan menjadi pemimpin dan sebaliknya. Dalam arti,
pemimpin yang baik, akan mampu melaksanakan tugas-tugas bawahan, dan
bawahan sesekali apabila diberi tugas kepemimpinan harus mampu
melaksanakan dengan baik, sehingga pemimpin yang memberikan delegasi
akan merasa puas.

67
Memahami Ilmu Sosial

Pendekatan ini mengenali tidak adanya konsistensi perilaku pemimpin


kepada seluruh bawahannya, mengingat bawahan kadang kala akan senang
manakala diberi kewenangan menjadi pemimpin misalnya dalam lingkup
terbatas seperti menjadi ketua panitia, menjadi koordinator kegiatan, atau
kegiatan lainnya.
Dengan kata lain, terjadi one-on-one relationship antara pimpinan dan
subordinatnya. Artinya hubungan satu-satu antara pimpinan dan pengikut akan
tejadi dengan baik, manakala ada keterkaitan antara tugas dipimpin dan tugas
mempimpin. (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2002:441).

C. Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional

Di dalam membantu mengidentifikasi, pemimpin memperhatikan


konsep diri dan kebutuhan yang dimiliki bawahan. Ketika kemampuan
bawahan sangat rendah, maka jangan terlalu dipaksakan untuk lebih baik,
tetapi perlu disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yammarino et.all (1997; dalam
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2002:469) menjelaskan bahwa ketika
penguatan terhadap bawahan dilakukan oleh pemimpin, maka bawahan akan
berusaha meningkatkan kinerja sehingga kepuasan bawahan dalam melakukan
pekerjaan akan meningkat. Selanjutnya, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson,
(2002: 470) mendeskripsikan kepemimpinan transaksional sebagai berikut.
Leader pada satu sisi harus memberi tugas apa yang harus dikerjakan
oleh pengikut untuk menghasilkan outcome, pada sisi yang lain memenuhi apa
yang dibutuhkan pengikut. Ketika pemimpin hanya mampu memerintah,
sementara ia sendiri tidak mampu memperhatikan kebutuhan bawahan, tentu
hal ini akan menjadi ketimpangan antara harapan bawahan dan harapan
pimpinan.
Selanjutnya, leader pada satu sisi harus memberi penjelasan berbagai
peran yang harus dilakukan oleh pengikut, sehingga pengikut merasa jelas dan
tidak bingung dalam melaksanakan tugas. Pada sisi yang lain, leader harus
memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan pengikut untuk menjalankan
berbagai peran tersebut, sarana dan prasaran harus dipenuhi, kebutuhan yang

68
Memahami Ilmu Sosial

lainnya pun harus tercukupi, sehingga ia bisa bekerja dengan tenang, rajin,
tekun, dan menghasilkan output sesuai harapan.
Begitu juga pengikut, ketika sudah dijelaskan perannya, maka harus
mempunyai rasa percaya diri untuk mencapai kesuksesan. Kepercayaan disi
sebagai sebuah keyakinan dari dalam diri yang menyatakan bahwa ia mampu
untuk mengerjakan hal itu dengan baik, tanpa ada rasa atau perasaan minder
sedikit pun, akan membawa sesorang merasa yakin bahwa dirinya mampu, dan
tidak kalah dibandingkan dengan orang lain. Dirinya harus lebih baik dari orang
lain, dan dirinya harus lebih mampu daripada orang lain.
Selain itu, mereka harus mempertimbangkan nilai dalam mendesain
produk yang akan dihasilkan. Pada akhirnya, pengikut mengembangkan
motivasinya untuk mewujudkan outcome (pengharapan akan keberhasilan).
Bahkan bukan hanya motivasi yang ia kembangkan, bisa jadi kreativitasnya pun
akan berkembang, sesuai dengan kapasitas yang ia miliki.
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, (2002:469) menjelaskan bahwa,
dalam kepempimpinan transaksional pemimpin akan membantu bawahan
mengidentifikasi hal-hal yang harus dikerjakan mulai dari perencanaan,
pengukuran input, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, hingga pengukuran
output, untuk mencapai hasil yang diharapkan, seperti: kualitas input yang
lebih baik, kualitas pekerjaan yang lebih baik, kualitas output yang lebih baik,
penjualan yang lebih luas dan banyak, atau pelayanan yang lebih baik dalam
proses penjualan dan purna jual, penghematan biaya di segala lini produksi.
Bass (1985, dalam Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2002:471)
menjelaskan sejauhmana seorang pemimpin disebut transformasional
terutama diukur dalam hubunganya dengan efek pemimpin tersebut
terhadap para pengikut. Para pengikut seorang pemimpin transformasional
merasa adanya kepercayaan, kesetiaan dan rasa hormat terhadap pemimpin
tersebut dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada apayang
awalnya diharapkan dari mereka.
Kepemimpinan transformasional lebih kuat dalam penggunaan visi dan
inspirasi dalam pendekatanya, cenderung untuk mengkomunikasikan visi dan
tujuan secara jelas dan mudah diterima. Dengan demikian, anggota dapat

69
Memahami Ilmu Sosial

mengidentifikasi dan cenderung menimbulkan pengaruh yang kuat pada


pengikutnya.
Robbins dan Judge (2008 : 90) menjelaskan pemimpin transformasional
menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi
mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang
luar biasa pada diri para pengikutnya.
Mereka menyarankan agar kepemimpinan transaksional dan
transformasional tidak dipandang sebagai pendekatan yang bertentangan.
Kedua jenis kepemimpinan ini saling melengkapi, tetapi tidak berarti keduanya
sama penting. Kepemimpinan transformasional lebih unggul dibandingkan
transaksional dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang
melampui apa yang bisa dicapai kalau hanya pendekatan transaksional yang diterapkan.
Pemimpin yang paling baik memiliki sifat transaksional dan transformasional (Suryaman,
2012).
Robbins dan Judge (2008:92) memberikan gambaran utuh model kepemimpinan
transaksional dan transformational sebagai berikut. Pemimpin transaksional meliputi:
1) penghargaan bersyarat, menjalankan pertukaran konstraktual antara penghargaan dan
usaha, menjanjikan penghargaan untuk kinerja yang bagus, dan mengakui pencapaian
yang diperoleh,
2) manajemen dengan pengecualian (aktif) mengamati dan mencari penyimpangan dari
aturan-aturan yang standar serta melakukan tindakan perbaikan, sedangkan yang pasif
dilakukan hanya jika standar tidak tercapai, dan
3) laissez Faire, melepaskan tanggung jawab dan menghindari pengambilan keputusan.
Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2002:471) ada lima
faktor utama dari model kepemimpinan transformasional, tiga faktor yang
pertama (no 1-3) merupakan kepemimpinan transformasional, sedangkan
dua yang terakhir (no 4 dan 5) merupakan kepemimpinan transaksional).

Kelima faktor tersebut masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut.


1. Charisma atau pengaruh ideal di mana bawahan percaya dan akan
terikat secara emosional dengan pimpinan, di sini pimpinan menjadi
model dan berperilaku membesarkan hati dengan memberi kepercayaan,
penghargaan, dan percaya diri. Upaya memberikan penghargaan,

70
Memahami Ilmu Sosial

kepercayaan yang penuh kepada bawahan membuat bawahan percaya


diri. Kepercayaan diri bawahan menjadi meningkat dan semangat kerja
menjadi lebih baik.
2. Individualised attention", yang diartikan penugasan pada bawahan
merupakan kesempatan untuk belajar, sebagai usaha memfasilitasi
bawahan untuk mengembangkan diri dan mencapai prestasi yang optimal.
Tanpa melakukan pengembangan diri yang optimal, ilmu yang dimiliki akan
mandeg di tengah jalan, tanpa ada kemajuan yang berarti.
3. Intelectual simulation yaitu bawahan dirangsang untuk
mempertanyakan cara mereka melakukan pekerjaan selama ini dan
mencoba melakukan sesuatu yang baru. Tanpa ada usaha kea rah
itu, bawahan hanya akan seperti robot, yang sekali diprogram akan
melaksanakan hal yang sama tanpa ada inovasi sedikit pun.
4. Contingency reward dalam hal ini pemimpin menginformasikan kepada
pengikut tentang apa yang harus dikerjakan agar dapat menerima reward
atas prestasinya. Ketika rewardnya jelas, maka pengikut akan berusaha
melewati ketentuan yang telah ditatapkan.
5. Management by exception, dalam hal ini pimpinan mengijinkan pengikut
untuk bekerja sesuai tugasnya tanpa memberikan intervensi kecuali
tujuan tidak tercapai sempurna. manakala tujuan tidak tercapai dengan
sempurna, baru pemimpin turun tangan untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang terjadi di lapanga.

Kepemimpinan transformasional meliputi:


1) pengaruh yang ideal, memberikan visi dan misi, dan menanamkan kebanggaan, serta
mendapatkan respek dan kepercayaan,
2) motivasi yang inspirasional, yakni dengan mengkomunikasikan ekspektasi yang tinggi,
menggunakan symbol-simbol untuk berfokus pada upaya dan menyatakan tujuan-
tujuan penting secara sederhana,
3) stimulasi intelektual, yakni meningkatkan kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan
masalah yang cermat, dan
4) pertimbangan yang bersifat individual, yakni memberikan perhatian pribadi,
memperlakukan masing-masing karyawan secara individual, serta melatih dan
memberikan saran (Robbin dan Judge, 2008:92).

71
Memahami Ilmu Sosial

Menurut Robbins (2008) Agar kepemimpinan lebih efektif perlu


ada situasi yang mendukung, situasi kepemimpinan yang mendukung dapat
diupayakan dengan berbagai cara, yang menurut cara-cara tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Mengubah Hubungan pimpinan-bawahan.
a. Sediakan/kurangi waktu untuk berhubungan dengan yang sifatnya
tidak formal.
b. Berikan kesempatan agar orang lain tertentu bekerja dalam
kelompok anda.
c. Berikan kesempatan kepada pegawai agar mereka dengan suka rela
memberikan arahan pada teman sekerja yang suka usil.
d. Sarankan/alih tugaskan pegawai dari kelompok tertentu.
e. Tingkatkan moral untuk mendapatkan hasil yang positif dari
karyawan.

2. Mengubah struktur tugas.


Jika pegawai menghendaki pekerjaan yang kurang/tidak terstruktur,
maka anda dapat melakukan beberapa hal berikut.
a. Berikan tugas baru atau masalah yang tidak biasa terjadi kepada pegawai
dan berikan keleluasaan agar mereka mencari dan merencanakan cara
penyelesaiannya.
b. Ba wa lah m a s a la h ya ng a da ke p a d a ke lo mp o k te rte nt u d a n a n j u r k a n
ke p a d a m e re k a a g a r b e ke r j a s a m a u n t u k m e m b u a t perencanaan
penyelesaian dan pengambilan keputusannya, d an jika ternyata pegawai
menghendaki pekerjaan yang sangat terstruktur, maka pimpinan dapat
melakukan.
c. Berikan tugas yang lebih terstruktur atau berikan perintah/instruksi yang
lebih rinci kepada pegawai.
d. Uraikan sebuah tugas menjadi sub-sub tugas yang lebih kecil sehingga
menjadi lebih terstruktur (Suryaman, 2012).

Berdasarkan teori-teori tersebut, dimensi kepemimpinan adalah


hubungan antara pemimpin dengan bawahan, struktur tugas, dan
kekuasaan.

72
Memahami Ilmu Sosial

Menurut Dess, Lumpkin, dan Eisner, (2008:397) pemimpin yang


sukses harus merujuk para tiga aktivitas yang saling terkait, yaitu:
1) determining a direction, bahwa pemimpin harus memberi
pengarahan tentang: masa depan (visi) secara jelas, kerangka kerja
misi dan tujuan organisasi, komunikasi antar pekerja, partisipasi dan
komitmen,
2) designing the organization, kesuksesan pemimpin akan tampak pada
aktivitas yang dilakukan di dalam struktur organisasi, team kerja,
system organisasi, dan proses pengorganisasian, yang difasilitasi
dalam implementasi visi dan strategi,
3) nurturing a culture dedicated to excellence and ethical behavior, yang
berarti pemimpin memainkan peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan dan mempertahankan budaya organisasi.

D. Efektivitas Kepemimpinan

Setidaknya ada tiga yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi


kepemimpinan dalam menjalankan roda organisasi, yaitu kecerdasan,
kepribadian, dan kemampuan. Hal ini seseuai dengan pendapat Ivancevich,
Konopaske, dan Matteson (2002:429) yang mengatakan bahwa efektivitas
kepemimpinan sangat tergantung pada tiga aspek, yaitu: intelegence
(kecerdasaran), personality (Kepribadian), dan ability (kemampuan). Ketiga hal
tersebut dapat ditabulasikan sebagai berikut.
1. Pertama, aspek intelegensi meliputi kecerdasan intelektual, kecerdasan
spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan multi kecerdasan
yang lain dalam membuat pertimbangan, ketegasan dalam mengambil
keputusan, pengetahuan ilmiah yang dimiliki, leadership dan kefasihan
berbicara.
2. Kedua, aspek kepribadian meliputi, karakter yang baik, kemampuan dalam
beradaptasi, kesiapsiagaan, kreativitas dalam membuat sesuatu yang baru,
inovatif, integritas pribadi, kepercayaan diri sendiri, kemampuan
melakukan kontrol dengan keseimbangan emosi, kemampuan soft skill
yang bagus, dan mandiri (tidak konformis).
3. Ketiga, aspek kemampuan meliputi kemampuan menumbuhkan

73
Memahami Ilmu Sosial

kerjasama, mampu bekerja sama, kemampuan berkomunikasi massa yang


bagus, kepopuleran dan gengsi, mudah bergaul (kemampuan
interpersonal), mudah beradaptasi, mudal melakukan lobby yang positif,
kemampuan melakukan berpartisipasi sosial, kemampuan melakukan
taktik/diplomasi, kemampuan melakukan negosiasi dan kemampuan
memecahkan persoalan dengan baik.
Dalam hal ini, Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2002:425)
memberikan tambahan empat ciri lain yang mampu menunjukkan bahwa
pemimpin itu efektif atau tidak. Keempat ciri tersebut
1. They provide direction and meaning to the people they are leading. This
means they remind people what is important and why what they are
doing makes ans importand difference. memberikan arahan dan arti bagi
orang-orang yang mereka pimpin; artinya, mereka bisa mengingatkan para
pengikutnya akan hal-hal yang penting dan membimbing pengikutnya
menyadari apa yang mereka lakukan mampu membuat perbedaan
penting,
2. They generate trust. menumbuhkan kepercayaan
3. They favor action and risk taking. That is, they are proactive and willing to
risk failing in order to succed. mendorong tindakan pengambilan resiko;
mereka proaktif dan berani gagal demi meraih kesuksesan
4. They are purveyors of hope. In both tangible and symbolic ways they
reinforce the notion that success bill be attained, memberikan harapan
dengan cara yang nyata atau simbolis mereka menekankan bahwa
kesuksesan akan dapat diraih.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemimpin yang efektif,


manakala, ia mampu memberikan arahan dan arti bagi orang-orang yang
mereka pimpin; artinya, mereka bisa mengingatkan para pengikutnya akan
hal-hal yang penting dan membimbing pengikutnya menyadari apa yang
mereka lakukan mampu membuat perbedaan penting, menumbuhkan
kepercayaan, mendorong tindakan pengambilan resiko; mereka proaktif dan
berani gagal demi meraih kesuksesan, memberikan harapan dengan cara yang
nyata atau simbolis mereka menekankan bahwa kesuksesan akan dapat diraih.

74
Memahami Ilmu Sosial

Bab 4

TEORI KONFLIK
Suatu Tinjauan dari Perspektif Kepemimpinan
dan Politik

Dalam kepemimpinan, apalagi kepemimpinan politik, konflik selalu ada,


dan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari
terutama dalam mencapai tujuan. Dalam politik, meskipun dalam satu partai
politik, antar calon legislatif meskipun dalam satu daerah pemilihan pun terjadi
konflik, karena siapa calon yang mendapat dukungan terbanyak di daerah
pemilihannya, dialah yang akan menjadi legislatif dari daerah pemilihan
tersebut, manakala akumulasi suaranya mencukupi. Meskipun bukan partai
politik, konflik akan selalu ada dalam suatu organisasi baik besar maupun kecil.

75
Memahami Ilmu Sosial

A. Perspektif Teori Konflik

Manusia dalam hidup pasti berhubungan dengan orang lain. Dalam


berhubungan sudah barang tentu ada beberapa hal yang tidak sejalan baik
pemikirannya, tindakannya, ucapannya, maupun perbuatannya. Dari sinilah
muncul berbagai perbedaan, yang pada akhirnya menyebabkan konflik. Konflik
sebagai sebauah proses panjang yang dimulai ketika satu pihak memiliki
persepsi bahwa pihak lain pada dasarnya telah berusaha mempengaruhi yang
menurut pihak pertama pengaruh tersebut secara negatif telah mempengaruhi
pihak kedua, atau pihak pertama baru mempunyai niat akan mempengaruhi
secara negatif sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak
pertama.
Dalam hal ini, Robbins dan Judge (2008) mendifinisikan konflik sebagai
sebauah proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak
lain telah mempengaruhi secara negatif, atau pihak lain akan mempengaruhi
secara negatif sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak
pertama.
Konflik juga dapat dimaknai sebagai sebauah perjuangan keras dari dua
orang atau lebih yang saling bergantung yang diekspresikan dengan sorot mata,
raup muka, sikap, tindakan, ucapan yang kurang sepadan dengan yang
diharapkan. Konflik juga dapat terjadi karena adanya barang yang langka yang
diperebutkan, sementara ada pihak lain yang berusaha mengganggu dari pihak
lain dalam mencapai tujuan mereka. Hal ini sesuai dengan definisi yang
dikemukakan oleh Face dan Faules (2010) yang mendefiniskan bahwa konflik
sebagai perjuangan yang diekspresikan antara sekurang-kurangnya dua pihak
yang saling bergantung, yang mempersepsi tujuan-tujuan yang tidak sepadan,
imbalan yang langka, dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan
mereka.
Konflik juga dapat dimaknai sebagai proses antara dua pihak atau lebih,
di mana satu pihak menganggap bahwa kepentingan-kepentingan ditentang
atau secara negatif dipengaruhi oleh pihak lain sehingga kepentingan yang
dicita-citakan menjadi terhambat. Dalam hal ini, Kreitner dan Kinicki (2000)

76
Memahami Ilmu Sosial

mendefinisikan konflik sebagai proses di mana satu pihak menganggap bahwa


kepentingan-kepentingan ditentang atau secara negatif dipengaruhi oleh pihak
lain.
Di dalam realitas masyarakat, konflik sebagai hal yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi (Ritzer, 1980). Ia akan muncul setiap saat, yang
kemunculannya, bisa jadi tidak disangka-sangka. Konflik tidaklah baik atau
buruk, akan tetapi tinggal bagaimana konflik itu dikelola dengan baik. Konflik
tidak terhindarkan, tetapi harus ditangani dengan baik, sehingga apa yang tidak
diharapkan tidak muncul (Ivancevich, 2008).
Bagi Tjosvold sebagai dikutip oleh Kreitner dan Kinicki (2000) perubahan
menghasilkan konflik, dan konflik menghasilkan perubahan. Kondlik yang dapat
dikelola dengan baik akan menghasilkan perubahan yang baik, sementara itu
konflik yang tidak dapat dikelola dengan baik, akan menghasilkan perubahan
yang tidak baik pula. Sebaliknya, perubahan yang tidak disosialisasikan dengan
baik, akan menghasilkan konflik yang seru, sementara perubahan yang
disosialisasikan dengan baik, sehingga dapat diterima oleh semua pihak, akan
menghasilkan integrasi dengan sedikit konflik.

Landasan Teori Konflik


Secara teoritik, konflik mempunyai bermacam-macam landasan seperti
teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori konflik Marxian adalah
memberi jalan keluar terjadinya konflik kelas pekerja. Kelas pemilik modal akan
berusaha menekan biaya produksi dan tenaga kerja. Pekerja akan dibayar
dengan harga semurah-murahnya, sementara itu, pekerja akan mencari
keuntungan setinggi-tingginya. Ketika harga barang hasil produksi terus
meningkat sementara pendapat pekerja rendah, maka daya beli pekerja akan
rendah pula. Apabila kondisi ini berlangsung secara terus menerus, maka akan
terjadi chaos, di mana pekerja akan melakukan revolusi atau konklik antara
pekerja dan pengusaha. Setelah pekerja menang, ia akan membagi sama-rata,
sama rasa seluruh aset yang dimiliki oleh kapitalis. Tanah yang ada dibagi rata,
alat produksi yang ada dibagi rata, yang pada akhirnya, pekerja mempunyai
aset, bukan hanya majikan yang mempunyai modal.
Adapun teori konflik Simmel berpendapat bahwa kekuasaan, otoritas,
atau pengaruh merupakan sifat dari kepribadian individu yang bisa

77
Memahami Ilmu Sosial

menyebabkan terjadinya konflik. Kekuasaan yang tidak adil, tidak amanah,


korup akan menyebabkan konflik. Otoritas yang berlebihan, melebihi apa yang
dipercayakan rakyat kepadanya juga akan menyebabkan konflik. Apalagi
otoritas yang disandang diselewengkan menjadi otoritarian, hal ini akan
dengan mudah menyulut kemarahan masyarakat. Pengaruh yang bersifat
coercive (memaksa) juga akan menyebabkan konflik, karena pada dasarnya
manusia yang berdaulat tidak akan mau untuk dipengaruhi secara paksa.
Pengaruh tidak salah, sepanjang diberikan secara proporsional.
Begitu juga pada masyarakat politik seperti sekarang ini, ketika ada
pengaruh dari luar yang akan mengubah tatanan yang sudah ada maka akan
terjai konflik juga. Pihak luaar (out group) yang berusaha mempengaruhi
hendaknya tidak memberikan pemaksaan atau tekanan yang berat. Tentu hal
ini akan menyebabkan konflik (Samuji, 2007).
Tiga pandangan terhadap konflik dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Pertama, menurut pandangan tradisioal, konflik harus dihindari, karena
kalau tidak dihindari akan menyebabkan efek yang negatif. Pandangan ini
beranggapan bahwa konflik merupakan hal yang tabu, oleh karena itu dari
pada menyebabkan konflik, banyak orang memilih mengalah. Hal ini
banyak terjadi pada masyarakat tradisional yang masih memegang erat
sifat tolong menolong, saling horat menghormati, saling bekerja sama, dan
pantang melakukan hal yang diluar itu.
2. Kedua, menurut pandangan hubungan antar-manusia, berkeyakinan bahwa
konflik adalah konsekwensi yang dialami dan tidak terhindarkan dalam
kelompok manapun. Setiap ada komunikasi, interaksi, dan diskusi, sudah
barang tentu akan menyebabkan konflik. Ketika ada persinggungan
pandangan, ide, gagasan, kemauan, dan sejenisnya, tentu akan
menyebabkan konflik. Dalam keluarga, kalau diumpamakan tumpukan
piring, pasing ada persinggungan antar piring, namun meskipun ada
persinggungan antar piring, jangan sampai ada piring yang pecah. Artinya,
meskipun ada perbedaan pendapat atau konflik jangan sampai
menyebabkan keretakan keluarga.
3. Ketiga, menurut pandangan interaksionis berkeyakinan bahwa konflik
bukan hanya merupakan daya yang positif dalam sebuah kelompok tetapi
juga merupakan keniscayaan yang mutlak bagi sebuah kelompok untuk
dapat berkinerja secara efektif. Bahkan kalau perlu, ketika tidak ada konflik,

78
Memahami Ilmu Sosial

maka perlu juga dibuat konflik yang bisa membangun dalam arti mampu
membangkitkan motivasi untuk maju. Misalnya saja, dalam bidang sales
penjualan, dalam setiap akhir bulan dibuat konflik dengan mengumumkan
nama sales yang paling berhasil memasarkan jasa atau produk. Dengan
demikian, pada bulan berikutnya ada konflik yang menyebakan
antarkaryawan sales berlomba-lomba menjadi terbaik, dalam rangka
meningkatkan omset penjualan.
Dahrendorf (1986) berasumsi bahwa setiap masyarakat berada dalam
keadaan konflik. Mengapa demikian, karena sesungguhnya konflik itu tidak
selalu tampak, dalam arti keberadaannya sangat tersimpan di dalam hati setiap
masyarakat. Manakala konflik itu muncul ke permukaan, baru konflik itu dapat
terlihat.
Dalam memahami konflik pada masyarakat yang sedang berpolitik
sebagaimana tema buku ini yaitu kepemimpinan dan politik, dapat dilihat
dengan menggunakan konflik antarkelompok sebagaimana di kemukakan
Robert Kritner dan Angelo Kinicki, yang menjelaskan bahwa konflik antar
kelompok dapat terjadi apabila:
1. Anggota-anggota kelompok in-group memandang diri mereka sendiri
sebagai kumpulan individu unik, sementara mereka memandang anggota-
anggota kelompok lain sebagai ‘sejenis.’ Ketika masing-masing kelompok
memandang orang lain berbeda tidak sejenis tentu akan menyebabkan
terjadinya konflik.
2. Anggota-anggota kelompok in-group memandang diri mereka sendiri benar
secara positif dan bermoral, sementara mereka memandang anggota-
anggota kelompok lain secara negatif dan tidak bermoral. Ketika orang lain
dianggap salah, maka akan menganggap diri sendiri sebagai kelompok yang
benar, bersih, bermoral, bermartabat, unggul, dan mumpuni.
3. Anggota-anggota kelompok in-group memandang orang-orang di luar
sebagai ancaman, tentu akan menyebkan terjadinya konflik. ketika orang
lain mempersenjatai diri maka dirinya harus mempersentai diri dan
kelompoknya agar lebih kuat, lebih aman, lebih terjamin, lebih tenteram.
Bila hal itu dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan konflik
yang berkepanjangan.

79
Memahami Ilmu Sosial

4. Anggota-anggota kelompok in-group membesar-besarkan perbedaan-


perbedaan kelompok mereka dengan kelompok lain, khususnya melibatkan
persepsi realitas yang menyimpang. Persepsi yang salah, juga akan
menyebakan terjadinya konflik.
Penyebab konflik bersifat abadi mengingat keinginan merupakan sesuatu
yang melekat pada setiap manusia (Hobbes dalam Campbell, 1994: 90-98).
Keabadian konflik, sama dengan keabadian kepentingan. Bahasa politik
mengatakan, tidak ada teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi.
Kepentingan yang berbeda tentu akan menyebabkan konflik. Selama
kepentingan berbeda, selama itu pula konflik ada.
Dengan demikian, masyarakat sebagai suatu sistem yang menghimpun manusia
akan selalu berada dalam keadaan konflik secara terus-menerus. Konflik yang
terus menerus inilah yang menyebabkan dunia ini semakin maju. Teknologi
persenjataan semakin baru. Strategi perang semakin maju. Teknologi logistik
semakin maju. Komunikasi semakin maju. Transportasi semakin maju. Riset di
bidang teknologi perang semakin maju.

B. Sumber Konflik

Hobbes juga melihat bahwa sumber konflik adalah keinginan manusia


untuk memonopoli kekuasaan (Tom Campbell, 1994. Gagasan Hobbes
mendapatkan kritik dari Dahrendorf. Pada prinsipnya Dahrendorf sepakat
bahwa konflik bisa terjadi karena perebutan dan atau perbedaan kepemilikan
sumber daya kekuasaan antara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Kelompok yang berkuasa akan selalu memperjuangkan kepentingannya, yakni
mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.
Robbins dan Judge (2008) melihat sumber konflik dapat berasal dari
tugas, hubungan, dan proses. Konflik tugas bersumber dari muatan dan tujuan
pekerjaan yang bertentanga antara satu kelompok dengan kelompok lainya,
konflik hubungan bersumber dari hubungan antar personal yang tidak
mengalami kecocokan, dan konflik proses bersumber dari proses pelaksanaan
pekerjaan yang berbeda antarkelompok.

80
Memahami Ilmu Sosial

Sumber atau benih yang bisa menimbulkan konflik dalam masyarakat


adalah keinginan manusia untuk meraih kekuasaan. Dalam bahasa yang
sederhana, kekuasaan adalah barang langka yang sifatnya terbatas, sehingga
diperebutkan oleh banyak orang, yang menyebabkan antar individu, kelompok,
organisasi, partai, atau suku saling berebut. Oleh arena itu, setiap ada
perebutan kekuasaan, tentu menyebabkan terjadinya konflik.
Perolehan kekuasaan hanya bisa dicapai melalui usaha perjuangan dan
atau persaingan atas sumber yang langka, dan pemertahanan diri serta
mencegah pihak lain untuk merampas kekuasaan yang telah mereka himpun
(diffidence). Dengan kata lain, kekuasaan akan dipertahankan hingga menguras
seluruh energi. Begitu juga dalam perebutan sumber-sumber ekonomi, seperti
lahan pertanian, ladang, kebun, pusat bisnis, lahan parkir, kepanitiaan suatu
even yang banyak menghasilkan uang karena banyak nya sponsor yang masuk,
juga akan menyebakan konflik.
Apabila sumber tidak langka dan harta benda manusia terjamin maka
manusia perlu mengembangkan perasaan superioritas yang berasal dari
pemilikan kekuasaan. Jadi menurut Dahrendorf masyarakat merupakan arena
di mana satu kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk
memperebutkan “power” dan mengontrol bahkan melakukan penekanan bagi
saingan-saingan mereka. Saingan-saingan yang ada apabila perlu disingkirkan,
dimatikan, dikurangi perannya, dimasukkan dalam kotak, digebiri, dihilangkan
pengaruhnya, dalam bahasa fulgar dicabut taringnya, sehingga tidak
mempunyai taji lagi. Laksana ayam jantan yang sudah tidak mempunyai taji,
maka ia laksana betina yang hanya bisa berkoak-koak tanpa ada lawan yang
takut.
Hal ini cocok sekali untuk melukiskan berbagai persaingan antar
kelompok partai politik, kelompok keagamaan pada masyarakat, dan kelompok
lain yang sedang bertikai dalam melakukan persaingan merebut hati
masyarakat agar mengikuti kelompoknya.
Ivancevich et.al. (2008), melihat penyebab konflik akibat:
1) work interdependence (ketergantungan kerja), yang meliputi
pooled interdependence (ketergantungan berkelompok), sequential

81
Memahami Ilmu Sosial

interdependence (ketergantungan berurutan, dan reciprocal


interdependence (ketergantungan resiprokal).
2) oriented differences (perbedaan orientasi, dan
3) perception differences (perbedaan persepsi).
Gagasan yang dikemukakan oleh Hobbes, Marx, Coser dan Dahrendorf di
atas, tampak masih bersifat sektoral, dalam artian mereka hanya melihat satu
aspek sebagai sumber konflik, yakni keinginan untuk memiliki kekuasaan atau
kekayaan. Untuk mengatasi kelemahan Randall Collins melakukan mendekatan
konflik pada aras mikro. Pendekatan ini dinilai lebih integratif. Ia melihat
stratifikasi sosial dan organisasi merupakan dua hal yang sering berhubungan
dengan kehidupan manusia sehari-hari seperti: kekayaan, politik, karier,
keluarga, kelompok, masyarakat, dan gaya hidup. Collins (1973) menyandarkan
teorinya pada fenomenologi dan etnometodologi. Namun, ‘starting point’
teorinya berasal dari teori Marxian dan Weberian. Ia memodifikasi argumentasi
Marx.
Kontribusi Collins (1973) adalah untuk menambah teori tingkat mikro.
Collins berusaha memperlihatkan bahwa stratifikasi organisasi didasarkan pada
interaksi-interaksi dari kehidupan setiap hari. Dua fenomena paling penting
dalam kerangka konflik adalah pola perlawanan dan dominasi. Pendekatan
konflik oleh Collins menjelaskan bahwa dalam sebuah group yang mempunyai
banyak sumber akan memeras group lain bersumber sedikit. Variabel pokok
penyebab konflik adalah perbedaan sumber material yang dimiliki oleh para
pelaku. Para pelaku dengan sumber material yang dimiliki berusaha menguasai
pelaku lain yang bersumber material lebih lemah. Di bagian lain Collins juga
mengatakan bahwa konflik sesungguhnya disebabkan oleh adanya perebutan
kekayaan, kekuasaan, ditambah satu aspek lagi, yakni perebutan prestise
(Collins, 1973).
Apabila sumber-sumber konflik yang dikemukakan oleh Collins ini
dibandingkan dengan pendapat Fisher (2001) maka sumber konflik pada
hakikatnya berkaitan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia,
yakni fisik, mental dan sosial. Konflik menjadi tidak terelakan karena
ketegangan dan perasaan-peprasaan negatif merupakan hasil dari keinginan

82
Memahami Ilmu Sosial

individu untuk meningkatkan kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan


sosial, atau penghargaan-penghargaan lainnya.
Mengingat banyak dari penghargaan-penghargaan yang merupakan
sumber prestise, begitu pula kekayaan dan kekuasaan yang dikejar itu adalah
langka maka suatu tingkat kompetisi tidak dapat dielakkan. Dalam usaha untuk
memiliki apa yang mereka anggap berharga, tidak ada individu yang mau kalah
secara sukarela sehingga dalam masyarakat akan senantiasa ada konflik sosial.
Kendatipun konflik itu ditekan tidak akan menghilangkan kepentingan-
kepentiangan yang saling bertentangan (Coser, 1964). Kekuasaan dan prestise
erat kaitannya dengan kekayaan. Karena itu, setiap individu senantiasi ingin
mendapatkan bagian kekayaan yang lebih banyak daripada yang dimiliki orang
lain. Bahkan, perebutan kekayaan, status ekonomi, dan status sosial secara
simultan dapat mempengaruhi intensitas pertentangan yang terjadi dalam
masyarakat (Dahrendorf, 1986: 218).
Namun, dibalik semua gagasan itu, baik Hobbes, Marx, Dahrendorf,
Collins, Fisher tampaknya hanya melihat sumber konflik pada aspek struktur
sosial dan infrastruktur material. Apabila gagasan mereka dibandingkan dengan
apa yang terjadi pada masyarakat pesisir bisa jadi belum memenuhi, mengingat
konflik yang terjadi di sana dilatarbelakangi oleh pemahaman keagamaan yang
berbeda.
Ketiga sumber konflik ini, bekerja secara sistemik dan memiliki
hubungan yang bersifat dialektika, di mana yang satu tidak bisa dipisahkan dari
yang lainnya. Karena itu, sumber timbulnya konflik dalam masyarakat pesisir
dalam melakukan gerakan menolak hal-hal yang baru, tidak selamanya hanya
bisa dilihat dari komponen struktur sosial, melainkan bisa pula aspek ideologi
yang mereka miliki.
Dengan demikian, konflik yang terjadi dalam masyarakat modern seperti
sekarang ini memang tidak bisa dilepaskan dari keinginan maupun emosi yang
melekat pada individu maupun yang merasuk ke dalam suatu kelompok sosial.
Namun, emosi seharusnya ditafsirkan bukan hanya pada aspek fungsi biologis,
melainkan sebagai perilaku budaya. Dalam artian, bagaimana mereka

83
Memahami Ilmu Sosial

melampiaskan emosinya sebagaimana terlihat pada konflik, pada hakikatnya


ditetapkan oleh konsep-konsep dan suasana kebudayaan yang mereka miliki.
Konflik pada masyarakat yang terbuka, bisa berwujud tindakan negatif yang
tidak terpuji. Di dalamnya meliputi tindakan, perkataan, sikap berbagai struktur
atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau
lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara
penuh. Bertolak dari definisi tersebut konflik bisa berwujud ancaman dan atau
pengrusakan terhadap aspek biofisikal yang melingkupi suatu kelompok
individu yang berkonflik. Bahkan yag tidak kalah pentingnya, konflik tidak bisa
pula dilepaskan dari aspek emosional. Dalam konteks ini semakin besar
keterlibatan emosional anggota dalam suatu konflik, semakin kuat konflik
tersebut (Coser, 1964)
Tidak kalah pentingnya, konflik terkait pula dengan egoisme. Gagasan ini
sejalan dengan asumsinya Turner bahwa semakin besar ego anggota kelompok,
semakin kelihatan dendamnya. Egoisme terkait pula dengan sosialisasi, di mana
semakin kelihatan dendamnya. Egoisme terkait pula dengan sosialisasi, di mana
semakin sedikit tingkat sosialisasi anggota pada kelompok yang bermusuhan,
semakin besar ego mereka.
Apabila hal ini digunakan untuk melihat konflik yang terjadi pada aras
politik maupun organisasi terlihat bahwa intensitas kuatnya konflik terjadi tidak
terlepas pada pengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat dan
hubungannya satu sama lainnya. Masyarakat terpolarisasi menurut
kelompoknya masing-masing. Dengan terbelahnya masyarakat dalam beberapa
kelompok, konsentrasi masyarakat untuk merebut pengaruh menjadi terpecah.
Dengan demikian konflik bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
kenyataan bahwa konflik:
(1) menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok yang
berselisih;
(2) memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak
lebur dalam dunia sosial sekelilingnya;
(3) memperjelas identitas para anggota kelompok, terutama manakala konflik
dengan out-group; dan

84
Memahami Ilmu Sosial

(4) memberikan suasana melalui apa yang disebutnya katub penyelamat


(safety-valve) (Coser, dalam Turner, 1978).

C. Jenis-jenis Konflik

Kepentingan mungkin bersifat latent (tersembunyi) atau bisa pula


bersifat manifest (disadari) atau (kepentingan potensial).
1. Kepentingan latent adalah realitas-realitas yang bersifat psikologis.
Kepentingan latent atau tersembunyi yakni harus yang terpendam dari
perilakunya yang ditentukan baginya dan yang dilepaskan dari arah
kesadarannya selama memegang sebuah peranan (Turner, 1978).
Kepentingan bisanya disembunyikan secara rapat-rapat dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari. Ia baru tampak ketika menghendaki adanya dukungan
dari masyarakat. Manakala kepentingan politik disembunyikan rapat-rapat,
tentu tidak akan ada masyarakat yang mengetahui, sehingga kepentingan
tersebut ditampakkan.
2. Kepentingan manifest. Ketika kepentingan latent muncul ke permukaan,
kepentingan latent dapat menjadi tujuan-tujuan yang disadari, yang disebut
kepentingan manifest. Kepentingan manifest inilah yang akan menyebabkan
terjadinya konflik, ketika berbenturan dengan kepentingan manifes yang
lain.

Kalau dipahami, konflik politik dan kepemimpinan yang terjadi pada


partai politik maupun organisasi lainnya bisa dalam bentuk terbuka, yakni
konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, melainkan bisa jadi hanya
menimbulkan konflik latent, yakni sifatnya tersebunyi (Fisher, 2001).
Robbins dan Judge (2008), membedakan konflik menjadi dua yaitu
konflik fungsinal dan disfungsional.
1. Konflik fungsional yaitu konflik yang dapat mendukung tujuan kelompok
dan meningkatkan kinerja kelompok. Inilan bentuk konflik yang ditunggu-
tunggu dan diharapkan mampu meningkatkan kinerja organisasi.
2. Konflik disfungsional yaitu konflik yang menghambat kinerja kelompok.
Konflik destruktif inilah yang kalau bisa dikelola dengan baik, sehingga efek
yang ditimbulkan tidak seberat yang akan terjadi manakala konflik itu

85
Memahami Ilmu Sosial

dibiarkan terjadi. Manajer partai, atau manajer perusahaan yang cerdas


akan memanfaatkan seluruh bentuk konflik menjadi konflik yang
menguntungkan.
Begitu juga Ivancevich (2008) membedakan konflik menjadi dua yaitu:
konflik fungsinal dan disfungsional.
1. Konlik fungsional beranggapan bahwa sebuah konfrontasi antarkelompok
akan meningkatkan dan memberikan keuntungan pada kinerja organisasi.
Konflik fungsional, bisa jadi dimunculkan setiap ada kesempatan, sebagai
mana sudah dijelaskan di atas.
2. Konflik disfungsional beranggapan bahwa sebuah konfrontasi atau
interaksi antarkelompok akan membahayakan atau menghambat
tercapainya pencapaian tujuan organisasi. Konflik antara dua kubu dalam
partai politik atau dalam perusahaan/organisasi, akan menyebabkan
organisasi tidak dapat berjalan dengan baik.

D. Asumsi Teori Konflik

Melihat realitas itu, Alison dan Wallace (dalam Sutaryo, 1992)


menyimpulkan bahwa, teori konflik memiliki tiga asumsi utama, di mana satu
dengan yang lain saling berhubungan. Sebagaimana diketahui, asumsi di sini
dapat dimaknai sebagai prasarat teori konflik itu berlaku atau tidak (Kasinu,
2012).
1. Asumsi utama teori konflik menegaskan, manusia memiliki kepentingan-
kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk merealisasikan
kepentingan-kepentingannya itu.
2. Asumsi kedua menunjukkan, “power” (kekuasaan) bukanlah sekedar barang
langka dan terbagi secara tidak merata, sehingga merupakan sumber
konflik, melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (coercive).
Asumsi kedua ini menempati posisi sentral bagi perspektif teori konflik.
“Power” dipandang sebagai “core” dari social relationships. Analisa ini pada
gilirannya memusatkan perhatiannya pada masalah distribusi sumber-
sumber. Sebagian orang memperoleh atau menguasai sumber, sedangkan
yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali.

86
Memahami Ilmu Sosial

3. Asumsi ketiga, ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang


dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan
dan kepentingan mereka masing-masing. Ideologi itu merupakan aspek dari
groups interest. Ideologi dipandang sebagai bentuk keyakinan bersama
tentang sesuatu yang akan melandasasi kepentingan kelompok sekaligus
sebagai tujuan yang akan dicapai oleh kelompok itu.
Ideologi kadang oleh kelompok oposisi dilawan dengan ideologi juga,
sehingga terjadi perang ideologi. Masig-masing kelompok menanamkan
ideologi yang berbeda pada orang yang sama maupun pada orang yang
berbeda, sehingga ada pertentangan ideologi. Pepatah mengatakan, untuk
melawan ideologi, perlu dengan ideologi juga. Sebagai contoh, di negara
Indonesia sejak merdeka ditatamkan oleh negara ideologi Pancasila, tetapi
pada tahun 1948 dan 1965 ada pihak yang melawan dengan Ideologi lain (yang
tidak perlu disebutkan karena semua orang sudah mafhum). Langkah yang
ditempuh oleh negara, adalah merevitalisasi ideologi pancasila untuk melawan
ideologi lain tersebut.
Dalam konteks ini Coser (dalam Turner, 1978) mengajukan beberapa
asumsi tentang fungsi konflik bagi kelangsungan hidup suatu sistem sosial,
yakni:
(1) semakin hebatnya konflik, semakin jelas pembatasan masing-masing
kelompok yang berkonflik; dalam arti, batas antara yang pro dan kontra
sudah sangat tampak, hal ini awal terjadinya konflik yang sesungguhnya;
(2) semakin hebat konflik, semakin kecil perbedaan struktur maka semakin
kecil pula kestabilan struktur yang sekaligus berarti pula solidaritas
internal menjadi semakin terpusat;
(3) semakin hebat konflik, semakin besar pula pengaruhnya terhadap
komponenmasing-masing kelompok yang berkonflik. Sejalan dengan itu
semakin besar pula peningkatan solidaritas ideologi di antara para anggota
kelompok yang berkonflik;
(4) semakin seimbang besar kelompok yang berkonflik, semakin besar
peluang bagi mereka untuk menghasilkan peningkatan penyesuaian
normatif;

87
Memahami Ilmu Sosial

(5) semakin tinggi intensitas konflik antar kelompok sosial maka semakin
besar usaha kelompok yang bersangkutan untuk meningkatan
penyesuaian yang berdimensi internal;
(6) semakin banyak kelompok dalam suatu sistem diancam oleh koalisi
kelompok-kelompok lain maka semakin besar dorongan mereka untuk
membentuk koalisi dengan kelompok lainnya; dan
(7) semakin hebat konflik maka semakin besar pula kemungkinan mereka
untuk membentuk kelompok koalisi secara permanen.

E. Tahapan Konflik

Ada beberapa tahapan suatu masalah akan dapat menjadi sebuah


konflik, apabila tahapan-tahapan ini tidak dilalui maka belum tentu akan
menjadi konflik yang berarti. Ivancevich et.al, (2008) menjelasakan tiga
tahapan terjadinya konflik.
1. Pertama, perceived conflict (konflik yang dipersepsikan).Konflik ini muncul
ketika ada kesadaran kognitif setidaknya pada salah satu pihak bahwa
kejadian-kejadian yang telah terjadi atau kondisi yang ada pada saat ini
mendukung terjadinya konflik terbuka.
2. Kedua, felt conflict (konflik yang dirasakan).Konflik ini muncul ketika
telah melibatkan emosional yang dirasakan dalam bentuk kecemasan,
ketegangan, dan/atau permusuhan.
3. Ketiga, manifest conflict. Konflik yang termanifestasi di mana pihak-pihak
yang berseberangan terlibat secara aktif dalam perilaku konflik.
Sementara itu, Face dan Faules (2010) menguraikan tujuh tahapan
terjadinya konflik kelompok, yaitu:
1) keraguan dan kecurigaan mulai mengemuka, hal inilah awal terjadinya
konflik.
2) persepsi atas kelompok luar menjadi terdistorsi atau terstereotipkan dan
terpolarisasikan, dalam bahasa sehari-hari terjadi dua kubu atau lebih
dalam suatu organisasi.
3) kepaduan, ketertarikan, keramahan, keakraban, kepentingan masing-masing
kelompok yang berkonflik mulai meningkat, sehingga kepaduan dengan
kelompok lain mulai retak,

88
Memahami Ilmu Sosial

4) kepatuhan kepada norma kelompok menjadi berkurang, terutama bagi


kelompok oposisi yang sudah tidak lagi memihak kelompok yang sesuai
dengan visi dan misi organisasi,
5) masing-masing kelompok mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan
lawan, baik serangan suara atau kalimat, mupun serangan fisik,
6) perilaku memusuhi selalu terjadi. Saling serang antar kelompok juga terjadi.
Dengan kata lain, hubungan komunikatif menjadi berkurang, karena sudah
terjadi saling serang antar kelompok yang bermusuhan, dan
7) pemisahan kompleks sama-sama diharapkan, dan setiap bentuk kerjasama
yang positif terhenti. Hal inilah yang sesungguhnya tidak diharapkan, karena
sebenarnya konflik dapat dikelola dengan baik, sehingga tidak menyebabkan
terhentinya kegiatan yang positif.

Proses terjadinya konflik menurut diurutkan menjadi lima tahap, yaitu:


1) adanya potensi pertentangan atau ketidakselarasan, ketika hal ini terjadi,
maka akan tumbuh benih-benih konflik,
2) adanya kognisi atau kesadaran akan kondisi yang menciptakan peluang
terjadinya konflik dan keterlibatan emosi yang menciptakan kecemasan,
ketegangan, frustasi, atau rasa bermusuhan; bila hal ini hanya terjadi pada
satu atau beberapa orang belum juga menyebabkan terjadinya konflik, akan
tetapi apabila hal ini menjadi kesadaran kolektif, sehingga semua anggota
kelompok merasakah akan hal itu, maka sudah dapat dipastikan, potensi
terjadinya konflik akan besar.
3) adanya maksud antar kelompok yang berlainan; dalam hal ini meskipun
dalam satu organisasi, tidak menutup kemugkinan muncul beberapa
kelompok yang saling berlainan baik pemikirannya, idenya, pendapatnya,
ataupun yang lainnya;
4) adanya perilaku yang tidak dikehendaki oleh kelompok lain, hal inilah yang
kemudian menyulut terjadinya konflik yang sesungguhnya, dan
5) adanya akibat yang merugikan kelompok lain, ketika intervensi atau
pengaruh kelompok lain telah merugikan kelompok lain, sudah dapat
dipastikan, konflik tidak lagi terhindarkan. (Robbins dan Judge, 2008).

89
Memahami Ilmu Sosial

F. Strategi Penyelesaian Konflik

Berikut disajikan model kontak untuk memperkecil konflik


antarkelompok.

Tingkat Tindakan
Tindakan yang
yang direkomendasikan:
direkomendasikan:
Tingkat konflik
konflik antarkelompok
antarkelompok yang
yang
diterima
diterima cenderung
cenderung naik
naik ketika:
ketika: Bekerja
Bekerja untuk
untuk menghapuskan
menghapuskan interaksi
interaksi negatif
negatif
khusus
khusus
Membangun
Membangun tim tim untuk
untuk mengurangi
mengurangi konflik
konflik
antarkelompok
antarkelompok dan dan mempersiapkan
mempersiapkan tim tim
konflik
konflik di
di dalam
dalam kelompok
kelompok tinggi,
tinggi, lintas
lintas fungsional
fungsional untuk
untuk kelompok
kelompok
ada
ada interaksi
interaksi negatif
negatif antar
antar kelompok
kelompok Mendorong
Mendorong persahabatan
persahabatan pribadi
pribadi dan
dan
Gosip
Gosip pihak
pihak ketiga
ketiga tentang
tentang kelompok
kelompok hubungan
hubungan kerja
kerja yang
yang bagus
bagus keke seluruh
seluruh
lain
lain yang
yang memberikan
memberikan pengaruh
pengaruh kelompok
kelompok
negaif
negaif Membantu
Membantu perkembangan
perkembangan sikap-sikap
sikap-sikap positif
positif
terhadap
terhadap kelompok
kelompok lain
lain (empati,
(empati, belas
belas
kasih,
kasih, simpati)
simpati)
Menghindari
Menghindari atauatau menetralisasikan
menetralisasikan gossip
gossip ke
ke
seluruh
seluruh kelompok
kelompok

Gambar 4.1
Model kontak untuk memperkecil konflik antarkelompok
Sumber: Robert Kritner dan Angelo Kinicki, 2000: 167

Model di atas, memperlihatkan bahwa konflik merupakan hal yang wajar.


Keberadaannya akan selalu ada, kapan pun dan dimana pun. Apabila
diperhatikan, juga tampak bahwa konflik pada hakikatnya sebagai peristiwa
normal yang senantiasa melekat dalam dinamika masyarakat. Tidak ada
masyarakat yang lepas dari selimut konflik. Konflik menyelimuti seluruh
aktivitas masyarakat.

90
Memahami Ilmu Sosial

Dalam sebuah risetnya, Ivancevich et.al, (2008) membuat diagram


penyelesaian konflik sebagai berikut.

Tinggi Mengakomodasi
Mengakomodasi Menyelesaikan
Menyelesaikan
atau
atau memperlancar
memperlancar masalah
masalah dan
dan
berkolaborasi
berkolaborasi

External Berkompromi
Berkompromi
External Focus
Focus

Menghindar
Menghindar Mendominasi
Mendominasi
Berupaya
Berupaya
Menghindari
Menghindari atau
atau
mengabaikan mendominasi
mendominasi dan
dan
mengabaikan
Rendah kelompok
kelompok lain
lain mengontrol
mengontrol
Rendah

Rendah
Rendah Tinggi
Tinggi

Internal focus

Menghindar Mendominasi
Mendominasi
Menghindar
Gambar 4.2 Berupaya
Berupaya
Matrik penyelesaikan
Menghindari
Menghindari atau
atau konflik
mendominasi
mendominasi dan
dan
Sumber: Ivancevich
mengabaikan
mengabaikan et.al, 2008: 52
mengontrol
mengontrol
kelompok
kelompok lain
lain
Untuk menyelesaikan konflik, maka fokus eksternal harus tinggi,
sementara itu fokus internal harus tinggi sehingga terjadi penyelesaian konflik
yang paling baik. Bila fokus eksternal harus tinggi, sementara itu fokus internal
rendah maka hanya terjadi akomodasi. Hal ini sudah lebih baik, karena suatu
permasalahan akan menjadi lancar. Dengan kata lain, usaha tersebut akan
memperlacar terjadinya penyelesaian konflik.

91
Memahami Ilmu Sosial

Sebaliknya, jiga fokus eksternal rendah dan fokus internal juga rendah,
maka yang terjadi adalah menghindar dari konflik dengan harapan tidak terjadi
konflik. Bila fokus eksternal rendah dan fokus internal tinggi, maka akan
mendominasi.
Keempat kuadran itulah yang perlu diperhatikan, yakni kuadran mana
yang perlu dicapai agar konflik dapat diselesaikan dengan baik, tanpa
mengurangi makna peran penting organisasi di kemudian hari.

Bab 5

NEGOSIASI
Suatu Tinjauan dari Perspektif Kepemimpinan dan Politik

Untuk mengatasi konflik sebagaimana telah dijelaskan pada bab


sebelumnya, maka, bab ini secara khusus akan membahas tentang negosiasi.
Banyak sekali ahli ilmu sosial yang membahas hal ini, akan tetapi mereka belum
menfokuskan pada aras kepemimpinan dan politik, sehingga bab ini secara
khusus memfasilitasi p embaca yang tertarik dengan negosiasi pada dua aras
tersebut.
A. Konsep dasar Negosiasi

92
Memahami Ilmu Sosial

Negosiasi merupakan proses pembuatan keputusan memberi dan


menerima yang melibatkan pihak-pihak yang saling terkait dengan preferensi
berbeda. Dengan adanya referensi yang berbeda itu, para pihak saling
bernegosiasi, sehingga diperoleh suatu kesepakatan dua belah pihak yang
saling menguntungkan. Hal ini mendukung pendapat Robert Kritner dan
Angelo Kinicki (2000: 180) yang menjelaskan dengan tegas bahwa negosiasi
adalah proses pembuatan keputusan memberi dan menerima yang melibatkan
pihak-pihak yang saling terkait dengan preferensi berbeda.

Proses tawar-menawar yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih
tentang sesuatu untuk mendapatkan kesepakatan maka dapat disebut
negosiasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ivancevich et.al (2008) yang
menyatakan bahwa negosiasi merupakan sebuah proses di mana dua pihak
atau lebih yang berbeda pendapat berusaha mencapai kesepakatan. Menurut
Ivancevich et.al negosiasi juga diartikan sebagai sebuah proses di mana dua
pihak atau lebih yang berbeda pendapat berusaha mencapai kesepakatan.
Negosiasi juga merupakan sebuah proses di mana dua belah pihak atau
lebih melakukan tawar-menawar tentang sesuatu untuk mendapatkan
kesepakatan yang bisa diterima oleh kedua belah pihak tanpa ada paksaan
sedikit pun. Hal ini sesuai dengan pendapat Robbins dan Judge (2008: 59).
Menurutnya, negosiasi merupakan sebuah proses di mana dua belah pihak
atau lebih melakukan tawar-menawar tentang sesuatu untuk mendapatkan
kesepakatan.
Sementara itu, Nawawi (2012: 30) dalam menjelaskan negosiasi agak
lebih detail. Ia menjelaskan bahwa negosiasi merupakan:
1) perilaku atau proses penetapan keputusan mengenai sesuatu kepentingan
yang sama antar dua belah pihak yang memiliki referensi yang berbeda,
2) sebagai suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan
diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana tindakan yang
akan dilakukan di masa mendatang,
3) suatu bentuk pertemuan antara dua pihak yang bertujuan untuk
menghasilkan suatu persetujuan bersama,

93
Memahami Ilmu Sosial

4) proses antara dua belah pihak untuk mencapai persetujuan yang dapat
memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-
elemen kerjasama dan kompetisi,
5) proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau
menerima, guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dengan
pihak yang lain,
6) sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui
perundingan antar pihak-pihak yang bersengketa (Kasinu, 2012).

Apabila dikaitkan dengan negosiasi antar partai politik maka negosiasi


dapat dimaknai sebagai proses menetapkan keputusan yang dapat disepakati
dan diterima oleh dua pihak atau lebih yang menghasilkan suatu persetujuan
bersama dan dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan
dengan elemen-elemen.

B. Jenis-Jenis Negosiasi

Menurut Ivancevich et.al (2008: 60-61) negosiasi dapat dibedakan


menjadi dua yaitu win-lose dan win-win.
1. Negosiasi win lose adalah negosiasi distributive, antrinya apapaun yang
terjadi dalam negosiasi pastilah salah satu pihak akan menang sedangkan
pihak lain akan kalah. Asumsinya adalah sumber daya yang tersedia
terbatas, dan negosiasi adalah proses untuk menentukan siapa yang akan
menerima sumber daya. Dengan kata lain negosiasi berusaha
mendistribusikan sumber daya yang terbatas tersebut.
2. Negosiasi win-win atau pendekatan integrative, yaitu pendekatan yang
sama-sama menguntungkan, di mana setiap pihak mendapakan
keuntungan tanpa harus merugikan pihak lain (Kasinu, 2012).
Selanjutnya dijelaskan oleh Howard Raiffa (dalam Nawawi, 2012: 35)
bahwa negosiator atau pelaku negosiasi dapat dibedakan menjadi dua.
1. Pertama, negosiator value claimers memandang negosiai sebagai proses
pertikaian. Kedua belah pihak berusaha mendapatkan sebanyak mungkin
jatah atau kemenangan dan memberi sesedikit mungkin jatah atau
kemenangan bagi pihak lawan. Cara yang digunakan adalah cara yang

94
Memahami Ilmu Sosial

manipulatif, argumen yang memaksakan, konsesi yang terbatas dan tawar


menawar yang alot.
2. Kedua, negosiator value creators yang memandang negosiasi sebagai
proses yang akan menguntungkan kedua belah pihak, dengan usaha untuk
menciptakan nilai tambah bagi pihak-pihak yang bernegosiasi. Cara yang
dilakukan dengan mengembangkan hubungan yang kolaboratif melalui
usaha penyesuaian kepentingan kedua belah pihak, bersikap ramah, dan
kooperatif.

Menurut Robert Kritner dan Angelo Kinicki (2000; dalam Kasinu, 2012)
negosiasi dibedakan menjadi dua, yatu negosiasi distributive dan integrative.
1. Negosiasi distributive biasanya melibatkan satu masalah tunggal, dengan
demikian, konflik yang terjadi sebelum ada negosiasi tidak terlalu besar.
Perbedaan pendapat yang diperselisihkan pun tidak terlalu lebar.
2. negosiasi integrative masalah yang dipertaruhkan lebih dari satu. Negosiasi
jenis ini lebih sulit dibandingkan negosiasi jenis pertama karena melibatkan
lebih banyak permasalahan yang harus diselesaikan dengan negosiasi.
Menurut Hadari Nawawi (2012: 32) ada dua jenis negosiasi.
1. Pertama, negosiasi kooperatif merupakan negosiasi yang dilakukan untuk
meminimalkan konflik dengan mencari solusi di mana semua pihak
mendapat manfaat. Karakteristik negosiasi kooperatif adalah: a)
membuka perundingan dengan mengutarakan sebanyak mungkin informasi
yang memberi peluang untuk diterima kedua belah pihak, b)
mempertimbangkan semua aspek dari permasalahan yg dihadapi, c) kedua
belah pihak bersikap fleksibel, d) lakukan usaha membantu pihak lawan
memahami solusi yang mungkin, dan e) berusaha menemukan persetujuan
yang saling menguntungkan (win-win solution) yang memuaskan semua
pihak yang bernegosiasi.
2. Kedua, negosiasi kompetitif adalah perundingan dengan suasana yang tidak
ramah dan masing-masing pihak berusaha mendapatkan tawaran terbaik
bagi diri atau pihaknya. Karakteristiknya adalah: a) mengambil kesempatan
pertama melakukan penawaran, b) memiliki kemampuan mendinginkan
suasana konflik, dan c) memiliki kemampuan bersikap tegas untuk menjaga
posisi pengendali.

95
Memahami Ilmu Sosial

Sementara itu Robbins dan Judge (2008: 193), menambahkan satu lagi
jenis negosiasi yaitu negosiasi integratif, yaitu sebuah proses negosiasi yang
berusaha mencari satu penyelesainan atau lebih yang dapat menciptakan
solusi menang-menang atau saling menguntungkan.
Melihat tipologi negosiasi di atas, negosiasi yang terjadi pada masyarakat
politik, secara hipotetik, kedua tipologi tersebut dapat terjadi semuanya.
Artinya, negosiasi antara untuk partai politik untuk hal-hal tertentu bisa bersifat
kooperatif, bisa juga kompetitif.
C. Karakteristik Negosiasi

Ada beberapa karakteristik negosiator yang sukses dan gagal. Negosiator


yang gagal adalah mereka yang tidak mampu menghasilkan keputusan
berdasarkan negosiasi yang dilakukan. Untuk dapat disebut sebagai negosiator
yang sukses, maka harus mampu menghasilkan keputusan yang memenangkan
pihak yang diwakili. Dalam hal ini Howard Raiffa (Nawawi, 2012: 35)
menyebutkan karakteristik negosiator yang sukses sebagai berikut.
Preparation and planning skill, knowledge of the subject, ability to
think clearly and rapidly under pressure an uncertinity, abality to
express thoughts verbally, listening skill, judgement and general
intelligence, integrity, ability to persuade other, patience, decisiveness,
ability to win respect and confidence of opponent, general problem
solving and analytical skills, self control, especially of emotions
and their visibility, insight into others’ feelings, persistence and
determination, power, ability to perceive and exploit available power to
achieve objectives, insight into hidden needs and reactions of own
anda opponent’s organization, ability to lead and control members of
own team or group, previous negotiating experience.

Apabila diartikan secara bebas karakteristik negosiator yang sukses


meliputi:
1. memiliki kerterampilan perencanaan dan mempersiapkan negosiasi,
2. memiliki pengetahuan tentang subyek/materi negosiasi,
3. memiliki kemampuan berpikir jernih dan cepat dalam situasi tertekan dan
ketidakpastian,
4. memiliki kemampuan mengekspresikan pikiran secara verbal,
5. memiliki keterampilan mendengarkan, memiliki kemampuan memutuskan
dan kecerdasan umum,

96
Memahami Ilmu Sosial

6. memiliki integritas,
7. memiliki kemampuan persuasif terhadap orang lain,
8. memiliki kesabaran (patience),
9. kemampuan meyakinkan,
10. kemampuan untuk mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan dari pihak
lain,
11. keterampilan memecahkan masalah secara umum dan kemampuan
melakukan analisis,
12. kemampuan mengontrol emosi,
13. pemahaman terhadap perasaan orang lain, ulet dan teguh pendirian,
14. kemampuan melihat potensi dan mengeksploitasi power, yang dimiliki
untuk mencapai tujuan, pemahaman terhadap kebutuhan tersembunyi
lawan,
15. kemampuan untuk memimpin dan menguasai anggota kelompok,
16. memiliki pengalaman negosiasi yang memadai,
Selain itu, karakteristik lain negosiator yang sukses bercirikan:
1. memiliki keyakinan akan adanya rasa aman,
2. keterbukaan dan toleransi terhadap pandangan oranglain,
3. kemampuan bersaing untuk menang,
4. keterampilan berkomunikasi dan mengkoordinasikan berbagai tujuan
dalam organisasi,
5. kemampuan berdebat, keberanian mengambil resiko untuk tidak disukai
orang lain,
6. kemampuan untuk secara cerdas mengambil peran dalam negosiasi,
7. mempunyai status atau kedudukan dalam organisasi,
8. toleransi terhadap ketidak jelasan dan ketidak pastian,
9. kemampuan berkomunikasi dengan bahasa tubuh,
10. mampu berkompromi dengan berbagai karakter orang,
11. memiliki kepribadian yang menarik dan rasa humor,
12. memiliki karakter yang bisa dipercaya,
13. memiliki keberanian mengambil resiko untuk mencapai hasil yang luar
biasa,
14. memiliki keberanian menggunakan paksaan, ancaman, dan gertakan
apabila diperlukan.
Negosiasi bisa melibatkan dua pihak dengan perwakilan masing-masing
satu orang, bisa juga masing-masing kelompok membawa beberapa orang yang

97
Memahami Ilmu Sosial

disepakati bersama, bisa juga melibatkan banyak orang. Lebih lanjut Hadari
Nawawi menjelaskan bahwa karakteristik negosiasi meliputi:
a) negosiasi melibatkan orang, baik secara individual maupun perwakilan
kelompok secara perseorangan atau bersama-sama,
b) negosiasi berpeluang menjadi konflik selama negosiasi berlangsung,
c) negosiasi berlangsung sebagai cara pertukaran, baik tawar menawar
(bergain) maupun tukar menukar (barter),
d) negosiasi pada umumnya berlangsung secara tatap muka, dengan bahasa
lisan, gerak tubuh atau ekspresi wajah tanpa mengabaikan kemungkinan
dilakukan secara tertulis,
e) negosiasi pada umumnya menyangkut hal-hal di masa depan atau sesuatu
yang belum terjadi atau yang diinginkan terjadi,
f) akhir dari negosiasi adalah dihasilkannya kesepakatan yang disetujui kedua
belah pihak, meskipun hasilnya kedua belah pihak sepakat utuk tidak
sepakat.

D. Tujuan Negosiasi

Negosiasi mempunyai tujuan awal, masing-masing bisa menang, akan


tetapi hal ini sulit terjadi karena setiap ada yang menang pasti ada yang kalah.
Langkah berikutnya, tujuan negosiasi diturunkan menjadi lebih rendah, yaitu
sama-sama menang, dengan arti bukan menang mutlak. Untuk lebih
jelaskanya, bahwa negosiasi yang dilakukan antara dua pihak bertujuan:
a) tujuan agresif yakni tujuan untuk memenangkan perundingan atau
mempeoleh keuntungan dari kerugian (damage) pihak lawan,
b) tujuan kompetitif yakni tujuan untuk memperoleh sesuatu yang lebih
(getting more) dari pihak lawan,
c) tujuan kooperatif yakni tujuan memperoleh kesepakatan yang saling
menguntungkan (mutual gain),
d) tujuan pemusatan diri yakni untuk memperoleh keuntungan tanpa
memperhatikan penerimaan pihak lawan,
e) tujuan defensif yakni tujuan untuk memperoleh hasil yang terhindar dari
sesuatu yang bersifat negatif, dan
f) tujuan kombinasi antara dua atau lebih tujuan tersebut di atas.

98
Memahami Ilmu Sosial

Begitu juga negosiasi yang dilakukan antar partai politik ada yang
bertujuan memenangkan pengaruh, memperoleh kesepakatan yang saling
menguntungkan, memperoleh hasil yang terhindar dari sesuatu yang bersifat
negatif.
Dalam konteks peperangan, tujuan negosiasi juga bisa berupa tujuan
jangka pendek, sekedar genjatan senjata, ada juga tujuan jangka panjang
dalam arti perdamaian selamanya.

E. Langkah-langkah Negosiasi

Langkah-langkah negosiasi menurut Howard Raiffa dalam Hadari Nawawi


(2012: 38).
1. Pertama, langkah persiapan. Langkah ini dilakukan sebelum negosiasi.
Persiapan yang baik merupakan fondasi yang kokoh bagi negosiasi yang
akan dilakukan. Persiapan akan memberikan perasaan percaya diri yang
penting dalam bernegosiasi. Langkah persiapan harus diawali dngan
menetapkan secara jelas apa yang ingin dicapai dalam bernegosiasi.
Tujuan harus jelas dan terukur (realistis untuk dicapai). Tanpa mempunyai
tujuan tidak dimiliki pegangan untuk melakukan tawar menawar atau
berkompromi dengan lawan negosiasi. Persiapan negosiasi adalah kesiapan
mental. Untuk itu usahakan kondisi rileks dan tidak tegang, antara lain
dengan melakukan relaksasi. Langkah ini dilakukan sebelum negosiasi yang
meliputi: a) menghimpun sebanyak mungkin informasi mengenai pihak lain
sebagai lawan bernegosiasi. Misalnya informasi mengenai kebiasaan
perilakunya, interaksi yang pernah dilakukan sebelumnya dengan pihak
lain, kesepakatan yang pernah dicapai dan lain-lain, b) Mengidentifikasi
yang diinginkan atau hasil maksimal yang diharapkan dicapai oleh pihak
sendiri, c) Mempelajari situasi pesaing sebagai pembanding
2. Kedua, identifikasi kepentingan. Kepentingan merupakan sesuatu yang
mendasari konflik sehingga memerlukan negosiasi untuk
menyelesaikannya. Usahakan untuk mengidentifikasi kepentingan pihak
lain meliputi: a) cermati kepentingan, baik yang nyata maupun yang
terselubung seperti reputasi, keadilan, kekuasaan, dan lain-lain, b)

99
Memahami Ilmu Sosial

kepentingan dapat memiliki nilai intrinsik yakni yang menghargai otonomi


masing-masing pihak, juga dapat memiliki nilai-nilai instrumental yakni
merupakan jalan atau cara untuk mencapai tujuan pribadi yang lain, c)
memahami bahwa kepentingan bergantung pada persepsi, sehingga
sifatnya sangat subyektif, d) cermati bahwa kepentingan dapat berubah
secara sengaja atau tidak sengaja selama negosiasi berlangsung.
3. Ketiga, proses tawar menawar. Wilayah tawar nenawar ibarat ruang
(wilayah) yang dibatasi oleh penawaran kedua belah pihak. Pusatkan
perhatian pada upaya membangun kesepakatan untuk menutup negosiasi
dengan komitmen kedua belah pihak akan melaksanakannya. Kesepakatan
tidak akan tercapai apabila sejak awal masing-masing atau salah satu pihak
tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Negosiasi dikatakan
sukses apabila terjadi kesepakatan yang berisi sesuatu yang
menguntungkan kedua belah pihak. Setelah kesepakatan tercapai hindari
setiap kemungkinan terjadinya konflik di dalam zona tawar menawar.
Sementara itu, Robbins dan Judge (2008) menggambarkan proses
negosiasi sebagai berikut.

Persiapan
Persiapan dan
dan Perencanaan
Perencanaan

Penentuan
Penentuan aturan
aturan dasar
dasar

Klarifikasi
Klarifikasi dan
dan jastifikasi
jastifikasi

Tawar
Tawar menawar
menawar dan
dan pemecahan
pemecahan
masalah
masalah

Penutupan
Penutupan dan
dan implementasi
implementasi

Gambar 5.1
Tahapan Proses Negosiasi
Sumber: Robbins dan Judge, 2008: 195

100
Memahami Ilmu Sosial

Setelah langkah-langkah di atas ditempuh, menurut Ivancevich et.al,


(2008: 62-63) perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan efektivitas
negosiasi yaitu dengan cara melakukan empat aktivitas, yaitu:
1) berusaha memperoleh hasil yang substansial,
2) berusaha mempengaruhi keseimbangan kekuasaan,
3) berusaha meningkatkan iklim yang kondusif, dan
4) berusaha mencapai fleksibilitas prosedur.
Berkaitan dengan negosiasi kultural, Headley (1977) mencatat bahwa
garis silsilah keluarga yang bersumber dari pelaksanaan perkawinan, keturunan
kebangsawanannya, dan kultural lainnya menjadi alat negosiasi kultural dalam
membangun komunitas. Dengan memanfaatkan keturunan kebangsawanan,
dan perkawinan antar anak menjadi sarana meningkatkan legitimasi dan
negosiasi kultural dalam membangun komunitas.
Dalam proses negosiasi antara agama dan program pemerintah, Brockett
(1990: 192), berdasarkan studinya di Amerika Tengah mencatat bahwa dalam
proses negosiasi program pemerintah yang diterapkan pada petani berbasis
komunitas katolik, tokoh agama memegang akses penting dalam memainkan
peran mobilitas pembangunan pertanian. Negosiasi dimulai oleh gerakan yang
dilakukan oleh tokoh agama. Mereka memegang akses penting dalam perannya
memobilisasi masyarakat. Para tokoh agama yang secara struktural mempunyai
kedudukan legitimasi tinggi di dalam komunitasnya dan akses sangat kuat
dalam proses negosiasi program pembangunan pertanian dari pemerintah
kepada para petani melalui organisasi yang ada di bawah naungan gereja,
sehingga perubahan yang terjadi pada masyarakat petani di daerah ini tampak
bernuansa agamis. Mereka, para tokoh agama dipercaya mempunyai
kedudukan dan keabsahan yang tinggi sebagai negosiator dalam proses
transformasi program pembangunan.
Dalam kasus kepemimpinan di daerah perdesaan dan pertanian proses
negosiasi, menurut Geertz (1998: 31), kiyai merupakan salah satu negosiator
yang dapat menterjemahkan kepentingan petani dan ketentuan agama yang
dirituskan di pesantren. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pola tindakan dan
kehidupan petani merupakah hasil kesepakatan bersama dengan nilai-nilai
keagamaan. Karena agama merupakan pola dan pedoman tindakan bagi para
petani.

101
Memahami Ilmu Sosial

Popkin (1989: 65) dalam kaitannya dengan romantisme negosiasi,


menjelaskan bahwa pendekatan moral ekonomi selalu menekankan kolaborasi
antara norma dan upaya mempertahankan subsistensi dalam unit ritual dan
kulturalnya. Dengan demikian, petani dalam menjalankan rutinitas kehidupan
ekonomi sehari-hari selalu terjadi romantisme dengan ritual keagamaan dan
kultur yang melingkupinya.

Bab 6

MOTIVASI SOSIAL
Suatu Tinjauan dari Perspektif Kepemimpinan dan Politik

A. Konsep Motivasi

Dari perspektif kepemimpinan dan politik, motivasi kerja merupakan


suatu hal yang penting yang sering disinggung oleh pimpinan organisasi partai
politik maupun organisasi lainnya, baik secara terbuka maupun terselubung,
karena motivasi kerja dapat meningkatkan semangat kerja anggota
organisasi atau partai politik dalam perubahan ke arah kemajuan. Sebagaimana
dikatakan oleh Vithessonthi & Schwaninger, (2008) yang mengatakan
bahwa,”Job motivation will be able to influence employees’ support for
organisational change pursued by a firm.”
Motivasi juga dapat diartikan sebagai suatu kekuatan yang menjadi
kebutuhan dalam mencapai tujuan organisasi maupun partai politik.

102
Memahami Ilmu Sosial

Sebagaimana dikatakan oleh McClelland and Boyatzis (1984) yang menjelaskan


bahwa motivation is defined in relation to need strength. Artainya, motivassi
didefinisikan dalam hubungannya untuk menumbuhkan kekuatan.
Motivasi juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menggerakkan
manusia ke arah tujuan dalam hal ini bisa organisasi atau artai politik.
Sebagaimana definisi motivasi menurut Fillmore H Stanford (1998: 67; dalam
Yulius, 2008: 26), motivation as an energizing condition of the organism that
serves to directionat that organism toward the goal of a certain class. Artinya,
motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah tujuan
tertentu.
Dalam pandangan yang lebih sistematis, Robbins (2003: 213)
mengemukakan bahwa pengertian motivasi kerja sebagai berikut.

The willingness to exert high levels of effort to work organizational


goals. Conditioned by effort ability to satisfy some individual need.
Shile general motivation is concerned with effort any goal, we’ll
barrow the focus to organizational goal in order to reflect out
singular interest in work related behavior.

Apabila definisi di atas dikaitkan dengan motivasi ikut dalam partai


politik atau organisasi lainnya, meliputi upaya (effort), tujuan organisasi
(organizational goals), dan kebutuhan (needs). Dalam perspektif politik:
1. Unsur ’upaya’ merupakan ukuran intensitas. Upaya yang diarahkan
tersebut haruslah konsisten dengan tujuan partai politik.
2. Tujuan organisasi adalah segala sesuatu yang telah ditentukan oleh
partai politik sebagai cita-cita partai politik.
3. Sedangkan needs adalah suatu keadaan internal yang menyebabkan
hasil-hasil tertentu tampak menarik bagi anggota dan pengurus partai
politik.
Motivasi berpartai politik juga berhubungan erat dengan variasi kegiatan
di dalam partai politik dan berhubungan juga dengan sikap kerja dan hasil yang
diperoleh partai politik. Sebagaimana definisi partai politik menurut Derry et.al.
(1995) yang mengatakan bahwa, “Job motivation is related toavariety of work-
related attitudes and outcomes.” Dengan kata lain, motivasi kerja berhubungan

103
Memahami Ilmu Sosial

erat dengan variasi kerja dan berhubungan pula dengan sikap kerja dan hasil
yang diperoleh.
Motif adalah segala kebutuhan atau keinginan yang menyebabkan
seseorang melakukan sesuatu di dalam organisasi atau pertain politik. Hal ini
sesuai dengan definisi yang ditulis dalam Webster’s New Collegiate Dictionary
(dalam Manzoor, 2012), “Motive is something a need or desire that causes a
person to act.” Motif adalah segala kebutuhan atau keinginan yang
menyebabkan seseorang melakukan sesuatu. Motivasi, “As a power that
strengthens behavior, gives route to behavior, and triggers the tendency to
continue (Bartol dan Martin, 1989; dalam Manzoor, 2012:2). Motivasi sebagai
sebuah kekuatan yang menguatkan perilaku, memberikan arah bertindak,
dan pemicu untuk tetap terus berusaha. Bila diartikan dari perspetif ilmu politik,
motivasi merupakan sebuah kekuatan yang menguatkan perilaku anggota partai
politik dalam memberikan arah bertindak dan merupakan pemicu untuk tetap
terus berusaha memenangkan Pemilu..
Farhat et.al (2011 dalam Manzoor, 2012:2-3) menjelaskan bahwa motivasi
adalah sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke
arah tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu
untuk memenuhi suatu kebutuhan individual. Secara politik, motivasi
merupakan kesediaan anggota partai politik untuk mengeluarkan seluruh
upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan partai politik, yang dikondisikan oleh
kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individual seperti
menjadi anggota legislative dan eksekutif.
Robbins dan Judge (2008:221) mendefinisikan motivasi sebagai proses
yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seseorang individu untuk
mencapai tujuannya. Jadi secara politik, motivasi sebagai proses yang
menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seseorang individu untuk mencapai
tujuan partai politik menjapai kemenangan dalam Pemilu maupun Pilkada.

B. Proses Lahirnya Motivasi

Proses lahirnya motivasi dapat digambarkan dalam digaram sebagai


berikut.

104
Memahami Ilmu Sosial

I.I. Need
Need
Deficiencies
Deficiencies
VI.
VI. Need
Need Deficiencies II.
Deficiencies
reassessed
II. serch
serch for
for way
way
reassessed by
by the
the to satisfy needs
employee
employee
to satisfy needs
III.
III. Goal
Goal directed
directed
V.
V. Reward
Reward Employe
behavior
behavior
punishments
punishments e
IV.
IV. performance
performance
(evaluation
(evaluation ofof goals
goals
accomplished)
accomplished)

Gambar 2.3
The motivational Process: A General model
Sumber: Ivancevich dan Matteson (2002: 150)

Karaktersitik dasar dari isi dan teori proses motivasi dari perspektif yang
berlaku umum, sebagaimana digambarkan oleh Ivancevich dan Matteson
(2002: 150) dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) dimulai madanya defisiensi
kebutuhan, 2) perlunya jalan untuk memenuhi kebutuhan, 3) menentukan
tujuan yang akan dicapai, 4) kinerja dengan mengevaluasi sampai dimana
tujuan telah tercapai, 5) pemberian hadiah dan hukuman/sanksi, 6) penetapan
kembali defisiensi kebutuhan (Busro, 2012).

C. Tipologi Teori Motivasi Sosial

Robbins dan Judge (2008:221-250) mengklasifikasikan teori motivasi


menjadi dua.
Pertama, teori motivasi zaman dahulu yang meliputi:
1) teori hierarki kebutuhan Maslow,

105
Memahami Ilmu Sosial

2) teori ERG Alderfer,


3) teori X dan Y Douglas McGregor, dan
4) teori dua faktor dari Frederick Herzberg.

Kedua, teori motivasi kontemporer, meliputi:


1) Teori kebutuhan McClelland,
2) teori evaluasi kognitif,
3) teori penentuan tujuan,
4) teori efektivitas diri,
5) teori penguatan,
6) teori keadilan, dan
7) teori harapan.
Dalam implikasinya, Robbins dan Judge (2008:261) dalam meninjau
seberapa besar teori motivasi mempunyai kekuatan prediktif, maka teori
motivasi dibedakan menjadi lima.
1) Teori-teori kebutuhan, yang terdiri atas empat teori, seperti:
a) teori hierarki kebutuhan Maslow,
b) teori ERG Alderfer,
c) Teori kebutuhan McClelland, dan
d) teori dua faktor dari Frederick Herzberg;
Keempat-empatnya tidak mendapat dukungan secara luas karena
dianggap bukan merupakan penjelasan teori motivasi yang sangat valid,
kecuali teori kebutuhan McClelland, karena terkait dengan hubungan
pencapaian dan produktivitas,
2) Teori penentuan tujuan, memberikan penjelasan yang lebih kuat dari
variabel produktivitas anggota organisasi yang lebih tinggi tetapi tidak
menjelaskan ketidakhadiran, perputaran anggota organisasi, atau kepuasan
anggota organisasi (Locke dan Latham, 1990; Tubbs, 1986),
3) Teori penguatan, mempunyai rekor yang mengesankan untuk memprediksi
faktor-faktor seperti kualitas dan kuantitas pekerjaan, ketekunan usaha,
ketidakhadiran, kelambanan, dan angka kecelakaan, hanya saja teori ini

106
Memahami Ilmu Sosial

tidak memberikan penjelasakan tentang kepuasan anggota organisasi dan


perputaran anggota organisasi,
4) Teori keadilan, berhubungan dengan variabel produktivitas, kepuasan,
ketidakhadiran, dan perputaran anggota organisasi, dan keadilan
organisasional; teori ini sangat banyak mendapat dukungan (Adam, 1976;
Mowday, 1987), dan
5) Teori harapan (Victor Vroom, 1964), yang berhasil memberikan penjelasan
yang relatif kuat mengenai produktivitas anggota organisasi, ketidakhadiran
anggota organisasi, dan perputaran anggota organisasi; hanya saja toeri
pengharapan tidak cocok untuk anggota organisasi tingkat rendahan,
karena pekerjaan mereka banyak dibatasi oleh metode kerja, pengawasan,
dan kebijakan perusahaan.
Sementara itu Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, (2007) membagi
teori motivasi menjadi dua.
Pertama, pendekatan content (isi) yang meliputi:
1) teori hirarki kebutuhan Maslow,
2) teori ERG Alderfer,
3) teori dua faktor dari Frederick Herzberg,
4) Teori kebutuhan McClelland.
Kedua pendekatan proses yang meliputi:
1) teori harapan (Vroom),
2) teori keadilan (Adams), dan
3) teori penentuan tujuan (Locke).
Mengikuti Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2007) membagi teori
motivasi menjadi dua, yaitu pendekatan content (isi) dan pendekatan proses.
1. Pendekatan Isi (Content Approach)
Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan content (isi) meliputi:
a) teori hirarki kebutuhan Maslow,
b) teori ERG Alderfer,
c) teori dua faktor dari Frederick Herzberg,
d) Teori kebutuhan McClelland.

a. Teori Hirarhi Kebutuhan Maslow (Hierarchy of Need Theory).

107
Memahami Ilmu Sosial

Inti teori maslow adalah bahwa kebutuhan tersusun dalam suatu


hierarki. Kebutuhan di tingkat yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis,
dan kebutuhan paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Secara lebih
rinci dapat diurutkan sebagai berikut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson
(2007:150).

a) Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat


tinggal, dan bebas dari rasa sakit.
b) Kebutuhan keamanan dan keselamatan, yaitu kebutuhan untuk bebas dari
ancaman (aman dari peristiwa atau lingkungan yang mengancam).
c) Kebutuhan kebersamaan, sosial, dan cinta, yaitu kebutuhan akan
pertemanan, afiliasi, interaksi, dan cinta.
d) Kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan akan harga diri dan rasa hormat
dari orang lain.
e) Kebutuhan aktualisasi Advancement
diri yaitu kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri
Advancement challenging
challenging
secara maksimal menggunakan kemampuan, keterampilan, dan potensi.
assignments
assignments

Gary Dessler (2011:460) menjelaskan


Development
Development bahwa, untuk keperluan motivasi
opportunities
opportunities
perilaku kebutuhan yang lebih rendah harus lebih dahulu dipenuhi sebelum
memenuhi level yang lebih tinggi.Compliments
Opportunities
Opportunities
Jobs
Dia
tu mengatakan,
tu use
use skills
skills “People are motivated
Jobs title,
title, Compliments
first to satisfy each lower-order need, and then, in sequence, each of the
SELF
SELF ACTUALIZATION
ACTUALIZATION
Office furnishings and location
higher-llevel needs.” Konsekuensinya, and
Office furnishings jikalocation
Anda ingin memotivasi seseorang
dengan pemberian penghargaan Access
Access totodan pekerjaan yang menantang, partikan
information
information
Compatible
Compatible work work groups
kebutuhan orang tersebut untukMeit
tingkatangroups yang lebih rendah telah terpenuhi.
Meit salary
salary increases
increases
(Dessler, 2007:98). Employee-centered
Employee-centered supervision
supervision
ESTEEM
ESTEEM
Teori motivasi Maslow
Personal dapat
Personal and
and digambarkan
professional
professional friends sebagai berikut.
friends

Office parties
OfficeGeneral and
and social
partiessalarysocial gatherings
gatherings
increases
General salary increases

BELONGINGNESS, SOCIAL,
BELONGINGNESS,
Pension
Pension plans AND
SOCIAL,
plans AND LOVE
LOVE

Hospital
Hospital and
and medical
medical plans
Salary plans
Salary

Disability
Disability
Heating and insurance
insurance
Heating and air
air conditioning
conditioning

SAFETY
SAFETY AND SECURITY
ANDcafetaria
Company SECURITY
Company cafetaria

PHYSIOLOGICAL
PHYSIOLOGICAL

108
Memahami Ilmu Sosial

Gambar 2.4
Teori motivasi Maslow
Sumber: Ivancevich dan Matteson (2002: 152; dalam Busro, 2012)
1. Kebutuhan fisik/fisologi (physiological needs), sebagai kebutuhan utama
individu dalam mempertahankan hidupnya yang meliputi kebutuhanakan
makan, dan minum, pakaian, serta tempat tinggal.
2. Kebutuhan keselamatan dan rasa aman (safety and security needs),
kebutuhan akan keselamatan dan rasa aman akan bertindak sebagai
potivator, apabila kebutuhan fisiologi stelah terpuaskan secara minimal.
Kebutuhan ini antara lain, kebutuhan akan perlindugan dari ancaman,
pertentangan, dan lainnya.
3. Kebutuhan sosial (social needs), yaitu kebutuhan setelah dua kebutuhan
sebelumnya terpenuhi. Seperti persahabatan, afiliasi, serta berinteraksi
dengan orang lain
4. Kebutuhan akan ego/kehormatan (ego or self esteem needs). Kebutuhan
ego, status, dan penghargaan merupakan kebutuhan tingkat berikutnya
yang meliputi kebutuhan untuk dihormati dan dihargai oleh orang lain.
5. Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs), merupakan kebutuhan
yang paling tinggi dalam hirarki kebutuhan, yang meliputi kebutuhan untuk
memanfaatkan kemampuan, keterampilan, dan potensi yang dimiliki secara
maksimal

b. Teori Motivasi Dua Faktor dari Herzberg's (Two Factor Theory).


Herzberg mengembangkan teori isi yang dikenal sebagai teori motivasi
dua faktor. Kedua faktor tersebut meliputi dissatisfier-satisfier, hygiene-
motivator, atau faktor ekstrinsik-instrinsik.
Faktor ekstrinsik, konteks pekerjaan yang menimbulkan ketidak
puasan antar anggota organisasi ketika kondisi tersebut tidak ada. Kondisi ini
adalah dissatisfier atau faktor hygiene, karena faktor tersebut untuk
mempertahankan suatu tingkat dari adanya kepuasan, antara lain:
a) gaji,

109
Memahami Ilmu Sosial

b) keamanan pekerjaan,
c) kondisi kerja,
d) status,
e) prosedur perusahaan,

f) kualitas pengamanan teknis, dan


g) kualitas hubungan interpersonal.

Faktor instrinsik ketika ada dalam pekerjaan dapat membentuk motivasi


yang kuat hingga dapat menghasilkan pekerjaan yang baik. Faktor yang ada
dalam rangkaian ini disebut satisfier atau motivator yang meliputi:
a) pencapaian,
b) pengakuan,
c) tanggung jawab,
d) kemajuan,
e) pekerjaan itu sendiri, dan
f) kemungkinan untuk tumbuh.

Dessler (2007:98) menjelaskan bahwa Herzberg menamakan dua faktor


yang merupakan inti teorinya dengan hygiene dan motivasi. Dia menyatakan
bahwa faktor hygiene yang memenuhi kebutuhan tingkat rendah berbeda
dengan motivator yang memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi
(Suryaman, 2012).
Dessler (2007:461) menjelaskan bahwa:
If hygiene factors (factors outside the job itself, such as working
condition, salary, and incentive pay) are inadequate, employees
become dissatisfied. However, adding more of these hygiene (like
incentive) to the job (supplying what Herzberg calls extrinsic
motivation) is an inferior way to try to motivate someone, because
lewer-level needs are quickly satisfied.

Artinya, bila faktor hygiene (faktor di luar pekerjaan seperti kondisi kerja,
gaji, dan insentif) tidak seimbang, anggota organisasi akan merasa tidak puas.
Menambah faktor higiene (seperti insentif) pada pekerjaan (memberikan apa

110
Memahami Ilmu Sosial

yang disebut Herzberg motivasi ekstrinsik) adalah cara paling rendah untuk
memotivasi seseorang karena kebutuhan tingkat rendah lebih mudah
terpenuhi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ivancevich dan


Matteson (2002: 154-155) memisahkan dua kategori pekerjaan, yaitu:
Two Factors Description
Motivator Achievement
factors Recognition
Responsibility
Advancement
The work itself
The posibility of growth

Hygiene factors Salary


Jobs security
Working conditions
Status
Company procedures
Quality of technical supervision
Quality of interpersonal relations among
peers with supervision, and with
subordinates
Gambar 2.7
Teori dua faktor Herzberg
Sumber: Ivancevich dan Matteson (2002: 154-155 dimodifikasi oleh Busro, 2012)

1. Faktor Motivator
Faktor motivator ini dapat memacu seseorang untuk bekerja lebih baik dan
bergairan. Yang termasuk kategori ini antara lain: pengakuan dari orang
lain, peluang untuk berprestasi, tantangan dan tanggungjawab.
Terpenuhinya faktor ini, menyebabkan orang merasa puas, tetapi bila tidak
terpenuhi, tidak akan mengakibatkan ketidakpuasan.
2. Faktor Hygiene
Keberadaan faktor ini tidak akan meningkatkan motivasi kerja, namum
faktor ini kalau tidak ada akan menimbulkan ketidakpuasa. Yang termasuk

111
Memahami Ilmu Sosial

dalam fakator ini antara lain: gaji, cara pengawasan, hubungan antar
pekerja, kondisi kerja.
Teori Herzberg mengidentifikasi dua faktor penting yang terkait dengan
perilaku manusia dalam hubungannya dengan tugas pekerjaannya
(Sastrodiningrat, 1999).
1. Pertama, faktor hygiene, yang menyentuh manusia melalui rasa puas
dan tidak puas dalam pekerjaan, karena itu menyangkut lingkungan
kerjanya. Selain itu juga berkaitan dengan kebijakan dan administrasi
pekerjaan, pengawasan, kondisi kerja, hubungan antar-personel, uang,
status, dan keamanan.
2. Kedua, faktor motivator, yang menyentuh manusia melalui rasa
senang/cinta dan tidak senang/cinta bekerja dan dapat meningkatkan/
menurunkan produktivitas kerja. Selain itu juga menyangkut pekerjaan
itu sendiri, keberhasilan, prestasi kerja, pengakuan, tantangan kerja,
peningkatan tanggungjawab, pertumbuhan dan pengembangan.

Faktor hygiene tidak meningkatkan produktivitas atau hasil kerja,


melainkan sekedar menjadi faktor pemelihara, karena mempertahankan
tingkat kepuasan kerja. Akan tetapi bilamana faktor ini diturunkan dapat
mengakibatkan merosotnya produktivitas. Sedangkan faktor motivator
menyentuh rasa puas atas keberhasilan, kecintaan terhadap profesi,
pengakuan, memperoleh pengalaman dari pekerjaan yang memberi tantangan
dan tanggung jawab.

c. Teori ERG Clapton Alderfer


Hierarki kebutuhan melibatkan tiga rangkaian kebutuhan, yaitu:
a) Eksistensi, yaitu kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor seperti
makanan, udara, imbalan dan kondisi kerja;
b) Hubungan, yaitu kebutuhan yang dipuaskan oleh hubungan sosial dan
interpersonal yang berarti; dan
c) Pertumbuhan, yaitu kebutuhan yang terpuaskan jika individu membuat
konstribusi yang produktif atau kreatif (Suryaman, 2012).

112
Memahami Ilmu Sosial

Tiga kebutuhan tersebut oleh Alderfer disingkat menjadi ERG, yaitu


existence, realtedness, dan growth. Jika kebutuhan pertumbuhan bawahan
dihalangi mungkin oleh kebijakan perusahaan, atau kurangnya sumber daya
maka manajer harus mengarahkan ulang usaha bawahan untuk eksistensi.
Teori ERG dari Clapton Alderfer. Dalam teorinya ia setuju dengan Maslow
bahwa kebutuhan-kebutuhan individual tersusun secara hierarki, namun
demikian, hierarki kebutuhan yang diusulkan hanya terdiri atas tiga set
kebutuhan, yaitu:
3. GROWTH
Needs satisfied by an individual making creative or productive contributions
2. RELATEDNESS
Need satisfied by meaningful social and interpersonal relationships
1. EXISTENCE:
2. Need satisfied by such ffactors as food, air,
water, pay, and working conditions
Gambar 2.6
Tiga tingkat kebutuhan dari Clapton Alderfer
Sumber: Ivancevich dan Matteson (2002: 153 dalam Busro, 2012)

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa tingat: 1) eksistensi


(existence) yaitu makanan, kebutuhan akan udara, air, gaji, dan kondisi
pekerjaan, 2) keterkaitan (relatedness) yaitu kebutuhan akan hubungan sosial
dan interpersonal yang berarti, dan 3) pertumbuhan (growth) yaitu kebutuhan
seseorang individu untuk menciptakan kontribusi yang kreatif atau produktif.
Tiga kebutuhan yang disampaikan oleh C. Alderfer berhubungan dengan
teori yang disampaikan oleh Maslow, seperti kelompok eksistensi serupa
dengan kelompok spikologis dan keselamatan, keterampilan serupa dengan
kelompok rasa memiliki, sosial dan kasih sayang, sedangkan kebutuhan
pertumbuhan serupa dengan kelompok penghargaan dan aktualisasi diri
(Busro, 2012).

d. Teori Prestasi (Achievement Theory) dari Me. Clelland.


Teori ini meyakini bahwa sebagian besar kebutuhan berasal dari budaya.
Ketiga kebutuhan itu meliputi:
a) Need for achievement (N-ach), yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang

113
Memahami Ilmu Sosial

merupakan refleksi dari dorongan akan tangung jawab untuk pemecahan


masalah. Seorang pegawai yang mempunyai kebutuhan akan berprestasi
tinggi cenderung untuk berani mengambil resiko. Kebutuhan untuk
berprestasi adalah kebutuhan untuk melakukan pekerjaan lebih baik
daripada sebelumnya, selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih
baik lagi.
b) Need for affiliation, yaitu kebutuhan untuk berafiliasi yang merupakan
dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain, berada bersama orang
lain, tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
c) Need for power, yaitu kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan
refleksi dari dorongan untuk mencapai otoritas untuk memiliki pengaruh
terhadap orang lain (Suryaman, 2012).
Teori motivasi McClelland menjelaskan bahwa ada tiga kebutuhan/
keinginan manusia yang menonjol, yaitu:
1) kebutuhan akan berprestasi (needs for achiefement) yaitu dorongan untuk
mengungguli, beprestasi sehubungan dengan seperangkat standar,
bergulat untuk sukses;
2) kebutuhan akan kekuasaan (membuat orang lain berperilaku dalam suaatu
cara yang orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian), dan
3) kebutuhan akan afiliasi (hasrat untuk hubungan antar pribadi yang ramah
dan karib).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa:
1. Needs for achiefement yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan
refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah.
Seorang pegawai yang mempunyai kebutuhan akan berprestasi tinggi
cenderung untuk berani mengambil resiko. Kebutuhan untuk berprestasi
adalah kebutuhan untuk melakukan pekerjaan lebih baik daripada
sebelumnya, selalu berkeinginan mencapai prestasi yang lebih tinggi.
2. Needs of affiliation, yaitu kebutuhan untuk berafiliasi yang merupakan
dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain, berada bersama orang lain
tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
3. Need of power, yaitu kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan refleksi
dari dorongan untuk mencapai otoritas untuk memiliki pengaruh terhadap

114
Memahami Ilmu Sosial

orang lain.

McClelland and Boyatzis (1984), argue that humans are motivated by


need for power, achievement and affiliation. Scholars distinguish two types of
motivation: intrinsic motivation refers to the relationship between employees
and their job itself, and is derived from within the individuals or from the
activity related to the job itself; and extrinsic motivation applies to the
relationship between individuals and externally administered rewards such as
pay.”

2. Pendekatan Proses (process approach)


Teori motivasi yang termasuk ke dalam pendekatan proses meliputi:
1) teori harapan (expectancy theory) dari Vroom,
2) teori keadilan (equity theory) dari Stacy Adam, dan
3) teori pengukuhan (reinforcement theory) dari Dessler.

a. Teori Harapan (Expectancy Theory) dari Victor Vroom.


Salah satu penjelasan yang populer mengenai motivasi dikembangkan
oleh Vroom. Teori pengharapan adalah suatu teori motivasi yang menyatakan
bahwa anggota organisasi lebih mungkin termotivasi ketika mereka
mempersepsikan usaha mereka akan menghasilkan kinerja yang berhasil dan
pada akhirnya menghasilkan penghargaan dan hasil yang diinginkan
(Suryaman, 2012).
Untuk memahami cara kerja teori ini perlu dipahami empat hal berikut
(Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2007:158).
a) Hasil tingkat pertama dan kedua. Hasil tingkat pertama adalah hasil yang
dihubungkan dengan dilakukannya pekerjaan itu sendiri dan mencakup
produktivitas, absen, perputaran anggota organisasi, dan kualitas
produktivitas. Hasil tingkat kedua, adalah peristiwa penghargaan atau
hukuman yang diakibatkan oleh hasil tingkat pertama seperti kenaikan
gaji, penerimaan atau penolakan kelompok, promosi, dan pemecatan.
b) Instrumentalitas, adalah persepsi seorang individu bahwa hasil tingkat
pertama (kinerja) berhubungan dengan hasil tingkat kedua (penghargaan).
Hal tersebut merujuk pada keyakinan seseorangan bahwa pencapaian

115
Memahami Ilmu Sosial

hasil, tertentu akan menyebabkan dicapainya satu atau lebih hasil tingkat
kedua seseorang.
c) Valensi, merujuk pada preferensi hasil dari sisi individu. sebagai contoh,
seseorang akan lebih menyukai kenaikan gaji sebesar 10 persen daripada
relokasi ke suatu fasilitas yang baru.
d) Ekspektansi, merujuk pada keyakinan individu berkenaan dengan
kemungkinan atau probabilitas subjektif, bahwa suatu perilaku tertentu
akan diikuti dengan hasil tertentu, dan paling mudah dipahami sebagai
pernyataan probabilitas tunggal. Ekspektansi memberikan persepsi
kepada individu mengenai seberapa keras usaha yang diperlukan untuk
mencapai suatu perilaku tertentu dan probabilitas dari mencapai perilaku
tersebut.
EKSPEKTASNSI
EKSPEKTASNSI USAHA
USAHA KINERJA
KINERJA EKSPEKTASNSI KINERJA HASIL
EKSPEKTASNSI KINERJA HASIL
Probabilitas
Probabilitas yang
yang dipersepsikan
dipersepsikan ProbabilitasHasil
yangtingkat
dipersepsikan Hasil tingkat kedua
Hasil tingkat pertama
pertama Hasil tingkat kedua
dari Probabilitas yang dipersepsikan
dari kinerja
kinerja tang
tang berhasil
berhasil dengan
dengan dari hasil dengan adanya kinerja
dari hasil dengan adanya kinerja Hasil tingkat kedua
adanya
adanya Usaha
Usaha Hasil tingkat kedua
Kinerja
Kinerja Kinerja
Kinerja Hasil
Hasil tingkat
tingkat pertama
pertama Hasil tingkat kedua
Hasil tingkat kedua
Hasil tingkat kedua
Hasil tingkat kedua
Hasil
Hasil tingkat
tingkat pertama
pertama Hasil tingkat kedua
Hasil tingkat kedua
Hasil tingkat kedua
Hasil tingkat kedua

Gambar 2.8
Teori Ekspektasi
Sumber Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2007:158, Busro, 2012)

Dessler (2007:461) menjelaskan bahwa, “Another important motivation


vact is that, in generally, people won’t pursue rewards they find unattractive,
or where the odds of success are very low.” Fakta lain dari motivasi adalah
secara umum, orang akan berusaha untuk mencapai penghargaan yang tidak
menarik bagi mereka, atau terlibat dalam tugas-tugas yang tingkat
keberhasilannya sangat rendah.

116
Memahami Ilmu Sosial

Selanjutnya Dessler (2007:461-462) menjelaskan bahwa:


A Person’s motivationto exert some level of effort depends on three
things: the person’s expectancy (in terms of probability) that his or her
effort will lead to performance; instrumentality, or the perceived
connection (if any) between successful performance and actually obtaining
the rewards; and valence, which represents the perceived value the person
attaches to the reward. In Vroom’s Theory, motivation is thus a product of
three things: motivation = (E X 1 X V), where, of course, E represent
expectancy, I instrumentality, and V valence. If E or I or V is zero or
inconsequential, there will be no motivation.
Artinya, motivasi seseorang untuk mengupayakan usaha-usaha dalam tingkat
tertentu adalah fungsi dari tiga hal:
1. harapan (berkaitan dengan probabilitas) yang upaya-upaya tersebut akan
menuju pada kinerja;
2. pendekatan psikologi (instrumentality) atau hubungan kepedulian (jika ada)
dari kinerja yang berhasil dan pencapaian penghargaan sesungguhnya; dan
3. integrasi emosional (valence) yang menggambarkan nilai-nilai kepedulian
orang tersebut terhadap penghargaan.
Oleh karena itu, dalam teori Vroom, motivasi adalah hasil dari tiga hal:
Motivasi = (E x I x V). E merupakan expectacy (harapan), I adalah
instrumentality (pendekatan psikologis), dan V adalah Valence (interaksi
emosional). Jika E atau I atau V adalah nol atau tidak signifikan, tidak akan ada
motivasi.

b. Teori Keadilan (Equity Theory) dari Stacy Adam.


Teori keadilan dikemukakan oleh Stacy Adam dalam Robert H. Wood
(1992). Teori ini menjelaskan bagaimana persepsi seseorang mengenai
seberapa adil mereka diperlakukan dalam transaksi sosial di tempat kerja
dapat mempengaruhi motivasi mereka.
Inti keadilan adalah bahwa anggota organisasi membandingkan usaha
dan penghargaan yang mereka terima dengan orang lain dalam situasi kerja
yang serupa. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa individu termotivasi
oleh keinginan untuk diperlakukan secara sama di tempat kerja.

117
Memahami Ilmu Sosial

Empat istilah penting dalam teori keadilan, yaitu:


1. Orang (person); individu kepada siapa keadilan dan ketidakadilan
dipersepsikan;
2. Perbadingan dengan orang lain (comparison other); setiap kelompok
atau orang yang digunakan oleh seseorang sebagai referensi berkenaan
dengan rasio input dan hasil;
3. Input; karakteristik individu yang dibawa oleh seseorang ke tempat
kerja, yang mungkin dicapai (misalnya keterampilan, pengalaman,
pembelajaran) atau diturunkan (misalnya jenis kelamin, ras); dan
4. Hasil; apa yang diterima seseorang dari pekerjaan (misalnya
pengakuan, tunjangan, gaji).
Keadilan muncul ketika anggota organisasi mempersepsikan bahwa
rasion dari input mereka (usaha) terhadap hasil mereka (penghargaan)
sama dengan rasio pada anggota organisasi yang lain. Ketidakadilan muncul
ketika rasio tersebut tidak sama. Rasio input dari hasil seseorang individu
dapat lebih besar, atau kurang dari milik orang lain. Gambar berikut
mengilustrasikan teori keadilan dan motivasi.

Orang OP ORP
Membandingk tersebut (P)
Seseroang (P) an rasio input ---- = -------- (adil)
kemudian Memp
dan output melihat
Dengan input ersepsi IP IRP
dirinya dengan input (I) dan
tertentu (I) kan
orang lain yang hasil (O)
danmenerima atau
dijadikan orang yang
hasil tertentu
referensi dijadikan OP ORP
referensi
---- < -------- (tdk adil)

Keterangan: IP IRP
IP = input orang tersebut
atau
OP = hasil orang tersebut
IRP = Input orang yang menjadi referensi OP ORP
ORP = hasil orang yang menjadi referensi
---- > -------- (tdk adil)

IP IRP
Gambar 2.9
Teori Keadilan dari Motivasi
Sumber Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, (2007:159; Suryaman, 2012)

118
Memahami Ilmu Sosial

c. Teori Goal-Setting dari Locke.


Suatu tujuan merupakan hasil yang dicapai oleh orang, tim, atau
kelompok melalui perilaku dan tindakan. Locke menyatakan bahwa penerapan
tujuan merupakan proses kognitif dari beberapa utilitas praktis. Pandangannya
adalah bahwa keinginan dan tujuan individu merupakan determinan perilaku
yang utama. Perilaku tersebut cenderung terus dilakukan hingga mencapai
penyelesaian. Ketika seseorang memulai sesuatu dia akan terus melakukan
hingga suatu tujuan tercapai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar
berikut.

KARAKTERISTIK KINERJA PENGHARGAAN


TUJUAN
- Diinginkan oleh - Disukai oleh
- Kejelasan MODERATOR organisasi individu atau tim

- Kemampuan

- Komitmen

Gambar 2.10
Penerapan Penetapan Tujuan dalam Organisasi
Sumber Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, (2007:162; Busro, 2012)

D. Dimensi Teori Motivasi

Berikut diberikan contoh membuat dimensi dan indikator dari dua teori.
Pertama, bila mengacu pada Teori motivasi McClelland, maka motivasi
memiliki dimensi:
1. Kebutuhan untuk berprestasi yang mencakup indikator upaya untuk
berprestasi baik, upaya untuk tidak ketinggalan oleh yang lain, upaya
mengembangkan diri, upaya untuk mendapatkan pengakuan dari hasil
kerja, semangat untuk mendapatkan informasi terkini.
2. Kebutuhan untuk berafiliasi memiliki indikator kemampuan menghadapi

119
Memahami Ilmu Sosial

kesulitan, semangat untuk berafiliasi dengan lingkungannya, semangat


untuk dapat bekerjasama, semangat mematuhi segala aturan yang ada,
semangat untuk disiplin pada waktu, dan usaha untuk menjaga
persahabatan dengan teman sekerja.
3. Kebutuhan untuk kekuasaan mencakup indikator selalu menghormati
pimpinan, berusaha agar dirinya dihargai, upaya untuk tidak diremehkan,
kehadiran sangat diperlukan orang lain, dan berusaha untuk selalu menjaga
wibawa.
Kedua, apabila menggunakan teori motivasi Maslow, maka dimensinya
meliputi: 1) kebutuhan fisik, 2) kebutuhan keselamatan, 3) Kebutuhan sosial, 4)
kebutuhan kehormatan, dan 5) kebutuhan aktualisasi diri.

Pertama, indikator dimensi kebutuhan fisik meliputi kebutuhanakan makan,


dan minum, pakaian, serta tempat tinggal.

Kedua, indikator kebutuhan keselamatan meliputi kebutuhan akan perlindugan


dari ancaman dan pertentangan.

Ketiga, indikator kebutuhan sosial meliputi persahabatan, afiliasi, serta


berinteraksi dengan orang lain

Keempat, indikator kebutuhan akan kehormatan meliputi kebutuhan untuk


dihormati dan dihargai oleh orang lain.

Kelima, indikator kebutuhan aktualisasi diri meliputi kebutuhan untuk


memanfaatkan kemampuan, keterampilan, dan potensi yang dimiliki (Busro,
2012).

120
Memahami Ilmu Sosial

Bab 7

KOMITMEN SOSIAL
Suatu Tinjauan dari Perspektif Kepemimpinan dan Politik

A. Realitas yang Ada

Seorang pemimpin ddalam organisasi sosial kemasyarakatan atau dalam


organisasi partai politik disyaratkan mempunyai komitmen yang tinggi dalam
mengembangkan partai.
Pendapat umum selama ini yang berkembang di masyarakat bahwa,
ketika organisasi atau partai politik masih kecil, tidak banyak orang yang
melirik, bahkan untuk mengembankannya pun banyak yang tidak mau, apalagi
bergabung menjadi anggota, pengurus, simpatisan, atau yang lainnya. Tetapi
begitu, organisasi/partai politik sudah besar, semua orang berebut untuk
menjadi pengurus.
Dalam kontek ini, membesarkan organisasi/partai tidak mau, tetapi
setelah partai itu besar, tidak mau pergi dari organisasi/partai politik. Tujuan
tinggal atau menjadi anggota organisasi/partai politik adalah mencari uang
bukan bertujuan membesarkan partai.

B. Konsep Komitmen

121
Memahami Ilmu Sosial

Banyak orang menyingkat kata komitmen menjadi kata komit yang


berarti konsekuen terhadap apa yang dijanjikan, dikerjakan, atau terhadap cita-
cita yang sudah ditetapkan. Dalam pengertian politik, komitmen terhadap
partai politik dipahami sebagai komitmen terhadap tujuan yang telah
ditetapkan oleh partai politik, baik dalam bentuk visi, misi maupun tujuan
secara riil. Dengan kata lain, komitmen partai politik lebih mengarah pada
komitmen untuk berusaha keras mencapai tujuan institusi dan tujuan partai
politik . Komitmen partai politik merefleksikan loyalitas anggota partai politik
pada lembaga dalam rangka mencapai tujuan partai politik . Hal ini sesuai
dengan pendapat Colarelli dan Bishop (1990, dalam Riveros dan Tsai, 2011)
menjelaskan bahwa, “Organization commitment suggests commitment to an
institution and organizational goals. Jadi, komitmen partai politik dipahami
sebagai komitmen terhadap tujuan institusi dan partai politik .
Dengan kata lain, komitmen terhadap partai politik lebih mengarah
pada:
komitmen untuk berusaha keras mencapai tujuan partai politik.
Komitmen sebagai bentuk loyalitas anggota pada partai politik dalam rangka
mencapai tujuan partai politik.
Menurut Meyer dan Allen (2001: 64) banyak ahli menggunakan
terminologi komitmen untuk menjelaskan orientasi sikap/afeksi pada partai
politik . Meyer dan Allen, (2001: 64) dalam mengambil pendapat Kanter (1968)
tentang kohesi komitmen menjelaskan bahwa komitmen merupakan bangunan
keterkaitan secara sikap dan emosi individu pada kelompoknya. Meyer dan
Allen (2001: 64) juga mengambil pendapat Buchanan (1974) menjelaskan
bahwa komitment sebagai partisipan, keterkaitan afeksi pada tujuan dan nilai-
nilai partai politik demi keuntungan (sake) mereka.
Apabila hal itu dikaitkan dengan partai politik, komitmen partai politik
onal anggota terhadap partai politik merupakan tingkat di mana individu
memihak dan ingin secara kontinyu berpartisipasi aktif dalam partai politik,
yang tercermin melalui :

122
Memahami Ilmu Sosial

karakteristik adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas nilai dan tujuan
partai politik; adanya kesediaan untuk mengusahakan yang terbaik bagi partai
politik; dan adanya keinginan yang pasti untuk bertahan dalam partai politik.
Sementara itu, Meyer dan Allen (2001:64) dalam mengambil pendapat
Mowday et.al (1979:226) berpendapat bahwa komitment sebagai kekuatan
relatif pada diri individu dalam mengidentifikasi dan melibatkan diri pada
partai politik .
Sementara itu menurut Becker (1960, dalam Meyer dan Allen, 2001:64)
berpendapat bahwa komitmen sebagai bentuk tindakan secara kontinyu dan
konsisten pada garis aktivitas yang telah ditentukan oleh partai politik . Hal-hal
yang dipertaruhkan (side-bets) seperti tunjangan hari tua dan senioritas akan
hilang manakala tidak ada komitmen.
Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan partai politik, amaka
keberlanjutan komitmen terhadap partai politik sangat ditentukan pada:
besarnya keuntungan bila terus menjadi bagian dari anggota partai politik, dan
biaya/kerugian bila meninggalkan partai politik.
Berkaitan dengan moral, komitmen sebagai bentuk totalitas keyakinan
normatif untuk melakukan aksi di mana ada titik temu antara tujuan partai
politik dan interest, dan individu memutuskan untuk berperilaku karena
mereka percaya bahwa partai politik benar-benar sesuai dengan nilai-nilai,
moral, kaidah, dan aturan yang berlaku.
Wieneer (1982, dalam Meyer dan Allen, 2001:66) mendefinisikan
komitmen sebagai bentuk totalitas keyakinan normatif untuk melakukan aksi di
mana ada titik temu antara tujuan partai politik dan interest, dan individu
memutuskan untuk berperilaku karena mereka percaya bahwa hal itu benar
dan sesuai dengan moral.
Berdasarkan beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa
komitmen terhadap partai politik merupakan perwujudan dari kerelaan
seseorang dalam bentuk pengikatan diri dengan diri sendiri (individu) dan
dengan partai politik yang digambarkan oleh besarnya usaha (tenaga, waktu,
dan pikiran) untuk mencapai tujuan pribadi dan visi partai politik.

123
Memahami Ilmu Sosial

C. Kalkulasi Untung Rugi dalam Teori Komitmen

Banyak anggota partai politik yang ingin sekali bertahan dalam


kepartaian, manakala ia mendapatkan keuntungan dari partai itu, ketika
mereka tidak lagi mendapat keuntungan baik financial maupun nonfinancial,
maka ia akan keluar dengan sendirinya.
Dalam hal ini, kalkulasi untung rugi dapat digunakan untuk menjelaskan
komitment berdasarkan pada kerugian dan keuntungan menjadi anggota partai
politik. Oleh karena itu, beberapa ahli seperti Etzioni, (1975, dalam Meyer dan
Allen, 2001:65) berpendapat bahwa komitment sangat berhubungan dengan
peluang apakah pekerja akan meninggalkan atau tetap tinggal menjadi anggota
partai politik .
Banyak orang yang hanya mendapat keuntungan nonfinansial, khusunya
untuk pemipimpin-pemimpinnya, tetapi mayoritas orang ingin mendapatkan
keuntungan financial. Mereka yang tidak membutuhkan keuntungan financial,
tentu membutuhkan keuntungan financial, karena kebutuhan financial mereka
sudah tercukupi, tinggal kebutuhan mendapatkan pengakuan dari orang lain,
kekuasan, dan aktualisasi diri. Coba baca kembali kebutuhan menurut Maslow,
khususnya kebutuhan yang ketiga, keempat, dan kelima.

D. Komitmen dan Kinerja Anggota/Pengurus Partai Politik

Komitmen terhadap partai politik berhubungan sangat erat dengan


kinerja anggota, semakin tinggi komitmen mereka, semakin tinggi pula
sumbangannya terhadap partai. Khan et.al. (2010) berpendapat bahwa
komitmen partai politik berhubungan sangat erat dengan kinerja karyawan.
Menurut Khan (2010:293), komitmen partai politik merupakan
komponen yang paling penting untuk meningkatkan kinerja partai politik.
Termasuk pada partai politik komitmen kepada patai merupakan komponen
yang paling penting dalam meningkatkan kinerja partai politik. Pada sebagian
besar partai politik yang tingkat stresnya tinggi, termasuk partai politik, akan
berakibat pada rendahnya kepuasan dan rendahnya produktivitas kerja serta
rendahnya komitmen kepada partai politik. Sebaliknya, pada partai politik yang

124
Memahami Ilmu Sosial

tingkat komunikasi interpersonalnya tinggi, akan meningkatkan komitment


anggota kepada partai politik yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja
partai itu sendiri.
Rose Kumar dan Pak (2009) dalam penelitiannya terhadap 435 pegawai
diplomatik menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
komitmen pegawai terhadap kinerja karyawan Hasil penelitian Testa (2001,
dalam Rose Kumar dan Pak, 2009) juga menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara komitmen organisasi dan kinerja pegawai.
Dalam kaitannya dengan paartai politik, tentu terdapat juga hubungan
yang signifikan antara komitmen anggota terhadap kinerja di partai politik.
Efektivitas komitmen anggota terhadap partai politik dan kinerja anggota
adalah berhubungan positip. Dengan kata lain, tentu ada hubungan antara
komitmen anggota partai politik terhadap kinerja partai.
Individu-individu sebagai anggota dan pengurus partai politik akan
bekerja keras meningkatkan perannya masing-masing, dan pada diri mereka
juga akan tumbuh komitmen untuk membesarkan partai. Sementara itu,
simpatisan partai politik akan menunggu janji politik yang telah disampaikan
kepada masyarakat. Ketika janji-janji itu ditepati, tentu komitmen simpatisan
akan semakin besar, dan sebaliknya. Manakala janji-janji partai politik
tidakditepati, tentu komitmen simpatisan akan semakin mengecil, dan akhirnya
tidak percaya lagi kepada partai politik.
Hasil penelitian telah banyak membuktikan, bahwa ketika partai hanya
mampu memberikan janji kosong, laksana pepesan kosong, tentu komitmen
para simpatisan yang dahulu memilih wakil partai itu untuk duduk di parlemen
menjadi tidak percaya lagi, atau tidak simpatik lagi. Pada pemilihan berikutnya,
tentu pilihan politik tidak akan diberikan kepada partai yang melakukan
kebohongan publik tersebut.
Banyak juga hasil penelitian yang menemukan bahwa komitmen
terhadap partai politik tidak ada kaitannya dengan umur, jenis kelamin, status
pekerja, tempat tinggal, dan variabel lainnya. Komitmen terhadap partai politik
sangat ditentukan oleh keseriusan partai dalam mememenuhi janji-janji politik,
memenuhi kebutuhan masyarakat, memenuhi kepentingan umum.

125
Memahami Ilmu Sosial

Komitmen terhadap partai politik juga sangat dipengaruhi oleh


kelancaran komunikasi antara partai politik dengan kader dan simpatisannya.
Oleh karena itu, partai politik hendaknya selalu meningkatkan proses dan
saluran komunikasi. Budaya yang berkembang di partai politik juga
mempengaruhi komitmen pengurus partai politik.

E. Kompenen Komitmen

Komitmen terhadap partai politik mempunyai tiga komponen yaitu:


identification (keyakinan yang kuat dalam menerima tujuan dan nilai-nilai
partai politik ), involvement (keinginan yang kuat untuk berusaha secara
sungguh-sungguh untuk kepentingan partai politik, dan loyalty (hasrat yang
kuat untuk selalu menjadi anggota partai politik).
Komitmen kepada partai politik harus dianalisis dari tiga hal, yaitu
affective, continuance, dan normative. Komitmen terhadap partai politik terdiri
dari tiga komponen, yaitu: (a) afektif (affective), (b) kontinyu (continuance), dan
(c) normatif (normative).
Komponen afektif dari variabel komitmen terhadap partai politik
disusun dengan model yang merujuk pada keterkaitan emosi simpatisan,
identifikasi dengan lainnya, dan keterlibatan dalam partai politik.
Komponen kontinyu, merujuk pada komitmen berdasarkan pada
kerugian bila keluar meninggalkan partai politik.
Komponen normatif merujuk pada perasaan simpatisan pada kewajiban
(obligation) untuk tetap mendukung partai politik.
Komitmen terhadap partai politik muncul manakala simpatisan merasa
puas dengan kinerja partai politik. Saluran penyampaian aspirasi yang lancar
menunjukkan tingginya komitmen partai politik untuk memenuhi seluruh janji-
janji politiknya.
Perilaku seseorang terhadap partai politik dipengaruhi oleh perilaku
partai politik itu sendiri dalam memperhatikan kepentingan pendukungnya.
Komitmen terhadap partai politik sebagai sebuah mind set, atau posisi
psikologis seseorang, seperti filing dan atau kepercayaan yang berhubungan

126
Memahami Ilmu Sosial

dengan partai politik. Untuk alasan pengembangan model komitmen terhadap


partai politik perlu argumentasi bahwa kebutuhan psikologis tidak dibatasi
(restricted) pada kesesuaian nilai dan tujuan sebagaimana dijelaskan dilakukan
oleh pendukung partai politik. Kebutuhan psikologis tidak bisa merujuk pada
hasrat (desire), kebutuhan, dan atau kewajiban untuk menjaga konsistensi
keanggotaan dalam partai politik.
Dengan kata lain, komitmen berkaitan dengan kerelaan untuk bekerja
keras dan memberikan energi serta waktu untuk sebuah pekerjaan atau
aktivitas di lingkungan partai politik. Jadi, komitmen merupakan suatu sikap
kerja atau keyakinan yang mencerminkan kekuatan relatif dari keberpihakan
dan keterlibatan individu pada partai politik.
Hal ini penting untuk dijelaskan karena sebagaimana telah
dikembangkan konsep komitmen yang meliputi hasrat, kebutuhan, dan
tanggung jawab untuk tetap tinggal (remain) dalam partai politik, sehingga
tidak seperti pendekatan psikologi tradisional yang telah gagal dalam
mendefinisikan sikap terhadap partai politik.
Akhirnya Meyer dan Allen (2001) menggunakan terminologi komitmen
untuk menjelaskan posisi psikologis (dengan melakukan berbagai modifikasi
yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi posisi psikologis yang asli) dan
menggunakan terminologi komitmen perilaku untuk merujuk komitmen
sebagai perilaku secara terus menerus (persistence).
Perspektif sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan komitmen
terhadap partai politik telah dijelaskan oleh Mowday et.al (1982, dalam Meyer
dan Allen, 2001). Komitmen sikap lebih fokus pada proses di mana orang-orang
datang untuk berfikir tentang hubungannya dengan partai politik. Dalam
beberapa hal, perspektif sikap dan perilaku dapat dipahami sebagai cara
pandang (mind set) di mana orang-orang menganggap (consider) sebagai
bentuk perluasan terhadap nilai dan tujuan mereka yang sesuai dengan partai
politik.
Dalam menjelaskan pendekatan sikap, penelitian diarahkan pada
perluasan identifikasi kondisi awal (antecedent) yang berkontribusi pada
pengembangan komitment dan konsekuensi perilaku terhadap komitmen.

127
Memahami Ilmu Sosial

Dalam pendekatan perilaku, penelitian terutama diarahkan pada


identifikasi berbagai kondisi yang bisa mempengaruhi perubahan perilaku.
Selanjutnya Meyer dan Allen (2001:64) mengambangkan framework tiga
komponen komitmen partai politik yaitu affective, continuance, and
normative, yang digambarkan secara rinci sebagai berikut.
Gambar di atas menjelaskan bahwa ada tiga komponen komitment
partai politik yaitu afektif, kontinyu dan normatif. Komponen afektif terdiri
dari: karakteristik personal, karakteristik struktur partai politik, karakteristik
hubungan kerja, dan pengalaman kerja.
Komponen kontinyu berkaitan dengan keuntungan bila seseorang
tetap tinggal sebagai anggota partai politik dan kerugian bila ia meninggalkan
partai politik. Komponen normatif meliputi sosialisasi (budaya, keakraban
antaranggota) dan investasi di dalam partai politik.
Secara terperinci penjelasan ketiga dimensi komitmen partai politik onal
tersebut sebagai berikut.

Komponen Afektif
Dimensi afektif adalah sikap keyakinan yang kuat dari individu terhadap
partai politik, menerima tujuan-tujuan partai politik, kerelaan menggunakan
upaya (effort) untuk kepentingan partai politik dan keinginan yang kuat
untuk memelihara keanggotaan di dalam partai politik. Komitmen afektif
mengimplikasikan ikatan yang kuat di antara individu yang terikat dalam
keanggotaan partai politik berdasarkan pada: (1) kepercayaan yang kuat dan
menerima nilai dan tujuan partai politik, (2) kerelaan menggunakan upaya
demi kepentingan partai politik, dan (3) keinginan yang kuat untuk menjaga
keanggotaan dalam partai politik.
Komitmen afektif adalah tingkat individu terikat secara psikologi
terhadap partai politik melalui perasaan, seperti loyalitas, kasih sayang, dan
memiliki. Komitmen afektif sebagai perasaan cinta terhadap partai politik,
termasuk mendukung bagi tujuan dan aktivitas partai politik.

128
Memahami Ilmu Sosial

Berdasarkan beberapa konsep para pakar di atas, dapat disimpulkan


bahwa komitmen afektif merupakan perasaan dan sikap loyal pekerja terhadap
partai politik yang ditunjukkan melalui kecintaan emosional, keberpihakan
pada tujuan partai politik, dan kerelaan dari anggota dan simpatisan partai
politik untuk menyediakan pikiran, waktu, biaya, dan tenaganya dengan
leluasa.

Komponen Kontinyu
Komponen kontinyu merupakan perasaan cinta pada partai politik
karena anggota dan simpatisan dapat menghargai besarnya biaya yang
dikorbankan seandainya ia meninggalkan partai politik. Komponen kontinyu
merupakan perasaan cinta terhadap partai politik karena investasi yang
dirasakan tidak akan merugikan, baik secara psikologi maupun ekonomi
dapat menguntungkan jika dibandingkan dengan biaya yang dirasakan untuk
keluar dari partai politik atau berpindah ke partai politik yang lain. Komponen
kontinyu menggambarkan suatu perspektif yang bermanfaat berdasarkan
pertukaran pada partai politik dengan asumsi bahwa individu melakukan
investasi pada partai politik dengan mempertaruhkan sesuatu yang
menurutnya bernilai.
Hal ini menunjukkan bahwa komponen kontinyu berhubungan dengan
biaya-biaya bila anggota, pengurus, dan simpatisan berkenan meninggalkan
partai politik. Oleh karena itu, komponen kontinyu sangat penting untuk retensi
modal intelektual.

Komponen Normatif
Komponen normatif merupakan refleksi dari perasaan wajib pekerja
untuk tinggal dengan partai politik. Kewajiban ini terhimpun melalui
keberpihakannya pada nilai dan budaya yang dikembangkan oleh partai politik.
Komponen pada tahap normatif ini berhubungan dengan elemen modal
struktural, yaitu kedudukan struktural pada organisasi partai politik. Komponen
normatif termasuk komponen moral karena berhubungan dengan rasa
kewajiban dan tanggung jawab pengurus untuk tinggal dalam partai politik.
Aspek normatif ini mengindikasikan bahwa pengurus partai politik akan

129
Memahami Ilmu Sosial

menunjukkan perilaku tertentu karena mereka percaya hal ini merupakan


suatu hak dan kewajiban moral untuk dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, komitmen terhadap partai politik memiliki
dimensi komitmen afektif (affective commitment), (b) komitmen kontinu
(continuance commitment), dan (c) komitmen normatif (normative
commitment). Dengan cirri-ciri : kepercayaan yang kuat dan menerima nilai
dan tujuan partai politik, loyalitas terhadap partai politik, kerelaan demi
kepentingan partai politik, keinginan yang kuat untuk menjaga keanggotaan
dalam partai politik dan memperhitungkan keuntungan untuk tetap bekerja
dalam partai politik, memperhitungkan kerugian jika meninggalkan partai
politik, serta kemauan bertanggung jawab memajukan partai politik.

130
Memahami Ilmu Sosial

Bab 8

DRAMATURGI
Suatu Tinjauan dari Perspektif Kepemipinan
dan Politik

A. Pendahuluan

Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul The Presentational of Self


in Everyday Life, memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan
teateris. Dalam arti, ada panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan lebih diartikan sebagai tampakan luar yang mesti dilihat
oleh semua orang. Sementara panggung belakang hanya dapat diketahui oleh
para pemainnya saja.
Dalam memahami teori ini, pembaca hendaknya membayangkan saat
menyaksikan pertunjukan, di mana di atas panggung yang sedang disaksikan
sebenarnya ada panggung lain di belakang layar yang tidak tampak oleh
penonton, tetapi mempunyai peran yang sangat besar bagi keberhasilan
pertunjukan.
Seorang dokter saat melakukan diagnose atau penanganan pasien, ia
berarti berarti berada di panggung depan. Ia terlihat sangat berwibawa di
hadapan perawat, dan peratpun sangat menurut terhadap ada yang

131
Memahami Ilmu Sosial

diperintahkan oleh dokter. Pada saat kegiatan penanganan terhadap pasien,


atau operasi sudah selesai, si pasien pulang atau dipindah ke ruang perawatan,
maka sang dokter kembali masuk panggung belakang. Ia bisa saja bergurau
dengan perawat, melepaskan baju operasi, melepaskan jas putih, melelepas
sarung tangan atau masker. Pada saat di panggung belakang ini lah, tidak
semua orang bisa mengetahui, jati diri yang sesungguhnya.
Dalam kehidupan rumah tangga, misalnya saja suami istri sedang
bertengkar tentang masalah rumah tangga. Dalam kondisi seperti ini, mereka
berada pada panggung belakang. Begitu ada tamu, yang datang mendadak dan
mengucapkan salam, maka mereka berdua bergegas menemui tamu. Pada saat
menemui tamu, mereka terlihat mendadak menjadi akrab, mesra, dan bahagia.
Pada saat ini, mereka berada pada panggung depan. Begitu tamunya pulang,
mereka kembali masuk panggung belakang, bisa jadi mereka akan kembali
bertengkar.
Dalam perspektif tata kota, panggung depan adalah jalur utama kota
antara bandara menuju pusat kota dan berbagai jalan utama lain yang semua
orang melewati jalan itu. Termasuk seluruh kantor pemerintahan, tempat
wisata, dan tempat-tempat vital lainnya.
Jalur ini semua orang akan melihat, termasuk para penanam modal,
tamu asing, para wisatawan, akan melihat panggung depan. Sehingga setiap
pemimpin kota akan selalu menata panggung depan terlebih dahulu, karena
pihak-pihak dari dalam maupun dari luar akan menikmati panggung depan itu.
Ketika panggung depan terlihat bagus, rapih, tertata dengan indah, maka para
wisatawan akan terkesan dalam melakukan kunjungan dan akan berkunjung
kembali ke kota tersebut. Penanam modal pun akan tertarik untuk
menginvestasikan modalnya di kota tersebut.
Sementara panggung belakang adalah, jalur-jalur yang penting, karena
tidak ada pihak yang melihat. Akibatnya, pemerintah dan pimpinan pun tidak
peduli begitu peduli, bahkan seandainya peduli pun hanya sebatas kepentingan
politik sesaat.

132
Memahami Ilmu Sosial

Para tokoh politik lebih senang membangun panggung depan dari pada
panggung belakang. Dengan panggung depan yang bagus diharapkan orang
lain, akan memberikan penilaian yang bagus kepada pemimpin tersebut.
Panggung belakang biasanya dipenuhi oleh kantong-kantong
perkampungan kumuh, rumah liar, pedagang illegal/tanpa ijin, dan sebagainya.
Lingkungannya ditandai suatu keadaan yang tidak tertata, semrawut, kotor,
kumuh, dipenuhi masyarakat kelompok bawah, sehingga yang muncul pada
saat ada pandangan pertama adalah kemiskinan dan kekumuhan.
Ketika ada subyek atau pihak yang seharusnya berada pada panggung
belakang, akan tetapi ia ingin menempati panggung utama, seperti seorang
pedagang kaki lima yang ingin menempati jalur utama, sudah dapat dipastikan,
akan berhadapan dengan negara. Mereka akan digusur, diusir, atau disita
barang dagangannya, atau diangkut truk barang dagangannya oleh petugas
Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ke tempat penampungan yang berada di
tempat tersembunyi, sehingga tidak mengganggu pemandangan. Seandainya
mereka di tata, maka akan direlokasi ke tempat yang paling sepi, jauh dari
konsumen. Akibatnya, dagangan mereka tidak laku dan mereka kembali lagi ke
panggung depan, meskipun harus bersembunyi-sembunyi, mencuri
kesempatan, menghindari penertiban, menyogok petugas, membuat asosiasi
untuk menghadapi penggusuran, dan sebagainya.
Banyak sekali sekolah, rumah sakit, kantor pemerintah, di mana
panggung depannya sangat bersih, tertata rapih, dan tidak ada satu pun
sampah yang berserakan. Akan tetapi di panggung belakang, kamar mandinya
sangat kotor, berbau tidak sedap, gayung dan bak mandinya berlumut, airnya
tidak mengalir, gotnya penuh jentik, bak sampahnya menumpuk, halaman
belakangnya penuh rumput, lorongnya penuh barang rusak, gudangnya penuh
barang tidak terpakai, dan pemandangan tidak sedap lainnya.
Banyak juga perusahaan yang panggung depannya sangat indah,
penampilan kantornya sangat megah, tamannya sangat rapih, spanduk nya
sangat meyakinkan, website nya sangat bagus, iklannya juga sangat bagus, akan
tetapi manajemen internalnya sangat buruk, terutama dalam menggaji
pegawai, sangat rendah, memberikan tunjangan atau insentif yang kurang

133
Memahami Ilmu Sosial

manusiawi. Bahkan, perusahaan itu juga tidak memberikan tunjangan


kesehatan, asuransi jiwa, atau tunjangan hari tua.

B. Konsep Dramaturgi

Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini berada di


antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi.
Dramaturgi berkaitan dengan teori interaksi simbolik, karena saat subyek
berada pada panggung depan, ia akan memerankan berbagai peran yang
semuanya tidak lepas dari simbol-simbol sebagai penguat percakapan maupun
pembicaraan mereka baik yang verbal maupun nonverbal. Dengan variasi
simbol yang digunakan, pemeran yang berada pada panggung depan akan
lebih meyakinkan, lebih bisa diterima oleh masyarakat sebagai penontonnya.
Dramaturgi berkaitan dengan teori fenomenologi, karena dalam
menjalankan perannya, para subyek atau pelaku khususnya saat berada pada
panggung depan, akan membawakan watak atau perilaku seolah-olah ia
memerankan kehidupan sehari-hari yang biasa ia lakukan.
Bahkan dalam memerankan kehidupan sehari-hari, para subyeknya pun
sering menggunakan tiga pendekatan obyektiasi, internasilasi, dan
eksternalisasi, sebagaimana dicirikan oleh fenomenologi. Obyektivasi
dilakukan oleh subyek yang memerankan panggung depan dengan melihat,
mengamati, atau mencermati berbagai fenomena yang terjadi di lapangan atau
kehidupan sosial.
Selanjutnya hasil obyektivasi dimasukkan dalam pikiran dan
perasaannya, sebagai proses internalisasi, sehingga bisa diresapi untuk
digabungkan dengan berbagai pengalaman yang sudah terlebih dahulu
diinternalisasikan. Melalui berbagai kegiatan internalisasi yang berulang-ulang
tersebut, terbangun suatu pemahaman baru hingga bisa ditampilkan dalam
panggung depan.
Proses menampilkan di panggung depan mengenai berbagai hasil
pemahaman atas realitas kehidupan sehari-hari yang telah terinternasilkan

134
Memahami Ilmu Sosial

disebut sebagai proses eksternalisasi. Dengan kata lain, internalisasi sebagai


proses menampilkan berbagai hal yang ada dalam hati dan pikiran sebagai
sebuah tampilan bagus di atas panggung depan.
Dalam konsep dramaturgi, Goffman memfokuskan pada ungkapan-
ungkapan yang tersirat, yakni suatu ungkapan yang lebih bersifat teateris,
kontekstual, nonverbal, dan tidak bersifat intensional. Konsep teateris sudah
dijelaskan di atas. Konsep kontekstual terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Konsep nonverbal bersifat simbolik. Konsep tidak bersifat intensional, lebih
diartikan sebagai suatu yang tidak terjadi terus menerus, akan tetapi selalu
berubah, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dalam analisis ini, orang akan berusaha memahami makna untuk
mendapatkan kesan dari berbagai tindakan orang lain, baik yang dipancarkan
dari mimik wajah, isyarat, maupun kualitas tindakan. Semua itu menurut
Goffman mempunyai keakuratan yang lebih dibandingkan dengan ungkapan
verbal. Lihat saja, orang yang marah hanya dengan menampakkan muka
marah, jauh lebih menakutkan dari pada marah dengan suara, karena orang
yang dimarahi hanya dengan tampilan muka, tidak mengetahui tindakan apa
yang telah salah dilakukan. Sementara itu, kalau marah dengan kalimat, sudah
jelas, kesalahan yang telah dilakukan, sehingga pihak yang dimarahi bisa minta
maaf atau memperbaiki diri.
Apalagi kalau marah hanya dengan tampilan muka marah, dan isyarat
agar keluar dari ruangan, maka bawahan atau karyawan yang terkena marah
akan langsung kabur dari ruangan atasan, dan bahkan pamitan keluar dari
kantor, karena tidak tahan selalu dihadapkan muka pimpinan yang marah,
sementara ia sendiri tidak mengetahui kesalahannya.
Menurut Goffman, perilaku orang dalam interaksi sosial selalu
melakukan permainan informasi agar orang lain mempunyai kesan yang lebih
baik. Kesan nonverbal inilah yang menurut Goffman harus dicek keasliannya.
Dalam hal ini, masyarakat Jawa, sebagai ahlinya. Orang yang suka bosa-basi,
ewuh-pekewuh, sungkan, sulit berterus terang, dan tidak tegaan, merupakan
tampilan panggung depan yang masih perlu dicek ulang keasliannya,
kesungguhannya, atau kebenarannya.

135
Memahami Ilmu Sosial

Kesan yang muncul seketika ketika orang melakukan interaksi sosial


merupakan pengaruh teori fungsionalisme struktural. Dengan kata lain, teori
dramaturgi selain dipengaruhi oleh teori interaksi simbolik dan fenomenologi
juga dipengaruhi oleh teori fungsionalisme structural.
Dalam arti, panggung depan tidak sama dengan panggung belakang.
Panggung depan yang diutamakan adalah keselarasan, ketenangan, kedamaian,
kedekatan, kerelaan, kemewahan, kebahagiaan, kesopanan, keramahan,
kecintaan, kesenangan, dan lainnya. Sementara yang ada atau terjadi
sesungguhnya, mungkin tidak damai tetapi marah, tidak tenang, tidak damai,
tidak bersahabat, tidak dekat, tidak rela, tidak bersih, tidak mewah, tidak
bahagia, tidak sopan, tidak ramah, tidak cinta, dan tidak senang.
Oleh karena itu, orang harus pengendalian kesan ketika berinteraksi
(encounter), dan berhubungan tatap muka dalam kelompok sosial yang tidak
abadi seperti di jalan, di sekolah, di tempat kerja, di kendaraan umum, di
tempat umum, di rumah sakit, di warung, di supermarket, di pelabuhan, di
perusahaan, di sawah, di kebon, di lading, di kapal, di pesawat, di dan
sebaginya.

C. Interpretasi atas Panggung Depan dan Belakang

Salah satu karya terkenal dari Goffman adalah membangun teori Type
Humanistis Interpretatif yakni teori dramaturgi. Interpretasi yang dibangun
harus berdasarkan realitas di panggung dan realitas sesungguhnya yang besar
kemungkinan berbeda. Aspek yang ada di panggung depan jauh lebih baik
dibandingkan apa yang ada di panggung belakang. Jarang sekali panggung
belakang justru lebih baik dari pada panggung depan.
Melihat hal ini, untuk mengecek apakahpanggung belakang baik atau
tidak, sering tamu langsung berkunjung ke kamar mandi kantor, sekolah, atau
rumah tangga, sehingga di sana semuanya tergambar, apakah keindahan,
kebaikan, dan kerapihan panggung depan sejalan dengan realitas seadanya.
Goffman mencetuskan konsep ini sebagai kritik terhadap model teoritis
dominan di kalangan Sosiolog Amerika saat itu yang sangat mengagungkan
fungsionalisme struktural. Sesuatu yang fungsional di panggung depan, belum
tentu fungsional di panggung belakang. Dalam aliran fungsional struktural,

136
Memahami Ilmu Sosial

langsung percaya bahwa apa yang terjadi secara fungsional pada panggung
depan dimaknai sama dengan realitas yang terjadi pada panggung belakang.
Dalam hal ini, struktur memaksa pelaku memainkan berbagai peran yang
dibutuhkan atau dituntut oleh struktur. Ketika subyek tidak mampu memainkan
berbagai peran yang diharapkan oleh struktur, maka individu tersebut dianggap
tidak mampu menjalankan perannya.
Dramatrugi mencoba mempertanyakan mengapa individu harus
diperlakukan sebagai pelakon yang harus memainkan semua peran yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh struktur. Struktur berusaha memberi tupoksi
(tugas pokok dan fungsi) yang lebih dari satu, bahkan seandainya individu
tersebut mewakili pimpinan dalam suatu acara resmi, terlihat sekali bahwa
individu tersebut akan memainkan dirinya sebagai wakil dari seorang atasan
yang sedang diwakili.
Mengapa peran yang dimainkan oleh individu ketika di panggung depan
berlainan dengan apa yang dimainkan di panggung belakang. Mengapa mesti
harus ada dua panggung dalam kehidupan.
Dalam berhubungan dengan orang lain, orang selalu menginginkan
keadaan yang fungsional. Dengan kondisi seperti itu, memaksa orang orang
memainkan perannya dalam dua panggung yang berbeda, bahkan antagonis.
Gofman dalam menemukan teori didasarkan pada studi perilaku
interaksi face to face yang saling mempengaruhi tindakan manusia satu sama
lain. Dalam perspektif tatap muka, seorang akan berusaha memainkan peran
yang lebih baik di hadapan orang lain, dibandingkan tidak berada di hadapan
orang tersebut.
Dalam pengamatannya, Goffman mengikuti konsep Homans
bahwasannya bukan struktur yang menentukan perilaku individu melainkan
tindakan individu yang membentuk struktur sosial. Kedua pangangannya dapat
dipahami semua. Individu dibentuk oleh lingkungan, lingkungan juga dibentuk
oleh individu. individu dalam berperilaku sosial banyak dipengaruhi oleh
struktur karena dipaksa oleh struktur. Sebaliknya, struktur akan di bentuk oleh
individu yang selalu membuat peraturan, petunjuk teknis, tuntunan, tata tertib,
dan berbagai panduan yang diakui bersama sehingga membentuk strutur.

137
Memahami Ilmu Sosial

Dalam membangun teorinya, Goffman banyak dipengaruhi oleh Homans


yang menempatkan individu (studi perilaku manusia) sebagai dasar, namun
mempunyai perbedaan dalam mengembangkan model sosiologinya. Homans
menggunakan teori ekonomi dan psikologi perilaku (seperti dalam Teori
Pertukaran-Perilaku), sedangkan Goffman untuk menjelaskan tindakan manusia
memakai analogi drama dan teater.
Karya Goffman selain The Presentation of Self in Everyday Life yaitu
Encounters Two Studies Interaction, Asylums, Strategic Interaction1, dan Mental
Symptoms and Public Order2.
Erving Goffman, Asylums (Garden City, N.Y.: Doubleday Anchor Books,
1961) dalam buku ini Goffman mengarahkan dirinya pada prinsip prinsip: (1)
setiap perspektif ditentukan oleh cara pandang terhadap masyarakat dan juga
nilai serta kepentingan pengamatnya, (2) kepentingan cenderung lebih
menggabungkan dirinya pada beberapa kelompok daripada kelompok lainnya,
(3) semakin sadar seseorang terhadap kepentingan kelompok, maka semakin
sadar pula ia akan membela kepentingan kelompoknya.
Dalam hal ini Goffman menjelaskan beberapa konsep teoritis tentang
interaksi antarindividu. Dalam situasi sosial, individu dapat menyajikan
serentetan tindakannya di arena pertunjukan. Dalam kegiatan interaksi
tersebut terdapat partisipan dan pengamat di mana seluruh kegiatan partisipan
disebut penampilan (performance)

D. Makna Tindakan di Panggung Depan dan Belakang

Menurut Goffman penampilan individu menempati dua bidang yaitu


panggung depan (front region) dan panggung belakang (back stage). Panggung
depan merupakan bagian pertunjukan dari penampilan (appearance) dan gaya
(manner) yang dilengkapi dengan setting yang mendukung. Appearance adalah
stimuli yang memberitahukan status sosial si pelaku, sedangkan manner adalah

1
Buku ini diterbitkan di Philadelphia oleh University of Pennsylvania Press tahun 1969.
2
Buku ini diterbitkan di Gardens City New York oleh penerbit Doubelday Anchor Books, tahun
1967.

138
Memahami Ilmu Sosial

stimuli yang menggambarkan peranan interaksi yang diharapkan si pelaku. Di


arena panggung depan ini individu akan menunjuk sosok ideal (penampilan
sesuai tuntutan status sosialnya). Sedangkan panggung belakang merupakan
bagian penampilan individu di mana ia dapat menyesuaikan diri dengan situasi
penontonnya.
Goffman menambahkan bahwa kegiatan rutin individu membutuhkan
sejumlah individu lain untuk berkerja sama menampilkan peran/kegiatannya.
Untuk menjaga kelancaran kerjasama tersebut, setiap anggota team harus
percaya tindakan temannya, dan mampu menghentikan pertunjukan jika
terjadi penyimpangan serta memiliki langkah protektif berupa
“kebijaksanaan”.
Bilamana terjadi “krisis” di arena panggung penampilan, maka untuk
menjaga kelangsungan pertunjukan dibutuhkan team yang memiliki atribut
“langkah bertahan oleh si pelaku” dan “langkah pencegahan oleh si penonton”
serta kemampuan si pelaku memotivasi penonton agar mereka mau
mengambil langkah-langkah pencegahan.
Beberapa kasus koruptor yang juga pejabat, pada saat aksi korupsinya
sudah diketahui oleh masyarakat, laksana pada panggung depannya ada suatu
masalah yang harus diatasi oleh para pembelanya. Ia sendiri juga melakukan
pembelaan dengan mengajakan pertemuan pers. Ketika kasusnya masuk
persidangan dan terbukti, maka panggung depannya semakin runyam, dan ia
sendiri harus masuk pada panggung depan yang lain. Dalam hal ini ia berperan
menjadi narapidana. Meskipun di depan kamera para wartawan ia terlihat
sangat tegar, seolah-olah bisa menerima kenyataan, siap mempertanggung-
jawabkan perbuatannya, namun sesungguhnya, pada panggung belakang,
hatinya sudah hancur berkeping-keping, psikologinya mengalami depresi atau
stress yang luar biasa. Keluarganya hancur, karirnya habis, pendapatannya
berhenti, pengeluarannya semakin membengkak karena harus membayar
pengacara handal, kesehatannya menurun, dan aktivitas sosial lainnya menjadi
sangat terbatas.

139
Memahami Ilmu Sosial

E. Dramaturgi Institusional

Teori Dramaturgi Goffman ini disempurnakan dengan hasil penelitian di


dunia sosial penghuni rumah sakit jiwa, dalam bentuk buku yang berjudul
“Asylums”. Buku ini menjelaskan area tempat tinggal dan kerja sejumlah
individu untuk waktu yang cukup lama yang disebut “Institusi Total” dengan
identifikasi 5 kategori yakni institusi untuk merawat dan menampung orang-
orang berikut.
(1) Orang tidak mampu dan dianggap berbahaya (rumah sakit jiwa);
berbahaya karena terkadang banyak orang sakit jiwa yang mengamuk di
panggung depan. Membahayakan karena akan mengurangi dan menurunkan
kualitas sumber daya manusia. Pada aras panggung depan, ketika negara tidak
mampu mengurus orang gila, maka akan banyak orang gila yang berkeliaran di
jalan, di perkampungan, di perkantoran, sehingga sangat mengganggu
pemandangan di panggung depan.
(2) Orang yang mungkin membahayakan masyarakat (tawanan perang,
bukan penjara). Bisa jadi, sewaktu-waktu ia mampu meloloskan diri maka akan
dapat membahayakan orang lain. Panggung depan yang diisi dengan konflik,
sehingga banyak musuh yang harus ditawan, hal ini menyebabkan banyak
masyarakat yang was-was. Tetapi ketika keadaan sudah berdamai, sehingga
tidak ada lagi perang atau tawanan perang, maka panggung depan menjadi
lebih aman, tenteram, dan damai.
(3) Orang yang dianggap tidak mampu dan tidak berbahaya (wisma tuna
netra), mereka ini sebenarnya mempunyai kapasitas yang sangat besar, karena
apabila ia diberi suatu keterampilan tertentu akan digelutinya dengan sepenuh
hati, sehingga pada akhirnya mempunyai keterampilan yang lebih besar
dibandingkan orang normal. Banyak orang buta mempunyai kemampuan
bahasa lebih baik dibandingkan orang yang sehat, ia juga terkadang
mempunyai kemampuan memijit lebih enak dibandingkan orang yang sehat, ia
mempunyai hafalan yang sangat kuat, hatinya mereka juga lebih sensitif dalam
memahami suara orang lain.

140
Memahami Ilmu Sosial

(4) Orang yang melaksanakan tugas khusus (barak tentara), mereka pada
saat berada di panggung depan pada dasarnya mempunyai tugas mulia
sebagai alat negara, yang siap membela negaranya hingga tetes darah yang
penghabisan. Setelah selesai dari barak pun, mereka pun mampu menampilkan
pada panggung depan sebagai orang yang mempunyai tingkat disiplin yang
sangat tinggi dibandingkan orang yang belum pernah masuk barak dalam
waktu yang lama.
(5) Orang yang mengasingkan diri untuk latihan keagamaan. Dalam
panggung depan, setelah ia selesai mengikuti kegiatan itu, ia akan
memperankan diri sebagai seorang yang ahli di bidang keagamaan, lebih ikhlas
membantu orang lain, lebih giat melakukan kegiatan sosial, lebih mudah
mendermakan hartanya di jalan agama, lebih mudah memberi contoh
pengamalan keagamaan kepada orang lain.

F. Dramaturgi dan Otonomi Individu

Dalam essainya yang berjudul Role Distance, yang diterbitkan pada tahun
1961 Goffman memfokuskan pada suatu pernyataan otonomi individu yang
berkaitan dengan peranan yang dia mainkan; yakni ia menggali batasan-
batasan pengertian peranan secara tradisional.
Individu yang otonom laksana sebatang lidi yang bisa berdiri tegak. Ia
mandiri, tidak tergantung orang lain, bebas dalam menentukan sesuatu, tidak
terintervensi orang lain. Ia mampu menentukan mana yang baik dan buruk,
mana yang indah dan tidak indah, mana yang melanggar hukum dan tidak,
mana yang sesuai dengan ajaran agama dan tidak, mana yang sesuai dengan
adat dan tidak, mana yang sesuai moral dan tidak.
Peranan yang dimainkan oleh individu yang otonom merupan tugas
individu yang harus dimainkan manakala ia bekerja dalam suatu kantor,
perusahaan, masyarakat, atau bidang garapan lainnya, yang harus
berpenampilan sesuai dengan perannya. Tidak boleh melawan atau berbeda
dengan apa yang harus diperankan.
Ia bisa menjadi individu yang otonom, manakala atasanya secara
demokratis memberikan keleluasaan dalam mencurahkan ide, pendapat,

141
Memahami Ilmu Sosial

gagasan, dan perasaannya. Ia tidak akan dapat menjadi individu yang otonom
manakala segala sesuatunya diatur oleh atasan.
Atasan yang demokratis, tentu akan memberikan otonomi kepada setiap
individu sepanjang masih berada pada koridor aturan perusahaan. Individu
yang benar-benar otonom yaitu orang yang kerja mandiri, pengusaha,
wiraswasta, wira usaha.
Banyak anak muda yang ingin menjadi benar-benar otonom dengan
menjadi Funky. Ia melepaskan diri dari keluarga dan teman-teman sekolahnya.
Namun, usaha itu gagal, ketika ia menjadi anggota kelompok itu, ia harus
mengikuti berbagai aturan yang telah dibuat oleh kelompoknya. Kebebasan
yang didapat akhirnya hanya semu.
Otonomi individu yang sangat dibatasi misalnya pada diri seorang
tentara. Ia sebagai alat negara harus selau mengikuti satu komando atasan. Ia
harus selalu berpenampilan tegap, selalu tampak gagah pemberani,
mempunyai semapta yang bagus, tahan banting, tidak boleh cepat menyerah,
dan berani menghadapi resiko. Ia harus hormat kepada seorang anak
perempuannya yang kebetulan menjadi komando wanita yang pangkatnya
lebih tinggi. Ia juga harus hormat meskipun dengan anak muda yang
berpangkat lebih tinggi. Dengan anaknya laki-laki nya sendiri pun, kalau
pangkat ayah lebih rendah, dan dalam jam dinas, ia harus hormat kepada
anaknya. Itulah yang harus diperankan ketika dalam pangung depan yang
penuh dengan ketidakotonomian.
Otonomi orang tua di panggung belakang, bisa berlindung pada aturan
norma masyarakat yakni harus dihormati oleh anak muda. Anak harus hormat
pada ayah. Bentuk hormat nya pun, berbeda antara di rumah dan dikantor.
Saat di kantor harus mengangkat tangan dengan posisi tegak, tumit kaki
merapat. Lain lagi cara menghormati orang tua di rumah, tidak harus
mengangkat tangan dengan posisi tegak.
Pelaku peran (pemeran) memulai dengan membedakan antarperanan
yang bersifat khas, yaitu antara aspek peran normatif dengan penampilan
peran aktual individu secara khusus. Kemudian dia mengarah pada apa yang
disebut dengan “sistem-sistem aktivitas yang disituasikan”. Penghormatan

142
Memahami Ilmu Sosial

bendera saat upaya, karena disituasikan, akan berbeda dengan menhormatan


bendera saat di jalan, di kendaraan, atau di depan rumah kita.
Dalam buku Role Distance ini, Goffman menjelaskan bahwa semua
sistem aktivitas yang telah disituasikan itu merujuk pada penampilan satu
aktivitas gabungan yang agak tertutup, kompensasi diri, dan sirkuit penentuan
diri dalam tindakan yang saling bergantung.
Misalnya, saja aktivitas yang disituasikan oleh pengantin di hadapan para
hadirin, misalnya saat upacara adat menginjak telur, istri mencuci kaki suami
yang kotor karena menginjak telur, suami memberi beras kepada isteri, suami
melempar bunga dibalas oleh istri yang juga melempar bunga, dan tindakan
lain dalam upacara adat akan berbeda dengan situasi asli tanpa disituasikan.
Sementara itu, dalam buku Behaviour in Public Place, Goffman
memusatkan perhatian terhadap aturan-aturan perilaku yang secara implisit
mengatur perilaku dalam masyarakat dan beberapa area kelompok. Norma
perilaku di jalan-jalan, di gedung Bioskop pertokoan, lantai dansa, gedung
pertemuan, dan tempat-tempat lainnya dalam masyarakat. Semuanya pada
panggung depan saling berbeda. Tetapi pada panggung belakang sejatinya
sama saja. Di gedung pesta, akan berbeda dengan di tempat arisan, berbeda
pula dengan di tempat kematian.
Panggung depan pada saat berbela sungkawa jauh berbeda dengan
panggung depan saat menghadiri pesta perkawinan. Sama-sama datang
bertamu, tetapi pada saat ada musibah kematian menggunakan baju hitam,
sementara pada saat menghadiri pesta perkawinan mengenakan baju cerah.
Karangan bunya yang dibawa pun berbeda, pada saat menghadiri pesta
bunga-bunganya cerah, bertuliskan ikut berbahagia. Sementara pada saat ada
musibah kematian, bunga yang dibawa lebih bercorak putih, kuning, dengan
tulisan hitam, atau metalik, dengan bunyi kalimat ikut berbela sungkawa yang
sedalam-dalamnya.
Dalam teori dramaturgi pun ada sanksi yang biasanya berupa sanksi
sosial. Seluruh perilaku yang tidak dapat dilakukan atau dilakukan tetapi salah,
maka akan menjadi kejadian-kejadian negatif. Dengan kata lain, terdapat

143
Memahami Ilmu Sosial

norma sangsi yang negatif pada saat kita gagal untuk bertindak sesuai dengan
norma-norma tersebut.
Menurut Goffman kita mampu menghadirkan beberapa wajah dalam
berbagai suasana. Bisa wajah pesta, wajah mayat, dan berbagai wajah
kelembagaan lainnya. Dalam buku ini, Goffman berusaha menggali pentingnya
idiom-idiom tubuh yakni gaya berpakaian, gerakan dan posisi tubuh suara,
isyarat-isyarat tubuh, termasuk perhiasan formal, dan ungkapan-ungkapan
emosional. Semua itu menurut Goffman sebagai perilaku nonverbal.
Dalam buku Strategic Interaction, Goffman menjelaskan lingkungan yang
sempurna. Ia menggali ungkapan-ungkapan yang semarak dalam informasi
yang diungkapkan, tetapi ia lebih memperhatikan secara eksplisit kapasitas
individu yang membutuhkan, menunjukkan, dan menyembunyikan informasi.
Fokus dalam buku ini pada komunikasi tatap muka yang secara khusus
berasal dari kata-kata linguistik misalnya, intonasi, gerak, mimik, dan
sejenisnya. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan dan bukan merupakan
karakter semantik.
Jadi, dalam buku ini, Goffman menambahkan ungkapan kosa kata
dengan ungkapan games kosa kata. Di sini terdapat suatu (1) gerak sepontan
(witing move) yakni suatu tindakan yang tidak ditujukan untuk penilaian
pengamat; (2) gerak naïve (naïve move) yaitu tindakan subyek yang teramati
pada saat ia muncul; (3) gerakan kontrol atau tertutupi (control and covring
move) yaitu suatu tindakan subyektif yang bebas dari tindakan untuk
melahirkan ungkapan-ungkapan yang ia pikir akan mengembangkan situasi jika
gerak tersebut lepas dari pengamat.

144
Memahami Ilmu Sosial

Bab 9

INTERAKSI SIMBOLIK
Suatu tinjauan dari Perspektif Kepemimpinan dan Politik

A. Pendahuluan

Sebagai pendahuluan, perlu diperkenalkan terlebih dahulu berbagai


bentuk interaksi simbolik yang sudah sering dilakukan oleh masyarakat.
1. Ketika ada masyarakat yang meninggal diberi simbol bendera kuning
2. Ketika ada orang punya hajat menikahkan anak, dilakukan dengan
membuat hiasan janur kuning,
3. Ketika dalam perang kita menyerah kepada musuh, dengan mengacungkan
bendera putih
4. Kalau dalam pertandingan tinju ada yang menyerah cukup lempar handuk.
5. Menantang dengan cara mengacungkan kepalan
6. Kalau kita pamit ingin bepergian cukup dengan melambaikan tangan ke
kanan kiri (da-da),
7. Kila ditanya tidak tahu, cukup mengangkat kedua pundak
8. Kalau membuat persengkongkolan dengan cara berkedip,
9. Bila isteri atau suami ingin bercumbu cukup mencubit mesra
10. Tanda morse dalam pelayaran atau pramuka
11. Mobil ambulan dengan membunyikan sirine

145
Memahami Ilmu Sosial

12. Mobil kebakaran dengan membunyikan sirine yang berbeda dengan


ambulan
13. Motor polisi pengawal pejabat dengan suara klakson yang berbeda dengan
klakson motor lainnya,
14. Awas tanjakan, tinkungan, jalan licin, jalan bergelombang, dilarang
mendahului, jalan menyempit, dilarang balik kanan, dilarang berhenti, dan
semua rambu lalu lintas semuanya merupakan bentuk interaksi simbolik,
15. Menyalakan lampu dim sesaat, ketika hendak mendahului kendaraan di
depannya,
16. Menghidupkan lampu sent kendaraan saat hendak belok kanan atau kiri
17. Meminta-minta cukup menengadahkan tangan,
18. Sakit perut dengan memegangi perutnya,
19. Dilarang merokok, dengan gambar rokok yang disilang
20. Dilarang membuang sampah sembarangan dengan gambar bak sampah
yang disilang,
21. Gambar mustaka masjid menunjukkan di depan ada masjid, gambar pompa
bensin menunjukkan di depan ada stasiun pengisian bahan bakar minyak,
gambar tempat tidur menunjukkan di depan ada rumah sakit/puskesmas,
gambar orang berenang disilang yang berarti dilarang berenang,
22. Jabat tangan atau berpelukan saat bertemu atau berpamitan,
23. Melempar sesuatu saat kesal, marah, dan tidak mau menerima
24. Melempar pandangan atau meludah saat benci
25. Batu nisan, menunjukkan bahwa di bawahnya ada makam

B. Konsep Interaksi Simbolik

Istilah ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer (1939). Dalam lingkup


sosiologi ide ini sebenarnya terlebih dahulu telah dikemukakan George Herbert
Mead, kemudian dimodifikasi Blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini
memiliki ide yang baik, tetapi tidak terlalu dalam dan spesifik sebagaimana
diajukan Mead.

Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara
alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan

146
Memahami Ilmu Sosial

individu. Interakasi yang terjadi antarindividu berkembang melalui simbol-


simbol yang mereka ciptakan.
Di Jawa Tengah, khususnya di Kab. Purworejo, orang mengundang untuk
menghadiri hajatan tidak perlu lagi menggunakan surat undangan, tetapi cukup
dengan nasi punjungan, sehingga yang mendapatkan nasi tidak lagi bisa
mengelak untuk tidak menghadiri, tetapi menjadi wajib untuk menghadiri
hajatan tersebut.
Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada
beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antarindividu itu
berlangsung secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh
antara lain suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu
mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.
Bila berjalan melewati orang tua yang sedang duduk-duduk, menunduk,
dengan tangan ke bawah. Mengangguk simbul setuju, menggeleng simbul tidak
setuju. Bertepuk tangan tanda bahagia. Itu semua sebagai ekspresi tubuh yang
semuanya mempunyai maksud dan tujuan.
Teori interaksi simbolik termasuk “baru” dalam khazanah ilmu sosiologi,
sehingga wajar bila ia disebut sebagai teori sosiologi kontemporer. Jika
dibandingkan dengan teori sosiologi kontemporer lainnya, teori ini mempunyai
keunikan tersendiri sebagaimana yang dikatakan oleh Ritzer (1992:59) bahwa
teori interaksi simbolik adalah teori yang paling sulit disimpulkan.
Paling sulit disimpulkan karena, setiap daerah pada dasarnya mempunyai
interaksi simbolik masing-masing yang sifatnya lokalitas, yang kadang-kadang
sama dan ada juga yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.
Namun, sebagai sebuah teori, ada wilayah tertentu yang bisa ditarik
generalisasi, yaitu bahwa interaksi simbolik selalu ada pada masyarakat
manapun, di mana pun, dan kapan pun.
Teori ini memiliki banyak sumber namun tak satupun yang mampu
memberi penjelasan memuaskan mengenai isi dari teori ini. Jelasnya, ide dasar
teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oleh J.B.
Watson. Dalam teori perilaku radikal, semua perilaku manusia bersifat nyata,

147
Memahami Ilmu Sosial

riil, tidak bisa ditutup-tutupi, dan apa adanya. Hal inilah yang ditentang habis
oleh teori interaksi simbolik.
Teori interaksi simbolik sering disebut juga sebagai teori sosiologi
interpretatif. Selain itu, teori ini ternyata amat dipengaruhi oleh ilmu psikologi,
khususnya psikologi sosial. Teori ini juga didasarkan pada persoalan konsep diri.
Dipengaruhi psikologi sosial karena, sangat terkait dengan mind dan perasaan.
Dalam psikologi sosial, orang yang murah senyum kepada orang lain, disebut
sebagai orang yang ramah, orang yang temperamen, meskipun tidak pernah
mengungkapkan kata-kata keras atau kata-kata kasar disebut orang yang
pemarah, dan sebagainya.

C. Sejarah Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme Simbolik merupakan salah satu perspektif teori yang


baru muncul setelah adanya teori aksi (action theory) sebagaimana
dikembangkan oleh Max Weber. Sebagai teori yang baru muncul setelah teori
aksi, maka pendekatan yang digunakan juga mengikuti pendekatan Weber
dalam teori aksi.
Aksi seseorang dapat berupa tindakan, gerakan, kode, atau isyarat lain
yang semuanya dipelajari dalam teori interasi simbolik. Contoh: seorang yang
membakar api unggun di hutan saat meminta pertolongan sebagai bentuk
interkasi kepada tim regu penolong agar menjemput keberadaan dirinya.
Seorang yang tenggelam meniup peluit keras-keras sebagai pertanda minta
bantuan.
Teori Interaksionisme Simbolik berkembang pertama kali di Chicago
University dan dikenal dengan aliran Chicago. Tokoh utama dari teori ini berasal
dari berbagai Universitas di luar Chicago, di antaranya John Dewey dan Cooly--
filosof yang semula mengembangkan teori interaksionisme simbolik di
Universitas Michigan--kemudian pindah ke Chicago dan banyak memberi
pengaruh kepada W.I. Thomas dan G.H. Mead.
George Herbert Mead lahir tahun 1863 di Massachussets. Umur sebelas
tahun ia sekolah di Kolese Oberlin. setelah lulus, ia mengajar sebentar di

148
Memahami Ilmu Sosial

sekolah dasar. Pekerjaan itu cuma berlangsung empat bulan karena ia dipecat
gara-gara terlalu sering mengusir keluar anak-anak yang suka ribut di sekolah.
Pada tahun 1887, George Herbert Mead masuk Universitas Harvard
mengambil filsafat dan psikologi. Lewat gurunya, Josiah Royce, ia menaruh
minat besar pada filsafat Hegel. Pada masa-masa itu, Mead bertemu sejumlah
orang-orang berpengaruh, ataupun sekedar membaca karya mereka, sebutlah
misalnya Willian James, Helen Castle (wanita yang kelak disuntingnya di Berlin),
Whilhelm Wundt--dengan konsep gerak isyaratnya--dan juga G. Stanley Hall,
psikolog sosial Amerika. Menjelang akhir hayatnya Mead sempat berhubungan
dengan John Dewey dan Charles Horton untuk suatu alasan akademis.
Mead sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, bahwasanya
organisme secara berkelanjutan terlibat dalam usaha penyesuaian diri dengan
lingkungannya sehingga organisme itu mengalami perubahan yang terus-
menerus, sehingga dia melihat pikiran manusia sebagai sesuatu yang muncul
dalam proses evolusi alamiah. Pemunculannya itu memungkinkan manusia
untuk menyesuaikan diri secara lebih efektif dengan alam.
Pengaruh Hegel tampak pada Mead lewat tiga perspektif filosofis yang ia
ajukan, salah satunya adalah idealisme dialektis Jerman. Perspektif ini sifatnya
melengkapi apa yang dikemukakan oleh Watson yaitu adaptasi individu
terhadap dunia luar dihubungkan melalui proses komunikasi.
Menurut Mead, bentuk interaksi sosial paling sederhana dan paling
pokok dalam komunikasi dilakukan melalui isyarat. Hal ini disebabkan karena
manusia mampu menjadi obyek untuk dirinya sendiri dan melihat tindakan-
tindakannya seperti orang lain dapat melihatnya.
Sebagai contoh, untuk bilang bahwa orang itu gila tidak perlu
mengatakan Gila, cukup membuat garis miring imajinatif dengan telunjuk
tangan di kening dahi kepala. Untuk mengatakan orang itu sedang tidur, cukup
menempelkan kedua tangan yang tertutup di pipi sambil memiringkan kepala.
Lebih khususnya lagi komunikasi simbol manusia itu tidak terbatas pada
isyarat-isyarat fisik. Sebaliknya, ia menggunakan kata-kata, yakni simbol suara
yang mengandung arti-arti bersama dan bersifat standar.

149
Memahami Ilmu Sosial

Contoh : dehem, batuk di tahan yang sifatnya pura-pura, berarti ada


sesuatu yang terjadi pada orang lain, agar pihak ektiga mengetahui. Da orang
yang bersiul sebagai isyarat sedang memanggil angin, atau sedang
berkomunikasi dengan burung kesayangannya.
Secara bertahap, individu memperoleh konsep diri dalam interaksinya
dengan orang-orang lain sebagai bagian dari proses yang sama dengan proses
pemunculan pikiran. Jika proses berpikir itu terdiri atas suatu percakapan
internal, maka konsep diri itu didasarkan pada individu yang secara tidak
kelihatan menunjuk pada identitas dirinya yang dinyatakan oleh orang lain.
Konsep diri itu merupakan susunan kesadaran individu mengenai keterlibatan
khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung atau
dalam suatu komunitas yang terorganisir.
Seorang yang pandai berinteraksi sosial dengan menggunakan interaksi
simbolik, misalnya setiap saat menghadap orang tua berjabat tangan dan
mencium tangannya, sebagai simbol hormat, dapat disimpulkan oleh orang lain
sebagai pribadi yang santun. Sebaliknya, bila orang tersebut tidak mau
melakukan hal itu, maka orang tersebut dianggap sebagai orang yang tidak
tahu sopan santun.
Robert Park sebagai murid George Simmel ternyata mambawa pengaruh
terhadap George Simmel ke dalam Sosiologi Amerika yang dikembangkan di
Chicago. George Simmel sebenarnya adalah tokoh dalam interaksi sosial.
Simmel terkenal sebagai tokoh sosiologi formal, karena Simmel lebih banyak
mengkaji interaksi sosial dari segi bentuknya dan bukan dari segi isinya
(substansinya). Bentuk interaksi sosial bisa langsung dan tidak langsung. Tidak
langsung bisa dengan surat, atau menggunakan media jejaring sosial.
Menurut Simmel, masyarakat dikatakan sebagai suatu bentuk interaksi
sosial yang terpola seperti halnya jaring laba-laba. Simmel lebih banyak
mengkaji pola-pola sosial (sociation) sebagai proses di mana masyarakat itu
terjadi. Dalams etiap harinya, jaring laba-laba tersebut selalu berkembang
membesar, dan semakin luas.

150
Memahami Ilmu Sosial

Adapun bentuk-bentuk hubungan sosial itu, menurut Simmel seperti:


a) dominasi, ketika anggota yang satu mendominasi anggota yang lain.
b) subordinasi, ketika mayoritas masyarakat berada di bawah tekanan
kelompok dominan.
c) kompetisi, antar kelompok saling memperebutkan pengaruh kepada
masyarakat umum.
d) imitasi, proses meniru kelompok lain.
e) pembagian pekerjaan, dilakukan agar antar anggota masyarakat saling
menjalankan fungsinya masing-masing.
f) pembentukan kelompok, untuk menyatukan ide, gagasan, tujuan bersama
yang telah ditentukan bersama juga.
g) kesatuan agama, umat yang seiman bersatu membuntuk organisasi tertentu
dalam rangka memberikan perlindungan dari pengaruh agama lain.
h) kesatuan keluarga, sebagai bentuk trah untuk mengumpulkan saudara dari
satu garis keturunan.
i) kesatuan pandangan, dan lain-lain.
Pandangan Simmel yang dibawa Robert Park ke Chicago, akhirnya banyak
mempengaruhi interpretasi G.H. Mead dalam mengembangkan teori
interaksionisme simbolik. Suatu konsep yang memandang masyarakat dibentuk
oleh suatu pertukaran gerak tubuh dan bahasa (simbol) yang mewakili proses
mental. Simbol atau tanda yang diberikan oleh manusia dalam melakukan
interaksi mempunyai makna-makna tertentu, sehingga akan dapat
menimbulkan komunikasi.
Dengan demikian, komunikasi tidak harus dilakukan dalam bentuk suara
atau kalimat, melainkan dapat juga dilakukan dalam bentuk isyarat, penanda,
dan gerakan tubuh. Contoh: untuk menunjukkan bahwa daerah itu berbahaya
cukup diberi gambar jerangkong yang disilang dengan gambar tulang.
Menurut Mead komunikasi secara murni baru terjadi bila masing-masing
pihak tidak saja memberikan makna terhadap perilaku mereka sendiri, tetapi
memahami atau berusaha memahami makna yang diberikan pihak lain. Banyak
orang yang sakit gigi, bila diajak berkomunikasi hanya menggunakan simbol,
karena tidak bisa berbicara dengan jelas. Seperti orang bisu saja, hanya mempu
menggunakan bahasa simbol.

151
Memahami Ilmu Sosial

Dalam hubungan ini, Habermas mengemukakan dua kecenderungan


fungsional dalam argumen bahasa dan komunikasi serta hubungan dengan
perkembangan manusia.
Dalam masyarakat tradisional yang belum banyak mengenal bahasa,
lebih banyak menggunakan bahasa simbol, pada saat manusia sudah semakin
maju, bahasa menjadi pengantar utama dalam berkomunikasi. Setelah dunia
sangat maju, bahasa simbol kembali marak. Banyak orang bertato, yang semua
itu mempunyai makna tersendiri. Banyak orang yang menyemir rambut agar
kelihatan muda, belum siap dianggap tua, dan masih ingin bergaya seperti
pemuda. Banyak orang muslim yang memelihara jambannya sepanjang kepalan
tangan sebagai simbol bahwa dirinya orang yang khusuk dalam menjalankan
perintah agama.
Pertama, bahwa manusia dapat mengorientasikan perilaku mereka pada
konsekuensi-konsekuensi yang paling positif; mengacungkan ibu jari sebagai
bentuk memuji. Tersenyum sebagai bentuk senang, ramah, dan tidak marah.
Kedua, sebagai kenyataan bahwa manusia terlibat dalam interaksi makna
yang kompleks dengan orang lain, dapat memaksa mereka untuk cepat
beradaptasi dengan apa yang diinginkan oleh orang lain. Bersujud di depan
orang lain, berarti tunduk dan menurut semua yang diperintahkan.
Seseorang yang mengikuti Herbert Blumer, ketika hendak menggunakan
pendekatan interaksi simbolik akan menggunakan sejumlah asumsi-asumsi
yang diperkenalkan Blumer, yaitu:
(1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang dimiliki
benda itu bagi mereka;
(2) makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat
manusia; dan
(3) makna-maka dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya
dengan tanda-tanda yang dihadapinya.

Artinya, semua tindakan manusia selalu bermakna entah positif atau


negatif. Makna sebagai kesepakatan bersama, semua orang yang menjadi

152
Memahami Ilmu Sosial

anggota kelompoknya akan berusaha memahami seluruh bentuk interaksi


simbolik yang diciptakan oleh kelompoknya. Contoh: jari telunjuk dan jari
tengah (dua jari) diacungkan berarti punya anak dua sudah cukup.
Keragaman bentuk teori ini terlihat pada penekanan yang berbeda dari
bagian-bagian teori. Chicago School yang memfokuskan diri pada interaksi dan
proses-proses penafsiran, melihat cara-cara berkembang dan berubahnya
makna. Sementara Iowa School, tokohnya Manfred Kuhn, mencoba mengubah
pandangan-pandangan ini ke dalam variabel yang dapat diukur.
Ide-ide Mead bukanlah merupakan teori penjelasan mengenai apa yang
diamati, melainkan lebih merupakan deskripsi sederhana mengenai apa yang
dipahami. Apa yang dilihat kemudian dipahami, yang akhirnya dimaknai.
Ralph Turner membawakan variasi lain yang biasanya disebut teori peran
(role theory) yang melihat cara konversasi/percakapan internal dari self
menjembatani presentasi dari self menuju struktur-struktur peran.
Jika melihat beragamnya bentuk dari teori interaksi simbolik itu sendiri
pastilah harus ada alasan mengapa hal itu harus terjadi, apakah satu
penjelasan lesan saja belum cukup? Orang berpidato tentu tidak cukup hanya
lesan saja, tetapi akan semakin meyakinkan manakala dengan gerakan tangan,
gerak tubuh, dan mimik yang sesuai.
Memang sulit untuk menggenaralisakan satu penjelasan untuk setiap
keadaan, sebagaimana yang diutarakan kaum interaksionis, bahwa satu
penjelasan yang tepat hanya sesuai dengan situasi tertentu yang dijelaskan.
Kita tidak bisa membuat generalisasi mengenai kehidupan sosial.
Masyarakat, yang dilihat sebagai suatu percakapan, mengalami perubahan
dengan kadar perubahan yang tetap dan tidak bisa dipaksakan ke dalam
abstraksi-abstraksi yang digeneralisasikan. Orang yang menangis bahagia dan
menangis karena sedih tidak bisa digeneralisasikan bahwa orang yang
menangis pasti sedih. Untuk orang yang sedang mengalami musibah, di
sebagian masyarakat Jawa Tengah dengan menggunakan bendera putih,
sementara di tempat lain menggunakan bendera kuning, di tempat lain lagi
menggunakan bendera hitam sebagai tanda berkabung. Jadi tidak semua
bendera putih itu bahagia, tetapi ada juga yang bergabung.

153
Memahami Ilmu Sosial

Bagaimanapun juga, teori interaksi simbolik ini bukanlah sesuatu yang


sempurna terlebih lagi jika dilihat dari pertumbuhannya, sehingga wajar bila
kemudian muncul kritik yang mengatakan bahwa ia mengabaikan ciri-ciri yang
lebih luas dari struktur sosial dan karena itu akan mudah sekali berbicara
mengenai kekuasaan, konflik, dan perubahan meskipun perumusan teorinya
masih samar-samar.
Orang dalam satu pertai menggunakan lambang yang sama, yaitu
lambang partai itu sendiri. Antar-lambang saling berkonflik. Begitu juga, dalam
lambang yang sama juga terjadi konflik. Ketika kepentingan antar pengurus
dalam suatu lambang yang sama tidak terakomodasi, maka terjadilah konflik,
pihak yang kalah keluar dari partai dan mendirikan partai lain dengan bendera
yang lain itu. Jadi interaksi simbolik juga menyangkut konflik.
Argumen yang menyatakan bahwa konsep-konsep interaksi simbolik
tidak jelas memang perlu diajukan karena sebenarnya hal ini merupakan
sebuah aspek penting dari setiap pendekatan sosiologi. Kejelasan konsep
interaksi simbolik, memang sebenarnya sudah jelas, yakni interaksi sosial tidah
harus dalam bentuk kalimat atau ucapan, akan tetapi bisa juga dalam bentuk
simbol-simbol. Sayangnya tidak semua simbol itu sama dalam setiap kelompok
sosial.

D. Lingkup Interaksi Simbolik

Pada awal perkembangannya interaksi simbolik lebih menekankan


studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada
keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari
interaksi simbolik adalah: perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan
karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Tetapi pada akhirnya, dalam
kelompok besar pun terjadi interaksi simbolik, misalnya peraturan lalu lintas,
seluruh orang didunia menjadi tahu.

Makna di balik tindakan, gerakan, simbol, penanda, dan lain-lain yang


disampaikan oleh pihak pertama kepada pihak kedua, merupakan hal yang
harus dilakukan oleh pihak kedua.

154
Memahami Ilmu Sosial

Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi
simbolik yaitu:
(1) Perilaku manusia mempunyai makna dibalik yang menggejala; tidak ada
tindakan manusia yang tidak bermakna semuanya pasti ada maknanya. Di
hari yang panas, ada seorang yang pucat penggigil, dengan mengenakan
jaket tebal, secara simbolik sudah dapat ditebak, pasti ia sedang tidak enak
badan.
(2) Pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial
manusia; seorang yang menangis sangat keras jangan hanya bilang
kepadanya cup-cup, diam ya jangan menangis, tetapi perlu dicari
penyebanya. Bisa jadi, kakinya tertindas kursi yang sedang kiti duduki.
(3) Masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah,
tidak linier dan tidak terduga; siapa yang menyangka kalau sekedar gambar
burung sebelum tahun 1945 akan menjadi simbol negara Indonesia, yang
tidak boleh sembarangan digambar atau diletakkan. Ia harus digambar
dengan baik, diletakkan di tempat yang baik, dan dihormati dengan baik.
(4) Perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologik, yaitu
berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas
proses mekanik dan otomatik; dalam pemaknaan fenomenologi, setiap
pemahaman masyarakat pasti dapat dipahami oleh orang lain. Hasil
pemahaman atas pemahaman orang lain terhadap sesuatu tindakan,
gerakan, simbol, dan penanda lainnya menjadi wahana untuk pemaknaan.
(5) Konsep mental manusia itu berkembang dialektik; artinya, setiap ada aksi
pasti ada reaksi, ada tesa pasti ada antitesa, yang kemudian muncul
sintesa;
(6) perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif. Perilaku yang tidak wajar
tentu tidak akan bisa bertahan lama, sehingga perilaku yang tidak wajar
tidak akan mampu bertahan lama.

Prinsip metodologi interaksi simbolik ini adalah:


(1) simbol dan interaksi itu menyatu; tak cukup bila kita hanya merekam
fakta; kita juga harus mencari yang lebih jauh, yakni mencari konteks

155
Memahami Ilmu Sosial

sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya; fakta yang terekam


kemudian terinternasilasi menjadi bahan untuk dipahami dengan baik.
(2) karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri
subjek perlu dapat ditangkap; pemahaman mengenai konsep jati diri
subjek yang demikian itu adalah penting karena jati diri seseorang pada
dasarnya sangat tersembunyi.
(3) Mengaitkan antara simbol dan jati diri dengan lingkungan yang menjadi
hubungan sosialnya; konsep jati diri terkait dengan konsep sosiologik
tentang struktur sosial, dan lainnya;
(4) Proses merekam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya,
perlu dilakuan bukan hanya merekam fakta sensual saja;
(5) metode-metode yang digunakan untuk memahami simbol hendaknya
mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya;
(6) metode yang dipakai untuk merekam makna simbolik hendaknya mampu
menangkap makna dibalik interaksi;
(7) ketika mulai memasuki proses komunikasi yang serba menggunakan
simbol perlu dirumuskan menjadi yang lebih operasional

Selanjutnya perlu dibedakan antara:


(1) terjemah atau translation atas simbol yang digunakan;
(2) tafsir atau interpretasi atas simbol yang ditangkap;
(3) ekstrapolasi dari simbol yang disampaikan orang lain; dan
(4) pemaknaan atau meaning simbol yang ditangkap untuk ditindaklanjuti
menjadi sebuah pemahaman.
Pertama, membuat terjemahan merupakan upaya untuk mengemukakan
materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda; media tersebut
mungkin berupa bahasa satu ke bahasa lain, dari verbal ke gambar dan
sebagainya.

Kedua, tafsir merupakan pemberian makna yang lebih mendalam


dibandingkan sekedar menerjemahkan. Sekaligus menceritakan asal muasal
kejadian tindakan tersebut, dan tujuan yang hendak dicapai melalui tindakan
tersebut.

156
Memahami Ilmu Sosial

Ketiga, ekstrapolasi lebih menekankan pada kemampuan daya fikir


manusia untuk menangkap hal di balik yang tersajikan. Materi yang disajikan
dilihat tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh
lagi.
Keempat, memberikan makna merupakan upaya lebih jauh dari
terjemahan atau penafsiran, dan mempunyai kesejajaran dengan ekstrapolasi.
Pemaknaan lebih menuntut kemampuan integratif manusia; indrawinya, daya
fikirnya, akal budinya. Materi yang tersajikan, seperti juga ekstrapolasi dilihat
tidak lebih dari tanda-tanda atau indikator bagi sesuatu yang lebih jauh.

Menurut Blumer pokok pikiran interaksi simbolik ada tiga:


(1) bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna
(meaning); ketika makna yang ditangkap bagus maka tindakan manusia
juga akan bagus dan sebaliknya.
(2) makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya;
dengan pemahaman atas pemahaman orang lain, munculkah makna.
(3) makna itu diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran
(interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu
yang dijumpainya. Misalnya, sesuatu yang dijumpai memberikan makna
yang kurang baik, maka sesuatu itu bisa diinterpretasikan dengan hal-hal
yang kurang baik.

Intinya, Blumer hendak mengatakan bahwa makna yang muncul dari


interaksi tersebut tidak begitu saja diterima seseorang begitu saja kecuali
setelah individu itu menafsirkannya terlebih dulu. Dalam hal ini, pemberian
makna lebih hati-hati, setelah seseorang berkali-kali mengendapkan proses
penafsiran. Setiap ada informasi tidak langsung dimaknai, tetapi diendapkan
terlebih dahulu.

Menurut Thomas seseorang tidak serta merta memberikan reaksi


manakala ia mendapat rangsangan dari luar. Seseorang itu semestinya
melakukan penilaian dan pertimbangan terlebih dahulu; rangsangan dari luar
diseleksi melalui proses yang dinamakannya definisi, redifinisi, atau penafsiran
situasi.

157
Memahami Ilmu Sosial

Definisi situasi, kata Thomas, ada dua macam:


(1) definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu; proses ini sangat
bahaya, karena bisa jadi masih salah tafsir. Sebagai contoh: ada mobil atau
motor yang bertabrakan dengan memakan korban lebih dari satu orang,
kemudian mobil tersebut dipajang menjadi monumen peringatan, maka
pribadi yang memiliki mobil akan mengartikan, itu mobilku mengapa disita
oleh Polisi, mengapa tidak dikembalikan kepada saya? Sehingga bisa jadi,
penafsiran individu itu salah. Penafsiran yang salah juga sering dijumpai
pada seseorang yang membaca SMS, apabila sepontan ditanggapi, bisa
malah menjadi salah tafsir. Kecuali sudah dibaca berulang kali dengan
berbagai intonasi, baru diketahui makna yang sesungguhnya dari isi SMS
itu.
(2) definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat. Contoh mobil hancur yang
dijadikan monumen tadi, oleh masyarakat dimaknai bahwa di daerah itu
rawan kecelakaan, sehingga harus hati-hati, jangan sampai menjadi korban
berikutnya.
Definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat itu merupakan aturan yang
mengatur interaksi antar manusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur
perilaku manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain, yang
disebutkan oleh David A. Karp dan W. C. Yoel dalam bukunya Symbols, Selves,
and Society: Understanding Interaction (1979), yaitu:
(1) aturan mengenai ruang; aturan dalam interaksi simbolik berbeda antara
tempat yang satu dengan lainnya.
(2) aturan mengenai waktu; bahasa interaksi simbolik setiap waktu terus
bertambah. Mungkin bentuk interaksi simbolik yang sudah kuno
tergantikan oleh bentuk interaksi simbolik saat ini, sesuai dengan
perkembangan teknologi. Contoh: dulu orang membuka jendela, dengan
maksud agar ruangan menjadi sejuk karena mendapat udara segar dari
luar. Sekarang, orang menutup jendela dengan harapan ruangan bisa
cepat dingin karena ada AC.
(3) aturan mengenai gerak dan sikap tubuh. Gerak dan sikap tubuh relatif
sama diantara negara dan budaya. Contoh, orang yang ketakutan, akan lari

158
Memahami Ilmu Sosial

terbirit-birit; orang yang menggaruk-garuk kepala bukan berarti gatal, akan


tetapi bisa pusing memikirkan sesuatu.
Hall dan Hall (1971) mengemukakan bahwa komunikasi nonverbal atau
bahasa tubuh, yang menurutnya ada sebelum bahasa lisan, merupakan bentuk
komunikasi pertama yang dipelajari manusia. Karp dan Yoles menyebutkan
faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi yaitu:
(1) ciri yang dibawa sejak lahir misalnya jenis kelamin, usia dan ras; Interkasi
simbolik yang ditampilkan perempuan harus keibuan, lemah lembut,
gemulai, melenggak-lenggok, genit, kemayu, penakut, minta dilindungi,
minta disayang, dan sebagainya. Sikap interaksi simbolik itu, berbeda
dengan laki-laki yang harus kuat, gagah berani, melindungi, kebapakan,
pemberani, menyayangi, dan sebagainya.
(2) penampilan; penampilan diri dari seorang yang pinter agama dengan awam
tentu akan berbeda. Penampilan orang yang terpelajar akan berbeda
dengan yang preman. Penampilan dokter akan berbeda dengan perawat.
Penampilan guru akan berbeda dengan tata usaha dan sebagainya.
(3) bentuk tubuh yang dipengaruhi oleh pakaian; bentuk tubuh manajer
dengan pakaian rapih, berdasi, dan ber-jas, bersepatu kantor yang
mengkilap. Akan berbeda dengan penampilan buruh yang hanya
menggunakan baju jean sepatu lapangan, topi proyek, badan kotor, dan
sebagainya.
(4) apa yang diucapkan oleh pelaku. Ucapan ibu-ibu yang tidak bersekolah
tinggi ketika merawat anak dengan ucapan kotor, seperti: dasar anak
begok, tolol, anjing lo, brengsek lo, akan berbeda dengan ibu-ibu yang tahu
pendidikan, yang tidak akan memberikan contoh yang kurang baik kepada
anaknya. Ketika anak sering mendapatkan perkataan jelek dari ibunya, akan
meniru untuk disampaikan kepada teman-temanya. Ketika ada teman yang
berbuat tidak sesuai dengan kehendaknya, sudah dikatakan, begok lo, tolol
lo, dan berbagai ucapan jelek dan kotor lainnya.
Dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak, secara sengaja maupun
tidak, membuat pernyataan (expression) dan pihak lainnya memperoleh kesan
(impression). Goffman membedakan dua macam pernyataan:

159
Memahami Ilmu Sosial

(1) pernyataan yang diberikan (expression given), yaitu pernyataan yang


dimaksudkan untuk memberi informasi sesuai dengan apa yang lazimnya
berlaku;
(2) pernyataan yang terlepas atau dilepaskan (expression given off),
mengandung informasi yang menurut orang lain memperlihatkan ciri si
pembuat pernyataan.
Sebagai pembatas dari dua bentuk pernyataan itu, Knapp merincikan
proses perenggangan hubungan. Menurutnya proses perenggangan hubungan
itu tersusun atas tahapan-tahapan :
(1) membeda-bedakan (differentiating); orang sudah mebeda-bedakan antara
dirinya dengan orang lain, akan menjadi renggang hubungannya.
(2) membatasi (circumscribing); seseorang apabila sudah membatasi
hubungan dengan orang lain, maka akan menjadi renggang hubungannya.
(3) memecah belah (stagnating); kalau sudah ada upaya memecah belah,
atau dipecah belah oleh orang lain, maka hubungan akan renggang.
(4) menghindari (avoiding); apabila seseorang telah berusaha menghindari
untuk bertemu atau berkomunikasi dengan orang lain, tentu akan
menyebabkan orang tersebut menjadi renggang;
(5) memutuskan (terminating); proses terakhir dari suatu hubungan yaitu
memutuskan tali persahabatan, tentu akan menjadi sangat renggang.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa teori interaksi simbolik ini


masih ‘sangat membuka diri untuk menerima kritik’. Ian Craib menyebutkan
bahwa teori ini masih samar-samar, maksudnya konsep yang digunakan belum
jelas. Selain itu, dia juga mengatakan, teori ini terlalu menilai manusia semata-
mata dari sudut kognitif. Apa yang kita pikirkan seakan orang lain sudah tahu,
padahal setiap manusia memiliki emosi-emosi yang berbeda-beda. Misalnya
saja, kalimat dilarang merokok hanya ggambar rokok yang disilang merah. Bagi
orang kampung, tentu tetap saja merokok di lokasi tersebut, karena tidak ada
tulisan yang menyatakan dilarang merokok.
Sementara Paul Johnson memandang teori ini lebih pada sisi proses
komunikasi. Dalam komunikasi itu, ada dua hal yang penting yaitu isyarat-
isyarat dan simbol kemudian diperlukan proses pemikiran dalam menggunakan

160
Memahami Ilmu Sosial

dan menerjemahkan simbol-simbol tersebut. Dalam interaksi simbolik, kadang-


kadang tidak ada penerjemahan simbol, sehingga ketika ada larangan parkir,
harus ada tulisa radius berapa meter dari tanda dilarang parkir ini, sehingga
Polisi lalu lintas yang hendak memberikan surat tilang kepada pengendari
mobil yang parkir tidak adu mulut dengan supir mobil tersebut.
Interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai salah
satu simbol yang terpenting dan isyarat (decoding). Akan tetapi, simbol bukan
merupakan faktor-faktor yang telah terjadi (given) namun merupakan suatu
proses yang berlanjut. Maksudnya, ia merupakan suatu proses penyampaian
“makna”. Penyampaian makna dan simbol inilah yang menjadi subject matter
dalam interaksi simbolik.
Makna kembali menjadi perhatian utama teori interaksi simbolik baik
untuk pimpinan maupun untuk kepentingan politik. Seorang pimpinan banyak
sekali memberikan atau melakukan interaksi simbolik kepada bawahan.
Misalnya, ketika ada tamu, pimpinan berkedip kepada sekretarisnya, dalam arti
tolong buatkan minum. Bisa jadi pimpinan memberi kode menggerakkan ibu
jari ke luar, berarti akan ada pembicaraan rahasia yang tidak boleh didengarkan
oleh sekretarisnya sehingga memberi kode untuk keluar.
Begitu juga dalam berpolitik, banyak sekali bentuk interaksi simbolik
yang dibuat oleh partai politik, mulai dari bendera, lambang partai, kode jari
tangan untuk nomor partai tertentu, kode dua jari, dahulu untuk Golkar, kode
ibu jari untuk partai Persatuan Pembangunan (P3), dan kode slank (melipat jari
tengah dan jari kelingking) untuk PDI, dan sebagainya. Warna hijau untuk P3,
merah untuk PDI (sekarang PDI-P) kuning untuk Golkar (kini Partai Golkar)

161
Memahami Ilmu Sosial

Bab 10

ANALISIS WACANA
Suatu tinjauan dari Perspektif Kepimimpinan dan politik

A. Pendahuluan

Banyak orang yang bertanya, apa itu analisis wacana, secara singkat
dapat dijawab dengan contoh berikut.
1. Segala sesuatu (apa-apa) yang diwacanakan oleh media, dimaknai,
sehingga memperoleh pemahaman yang mendalam tentang aspek yang
diwacanakan tersebut. Misalnya media masih gencar mewacanakan
moratorium pendaftaran haji, karena orang yang mendaftar saat ini, baru
bisa berangkat haji 15 tahun lagi. Seluruh wacana itu dimaknai sehinga
mendapatkan makna yang mendalam
2. Segala sesuatu yang diwacanakan oleh masyarakat umum, dimaknai.
Masyarakat umum mewacanakan penanggulangan banjir. Banjir sebagai
sebuah kekerasan Negara, karena Negara gagal melindungi daerah resapan
dari pembangunan gedung, Negara gagal melindungi hutan dari proses
penggundulan, Negara gagal dalam membangun waduk yang handal,
Negara juga gagal dalam menjaga kedalaman sungai dari pendangkalan.
Seluruhnya dimaknai secara mendalam dengan memperhatikan seluruh
fenomena yang ada.

3. Segala sesuatu yang diwacanakan oleh pemerintah dimaknai. Pemerintah


mewacanakan pendidikan 12 tahun, sekolah gratis, pengobatan gratis,
pemberian bantuan langsug tunai, bantuan beras miskin, dan wacana lain,
semuanya dimaknai dengan mendalam sehingga memperoleh pemahaman
yang jernih dari dalam relung terdalam.

162
Memahami Ilmu Sosial

4. Segala sesuatu yang diwacanakan oleh partai politik dimaknai. Partai politik
mewacanakan pemilihan presiden bersamaan dengan pemilu legislatif,
dengan harapan energi rakyat tidak terbuang berkali-kali. Semua itu harus
dimaknai secara mendalam sehingga tidak hanya memaknai riyaknya
gelombang, tetapi mampu mengukur dalamnya lautan.
5. Segala sesuatu yang diwacanakan oleh mayoritas tokoh agama dimaknai.
Misalnya saja, tokoh agama mewacanakan pengharaman nikah siri, kawin
cerai, nikah dengan gadis di bawah umur, mengharamkan bunga bank, dan
wacana lainnya. Maka, seluruh wacana tersebut harus dibawa ke garis
pemaknaan yang jernih, lepas dari pandangan subyektif, sehingga
diperoleh pemahaman atas pemahaman para Kiyai dalam memberikan
wacana tersebut.

B. Konsep Teori Wacana

Teori wacana dalam tradisi filsafat dapat dikatakan sudah sangat tua.
Aristoteles pernah membahasnya secara teliti dalam karyanya De
interpretatione (Kleden, 1997:34; Sobur, 2001: 47). Teori wacana menjadi
aktual lagi dalam diskusi filsafat kontemporer dengan munculnya
strukturalisme yang berpendapat bahwa arti bahasa tidak bergantung pada
maksud pembicara atau pendengar ataupun dari referensi pada kenyataan
tertentu; arti bergantung pada struktur bahasa itu sendiri. Pembicara atau
pendengar boleh saja mempunyai maksud tertentu, akan tetapi, orang lain
yang memaknai bahasa mempunyai juga mempunyai otonomi untuk
memberikan makna.
Struktur di sini berarti jaringan hubungan intern elemen-elemen terkecil
bahasa yang membentuk satu kesatuan otonom yang tertutup (Kleden, 1997;
Sobur, 2001:47). Ada keterkaitan internal antara elemen bahasa yang satu
dengan lainnya. Keterkaitan itu membentuk suatu makna baru yang hanya
dapat dimaknai secara mendalam melalui pemahaman yang sungguh-sungguh.
Sparringa menjelaskan analisis wacana sebagai model analisis yang
paling kontemporer dibandingkan model analisis lainnya. Keberadaannya
sebagai generasi yang berperspektif posmodernisme. Dengan kata lain, analisis

163
Memahami Ilmu Sosial

wacana menyeberang dari analisis klasik, modern, hingga pascamodern. Ia


mampu menyeberang dalam tiga periode tersebut, dalam arti ia sebagai teori
sekaligus metode yang kokoh dan masih relevan digunakan untuk membaca
fenomena yang diwacanakan.
Ia beroperasi dengan sejumlah asumsi yang amat berbeda, untuk banyak
hal, bahkan sering bertentangan dengan metode konvensional kualitatif.
Beberapa asumsi tersebut, antara lain:
1. Hadir setelah sesuatu diucapkan, ditulis, dilakukan oleh subyek baik
sendiri maupun kelompok.
2. Interpretasi yang diberikan kepada segala yang dimaknai boleh bersifat
otonom, sama otonomnya dengan pelakunya.
3. Pemaknaan tidak bersifat tunggal, tetapi bisa jadi bisa dilihat dari berbagai
sudut pandang.
4. Wacana yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwacana, bisa dijadikan
wacana ulang oleh pihak lain yang berkepentingan maupun tidak
berkepentingan
Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para linguis di
Indonesia dan negeri-negeri berbahasa Melayu lainnya sebagai terjemahan
dari istilah bahasa Inggris discourse. Maka discourse analysis pun
diterjemahkan menjadi analisis wacana (Oetomo, 1993: 4). Sebagai sebuah
analisis, analisis wacana bekerja mematuhi berbagai ketentuan yang lazim
dalam sebuah penelitian kualitatif yang mengedepankan kedalaman makna
melalui proses yang panjang dari pada mengutamakan hasil.
Dalam perkembangannya istilah wacana juga dipakai oleh berbagai
disiplin ilmu, mulai dari politik, sosiologi, linguistik, sastra, psikologi,
komunikasi, dan sebagainya.

Dalam perspektif kepemimpinan analisis wacana juga memaknai segala


ucapan, kalimat, dan tulisan yang bersumber dari pimpinan kantor, organisasi,
perusahaan, maupun partai politik. Analisis wacana juga dapat diterapkan
untuk menganalisis berbagai wacana yang dikembangkan oleh bawahan, akar
rumput, ataupun masyrakat pemilih/masyarakat pendukung.

164
Memahami Ilmu Sosial

Masing-masing disiplin ilmu kadang-kadang memiliki perbedaan dalam


konsep dan pendekatan yang dipakai.
Pertama, dalam sosiologi, wacana merujuk terutama pada hubungan
antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Tetapi umumnya para sosiolog
lebih banyak menggunakan istilah diskursus beserta adjektifnya, yakni diskursif.
Para ilmuwan Indonesia mulai memperhatikan diskursus sejak pertengahan
1980-an dengan naik daunnya ancangan pascastrukturalis dalam antropologi,
sosiologi, dan ilmu politik.
Kedua, dalam linguistik, Oetomo (1993: 4), Kartomihardjo (1993: 23)
mengartikan istilah wacana sebagai suatu rangkaian sinambung bahasa
(khususnya lisan) yang lebih besar daripada kalimat. Jadi, unit itu bisa berupa
paragraf, undangan yang ditulis dalam kartu undangan atau media tulis lainnya,
percakapan, certia pendek dan lain sebagainya. Dalam kontek sekarang bisa
juga berupa SMS, twitter, e-mail, face book, dan lain-lain, yang semua itu
mengandung unit-unit bahasa yang saling berkaitan.
Ketiga, dalam psikologi, wacana diartikan sebagai pembicaraan. Wacana
di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari
pemakainya. Apa yang diwacanakan oleh client baik kelompok maupun
individu dimaknai, kemudian ditarik garis memahaman yang lebih general.
Keempat, dalam politik, istilah wacana yang diterjemahkan dari kata
discourse tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Foucault (1972) yang melihat
realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) yang merupakan
kompetisi tentang bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta
proses-proses sosial itu diberi makna melalui cara-cara khas. Dalam hal ini,
analisis wacana bekerja menganalisis wacana yang sengaja ditebar/disebar
oleh tokoh politik, pemegang kekuasaan/pemerintah, dan pihak-pihak yang
duduk di birokrasi.
Dalam pengertian demikian, wacana merujuk pada berbagai cara
yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk menghasilkan makna
yang di dalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan untuk menghasilkan
objek dan efek tertentu (Sparringa, 2001: 1; Mudjio, 2005). Segala yang

165
Memahami Ilmu Sosial

diwacanakan oleh mereka dianalisis hingga mendapatkan kejernihan makna,


yang kadang-kadang tidak pernah dihasilkan bila menggunakan analisis lainnya.
Telaah wacana memusatkan pada penggunaan bahasa. Bahasa sebagai
wahana atau media yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan dari
satu orang kepada orang lain, satu pimpinan kepada seluruh pengikutnya, satu
pemerintahan kepada seluruh rakyatnya. Sebab, bahasa merupakan aspek
sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di
dalamnya.
Ideology yang ditanamkan oleh penguasa ke dalam mind masyarakat
secara keseluruhan, hanya dapat dilakukan melalui bahasa yang mampu
mengkooptasi dan menghegemoni rakyat sehingga masyarakat tidak sadar
kalau ternyata pola tingkah laku, perbuatan, dan perikelakuannya, sudah
mengikuti arahan penguasa dalam menanamkan ideologi. Masyarakat tidak
sadar kalau dirinya terlah terhegemoni oleh Negara. Masyarakat juga tidak
sadar kalau dirinya telah menar-nari mengikuti hentakan gendang ideologi yang
ditabuh oleh Negara.
Menurut Rakhmat (1996: 50) tak berlebihan dikatakan bahwa ideologi
membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Karena itu selain bahasa, ideologi juga
merupakan konsep sentral dalam Analisis Wacana. Dalam hal ini, Negara harus
berterima kasih kepada bahasa karena perannya dalam menanamkan ideology
mempunyai andil yang sangat besar.
Teks pidato kenegaraan, percakapan pimpinan dan rakyat, pemaknaan
ideologi, undang-undang, peraturan dan lainnya adalah bentuk dari praktik
ideologi atau pencerminan ideologi tertentu (Eriyanto, 2001: 13). ideologi tidak
akan mampu tertancap hingga dalam manakala tidak ada unsure bahasa yang
merasuk di dalamnya.

Dalam praktik, istilah wacana acapkali dipertukarkan dengan istilah teks.


Dalam tradisi berbahasa Inggris, teks lebih mengacu pada bahasa tulis,
sedangkan wacana pada bahasa lisan, walaupun perbedaannya terletak pada
soal penekanan. Sehingga tidak jarang ada perintah dalam sebuah ujian
membaca dengan kalimat berikut. “Bacalah wacana di atas dengan cermat,

166
Memahami Ilmu Sosial

kemudian jawablah pertanyaan di bawah ini dengan mengacu pada wacana di


atas.” Di sini berarti, wacana lebih dimaknai sebagai bahasa tulis.
Dari sudut lain, wacana kerapkali menyiratkan wacana interaktif,
sedangkan teks menyiratkan monolog noninteraktif. Perbedaan lain dilakukan
oleh Halliday dan Hassan (1976), yakni bahwa wacana cenderung panjang,
sedangkan teks dapat singkat sekali, seperti tanda, pintu darurat, pintu air,
pintu rahasia, gudang, dapur, ruang tamu, kamar tidur, pipa pertamina,
cerobong asap, dan sebagainya yang semuanya hanya penanda untuk member
tahu orang lain.
Wacana cenderung panjang yang mengisahkan, sepak terjang koruptor,
kisah anak malang, anak durhaka, anak genius, anak pengemis, cerita si kancil,
cerita kang kabayan, cerita batu belah, timun emas, kerajaan ngatas angin,
prabu Siliwangi, dan kisah wacana lain yang dapat dimaknai secara mendalam
dari sudut cerita, bahasa yang digunakan, ketokohan, makna hidup, teladan
yang bisa ditiru, dan pembelajaran lain baik yang harus diikuti maupun
ditinggalkan.
Lain lagi halnya dengan Widdowson (1979), yang membedakan keutuhan
(kohesi) wacana, yang berlaku antara tindak-tindak wicara yang mendasarinya
(batin). Keutuhan suatu wacana sangat diperlukan, manakala menghendaki
keutuhan pemaknaan. Keutuhan pemaknaan tidak dapat dicapai manakala
wacana yang ada tidak utuh. Oleh karena itu, dalam analisis wacana
mensyaratkan adanya keutuhan wacana itu sendiri.
van Dijk (1977) menggunakan teks untuk merujuk pada konstruk teoretik
yang abstrak, yang diwujudkan dalam wacana. Konstruk yang abstrak menjadi
lebih riil manakala dinarasikan dalam konstruksi wacana yang utuh. Dengan
demikian, konstruk yang abstak menjadi mudah dipahami, seoleh-olah menjadi
riil, dan dapat dilihat, didengar, dipegang, atau minimal menjadi lebih kongkrit,
seolah-olah menjadi maujud.
Halliday, berpendapat bahwa wacana sebagai teks yang mengacu pada
perwujudan lahir. Setiap teks yang masih abstrak tidak bisa dimaknai sebagai
sebuah wacana yang baik dan utuh. Wacana yang utuh mensyaratkan adanya
keadaan yang konkrit, riil, tidak sekedar meraba-raba, atau mengkira-kira.
(Oetomo, 1993: 4).

167
Memahami Ilmu Sosial

Istilah wacana menurut Marahimin (1994: 26) merupakan kemampuan


untuk maju menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, dan merupakan
komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.
Konsep keteraturan, resmi, hasil buah pikiran yang genius dan terpelajar, dalam
bentuk tertulis maupun lesan sebagai syarat terjadinya sebuah wacana yang
baik. Analisis wacana berusaha memaknai seluruh yang dihasilkan melalui
keadaan seperti itu.
Guntur Tarigan (1993: 23) mengatakan bahwa istilah wacana mencakup
percakapan, obrolan, pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya
formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon. Dalam hal ini, analisis
wacana lebih mengarah pada upaya memberikan pemaknaan tersehadap
setiap ucapan, tulisan yang telah dipublikasikan, baik dalam babak kegiatan
sehari-hari maupun dalam sebuah film, drama, sandirwara, sinetron, dan
sebagainya.
Sobur (2001: 11) merangkum pemahaman tentang wacana sebagai
rangkaian ujar atau rangkaian tindakan tutur yang mengungkapkan sesuatu hal
yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren,
dibentuk oleh unsur segmental maupun nosegmental bahasa. Berbagai
rangkaian ujar yang terucap atau rangkaian tindakan tutur yang runtut,
sistematis, dan teratur dalam suatu kesatuan yang koheren sebagai langkah
awal untuk melakukan melakukan analisis wacana dengan baik.
Sobur mengutip pendapat Foucoult, membedakan wacana menjadi tiga
macam, yaitu:
1. wacana dilihat dari level konseptual teoritis,
2. wacana dilihat dari level konteks penggunaan, dan
3. wacana dilihat dari metode penjelasan.

Berdasarkan level konseptual teoritis, wacana diartikan sebagai domain


umum dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai
makna dan efek dalam dunia nyata.
Dalam konteks penggunaannya, wacara berarti sekumpulan pernyataan
yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu. Pernyataan

168
Memahami Ilmu Sosial

yang runtut, akan mempunyai makna yang hakiki manakala dianalisis


dengan analisis wacana. Pengertian ini menekankan pada upaya untuk
mengindentifikasi struktur tertentu dalam wacana, yaitu kelompok ujaran yang
diatur dengan suatu cara tertentu, misalnya wacana imperialisme dan wacana
feminisme. Ujaran yang mempunyai maksud tertentu biasanya akan
diatur dengan mengadakan jumpa pers, diskusi, simposium, seminar, panel,
kolokium, praktikum, lokakarya, dan sejenisnya.
Dalam konteks metode penjelasnnya, wacana merupakan suatu praktik
yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan. Pernyataan tidak akan
mudah diterima maknanya oleh masyarakat manakala tidak dimaknai melalu
analisis wacana. Begitu juga tidak semua pernyataan pimpinan organisasi/
pimpinan pemerintahan/pimpinan politik mudah dimaknai manakala tidak
dianalisis dengan menggunakan analisis wacana.
Menurut Arifin (2000) analisis wacana dibutuhkan karena:
1. masalah kebahasaan tidak cukup diselesaikan hanya dengan
pendekatakan linguistik, tetapi memerlukan pertimbangan-pertimbangan
nonlinguistik, misalnya konteks percakapan, tindak tutur, prinsip
interpretasi lokal, prinsip analogi, dan sebagainya. Semuanya itu menjadi
titik perhatian dalam melakukan analisis wacana.
2. kebutuhan akan hadirnya kajian yang hanya bisa dilakukan manakala
mempunyai pisau analisis yang sesuai dengan bahan yang akan dianalisis.
Menurut Kartomihardjo (1993: 23-24), wacana lisan biasanya diiringi
oleh berbagai faktor termasuk faktor-faktor non-bahasa seperti:
1. situasi dan suasana di mana para peserta ujaran berinteraksi,
2. hubungan pribadi sehingga banyak pengetahuan bersama yang
dipahami bersama,
3. variasi bahasa yang digunakan dengan intonasi tertentu dan
4. berbagai macam piranti para-linguistik.
Berbagai piranti para-linguistik dapat didentifikasi seperti:
1. Gerak tubuh,
2. gerakan tangan,
3. raup wajah,
4. intonasi, dan

169
Memahami Ilmu Sosial

5. sorot mata.
Seluruh piranti para bahasa di atas dianalisis oleh analisis wacana.
Sehingga, analisis wacana yang hanya menganalisis teks pidato atua sejenisnya,
tanpa melihat bahasa tubuh, atau tanpa mendengar intonasi saat
mengucapkan pidato itu, maka analisis wacana belum lengkap, masih timpang,
dan tidak akan mendapatkan pemahaman yang hakiki.
Dengan demikian, wacana lisan sering pendek-pendek dan terdiri atas
unit-unit yang yang juga pendek-pendek dan sering kurang lengkap dan kurang
gramatikal. Namun, ada juga yang panjang kalau bentuknya adalah teks pidato,
catatan atau rekaman hasil diskusi, sambutan, arahan tertulis, prakata, dan
makalah.
Sebaliknya, wacana tulis biasanya lengkap dan lebih gramatikal, penuh
informasi penjelas agar tidak disalahtafsirkan oleh pembaca. Apabila wacana
lisan penuh dengan bentuk-bentuk informal, wacana tulis lebih banyak
menggunakan bentuk-bentuk baku, kecuali wacana yang memang disengaja
oleh penulisnya untuk menonjolkan bentuk-bentuk yang informal untuk efek
tertentu, seperti dialog di dalam cerita pendek atau novel, surat kepada
keluarga dekat atau teman akrab, wacana yang mengungkapkan kelucuan dan
sebagainya.
Walaupun demikian, terdapat pula wacana tulis yang bentuknya sangat
mirip dengan bentuk wacana lisan, seperti label advertensi, label berbagai hasil
produksi pabrik obat-obatan dan makanan, manual, pemberitahuan atau
peringatan yang dipasang di tempat tertentu dan lain sebagainya. Namun,
karena sifatnya tertulis, maka seluruhnya masih dikategorikan sebagai bahasa
tulis.

Dalam perspektif politik dan kepemimpinan sebagaimana anak judul bab


ini, analisis wacana menganalisis baik wacana lisan berupa ujara-ujaran elit
politik maupun wacana tulis berupa naskah-naskah pidato, ceramah, hasil
wawancara dan sebagainya. Seluruhnya dianalisis dengan memperhatikan
waktu, tempat, suhu politik yang melingkupi, dan lawan politik yang dihadapi.

170
Memahami Ilmu Sosial

Meskipun disepakati bahwa bahasa pada dasarnya merupakan sistem


lambang (symbol), sebagai gejala khas manusia, bahasa bukan sembarang
lambang (symbol), sembarang isyarat (code), ataupun sembarang tanda (sign),
tetapi rangkaian lambang suara dan terucap (vocal and verbal symbol), isyarat,
dan kode yang kemudian berkembang menjadi lambang tertulis. Dengn kata
lain bahasa meliputi: lambang (symbol), isyarat (code), dan tanda (sign).
Gejala paling kongkrit bahasa berupa ujaran (parole). Gejala lebih
abstrak, karena meyangkut kaidah-kaidah bahasa tertentu secara tepat, berupa
langue. Bahasa Inggris dengan segala kaidahnya, misalnya, merupakan langue.
Sedangkan yang paling abstrak adalah langage, yang mencakup tidak hanya
kaidah satu bahasa, tetapi kaidah umum berbagai bahasa (Rosidi, 2003).
Ada lima wujud gejala langage.
1. Karena kelahiran bahasa bermula dari ujaran (speech), maka gejala terkecil
bahasa adalah bunyi (sound, phone). Gejala ini dipelajari oleh cabang kajian
fonetik atau fonologi (phonetics or phonology). Jadi kajian fonetik atau
fonologi khusus mempelajari bunyi.
2. Gejala bahasa terkecil kedua berupa morfem (morpheme) dan kata (word).
Serba-serbi kata dipelajari oleh morfologi (morphology), perbendaharaan
kata ini dipelajari oleh leksikologi (lexicology), sedangkan kata sebagai
tanda dikaji oleh semiotika (semiotics). Semuanya mempunyai kekhususan
masing-masing dengan harapan ada kedalaman pemahaman, tanpa
mengurangi makna keseluruhan.
3. Gejala bahasa berupa kelompok kata dengan susunan terpola (patterned
order of words), baik frasa (phrase) maupun kalimat (sentence) dipelajari
oleh cabang kajian sintaksis (syntax). Sintaksis memahami kelompok kata
higga kalimat. Kelompok kata belum pempunyai arti, seperti: dengan
demikian, oleh karena itu, meski demikian, sebagaimana dijelaskan di atas,
dan sebagainya.
4. Karena bahasa niscaya digunakan untuk bertukar pesan, maka unsur sangat
penting bahasa berikutnya adalah makna (meaning). Gejala bahasa ini
dipelajari oleh cabang kajian semantika (semantics).
5. Selanjutnya, gejala bahasa berupa percakapan dan atau wacana
(conversation and or discourse) dipelajari baik oleh cabang kajian

171
Memahami Ilmu Sosial

pragmatika (pragmatics), hermeneutika (hermeneutics) maupun analisis


wacana (discourse analysis) (Mudjio, 2005). Dengan demikian, analisis
wacana merupakan analisis paling lengkap, karena memberikan makna
atas gejala bahasa yang paling luas.

C. Memahami Lebih Lanjut Analisis Wacana

Istilah wacana merupakan terjemahan dari kata discourse. Istilah ini


digunakan dalam teori dan analisis sosial untuk merujuk berbagai cara
menstrukturkan pengetahuan dan praktik sosial. Pengetahuan dan praktik
sosial yang telah terjadi berusaha dimaknai secara tersetruktur sehinggan
mendapatkan pemaknaan yang lebih lengkap, kongkrit, dan mendalam
Wacana termanifestasikan melalui berbagai bentuk khusus penggunaan
bahasa dan simbol-simbol lainnya. Simbol, penanda, unsur bahasa, semuanya
menjadi lebih bermakna manakala menggunakan pendekatan analisis wacana.
Wacana tidak bisa dilihat sebagai cerminan atau perwakilan dari entitas
dan hubungan sosial, melainkan sebagai sebuah konstruksi atau semua itu
(Sparringa, 2000: 1).
Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis
bahasa yang digunakan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan bahasa seperti
dalam komunikasi sehari-hari (Stubbs dalam Arifin, 2000: 8).
Analisis wacana menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks
sosial, khususnya dalam interaksi antarpenutur (Stubbs dalam Arifin, 2000: 8).
Analisis wacana itu merupakan kajian yang membahas tentang wacana,
sedang wacana itu adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi (Cook
dalam Arifin, 2000: 8).
Data dalam analisis wacana menurut Arifin (2000:8) selalu berupa teks,
baik teks lisan maupun tulis. Teks di sini mengacu pada bentuk transikpsi
rangkaian kalimat atau ujaran. Seperti yan dijelaskan di atas, kalimat itu
digunakan dalam ragam bahasa tulis, sedang ujaran digunakan untuk mengacu
pada kalimat dalam ragam bahasa lisan.

172
Memahami Ilmu Sosial

Sumber data dalam analisis ini adalah:


1. secara umum adalah para pemakai bahasa, semua orang yang berusaha
mengungkapkan sesuatu melalui bahasa
2. lebih khusus contohnya adalah pimpinan, ketua partai, pengamat politik,
pejabat pemerintah mulai Presiden hingga kepala desa bahkan bisa jadi
ketua RT/RW.
Analisis wacana menekankan pada kajian bagaimana sebuah realitas
sosial dikonstruksikan melalui bahasa dan simbol lainnya menurut cara-cara
tertentu dan yang dipahami sebagai sebuah usaha sistematis untuk
menimbulkan efek yang khusus. Definisi ini sebetulnya telah mewakili dan
dapat digunakan untuk menjawab apa itu analisis wacana.
Konsep wacana memang tidak bisa lepas dari pemikiran sentral Foucoult,
yang melihat realitas sosial sebagai arena diskursif yang merupakan kompetisi
tentang bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses
sosial itu diberi makna melalui cara-cara yang khas.
Dalam pengertian yang demikian, wacana merujuk pada bagaimana cara
yang tersedia untuk berbicara atau menulis untuk menghasilkan makna. Dalam
perspektif kepemimpinan dan politik, analisis wacana melibatkan
beroperasinya kekuasaan untuk menghasilkan obyek dan efek tertentu
sehingga masyarakat dapat memahami konsep atau tema apa yang sedang
diwacanakan oleh mereka.
Wacana secara umum sangat berhubungan dengan strategi menonjolkan
sesuatu sehingga bisa mengemuka daripada yang lain. Agar dapat mengemuka
dan menonjol dibandingkan yang lain, perlu ada publikasi secara luas dengan
memanfaatkan media dan jejaring sosial lainnya. Manakala itu tidak
dilaksanakan, maka akan tertutup oleh wacana lain yang juga sedang
diwacanakan oleh orang lain.
Setiap wacana harus dilihat dalam konteks yang di dalamnya sedang
mengoperasikan prosedur yang khas. Dalam perspektif politik dan
kepemimpinan, wacana bisa dimaknai sebagai sesuatu yang sedang
diunggulkan oleh pemerintah, seperti pencapaian MDGs, pengentasan
kemiskinan, penanggulangan banjir, bencana alam, gunung meletus,

173
Memahami Ilmu Sosial

penanganan dini bencana, penghijauan kembali hutan yang gundul, program


kali bersih, penataan pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Melalui langkah itu, wacana selalu menyertakan sebuah paket tentang
kondisi-kondisi yang membuat sesuatu menjadi mungkin dan kendala-kendala
institusional serta aturan-aturan intenal tentang apa yang dapat dan tidak
dapat dikemukakan. Setiap ada peraturan baru yang perlu disosialisasikan
melalui media, meskipun ada kendala diharapkan dapat dipahamai oleh
masyarakat. Iklan layanan masyarakat sebagai bentuk penanaman wacana
kepada masyarakat umum mempunyai peran yang sangat strategis.
Aturan-aturan yang terdapat dalam sebuah wacana memungkinkan
orang memproduksi sebuah pernyataan dan menghasilkan klaim kebenaran
atasnya. Klaim atas klaim yang dikemukakan terdahulu, kadang mempunyai
kebenaran yang lebih universal, tetapi terkadang juga malah lebih
mengambang. Pertanyaannya adalah, sampai seberapa jauh wacana mampu
memberikan pemahaman yang luas kepada khalayak sasaran.
Walaupun begini, aturan-aturan itu pula lah yang mengharuskan orang
untuk tetap berada dalam sistem yang sedang beroperasi dan hanya
menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan aturan-aturan itu.
Aturan positif yang sudah dipublikasikan dianggap sudah menjadi aturan yang
berlalu pada masyarakat. Ketika ada sebagian pihak yang tidak sepakat atau
merasa dirugikan atas peraturan tersebut, dapat mengajukan ke Mahkamah
Konstitusi akan keefektivan peraturan yang ada.
Oleh karena itu, wacana tidak pernah salah atau benar karena kebenaran
yang diproduksi selalu konstekstual dan bergantung pada aturan-aturan yang
berlaku. Kebenaran yang diproduksi oleh negara, sangat bertujuan untuk
melindungi masyarakat, sekaligus untuk memberikan jaminan kepastian hukum
kepada masyarakat.
D. Jenis-Jenis Analisis wacana

Menurut Arifin dan Rani, (2000:22-39) analisis wacana dapat


dikategorikan menjadi beberapa macam. Berdasarkan saluran yang digunakan
dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas:

174
Memahami Ilmu Sosial

1. Wacana tulis. Wacana tulis cenderung gramatikal, penataan subordinatif


lebih banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan
berstruktur subyek–predikat.
2. Wacana lisan. Wacana lisan cenderung kurang terstruktur, penataan
subordinatif lebih sedikit, jarang menggunakan piranti hubung (alat
kohesi), frasa benda tidak panjang, berstruktur topik-komen.
Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam pembicaraan dalam
komunikasi, ada tiga wacana, yaitu:
1. Monolog, bila dalam suatu komunikasi hanya ada satu pembicara dan
tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain, maka wacana yang
dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak berganti
peran sebagai pendengar.
2. Dialog, bila peserta dalam komunikasi itu dua orang dan terjadi bergantian
peran maka wacana yang dibentuk disebut dialog.
3. Polilog, jika peserta dalam komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi
pergantian peran, maka wacana yang terpentuk disebut polilog.
Dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi, dikenal:
1. Wacana deskripsi. Wacana deskripsi bertujuan membentuk suatu citra
(imajinasi) tentang sesuatu hal pada penerima pesan. Aspek kejiwaan yang
dapat mencerna wacana deskripsi adalah emosi.
2. Eksposisi. Wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal
pada penerima agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi
dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima
pesan. Oleh karena itu, untuk memahami wacana eksposisi diperlukan
proses berfikir.
3. Argumentasi. Wacana argumentasi bertujuan mempengaruhi pembaca
atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang
didasarkan ada pertimbangan logika maupun emosional. Untuk
mempertahankan argumen diperlukan bukti yang mendukung.
4. Persuasi, Wacana persuasi bertujuan mempengaruhi penerima pesan agar
melakukan tindakan sesuai dengan yang diharapkan penyampai pesan.
5. Narasi. Wacana narasi, merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita.
Unsur narasi yang penting adalah unsur waktu, pelaku, dan persitiwa.

175
Memahami Ilmu Sosial

E. Penggunaan Analisis Wacana

Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat


dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat, bagian kalimat,
atau fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih komplek
dan inheren. (Littlejohn, 1996:84)
Dari segi analisisnya, ciri dan sifat wacana itu dapat dikemukakan sebagai
berikut.
Pertama, analisis wacana membahas kaidah pemakai bahasa di dalam
masyarakat (rule of use).
Kedua, analisis wacana merupakan usaha untuk memahami makna
tuturan dalam konteks, teks, dan situasi.
Ketiga, analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan
melalui interpretasi semantik.
Keempat, analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam
tindak berbahasa (what is said from what is done).
Terakhir, analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa
secara fungsional (Sobur, 2001: 49-50).
Di bawah ini dijelaskan bagaimana analisis wacana bekerja (Sparringa,
2000:3).
1. Dalam pengertian yang luas: bahasa atau dalam pengertian yang sempit
kalimat, kata-kata (berikut struktur, susunan, dan pilihan kata, atau bahwa
intonasi pengekspresiannya), baik yang dikemukakan secara lisan maupun
tulis, merupakan wacana. Tidak ada bahasa yang tidak berkaitan dengan
wacana tertentu. Dalam bentuk yang ekstrim, “setiap kata mewakili
wacana”.
2. Dalam sebuah wacana selalu penting untuk memperhatikan tema sentral
yang tersirat dalam kata. Dengan kata lain, analisis wacana selalu
memperhatikan bagaimana sebuah kata itu diproduksi dalam sebuah
konteks tertentu. Kontekslah yang melokalisasikan bagaimana kata itu

176
Memahami Ilmu Sosial

berhubungan dengan kata-kata lainnya yang secara keseluruhan merupakan


sebuah kompleksitas jaringan makna yang amat khusus.
Apa yang dijelaskan di atas menegaskan bahwa,
pertama, bagaimana analisis wacana memperlakukan bahasa sebagai
bagian dari praktik sosial daripada semata-mata representasi dari aktivitas
individual.
Kedua, analisis wacana menegaskan tentang adanya hubungan dialektis
antara wacana dan struktur sosial sebagaimana juga dapat ditemukan dalam
hubungan di antara praktik sosial dan struktur sosial. yang disebut terakhir
merupakan kondisi sekaligus efek dari yang disebut pertama.
Ketiga, wacana dibentuk dan dikendalikan oleh struktur sosial dalam
pengertian yang seluas-luasnya dan dalam semua tataran.
Keempat, pada sisi yang lain, wacana adalah fundamental secara sosial
artinya, wacana selalu melibatkan proses formasi obyek, subyek, dan konsep
yang tidak saja secara pasif merepresentasikan realitas tetapi secara dialektis
membuat realitas menjadi bermakna dengan mengkonstruksikan realitas
tersebut secara aktif.
Terdapat tiga hal penting dalam analisis wacana.
Pertama, analisis wacana memberikan perhatian pada usaha
mengidentifikasi dan melokalisasi identitas sosial dan posisi subyek.
Kedua, analisis wacana membantu usaha mengkonstruksikan hubungan
sosial di antara individu.
Ketiga, analisis wacana memberikan alat untuk mengkonstruksikan
sistem pengetahuan dan kepercayaan.
Bab 9

177
Memahami Ilmu Sosial

Bab 11

KONSTRUKSI SOSIAL
Suatu tinjauan dari Perspektif Kepimimpinan dan politik

A. Pendahuluan

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990: 5) mencetuskan ide


konstruksi sosial (social construction) sebagai satu kajian teoretis dan sistematis
mengenai sosiologi pengetahuan.
Dalam paradigma konstruktivis, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
(1990: 5) menjelaskan bahwa realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang
diciptakan oleh individu. Individu mengkonstruksi dunia sosialnya, sehingga
membentuk dunia sosial yang sesuai dengan keinginannya.
Intinya:
1. Individu melakukan tindakan sebagai aktor yang kreatif atas realitas
sosialnya. Tanpa kreativitasnya, individu tidak akan mampu menciptakan
ide-ide yang cemerlang sehingga bisa mengubah konstruksi sosial yang
sudah ada sebelumnya.
2. Ia bebas menentukan tindakan mana yang sesuai dengan nilai baik buruk,
benar salah, norma, moral, etika, dan hukum, dan mana tindakan yang tidak
sesuai dengan semua itu.
3. Individu adalah manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia
yang satu dengan yang lain. Ia bebas memilih partner dalam berkomunikasi,
hidup berkeluarga, berteman, bekerja sama, dan sebagainya. Dengan
kebebasan itu, individu bisa kreatif dalam memberikan warna bagi realitas
sosial yang melingkupinya.

178
Memahami Ilmu Sosial

4. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan


kehendaknya. Kehendaknya adalah membimbing individu (the self) dan
orang lain untuk bertindak atau tidak bertindak.
5. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai mesin produksi
sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi fakta sosialnya.
Individu kreatif dalam membentuk lingkungan dan lingkungan secara kreatif
dipengaruhi oleh gerak langkah kreatif individu. Individu membangun
kenyataan, dan individulah yang berusaha semaksimal mungkin
mempengaruhi bangunan individu lain dan linkungannya.
6. Individu sebagai penentu atas tindakan yang telah dilakukan, sedang
dilakukan, dan akan dilakukan. Ia menentukan segalanya.
7. Individu membentuk realitias sosial atas pengalaman-pengalamannya.
Pengalaman baik membentuk realitas sosial yang baik dan penuh makna,
sebaliknya pengalaman yang buruk juga membentuk realitas sosial yang
penuh makna juga. Pengalaman yang baik dikembangkan, pengalaman yang
buruk menjadi pelajaran atas dirinya, fakta sosialnya, dan lingkungan
sosialnya.

B. Konsep Konstruksi Sosial

Menurut Berger dan Luckmann (1966: 1) dunia pengalaman individual


tidak dapat dipisahkan dari dunia sosial. Namun, dengan pengalaman yang
diperoleh itu, individu tidak pasif, justru menjadi aktif untuk
mengembangkannya, hingga mampu mengkonstruksi sosial dalam bentuk
bangunan baru.
Realitas terbentuk secara sosial berdasarkan kenyataan yang secara
kreatif tumbuh dari individu-individu yang kreatif dl dalam masyarakat.

Kedua penulis ini mengakui adanya realitas sebagai kualitas yang


berkaitan dengan fenomena yang dianggap di luar kemauan kita (karena
fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan). Konstruksi sosial atas kenyataan
banyaknya Tsunami misalnya, tidak bisa dilepaskan dari adanya keganasan alam
yang tidak bisa diajak bersahabat. Akan tetapi dengan kreativitasnya, manusia
dapat menciptakan alat pendeteksi dini bila akan terjadi Tsunami, sehingga

179
Memahami Ilmu Sosial

konstruksi sosial masyarakat yang tinggal di pesisir tidak perlu selalu atau terus
menerus mengalami trauma ketakutan. Dengan demikian, konstruksi sosial atas
kenyataan banyaknya dan seringnya terjadi Tsunami dipengaruhi oleh keadaan
alam yang tidak dapat dihindari, tetapi juga dipengaruhi oleh kreativitas
individu dalam menghadapi realitas sosial itu, sehingga mampu
mengkonstruksi realitas sosial baru.
Dalam perspektif teori konstruksi sosial, realitas sosial sedikit banyak
telah menuntun individu dalam melakukan sesuatu. Relaitas sosial yang
mampu menuntun individu disebut sebagai realitas sosial yang sejatinya,
karena sesuai dengan norma yang berlaku. Sementara realitas sosial yang tidak
mampu menuntun individu masih dapat dikategorikan sebagai realitas sosial
semu, karena tidak sesuai dengan norma, nilai, adat, dan keyakinan individu.
Berger dan Luckmann (1990)3 berpendirian bahwa realitas merupakan
hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia
sosial di sekelilingnya. Ketika banyak orang berkelahi memperebutkan
kekuasaan tanpa ada aturan, individu secara kreatif membentuk sistem
demokrasi, sehingga realitas sosial atas perebutan kekuasan tidak dilakukan
dengan cara barbarian. Pada tahap selanjutnya, tingkat demokratisasi individu
generasi berikutnya dikonstrusi oleh lingkungan. Dengan demikian, kekuatan
lingkungan mengkonstruksi individu, hanya berlaku, manakala lingkungannya
telah terbentuk oleh konstruksi sosial sebelumnya.
Manusia mengkonstruksi dunia sosialnya, baik fisik maupun non fisik.
Kemampuan membangunan realitas sosial nonfisik secara sempurna tidak
artivisial, hanya dapat dilakukan oleh manusia, sementara hewan hanya
mampu membangun realitas nya dalam arti sesuai dengan kehidupannya yang
secara insting berkelompok, melawan musuh bersama, saling kanibal, dan
sebagainya.
Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang memiliki
makna subyektif. Oleh karena itu, perilaku memiliki tujuan dan motivasi.

3
Tulisan ini banyak sekali mendapat masukan dari Drs. Putra Manuaba, M.Hum; dan I Nyoman
Budiana, S.H, M.Si., terutama dalam meletakkan landasan konsep.

180
Memahami Ilmu Sosial

1. Setiap tindakan manusis pasti bertujuan, kecuali dilakukan oleh orang yang
kurang normal. Ketika kita melempar batu ke sungai ada dua tujuan, jika di
sana tidak ada orang yang sedang buang hajat di sungai maka tujuan kita
hanya sekedar untuk mendaptkan gelombang yang bagus dipandang.
Tetapi, ketika kita melempar batu di belakang orang yang sedang buang
hajat, tentu mempunyai makna mengganggu agar baju orang tersebut
basah, biar orang tersebut terkejut, atau biar lucu. Tentu saja, tujuan yang
ingin dicapai bukan untuk mendapatkan pemandangan gelombang yang
bagus.
2. Motivasi seseorang melakukan konstruksi sosial, merupakan latar belakang
yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan kreatif membangun
realitas sosial yang baru. Sebagai contoh, motivasi individu yang ingin
mendapatkan suatu tatanan sosial yang bersih dari asap rokok. Motivasinya,
tentu dilatarbelakangi oleh adanya ulah perokok yang tidak mengenal waktu
dan tempat. Dengan membangun konstruksi sosial yang sadar akan bahaya
rokok, tentu dengan membudayakan rokok di tempat-tempat dimana
seseorang boleh merokok. Dengan demikian konstruksi sosial yang
dibangun termotivasi dalam rangka mendapatkan kesehatan yang prima.
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa realitas sosial terdiri atas tiga
macam, yaitu:
1. realitas subyektif,
2. realitas obyektif, dan
3. realitas simbolik.
Pertama, realitas subyektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses
penyerapan kembali realitas obyketif dan simbolik ke dalam individu melalui
proses internalisasi. Realitas ini kadang mempunyai makna yang saling berbeda
antara subyek yang satu dengan subyek yang lainnya.
Kedua, realitas obyektif terbentuk dari pengalaman di dunia obyektif
yang berada di luar diri individu, dan realitas itu dianggap sebagai suatu
kenyataan. Realitas inilah yang paling mudah dikenali, karena benar-benar riil,
tanpa ada simbol, atau kode, atau tanda. Realitas subyektif yang dialami sehari-
hari dijadikan landasan dalam membangun realitas berikutnya. Realitas sosial
di negara orang lain yang kebetulan sering dialami, dan meresa cocok atau

181
Memahami Ilmu Sosial

bagus ditempatkan pada realitas sosial di lingkungan dirinya, tentu akan


dijadikan pedoman dalam membangun realitas berikutnya. Realitas sosial
kebiasan membuang ludah sembarangan, untuk merubah realitas sosial atas
pengalaman itu tidak mudah, akan tetapi perlu puluhan tahun.
Ketiga, realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas
obyektif dalam berbagai bentuk. Dalam pembahasan realitas simbolik,
sebenarnya sudah dijelaskan secara panjang lebar pada bab interaksi simbolik.
Intinya, realitas simbolik juga berpengaruh dalam membangun bangunan
konstruksi sosial di masyarakat (Burhan Bungin, 2001: 4-5).
Teori konstruksi sosial tidak sepi dari pengaruh. Keberadaan teori ini
diilhami oleh teori sosial sebelumnya, seperti pemikiran Schutzian tentang
fenomenologi, Weberian tentang makna-maknya subyektif, Durkheimian-
Parsonian tentang struktur, dan Marxian tentang dialektika, serta Mead
tentang interaksionisme-simbolik (Berger dan Luckmann, 1990: 23-24).
Pengaruh filsafat terutama filsafat fenomenologi dan teori pengetahuan
khususnya, sangatlah kental dalam mempengaruhi konstruksi sosial. Konstruksi
sosial tidak lepas dari pemaknaan kehidupan sehari hari. Konstruksi sosial juga
tidak dapat lepas dari pemahaman rasional atas realitas yang ada.
Dalam hal ini, Poloma memandang, pembentukan realitas secara sosial
sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme (Poloma, 1990:13).
Strukturalis berperan dalam mewadahi ide-ide, bahkan di dalam realitas sosial,
struktur kelas, lapisan, dan struktur lainnya tidak dapat dipisahkan. Sekolah ada
yang negeri dan swasta. Sekolah negeri ada yang terakreditasi A, B, C dan tidak
terakreditasi. Sekolah swasta ada yang vavorit ada yang kembang-kempis.
Sekolah swasta ada yang bertaraf internasional, ada yang nasional, bahkan ada
yang lokal. Dengan demikian, konstruksi sosial itu sendiri juga menghasilkan
strukturasi sosial.
Teori konstruksi sosialnya, Berger dan Luckmann menaruh perhatian
pada kajian mengenai hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial
tempat pemikiran itu timbul, berkembang, dan dilembagakan. Manusia tidak
mampu mengkonstruksi realitas sosial di lingkungannya manakala ia tidak
memahari realitas sosial yang ada di sekelilingnya. Ketika era ciber seperti

182
Memahami Ilmu Sosial

sekarang ini, konstruksi sosial yang terbangun akan sangat dipengaruhi era
ciber dan era digital tersebut. Saat teori konstruksi sosial lahir, era seperti ini
belum ada, yang ada mungkin era pabrikasi, industrialisasi, atau bahkan era
pertanian.
Sejarah kelahiran teori konstruksi sosial diawali ketika situasi sosiologi
Amerika pada masa itu didominasi oleh pendekatan positivistis yang
menekankan kuantitatif. Hampir tidak berkembang sosiologi alternatif (seperti
sosiologi interpretatif dan humanistis) dengan pendekatan post positivisme
yang berhaluan kualitatif.
Dengan kata lain, munculnya teori konstruksi sosial Berger dan
Luckmann di Amerika memiliki arti penting, sebagai akibat adanya pertikaian
metodologis dalam bidang ilmu-ilmu sosial, baik dari kubu kuantitative
approach dan kualitative approach.
Dalam konteks ini, Berger berusaha mereposisi status otonomi sosiologi
dari dominasi ilmu-ilmu alam dan sosiologi politik (yang keduanya condong ke
orientasi positivistis). Dengan berbagai pengaruh pemikiran di atas, terutama
fenomenologi Schutz, Berger berpendirian bahwa bersosiologi itu harus
mengikuti proses berpikir seperti yang dituntut fenomenologi, yakni dimulai
dari kenyataaan kehidupan sehari-hari sebagai realitas utama gejala
masyarakat. Selanjutnya, upaya inilah yang kemudian melahirkan teori
konstruksi sosial

C. Pijakan Teori Konstruksi Sosial


Pijakan teori konstruksi sosial yaitu;
1. Sosiologi pengetahuan
2. Fenomenologi
3. Interasionisme.
Pertama, sosiologi pengetahuan menjadi pijakan pertama, karena teori
ini merupakan bagian dari teori sosiologil. Tanpa berpijak pada sosiologi

183
Memahami Ilmu Sosial

pengetahuan, teori konstruksi sosial tidak mempunyai pondasi, tidak


mempunyai payung. Tanpa mempunyai payung, teori ini akan bernaung di
bawah teori yang mana.
Berger berpandangan bahwa sosiologi pengetahuan memusatkan
perhatian pada struktur dunia akal sehat (common-sense world). Dalam hal ini,
kenyataan sosial didekati dari berbagai pendekatan seperti dari pendekatan
mitologis yang irasional, pendekatan filosofis yang moralistis, pendekatan
praktis yang fungsional; semua jenis pengetahuan itu membangun dunia akal
sehat.
Pengetahuan masyarakat itu bersifat kompleks, selektif, dan akseptual
(inderawi, intelektif, perspektif, refleksif, diskursif, intuitif, induktif, deduktif,
kontemplatif, spekulatif, dan sinergis). Akibat kompleksnya hal itu, sosiologi
pengetahuan perlu menyeleksi bentuk-bentuk pengetahuan yang
mengisyaratkan adanya kenyataan sosial,
Sosiologi pengetahuan mampu melihat pengetahuan dalam struktur
kesadaran individual, serta dapat membedakan antara pengetahuan (urusan
subjek dengan objek) dan kesadaran (urusan subjek dengan dirinya sendiri).
Dengan usaha-usaha semacam itu, sosiologi pengetahuan dapat menjadi
pintu masuk utama dalam kegiatan membangun teori sosiologi yang relevan
dengan konteks sosialnya. Di samping itu, karena sosiologi pengetahuan Berger
ini memusatkan pada dunia akal-sehat (common-sense) maka perlu memakai
prinsip logis dan sekaligus nonlogis. Dalam pengertian, berpikir secara
“kontradiksi” atau “dialektis” (tesis- antitesis-sintesis).
Sosiologi pengetahuan memiliki kemampuan mensintesakan gejala-
gejala sosial yang kelihatan kontradiksi ke dalam suatu sistem interpretasi yang
sistematis, ilmiah, dan meyakinkan. Oleh karena itu, tidak heran jika kenyataan
hidup sehari-hari pun memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif (Berger
dan Luckmann, 1990: 28-29).
Kedua, kajian teori fenomenologi, yakni dalam pengembangan teori
konstruksi sosial tidak lepas dari kenyataan sehari. Dunia ralitas yan dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari menjadi sumber pengembangan teori konstruksi
sosial. Bentuk penghayatan atas realitas sosial kehidupan sehari-hari hingga

184
Memahami Ilmu Sosial

mampu menjadikan dasar dalam pengembangan teori konstruksi sosial. Esensi


masyarakat yang implisit dalam gejala-gejala sosial itu menjadi bahan baku
dalam pengembangan teori konstruksi sosial.
Dalam fenomenologi, mampu memahami dan mendekati kompleksitas
dan pluritas masyarakat, terlebih lagi masyarakat modern. Dalam hubungan ini,
kekuatan fenomenologi terletak pada kemampuannya membangun interpretasi
objektif atas kejadian-kejadian yang dialami dalam masyarakat. Masyarakat itu
sendiri pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan dan interpretasi tentang
kehidupannya sendiri.
Atas dasar itu, tafsiran sosiologis (yang memiliki kadar ilmiah, rasional,
dan sistematis) akan memberi dimensi baru atas tafsiran masyarakat yang
dibentuk secara common-sense (akal sehat), sehingga muncul relevansi teori
sosiologi atas kehidupan nyata dan begitu sebaliknya (Poloma, 1984).
Ketiga, teori interaksionisme, dalam arti konstruksi sosial dikembangkan
dari hasil inteksi antara individu yang satu dengan individu lainnya. Tanpa
melakukan interaksi yang intensif fan kondusif, maka pengembangan teori
konstruksi sosial tiak dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pergaulan sosial yang termanifestasikan
dalam tindakan (entah dalam berkomunikasi, berorganisasi, karya sastra, dan
sebagainya). Kenyataan sosial itu ditemukan dalam pengalaman intersubjektif;
dan melalui pengalaman ini pula masyarakat terbentuk secara terus-menerus
(unlimited). Masyarakat terbangun dari dimensi objektif dan sekaligus dimensi
subjektif; sebab masyarakat itu sendiri sesungguhnya buatan kultural dari
masyarakat (yang di dalamnya terdapat hubungan intersubjektivitas).

D. Arah Pemikiran Teori Konstruksi Sosial

Realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi objektif dan


subjektif. Dimensi obyektif adalah dimensi di luar diri manusia yang akan
dimaknai secara obyektif pula. Dalam hal ini kedalaman pemberian makna
obyektif menentukan kedalaman teori konstruksi sosial yang dibangun.
Dimensi subyektif adalah dimensi yang ada dalam diri individu yang tengah
melakukan interpretasi. Dalam proses ini individu melakukan obyektivasi,

185
Memahami Ilmu Sosial

internalisasi, dan eksternalisasi yang terus menerus tanpa henti, dalam rangka
memberikan makna atas realitas sosial dan realitas individual.
Manusia memandang konteks sosial dalam bentuk obyektivasi. Melalui
kegiatan obyektivasi itu, seluruh realitas sosial diamati, dimonitor, dan difoto.
Proses obyektivasi sebagai awal proses pembentukan teori konstruksi sosial.
Dengan proses ini, seluruh realitas sosial dimasukkan dalam alam pikiran
manusia.
Proses memasukkan segala sesuatu yang dilihat dan diamati tersebut
disebut sebagai proses internalisasi. Melalui proses internalisasi, fenomena
yang sudah berhasil dilihat dan diamati mulai dipahami dengan proses
pemahaman yang hakiki. Tingkat pemahaman dalam proses internalisasi akan
mempengaaruhi kualitas hasil eksternalisasi. Sebagaimana manusia yang telah
melakukan proses obyektivasi dan melakukan internalisasi, maka dakan
tercermin realitas subjektif) yang akan dieksternalisasikan dalam bentuk
realitas obyektif.
Dengan demikian, manusia merupakan instrumen yang mampu
menciptakan realitas objektif melalui suatu proses eksternalisasi. Proses
berfikir dialektis, dari objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi yang
berlangsung secara simultan. Simultan di sini dapat dimaknai sebagai proses
yang bersiklus secara terus menerus tanpa henti sebelum dunia ini berhenti
berputar.
Dengan perkembangan yang terus menerus tersebut, perkembangan
tatanan sosial sebagai hasil proses konstruksi sosial yang berjalan secara
simultan tidak akan berhenti. Perkembangan ilmu sosial khusunya tentang
fenomena sosial juga tidak akan pernah berhenti.
Dengan kemampuan berfikir dialektis, Berger memandang masyarakat
sebagai produk manusia; masyarakat merupakan kenyataan objektif dan
manusia sebagai produk sosial (Berger dan Luckmann, 1966:75; Berger,
1994:11-14).
Penekanan pada salah satu momen dialektis dapat mengakibatkan
kemandegan dari perkembangan sosiologi selama ini. Karena itu dalam
kerangka strategi pengembangan sosiologi di masa depan harus diupayakan

186
Memahami Ilmu Sosial

suatu sintesa dari ketiga momen dialektis dimaksud. Kemandegan dalam


proses obyektivasi akan membawa dampak kemandegan dalam proses
internalisasi. Kemandegan dalam proses internalisasi akan berdampak pada
kemandegan proses eksternalisasi. Sebaliknya, proses obyektivasi yang selalu
berjalan akan mendorong pelaksanaan proses internalisasi, dan akan
mendorong pula proses eksternalisasi.

E. Realitas atas Kenyataan

Berger dan Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun


secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus menganalisis proses
terjadinya itu. Dalam pengertian, individu-individu dalam masyarakat itulah
yang membangun masyarakat, maka pengalaman individu tidak terpisahkan
dengan masyarakatnya.
Semakin individu kreatif, semakin cepat masyarakat itu maju. Kontruksi
sosial yang dibangun melalui penemuan teknologi baru yang sebelumnya
belum ada, membawa perubahan sosial yang sangat timpang. Bagi daerah atau
negara yang belum mampu bertamsya ke bulan, belum ada kebutuhan
menabung pergi ke bulan. Bagi masyarakat yang sudah mengenal teknologi
perjalanan ke bulan, ada niat yang kuat untuk menabung agar suatu saat bisa
pergi berwisata ke bulan.
Konstruksi sosial yang dihasilkan yang belum mengenal teknologi HP,
akan sangat timpang dengan masyarakat yang sudah mengenal HP. Bagi
masyarakat yag sudah mengenal HP, tanpa kehadiran HP di tangannya,
masyarakat tidak bisa hidup, bekomunikasi dengan orang lain, dan tidak dapat
mendapatkan penghasilan yang maksimal.
Pemikiran inilah yang mendasari lahirnya teori sosiologi kontemporer
“konstruksi sosial” (social construction). Konstruksi sosial yang terbangun saat
ini tidak terlepas dari konstruksi sosial sebelumnya. Konstruksi social
sebelumnya mendasari dan menjadi fondasi bagi perkembangan konstruksi
sosial sesudahnya.

187
Memahami Ilmu Sosial

Dalam sosiologi pengetahuan atau konstruksi sosial, manusia dipandang


sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi
yang diawali dari proses internalisasi dan obyektivasi.
Karya Berger ini menjelajahi berbagai implikasi dimensi kenyataan
obyektif dan subyektif, dan proses dialektis dari obyektivasi, internalisasi, dan
eksternalisasi. Kenyataan subyektif memberikan implikasi kenyataan obyektif.
Kenyataan subyektif dari tingkah laku individu, kumpulan individu, kelompok
besar individu telah membentuk kondisi obyektif yang berkembang di
masyarakat.
Sebagaimana disinggung, salah satu inti dari sosiologi pengetahuan
adalah menjelaskan adanya dialektika antara diri (the self) dengan dunia socio-
cultural. The Self sebagai dirisubyek yang bersangkutan, sedangkan orang lain
sebagai the other, realitas sosial pun bisa sebagai the other. Ada juga yang
menyebut realitas sosial sebagai suatu kondisi sosial budaya yang berkembang
di masyarakat (Socio-cultural).
Kurangnya teori-teori sosial memperhatikan interplay atau dialektika
antarketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan dalam
perkembangan teori-teori sosiologi sebelum teori Berger ini. Oleh karena itu,
mungkin teori konstruksi sosial Berger ini dipandang sebagai “pencerahan”
teori-teori sosiologi. Teori ini akan mempunyai makna jauh lebih penting
dibandingkan teori perubahan sosial yang belum mampu menguraikan
terjadinya perubahan tatanan masyarakat, yang sesungguhnya perubahan
sosial masyarakat tidak terlepas ada tidaknya individu yang kreatif
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh teori konstruksi sosial.

188
Memahami Ilmu Sosial

Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung


dalam tiga momen dialektis yang simultan (eksternalisasi, obyektivikasi, dan
internalisasi) serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang
dinamakan kenyataan sosial itu adalah suatu konstruksi sosial produk
masyarakat sendiri (social constructions of reality). Kenyataan sosial itu dalam
perjalanan sejarahnya telah ada dari masa lampau, ke masa kini, dan menuju
masa depan.
Usaha Berger dan Luckmann untuk memadukan berbagai perspektif dari
berbagai aliran teori sosiologi menjadi satu konstruksi teoretis yang memadai,
merupakan upaya penting untuk menampilkan hakikat masyarakat yang
bercorak pluralis, kompleks, dan dinamis. Hingga saat ini, tinggal beberapa
kelompok masyarakat saja yang proses konstruksi sosialnya lambat dalam arti
tidak mampu melakukan obyektivasi dan internalisasi realitas sosial yang sudah
berkembang dengan pesat di luar kelompoknya. Misalnya, masyarakat Suku
Lembah Baliem, masyarakat suku Badui Dalam, dan masyarakat terasing
lainnya. Mereka tidak mau bukan tidak mampu, melakukan obyektivasi dan
internalisasi, hingga menghasilkan proses eksternalisasi dalam bentuk adaptasi
sosial atas realitas yang terjadi di masyarakat.
Oleh berbagai kalangan ilmuwan, usaha Berger dan Luckmann ini juga
dapat dipahami sebagai “pendefinisian kembali” yang berjangkauan jauh
mengenai lingkup sosiologi pengetahuan. Dengan adanya teori konstruksi
sosial, sosiologi pengetahuan menemukan jati dirinya. Ia akan selalu
berkembang mendahului jamannya. Ia bukan hanya berkembang mengikuti
jaman tetapi justru bisa mendahului perkembangan jaman.

F. Kenyataan Social Sehari-Hari

Bagi Berger (1994: xiv), kenyataan sosial sehari-hari merupakan


konstruksi sosial buatan masyarakat. Dalam perjalanan sejarahnya dari masa
silam ke masa kini, ditata dan diterima, untuk melegitimasi konstruksi sosial
yang sudah ada dan memberikan makna pada perbagai bidang pengalaman
individu sehari-hari.

189
Memahami Ilmu Sosial

Hal ini menjelaskan bahwa dunia manusia sebenarnya ditandai oleh


keterbukaan dan perilakunya hanya sedikit yang ditentukan oleh naluri. Naluri
untuk hal-hal yang sepele, tetapi konstruksi sosial menuju bangunan sosiologi
pengetahuan yang kokoh tidak dapat dikembangkan berdasarkan naluri.
Manusia dengan sadar membentuk perilakunya, memaksakan suatu
tertib pada pengalamannya. Hal ini berlangsung secara terus-menerus, dengan
kesadaran intensionalnya selalu terarah dan dipengaruhi oleh objektif yang
berada di luarnya, sehingga hubungan dengan masyarakatnya dan segala
pranatanya bersinggungan secara dialektis.
Hubungan yang terus menerus, kejadian sosial yang terus menerus,
perilaku sosial yang terus menerus, fenomena sosial yang terjadi secara terus
menerus juga akan menjadi landasan bagi pembembangan masyarakat dalam
tataran konstruksi sosial.
Kajian konstruksi sosial secara teoritis dan sistematis sebagaimana
digambarkan di atas, menurut Poloma (1994: 319) bahwa usaha Berger untuk
mengembangkan teori yang relevan ilmiah-humanitis itu membuat karya
Berger sebagai tonggak yang abadi dalam perspektif teoritis sosiologi
kontemporer.
Manusia memiliki peluang untuk mengeksternalisir atau secara kolektif
membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya
perubahan aturan sosial-perubahan yang kembali melanda si pencipta dan
dapat juga melanda generasi-generasi berikutnya. Dengan demikian,
masyarakat adalah produk dari manusia yang tidak hanya dibentuk oleh
masyarakat, tetapi juga sadar atau tidak, mencoba untuk mengubah
masyarakat.
Upaya mengubah masyarakat menjadi masyarakat yang lebih
terkontruksikan akan menjadi terminal antara teori konstruksi sosial. Tidak ada
terminal akhir dalam pengembangan masyrakat yang menggunakan teori
konstruksi sosial.
Dari paparan di atas, penerapan teori Berger ternyata tidak terbatas
pada analisis masyarakat secara makro serta pranata sosial yang besar, tetapi
juga terhadap analisis kelompok kecil (mikro), misalnya: sistem kekeluargaan,

190
Memahami Ilmu Sosial

adaptasi teknologi di dapur, di ruang tamu, di ruang tidur, di tempat umu,


termasuk perkawinan antara suami istri, perilaku beragama dan perilaku
individu lainnya. Karena itu teori konstruksi sosial juga dapat digunakan untuk
menganalisis bidang: keluarga, individu, agama, perubahan sosial, pendidikan,
teknologi, budaya, dan sebagainya.
Dalam pengalaman sejarah umat manusia, realitas objektif dibangun
untuk mengatur pengalaman individu yang berubah-ubah, sehingga
masyarakat terhindar dari kekacauan dan dari situasi tanpa makna
(meaninglesness). Perubahan tanpa makna terjadi manakala dalam proses
penerapan hasil konstruksi sosial melawan nilai-nilai, norma, tatanan, adat,
hukum, dan tata peri kelakuan lainnya.
Perubahan sosial terjadi kalau proses eksternalisasi individu
menggerogoti tatanan sosial yang sudah mapan dan diganti dengan suatu orde
yang baru, menuju kepada keseimbangan baru. Keseimbangan baru, juga
bersifat tentatif, artinya bukan harga mati, karena sifat dari konstruksi sosial
tidak pernah mengenal berhenti.
Dalam masyarakat lebih menonjolkan stabilitas, maka individu dalam
proses eksternalisasinya mengidentifikasikan dirinya dengan peran sosial yang
sudah dilembagakan dalam institusi yang sudah ada. Akibatnya, proses
perubahan yang terjadi paa masyarakat menjadi lambat, teori konstruksi sosial
yang bekerja pun menjadi terhambat oleh kebiasaan masyarakat yang selalu
ingin statis, tapi damai.
Pada umumnya, proses internalisasi dan mengekspresikan setiap
individu berbeda dalam menyerap dan mengekspresikan suatu bentuk
penafsiran tentang realitas sosial secara terbatas, sebagai cermin dari dunia
objektif dan subjektifnya. Proses ini menjadi kunci mau dan tidaknya, individu
itu kreatif. Dalam proses ini kreativitas individu menjadi taruhannya. Manakala
individu terikat oleh tatanan masyarakat yang mengedepankan fungsional,
maka proses internalisasi tidak akan banyak menghasilkan proses
eksternalisasi. Meskipun ada proses eksternalisasi, biasanya justru
melanggengkan tatanan yang sudah ada, mendukung tatanan yang sudah

191
Memahami Ilmu Sosial

dianggap baik, dan hanya sedikit sekali yang mampu membawa ke arah
perubahan.
Selain itu, Berger berhutang budi kepada Alfred Schutz, karena dalam
karyanya Schutz memusatkan perhatian pada struktur dunia akal sehat
(commonsence world) dari kehidupan sehari-hari.
Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi yang dikembangkan
oleh Husserl, Schutz ingin mendeskripsikan kenyataan seperti apa adanya. Di
samping analisis deskriptif juga dilakukan introspektif mengenai kedalaman
semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung seperti:
religius, moral, estetis, konseptual serta inderawi.
Secara keseluruhan diadakan penyelidikan pada dunia kehidupan atau
kehidupan subjektif dan bathiniah dengan menekan watak intensional
kesadaran, tanpa mengandaikan praduga konseptual ilmu empiris yang mapan.
Struktur objektif masyarakat dalam pandangan sosiologi pengetahuan
Berger dan Luckmann tidak pernah menjadi produk akhir dari suatu interaksi
sosial, karena struktur berada dalam suatu proses objektivasi menuju suatu
bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu proses eksternalisasi
yang baru lagi.
Itulah perjalanan sejarah perkembangan kehidupan sosial. Perubahan itu
tidak akan cepat terjadi apabila ada rasa aman yang dialami individu
berhadapan dengan struktur objektif. Rasa aman di sini bukan dalam arti aman
secara material, tetapi aman secara bathiniah, antara lain karena makna
kehidupannya dijamin dalam struktur objektif itu (Berger dan Luckmann, 1966:
61).
Ada beberapa tradisi pemikiran yang mempengaruhi dan menjadi acuan
Berger dalam memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yaitu tradisi
Durkheimian dan tradisi fungsionalisme struktural Parsonian, yang mengakui
adanya eksistensi kenyataan sosial objektif yang ditemukan dalam hubungan
individu dengan lembaga sosial, menjadi pijakan Berger untuk mengabadikan
konstruksi sosial sebagai kenyataan objektif pada dirinya (Berger dan
Luckmann, 1966: 52). Semua itu, pada dasarnya telah terakomodasi hingga
menjadi teori konstruksi sosial yang kokoh seperti saat ini.

192
Memahami Ilmu Sosial

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 1992. Materi Pokok Pendidikan IPS-2: Buku 1, Modul 1. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remadja Karya
Abudullah, Taufik. 2006. Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Adams, Zibi M., 2009, The Factors that Influence Parental Involvement in the
Development of their Children’s Literacy At Senior Phase, Stutterheim:
Kubusie Combined School
Ahmadi, Iif Khoiru dan Amri, Sofan. 2011. Mengembangkan Pembelajaran IPS
Terpadu. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya.
Allport, Gordon W. 1954. The Historical Background of Modern Social
Psychology dalam G.E. Lindzey. Handbook of Social Psychology. 1st ed.
Vol 1 Cambridge, MA: Cambridge Univercity Press.
Alluisi, E.A. dan Morgan B.B.Jr. 1976. Engineering Psychology and Human
Performance. Annual Review of Psychology.
Amstrong, David. 2000. Sosiologi Medis dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anastasi, Anne. 1989. Bidang-Bidang Psikologi Terapan. Diterjemahkan oleh
Aryatmi dkk. Jakarta: Rajawali.
Apter, David A. 1996. Pengantar Analisa Politik. Diterjemahkan oleh Setiawan
Abadi. Jakarta: LP3ES.
Arifin, Bustanul, dan Abdul Rani, 2000, Prinsip-Prinsip Analisis Wacana, Jakarta:
Depdiknas, Dikti, Direktorat P4M.

193
Memahami Ilmu Sosial

Atkinson, Rita L. 1996. Pengantar Psikologi. Jilid 1 dan 2. Diterjemahkan oleh


Nurdjannah Taufiq dan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ballantine, Jeanne H. 1983. The Sociology of Education: A Scientific Analysis.
New Jersey: Prentice Hall.
Barents, J. 1965. Ilmu Politik Suatu Perkenalan Lapangan. Diterjemahkan oleh
L.M. Sitorus. Jakarta: Pembangunan.
Bass, B.M., & Avolio, B.J. (1993). Transformational Leadership: A Response to
Critiques. In M.M. Chemers & R. Ayman (Eds.), Leadership Theory and
Research: Perspectives and Direction (pp. 49–88). San Diego, CA:
Academic Press.
Bass, Bernard M and Avolio, Bruce J, 1993, “Tansformational Leadership And
Organizational Culture,” Public Administration Quarterly, Vol. 17 No.1,
pp 112–121
Bauman, Zygmunt. 2000. Sosiologi dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Beer, C.G. 2000. Insting atau Naluri dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Berger, L. Peter, Mary Douglas, Michel Foucault, and Jurgen Hubermas, 1987,
Cultural Analysis, London & New York: Routledge & Kegan Paul
Berger, Peter L dan Thomas Luckman, 1966, The Social Contruction of Reality: A
Treatise in The Sociology of Knowledge, New York: Doubleday & Co Inc,
Garden City.
Berger, Peter L. dan Hansfried Kellner, Sosiologi Ditafsirkan Kembali, Jakarta:
LP3ES, 1985.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan, Terjemahan A. Hasan Basari, Jakarta:
LP3ES, 1990.
Berger, Peter L., Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, Penerjemah
Hartono, Jakarta: LP3ES, 1994.
Berger, Peter, L. & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A
Treatise in the Sociology of Knowledge. Garden City, N.Y. : Doubleday &
Campany, Inc. 1966.
Berger, Peter, L., Kabar Angin dari Langit (Makna Teologi dalam Masyarakat
Modern), Jakarta: LP3ES, 1994.

194
Memahami Ilmu Sosial

Bezucha, Robert J. 1972. Modern European Social History. Lexington,


Massachusets: D.C. and Company.
Bliss, Christopher. 2000. Ilmu Ekonomi dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bredow, Wilfried Von. 2000. Sosiologi Militer dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Brockett, Charles D, Ed, Land, Power, and Poverty: Agrarian Transformation and
Political Conflict In Central America, Research at Central American and
North American by Grants The University of Shout Faculty Research Fun,
Boston: Unwin Hyman Inc,1990.
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Bungin, Burhan, 2001, Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke
arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press
Bungin, Burhan. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Burke, Peter. 2000. Sejarah dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper. Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Burke, Peter. 2001. Sejarah dan Teori Sosial. Diterjemahkan oleh Mestika Zed
dan Zulfami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Busro, Muhammad, 2012, Pengaruh Kompetensi Kerja, Kepercayaan Diri, dan
Pendapatan, terhadap Motivasi Kerja, dan Implikasinya pada Kepuasan
Kerja Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Purna di Kabupaten Purworejo Jawa
Tengah, Draft Disertasi, Jakarta: PPs UPI Y.A.I
Bynum, W.F. 2000. Sejarah Medis dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Carr, E.H. 1985. What is History? Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin
Books, Ltd.
Cartwright, Rosalind D. 2000. Mimpi dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

195
Memahami Ilmu Sosial

Chaplin, J.P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Diterjemahkan oleh Kartini-


Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Charles D Brockett, Ed., Land, Power, and Poverty: Agrarian Transformation
and Political Conflict In Central America, Research at Central American
and North American by Grants The University of Shout Faculty Research
Fun, Boston: Unwin Hyman Inc 1990
Choumain, Imam dan Prihatin. 1994. Pengantar Ilmu Ekonomi. Proyek
Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta: Depdikbud.
Collingwood, R.G. 1973. The Idea of History. London and New York: Oxford
University Press.
Collins, Randall, Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science, New York:
Academic Press, 1973.
Colman, Andrew M. 2000. Kepribadian dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Coser, Lewis, The Functions of Social Conflict, New York: The Press, A Division of
Macmillan Publishing Co, Inc., 1964.
Dahrendof, Ralf, Class and Class Conflict in Industrial Society, London: Oxford
University Press, 1986.
Dahrendorf Ralf, Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri,
Jakarta: CV. Rajawali, 1986.
Derry, S.J., Erwin, P.J., Iverson, R.D. and Ambrose, M.L., 1995, The Determinants
of Absenteeism: Evidence from Australian Blue-Collar Employees,
International Journal of Human Resource Management, 6: 4, pp. 825–
848. diunduh tanggal 4 Oktober 2012 dari http://www.doi: 10.1386/
jots.5.2.141/1
Dess, Lumpkin, dan Eisner, 2008, Strategic Management: Text and Casus,
California: John Wiley and Sons, Inc
Dessler, Gary, 2011, Human Resource Management, Twelfth/Global Edition,
New Jersey: Prentice Hall. Inc.
Eggerstson, Thrainn. 2000. Ekonomi Institusional dalam Adam Kuper dan
Jessica Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris
Munandar, dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
El-Izzue I, Muhammad. 2012. Psikologi Sebagai Ilmu. (Online), (fun-and-
peace.blogspot.com/2012/04/psikologi-sebagai-ilmu.html, diakses
tanggal 26 Desember 2012).

196
Memahami Ilmu Sosial

Engerman, Stanley L. 2000. Sejarah Ekonomi dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Fairchild, H.P., et al. 1964. Dictionary of Sociology and Related Sciences. New
Jersey:Littlefield, Adam & Co.
Fisher, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak,
(diterjemahkan oleh Kartikasari, dkk.) Jakarta: Grafika Desa Putra, 2001
Fisher, et.al., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Berindak,
(diterjemahkan oleh Kartikasari, dkk.,) Jakarta: Grafika Desa Putra, 2001.
Foster dan Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Diterjemahkan oleh
Priyanti Pakan Suryadarma dan Mutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI
Press.
Freud S. 1962. Creative Writers and Daydreaming dalam Standard Edition of
the Complete Psychological Works of Sigmund Freud. ed. Strachey. Vol. 9.
London.
Geertz, Clifford , After The Fact, Alih Bahasa ,Landung Simatupang, Yogyakarta:
LKIS, 1998.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi: dalam Masyarakat Jawa, Hasil
Penelitian di Mojokunto Kediri, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Geertz, Clifford, Agama dan Kebudayaan, Refleksi Budaya, Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
Geertz, Clifford, Religion As a Cultural System dalam The Interpretation of
Cultures: Selected Essays, London: Basic Books Inc,1974.
Gemmell, Norman. 1994. Ilmu Ekonomi Pembangunan: Beberapa survei.
Diterjemahkan oleh Nirwono. Jakarta: LP3ES.
George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Revised Edition, Boston,
London, Sydney, Toronto: Ally and Bacon, Inc., 1980
Gie, The Liang. 1999. Pengantar Filsafat Ilmu. Edisi Kedua. Yogyakarta: Liberty.
Goddijn, H. dan W. Goddijn. 1996. Sociologie Van Kerk en Godsdienst.
Antwerrpen: Aula Boeken.
Goffman, Erving, 1967, Mental Symptoms and Public Order, Gardens City New
York: Double day Anchor Books
Goffman, Erving, 1969 The Presentation of Self in Everyday Life yaitu
Encounters Two Studies Interaction, Asylums, Strategic Interaction,
Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Goode, Willian J. 2002. Sosiologi Keluarga. Diterjemahkan oleh Lailahanoum
Hasyim. Jakarta: Bumi Aksara.

197
Memahami Ilmu Sosial

Gottchalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Diterjemahkan oleh Nugraho


Notosusanto. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Gray, Wood, et al. 1964. Historian’s Handbook: A key to study and writing of
history. Boston: Houghton Miffin Company.
Gregory, Andrew. 2002. Eureka!: Lahirnya Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:
Jendela.
Grint, Keith. 2000. Sosiologi Industri dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Gudeman, Stephen. 2000. Antropologi Ekonomi dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hadari Nawawi, “Negosiasi”, Diktat Materi Kuliah S3 ESDM, Jakarta: PPs UPI YAI
Jakarta, 2012
Hadiwijono, Harun, 1980, Sejarah Perkembangan Filsafat Barat, Yogyakarta:
Kanisius.
Hall, Calvin dan Gardner Lindzey. 1993. Psikologi Kepribadian 3: Teori-teori sifat
dan behavioristik. Diterjemahkan oleh Yustinus. Yogyakarta: Kanisius.
Hartshorne, R. 1960. Perspective on the Nature of Geography. Chicago: Rend
McNally dan Company.
Haviland, William A.1999. Antropologi. Jilid I. Diterjemahkan oleh R.G.
Soekadijo. Jakarta: Erlangga.
Headley, Stephen, “The Islamization of Central Java; The Role of Muslim
Lineage in Kalioso”, Studia Islamika Vol 3 No. 2, Jakarta: INIS, 1977.
Heertje, A. 2000. Perekonomial Informal dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Herriot, Peter. 2000. Psikologi Okupasional dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Himmelfarb, Gertrude. 1987. The New History and the Old. Cambridge.
Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press.
Hobsbawm, E.J. 1972. From Social History to the History of Society dalam Felix
Gilbert dan Stephen R. Graubard. Historical Studies Today. New York:
W.W Norton & Campany, Inc.
Horton, Paul B. Dan Chester L. Hunt. 1991. Sosiologi Jilid I. Diterjemahkan oleh
Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Erlangga.

198
Memahami Ilmu Sosial

Hughes, Gordon. 2000. Ekonomi Matematik dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Indah. 2012. Pengertian dan Definisi Psikologi. (Online), (Error! Hyperlink
reference not valid., diakses tanggal 26 Desember 2012).
Ismaun. 1993. Modul Ilmu Pengetahuan Sosial 9: Pengatur ilmu sejarah.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Ivancevich, et.al., Organizational Behavior and management, (seventh Ed)
McGraw Hill Co. 2005
Ivancevich, John M., 2002, Organizational Behavior and Management, seventh
edition, Houston: McGraw Hill
Jacoby, J. 1976. Consumer and Industrial Psychology: Prospect for theory
Corroboration and Mutual Contribution dalam M.D. Dunnete. Handbook
of Industrial and Organizational Psychology. Chicago: Rand McNally.
Jaynes, J. 1977. The Origin of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral
Mind. New York: Academic Press, Inc.
Jhingan, M.L. 1994. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Diterjemahkan
oleh D. Guritno. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern. Jilid 2.
Diterjemahkan oleh Robert Lawang. Jakarta: Gramedia.
Johnston, R. J. 2000. Geografi dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, Revised Edition,
Homewood, Illinois, Irwin-Dorsey Limited Georgetown, Ontario: The
Dorsey Press, 1978
Jones, E. 2000. Psikologi Sosial dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kapplan, D. dan A.A. Manners. 1999. Teori Budaya. Diterjemahkan oleh
Landung Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Kasinu, Akhmad, 2012, Asimilasi Agama Islam dan budaya: Keyakinan dan
Sistem Religi yang Berubah Pada Masyarakat Pesisir Selatan Purworejo
Jawa Tengah, Draft Disertasi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijogo.

199
Memahami Ilmu Sosial

Khan, Muhammad Riaz, et.al 20110, The Impacts of Organizational


Commitment on Employee Job Performance, European Journal of Social
Science, Vol. 15 Number 3, pp. 292—298
Kincaid, Harold. 1996. Philosophical Foundations of the Social Sciences:
Analyzing Controversies in Social Research. New York: Cambridge
University Press.
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jilid I. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Kritner, Robert dan Angelo Kinicki, Perilaku Organisasi (Organizational
Behavior), 5th diterjemahkan oleh Erly Suandy, Jakarta: Salemba Empat,
2000.
Kuper, Adam. 2000. Antropologi dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
LaBouvie, E.W. 1975. Descriptive Developmental Research: Why Only Time?
Journal of Generic Psychology 126.
Lewis Coser, The Functions of Social Conflict, New York: The Press, A Division of
Macmillan Publishing Co, Inc.,1964
Long, Norman. 2000. Sosiologi Pedesaan dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Losco, Joseph dan Leonard William. 2005. Political Theory: Kajian klasik dan
kontemporer. Volume I dan II. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Haris
Munandar dkk. Jakarta: Raja Grafindo Jakarta.
Manzoor, Quratual-Ain, 2011, Impact of Employees Motivation on
Organizational effectiveness, Journal of Business Management and
Strategy, Vol. 3 No.1 pp 1--12
Martono. 1986. Panca Matra Transmigrasi Terpadu dalam Sri Edi Swasono dan
Masri Singarimbun. Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: UI
Press.
Mausner, Bernard. 1979. A Citizen’s Guide to the Social Sciences. Chicago:
Nelson-Hall.
McClelland, David C. et al. 1953. The Achievement Motive. New York: Appeton-
Century-Cfts.

200
Memahami Ilmu Sosial

Miller, David. 2002. Political Theory dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Haris
Munandar, dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
O’Leary, Brendan. 2000. Ilmu Politik dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Oetomo, Dede, 1999, “Hermeneutika”, Makalah pada Pelatihan Metodologi
Penelitian Ilmu Komunikasi Departemen Pelatihan Surabaya Media
School, Surabya, 30 November—1 Desember.
Ollenburger, Jane C. dan Helen A. M0ore. 1996. Sosiologi Wanita.
Diterjemahkan oleh Budi Sucahyono dan Yan Sumaryana. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pearce, David W. 2000. Ekonomi Lingkungan dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Poloma, Margaret M., 1990, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali
Pope, Harison G. 2000. Psikofarmakologi dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Popkin, Samuel L, “Memahami Petani Secara Rasional,” dalam Prisma Nomer 9,
Jakarta: 1989
Popkin, Samuel L, Memahami Petani Secara Rasional, Prisma Nomer 9, Jakarta:
1989.
R. Wayne Face dan Don F. Faules, Komunikasi Organisasi, Strategi
Meningkatkan Kinerja Perusahaan, diterjemahkan oleh Dedy Mulyana
dkk. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010
Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, London: Oxford
University Press, 1986
Randall Collins, Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science, New York:
Academic Press, 1973
Renshon, Stanley. 2000. Psikologi Politik dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Revertz, Jerome T. 2004. Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan.
Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer George, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
Jakarta: Rajawali Pers.

201
Memahami Ilmu Sosial

Ritzer, George, 1983, Contemporary Sociological theory, New York: Alfreda


Knopf
Ritzer, George, 1985, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
Jakarta: Rajawali
Ritzer, George, 1992, Sociology: A Multiple Paradigm Science, alih bahasa
Alimanda, Jakarta: Rajawali Press
Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Revised Edition, Boston,
London, Sydney, Toronto: Ally and Bacon, Inc., 1980.
Riveros, Andrea M. Moscoso dan Ted Shir-Tau Tsai, 2011, Career Commitment
and Organizational Commitment in for Profit and non-profit Sectors,
International Journal Emerg. Sci, Vol. 1 No. 3 pp. 324—340.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge, 2007, Organizational Behavior, 12th
ed. New Jersey: Pearson Education.inc.
Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge, 2007, Perilaku Organisasi
diterjemahkan oleh Angelica dkk, Jakarta: Salemba Empat.
Robert Kritner dan Angelo Kinicki, Perilaku Organisasi (Organizational
Behavior), 5th diterjemahkan oleh Erly Suandy, Jakarta: Salemba Empat,
2000
Rochmat, Saefur. 2009. Ilmu Sejarah dalam Perspektif Ilmu Sosial. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Rose Kumar dan Pak, 2009, The effect of Organizational Learning on
Organizational Commitment, job Satisfaction and Work Performance,
The Journal of Applied Business Research-November/December 2009 Vol.
25 No. 6 pp. 55–66.
Samuelson, Paul A dan William D. Nordhaus. 1990. Ekonomi. Jilid 1.
Diterjemahkan oleh Jaka Wasana. Jakarta: Erlangga.
Samuji, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi, Surabaya, Jenggala Pustaka Utama,
2007
Samuji, Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi, Surabaya, Jenggala Pustaka Utama,
2007.
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sastradipoera, Komaruddin. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi: Suatu
pengantar teori dan kebijaksanaan Ekonomi. Bandung: Kappa-Singma.
Sastrodiningrat, Soebagio, 1999, Kapita Selekta Manajemen dan
Kepemimpinan, Jakarta: Ind-Hill-Co

202
Memahami Ilmu Sosial

Siebert, S. 2000. Ekonomi Sisi-Penawaran dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Singer, Jerome L. 2000. Fantasi dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sjamsuddin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Depdikbud. Jakarta: Proyek
Pendidikan Tenaga Akademik.
Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Edisi Baru. Jakarta: Raja Grafindo.
Soemardjan, Selo. 1965. Perkembangan Ilmu Sosiologi di Indonesia dari 1945
sampai 1965 dalam Research di Indonesia 1945-1965. Jilid IV. Bidang
Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Departemen Urusan Research Nasional
Republik Indonesia.
Soeprapto, Sri. 2003. Metode Ilmiah dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty.
Sparringa, Daniel T, 2000, “Analisis Wacana”, Makalah di sampaikan dalam
Program Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Kader Bangsa, Jakarta:
Direktorat Kemahasiswaan, Dikti, Depdiknas.
Sparringa, Daniel T., 2000, “Metode Penelitan Kualitatif” Kumpulan Bahan
Kuliah Buku I-Ver: 1.02, Surabaya: Fisip Unair
Sparringa, Daniel, 2000b, Kumpulan Bahan Mata Ajaran: Metode Penelitian
Kualitatif, Surabaya: Fisip Unair.
Stephen Headley, The Islamization of Central Java; The Role of Muslim Lineage
in Kalioso, dalam Studia Islamika Vol 3 No. 2 tahun 1977.
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge, Perilaku Organisasi (edisi terjemahan
Anggelita dkk), Jakarta: Salemba Empat, 2008
Sukidin, dkk. 2002, Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, Surabaya: SIC
Sumaatmadja, Nursid. 1988. Studi Geografi: Suatu pendekatan dan analisa
keruangan. Bandung: Alumni.
Sumber dari Internet
Sunal, C.S. dan M.E. haas. 1993. Social Studies and the Elementary/Middle
School Student. Harcourt Brace Jovanovich, Orlando: Holt, Rinehart and
Winston.
Supardan, Dadang. 2009. Pengantar Ilmu Sosial: sebuah kajian pendekatan
struktural. Jakarta: Bumi Aksara

203
Memahami Ilmu Sosial

Surbakti, Ramlan, 1999, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia


Widiasarana Indonesia.
Suryaman, 2012, Pengaruh Kepemimpinan, Motivasi, dan Komitmen
Organisasi, terhadap Kinerja Dosen dan Implikasinya pada Kepuasan
Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kota/Kabupaten Serang,
Draft Disertasi, Jakarta: PPs UPI Y.A.I
Sutaryo, “Dinamika Masyarakat dalam Perspektif Konflik”, Diktat Kuliah,
Yogyakarta: Fisipol UGM Sutaryo, 1992
Sweeney, James L. 2000. Ekonomi Sumber Daya Alam dalam Adam Kuper dan
Jessica Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris
Munandar, dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syarbaini, Syahrial dan A. Rahman dan Monang Djohado, 2002, Sosiologi dan
Politik, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Taeuber, Conrad. 2000. Sensus Penduduk dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tamburaka, Rustam E. 2002. Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah,
Sejarah Filsafat dan IPTEK. Jakarta: Rineka Cipta.
Teggartt. 1960. Theory and Process of History. Berkeley and Los Angeles:
University of California Press.
Thame, Pat. 2000. Sejarah Sosial dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta:
Kanisius, 1994
Tufte, E. 1987. Political Control the Economy. New Jersey: Pricenton.
Valentine, E.R. 2000. Pikiran dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper. Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Vithessonthi, C., & Schwaninger, M. 2008, ‘Job motivation and self-confidence
for learning and development as predictors of support for change’,
Journal of Organizational Transformation and Social Change 5: 2, pp.
141–157, diunduh tanggal 4 Oktober 2012 dari http://www.doi:
10.1386/ jots.5.2.141/1
Wallerstein, Immanuel. 1997. Lintas Batas Ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh
Oscar. Yogyakarta: LkiS.

204
Memahami Ilmu Sosial

White, Geoffrey. 2000. Antropologi Psikologi dalam Adam Kuper dan Jessica
Kuper. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
William R Garrett, Cultural Revolution and Character Formation, News World
Communication, http//web2.infotrac.galegroup.com/itw/.6/172000 6.23
pm, (1998),
Wolff, Janet. 2000. Sosiologi Seni dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Jilid I. Diterjemahkan oleh Haris Munandar,
dkk. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wright, Michael. 2000. Kesadaran dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Diterjemahkan oleh Haris Munandar, dkk.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yulius, Yopi, 2008, “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Kompetensi Kerja
terhadap motivsi kerja dan implikasinya terhadap kinerja pegawai
operasional pada obyek wisata taman rekreasi di DKI Jakarta, Disertasi,
Jakarta: PPs UPI Y.A.I

205

Anda mungkin juga menyukai