Fenomena Diri Dalam Konstruksi Sosial Mengenai Kebudayaan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial

Mengenai Kebudayaan: Edmund Husserl dan Jejak-Jejaknya pada


Maurice Merleau-Ponty dan Peter Berger

Budhy Munawar-Rachman
Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara
[email protected]

Abstract: Edmund Husserl is wellknown as a person who created his own phenomology. This article
articulates Husserl’s idea which has been continued by Maurice Merleau-Ponty in human affair, and by Peter
Berger in the matter of social construction. Merleau-Ponty criticizes Descartes who separated between res
extensa (body) and res cogitans (consciousness), and proposes a concept of human being as sspiritually-body
(embodied spirit) and bodily-spiritual (spiritualized-body.) The main core of Merleau-Ponty’s philosophy is to
see human being in the unity of body-soul-spirit at once, without separation. Whilst Berger views that human
being actually forms his world by following tendency and development of his—apart from psychology—socio-
culture. Thence culture becomes main key of Berger’s philosophy.

Keywords: Phenomology, Unity of body-soul, Socio-culture construction

Abstraksi: Edmund Husserl dikenal melahirkan fenomenologi tersendiri. Artikel ini menjelaskan bagaimana
pandangan Husserl tersebut ketika dilanjutkan oleh Maurice Merleau-Ponty dalam soal manusia, dan oleh
Peter Berger dalam masalah konstruksi sosial. Merleau-Ponty mengritik Descartes yang memisahkan antara
res extensa (tubuh) dan res cogitans (kesadaran), dan mengajukan konsep manusia sebagai roh-jasmaniah
(roh yang membadan) dan jasmani-rohaniah (badan yang merohani.) Pandangan inti falsafat Merleau-
Ponty adalah melihat manusia dalam kesatuan tubuh-jiwa-roh sekaligus, tanpa keterpisahan. Adapun Berger
berpandangan bahwa manusia sejatinya membentuk dunianya dengan cara mengikuti kecenderungan serta
perkembangan—selain aspek psikologisnya—sosio-budayanya. Maka budaya menjadi kunci bagi falsafat
Berger.

Katakunci: Fenomenologi, Kesatuan jiwa-tubuh, Konstruksi sosial budaya

Pendahuluan ilmu pengetahuan dengan metode keraguan


Fenomenologi adalah metode falsafat dari universal, begitu pulalah Edmund Husserl
(GPXQG +XVVHUO %HUGDVDUNDQ PHWRGH LQL mencoba memberi dasar terhadap ilmu-ilmu:
kita tidak melihat benda melainkan gejala- suatu pendasaran yang apodiktis, dan eviden,
gejala, sebagai sintesis dari obyek dan subyek. sejelas matematika yang menampakkan
Fenomenologi ini dikembangkan Husserl dirinya dengan kenyataan langsung. Eviden
berdasarkan tesis mengenai intensionalitas di sini maksudnya menangkap hal-hal dengan
GDUL %UHQWDQR \DQJ PHQ\DWDNDQ EDKZD jelas secara intuitif (misalnya ada 2 + 2 =
mengalami tidak bisa dipisahkan dari dialami,  LQL PHQMDGL VHVXDWX \DQJ MHODV GHQJDQ
subyek dan obyek bersatu, sehingga tak ada sendirinya.)
hal menyadari tanpa ada hal yang disadari. Husserl adalah seorang Cartesian dalam
Husserl adalah seorang failasuf anti- makna bahwa bila hal yang bisa kita percaya
Cartesian, tetapi ia juga dalam makna yang itu adalah kesadaran manusia, maka hal
fundamental adalah seorang yang terobsesi penting apa yang kita perlu pelajari adalah
oleh Cartesianisme. Seperti halnya telah kesadaran. Inilah yang membawanya kepada
GLXVDKDNDQ ROHK 5HQH 'HVFDUWHV \DQJ “back to the things themselves” (kembali
mencoba membuat pendasaran atas seluruh kepada bendanya itu sendiri), kembali
493
494 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

kepada benda-benda dari pikiran, fenomena ego yang transendental) untuk akhirnya
kesadaran (back to the things of the mind, dapat melihat esensi-esensi yang umum
the phenomena of consciousness.) Usaha (ego cogito cogitations.) Dari reduksi-
Husserl ini membawanya kepada ide reduksi reduksi ini sampailah kita pada isi dari dunia
fenomenologis, yaitu menempatkan realitas umum (lebenswelt), sehingga semua hal
benda-benda di luar kita (epoche.) Sehingga yang disadari (noemata) menjadi nyata. Di
hanya isi kesadaran yang jelas. Transendensi sinilah Husserl berbicara mengenai Dasein
dari bendanya sendiri (das Ding an Sich) tak (being-there, keberadaan manusia), yang
pernah bisa menjadi pembuktian yang nyata. merupakan ilmu mengenai ada (a science
Di sini Husserl meninggalkan sikap ilmiah of being), yang nanti konsep ini akan
(sikap natural), dengan tanpa ragu-ragu dikembangkan oleh Heidegger, Sartre, dan
melihat benda-benda sebagai benda-benda, 0DHUOHDX3RQW\ QDPXQ GDUL VLQL PHPDQJ
tidak sebagai gejala kesadaran saja (maka fenomenologi Husserl bisa jatuh atau dituduh
disebut ‘reduksi fenomenologis’ tidak seperti solipsisme-fenomenologis, karena mereduksi
Descartes yang memulainya dengan keraguan subyek menjadi suatu ego transendental dari
universal.) intersubyektivitas, yang akan dibicarakan di
Dalam hal “meninggalkan sikap ilmiah bawah.)
ini” Husserl memang menyatakan adanya 0HQXUXW+XVVHUOEHUNDLWDQGHQJDQ\DQJ
NULVLV GDUL LOPXLOPX GL (URSD %DUDW LOPX di atas disebut intensionalitas, dalam analisis
ilmu positif, matematika, dan ilmu-ilmu pengamatan atas benda, itu tidak dapat
pasti-alam, termasuk ilmu-ilmu humanistik dilihat secara langsung, tetapi lewat sejumlah
seperti psikologi. Di sini Husserl berbicara bayangan. (Di sini kita bisa bertanya pada
mengenai hal yang sukar-dimengerti (menurut +XVVHUO %HQGD \DQJ PDQD" %HQGD \DQJ GL
cara pandang ilmiah [sikap natural]) dari luar kita—yang menghasilkan aliran realisme
subyektivitas. Ia memikirkan fenomenologi, epistemologis, atau benda dalam kesadaran
yang membawanya kepada gagasan reduksi saya—yang menghasilkan aliran idealisme
fenomenologis. Dalam hal ini—lewat proyek epistemologis.) Dalam hal ini, pandangan
falsafatnya—Husserl memang ingin mengerti Husserl memang kurang jelas, tetapi Husserl
mengenai masalah nilai, bahkan ia terpukau sangat menekankan adanya dunia (urdoxa)—
pada soal nilai ini, yang membawanya sebuah tema yang akan digarap tuntas oleh
amat perhatian kepada masalah keterkaitan 0DXULFH0HUOHDX3RQW\
subyektivitas, nilai dan intensionalitas. Hasil dari semua usaha fenomenologis
Tetapi hanya reduksi fenomenologis Husserl ini adalah untuk mencapai realitas
saja tidak memadai, sebab kita dalam yang eviden, yang nyata dan dapat menjadi
melihat gejala selalu partikular. Husserl WLWLN WRODN LOPX SHQJHWDKXDQ 0HQMDGL
mencoba mencari pengertian mengenai nyata bahwa subyek itu mengonstitusi
gejala yang universal, hal-hal umum seperti alam. Konstitusi adalah kesatuan subyek-
kemanusiaan, kemerdekaan dan sebagainya, obyek dilihat dari sudut subyek, yaitu
yang dicarinya dengan jalan reduksi eidetis: bagaimana manusia menciptakan alamnya.
di mana dalam khayalan semua perbedaan- Dalam istilah Husserl sendiri, “reduksi dari
perbedaan dari sejumlah hal partikular itu hal mengada menjadi menyadari alam.”
disisihkan, sehingga tinggal suatu esensi Kata konstitusi ini dipakai Husserl dalam
saja. Husserl memang mencari suatu dasar berbagai arti, seperti konstitusi obyek-obyek,
yang tidak bisa diragukan lagi lewat reduksi kontitusi perbuatan pikiran, konstitusi dari
fenomenologis, reduksi eidetis, yang sesudah stream of consciousness (aliran kesadaran),
itu reduksi transendental (menggunakan konstitusi transendental supaya terjadi ego
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 495

transendental. menyusun sistem-sistem dari intensionalitas,


Dalam fenomenologi, benda-benda me- dan indeks dari sistem-sistem itu—yaitu benda
QJDGD GDODP PDNQDPDNQD %HQGD GLOLKDW yang dialami. (Di sinilah menurut penulis,
karena menampakkan diri dalam dan oleh persoalan utama Husserl, yaitu persoalan
pengalaman-pengalaman sehingga terjadi- LQWHUVXE\HNWLYLWDV %DJDLPDQD NLWD²GHQJDQ
lah suatu ‘presentasi.’ Tugas fenomenologi falsafat Husserl ini—bertemu dengan yang
bukan hanya mendeskripsikan, tetapi juga lain, karena Husserl hanya melakukan reduksi
menerangkan bagaimana obyek pengamatan mundur hingga ke suatu ego transendental,
dikonstitusikan dalam perbuatan-pikiran dari tanpa suatu intersubyektivitas yang sungguh-
yang mengamati. VXQJJXK NRQNUHW  0DND VHNDUDQJ PHQDULN
Pada dasarnya setiap analisis feno- PHODQMXWNDQ +XVVHUO NHSDGD 0DXULFH
menologis memunyai dua segi, yaitu segi 0HUOHDX3RQW\ GDQ PHOLKDW EDJDLPDQD
noematis dan segi noetis, yang dalam suatu SHQLODLDQ 0HUOHDX3RQW\ DWDV +XVVHUO 'DQ
deskripsi sebenarnya tidak terpisahkan. Arti- setelah itu akan dilihat jejak-jejaknya pada
nya kalau subyek dan obyek menjadi satu, 3HWHU %HUJHU \DQJ PHPRSXOHUNDQ LVWLODK
segala hal memunyai segi subyek (noesis) ‘Konstruksi Sosial dari Kenyataan.’
dan obyek (noema) (band. dengan materi dan
forma dari hal yang dipikirkan.) Tugas setiap Maurice Merleau-Ponty
analisis noetic-noematic ini adalah melu- Ia adalah seorang failasuf yang tidak
kiskan dan menerangkan susunan (sintesis) mau mencoba membuat sistem. Ia hanya mau
yang secara pasif atau aktif terjadi dalam mengekspresikan rasa heran, dan mencari
setiap perbuatan-pikiran dari ego. Sintesis pertanyaan-pertanyaan tanpa merasa yakin
dari noemata (unsur-unsur yang disadari) bahwa jawabannya selalu dapat diberikan.
adalah yang berhubungan dengan satu 0HUOHDX3RQW\PHPXQ\DLFDUDEHUSLNLU\DQJ
obyek menjadi satu benda (dari buku, saya ambigu, di samping selalu mencurigai para
lihat segi-segi lebar, ketebalan, huruf pada failasuf yang merasa bisa bicara sesuatu
sampul, dan sebagainya, sehingga saya pun secara terang dan jelas. Sehingga cara bicara
kemudian secara utuh menyadari hakikat dari 0HUOHDX3RQW\ EHUEHGD GDUL SDUD IDLODVXI
buku yang menampakkan diri pada saya itu.) VHMDN 'HVFDUWHV 0LVDOQ\D MLND 'HVFDUWHV
Oleh karena itu analisis noetic-noematic memisahkan antara res extensa (tubuh) dan
ini melukiskan gabungan (sintesis) dari semua res cogitans NHVDGDUDQ  PDND 0HUOHDX
perbuatan-pikiran yang berkorelasi dengan Ponty bicara mengenai manusia yang muncul
noemata, yang masing-masing menjadi satu sebagai roh-jasmaniah (roh yang membadan)
perbuatan-pikiran yang bulat dari gabungan dan jasmani-rohaniah (badan yang merohani.)
semua perbuatan-pikiran, yang kemudian 'L VLQLODK SUR\HN XWDPD IDOVDIDW 0HUOHDX
menjadi satu aliran kesadaran (stream of Ponty memang ingin melihat manusia dalam
consciousness.) kesatuan tubuh-jiwa-roh sekaligus, tanpa
Kembali ke soal konstitusi: persoalan keterpisahan.
konstitusi ialah persoalan tentang kenyataan Dalam hal fenomenologi, maka fenome-
bahwa suatu obyek (benda) diberikan nologi tubuh ini harus bicara dalam dua
secara ideal sebagai suatu eviden langsung. hal sekaligus. Tubuh bukan hanya hal yang
Setiap benda adalah obyek suatu universum diraba, dilihat atau dipegang, tetapi juga suatu
pengalaman-pengalaman yang mungkin. misteri yang dilihat dan melihat; meraba
Sementara ego adalah instansi yang terus- dan diraba. Dikatakan, kalau tangan meraba
menerus menyadari benda-benda. Sedang tangan, kita bisa meraba perabaan, sehingga
kesadaran adalah instansi yang terus menerus PHQXUXW 0HUOHDX3RQW\ GDODP GDJLQJ LWX
496 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

VHEHQDUQ\D VXGDK WLPEXO UHIOHNVL 5HIOHNVL Husserl. Karena itu hal mengada bagi
bukan hal rohani saja, karena sudah muncul 0HUOHDX3RQW\ DGDODK EXNDQ GDUL EHQGD
dalam daging: artinya, tubuh yang prasadar tetapi dari makna-makna—yaitu hal-hal yang
mengetahui lebih banyak tentang dunia dari menampakkan dirinya pada suatu subyek.
NHVDGDUDQ VD\DVHQGLUL0DNDGDODPKDOLQL 0DNQDPHZDK\XNDQGLULGDODPSHQJDODPDQ
tubuh adalah tubuh-subyek: yaitu suatu fokus dunia yang direalisasikan oleh seorang
(tubuh) yang memroyeksikan suatu alam failasuf. Pemikir bukan subyek transendental
(pengalaman.) (seperti dikatakan Kant), melainkan subyek
0HQXUXW 0HUOHDX3RQW\ WXEXK GDQ yang dialektis, yang dipersatukan dengan
alam bersama-sama ko-ekstensif. Tubuh alam. Kesatuan alam dan subyek dirumuskan
kita menentukan cara kita melihat dunia. dengan istilah mendiami. Sehingga subyek
%DKNDQ NLWD WLGDN ELVD OHSDV GDUL WXEXK NLWD itu pada dasarnya mendiami alam sadar dan
yang berakar pada alam. Ada kepercayaan tak sadar. Dan tubuh manusia mengambil
kita pada alam (yang oleh Husserl disebut peranan yang penting. Oleh karena itu,
urdoxa), yaitu suatu kepercayaan dasar bahwa manusia adalah pemakna alam dan menjadi
kita mendiami suatu alam. Dengan memilih makna bagi ‘yang lain’ (sesama) dengan
suatu tubuh, saya memilih suatu alam. tubuhnya.
'HQJDQ WHRUL LQL 0HUOHDX3RQW\ PHQFRED Kembali kepada pertanyaan awal:
menggabungkan roh secara dialektis dengan $SDNDK IHQRPHQRORJL PHQXUXW 0HUOHDX
tubuh manusia. Dan ini bisa dilihat dalam 3RQW\"Fenomenologi—seperti digambarkan
falsafatnya mengenai pengamatan (persepsi.) oleh Husserl adalah studi tentang esensi-
Usaha mengamati adalah: pertama HVHQVL 7HWDSL PHQXUXW 0HUOHDX3RQW\ IH-
mengalami benda-benda. Analisis dari penga- nomenologi juga merupakan suatu falsafat
PDWDQPHQJKDVLONDQWXEXK0HQJDPDWLLDODK yang menempatkan kembali esensi-esensi ke
memilih suatu posisi, mengarahkan diri. dalam eksistensi, dan bahwa manusia serta
Hal mengamati kedua adalah pemaknaan. dunia tidak dapat dimengerti kecuali dengan
Pengamatan ialah pengalaman dari modus bertitik tolak dari faktisitas mereka (segi fak-
eksistensi. Subyek pengamatan (manusia) tual dalam eksistensi manusia, bahwa ma-
bukan hal rohani, juga bukan hal material, nusia berada begitu saja, dan tidak memilih
melainkan penampakan diri yang mendasari untuk berada.)
seluruh hal mengada. Kita melampaui hal yang 0HQXUXW +XVVHUO IHQRPHQRORJL  DGDODK
diberikan dalam pengamatan, menyeluruhkan suatu falsafat transendental yang menaruh
realitas yang terikat pada subyek. Dengan antara kurung anggapan-anggapan sikap
GHPLNLDQ GL VLQL 0HUOHDX3RQW\ PHQJULWLN natural untuk maksud mendapatkan pema-
Kant, yang mengatakan bahwa cogito berasal haman yang lebih baik. Tetapi menurut
dari subyek; yang benar cogito mendahului 0HUOHDX3RQW\ IHQRPHQRORJL MXJD PHUXSD
percakapan, mendahului pikiran (disebut kan falsafat yang menganggap dunia selalu
DQWHSUHGLNDWLIDQWHUHÀHNVLI) µVXGDK DGD¶ PHQGDKXOXL VHJDOD UHÀHNVL
3LNLUDQ0HUOHDX3RQW\VHSHUWLLQLPXQFXO sebagai suatu kehadiran yang tak terasingkan.
disebabkan karena rasa curiga terhadap ilmu- Fenomenologi berusaha sekuat tenaga untuk
ilmu eksakta, yang mau mencoba melihat memulihkan kembali kontak langsung dan
dunia sebagai orang yang belum tertangkap wajar dengan dunia, supaya akhirnya dunia
aksiomata dan postulat-postulat dari ilmu GDSDWGLEHULNDQVXDWXVWDWXVIDOVD¿Q\D
alam, artinya mau melihat segi subyektif Fenomenologi menurut Husserl adalah
dari dunia tanpa merencanakan suatu falsa- LOPX ULJRUXV WHWDSL PHQXUXW 0HUOHDX
fat subyek—seperti dilakukan Kant dan Ponty, fenomenologi juga ilmu mengenai
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 497

ruang, waktu dan dunia sejauh ‘dihayati.’ sebuah pendekatan yang sangat rasionalis)
Fenomenologi adalah usaha untuk secara maupun keterangan ilmiah. Pada dasarnya
langsung melukiskan pengalaman sebagai- dunia mendahului setiap analisis yang dapat
mana adanya, tanpa memerhatikan asal-usul kita lakukan tentangnya.
psikologisnya dan keterangan-keterangan 0HQXUXW0HUOHDX3RQW\DQDOLVLVUHÀHNVLI
kausal yang dapat disajikan oleh ilmuwan, percaya bahwa ia dapat menelusuri konstitusi
sejarawan dan sosiolog. Dan sebagai ilmu, dalam arah berlawanan, dan di dalam batin,
fenomenologi juga hanya dapat didekati manusia menemukan suatu kesanggupan
dengan suatu metode fenomenologis. Itu untuk mengonstitusi yang selalu sudah ada
VHEDEQ\D PHQXUXW 0HUOHDX3RQW\ PHQJDSD SDGDQ\D VHKLQJJD GDODP LVWLODK 0HUOHDX
fenomenologi begitu lama tinggal pada tahap 3RQW\ UHÀHNVL LWX PHQ\HUHW GLUL VHQGLUL GDQ
permulaan—sebagai problem yang harus menempatkan diri dalam benteng subyek-
dipecahkan, dan cita-cita yang harus diwu- tivitas yang berdiri kokoh di tengah Ada dan
judkan. ZDNWX 3DGDKDO DQDOLVLV UHÀHNWLI LQL DGDODK
0HQXUXW 0HUOHDX3RQW\ GDODP IHQRPH VXDWX NHQDLIDQ NDWD 0HUOHDX3RQW\ VHEDE
nologi yang penting adalah melukiskan, bukan seharus di dalam kegiatan-kegiatannya
menerangkan atau menganalisis (dalam istilah VHQGLUL UHÀHNVL VHKDUXVQ\D PHQJDNXL GXQLD
Husserl: sebuah psikologi deskriptif—untuk yang diberikan kepada subyek. Kenyataan
kembali kepada benda-benda itu sendiri.) itu harus dideskripsikan dan tidak perlu kita
Dengan tugas fenomenologi ini menurut menyusun atau mengonstitusinya. Karena itu
0HUOHDX3RQW\PDNDDGDSHQRODNDQWHUKDGDS persepsi tidak dapat dilepaskan dari dunia.
ilmu pengetahuan (tepatnya saintisme, dan Lain halnya dengan pemikiran abstrak yang
saintisme melupakan bahwa dunia yang kita meliputi putusan-putusan, aktus-aktus dan
alami merupakan dasar bagi apa saja yang pembentukan predikat-predikat.
dikatakan ilmu pengetahuan; contoh, bukan 5HDOLWDV DGDODK VXDWX WHQXQDQ \DQJ
JHRJUD¿\DQJSHUWDPDNDOLPHQJDMDUNDQNLWD NRNRK 5HDOLWDV WLGDN PHQXQJJX SXWXVDQ
apa itu hutan, padang rumput, sungai, dan kita untuk menerima atau menolaknya
VHEDJDLQ\DWHWDSLVHEDOLNQ\DJHRJUD¿VXGDK sebagai real fenomen-fenomen. Persepsi
mengandaikan lebih dahulu pengalaman kita bukanlah suatu ilmu tentang dunia, persepsi
WHQWDQJLWXVHPXD $UWLQ\DPHQXUXW0HUOHDX adalah latarbelakang, yang berakar dalam
3RQW\ NDODX NLWD LQJLQ PHUHÀHNVLNDQ LOPX dunia. Karena itu—seperti sudah disebut di
pengetahuan secara mendalam dan tepat, maka DWDV²0HUOHDX3RQW\ PHQ\HEXW PHPHUVHSVL
perlulah terlebih dahulu kita menghidupkan adalah percaya pada dunia. Kepercayaan
kembali pengalaman kita mengenai dunia. mendahului setiap refleksi tentang dunia.
Ilmu pengetahuan hanyalah pengungkapan Kita harus berada dalam dunia untuk
kedua tentang dunia. “Kembali kepada dapat berpikir tentangnya, sehingga aktus
benda-benda itu sendiri” berarti kembali (perbuatan berpikir) terpancar dari dunia.
kepada dunia yang mendahului pengetahuan. 0HQXUXW0HUOHDX3RQW\GXQLDEXNDQODK
0HQXUXW 0HUOHDX3RQW\ IHQRPHQRORJL obyek yang disusun berdasarkan hukum
sebagai gerakan berbeda dari gerakan penyusunan yang saya kuasai. Dunia adalah
‘kembali-ke-kesadaran’ dari kaum idealis. lingkungan natural dan tempat persemaian
Hal ini disebabkan deskripsi murni kaum bagi semua pikiran dan semua persepsi.
fenomenolog tersebut menyingkirkan baik Kebenaran tidak saja “menghuni batin
SURVHGXUDQDOLVLVUHÀHNVLI \DQJEHUWRODNGDUL PDQXVLD´ LVWLODK $JXVWLQXV ³0DVXNLODK
kesadaran dan melalui introspeksi berusaha diri anda”; “Kebenaran menghuni batin
menemukan struktur dan hakikat kesadaran— manusia”); lebih tepat kata merleau-Ponty,
498 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

EDWLQPDQXVLDVHPDFDPLWXWLGDNDGD0DQXVLD adanya saya; perlulah bahwa eksistensi saya


terarah kepada dunia. Dalam dunialah inilah mencakup pula kesadaran yang dapat orang
ia mengenal dirinya. miliki tentangnya dan akhirnya meliputi
Selanjutnya hal ini mengarah ke reduksi kemungkinan situasi historis. Cogito menu-
IHQRPHQRORJLV 0HQXUXW 0HUOHDX3RQW\ UXW 0HUOHDX3RQW\ KDUXV PHQHPXNDQ VD\D
Husserl dalam kesadaran transendental me- dalam situasi, dan hanya atas syarat inilah
nganggap bahwa dunia itu terentang dengan subyektivitas transendental, seperti yang
kejernihan tanpa kegelapan apapun, sehingga dikatakan Husserl dapat merupakan suatu
dunia dijiwai sepenuhnya dengan apersepsi intersubyektivitas. Sebagai Ego yang bere-
(melalui persepsi pengindraan itu hanya ada, ÀHNVLVD\DGDSDWGHQJDQMHODVPHPEHGDNDQ
tetapi dalam apersepsi ia mendapat maknanya. diri saya dari dunia dan benda-benda, karena
Apersepsi tidak mengubah isi pengin- saya tentu saja tidaklah berada dari cara
draan, tapi hanya menyatakan apa yang seperti benda-benda.
dibuat kesadaran dengan isi penginderaan.) 0HQXUXW 0HUOHDX3RQW\ SHODMDUDQ WHU-
Kesadaran tak lain dari penangkapan penting yang dapat dipetik dari reduksi ialah
suatu materi (hyle, Husserl) tertentu yang ketidakmungkinan reduksi komplit. Itulah
menunjuk kepada suatu fenomen yang lebih sebabnya mengapa Husserl selalu memerta-
tinggi. Kesadaran menurut Husserl tidak lain nyakan kembali kemungkinan reduksi. Kalau
dari sinn-gebung pemberian makna yang NLWDDGDODKURKDEVROXWNDWD0HUOHDX3RQW\
aktif. Dunia adalah dunia-sebagai-makna, reduksi tidak akan menjadi problem. Tetapi
dan reduksi fenomenologis sebagaimana karena kita berada dalam dunia, bahkan re-
diartikan Husserl adalah suatu idealisme ÀHNVL NLWD EHUODQJVXQJ GDODP DUXV ZDNWX
transendental (= mendasarkan pengenalan yang diusahakan untuk ditangkap oleh re-
tentang dunia pada suatu kesadaran umum ÀHNVL LWX PDND WLGDN DGD SHPLNLUDQ \DQJ
yang melampaui individu-individu.) Dunia melingkupi seluruh pemikiran kita. Failasuf
adalah sama dengan apa yang kita represen- kata Husserl adalah ‘pemula abadi.’ Itu be-
tasikan, bukan manusia atau sebagai subyek rarti bahwa ia tidak menerima begitu saja apa
empiris, melainkan sejauh kita semua yang oleh umat manusia atau kaum terpelajar
mengambil cahaya yang sama dan sejauh dianggap sebagai pengetahuan pasti.
kita mengambil bagian pada yang satu tanpa Juga berarti bahwa falsafat sendiri tidak
membagikannya. EROHK PHQJDQJJDS GH¿QLWLI DSD \DQJ WHODK
Pandangan-pandangan Husserl ini diucapkannya sebagai benar: bahwa ia adalah
PHPDQJPHQXUXW0HUOHDX3RQW\PHQLPEXO pengalaman yang senantiasa dibaharui
kan masalah mengenai keberadaan orang lain. tentang permulaannya sendiri. Tugas falsafat
Orang lain adalah problem, dan alter-ego menurut Husserl—sebagaimana digam-
merupakan suatu paradoks. Selama ini Cogito EDUNDQ NHPEDOL ROHK 0HUOHDX3RQW\²WLGDN
telah mengurangi nilai persepsi tentang lain adalah melukiskan permulaan itu, dan
orang lain, karena hakekat Cogito adalah DNKLUQ\D EDKZD UHÀHNVL UDGLNDO DGDODK
pikiran yang saya punya tentang diri saya kesadaran akan ketergantungannya sendiri
sendiri, dan karena ternyata hanya sayalah SDGD VXDWX NHKLGXSDQ \DQJ WLGDN GLUHÀHN
yang memunyai pikiran itu, setidaknya sikan, yang merupakan situasinya dari awal
GDODPDUWL\DQJVHEHQDUQ\D0DNDPHQXUXW VDPSDL DNKLU 0HQXUXW 0HUOHDX3RQW\
0DUOHDX3RQW\ VXSD\D µRUDQJ ODLQ¶ WLGDN reduksi fenomenologis sekali-kali tidak
merupakan kata yang hampa, perlulah bahwa merupakan suatu langkah dalam falsafat
eksistensi saya tidak pernah dapat diasalkan idealistis—seperti pernah orang mengritik
dari kesadaran yang saya punya tentang Husserl—tetapi justru reduksi fenomenologis
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 499

PHQDQGDLVXDWX¿OVDIDWHNVLVWHQVL VHQGLUL 5HGXNVL HLGHWLV DGDODK XVDKD XQWXN


Setiap reduksi, kata Husserl adalah tran- PHQJDUDKNDQUHÀHNVLNHNHKLGXSDQ\DQJWDN
sendental, dan serentak juga eidetis. Ini berarti GLUHÀHNVLNDQNHVDGDUDQ
tidak mungkin kita mengambil persepsi kita
akan dunia sebagai tema penelitian falsafat Tentang Manusia
tanpa menghentikan kesatuan kita dengan Hal mendasar yang menjadi pandangan
dunia, tanpa meninggalkan minat kita untuk WHQWDQJ PDQXVLD GDUL 0HUOHDX3RQW\ DGDODK
dunia yang menandai kita sebagai manusia. bahwa: tubuh itu tidak dilatarbelakangi oleh
7LGDN PXQJNLQ NLWD PHUHÀHNVLNDQ GXQLD suatu kerangka ontologis lebih luas yang
tanpa mundur dari keterlibatan kita, supaya meliputi suatu taraf rohani, di samping suatu
dunia sendiri tanpak sebagai tontonan; tanpa WDUDI MDVPDQL 0HQXUXWQ\D NHEHUWXEXKDQ
beralih dari eksistensi kita sebagai fakta ke itu dihayati sebagai kesatuan jiwa dan tubuh
eksistensi kita sebagai hakekat, dari Dasein yang memunyai dasar lebih mendalam. Dasar
ke Wesen. itu adalah kesatuan antara eksistensi manusia
0DND GDODP KDO LQL MDQJDQODK VHEDJDL dan dunia sekitarnya. Dalam kedwiartian
PDQDGLNDWDNDQ0HUOHDX3RQW\PHQJDQJJDS ini, manusia adalah tubuhnya sendiri. Dari
bahwa Husserl memisahkan esensi-esensi sinilah manusia mengembangkan aku yang
dari eksistensi. Esensi-esensi yang terpisah VDGDU 3DQGDQJDQ 0HUOHDX3RQW\ LQL MHODV
adalah esensi dari bahasa. Dan menjadi menolak pandangan mengenai tubuh yang
tugas bahasalah untuk memunculkan esensi- melulu bersifat jasmani.
esensi dalam suatu keadaan terpisah yang ,OXVWUDVL PHQJHQDL SDQGDQJDQ 0HUOHDX
sebetulnya hanya nampaknya saja demikian, Ponty mengenai yang disebut ‘tubuh-
karena berkat bahasa esensi-esensi itu masih subyek’ ini jelas pada fenomena phantom
bertumpu pada kehidupan anti predikatif limb (anggota bayangan), pada orang yang
(= yang belum diungkapkan, yang masih diamputasi, dan masih merasakan memunyai
terpendam dalam pengalaman tanpa suara; anggota tubuh yang padahal sudah tidak
\DQJ SUDUHÀHNVLI  'DODP NHKHQLQJDQ ada. Keterangan mengenai gejala ini tidak
kesadaran asali bukan hanya kita melihat boleh dicari dalam suatu konteks yang hanya
tampilnya arti kata-kata, melainkan juga semata-mata obyektif (fisiologis, psikologis
arti benda-benda. Saya menjumpai hakekat atau keduanya), tetapi harus dilihat dalam
kesadaran, bila saya menemukan kembali pengalaman tentang tubuh dalam hidup
kehadiran saya pada diri saya sendiri, sehari-hari yang jasmani dan rohani seka-
kenyataan kesadaran yang akhirnya mau ligus (“tubuh sebagai orang pertama.”)
ditunjukkan oleh kata dan pengertian 0DQXVLD DGDODK WXEXKQ\D GHQJDQ EHUEDJDL
kesadaran itu. cara. Dan aku melekat secara buta pada
0HQXUXW 0HUOHDX3RQW\ LGHDOLVPH dunia, yang tak lain adalah kebertubuhanku
transendental ‘mereduksi’ dunia, karena ia ini. Kebertubuhan tersebut juga menurut
mendasarkan kepastian tentang dunia atas 0HUOHDX3RQW\NHEHUWXEXKDQGDODPSHUVHSVL
pemikiran, atau kesadaran mengenai dunia Dalam persepsi ini terdapat suatu unsur
dan ia membuat dunia menjadi semata-mata anonim yang tidak tergantung dari saya: sambil
korelatif dengan pengenalan kita, sehingga membuka mata saya melihat langit biru, aku
dunia menjadi imanen dalam kesadaran, dan seakan-akan diliputi olehnya, pandangan aku
otonomi benda-benda dengan itu dihapus. seakan-akan ‘mendiami’ biru itu. Kenyataan
Sebaliknya reduksi eidetis adalah tekad bahwa aku tersirat dalam dunia dengan cara
untuk menampilkan dunia seperti adanya, demikian tidak tergantung dari keputusan
sebelum setiap langkah kembali ke diri kita pribadi aku. Aku dapat memutuskan untuk
500 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

membuka mata atau tidak. Tetapi bahwa banyak dipengaruhi Weber dan tradisi
aku dilingkupi oleh dunia dengan suatu Jerman, di mana ia sering meminjam istilah-
kepekaan badani (persepsi) terhadap dunia istilah fenomologi klasik, tetapi sebenarnya
LWX WLGDN WHUJDQWXQJ GDUL DNX 0DND GDUL ia banyak mengambil wacana seperti terlihat
itu kebertubuhan ada dalam jangkauan pra- dalam beraneka ragam karyanya yang
obyektif yang meliputi aku dan dunia, yang meliputi bidang yang sangat luas.1 Apalagi
mengandung suatu unsur anonim, suatu penguasaannya terhadap bahasa Jerman,
unsur yang tidak bersifat pribadi. Sama dan bahasa Eropa Utara lainnya, juga telah
dengan kelahiran dan kematian yang juga memberi peluang menggapai literatur yang
tidak merupakan pengalaman pribadi aku. lebih luas dibandingkan pemikir Amerika
'L VLQL 0HUOHDX3RQW\ ELFDUD PHQJHQDL ODLQQ\D 5HQWDQJ WHPD SHPLNLUDQQ\D GDSDW
sejarah pribadi yang dilatarbelakangi oleh dilihat dari beberapa judul karya-karya
SUDVHMDUDK\DQJEHOXPSULEDGLµ0HQJDPDWL¶ utamanya berikut seperti: Invitation to
belum dikonkretkan sebagai persepsi pribadi. Sociology  The Social Construction of
%XNDQDNX\DQJPHQJDPDWLWHWDSLDGD\DQJ Reality  The Sacred Canopy  A
PHQJDPDWLGDODPGLULDNX6HKLQJJD0HUOHDX Rumor of Angels  The Homeless Mind
Ponty mengatakan, dari latarbelakang   The Capitalist Revolution  
keterbukaan badani ini kepada dunia, maka dan sebagainya.
‘aku’ sebagai unsur pribadi melepaskan diri. 0HOLKDW LVL NDU\DNDU\DQ\D WHUVHEXW
'L VLQL PDNVXG 0HUOHDX3RQW\ GXDOLWDV dapat dipastikan Weber adalah sumber
antara taraf rohani dan taraf jasmani, XWDPD LQVSLUDVL LQWHOHNWXDO %HUJHU GL PDQD
tidak merupakan latarbelakang bagi ia memeroleh pemahaman dasar metode
cara bereksistensi yang khas manusiawi. dan pendekatan sosiologis, perspektif dasar
Kebertubuhan justru memerlihatkan suatu mengenai sifat masyarakat modern, dan
lapangan pra-obyektif di mana subyek dan terutama perhatian intelektualnya secara
obyek tidak dapat dipisahkan—jadi lapangan menyeluruh mengenai masalah—yang ini
ini mendahului ‘aku’ dan seakan-akan terletak QDQWLVDQJDWGLWHNDQNDQ%HUJHU²SHPDNQDDQ
di bawah sejarah pribadi aku sebagai suatu dalam suatu budaya yang sedang mengalami
dasar anonim, yang tidak bersifat pribadi. transformasi oleh kekuatan modernisasi.2
,QLODK PDNVXG 0HUOHDX3RQW\ EDKZD Warisan intelektual, asumsi-asumsi dan
kebertubuhan itu mendahului ‘aku.’ perhatian besar mengenai falsafat manusia
dan budayanya juga dapat ditelusuri kembali
Peter Berger: Konstruksi Sosial Kebudayaan sampai kepada falsafat Immanuel Kant. Dalam
Pada umumnya para ahli menganggap cara berpikir, Weber sangat dipengaruhi
EDKZD3HWHU/%HUJHUWLGDNPHQJLNXWLDWDX logika dialektis Hegel dan para pengikutnya,
menyebut dirinya sebagai penganut suatu MXJD.DUO0DU[EHUNDLWDQGHQJDQNRQVHSQ\D
sekolah atau aliran pemikiran falsafat atau mengenai individu dan masyarakat—
sosiologi. Ia—atas nama dirinya sendiri—
mengajukan suatu kerangka analisis 1
 .DU\DNDU\D OHQJNDS %HUJHU OLK ³7KH
kebudayaan dalam suatu wacana sosiologi, %LEOLRJUDSK\RI3HWHU/%HUJHU´GDODP+XQWHU-DPHV
sehingga tradisinya dikenal dengan nama Davidson dan Stephen C. Ainlay (ed.), Making Sense
of Modern Times: Peter Berger and the Vision of
µ%HUJHULDQ¶ ,D PHQHPSDWNDQ NDU\DQ\D Interpretive Sociology 1< 5RXWOHJH  .HJDQ 3DXO
dengan mengikuti suatu tradisi intelektual  
yang luas, terutama dari wacana neo-Weberian 2
 0DVDODK NHPRGHUQDQ LQL WLGDN GLEDKDV GDODP
dan fenomenologis, juga tradisi humanistik karangan ini lih. Zijderveld, Anton. C., “The Challenges
RI 0RGHUQLW\´ GDODP +XQWHU et al., Making Sense of
-HUPDQ 1DPXQ ZDODXSXQ SHPLNLUDQQ\D Modern Times
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 501

meskipun secara damai atau diam-diam telah setelah ke luar rahim dari ibu selama tahun
WHUMDGLGHEDWDQWDUD%HUJHUGHQJDQSHQGDSDW pertama, padahal mamalia misalnya relatif
SHQGDSDW 0DU[ 7XOLVDQ (PLOH 'XUNKHLP telah sempurna.
dan George Simmel memunyai pengaruh %DJL PDQXVLD NRQVWLWXVLQ\D SDGD VDDW
besar sehubungan dengan konsep-konsepnya lahir bersifat memiliki keterbukaan kepada
tentang realita sosial-budaya. dunia dan bersifat plastis. Selama masa keter-
Penulis abad XX yang paling memberi gantungan secarah menyeluruh ini, manusia
SHQJDUXKWHUKDGDSNDU\DNDU\D%HUJHUDGDODK berhubungan dengan lingkungannya, dan
*HRUJH +HUEHUW 0HDG VHODLQ -HDQ3DXO alam di mana ia tinggal dan hidup. Lingkungan
Sartre dan beberapa failasuf eksistensialis inilah yang pertama kali memberi keterbukaan
ODLQQ\D.DUO%DUWKGDQNDODQJDQWHRORJLQHR dan kemungkinan terhadap bentuk kehidupan
RUWKRGR[ $OIUHG 6FKXW] GDQ IDLODVXI VRVLDO sosio-budaya yang akan dikembangkannya
berkembangsaan Jerman Arnold Gehlen juga secara sangat luas dalam pertumbuhannya
memberi pengaruh pada proses pembentukan sebagai manusia.
GDVDUIDOVD¿WHRULVRVLDO%HUJHU Kondisi manusia sebagai hasil dari
Sedikit ulasan mengenai pengaruh pemberian secara antropologi ini, menurut
LQWHOHNWXDO %HUJHU LQL SHUOX GLVDMLNDQ XQWXN %HUJHU VHFDUD LQKHUHQ VHEHQDUQ\D ODELO
memeroleh pemahaman tentang teorinya Organisme manusia secara alamiah tidak
mengenai kebudayaan—dalam arti seluas- menyediakan saluran-saluran yang stabil di
luasnya—dan pendekatan metodologis yang mana dorongan-dorongannya dapat diarah-
digunakannya. Pada dasarnya semua pakar kan; yang ada hanyalah bahwa manusia
teori sosial secara implisit ataupun eksplisit, haru memberinya sendiri suatu lingkungan
langsung atau tidak langsung sebenarnya yang stabil, yang dapat melindunginya dari
PHQJJXQDNDQ VXDWX NRQVHS IDOVD¿ EHJLWX keadaan yang membuatnya tidak aman baik
MXJDGHQJDQ%HUJHU secara biologis maupun antropologis-sosial.
Dengan begitu, yang tidak terberi secara
$VXPVL$VXPVL)DOVD¿%HUJHU biologis harus dikompensasi melalui cara-
.DU\D %HUJHU WHQWDQJ NHEXGD\DDQ cara yang non-biologis (antropologis-sosial.)
didasarkan pemahaman mengenai aspek Inilah perkembangan kebudayaan.
biologi dan lingkungan, yang termuat dalam Seperti yang dikemukakan Hegel
kehidupan manusia. Ia secara langsung GDQ 0DU[ SDGD GDVDUQ\D  PDQXVLD VHODOX
dipengaruhi oleh failasuf dan biolog seperti PHODNXNDQ HNVWHUQDOLVDVL ³0DQXVLD DGDODK
$UQROG *HKOHQ %HUJHU PHQ\DWDNDQ EDKZD PDNKOXN \DQJ EHUWLQGDN´ 0DQXVLD MXJD
manusia berbeda dari hewan, manusia tidak memunyai kecenderungan yang solitair
PHPXQ\DL OLQJNXQJDQ NKDV \DQJ VSHVL¿N (sendirian) yang sebenarnya merupakan
0DQXVLDGDSDWKLGXSGLOLQJNXQJDQJHRJUD¿V keberadaan pada tingkat hewan. Dengan pema-
dan iklim manapun sejauh batas-batas yang haman tentang kedua ini—eksternalisasi
dimungkinkan oleh organismenya. Selain itu dan internalisasi—dapat dikatakan bahwa
dibandingkan dengan perkembangan makhluk manusia pada hakikatnya mengontruksikan
jenis tinggi lainnya, manusia pada saat lahir dunia mengikuti bentuk dan kecenderungan
memunyai perangkat naluri yang sangat belum VRVLREXGD\D GDQ SVLNRORJLVQ\D 0HQXUXW
EHUNHPEDQJ 0DQXVLD PHPXQ\DL GRURQJDQ %HUJHUPDQXVLDEXNDQKDQ\DKRPRVDSLHQ
dorongan naluriah, tetapi pada dasarnya tidak tetapi juga homo faber—sebuah konsep yang
terarah dan tidak terurus dengan baik, jauh di PHQGXNXQJSHQGDSDW0DU[EDKZDPDQXVLD
bawah kemampuan naluriah binatang. Tubuh adalah pembuat dunianya atau lingkungan
manusia masih berkembang secara biologis budayanya, termasuk dimensi materi maupun
502 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

non-materinya. Dalam hal ini, masyarakat khas, di mana manusia harus membentuk
merupakan suatu kegiatan pembentukan dan menciptakan suatu dunia; dan individu
GXQLD 0HVNLSXQ 'XUNKHLP PHQ\DWDNDQ itu sendirilah yang bertanggungjawab atas
dunia dibentuk secara sui generis, tetapi WLQGDNDQQ\DGLGXQLDLQL%HUJHUPHQ\DWDNDQ
NHQ\DWDDQQ\D PHQXUXW %HUJHU GXQLD LQL bahwa manusia menuntut keteraturan yang
tidaklah bersifat intrinsik, dan tidak juga disertai dorongan yang memunyai kekuatan
terberi sekaligus. Di sinilah—nanti akan seperti naluri. Dan ini didapatkan dalam
GLNHPEDQJNDQ ROHK %HUJHU VHEDJDL VXDWX penataan sosial yang dilakukan manusia.
teori kebudayaan—tempatnya kebudayaan Penataan sosial itu secara luas hanya dapat
yang dibentuk berulangkali sebagai proses dimungkinkan melalui keikutsertaan simbol-
terus disempurnakan tidak untuk sekali jadi, simbol yang memberikan dunia memunyai
tetapi terus diperbaiki mengarah ke yang lebih arti untuk didiami—suatu keadaan keteraturan
baik. Dalam proses itu, manusia terkadang pribadi berkaitan dengan identitas atau
memersepsikan realitasnya sebagai asing sejumlah identitas yang dinilai oleh dunia
dan lupa bahwa dunia yang didiaminya itu sosial, apakah menyimpang atau normal.
sebenarnya merupakan hasil kerja sosialnya $UJXPHQWDVL %HUJHU GDSDW GLFRQWRKNDQ
sendiri. dengan ide fungsionalisme struktural tentang
Penting ditekankan di sini, apa yang kebutuhan masyarakat akan integrasi di mana
PHQXUXW %HUJHU KDNLNL GDODP NHEXGD\DDQ fungsi suatu sistem itu memunyai sebuah
adalah makna. 0DQXVLD SDGD NHQ\DWDDQQ\D EDJLDQ GDUL VLVWHP WHUVHEXW %DJLDQ WHUVHEXW
memasuki pemaknaan dalam hubungannya berfungsi secara positif untuk pemeliharaan
dengan realitas: di mana tindakan seseorang sistem tersebut. Persyaratan integrasi ini
itu didasarkan pada kehendak (niat), dan suatu tidak terjadi pada tingkat kelembagaan,
NHVDGDUDQ WHQWDQJ DUDK KLGXSQ\D 0DNQD tetapi pada tingkat individual, pada tingkat
makna tersebut kemudian diobyektivasi ke pemberian arti, sehingga terdapat suatu cara
dalam artifak budaya seperti ideologi, sistem penataan sosial yang disahkan. Pembatalan
keyakinan, kode moral, lembaga-lembaga pengesahan (legitimasi) ini dapat saja terjadi,
dan seterusnya. Sebaliknya makna-makna apakah karena disfungsional atau karena
tersebut diserap kembali ke dalam kesadaran WLGDNODJLUHOHYDQ0HPDKDPLKDOLQLSHQWLQJ
sebagai kemungkinan penyelesaian realitas, untuk membedakan antar integrasi pada
aturan sosial dan sebagainya. Kebudayaan, tingkat individu dengan integrasi di tingkat
dengan demikian merupakan suatu dunia lembaga. Tidak benar jika menyatakan
pengalaman subyektif, dan intra-subyektif bahwa persyaratan pada tingkat individu
berkaitan dengan makna-makna yang menjadi persyaratan pada tingkat lembaga.
GLEHQWXN VHFDUD VRVLDO 0HQXUXW %HUJHU %HUJHU WLGDN PHODNXNDQ ORPSDWDQ DQDOLWLV
artefak kebudayaan muncul dari pemaknaan semacam itu. Keduanya terjadi secara
subyektif ini. dialektis. Pengesahan dan pembatalannya
0HQXUXW %HUJHU GXQLD VRVLDO DGDODK juga dianalisis berkaitan dengan batasan-
obyektif dan subyektif sekaligus. Pengaruh batasan realitas dalam masyarakat.
falsafat eksistentialisme terlihat di sini secara 'DODP DQDOLVLV NHEXGD\DDQ %HUJHU
VDQJDW MHODV PDODK VHMDN DZDO NDULU %HUJHU sangat menekankan keadaan pluralitas
ketika mengatakan bahwa alam otentik hanya kebudayaan yang tidak terhindari, karena
dapat diperoleh dari ketidakaturan yang bentuk-bentuk sosio-budaya dan sosio-
psikologi yang begitu beraneka ragam yang

Tentang hal ini dibahas dalam buku Peter L.
memberi bentuk pada dunia sebagai hal
%HUJHU Sociology Reinterpreted (bersama Hansfried
.HOOQHU  1<'RXEOHGD\  yang normal. Juga karena realitas tersebut
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 503

tidak tegas dapat diandalkan seperti dalam budaya. Segi material pembentukan teori pada
dunia binatang, sebab bersifat artifisial dan tingkat individual ini biasanya menganalisis
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara tubuh, dan pada tingkat kolektif, menganalisis
LQKHUHQ 0HVNLSXQ PDQXVLD VHODOX EHUXSD\D struktur ekonomi.
untuk memertahankan penataan dunianya, 3HUKDWLDQ%HUJHUPHQJHQDLDVSHNRQWRORJL
tetapi senantiasa terancam oleh situasi-situasi ini, karena membahas makna subyektif
seperti mimpi-mimpi, fantasi, penyakit, dan budaya, mengarah pada ontologi ideal
kecelakaan, malapetaka, keadaan darurat, pada kesadaran individu meskipun tidak
dan kesalahan yang merupakan bagian dari sesederhana itu, karena terdapat juga
keberadaan hidup sosial manusia. pembahasan manusia dalam dunia materi
Dalam ilmu sosial terdapat paling lewat analisis ekonomi. Ia kadang-kadang
tidak dua tradisi epistemologi utama yaitu menjelaskan bahwa semua yang materi
humanistik dan positivistik. Tradisi humanis- mendahului yang ideal. Walaupun seperti
tik—terutama yang dipengaruhi oleh Kant— QDQWLNLWDDNDQOLKDW%HUJHUMXJDPHPXQ\DL
menempatkan dua realitas dunia yang prioritas bagaimana yang ideal memengaruhi
IHQRPHQDOGDQQRXPHQDO5HDOLWDIHQRPHQDO yang material. Semua kesadaran agama dan
yang meliputi dimensi-dimensi lingkungan lain-lain bermula di dalam praksis kehidupan
alamiah dapat dipahami melalui penggunaan VHKDULKDUL3ULRULWDVRQWRORJLPHQXUXW%HUJHU
pengindraan secara sistematis, sedangkan diartikan bukan berdasarkan yang mana
yang noumenal dapat dimengerti secara yang lebih dulu, tetapi yang lebih penting
prinsipil melalui penalaran penghayatan. penekanan pada arti subyektif sebagai dasar
<DQJ IHQRPHQDO GLDWXU KXNXPKXNXP DODP realita yang dibentuk secara sosial (segi-
sedangkan noumenal oleh hukum-hukum segi dialektis dari Hegel dan fenomenologi.)
kebebasan. Sebaliknya tradisi positivistik Kalau segi ini yang diperhatikan, maka
tidak melihat adanya perbedaan atau perban- MHODV %HUJHU SDGD GDVDUQ\D PHQHNDQNDQ
dingan dalam realita-melalui teknik ilmu prioritas individu bukan kolektif. Di sinilah
positif alam maupun manusia; keduanya segi-segi fenomenologis memang begitu
dapat dan harus dikenali melalui penggunaan kuat memengaruhi metodologi analisis
sistematis dari observasi dan pengukuran. NHEXGD\DDQ%HUJHU
Dari dua tradisi ilmu sosial ini, pemikiran 3RNRN SHPEDKDVDQ VRVLRORJLV %HUJHU²
%HUJHUPHQJLNXWLWUDGLVLHSLVWHPRORJLKXPD termasuk dalam pembicaraan kebudayaan—
nistik. adalah individu, dan individu-individu
Dalam ilmu sosial juga dikemukakan yang telibat dalam interaksi sosial (di sini
mengenai tradisi-tradisi ontologis, yang terlihat pengaruh perspektif falsafat Kant.)
dapat dibagi secara garis besar menurut di- %DJL %HUJHU VHSHUWL KDOQ\D :HEHU GDQ
mensi individual, dan dimensi kolektif, 6FKXW]  EDJDLPDQD PDQXVLD PHQJRUJDQLVLU
dalam memberi prioritas pada yang ideal pengalaman sehari-hari terutama dalam dunia
(kesadaran.) Satu aliran ontologi yang sosial, merupakan latar belakang di mana
menekankan tingkat individual dengan penyelidikan ilmiah berlangsung. Para pelaku
memusatkan perhatian pada kesadaran dalam kehidupan sehari-hari adalah rasional,
individu, sedangkan aliran ontologi lainnya dan dengan demikian bebas, dan tidak secara
yang menekankan kolektivitas pada kesada- PHNDQLVWLV PHQHQWXNDQ NHJLDWDQQ\D %DJL
ran kolektif sebagai fokusnya dari sistem para positivistis ini memang tidak dapat
 
Tentang kebebasan ini lih. “The Problem of Stephen C. Ainlay, “The Encounter with
Freedom” dalam Hunter et al., Making Sense of Modern Phenomenology,” dalam Hunter et al., Making Sense of
Times, Modern Times, 
504 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

diterima. Obyek analisisnya adalah diri pribadi yang


Tetapi menurut Weber, kegiatan manu- sedang berkreasi dan memeroleh makna
sia—mengikuti analisis kaum Weberian—ha- GDODP NHKLGXSDQ VHKDULKDULQ\D %HUJHU
rus dipahami lewat makna bagi para pelaku tidak termasuk kelompok ini, tetapi dalam
di masyarakat, yang untuk itu memang ha- DQDOLVLV %HUJHU VHULQJNDOL VDQJDW GHNDW
rus diinterprestasi. Sosiologi interpretatif dengan kelompok ini. Pendekatan terhadap
ini—yang bertradisi Weberian ini—harus kehidupan sehari-hari yang merupakan aspek
memerhatikan pengertian dari arti subyektif empiris fenomenologi eksistensial misalnya
atau intensionalitas—maksud dari yang ter- seringkali menjelaskan kategori kesadaran.
libat kegiatan sehari-hari ini, yang meliputi %HUJHU GDSDW GLNDWHJRULNDQ PHQJJXQDNDQ
DSD \DQJ GLNHPXNDNDQ %HJHU VHEDJDL LQWHU- analisis fenomenologi eksistensial ini
prestasi dari struktur-struktur pengetahuan sewaktu membahas kesadaran modern atau
yang membawa ke dalam situasi pengeta- kesadaran agama.
KXDQ LOPLDK VSHVL¿N GDQ DWXUDQ prasudeual. Tetapi dari semua pemikiran fenome-
Jadi terjadi proses transpose (peralihan) arti QRORJL LWX %HUJHU DGDODK SHZDULV 6FKXW]
kehidupan biasa ke dalam sistem artian yang /HZDW 6FKXW] \DQJ WHODK EHUXVDKD PHPHU-
berbeda dari pakar sosial, sehingga ia mema- halus metodologi Weber dengan cara men-
hami dalam cara yang baru. jelaskan postulat-postulatnya, selanjutnya ia
0HQXUXW %HUJHU XQWXN PHQHPEXV GXQLD mengembangkan konsep fenomenologinya
kehidupan sehari-hari alat fenomenologi VHQGLUL %HUJHU \DQJ PHQGDSDWNDQ PRGHO
sangat berharga, tetapi terhadap pengertian 6FKXW]\DQJVXGDKPDSDQPHQJHPEDQJNDQ-
yang berbeda-beda tentang fenomenologi nya dalam menyusun karya-karya sosialnya
LQL  $OIUHG 6FKXW] DGDODK VXPEHU XWDPD PHQJHQDL NHEXGD\DDQ %HEHUDSD FLUL SRNRN
%HUJHU ZDODXSXQ LD GLSHQJDUXKL MXJD ROHK dapat dikemukakan di sini: Semua individu
fenomenologi seperti Wilhem Dilthey, mendiami suatu dunia kehidupan yaitu suatu
(GPXQG+XVVHUOGDQ0DXULFH0DUOHDX3RQW\ lingkup pengalaman total yang dibatasi sua-
0HPHUKDWLNDQ VHJL IHQRPHQRORJL \DQJ tu lingkungan alami, barang buatan manu-
PHPHQJDUXKL%HUJHULQLVHSHUWLWHUOLKDWGDODP sia, kejadian-kajadian dan individu lainnya.
sejarah falsafat paling tidak ada dua varisasi 1DPXQ GXQLD LQL WLGDN GLWDQJJDSL VHEDJDL
utama fenomenologi: yaitu hermeneutik dan suatu kesatuan oleh karena kesadaran manu-
eksistensial. Keduanya memiliki asumsi sia yang hanya mampu menangkap beberapa
epistemologi dan ontologi yang sama, tetapi bagian realitas yang berbeda-beda, misalnya
berbeda dalam fokus analisis budayanya, terlihat dalam mimpi, halusinasi, waham dan
khususnya dalam dimensi individu dan drama sandiwara. Dunia kehidupan terdiri
kolektif kehidupan budaya. Fenomologi dari realitas majemuk dan di antaranya ada
hermeneutik cenderung berfokus pada aspek satu yang menyodorkan diri sebagai realita
kolektif dari budaya, seperti ditunjukkan oleh NHKLGXSDQ VHKDULKDUL \DQJ ROHK 6FKXW] GL-
SHUKDWLDQ\DQJEHVDUWHUKDGDSEDKDVD%DKDQ juluki sebagai realita utama (paramount rea-
teks memerlihatkan penyajian dan penetapan lity. 5HDOLWDVLQLGLDODPLGDODPNHDGDDQWHU-
sifat dan struktur komunikasi. Tokoh-tokoh bangun sebagai normal, terbukti dengan sen-
fenomenologi hermeneutik ini adalah Hans dirinya, teratur secara obyektif. Juga dialami
*HRUJH*DGDPHUGDQ3DXO5LFRHU secara intersubyektif yaitu bersama dengan
Sebaliknya fenomenologi eksistensial orang lain. Di sini realitas tersaji sebagai
lebih berorientasi pada tingkat individu dalam daerah pemaknaan. 7\SH¿FDWLRQ terjadi aki-
budaya—yaitu budaya yang dinternalisasi bat situasi di mana tidak terjadi pemahaman
dalam kesadaran subyektif individu-individu. VHFDUD ODQJVXQJ 5HDOLWDV VRVLDO NHKLGXSDQ
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 505

sehari-hari dipahami melalui suatu urutan netral terhadap nilai-nilai dan pendapat orang
WLSL¿NDVL DQRQLP VHUD\D EHUSLQGDK GDUL VDWX lain, meskipun secara pribadi bisa dianggap
VLWXDVLNHVLWXDVLODLQQ\D%HUVDPDRUDQJODLQ merugikan, bahkan menghina.
seorang individu memunyai suatu tumpukan 3HUKDWLDQ PHWRGRORJLV %HUJHU LQL WLGDN
pengetahuan yang mendiferensiasi kehidu- hanya berlaku dalam studi-studi sosial-
pan nyata, dan memberikannya informasi politik, tetapi juga mencakup agama,
yang dibutuhkan untuk menjalankan kehidu- karena menurutnya penelitian ilmu sosial
pan. Pengetahuan pada dasarnya ditentukan tentang agama harus “bersikap bagaikan
oleh motivasi programatis individu. Dan se- ateis” seperti halnya telah dilakukan Weber.
terusnya tema-tema yang sangat menekankan %HUJHU PHQHNDQNDQ EDKZD SHQHOLWL KDUXV
pengalaman kesadaran subyektif dalam pem- “berwarga-ganda,” di mana bila berada
bentukan kebudayaan. dalam peran sebagai warga pribadi maka ia
Dalam hal batas-batas fenomenologi, dapat mengekspresikan nilai-nilainya tentang
%HUJHU PHQ\HWXMXL 0HUOHDQ3RQW\ EDKZD suatu masalah itu, tetapi jangan sampai
fenomenologi berhenti ketika ilmu penge- LWX PHQ\XVXS NH GDODP GXQLD RE\HNWL¿WDV
tahuan baru mulai. Dalam buku The Social ilmiah, memasukkan etika dan moral pribadi
Constraction of Reality—yang nanti akan ke dalam lingkungan penelitian ilmiah.
GLNHPXNDNDQ VDULQ\D GL EDZDK²%HUJHU Dengan cara kerja sosiologi yang
dan Thomas Luckman mengatakan bahwa bersifat fenomenologis ini, yang disebutnya
analisis fenomenologis adalah suatu metode sosiologi interpretatif—seperti dikatakannya
deskriptif sehingga bersifat empiris. Sejalan dalam buku Invitation to Sociology—
dengan Weber, kontruksi atau tipe ideal %HUJHU PHQJDWDNDQ EDKZD VRVLRORJL GDSDW
dilakukan agar manusia dapat mengadakan mengantarkan seseorang kepada cara hidup
generalisasi dalam dimensi-dimensi kehidu- suatu masyarakat yang lebih toleran, pluralis,
pan yang berbeda melalui interprestasi bahkan yang diwarnai kepedulian. Sosiologi
VRVLRORJLV 'L VLQL SDQGDQJDQ %HUJHU WHQ juga dapat membantu merumuskan suatu
tang obyektivitas sosiologi dalam proses etika tanggungjawab dalam suatu kehidupan
interpretasi itu berbeda dari kaum positivis. sosial.
Ia melaporkan data haruslah menurut obyek- 0XQJNLQ SHUGHEDWDQ PHWRGRORJL \DQJ
tivitas dalam interaksi antara nilai-nilai dan paling kontroversial akhir abad XIX dan awal
penyidikan ilmiah, serta berlandasan apa XX dalam ilmu sosial (terutama di Eropa)
yang disebut ‘reduksi fenomenologis.’ Ia berhubungan dengan pertanyaan apakah
menyetujui bahwa nilai-nilai memengaruhi ada perbedaan antara ilmu alam dan ilmu
permasalahan, dan desain penelitian ilmiah EXGD\D %DJL %HUJHU SHUWDQ\DDQ WHUVHEXW GL
sedapat mungkin dikendalikan agar tidak atas tidaklah penting karena pada dasarnya
mengganggu sebuah interprestasi sosiologis. menurut dia sifat, tujuan dan metode ilmu
Peneliti harus dapat membatasi diri dengan alam memang berbeda dari ilmu budaya.
mengurung segala bias nilai-nilainya: tentang Persamaannya adalah perhatian kepada
pendapatnya mengenai baik-buruk, benar- kesempurnaan obyektivitas dalam aspek
salah, sah atau tidak-sah atas segala hal yang HPSLULV7LGDNMHODVDSDNDK%HUJHUEHUXSD\D
sedang diselidiki. Sikap “mengurung segala mengembangkan suatu teori budaya yang
bias-bias ini” dapat dimengerti sebagai suatu sistematik dan terintegrasi. Terlepas dari ya
kegiatan untuk masuk ke dalam suatu daerah WLGDNQ\D %HUJHU PHQJHPEDQJNDQ NDU\D
pemberian arti atau struktur yang relevan, karya yang mencakup bidang yang sungguh
atau terlembaga dalam masyarakat ilmiah di banyak, mengingat minatnya yang luas (yang
mana peneliti senantiasa berupaya bersikap sebagian ada di luar analisis budaya), seperti
506 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

sudah ditulis di muka. lebih efektif mengalihkan dan memelihara


%HULNXWDNDQGLNHPXNDNDQNRQVHSNRQ- arti-arti tersebut.
VHS GDVDU %HUJHU GDQ SDQGDQJDQSDQGDQJDQ Dengan sifat bahasa yang mampu
utamanya menyangkut proses-proses kons- mentransendir waktu dan tempat dari mana dia
truksi sosial mengenai kebudayaan. muncul, bahasa juga dapat menghubungkan
lingkup waktu dan sosial dari realitas sehari-
Konsep-Konsep Dasar Berger hari dan mengintegrasikannya menjadi suatu
6HSHUWL NLWD VXGDK NHWDKXL %HUJHU kesatuan yang berarti. Dengan demikian
PHQGH¿QLVLNDQNHEXGD\DDQVHEDJDLWRWDOLWDV dalam pembicaraan antara pribadi atau
produk manusia. Dengan batasan budaya sendiri, seluruh dunia sosial dengan masa
tersebut, kebudayaan tidak hanya mencakup lalu, sekarang dan masa depannya tersedia
artifak materi dan bentuk-bentuk sosio-budaya XQWXNGLUHÀHNVLNDQ
yang non-materi, yang menuntun perilaku %DKDVD EHUNDLWDQ GHQJDQ UHDOLWDV XWDPD
manusia—di mana masyarakat merupakan kehidupan sehari-hari, tetapi juga dapat
segmen budaya—tetapi juga merupakan mentransendensikannya, dan menjelaskan
UHÀHNVL GDUL GXQLD VHSHUWL  WHUFHPLQ GDODP lingkup terbatas suatu makna sehubungan
kesadaran manusia. Aspek subyektivitas GHQJDQ UHDOLWDV WHUVHEXW 0HQMHODVNDQ VXDWX
dari kebudayaan ini perlu ditekankan di KDOXVLQDVLPHQD¿VUNDQPLPLSLPHQMHODVNDQ
sini, karena bahan budaya adalah makna pengalaman yang mengerikan merupakan
(inter-)subyektif yang dipunyai individu- contoh yang bisa diberikan. Pada ekstrim
individu mengenai dunia yang ditinggalinya, lainnya bahasa dapat menransendir realitas
sehingga dunia itu ada sejauh manusia sadar sehari-hari dari sistem nilai dan prinsip
akan adanya dunia tersebut. yang sama sekali asing. Dalam kasus ini
Dari sekian banyak produk manusia, setiap realitas dapat selalu dijelaskan dan
tanda pada dasarnya penting karena diinterprestasikan lewat simbol. Simbol
berfungsi sebagai ukuran dari arti subyektif. GLGH¿QLVLNDQ%HUJHUVHEDJDL³WHPDVLJQL¿NDQ
Terlebih lagi tanda dapat juga secara obyektif manapun yang mencakup berbagai lingkup
digunakan oleh orang lain di luar batas waku realitas” dan bahasa simbolis sebagai “modus
dan situasi tertentu, di mana tanda itu pertama linguistik melalui mana tercapai keadaan
kali diekspresikan. Tanda dapat menransendir transenden.” Sistem simbol yang paling
keadaan subyektif yang melahirkannya. penting—seperti dikatakan di atas, yang
%HEHUDSDVLVWHPWDQGDELVDWHUGDSDWGDODP merupakan uviversal symbolicum—adalah
sebuah masyarakat seperti isyarat-isyarat agama, ilmu pengetahuan dan ideologi.
gerakan tubuh, artifak materi dan sebagainya. Simbol-simbol itu sangat abstrak dan berada
%DJL %HUJHU EDKDVD VHEDJDL VLVWHP WDQGD jauh di atas kehidupan sehari-hari, tetapi
merupakan sistem yang terpenting dalam dapat memberi dampak pada kehidupan
masyarakat, karena merupakan sistem tanda sehari-hari sesuai dengan kemampuannya
terbaik dalam mewujudkan dan meneruskan dalam memberi inspirasi atau arti kepada
DUWL VXE\HNWLI 0HVNLSXQ EDKDVD EHUPXOD NHJLDWDQ SHURUDQJDQ DWDX NROHNWLI 0HQXUXW
dalam situasi tatap-muka individu-individu, %HUJHUEDKDVDPHPDQJVDQJDWHVHQVLDOGDODP
tetapi bahasa akhirnya dapat dilepaskan konstruksi atas kenyataan hidup sehari-hari.
dari individu-individu yang terlibat pada 3DQGDQJDQ %HUJHU WHQWDQJ EDKDVD
proses pembentukan itu, lebih dari sistem berfokus pada tema-tema yang luas mengenai
WDQGD DSDSXQ 0HODOXL DODW OLQJXLVWLN VHSHUWL sifat dan fungsi bahasa di dalam budaya
penulisan—atau pada masa sekarang sebagai perantara pemaknaan manusia.
perekaman bahasa—seseorang dapat secara Jelaslah, ini berbeda dari suatu teori bahasa
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 507

yang berdasarkan struktur-struktur linguistik simultan: eksternalisasi, obyektivasi dan


yang tidak menekankan pada arti melainkan internalisasi.
pada aturan-aturan pola-pola dan struktur Eksternalisasi merupakan peluapan
bahasa yang membuat kata-kata tertentu WHUXVPHQHUXVGDULNHDGDDQ¿VLNGDQPHQWDO
EHUDUWL 3HUVSHNWLI %HUJHU PHQJHQDL KDO LQL individual ke dalam dunia dikarenakan keadaan
begitu konsisten dan mendukung pendekatan biologisnya yang belum berkembang, dan
fenomologinya dalam pemahaman budaya. merupakan esensi keberadaan umat manusia.
Sosiologi fenomologi menekankan Oleh karena tidak terdapat suatu struktur
pada arti yang diberikan kelompok orang dasar biologis yang dapat menyalurkan
secara intersubyektif. Tetapi juga menjalani pikiran dan prilaku, maka manusia terpaksa
obyektivasi dalam sejumlah artifak-artifak membentuk struktur-struktur manusia yang
budaya. Dalam usahanya itu ia lebih lanjut dapat menjelaskan fungsi-fungsi tersebut.
menjelaskan kenyataan sosial sebagai situasi Kegiatan manusia membangun dunia berakar
di mana manusia senantiasa ada dalam pada kebutuhan biologis untuk eksternalisasi.
proses menciptakan dan menciptakan ulang Di lain pihak, bila menyebutkan produk
GXQLDQ\D PDND ROHK %HUJHU NHEXGD\DDQ hasil eksternalisasi, itu berarti telah terjadi
ditekankan segi dialektisnya. Istilah dialetik suatu perbedaan atau jarak dengan yang
PHQXUXW %HUJHU LQL VHGLNLW EHUEHGD GDUL menghasilakan produk tersebut.
3ODWR +HJHO DWDX 0DU[ VHEDE OHELK EHUVLIDW Inilah proses obyektivasi, sehingga
teknis dan seringkali memunyai arti sesuai PHQXUXW%HUJHUGXQLDPHQMDGLVHVXDWXGLOXDU
konteks yang berbeda-beda. Secara umum sana yang sudah memeroleh ciri dari suatu
GLDOHNWLND %HUJHU VLQRQLP GHQJDQ LQWHUDNVL realita eksternal dan obyektif, bukan sebagai
atau interplay. suatu realita yang dapat digapai individu
Dua proses dialektis dalam realitas melainkan dapat dialami bersama dengan
yang sangat penting dalam pengalaman RUDQJ ODLQ 0HQXUXW UXPXVDQ 'XUNKHLP
PDQXVLDGLGXQLDLQLPHQXUXW%HUJHUDGDODK dunia sebagai realitas obyektif—realitas sui
dialektis antara diri dan tubuh, dan dialektik generis—inilah yang akan menjadi kekuatan
antara diri dan dunia sosio-budaya, yang yang menekan dan mengarahkan prilaku,
sepanjang hidup manusia organisme selalu memberikan sanksi-sanksi yang menghukum
memengaruhi kegiatan pembentukan dunia. pada suatu penyimpangan, dan pada suatu
Dialektika diri dan tubuh memberi titik ekstrim dapat menghancurkan kehidupan
pengaruh kepada organisme, misalnya, manusia.
dalam batas usia hidup. Dialektika diri Internalisasi sebagai momen ketiga
dengan sosial-budaya berhubungan dengan dalam dialetika konstruksi realita ini
faktor-faktor kelas sosial. Seksualitas juga merupakan proses di mana dunia yang telah
merupakan contoh lain di mana fungsi mengalami obyektivasi diserap kembali ke
organisme dipengaruhi budaya, oleh karena dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga
penyaluran kedua dorongan organisme ini struktur-struktur dunia ini menetukan
ditentukan oleh faktor-faktor sosial-budaya. struktur-struktur subyektif kesadaran itu
Dalam dialetika individu dengan dunia sendiri. Dalam proses internalisasi ini
sosio-budaya ini, budaya dikonstruksi dan terjadilah sosialisasi. Sosialisasi inilah yang
dipelihara. Dialetik disimpulkan menurut memecahkan permasalahan bagaimana satu
%HUJHUROHKLQWHUDNVLGDULWLJDPRPHQVHFDUD generasi mewarisikan dunianya kepada
JHQHUDVL EHULNXW %HUJHU PHQXOLV EDKZD
melalui eksternalisasi ini masyarakat men-

 /LK %HUJHU Invitation to Sociology 1<
'RXEOHGD\ jadi produk manusia; melalui obyektivasi
508 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

masyarakat menjadi suatu kenyataan sui SHQJHWDKXDQQ\DEDQ\DNPHQJDPELOGDUL0D[


generis; dan melalui internalisasi manusia Scheler.
menjadi produk masyarakat. Teori kebudayaan lewat pendekatan
0HODOXLSHPDKDPDQGLDOHNWLVDQWDUDPD- Sosiologi pengetahuan ini dikembang-
nusia dan masyarakat ini, maka gejala so- NDQ %HUJHU WHUXWDPD GDODP The Social
sial dimengerti sebagai kenyataan empiris. Construction of Reality (bersama Thomas
Dialektika ini juga mengintegrasikan pan- Luckmann.) Ia juga mencoba mengembang-
dangan tentang kenyataan sosial yang terke- kannya dalam pembentukan institusi keaga-
san bertentangan satu sama lain: yaitu antara maan lewat bukunya The Sacred Canopy,
aliran Weber dan Durkheim. Pada dasarnya di mana ia menjelaskan agama dari sudut
PHQXUXW %HUJHU NHEXGD\DDQ LWX PHPXQ\DL VRVLRORJL 0HQXUXWQ\D GDUL VHJL VRVLRORJL
arti subyektif (Weber), dan sekaligus obyek- agama adalah suatu universum symbolicum,
tif (Durkheim) sekaligus. Dengan demikian di mana manusia memersatukan lembaga-
Weber sudah berusaha memecahkan kete- lembaga dan memberi suatu legitimasi untuk
gangan ekstrim Weber dan Durkheim dalam lembaga-lembaga itu. Fungsi sebagai univer-
WHRUL VRVLRORJL ZDODXSXQ %HUJHU DNKLUQ\D sum symbolicum ini selain agama, juga dapat
memberi prioritas pada fenomenologi yang diperoleh dalam mitos dan ideologi (kadang-
sangat menekankan individu dan makna yang kadang juga ilmu pengetahuan.) Dengan pe-
dihasilkan individu itu. QHOLWLDQ LQL %HUJHU WLGDN PHQJDWDNDQ EDK-
wa agama hanyalah universum simbolicum.
Konstruksi Sosial dari Budaya7 Agama memang juga memunyai fungsi lain,
0HQXUXW %HUJHU GDVDU GXQLD PDQXVLD misalnya sebagai dasar terakhir (ultimum cur
ialah fakultas manusia yang ada dalam dirinya, atau ultimate concern) dari manusia, tetapi
yaitu kesanggupan berbahasa dan berbicara. ini bukan kompetensi sosiologi, melainkan
Lewat bahasa inilah manusia menciptakan falsafat dan dan terutama teologi, yang bera-
kenyataan. Seorang manusia menyebut “Ini da di luar jangkauan ilmu pengetahuan.
ibu aku,” karena ia memang memberi nama— %HULNXW DNDQ GLJDPEDUNDQ EDJDLPDQD
di sini ada proses yang disebut naming<DQJ proses-proses konstruksi sosial dan agama
menarik, proses ini bukan hanya pribadi, ini terjadi.  0HQXUXW %HUJHU LQL GLPXODL
WHWDSLMXJDVRVLDO0DNDRUDQJSXQPHQ\HEXW GHQJDQ GH¿QLVL WHQWDQJ GLUL self) sebagai
“Itu ibumu!” Pemberian nama ini menjadi SHUDQDQ 'DODP PHQHUDQJNDQ LQL %HUJHU
suatu W\SH¿FDWLRQ%HUGDVDUNDQSHQDPDDQLQL menggunakan pendekatan dialektis, untuk
PHQXUXW%HUJHUWHUMDGLODKOHPEDJDOHPEDJD menjelaskan bagaimana hal rohani mencipta-
dari dunia manusia. Sebuah institusionalisasi kan hal mengada. Istilah mengada di sini
EHUGDVDUNDQ SURVHVSURVHV \DQJ %HUJHU adalah “mengada sosial” (social being,
sebut eksternalisasi, obyektivitasi, dan PHQJLNXWL 0DU[  %HUJHU PHQMHODVNDQ
internalisasi. Dengan ini ia mencoba bagaimana hal mengada—yang disebut
menerangkan segi-segi sosiologi penge- realitas ini—diciptakan secara rohani (baca:
tahuan dari suatu pembentukan kebudayaan lewat konstruksi sosial.) Konstruksi sosial
dan realitas manusia. Dalam pengembangan
WHRULLQL%HUJHUVDQJDWGLZDUQDLROHK:HEHU

 %HUJHU MXJD PHPEDKDV PHQJHQDL PDVDODK
agama dalam persimpangan jalan di tengah arus
'XUNKHLP GDQ 6FKXW] 'DQ VHJL VRVLRORJL sekularisasi dunia modern, yang tidak dibahas dalam
NDUDQJDQLQL/LK3KLOLS(+DPPRQG³5HOLJLRQLQWKH
 %DKDQ XWDPD DQDOLVLV SDVDO LQL %HUJHU The

0RGHUQ :RUOG´ GDODP +XQWHU et al., Making Sense of
Social Construction of Reality yang ditulisnya bersama Modern Times, 
7KRPDQ /XFNPDQQ 1< 'RXEOHGD\    GDQ The 
 %HUJHUThe Social Construction of Reality, dan
Sacred Canopy 1<'RXEOHGD\ The Sacred Canopy.
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 509

mengenai kenyataan bermula dari pikiran. kaan dunia biologis diubah menjadi dunia
.DODX 0DU[ PHQMHODVNDQ EDJDLPDQD matter kebudayaan yang tertutup, yang membentuk
menciptakan mind PDND %HUJHU VHEDOLNQ\D stabilitas dan arah dari seorang individu.
bagaimana mind menciptakan matter. Pada tingkat kedua, pengaturan kehidupan
'HQJDQDVXPVLIDOVDILLQL%HUJHUPHQMHODVNDQ sosial terjadi pada tingkat dunia sosial
bagaimana suatu kenyataan dikonstruksi sendiri: social order is a human product;
secara sosial, lewat institusionalisasi, legiti- social order is on going human production.
masi dan conceptual machineries of universe Hidup ialah hidup teratur karena terjadi
maintenance. perlembagaan. Dan sumber perlembagaan
0HQXUXW %HUJHU DGD SHUEHGDDQ PDQX- itu adalah tingkah laku manusia sendiri yang
sia dan hewan, bahwa manusia hidup dalam menjadi kebiasaan. Tingkah laku yang terus-
lingkungan yang terbuka—dibandingkan de menerus diulangi sehingga menjadi pola
-ngan hewan yang hidup dalam lingkungan (pattern of behaviour.) Proses ini menurut
tertutup. Dalam fenomenologi, dunia manu- %HUJHUPHQGDKXOXLSHUOHPEDJDDQ
sia ini disebut Welt dan dunia hewan Unwelt. Perlembagaan terjadi ketika orang
Dalam dunia manusia inilah ada banyak bertindak mengecap (W\SH¿FDWLRQ) tingkah
nama—setelah manusia memberinya nama laku dari yang lain. Tidak hanya tingkah
(typefication): kebudayaan, dunia sosial, su- laku dicap, tetapi juga pelaku-pelakunya
prastructure, dunia manusia, dunia agama, diberi cap. Pengecapan ini terjadi secara
kesenian, ilmu, politik, hukum, ekonomi. resiprok antara individu dan masyarakat,
'XQLD PDQXVLD \DQJ PHUXSDNDQ²%HUJHU dan merupakan milik umum dari semua
menyebutnya—institutionalised behaviour, masyarakat—lembaga mengecap baik per-
diteruskan kepada kita oleh significant per- buatan maupun pelaku. Lembaga-lembaga
sons, seperti orangtua, guru dan sebagainya. inilah yang mengatur tingkah laku kita.
Pada dasarnya kebudayaan menurut Tingkah laku disalurkan dan terjadi sebelum
%HUJHUdetermining the variability of social- orang membuat sanksi hadiah dan hukuman.
culture formations 0DQXVLD PHQFLSWDNDQ Dalam semua masyarakat terdapat sanksi
dirinya (self production of man.) Autoproduksi (social control.  7HWDSL PHQXUXW %HUJHU
ini bersifat sosial—the self production is a pengaturan lewat sanksi ini hanyalah sekun-
social enterpriese 0DQXVLD PHQFLSWDNDQ der, yang utama adalah tingkah laku itu
dunia bersama-sama: suatu dunia yang sendiri yang adalah lembaga (institutions.)
teratur. Penciptaan ini terjadi pada dua Seorang manusia akan bertindak begini dan
tingkat, yaitu individu dan sosial—dimana begitu disebabkan karena berada di bawah
tingkat individu lebih sekunder dari tingkat pengawasan manusia lain.
sosial. Dalam pendidikan misalnya, kita 0HQXUXW %HUJHU VHWLDS GXD RUDQJ DWDX
sebagai individu diatur dengan sosialisasi lebih yang berasal dari suatu kebudayaan
(social behaviour.) Dalam pendidikan dan melihat dan mengikuti prilaku yang lain
pengajaran, pengetahuan diinternalisasikan terjadilah suatu lembaga—juga kalau mereka
sebagai kebenaran yang umum berlaku. berasal dari masyarakat yang berbeda.
'L VLQL %HUJHU PHQHNDQNDQ EDKZD GDODP Gejala ini berasal dari gejala role-taking dan
sosial knowledge terjadi dua kali realisasi: role-playing. 0HQXUXW %HUJHU, Role-taking
mengalami realitas sosial yang diobyektifkan, WHUMDGL ELOD SHUDQDQ $ GLWLUX ROHK % GDQ
tapi juga terus menerus menciptakan realitas terjadilah DFROOHFWLRQRIUHFLSURFDOO\W\SH¿HG
itu. actions. Dan ketika itu dilengkapi dengan
'L VLQLODK PHQXUXW %HUJHU PDQXVLD pengecapan pelaku (type of actors) terjadilah
mengembangkan keterbukaan: dari keterbu- lembaga. Dari sini berdasarkan role-playing
510 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

tingkahlaku manusia pun bisa diramalkan. society is an objective reality, man is a social
Dan ketika dilengkapi dengan division of product.”
labor, berkembanglah kebudayaan. Perbuatan %HUJHU MXJD PHQHNDQNDQ EDKZD GDODP
terjadi in a continuing social situation— proses penerusan lembaga ini, terlihat gejala
dalam suatu situasi sosial yang berlangsung legitimasi. Seseorang sebenarnya tidaklah
terus menerus—sehingga terjadilah lembaga. tahu apa sebenarnya ‘yang dipikirkan’ oleh
Sebagai contoh: dalam komunikasi, pergaulan SHQFLSWDOHPEDJDLWX0DNQDPDNQDDVOLGDUL
(kinship.) Dalam proses W\SH¿FDWLRQ ini suatu lembaga telah terbungkus oleh tradisi
muncul diferensiasi sosial, yang seringkali atau kebiasaan dari generasi ke generasi.
menggunakan segi-segi perbedaan gender Karena itulah makna yang akan diungkap
(misalnya laki-laki adalah kepala rumah- sosiologi—untuk dapat diperkirakan mak-
tangga, dan perempuan ibu rumah-tangga. sudnya—haruslah selalu ditafsirkan.
Lembaga ini diturunkan seseorang kepa- 'LVLQL%HUJHUPHQHNDQNDQEDKZDGXQLD
da turunannya. Sehingga lembaga itu tidak sosial itu selalu dilindungi oleh selimut
lagi ad hoc, tetapi telah menjadi hal yang kognitif dan normatif, di mana legitimasinya
menyejarah. Lewat historicity terjadi ob- diajarkan dalam tempat-tempat pendidikan.
jectivity. Artinya, hal yang dibuat manusia Di sini lembaga itu juga dilindungi dengan
itu dialami sebagai hal yang di atas dan di alat sanksi seperti hadiah dan hukuman, untuk
luarPDQXVLD.DWD%HUJHU“The institutions mengurangi orang-orang yang menyimpang
are experienced as existing over and beyond dari norma-norma.
the individuals who embody them at the 0HQXUXW%HUJHUELODVHVHRUDQJPHQJLQJDW
moment.”,QLODK\DQJGLVHEXW%HUJHUVHEDJDL masa lalunya, maka ia menyusunnya kembali
RE\HNWL¿WDV\DLWXa reality that confronts the berdasarkan suatu frame of reference yaitu
individuals an external dan coercive fact.” riwayat hidupnya. He takes everything
Jadi lembaga itu mengatasi individu, together in a biographical frame of reference.
menjadi sesuatu yang obyektif, berbeda ketika $VXPVL %HUJHU SHQJHWDKXDQ PHQFLSWDNDQ
diciptakan oleh dua orang pelaku atau lebih GXQLD0DNDNDODXLQJLQPHQJDQDOLVLVGXQLD
itu, yang sangat jelas buat mereka dan bisa sosial, kita harus menganalisis pengetahuan
diubah. Tetapi begitu diturunkan, lembaga kita tentang dunia. Integrasi dari suatu dunia
itu menjadi mengeras dan tidak lagi jelas, dan lembaga hanya menjadi jelas dari fungsi
PXODL PHQJDWDVL LQGLYLGX 0HQXUXW %HUJHU pengetahuan anggota masyarakat yang
inilah asal usul terjadinya dunia sosial dan WHULQWHJUDVLLWX0HQXUXW%HUJHUGXQLDWHUMDGL
kebudayaan sebagai realitas yang obyektif. berdasarkan pengetahuan, dan jika kita ingin
Karena segi-segi ini seringkali orang tidak menguraikan dunia, kita harus terlebih dahulu
bisa lagi membedakan antara nature dan PHQJXUDL SHQJHWDKXDQ LWX <DQJ GLXUDLNDQ
culture 3HUVLV GL VLQL %HUJHU PHQ\DGDUNDQ di sini adalah pengetahuan pra-teoretis,
kita akan sebuah fakta bahwa obyektifitas pengetahuan kita semua dalam pergaulan—
itu terjadi oleh manusia, lewat proses yang tidak harus dari suatu sistem yang kompleks
disebutnya obyektifasi, yaitu aktifitas dari legitimasi dunia lembaga (ilmu, agama,
manusia yang diobyektifkan. Artinya status ideologi.) Pengetahuan ini bisa tercantum
ontologis dari kelembagaan manusia itu dalam pribahasa, pepatah, nasihat, mitos,
tidak lebih dari tingkahlaku aktifitas manusia keyakinan, moral, yang dulu diintegrasikan
yang menghasilkan lembaga-lembaga. Pada oleh para penyair, dan sekarang oleh para
dasarnya dunia manusia bukanlah nature DQWURSRORJ VRVLRORJ %LGDQJ SUDWHRUHWLV
apalagi supranature, tetapi adalah culture. LQL PHQXUXW %HUJHU PHUXSDNDQ µUHVHS¶²
0HQXUXW%HUJHU“Society is a human product, yaitu pengetahuan aturan tingkahlaku untuk
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 511

kelembagaan—yang diturunkan oleh suatu ekstrem dalam obyektifasi tingkahlaku


generasi kepada generasi selanjutnya, dan \DQJ GLSHUOHPEDJDNDQ 0DQXVLD GLOLKDW
menjadi tadisi. sebagai product of things. Padahal semua
0HQXUXW %HUJHU SHQJHWDKXDQ LWX DGDODK segi kelembagaan dalam kehidupan manusia
suatu motivating dynamism dari tingkah laku PHQXUXW%HUJHUDGDODKKDVLOEXDWDQPDQXVLD
yang dilembagakan. Pengetahuan mengatur bukan imitasi surgawi.
dan meramalkan tingkah laku. Pengaturan Untuk mendalami proses obyektifasi
itu secara sosial diobyektifkan sebagai ini, kita perlu memasuki masalah legitimasi.
pengetahuan tentang realitas, di mana setiap 0HQXUXW%HUJHUOHJLWLPDVLLDODKRE\HNWLIDVL
penyelewengan dari aturan perlembagaan yang tingkatannya lebih tinggi daripada
itu dianggap penyimpangan. Penyimpangan obyektifasi biasa, karena ada segi-segi
inilah yang secara sosial disebut kejahatan, explaining dan justifying. Dalam bahasa
kebodohan, kenakalan, schizophrenia, dan %HUJHU Legitimation is a process of explaining
sebagainya label-label untuk penyimpangan and justifying, di mana explaining terjadi
sosial. Penyimpangan ini menjadikan mereka dengan memberi nilai kognitif (cognitive
diberi status inferior oleh masyarakat, seperti validity) pada makna-makna dunia yang
narapidana diborgol, dihukum cambuk, diobyektifkan. Sementara justifying memberi
diasingkan, dan sebagainya. Di sinilah penge- status norma pada perintah-perintah lembaga.
tahuan memrogramkan saluran-saluran Legitimasi ini juga memunyai komponen
eksternalisasi—saluran-saluran dari produksi normatif dan kognitif, komponen ukuran
dunia obyektif. Dan dunia sosial menjadi tingkah laku, dan komponen pengetahuan.
obyektif karena penggunaan bahasa. Dunia Legitimasi—seperti agama, ideologi, ilmu—
sosial diatur sebagai kosmos terdiri dari hal- terdiri dari nilai-nilai dan pengetahuan.
hal yang dialami sebagai realitas. 0HQXUXW %HUJHU WDQSD SHQJHWDKXDQ NLWD
Di sini bahasa menjadi gudang perse- tidak bisa melihat peranan-peranan yang
diaan dari sedimen kolektif, yang diteruskan memungkinkan adanya perbuatan-perbuatan
tanpa proses pembentukan asli, yang bisa baik dan buruk (norma.) Legitimasi inilah
direkonstruksikan kembali. Dalam proses yang memberi penjelasan why a thing is what
penerusan tradisi tersebut makna dan sumber it is.DWD%HUJHUknowledge precedes values
SHQFLSWDDQ DVOLQ\D WLGDN ODJL SHQWLQJ <DQJ in the legitimation of institutions.
terjadi adalah proses legitimasi, yang boleh 0HQXUXW%HUJHUOHJLWLPDVLLWXPHPXQ\DL
jadi memunyai makna lain dari ketika tingkat-tingkat. (1) Sistem dari obyektifasi
itu dibuat. Dengan proses legitimasi ini, linguistik sebagai alat tradisi pengetahuan
sejarah diberi tafsiran baru. Di sini menurut kita—misalnya perbendaharaan silsilah
%HUJHU WHUMDGL UHL¿NDVL \DLWX VXDWX FDUD keluarga (kinship); (2) Kalimat sederhana yang
mengobyektifkan dunia lembaga, di mana isinya teoretis (theoretical propotition)—
dunia itu diyakini tidak dibuat oleh manusia PLVDOQ\D SHSDWDK SULEDKDVD   7HRULWHRUL
sendiri. Tentu saja ini bertentangan dengan yang menjadi legitimasi tingkahlaku—yang
keadaan yang sebenarnya, di mana dunia menjadi frame of reference bidang-bidang
sosial sepenuhnya adalah buatan manusia. NHKLGXSDQ GDQ   Universum symbolicum
The social world is apprehended as a seperti agama, ideologi dan ilmu pengetahuan
non human facticity. Gejala manusia pun yang mengintegrasikan bidang-bidang
dibendakan, misalnya hal buatan manusia lembaga sehingga menyusun seluruh sistem
PHQMDGLKDOVXUJDZL%HUGDVDUNDQRE\HNWLIDVL institusional menjadi satu totalitas simbolis
ini manusia menghadapi dunia sosial sebagai (a symbolic totality.) Lebih daripada tingkat
kenyataan. 5HL¿NDVL PHQMDGL ODQJNDK ketiga, tingkat ini mengintegrasikan semua
512 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

pengalaman manusia secara total, sehingga pernah diuji secara kritis, apalagi orang yang
misalnya para ahli agama, atau ideologi dapat meragukan ini dapat dianggap murtad.
menjawab seluruh masalah kehidupan. Setiap penyelewengan akan ditindak.
Universum symbolicum ini memunyai Karena itu diciptakan pula sarana untuk
a meaning bestowing capacity. 0DQXVLD melindungi universum, yaitu conceptual
dengan menciptakan universum symbolicum machinaries of universe maintenance dalam
ini, menciptakan suatu kosmos. Legitimasi berbagai macam bentuk seperti teologi,
tingkahlaku dicari dalam kosmos, misalnya falsafat, polemik akademik, perlawanan
incest itu dosa karena melawan aturan Tuhan. ideologi dan sebagainya. Jika terjadi suatu
Lex naturalis merupakan lex divina, jadi penyelewengan, justru itu dapat menjadi
aturan kehidupan sosial ditempatkan dalam alasan bagi legitimasi untuk menyistematisasi
kerangka cosmological frame of reference. suatu ajaran, agar bisa dilindungi dari
0HQXUXW %HUJHU SHQFLSWDDQ universum serangan-serangan kritik. Sehingga memang
symbolicum ini terjadi melalui fase suatu universe maintenance dibuat menurut
obyektifasi, sedimentasi dan akumulasi %HUJHU XQWXN PHQJKLQGDUL PDV\DUDNDW LWX
pengetahuan—suatu proses produksi sosial jika terjadi suatu perkembangan legitimasi
GDODPVHMDUDK0HODOXLuniversum symbolicum baru atau suatu universum symbolicum baru
ini terjadilah nomothesis atau pengaturan yang mau menandingi legitimasi ortodoksi.
kehidupan manusia. The symbolic universe 0LVDOQ\DDMDUDQDMDUDQ\DQJKHQGDNPHODZDQ
puts everything in its place. Dan lebih dari soal DMDUDQ UHVPL 0DND DMDUDQ WHUVHEXW GDSDW
pengaturan—yang mau menghindari keadaan dicap bid‘ah, heretik, ateis, bodoh, jahat, dan
chaos dalam kehidupan sosial—universum sebagainya.
symbolicum ini juga berusaha mengatasi Conceptual machinaries of universe
chaos yang tertinggi dari kehidupan manusia, maintenance ini juga merupakan hasil
\DLWX NHPDWLDQ 0DXW GLPDNQDL VHVXDL pikiran sosial, yang berhasil atau tidaknya
dengan tempatnya dalam frame of reference sangat tergantung kepada apakah kelompok
tingkat keempat. Sehingga dengan demikian, itu memunyai kekuasaan atau tidak. Jadi
universum symbolicum itu memberi integrasi kalau ada konfrontasi dari dua universum
bagi semua proses perlembagaan. symbolicum, itu seringkali diputuskan
0HQXUXW %HUJHU universum symbolicum GHQJDQNHNXDWDQILVLN0DNDPHQXUXW%HUJHU
ini adalah konstruksi dari pengertian- menjadi wajarlah kalau akan selalu ada
pengertian (makna, arti), yang sifatnya organisasi sosial yang melindungi universum
PHOXOXWHRUHWLV%HUDNDUGDODPUHIOHNVL\DQJ tersebut. Organisasi itu dipimpin oleh para
menggabungkan tema-tema yang muncul ahli universum symbolicum seperti: dukun,
dalam lembaga-lembaga. Konstruksi ini kyai, pendeta, imam, syaman, profesor, dan
tidak diragukan, meskipun seringkali tidak sebagainya, yang menganggap dirinya berhak
PDVXN DNDO PLVDOQ\D WHQWDQJ PXNML]DW memegang otoritas atas universum tersebut.
dalam agama). Artinya meskipun dunia ini
memang teoretis, manusia-manusia yang Simpulan
menghuni dunia tersebut seringkali juga 3DGDGDVDUQ\D0DUOHDX3RQW\ZDODXSXQ
tidak kritis. Walaupun pencipta legitimasi itu mengritik beberapa detail fenomenologi
menghadapi secara reflektif alam kehidupan Husserl, tidak boleh disimpulkan bahwa
yang problematis, tetapi penganut sistem ia meninggalkan fenomenologi. Justru
universum symbolicum ini memasuki dunia sebaliknya ia menegaskan fenomenologi yang
tersebut dengan percaya saja. Sebuah sudah dirintis Husserl. Dalam fenomenologi
universum symbolicum pada dasarnya tidak manusia muncul sebagai hal mengada
Budhy Munawar-Rachman, Fenomenologi Diri dan Konstruksi Sosial mengenai Kebudayaan; 513

pada dunia, yaitu alam sebagai obyek yang GLUHÀHNVL LDODK DNX \DQJ WDGL EHUHÀHNVL
selalu bisa dilihat sebagai pengalaman, 5HÀHNVL LDODK ZDK\X GDUL VXDWX VHNDUDQJ
\DLWX VXE\HN 'DODP XUDLDQ 0DUOHDX3RQW\ GDQ PDVD ODPSDX 0DND UHÀHNVL DGDODK
terdapat usaha mengatasi sikap natural, yaitu wahyu paling asli dari waktu (kewaktuan.)
sikap saintisme yang hanya mau melihat 5HÀHNVL LDODK SHZDNWXDQ NDUHQD UHÀHNVL
EHQGDEHQGD VHEDJDL RE\HN 0DUOHDX3RQW\ mewahyukan ketegangan antara hal sudah
dengan meneliti gejalam phantom limb (dan dan hal sekarang. Pecahan dari aku (obyek
lainnya, seperti halusinasi), menunjukkan dan anonim) yang tidak menghilangkan
bahwa alam benda-benda ialah unsur dalam identitas dari aku itu, ialah kewaktuan dari
suatu sintesis, yaitu hal mengada pada dunia DNXVHKLQJJDUHÀHNVLGDSDWGLDQJJDSVHEDJDL
dan tubuh fenomenal yang memunyai peranan daya keakuan mewahyukan hal mengada
penting dalam pengalaman. GDUL DNX VHEDJDL SHZDNWXDQ 5HÀHNVL WLGDN
0HQXUXW 0DUOHDX3RQW\ VHJL MDVPDQLDK menciptakan waktu, melainkan mewahyukan
muncul sebagai hal yang tidak sadar, ZDNWXUHÀHNVLLDODKNHZDNWXDQ5HÀHNVLGDQ
yaitu berdasarkan tubuh kita ini terjadilah waktu ialah sifat dasar dari dari keakuan:
kemungkinan konstitusi alam di luar aku menjadi aku, karena aku bisa turun atas
kesadaran, sehingga dikatakan tubuh tahu diriku, pulang pada diriku, dan mengenal
lebih banyak tentang dunia daripada saya diriku sebagai aku. Tetapi aku hanya bisa
sendiri. Sejak Husserl kita sudah tahu, bahwa pulang pada diri sendiri, karena aku sudah
mulai dengan kepastian pertama (aku ada) mendahului aku sendiri. Dalam fungsi aku
belum berarti aku sudah tahu aku ini siapa, mendahului diriku sendiriku dan segala hal
atau aku bagaimana. Kata Husserl, aku harus \DQJ EHUDGD GL PXND VD\D 0HQGDKXOXL GDQ
melawan setiap keinginan menunjuk sebagai SXODQJ LWX SDGD GDVDUQ\D PHQXUXW 0HUOHDX
keakuan hal yang telah terjadi dalam sejumlah Ponty adalah kewaktuan.
perbuatan dari aku sendiri. Supaya keakuan Sementara pandangan-pandangan Peter
dilihat dalam bentuk murni perlu menutup %HUJHUVHSHUWLGLXQJNDSNDQGLDWDVPHQ\LP-
mata untuk pelbagai bentuk subyektivitas roh: pulkan bahwa manusia menciptakan budaya
keakuan sebagai hal mengada dari subyek sebagai pengganti dari yang tidak terberi se-
yaitu res cogitans sebagai aliran kesadaran. cara naluriah. Dimensi yang secara mendasar
%DJDLPDQD µDNX DGD¶ ergo sum) bisa penting dari pengganti ini adalah lembaga so-
GLMHODVNDQ VHFDUD IHQRPHQRORJL 0DUOHDX VLDO %HUJHU PHQJDPELO EDQ\DN GDUL *HKOHQ
3RQW\" $NX DUWLQ\D DODP KDO PHQJDGD dalam membangun teori mengenai lembaga
pada dunia; terus menerus aku dikelilingi ini, tetapi pada saat yang sama menyintesis-
alam-ku; terus menerus mendiami lapangan- NDQHOHPHQHOHPHQWHRUL+XVVHUO6FKXW]GDQ
lapangan pengindraan. Segala hal dalam alam 0HDG
memengaruhi-ku; sementara aku juga terus Lembaga-lembaga berasal dari kegiatan
menerus diafeksi oleh aku sendiri. Itu tidak manusia (prilaku atau kognitif) yang
berarti aku selalu menjadi tema perhatian telah terbentuk menjadi suatu pola atau
bagi-ku sendiri (Waktu membaca buku, kebiasaan, bukan saja dalam jenis tindakan
DNX DQRQLP EDJL DNX VHQGLUL 0HPLNLUNDQ tetapi juga jenis-jenis peranan. Lembaga
GLUL VHQGLUL GLVHEXW UHÀHNVL \DLWX VXDWX sebagai konstruksi manusia berfungsi seperti
pencerminan dari diri. Aku juga bisa meneliti naluri dalam hal seperti pemberi pola pada
bagaimana aku berfungsi, waktu mengalami pengalaman manusia, sehingga menjadi
DODP$NXMXJDELVDPHUHÀHNVLNDQGLUL\DQJ hal yang rutin yang stabil dan secara sosial
EHUHÀHNVL  dapat dapat diramalkan. Juga untuk memberi
0DNDPHQXUXW0DUOHDX3RQW\DNX\DQJ pola pada pengalaman manusia pada tingkat
514 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013

kognitif dengan kegiatan dan kontinuitas. sia lewat kejadian-kejadian, obyek-obyek,


Kelembagaan ini juga memberi kelegaan pengalaman-pengalaman dan sebagainya.
psikologis kepada individu dari keharusan 'LVLQLPHQXUXW%HUJHUSHUDQEDKDVDVDQJDW
terus-menerus membuat keputusan tentang penting sebagai sarana pengalaman-pengal-
apa yang harus dilakukan atau dijelaskan aman tersebut—yang disimpan dan dikum-
mengenai suatu situasi. Karena dengan pulkan, sehingga sejarah dan tradisi dalam
adanya lembaga masyarakat, maka suatu DQDOLVLV %HUJHU PHPDQJ PXQFXO GDUL GDVDU
tindakan sudah sebagian besar ditetapkan, linguistik.
dan sejumlah situasi sudah dijabarkan: 0HQXUXW%HUJHUSHPEHQWXNDQVRVLDOGDUL
bagaimana seorang individu bertindak. identitas—seperti dikemukakan di atas—
Lembaga-lembaga itu juga mengendalian adalah lewat pengenalan individu-individu
prilaku. Tetapi kegiatan pengendalian sosial itu pada batasan-batasan realitas, dan pola-
ini hanya terjadi jika terjadi ada kegagalan, pola prilaku. Tetapi di sini seorang indivi-
atau kelembagaan itu tidak berhasil du juga dapat mengadakan pilihan-pilihan,
sepenuhnya mengendalikan prilaku seorang penciptaan, pembaharuan di latar belakangi
LQGLYLGX %DJL SULEDGLSULEDGL \DQJ WLGDN lembaga-lembaga yang memberi batasan-
mematuhi pola-pola berpikir, masyarakat batasan realitas itu sebagai hal yang obyektif.
akan memberi sanksi yang memunyai kekua- Di sinilah termuat dialektika eksternalisasi,
tan obyektif. obyektivasi, dan internalisasi. Dengan inilah
Lembaga juga mengandung sejarah dari %HUJHUPHQJHPEDQJNDQWHRULPHQJHQDLNRQ-
pengalaman manusia yang tersimpan dalam struksi sosial dari suatu masalah kebudayaan,
pemikiran manusia yang mengendap (sebagai melanjutkan proyek fenomenologi yang ber-
sedimen pengetahuan) dalam ingatan manu- bicara mengenai ‘diri.’

Anda mungkin juga menyukai