Laporan Praktikum

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 33

UNIVERSITAS DIPONEGORO

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM SURVEI HIDROGRAFI II


MAHASISWA TEKNIK GEODESI ANGKATAN 2016
LPWP DAN PANTAI KARTINI JEPARA

SURVEI HIDROGRAFI II

Disusun oleh

ATAS NAMA MAHASISWA ANGKATAN 2016


KETUA PRAKTIKUM SURHID II
AULIA HAFIZH / 21110116120018

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
MEI 2019
UNIVERSITAS DIPONEGORO

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM SURVEI HIDROGRAFI II


MAHASISWA TEKNIK GEODESI ANGKATAN 2016
LPWP DAN PANTAI KARTINI JEPARA

SURVEI HIDROGRAFI II

Disusun oleh

ATAS NAMA MAHASISWA ANGKATAN 2016


KETUA PRAKTIKUM SURHID II
AULIA HAFIZH / 21110116120018

DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
MEI 2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Praktikum Survei Hidrografi II ini telah disetujui dan disahkan


oleh Dosen Pembimbing Mata Kuliah Survei Hidrografi II dan Ketua Departemen
Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Judul:
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM SURVEI HIDROGRAFI II
MAHASISWA TEKNIK GEODESI ANGKATAN 2016
LPWP DAN PANTAI KARTINI JEPARA
Disusun Oleh :
ATAS NAMA ANGKATAN 2016
KETUA PRAKTIKUM SURHID II
AULIA HAFIZH / 21110116120018

Semarang, Mei 2019


Menyetujui,

Pengampu 1 Mata Kuliah Pengampu 2 Mata Kuliah


Survei Hidrografi II Survei Hidrografi II

Bandi Sasmito, S.T., M.T Arief Laila Nugraha, S.T., M.Eng


NIP. 198105302006041001 NIP. 198105302006041001

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Dr. Yudo Prasetyo, S.T., M.T.


NIP. 197904232006041001

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan kemudahannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
laporan Survei Hidrografi II ini. Laporan ini disusun sebagai prasyarat mata
kuliah Survei Hidrografi II dan diajukan guna memenuhi persyaratan dalam
menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana (S1) Departemen Teknik Geodesi,
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Laporan Survei Hidrografi II ini dapat
diselesaikan berkat saran, motivasi, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, penulis berterima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Yudo Prasetyo, S.T., M.T selaku Ketua Departemen Teknik
Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
2. Bapak Bandi Sasmito, S.T., M.T dan Bapak Arief Laila Nugraha, S.T.,
M.Eng selaku Dosen Pembimbing Survei Hidrografi II Departemen
Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Tahun 2019.
3. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jepara yang telah
memberikan ijin untuk melakukan pengukuran di wilayah Pantai Kartini
Jepara.
4. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Diponegoro
yang telah memberikan ijin untuk melakukan pengukuran di wilayah
Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai (LPWP) Jepara.
5. Masyarakat Pantai Kartini Jepara dan sekitarnya yang telah memberikan
dukungan dan menyambut dengan sebaik mungkin.
6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi dalam membantu
pelaksanaan Survei Hidrografi II Departemen Teknik Geodesi Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro Tahun 2019 sehingga pelaksanaan
kegiatan ini bisa menjadi optimal.
Akhirnya, penulis berharap semoga Laporan Survei Hidrografi II ini
bermanfaat bagi mahasiswa Teknik Geodesi pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
Semarang, Mei 2019
Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

iii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Menurut Masri Singarimbun (2006) menjelaskan bahwa survei pada
umumnya dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atau
populasi untuk mewakili seluruh populasi. Sementara itu, Mohammad Musa
(1998) menjelaskan bahwa survei memiliki arti pengamatan atau penyelidikan
yang kritis guna memperoleh keterangan yang jelas dan baik terhadap suatu
persoalan di dalam suatu daerah tertentu. Tujuan dari survei adalah untuk
mendapatkan gambaran yang mewakili suatu daerah dengan benar. Suatu survei
tidak akan meneliti semua individu dalam sebuah populasi, namun hasil yang
diharapkan harus dapat menggambakan sifat dari populasi yang bersangkutan.
Survei hidrografi sebagai serangkaian kegiatan pemetaan laut,
pengumpulan data, kondisi dan sumberdaya suatu wilayah laut yang kemudian
diolah, dievaluasi dan disajikan dalam bentuk buku, peta laut serta informasi
mengenai kelautan lainnya, yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan
pembangunan dan pertahanan keamanan suatu negara.
Kegiatan survei hidrografi menghasilkan data mengenai fenomena dasar
perairan dan dinamika badan air. Data yang diperoleh dari survei hidrografi
kemudian diolah dan disajikan sebagai informasi geospasial atau informasi yang
terkait dengan posisi di muka bumi. Sehubungan dengan hal tersebut maka
seluruh informasi yang disajikan harus memiliki data posisi dalam ruang yang
mengacu pada suatu sistem referensi tertentu.
Bathymetri merupakan kegiatan pengumpulan data kedalaman dasar laut
dengan untuk menunjukan kontur kedalaman dasar laut diukur dari posisi 0.00.
Sementara itu, peta bathymetri juga berfungsi untuk mengetahui kedalaman dasar
laut sehingga dalam perencanaan dermaga, kapal dapat disediakan kedalaman
yang cukup untuk beroperasi Proses penggambaran dasar perairan mulai dari
pengukuran, pengolahan data, sampai ke penyajian disebut sebagai Survei
Batimetry.

I-1
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, adapun perumusan dari Survei
Hidrografi II adalah:
1. Bagaimana hasil dan analisis pemeruman (sounding) pada pelaksanaan
praktikum Survei Hidrografi II tahun 2019 ?
2. Bagaimana hasil dan analisis pengukuran detail situasi dan sounding pole
pada pelaksanaan praktikum Survei Hidrografi II tahun 2019 ?
3. Bagaimana hasil dan analisis pekerjaan fotogrametri pada pelaksanaan
praktikum Survei Hidrografi II tahun 2019 ?
4. Bagaimana hasil dan analisis perhitungan pasang surut air laut pada
pelaksanaan praktikum Survei Hidrografi II tahun 2019 ?
I.3 Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari Survei Hidrografi II antara lain:
1. Mengetahui pelaksanaan pemeruman (sounding) pada pekerjaan Survei
Hidrografi.
2. Mengetahui pelaksanaan pengukuran detail situasi maupun sounding pole
pada pekerjaan Survei Hidrografi.
3. Mengetahui pelaksanaan fotogrametri pada pekerjaan praktikum Survei
Hidrografi.
4. Mengetahui pelaksanaan pengamatan pasang surut air laut pada pekerjaan
praktikum Survei Hidrografi.
5. Referensi bagi mahasiswa Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro angkatan 2016 dalam dunia kerja yang dituntut
untuk memiliki kompetensi dan didukung dengan sertifikasi untuk
memasuki persaingan dunia tenaga kerja.
6. Mengetahui tahapan pelaksanaan Survei Hidrografi secara komprehensif
baik itu akuisisi data, pengolahan hingga penyajian ke dalam peta
bathimetri.

I-2
I.4 Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Berikut adalah rincian umum pelaksanaan Survei Hidrografi II
Departemen Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro tahun 2019.
Hari, Tanggal : Jumat, 3 Mei 2019 s.d. Minggu, 5 Mei 2019
Tempat Tujuan : LPWP dan Pantai Kartini Jepara
Peserta : 80 mahasiswa Departemen Teknik Geodesi Fakultas
Teknik Universitas Diponegoro angkatan 2016
I.5 Sistematika Penulisan Laporan
Penulisan laporan dilakukan secara sistematika dengan susunan sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, maksud dan tujuan,
lokasi dan waktu praktikum serta sistematika penulisan laporan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi definisi hidrografi, pemeruman (desain lajur perum, teknik
pengukuran kedalaman, dan single beam echosounder), pengukuran detail
situasi dan sounding pole, fotogrametri, GPS, pasang surut, dan reduksi
kedalaman laut.
BAB III PELAKSANAAN PRAKTIKUM
Bab ini menjelaskan persiapan, alat dan bahan serta diagram alir
praktikum Survei Hidrografi II.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bab ini dijelaskan hasil maupun pembahasan dari praktikum Survei
Hidrografi II.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan maupun saran dari pelaksanaan praktikum
Survei Hidrografi II.

I-3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Hidrografi
Kata hidrografi merupakan serapan dari bahasa Inggris ‘hydrography’.
Secara etimologis, ‘hydrography’ berasal dari kata sifat dalam bahasa Prancis
abad pertengahan ‘hydrographique’ yaitu kata yang berhubungan dengan sifat dan
pengukuran badan air, misalnya kedalaman dan arus (Merriam-Webster Online,
2004). Sedangkan Batimetri berasal dari bahasa Yunani : βαθυς, berarti
"kedalaman", dan μετρον, berarti "ukuran". Batimetri adalah ilmu yang
mempelajari kedalaman di bawah air dan studi tentang tiga dimensi lantai
samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai
atau dataran dengan garis-garis kontur (contour lines) yang disebut kontur
kedalaman (depth contours atau isobath), dan dapat memiliki informasi tambahan
berupa informasi navigasi permukaan yang merupakan hasil akhir yang
diharapkan dalam penyusunan laporan Survei Hidrografi ini.
Hingga sekitar akhir 1980-an, kegiatan hidrografi utamanya didominasi
oleh survei dan pemetaan laut untuk pembuatan peta navigasi laut (nautical chart)
dan survei untuk eksplorasi minyak dan gas bumi (Ingham, 1975). Peta navigasi
laut memuat informasi penting yang diperlukan untuk menjamin keselamatan
pelayaran, seperti kedalaman perairan, rambu-rambu navigasi, garis pantai, alur
pelayaran, bahaya-bahaya pelayaran dan sebagainya. Selain itu, kegiatan
hidrografi juga didominasi oleh penentuan posisi dan kedalaman di laut lepas
yang mendukung eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi.
Definisi akademik untuk terminologi hidrografi, dikemukakan pertama
kali oleh International Hydrographic Organization (IHO) pada Special
Publication Number 32 (SP-32) tahun 1970 dan Group of Experts on
Hydrographic Surveying and Nautical Charting dalam laporannya pada Second
United Nations Regional Cartographic Conference for the Americas di Mexico
City tahun 1979. IHO mengemukakan bahwa hidrografi adalah ‘that branch of
applied science which deals with measurement and description of physical

II-1
features of the navigable portion of earth’s surface and adjoining coastal areas,
with special reference to their use for the purpose of navigation’. Group of
Experts on Hydrographic Surveying and Nautical Charting mengemukakan
bahwa hidrografi adalah ‘the science of measuring, describing, and depicting
nature and configuration of the seabed, geographical relationship to landmass,
and characteristics and dynamics of the sea’. Perkembangan hidrografi juga
mengakibatkan perubahan definisi hidrografi yang oleh IHO didefinisikan sebagai
‘that branch of applied sciences which deals with the measurement and
description of the features of the seas and coastal areas for the primary purpose
of navigation and all other marine purposes and activitie including -inter alia-
offshore activities, research, protection of the environment and prediction
services’ (Gorziglia, 2004).
Awalnya, batimetri mengacu kepada pengukuran kedalaman samudra.
Pengukuran kedalaman dasar laut dapat dilakukan dengan Conventional Depth
Echo Sounder dimana kedalaman dasar laut dapat dihitung dari perbedaan waktu
antara pengiriman dan penerimaan pulsa suara. Dengan pertimbangan sistim Side-
Scan Sonar pada saat ini, pengukuran kedalaman dasar laut (bathymetry) dapat
dilaksanakan bersama-sama dengan pemetaan dasar laut (Sea Bed Mapping) dan
pengidentifikasian jenis-jenis lapisan sedimen dibawah dasar laut (subbottom
profilers). Pada pengaplikasian Hidrografi untuk membuat peta batimetri
diperlukan survei lokasi pantai terlebih dahulu, sehingga didapatkan data
pengamatan pasang surut, posisi kapal (x, y) dan data kedalaman laut (z) serta
pemetaan detil di sekitar pantai. Survei adalah kegiatan terpenting dalam
menghasilkan informasi hidrografi. Adapun aktivitas utama survei hidrografi
meliputi:
 Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7)
 Pengukuran kedalaman (pemeruman) (2)
 Pengukuran arus (3)
 Pengukuran (pengambilan contoh dan analisis) sedimen (4)
 Pengamatan pasut (5)
 Pengukuran detil situasi dan garis pantai (untuk pemetaan pesisir) (6)

II-2
Data yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas tersebut di atas dapat disajikan
sebagai informasi dalam bentuk peta dan non-peta serta disusun dalam bentuk
basis data kelautan.

Gambar II-1 Konfigurasi Survei Hidrografi


II.2 Pemeruman
Pemeruman adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh
gambaran (model) bentuk permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface).
Proses penggambaran dasar perairan tersebut (sejak pengukuran, pengolahan
hingga visualisasi) disebut dengan survei batimetri. Model batimetri (kontur
kedalaman) diperoleh dengan menginterpolasikan titi-titik pengukuran kedalaman
bergantung pada skala model yang hendak dibuat.
Titik-titik pengukuran kedalaman berada pada lajur-lajur pengukuran
kedalaman yang disebut sebagai lajur perum (sounding line). Jarak antar titik-titik
fiks perum pada suatu lajur pemeruman setidak-tidaknya sama dengan atau lebih
rapat dari interval lajur perum.
Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk
mewakili keseluruhan daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga
dilakukan pengukuran untuk penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya
pengukuran untuk penentuan posisi dan kedalaman disebut sebagai titik fiks

II-3
perum. Pada setiap titik fiks perum harus juga dilakukan pencatatan waktu (saat)
pengukuran untuk reduksi hasil pengukuran karena pasut.

Gambar II-2 Tahapan Pembuatan Peta Bathimetri

II.2.1 Desain Lajur Perum


Pemeruman dilakukan dengan membuat profil (potongan) pengukuran
kedalaman. Lajur perum dapat berbentuk garis-garis lurus, lingkaran-lingkaran
konsentrik, atau lainnya sesuai metode yang digunakan untuk penentuan posisi
titik-titik fiks perumnya. Lajur-lajur perum didesain sedemikian rupa sehingga
memungkinkan pendeteksian perubahan kedalaman yang lebih ekstrem. Untuk
itu, desain lajur-lajur perum harus memperhatikan kecenderungan bentuk dan
topografi pantai sekitar perairan yang akan disurvei. Agar mampu mendeteksi
perubahan kedalaman yang lebih ekstrem lajur perum dipilih dengan arah yang
tegak lurus terhadap kecenderungan arah garis pantai.

II-4
Gambar II-3 Desain Lajur Pemeruman
Dari pengukuran kedalaman di titik-titik fiks perum pada lajur-lajur perum
yang telah didesain, akan didapatkan sebaran titik-titik fiks perum pada daerah
survei yang nilai-nilai pengukuran kedalamannya dapat dipakai untuk
menggambarkan batimetri yang diinginkan. Berdasarkan sebaran angka-angka
kedalaman pada titik-titik fiks perum itu, batimetri perairan yang disurvei dapat
diperoleh dengan menarik garis-garis kontur kedalaman. Penarikan garis kontur
kedalaman dilakukan dengan membangun grid dari sebaran data kedalaman. Dari
grid yang dibangun, dapat ditarik garis-garis yang menunjukkan angka-angka
kedalaman yang sama.
II.2.2 Teknik Pengukuran Kedalaman
Pengukuran kedalaman merupakan bagian terpenting dari pemeruman
yang menurut prinsip dan karakter teknologi yang digunakan dapat dilakukan
dengan metode mekanik, optik atau akustik.
1. Metode Mekanik
Metode mekanik disebut juga dengan metode pengukuran kedalaman
secara langsung. Metode ini efektif digunakan untuk perairan yang sangat
dangkal atau rawa. Instrumen yang digunakan adalah tongkat ukur atau
rantai ukur yang dilakukan dengan bantuan wahana apung. Bentuk tongkat
ukur mirip dengan rambu ukur yang dipakai untuk pengukuran sipat datar.
Sedangkan rantai ukur, karena fleksibilitas bentuknya, biasanya dipakai

II-5
untuk pengukuran kedalaman yang rata-rata lebih dalam dibanding dengan
tongkat ukur. Pada ujung rantai ukur digantungkan pemberat untuk
menghindari sapuan arus perairan dan menjaga agar rantai senantiasa
relatif tegak. Pengukuran kedalaman dengan metode mekanik efektif
digunakan untuk pemetaan pada batas daerah survei yang relatif tidak luas
dengan skala yang cukup besar.
2. Metode Optik
Metode optik memanfaatkan transmisi sinar laser dari pesawat terbang dan
prinsip-prinsip optik untuk mengukur kedalaman perairan. Dikenal dengan
Laser Ariborne Bathymetry (LAB).
Kanada : LIDAR (Light Detecting and Ranging)
AS : AOL (Airborne Oceanographic LIDAR) dan
HALS (Hydrographi Airborne Laser Sounder)
Australia : LADS (Laser Airborne Depth Sounder)
Prinsip kerja LADS adalah transmisi sinar laser dari pesawat terbang
dengan sudut tertentu terhadap sumbu vertikal ke permukaan air. Sebagian
gelombang sinar laser dipantulkan dan dibiaskan ke segala arah dan salah
satu berkasnya akan menembus ke dalam air. Berkas sinar laser yang
menembus ke dalam air adalah 98% dari energi awalnya dan akan
dibiaskan dengan arah mendekati garis normal akibat perubahan dari
densitas medium yang lebih renggang ke densitas medium yang lebih
rapat. Berkas gelombang sinar laser akan meneruskan perjalanan
perambatannya di dalam air hingga menyentuh dasar perairan dan
dipantulkan ke segala arah dan salah satu berkasnya dipantulkan kembali
ke arah sudut datangnya. Berkas sinar yang memantul ke arah sudut
datangnya kemudian meneruskan perjalanan perambatannya dan
menembus batas air dan udara. Karena perubahan densitas medium yang
lebih rapat ke medium yang lebih renggang, berkas sinar akan dibiaskan
menjauhi garis normal dan merambat pada garis lintasan yang searah
dengan saat pertama kali ditransmisikan dan diterima kembali di pesawat
terbang oleh unit penerima gelombang. Teknologi LADS dioperasikan

II-6
menggunakan pesawat terbang sekelas Fokker-27 Seri 500 dengan
kecepatan terbang sekitar 145 knot pada ketinggian sekitar 500 m di atas
permukaan laut menggunakan sistem penentuan posisi kinematic
differential GPS. Gelombang yang digunakan adalah sinar laser infra
merah dengan panjang gelombang 532 nm dan periode 5 ns dengan
pembangkit daya sebesar 1 MW. Sistem ini hanya untuk kedalaman 2 – 50
m dengan kondisi air jernih dan terbuka, cakupan daerah survei yang luas
dan untuk pemetaan skala kecil. Teknik pengukuran kedalaman dengan
metode optik efektif digunakan pada perairan dangkal yang jernih dengan
kedalaman sekitar 50 m.
3. Metode Akustik
Metode ini paling sering digunakan. Gelombang akustik dengan frekuensi
5 kHz atau 100 Hz akan mempertahankan kehilangan intensitasnya hingga
kurang dari 10% pada kedalaman 10 km, sedangkan gelombang akustik
dengan frekuensi 500 kHz akan kehilangan intensitasnya pada kedalaman
kurang dari 100 m. Alat yang digunakan adalah echosounder (perum
gema) yang pertama kali dikembangkan di Jerman tahun 1920. Prinsip
metode ini adalah pengukuran jarak dengan memanfaatkan gelombang
akustik yang dipancarkan dari tranduser. Tranduser adalah bagian dari alat
perum gema yang mengubah energi listrik menjadi mekanik (untuk
membangkitkan gelombang suara) dan sebaliknya. Gelombang akustik
merambat pada medium air hingga menyentuh dasar perairan dan
dipantulkan kembali ke transduser.
d = ½ (vΔt)
dimana:
du = kedalaman hasil ukuran
v = kecepatan gelombang akustik pada medium air
Δt = selang waktu sejak gelombang dipancarkan dan diterima kembali

II-7
II.2.3 Single Beam Echosounder
Single-beam echo sounder merupakan alat ukur kedalaman air yang
menggunakan pancaran tunggal sebagai pengirim dan penerima sinyal gelombang
suara. Sistem batimetri dengan menggunakan single beam secara umum
mempunyai susunan: transciever (tranducer/reciever) yang terpasang pada
lambung kapal atau sisi bantalan pada kapal. Sistem ini mengukur kedalaman air
secara langsung dari kapal penyelidikan. Transciever yang terpasang pada
lambung kapal mengirimkan pulsa akustik dengan frekuensi tinggi yang
terkandung dalam beam (gelombang suara) secara langsung menyusuri bawah
kolom air. Energi akustik memantulkan sampai dasar laut dari kapal dan diterima
kembali oleh tranciever. Transciever terdiri dari sebuah transmitter yang
mempunyai fungsi sebagai pengontrol panjang gelombang pulsa yang
dipancarkan dan menyediakan tenaga elektris untuk besar frekuensi yang
diberikan.
Transmitter ini menerima secara berulang-ulang dlam kecepatan yang
tinggi, sampai pada orde kecepatan milisekon. Perekaman kedalaman air secara
berkesinambungan dari bawah kapal menghasilkan ukuran kedalamn beresolusi
tinggi sepanjang lajur yang disurvei. Informasi tambahan seperti heave (gerakan
naik-turunnya kapal yang disebabkan oleh gaya pengaruh air laut), pitch (gerakan
kapal ke arah depan (mengangguk) berpusat di titik tengah kapal), dan roll
(gerakan kapal ke arah sisi-sisinya (lambung kapal) atau pada sumbu memanjang)
dari sebuah kapal dapat diukur oleh sebuah alat dengan nama Motion Reference
Unit (MRU), yang juga digunakan untuk koreksi posisi pengukuran kedalaman
selam proses berlangsung.
Range frekuensi yang dipakai pada sistem ini menurut WHSC Sea-floor
Mapping Group mengoperasikan range frekuensi dari 3.5 kHz sampai 200 kHz.
Single-beam echosounders relatif mudah untuk digunakan, tetapi alat ini hanya
menyediakan informasi kedalaman sepanjang garis trak yang dilalui oleh kapal.
Jadi, ada feature yang tidak terekam antara lajur per lajur sebagai garis traking
perekaman, yang mana ada ruang sekitar 10 sampai 100 meter yang tidak terlihat
oleh sistem ini.

II-8
Gambar II-4 Echosounder

II.3 Pengukuran Detail Situasi dan Sounding Pole


Pemetaan Situasi Detil Tachymetri adalah pemetaan untuk titik-titik detil.
Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah seperti
sungai, lembah, bukit alur, rawa, dll, maupun hasil budaya manusia seperti jalan,
jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dll yang akan dijadikan isi dari peta
yang akan dibuat. Pemilihan detil dan teknik pengukurannya dalam pemetaan
sangat tergantung dari tujuan peta itu dibuat. Misal untuk peta teknik, maka yang
diperlukan adalah unsur-unsur topografinya serta detil alamiah maupun hasil
budaya manusia yang konkrit di lapangan (Septiningrum, 2015).
Pada dasarnya, pengukuran detil situasi dan garis pantai juga merupakan
kegiatan penentuan posisi titik-titik detil sepanjang topografi pantai dan titik-titik
yang terletak pada garis pantai. Selain dengan menggunakan GPS, pengukuran
garis pantai dapat pula dilakukan menggunakan cara offset atau polar, data hasil
pengukuran lapangan dengan metode tachymetri. Untuk keperluan ini, diperlukan
sedikitnya sepasang titik kontrol (kerangka dasar) sebagai referensi posisi.
Kerapatan titik detil pantai tergantung dari skala peta yang akan dibuat, serta
bentuk geometris garis pantai. Semakin besar skala peta, semakin rapat titik detil
pantai yang harus diukur. Demikian juga, kerumitan bentuk garis pantai akan
memperbanyak titik detil yang harus diukur. Ketelitian detil situasi dan garis
pantai yang disyaratkan umumnya adalah 1 mm pada skala peta.

II-9
Rumus dasar Tachimetri :
V = (BA-BB)*50 sin 2a
H = (BA-BB)100*cos² a
Δh = ta – BT+ tp+ (BA-BB)*100 sin a cos a
= ta – BT+ tp+ (BA-BB)*50 sin 2a

BA’ BA

S BT
BB’
BB V

Z
α S
Δh
t Alat

t Patok

Gambar II-5 Metode Tachimetri (https://www.slideshare.net/lianyndut/laporan-polygon-


dan-thachymetri)
Keterangan :
Δh = beda tinggi (m)
ta = tinggi alat yang berdiri pada titik yang diketahui (m)
V = jarak vertikal yang diketahui (m)
tp = tinggi patok pada titik alat berdiri (m)
 = sudut zenith (derajat
BB = bacaan benang bawah (m)
BA = bacaan benang atas (m)
BT = bacaan benang tengah (m)
II.3.1 Kerangka Kontrol Horisontal (KKH)
Kerangka kontrol horisontal adalah sekumpulan titik yang telah diketahui
atau ditentukan posisi horisontalnya, berupa koordinat pada bidang datar (X,Y),
dalam sistem proyeksi tertentu, dan satu sistem koordinat tertentu. Sistem
koordinat yang dimaksud disini adalah sistem koordinat kartesian bidang datar
(Septiningrum, 2015). Penentuan KKH dapat dikelompokkan dalam metode
penentuan, antara lain :

II-10
1. Penentuan titik tunggal, yang terdiri dari :
a. Metode polar
b. Metode perpotongan kemuka
c. Metode perpotongan kebelakang
2. Penentuan banyak titik, yang terdiri dari :
a. Metode triangulasi
b. Metode trilaterasi
c. Metode poligon, terdiri dari dua jenis yaitu metode poligon terbuka
dan poligon tertutup.
 Poligon Terbuka
Pada poligon terbuka ini diperlukan titik ikat yang tentu dan
jurusan yang tentu pula pada kedua ujungnya. Sebelum dimulai
dengan menghitung koordinat-koordinat titik poligon, maka lebih
dahulu harus diteliti pengukuran poligon. Karena untuk dapat
menentukan koordinat-koordinat diperlukan sudut dan jarak,
maka yang diukur pada poligon adalah sudut-sudut dan jarak itu.
Untuk dapat melakukan penelitian maka harus diketahui dan
ditentukan lebih dulu syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi
oleh suatu poligon. Diukur pada poligon semua sudut antara sisi-
sisi dan panjang semua sisi.

Gambar II-6 Poligon Terbuka Terikat Sempurna


(https://www.slideshare.net/hendrasquallleonhart/bab-8-kerangka-dasar-
pemetaan-poligon)

II-11
 Poligon Tertutup
Untuk poligon tertutup, koordinat awal sama dengan koordinat
akhir dan azimuth awal sama dengan azimuth akhir.

Gambar II-7 Poligon Tertutup


(https://www.slideshare.net/hendrasquallleonhart/bab-8-kerangka-dasar-
pemetaan-poligon)
II.3.2 Kerangka Kontrol Vertikal (KKV)
Kerangka kontrol vertikal merupakan kumpulan titik-titik yang telah
diketahui atau ditentukan posisi vertikalnya terhadap sebuah datum ketinggian.
Datum ketinggian ini dapat berupa ketinggian muka air laut rata-rata (mean sea
level - MSL) atau ditentukan lokal.
Tinggi adalah perbedaan vertikal atau jarak tegak dari suatu bidang
referensi yang telah ditentukan terhadap suatu titik sepanjang garis vertikalnya.
Untuk mendapatkan tingi suatu titik perlu dilakukan pengukuran beda tinggi
antara suatu titik terhadap titik yang telah diketahui tingginya dengan
mempergunakan alat sipat datar. Pengukuran kerangka kontrol vertikal bertujuan
untuk menentukan tinggi titik-titik yang dicari (koordinat vertikal) terhadap
bidang referensi.
Pengukuran kerangka kontrol vertikal bertujuan untuk menentukan tinggi
titik-titik yang dicari (koordinat vertikal) terhadap bidang referensi.
Syarat pengukuran:
1. Alat berada di tengah-tengah rambu (tidak harus segaris dengan kedua
rambu).
2. Data yang dicatat adalah bacaan benang tengah (BT), benang bawah (BB)
dan benang atas (BA).

II-12
3. Baca rambu belakang (b) baru kemudian dibaca rambu muka (m).
4. Seksi dibagi dalam slag berjumlah genap.
5. Pengukuran dapat dilakukan dengan cara pergi pulang atau dengan double
stand (pada survei hidrografi ini, kerangka utama menggunakan kedua
metode, sednagkan kerangka yang lain menggunakan salah satu metode
saja).
6. Jumlah jarak muka = jumlah jarak belakang.
7. Jarak alat ke rambu maksimum = 75 meter.
8. Pemindahan rambu ke slag berikutnya dengan cara leap frog, yaitu rambu
muka dipindahkan terlebih dulu (menjadi rambu belakang di slag dua),
kemudian dilakukan pengukuran di slag kedua, baru rambu belakang
dipindahkan. (Septiningrum, 2015)
II.4 Fotogrametri
Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, pengetahuan dan
teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu objek
fisik dan lingkungannya melalui proses perekaman, pengamatan/pengukuran dan
interpretasi fotogrametris. (Wolf, 1974)
Definisi fotogrametri di atas mencakup dua bidang kajian, yaitu:
1. Fotogrametri metrik
Fotogrametri metrik terdiri dari pengukuran cermat berdasarkan foto dan
sumber informasi lain yang pada umumnya digunakan untuk menentukan
lokasi relatif titik-titik. Dengan demikian dimungkinkan untuk
memperoleh ukuran jarak, sudut, luas, volume, elevasi, ukuran dan bentuk
obyek.
2. Fotogrametri interpretatif
Fotogrametri interpretatif mempelajari pengenalan dan identifikasi obyek
serta menilai arti pentingnya obyek tersebut melalui suatu analisis
sistematik dan cermat. Fotogrametri ini meliputi cabang ilmu interpretasi
foto udara dan penginderaan jauh.
Fotogrametri memberikan pengukuran dari penginderaan jauh dan hasil
analisis citra ke dalam model komputasi dalam upaya untuk turut memperkirakan,

II-13
dengan meningkatkan akurasi, sebenarnya, gerakan relatif 3-D dalam bidang
penelitian.
Foto udara merupakan foto yang proses pengambilan gambarnya
dilakukan di udara dengan menggunakan kamera yang terpasang pada suatu
perangkat yang melayang di udara seperti pesawat atau UAV (Unmanned Aerial
Vehicle). Kamera tersebut mempunyai fokus tertentu. Selanjutnya, foto udara
yang dihasilkan itu diolah dengan melakukan pengkajian terhadap foto. Proses ini
disebut sebagai interpretasi foto udara. Dengan menggunakan UAV, pemetaan
dapat dilakukan dengan mengambil area yang cukup luas. Karena dengan
mengunakan UAV, selain cakupannya luas juga waktu yang diperlukan lebih
cepat dibandingkan dengan metode terestris. Tetapi dalam pemetaan memakai
UAV ini memperlukan biaya yang tinggi, karena alatnya yang memakai UAV.
UAV akan mengambil gambar sesuai dengan jalur terbang yang ditentukan.
Setelah gambar sudah dipotret, gambar tersebut harus dimosaik dengan software.
UAV adalah pesawat yang terbang tanpa operator di dalamnya dan dapat
terbang secara autonomous dengan mengolah data dari. UAV dapat dikendalikan
secara manual melalui radio kontrol atau secara otomatis dengan mengolah data
sensor sehingga dapat terbang sesuai dengan keperluan pengguna (Hidayat &
Mardiyanto, 2016).
Pada umumnya UAV mirip seperti sebuah mainan kendali jarak jauh yang
sering kita temui di toko–toko RC (Remote Control) namun UAV memiliki
tingkat kerumitan komponen yang cukup tinggi dan memiliki harga yang jauh
berbeda dari segi pembuatannya. Pembeda lainnya ialah bahwa UAV
menggunakan gelombang radio berjarak seluas sekitar 2,4 GHz dan juga dapat di
kontrol menggunakan smartphone karena memiliki chip komputer serupa arduino
namun lebih kompleks yang terpasang pada UAV untuk dalam mengolah gambar
dari hasil kamera yang yang terpasang padanya lalu mengirimkan hasilnya ke
smartphone yang digunakan sebagai controller. Gambar yang di kirimkan oleh
chip UAV bersifat real-time yang berarti dapat kita kendalikan arah terbangnya
sesuai dengan yang kita inginkan. Cara mengendalikannya pun mirip saat kamu
memainkan game race pada gadget, kamu hanya perlu menggunakan telunjuk dan

II-14
mengarahkan ke kiri atau kekanan. Kita juga bisa mengatur video atau foto yang
akan diambil (Putra, 2016).
Sebagai tahap awal dalam melakukan kegiatan foto udara, diperlukan
pembuatan premark. Pemasangan premark untuk foto udara menggunakan UAV
harus ditempatkan pada area yang terbuka, tidak tertutup oleh pohon, gedung, atau
yang lainnya sehingga dapat dilihat dari udara. Bahan untuk membuat premark
biasanya menggunakan plastik atau kain yang berwarna terang (oranye atau putih)
yang berbentuk tanda plus sehingga dapat terlihat pada saat pengolahan foto di
komputer. Setelah premark terpasang cari koordinat premark tersebut dengan
menggunakan GPS Geodetik. Data koordinat digunakan jika pengolahan
dilakukan secara manual, namun jika foto udara diolah menggunakan aplikasi
DroneDeploy tidak dibutuhkan data koordinat premark.
Ada 2 tipe premark dalam penggunaannya dalam proses pengolahan foto
yaitu:
1. Control Point/GCP
Digunakan untuk orientasi absolut/georeferensi dari blok foto. Harus
memiliki nilai koordinat tanah yang dapat dikenali pada foto.
2. Check Point
Digunakan untuk menguji kualitas hasil dan tidak diikutkan pada proses
pengolahan foto.
Sebelum proses menerbangkan UAV, mengkalibrasi drone adalah suatu
hal yang harus dilakukan seorang pilot, ini sama halnya ketika pesawat terbang
hendak digunakan lepas landas, pasti ada sebuah tim khusus yang bertugas
mengecek seluruh bagian pesawat hingga detail untuk memastikan pesawat layak
terbang atau tidak (Omahdrones, 2016). Pertama, kalibrasi kompas dilakukan agar
drone dapat menentukan arah mata angin dan posisi secara benar, sehingga pada
saat terbang posisi dan arah menghadap drone bisa dipantau dari layar/map dan
menjalankan perintah dengan benar seperti perintah RTH, dan lain-lain. Kedua,
kalibrasi gimbal dilakukan agar stabil saat pengambilan foto atau video sehingga
guncangan maupun angin tidak membuat hasil foto atau video menjadi goyang

II-15
atau kabur. Ketiga, kalibrasi remote controller dilakukan agar dapat
mengontrol/memantau pergerakan drone dari jarak jauh.
II.5 GPS
GPS (Global Positioning System) merupakan metode penetuan posisi
dengan menggunakan satelit GPS yang dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini
sudah banyak digunakan baik dalam keperluan sipil maupun keperluan militer.
Metode penetuan posisi dengan menggunakan GPS ini tidak tergantung oleh
cuaca dan waktu pengamatan (Kuswondo, 2013).
Sistem GPS, yang nama aslinya adalah NAVSTAR GPS (Navigation
Satellite Timing and Ranging Global Positioning System), mempunyai tiga
segmen yaitu satelit, pengontrol, dan penerima/pengguna. Satelit GPS mengorbit
bumi, dengan orbit dan kedudukan yang tetap (koordinat pasti), seluruhnya
berjumlah 24 buah dimana 21 buah aktif bekerja dan 3 buah sisanya adalah
cadangan.
Satelit bertugas untuk menerima dan menyimpan data yang ditransmisikan
oleh stasiun-stasiun pengontrol, menyimpan dan menjaga informasi waktu
berketelitian tinggi yang ditentukan dengan jam atomic di satelit dan
memancarkan sinyal dan informasi secara kontinyu ke pesawat penerima
(reciever) dari pengguna.
Pengontrol bertugas untuk mengendalikan dan mengontrol satelit dari
bumi baik untuk mengecek kesehatan satelit, penentuan dan prediksi orbit dan
waktu, singkronisasi waktu antar satelit, dan mengirim data ke satelit.
Penerima/pengguna bertugas menerima data dari satelit dan memprosesnya untuk
menentukan posisi (posisi tiga dimensi yaitu koordinat di bumi dan ketinggian),
arah, jarak dan waktu yang diperlukan oleh pengguna.
Pada dasarnya konsep dasar penentuan dengan GPS adalah metode reseksi
(pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara
simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui. Namun pada
umunya metoda penentuan posisi dengan GPS pertama-tama terbagi dua, yaitu
metoda absolut dam diferensial. Masing-masing metoda kemudian dapat

II-16
dilakukan denagn cara real time atau post-processing. Secara vektor, prinsip dasar
penentuan posisi dengan GPS seperti gambar dibawah ini.
Secara garis besar penentuan posisi dengan GPS ini dibagi menjadi dua
metode, yaitu :
1. Metode Absolut atau dikenal juga sebagai point positioning, menetukan
posisi hanya berdasarkan pada 1 pesawat saja. Ketelitian posisi dalam
beberapa meter (tidak berketelitian tinggi) dan umumnya hanya
diperuntukkan bagi keperluan NAVIGASI.
2. Metode relative atau sering disebut differential positioning, menentukan
posisi dengan menggunakan lebih dari sebuah penerima. Satu GPS
dipasang pada lokasi tertentu dimuka bumi dan secara terus menerus
menerima sinyal dari satelit dalam jangka waktu tertentu dijadikan sebagai
referensi bagi yang lainnya. Metode ini menghasilkan posisi berketelitian
tinggi dan diaplikasikan untuk keperluan survei Geodesi ataupun pemetaan
yang memerlukan ketelitian tinggi.
Masing-masing metode kemudian dapat dilakukan dengan cara real time
dan Post-processing. Apabila obyek yang ditentukan posisinya diam maka
metodenya disebut Statik. Sebaliknya apabila obyek yang ditentukan posisinya
bergerak maka metodenya disebut kinematik. Selanjutnya lebih detail lagi kita
akan menemukan metode-metode seperti SPP, DGPS, RTK, Survei GPS, Rapid
statik, pseudo kinematik, dan stop and go, serta masih ada beberapa metode
lainnya.
Untuk penetuan posisi di atas permukaan bumi ini minimal terjangkau
oleh 3-4 satelit. Pada prakteknya, setiap GPS terbaru bisa menerima sampai
dengan 12 channel satelit sekaligus. Kondisi langit yang cerah dan bebas dari
halangan membuat GPS dapat dengan mudah menangkap sinyal yang dikirimkan
oleh satelit. Semakin banyak satelit yang diterima oleh GPS, maka akurasi yang
diberikan juga akan semakin tinggi.
II.6 Pasang Surut
Pasang surut air laut (pasut) adalah suatu fenomena alam yaitu naik-
turunnya permukaan air laut secara periodik sebagai akibat dari adanya gaya

II-17
gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan matahari. Pengaruh benda
astronomi lainnya dapat diabaikan karena jarak dan ukurannya yang relatif lebih
kecil daripada bulan dan matahari. Faktor non astronomi yang mempengaruhi
pasut terutama di perairan semi tertutup seperti teluk adalah bentuk garis pantai
dan topografi dasar perairan (Stewart, 2000).
Pasang surut air laut adalah suatu gejala fisik yang selalu berulang dengan
periode tertentu dan pengaruhnya dapat dirasakan sampai jauh masuk ke arah hulu
dari muara sungai. Pasang surut terjadi karena adanya gerakan dari benda benda
angkasa yaitu rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan mengelilingi bumi dan
peredaran bulan mengelilingi matahari. Gerakan tersebut berlangsung dengan
teratur mengikuti suatu garis edar dan periode yang tertentu. Pengaruh dari benda
angkasa yang lainnya sangat kecil dan tidak perlu diperhitungkan. Meskipun
ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih
besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut
karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik
gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua
tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang
surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital
bulan dan matahari. Periode pasang surut adalah waktu antara puncak atau lembah
gelombang ke puncak atau lembah gelombang berikutnya. Harga periode pasang
surut bervariasi antara 12 jam 25 menit hingga 24 jam 50 menit (Ariyanta,
Wahyudi, dan Sambodho, 2007).
Alat yang paling sederhana yang digunakan untuk melakukan pengamatan
pasut adalah palem atau rambu pasut. Alat ini berupa papan yang telah diberi
skala dalam m atau cm. Biasanya digunakan pada pengukuran pasang surut di
lapangan. Tide Pole (Palem) merupakan alat pengukur pasut paling sederhana
yang umumnya digunakan untuk mengamati ketinggian muka laut atau tinggi
gelombang air laut. Bahan yang digunakan biasanya terbuat dari kayu,
alumunium atau bahan lain yang di cat anti karat.
Syarat pemasangan papan pasut antara lain :

II-18
1. Saat pasang tertinggi tidak terendam air dan pada surut terendah masih
tergenang oleh air.
2. Jangan dipasang pada gelombang pecah karena akan bias atau pada daerah
aliran sungai (aliran debit air).
3. Jangan dipasang didaerah dekat kapal bersandar atau aktivitas yang
menyebabkan air bergerak secara tidak teratur.
4. Dipasang pada daerah yang terlindung dan pada tempat yang mudah untuk
diamati dan dipasang tegak lurus.
5. Caritempat yang mudah untuk pemasangan agar papanmudahdikaitkan.
6. Dekat dengan bench mark atau titik referensi lain yang ada sehingga data
pasang surut mudah untuk diikatkan terhadap titik referensi.
7. Tanah dan dasarlaut atau sungai tempat didirikannya papan harus stabil.
8. Tempat didirikannya papan harus dibuat pengaman dari arus dan sampah.
Pengamatan pasut dilakukan untuk mendapatkan model tinggi muka air
laut di suatu titik dengan mengambil contoh data tinggi muka air laut pada selang
waktu tertentu. Pada dasarnya pengamatan pasut dilakukan dengan cara mengukur
tinggi muka air laut terhadap suatu acuan tertentu, yaitu stasiun pengamat pasut.
Oleh karena itu harus dilakukan pengikatan palem dengan stasiun pengamat pasut.
Pengikatan pengamatan pasut ditujukan untuk menentukan posisi horisontal titik
pengamat pasut dan utamanya selisih tinggi palem terhadap titik ikat (BM).
Selisih tinggi palem terhadap BM nantinya akan digunakan untuk mendefinisikan
tinggi BM itu sendiri setelah bidang referensi kedalaman ditentukan dari
pengamatan pasut.
Menurut Wibisono (2005), terdapat tiga tipe pasang surut yang didasarkan
pada periode dan keteraturannya, antara lain yaitu :
1. Pasang-surut tipe harian tunggal (diurnal type): yakni bila dalam waktu 24
jam terdapat 1 kali pasang dan 1 kali surut
2. Pasang-surut tipe tengah harian/ harian ganda (semi diurnal type): yakni
bila dalam waktu 24 jam terdapat 2 kali pasang dan 2 kali surut.

II-19
3. Pasang-surut tipe campuran (mixed tides): yakni bila dalam waktu 24 jam
terdapat bentuk campuran yang condong ke tipe harian tunggal atau
condong ke tipe harian ganda.
II.7 Reduksi Kedalaman Laut
Pengukuran kedalaman dilakukan pada lajur perum dan titik titik yang
telah ditentukan. Lajur lajur pemeruman dibagi atas seksi seksi sesuai dengan luas
wilayah laut yang dipetakan. Selain dilakukan pengukuran kedalaman juga
dilakukan penentuan titik titik fiks perum dan pecatatan waktu saat pengukuran
untuk keperluan reduksi kedalaman hasil pengukuran terhadap pasut. Pecatatan
waktu dan penentuan posisi dilakukan secara simultan dengan pengukuran
kedalaman.
Dalam pengukuran kedalaman dengan alat, perum gema tidak lepas dari
berbagai kesalahan, sehingga harus dilakukan koreksi terhadap hasil ukuran
(Septiningrum, 2015). Koreksi yang harus dilakukan antara lain:
1. Salah sistematik alat
Peralatan sounding system digital umumnya telah minimal dari kesalahan
ini, karena kesalahan sistematik tersebut umumnya bersumber dari bagian
mekanis peralatan dalam menterjemahkan sinyal kedalaman dalam bentuk
grafis seperti misalnya ketidaktepatan kecepatan penggulungan keras
perekaman/echogram dan pergerakan jarum pencetakan. Kesalahan ini
dapat dideteksi dapat dideteksi dengan melakukan kalibrasi untuk diset
kembali ke nilai sebenarnya dalam proses kalibrasi alat.
2. Koreksi kecepatan bunyi
Kecepatan gelombang bunyi berkaitan dengan media yang dilaluinya, juga
dipengaruhi oleh tekanan, temperature, dan masa jenis media yang
dilaluinya. Salah satu metode pemberian koreksi ini adalah model
matematika dari Wilson (dengan anggapan tekanan hidrostatik linier
dengan kedalaman air laut) dapat digunakan sebagai dasar pemberian
koreksi.
3. Draft Transduser

II-20
Draft Transduser yaitu perubahan kedalaman tranduser yang terjadi
apabila kapal sedang bergerak maju. Perubahan-perubahan tersebut antara
lain :
 Settlement, yaitu perubahan yang disebabkan oleh semakin turunnya
perahu bila bergerak maju
 Squate, yaitu perubahan yang disebabkan oleh turunnya buritan
perahu pada saat bergerak maju sedangkan haluan kapal terangkat
Kedua kesalahan tersebut sulit sekali diamati dengan peralatan yang
sederhana, solusinya adalah tranduser ditempatkan dibagian tengah kapal
dan perlu dihindari pengukuran pada saat gelombang besar. Untuk
menghindar offset posisi, penempatan receiver GPS diletakan tepat diatas
posisi transduser.
Hasil pengukuran pemeruman berupa kertas grafik kedalaman dasar laut
(koordinat Z), hasil ini harus dikoreksi dengan hasil pengamatan pasang surut
selama pengukuran, serta tinggi acuan yang digunakan.

Gambar II-8 Reduksi Elevasi Hasil Pemeruman (Septiningrum, 2015)

Elevasi titik fix dapat ditulis sebagai berikut :


Elevasi titik fix = h -r + p – d
dimana :
h = Elevasi titik BM terhadap referensi tinggi yang dipakai (m)
p = Bacaan pasut (m)
r = Beda tinggi antara BM dengan nol pasut hasil pengukuran waterpas

II-21
d = Kedalaman air laut saat penentuan posisi titik fix.

II-22
BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM
III.1 Persiapan
III.2 Alat dan Bahan
III.3 Diagram Alir

III-23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.2 Pembahasan

BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
V.2 Saran

V-1
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
1. Dokumen KKL (surat instansi, surat jawaban, dan proposal
KKL)
2. Lembar Absensi (ttd seluruh peserta, spt pada absen mata
kuliah)
3. Dokumentasi KKL dan link Youtube

Anda mungkin juga menyukai