File 1510801152 PDF
File 1510801152 PDF
File 1510801152 PDF
Telp. 082115196848
e-mail : [email protected]
blog : fadillahpress.blogspot.com
website : uinsgd.ac.id
twitter : @fadillahpress
FB : fadillahpress
Persembahan
Persembahan yang dalam Untuk ayah-ibunda tercinta KH.Moch Atori Hj. Siti Angrum
Paman tercinta
Drs. Mardidi Sugeng
Kakak tercinta Aa Maman & Teteh Fatimah
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wr.wb.
Puji dan syukur dengan didasari hati yang tulus dan pikiran yang jernih dipersembahkan
kehadirat Allah SWT, karena dengan taufik dan hidayah-Nya, Alhamdulillah kita masih
diberi berbagai kenikmatan baik nikmat iman, islam dan sehat wal‟afiat. Shalawat dan
salam semoga selamanya oleh Allah swt diberikan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah membawa ummat menuju jalan kebahagiaan di dunia dan
akhirat melalui serangkaian dakwah, pendidikan dan keteladanan yang dilakukannya
tanpa mengenal lelah.
Selanjutnya, ucapan terimakasih yang tidak terhingga kami sampaikan kepada semua
pihak yang telah kerjasama memberikan kontribusi,motivasi baik langsung maupun
tidak secara langsung dalam penulisan Buku Daras ini. Mudah-mudahan menjadi amal
shaleh yang diterima oleh Allah SWT.
Penulis berharap agar para mahasiswa dan pembaca, dapat menemukan sesuatu
yang sangat berharga yang manfaat bagi penulis, bagi para mahasiswa dan para
pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang berharga dan membangun dari semua
pihak atas perbaikan dan penyempurnaan penyususnan buku daras ini senantiasa
penulis harapkan dan menjadi revisi bagi penulisan berikutnya, jazakumullahu khairan
katsira. Amien.
Wassalamu‟alaikum wr.wb.
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
2. Tujuan Pembelajaran..................................................................................... 2
3. Peta Konsep .................................................................................................. 2
BAB IV AR-RAZI
1. Standar Kompetensi: .................................................................................... 27
Kompetensi Dasar… ......................................................................................... 27
BAB V AL-FARABI
1. Standar Kompetensi:……………………………………. ................................. 36
Kompetensi Dasar ............................................................................................. 36
BAB IX AL-GHAZALI
1. Standar Kompetensi .................................................................................... 88
Kompetensi Dasar ............................................................................................ 88
Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini cakupan Filsafat Islam itu diperluas kepada
segala aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman, yang
meliputi bukan saja diperbincangkan oleh para filosof dalam wilayah kekuasaan Islam
tentang beberapa hal, tetapi lebih luas mencakup ilmu kalam, ushul fiqih, dan tasawuf.
Sedangkan pengertian filsafat islam secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-
dasar pemikiran yang dikemukakan oleh para filosof Islam.
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka akan terbayang beberapa nama tokoh yang
disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-
Ghazali, dan yang lainnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan,
tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga
karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan. Bertambah masa,
bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula dengan perkembangan
filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan yang dapat
dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan
dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan
relevan dengan konsep Islam. Dalam buku daras ini, penulis hanya membatasi
pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat
berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi
sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali
begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang Teologi (kalam),
tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang
berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim
lainnya.
1. Tujuan Pembelajaran
2. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui pengertian filsafat Islam dan
hubunganya antara filsafat islam dengan filsafat Yunani
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami Biografi, karya-karya dan filsafat dan
pemikiranpara filosof muslim untuk mengetahui hubungan antara filsafat Islam
dengan filsafat Yunani.
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami konsep, ruang lingkup dan urgensi mata
kuliah filsafat Islam baik di dunia islam maupun di dunia barat seta bagaimana
kontribusi para filosof muslim yang sangat besar dan signifikan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi serta peradaban dunia sampai sekarang.
5. Mahasiswa memahami cara kerja filsafat islam dan kontribusi para filosof muslim
dan peradaban dunia serta bagaimana melanjutkan dan mengimplementasikannya
kedalam aktivitas kesehariannya dalam memakmurkan alam ini sesuai dengan
keridhaan Allah swt.
1. Peta Konsep
Pemaparan dalam Buku Daras yang berjudul “Mengenal Filsafat Islam” ini akan diawali
pemaparanya dari Pengertian Filsafat islam, Hubungan filsafat islam dengan filsafat
yunani dilanjutkan dengan Biografi, Karya-karya serta filsafat dan pemikiranya yang
mendasar dan signifikan dari para filosof Muslim seperti Al-Kindi. Ar-Razi, Al-Al-Farabi,
Ibnu, Miskawaih, Ibnu Sina, dilanjutkan dengan pelaksanaan UTS (Ujian Tengah
Semester) pada pertemuan ke-7, kemudian dilanjutkan dengan tema filosof Al-Ghazali,
Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd, Nasirudin Athusi, Muhamad Iqbal, Mulla Shadra,
dan dilanjutkan lagi dengan pelaksanaan UAS (Ujian Akhir Semester).
BAB II
HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM
DENGAN FILSAFAT YUNANI
Menurut Plato (427-374 SM) filsafat adalah ilmu yang membicarakan hakikat
sesuatu. Adapun Aristoteles berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang kebenaran yang meliputi logika, fisika, metafisika dan pengetahuan praktis
(Mustafa, 2004: 10).
Sedangkan menurut Drijarkara, (1913-1967) filsafat adalah pikiran manusia yang
radikal, artinya dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-
pendapat yang diterima saja tetapi mencoba memperhatikan pandangan yang
merupakan akar dari pandangan lain dan praktis.
Menurut Hasbullah Bakry, filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
dengan mendalam mengenai keTuhanan, alam semesta dan manusia sehingga
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat
dicapai akal- manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah
mencapai pengetahuan tersebut (Bakry, 1961: 7).
Jadi, dapat diartikan bahwa filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari
dan memikirkan suatu kebenaran, dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, filsafat
adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala
sesuatu serta seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dengan logika yang sistematis (Syadali, 1997: 11). Upaya ini tidak hanya dengan
melakukan eksperimen-eskperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan
mengutarakan problem secara persis mencari solusi untuk memberikan argumentasi
dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu (Meliono, 2007: 1).
2. Definisi Filsafat Islam
Sedangkan yang dimaksud dengan filsafat Islam itu sendiri ialah hasil pemikiran filosof
tentang keTuhanan, kenabian, kemanusiaan, dan alam yang disinari ajaran Islam
dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis, serta memaparkan secara luas
tentang teori ada (ontologi), menunjukan pandangannya tentang ruang, waktu, materi
dan kehidupan. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara
aqidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat, dan menjelaskan kepada
manusia bahwa wahyu tidak bertentangan dengan akal.
Dalam perkembangan selanjutnya, cakupan filsafat Islam itu diperluas kepada segala
aspek ilmu-ilmu yang terdapat dalam khasanah pemikiran keislaman, seperti ilmu
kalam, ushul fiqih, dan tasawuf dan ilmu fikir lainnya yang diciptakan oleh ahli pikir
Islam. Ibrahim Makdur memberikan batasan filsafat Islam itu adalah pemikiran yang
lahir dalam pemikiran dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi
Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. Sedangkan pendapat
lainnya mendefinisikan tentang filsafat Islam sebagai pembahasan tentang alam dan
manusia yang disinari ajaran Islam (Fu‟ad, 1978: 19-20).
Para filosof muslim sendiri banyak mengambil sebagaian besar pandangannya dari
Aristoteles, mereka banyak mengagumi Plato dan mengikutinya pada berbagai aspek,
memang demikian keadaan orang yang datang kemudian terpengaruh oleh orang-
orang sebelumnya dan berguru kepada mereka, akan tetapi berguru bukan berarti
mengekor atau menjiplak, mereka hanya mengambil beberapa pemikiran-pemikiran
yang di kemukakan oleh para filosof Yunani yang kemudian mereka ambil secara garis
besarnya untuk mereka kembangkan sendiri. Secara sederhana, filsafat Islam dapat di
rangkum menjadi tiga, yaitu:
1. Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan
lainnya, seperti keTuhanan, alam dan Ruh. Akan tetapi, selain dalam penyelesaian
filsafat Islam berbeda dengan para fisafat lain, para filosof muslim juga
mengembangkan dan menambahkan kedalamnya hasil-hasil pemikiran mereka
sendiri.
2. Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah di bahas oleh generasi yang
datang sebelumnya, seperti filsafat kenabian.
3. Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah
dan hikmah, serta antara wahyu dan akal.
Jika dilihat dari aspek sejarah, kelahiran ilmu filsafat Islam dilatarbelakangi oleh adanya
usaha penerjemahan naskah-naskah ilmu filsafat kedalam bahasa Arab yang telah
dilakukan sejak masa klasik Islam (Rahman, 1994: 84).
Usaha ini melahirkan sejumlah filosof besar muslim, dunia Islam belahan timur yang
berpusat di Bagdad (Amin, 1974: 62-63) lebih dahulu melahirkan filosof muslim
daripada dunia Islam belahan barat yang berpusat di Cordova, Spanyol (George, 1989:
82).
Untuk memperkuat pernyatan di atas, sejarah kebudayaan Islam mencatat, bahwa ilmu
filsafat tidak diketahui oleh orang-orang Islam, kecuali setelah masa Daulah Abbasiyyah
pertama (132-232 H/75-847 M). Ilmu ini di transfer ke dunia Islam melalui
penerjemahan dari buku-buku filsafat Yuanani yang telah tersebar di daerah-daerah
seperti; Iskandariah, Anthakiah, dan Harran. Terlebih pada masa Al-Makmun yang
dikenal sangat tertarik pada kemerdekaan berpikir, yang berkuasa antara 198-218
H/813-833 M dan mengdakan hubungan kenegaraan antara raja-raja Romawi,
Bizantium yang beribu kota di Konstantinopel, yang juga di kenal sebagai kota Al-
Hikmah, yang merupakan pusat dari ilmu filsafat. Dari kota ini buku-buku filsafat
diperoleh dan diterjemahkan sekalipun dari bahasa Suryani. Kegiatan penerjemahan ini
disertai pula dengan uraian dan penjelasan seperlunya. Para cendikiawan pada waktu
itu berusaha memasukkan filsafat Yunani sebagai bagian dari metodologi dalam
menjelaskan Islam, terutama aqidah untuk melihat perlunya persesuaian antara wahyu
dan akal (Syalabi, 1974: 447).
Aktivitas para filosof muslim sangat bersentuhan dengan penafsiran Al-Qur‟an. Bahkan,
kecenderungan menafsirkan Al-Qur‟an secara filosofis besar sekali. Misalnya Al-Kindi
yang dikenal sebagai Bapak Filosof Arab dan Muslim, berpendapat bahawa untuk
memahami Al-Qur‟an dengan benar, isinya harus ditafsirkan secara rasional, bahkan
filosofis. Al- Kindi berpendapat bahwa Al-Qur‟an mengandung ayat-ayat yang mengajak
manusia untuk merenungkan peristiwa-peristiwa alam dan menyingkapkan makna yang
lebih dalam di balik terbit-tenggelamnya matahari, berkembang menyusutnya bulan,
pasang surutnya air laut, dan seterusnya.
Sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri,
sebagaimana terdapat dalam Al-qur‟an dan As-sunnah. Meskipun memiliki dasar yang
kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, filsafat banyak mengandung unsur-
unsur dari luar, terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani (Madjid, 1995: 218-
219). Uraian di atas terlihat jelas bahwa di satu sisi, filsafat Islam berkembang setelah
umat Islam memiliki hubungan interaksi dengan dunia Yunani, pemakaian kata “filsafat”
di dunia Islam digunakan untuk menerjemahkan kata “hikmah” yang ada dalam teks-
teks keagamaan Islam, seperti dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
Orang-orang Islam berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah
ditafsirkan dan di olah oleh orang-orang Syiria, dan itu berarti masuknya unsur-unsur
Neoplatonisme, dan sebagaian orang Islam sadar tentang Aristoteles dan apa yang
mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, ini menyebabkan sulitnya membedakan
antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh terhadap falsafah Islam itu
karena memang terkait satu sama lainnya (Madjid, 1995: 228). Sekalipun begitu, masih
dapat di benarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia
pemikiran Islam, seperti yang terdapat dalam berbagai paham tasawuf. Misalnya Ibnu
Sina, dapat dikatakan sebagai seorang Neoplatonis disebabkan ajarannya tentang
mistik perjalanan Ruhani menuju Tuhan.
Akan tetapi meskipun terdapat variasi, semua pandangan muslim berpandangan bahwa
wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan karena itu, mereka juga membangun
berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibnu Sina dengan salah satu
risalahnya yang terkenal, Isbat An-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak
tenaga- untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat
padanya Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis. Para filosof
muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggung jawab
pribadi dihadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan, asal-usul penciptaan, yang
semua itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal
serupa dalam Hellenisme.
Dengan demikian, tampak jelas adanya hubungan yang bersifat akomodatif bahwa
filsafat Yunani memberi modal dasar penelusuran berpikir yang ditopang sejatinya oleh
Al-Qur‟an sejak dulu. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa sumber Al-Qur‟an secara
azali telah ada, maka filsafat Yunani hanya sebagai pembuka, sementara bahan-
bahannya telah ada di dalam Al-Qur‟an, dengan kata lain disebutkan bahwa memang
disatu pihak filsafat Islam merupakan barang baru di dunia Islam, namun, dipihak lain
dalam pengembangan ilmu ini terdapat yang hal original yang bukan milik Barat,
bahkan barat sendirilah yang meminjamnya dari Islam seperti matematika dan kimia.
Tidak ada orisinalitas yang mengesankan pada pemikiran kefilsafatan Islam klasik,
mungkin tafsiran mereka atas beberapa noktah ajaran agama tidak dapat diterima oleh
para ulama ortodoks, namun berbeda dengan rekan-rekan mereka di Eropa pada
masa-masa Skolastik, Renaisans, dan modern yang umumnya justru menolak atau
meragukan agama, namun para filosof muslim klasik ini berfilsafat tetapi karena
dorongan keagamaan. Karena religiusitas mereka, pemikiran spekulatif kefilsafatan
hanya terjadi dalam batas-batas yang masih di benarkan oleh agama, yang agama itu
sendiri bagi mereka telah cukup rasional sebagaimana di tuntut oleh filsafat. Hal ini di
tambah lagi dengan polemik-polemik yang amat mendasar dan mendalam antara para
filosof dan ulama keagamaan, seperti antar Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Polemik itu
merupakan salah satu debat yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran agama.
Ditambah lagi bahwa Islam adalah agama yang memberikan kebebasan dalam
membicarakan filsafat. Dengan demikian, orang Arablah yang memberikan keutamaan
dalam menyebarkan filsafat Yunani dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Dalam
pernyataan lain bisa dikatakan sekarang kita mengikuti jalannya filsafat dari Yunani, lalu
mengalir kedalam pengetahuan Syiria lama, kemudian filsafat berjalan dari orang-orang
Syiria kedalam dunia kaum muslimin yang berbahasa Arab, orang-orang Arab
kemudian memasukkannya kembali jauh ke tengah-tengah dunia Barat. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani
adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus pelopor filsafat yang bercorak
Islam yang di sebarkan ke berbagai dunia Barat.
1. Ringkasan
Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, kata tersebut berasal dari kata
philein yang berarti mencintai, dan Sophia yang berarti kebijaksanaan. Philosophia
berarti cinta akan kebijaksanaan dalam bahasa Inggris disebut love of wisdom, dalam
bahasa Belanda disebut wijsbegeerte, sedangkan dalam bahasa Arab disebut muhibbu
al-hikmah. Adapun yang dimaksud dengan filsafat Islam itu sendiri ialah hasil pemikiran
filosof tentang keTuhanan, kenabian, kemanusiaan, dan alam yang disinari ajaran Islam
dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis, serta memaparkan secara luas
tentang teori ada (ontologi), menunjukan pandangannya tentang waktu, ruang, materi
dan kehidupan. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara
aqidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat, dan menjelaskan kepada
manusia bahwa wahyu tidak bertentangan akal.
Hubungan antara filsafat Islam Dan filsafat Yunani tidak dapat ditolak bahwa filsafat
Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani, karena kontak umat islam dengan kebudayaan
Yunani bersamaan waktunya dengan penulisan ilmu-ilmu Islam, maka masuklah
kedalamnya unsur-unsur kebudayaan Yunani yang memberi corak tertentu, terutama
dalam bentuk dan isi. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hubungan filsafat
Islam dengan filsafat Yunani adalah sebagai pengembang dan penerus sekaligus
pelopor filsafat yang bercorak Islam yang di sebarkan ke berbagai dunia Barat.
1. Suggested Reading
Hanafi, Ahmad, 1996, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Madkur, Ibrahim, 1996, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, Jakarta: PT. Raja
Grifindo Persada.
Nasution, Hasyimsyah, 2013, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
1. Praja, Juhaya, 2013, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zar, Sirajuddin, 2014, filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
1. Latihan
2. a) Soal Pilihan Ganda
3. Kata “falsafah ” berasal dari bahasa….
4. Inggris
5. Yunani
6. Amerika
7. Arab
8. Jepang
2. Siapakah orang yang berbendapat bahwa “filsafat yunani sebenarnya pertama kali
diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karya terjemahan berbahasa Arab, lalu
kedalam bahasa Yahudi, dan baru kemudian dalam bahasa Latin atau langsung dari
bahasa Arab kebahasa Latin”….
3. Al-Al-Farabi
4. TaufiqYatul
5. Oliver Leaman
6. Max Horten
7. De Boer
4. Hubungan Filsafat Islam dan Filsafat Yunani dibagi kedalam dua kajian, yaitu….
5. Tasyri dan Syariah
6. Comologia dan Antropologia
7. Historis dan Doktrin
8. Renaisans dan Skolastik
9. Determinisme dan Transmitters
8. Pengidentikan dua makna terbukti bahwa sejak awal filsafat diartikan sebagai…
9. The love of wisdom atau wisdom for love
10. Of wisdom the loveataufor love wisdom
11. The wisdom of love atau love for wisdom
12. The love of wisdom atau love for wisdom
13. The of love wisdom matau for wisdom love
9. Yang mengatakan bahwa “Filsafat adalah keterangan rasional tentang sesuatu yang
merupakan prinsip umum yang disana seluruh kenyataan dapat di jelaskan ”terdapat
dalam….
10. Bakry, 1971: 11
11. Kamus Runes, 1971: 253
12. Encyclopedia of Philosophy, 1967: 216
13. Special science, 1964: 432
14. Wisdom, 1965: 765
1. b) Soal Essay
2. Jelaskan kajian hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani !
3. Jelaskan makna Filsafat Islam dalam kajian Historis !
4. Jelaskan beberapa pengertian Filsafat Islam yang andaketahui !
5. Sebutkan objek filsafat yang terdapat dalam buku Filsafat Agama; Titik Temu Akal
dengan wahyu karya Hamzah Ya‟qub !
6. Tuliskan ayat-ayat Al-Qur‟an yang mengajak kita untuk berfilsafat minimal 3 ayat !
1. Daftar Istilah
2. Filosof muslim
3. The love of wisdom
4. Tasyri
5. Syariah
6. Comologia
7. Antropologia
8. Historis
9. Doktrin
10. Renaisans
11. Skolastik
12. Akomodatif
BAB III
AL-KINDI
Kisah lain tentang Al-Kindi digambarkan dalam karikatur Al-Jahiz dalam kitab Al-
Bukhala. Betapa pun, Al-Kindi hidup mewah di sebuah rumah, yang didalam kebun
rumahnya, ia memelihara banyak binatang langka, ia hidup menjauh dari masyarakat,
bahkan dari tetangga-tetangganya. Sebuah kisah menarik oleh Al-Qifti memaparkan
bahwa Al-Kindi bertetangga dengan saudagar kaya, yang tak pernah tahu bahwa Al-
Kindi adalah seorang tabib ahli. Ketika anak sang saudagar tiba-tiba lumpuh, dan tak
seorang tabibpun di Bagdad mampu menyembuhkannya, seseorang memberi tahu
sang saudagar bahwa ia bertetangga dengan filosof tercemerlang, yang amat pandai
mengobati penyakit seperti itu. Al-Kindi mengobati anak yang sakit lumpuh itu dengan
musik.
2. Karya-Karya Al-Kindi
Dalam masalah jumlah karangan Al-Kindi sebenarnya sukar ditentukan karena dua
sebab. Pertama, penulis biografi tidak sepakat penuturannya tentang jumlah
karangannya sebagai mana dijelaskan di atas. Ibnu An-Nadim dan Al-Qafthi menyebut
238 risalah (karangan pendek) dan Sha‟id Al-Andalusi menyebutnya 50 buah,
sedangkan sebagaian dari karangan tersebut telah hilang musnah. Kedua, diantara
karangannya yang sampai kepada kita, ada yang memuat karangan-karangan lain. Isi
karangan-karangan tersebut bermacam-macam, antara lain filsafat, logika, musik,
aritmatika, dan lain-lain. Al-Kindi tidak banyak membicarakan persoalan-persoalan
filsafat yang rumit dan yang telah dibahas sebelumnya, tetapi ia lebih tertarik dengan
definisi-definisi dan penjelasan kata-kata, dan lebih mengutamakan ketelitian
pemakaian kata-kata dari pada menyelami problema filsafat. Pada umumnya, karangan
Al-Kindi berbentuk ringkas dan tidak mendalam.
Karena sebagaian besar karangannya telah hilang, sukar sekali untuk memberikan
penilaian yang tepat terhadap buah pikirannya. Sekalipun demikian, hal ini tidak
mengurangi penghargaan terhadapnya sebagai seorang filosof yang pertama-tama
memberikan ulasan dan kritiknya terhadap buku-buku filsafat dari masa-masa
sebelumnya. Karangannya yang terkenal ditemukan oleh seorang ahli ketimuran
Jerman, yaitu Hillmuth Ritter, di perpustakaan Aya Sofia, Istambul terdiri dari 29 risalah.
Gambaran karya Al-Kindi menunjukkan betapa luas pengetahuan Al-Kindi. Beberapa
karya ilmiahnya telah diterjemahkan oleh Geran dari Cremona kedalam bahasa latin,
dan karya-karya itu sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan.
Beberapa karya Al-Kindi, baik yang ditulis sendiri atau ditulis ulang oleh penulis lainnya,
di antaranya:
Hanya Ruh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke Alam Kebenaran itu. Ruh
yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil
membersihkan diri di sana, baru ia pindah ke merkuri, dan demikianlah, ia naik
setingkat demi setingkat sehingga pada akhirnya, setelah benar-benar bersih, ia sampai
ke Alam Akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan. Jiwa mempunyai
tiga daya: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir (Amir, 2002: 34). Daya
berpikir itu disebut akal. Menurut Al-Kindi, ada tiga macam akal, yaitu akal yang bersifat
potensial; akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual; dan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas yang disebut akal yang kedua.
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan
yang menggerakannya dari luar. Oleh karena itu, bagi Al-Kindi, ada lagi satu macam
akal yang mempunyai wujud di luar Ruh manusia, dan bernama: akal yang selamanya
dalam aktualitas. Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas membuat akal yang
bersifat potensial dalam Ruh manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini adalah (1) Ia
merupakan Akal Pertama; (2) Ia selamanya dalam aktualitas; (3) Ia merupakan spesies
dan genus; (4) Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir; (5) Ia tidak sama
dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya. Bagi Al-Kindi, manusia disebut menjadi
akil jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar
itu. Akal pertama ini, bagi Al-Kindi, mengandung arti banyak karena dia adalah
universal. Sebagai limpahan dari Yang Maha Satu. Akal inilah yang pertama-tama
merupakan yang banyak.
1. Falsafah Alam
Alam dalam sistem Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu,
karena gerak alam seabadi penggerak tak tergerakkan (Unmovable Mover). Keabadian
alam, dalam pemikiran islam, ditolak, karena Islam berpendirian bahwa alam diciptakan.
Filosof-filosof Muslim, dalam menghadapi masalah ini, mencoba mencari pemecahan
yang sesuai dengan agama. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dituduh sebagai atheis karena
mereka sependapat dengan Aristoteles; mereka berpendapat bahwa alam ini kekal.
Al-Kindi, berbeda dengan para filosof besar penggantinya, menyatakan alam ini tak
kekal. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas
gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik terdiri atas
materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang,
dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang begitu erat kaitannya dengan
fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam
keterbatasan. Waktu bukanlah gerak; melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu
tak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu
tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi
berkesinambungan. Oleh karena itu, waktu dapat ditentukan, yang berproses dari dulu
hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang
berikut. Waktu adalah berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan
tentang kuantitas. Ruang, gerak, dan waktu adalah kuantitas. Pengetahuan tentang
ketiganya ini, dan dua yang lainnya adalah penting guna mengetahui kualitas dan
kuantitas. Sebagaimana di sebutkan di atas, orang yang tak mengetahui kuantitas dan
kualitas, tak mengetahui yang pertama dan yang kedua. Kualitas adalah kapasitas
untuk menjadi sama dan tidak sama; sedangkan kuantitas adalah kapasitas untuk
menjadi sejajar dan tak sejajar. Oleh karena itu, tiga gagasan tentang kesejajaran,
kelebihbesaran dan kelebihkecilan, menjadi asas dalam memaparkan konsepsi tentang
keterbatasan dan ketakterbatasan Al-Kindi. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang
terdiri atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan bergerak di dalam waktu,
adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak
kekal. Hanya Allah-lah yang kekal (Nasution, 1995: 23)
Ruh adalah suatu wujud sederhana, dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta, persis
sebagaimana sinar terpancar dari matahari. Ruh bersifat spiritual, keTuhanan, terpisah
dan bebeda dari tubuh. Bila dipisahkan dari tubuh, Ruh memperoleh pengetahuan
tentang segala yang ada di dunia, dan melihat hal yang dialami. Setelah terpisah dari
tubuh, ia menuju kea lam akal, kembali ke Ruh Sang Pencipta, dan bertemu dengan-
Nya. Ruh tak pernah tidur, hanya saja ketika tubuh tertidur, ia tak menggunakan indra-
indranya. Dan bila disucikan, Ruh dapat melihat mimpi-mimpi luar bisaa dalam tidur dan
dapat berbicara dengan Ruh-Ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka.
Gagasan serupa terpaparkan dalam tulisan Al-Kindi bahwa “Tidur ialah menghentikan
penggunaan indrawi. Bila Ruh berhenti menggunakan indrawi, dan hanya
menggunakan nalar, ia bermimpi.”
Al-Kindi membagi akal dalam empat macam; (1) akal yang selalu bertindak; (2) akal
yang secara potensial berada di dalam Ruh; (3) akal yang telah berubah, di dalam Ruh,
dari daya menjadi aktual; (4) akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksud dengan
akal kedua, yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan
dan yang mempraktikannya (Supriyadi, 2013: 50).
Jalannya akal ini diterangkan kembali oleh Al-Kindi dalam risalahnya “Filsafat Awal”. Ia
berkata, “Bila genus-genus dan spesies menyatu dengan Ruh, mereka menjadi terakali.
Ruh benar-benar menjadi rasional setelah menyatu dengan spesies. Sebelum menyatu,
Ruh berdaya rasional. Segala suatu yang maujud dalam bentuk daya tak dapat menjadi
aktual, kecuali bila dibuat oleh sesuatu dari daya menjadi aktual. Genus-genus dan
spesies itulah yang menjadikan Ruh, yang berupa daya rasional, menjadi benar-benar
aktual yang menyatu dengannya”.
1. Astronomi
Ilmu astronomi, dalam Islam disebut ilmu falak. Ilmu astronomi adalah ilmu yang
mempelajari benda-benda langit, seperti matahari, bulan bintang dan planet-planet lain.
Ilmu ini ditemukan dalam waktu lama, sekitar 3000 tahun SM di Babylonia. Dalam
perkembangan ilmu astronomi, muncullah sistem penanggalan. Pentingnya ilmu
astronomi, karena sangat mendukung penentuan waktu ibadah, terutama waktu salat,
penentuan arah kiblat dan penanggalan Qamariyah. Khalifah Abu Ja‟far Al-Mansur
ketika menentukan letak ibukota yang ingin dibangunnya, menggunakan bantuan ilmu
astronom. Beliau banyak dibantu oleh ahli astronomi dari India. Ilmuwan muslim
mendirikan observatorium yang dilengkapi peralatan yang maju. Di antara ilmuwan
muslim dalam bidang ini adalah Ibrahim Al-Fazari (penemu astrolob/ alat pengukur
tinggi dan jarak-jarak bintang), Nasiruddin Al-Thusi (pendiri Observatorium di Maragha,
Asia kecil), dan Ali bin Isa Al-Usturlabi, tokoh pertama penulis risalah astrolobe. Selain
itu juga muncul tokoh ilmu falak yaitu Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi, yang juga
ahli dalam bidang matematika.
1. Kedokteran
Pada masa Dinasti Abbassiyah, ilmu kedokteran mendapatkan perhatian paling besar.
Semua khalifah memiliki dokter pribadi. Dokter-dokter ini, banyak berjasa dalam
menerjemahkan karya-karya kedokteran dari bahasa non-Arab. Pada masa khalifah
Harun Al-Rasyid, tercatat sebanyak 800 orang dokter, yang mencerminkan kemajuan
pengetahuan dalam bidang kedokteran.
Pada tahun 865 M, Khalifah Abu Ja‟far Al-Mansur meminta para dokter dari Jundisapur
untuk mengobati sakitnya, yaitu dizpepsia (radang selaput lendir lambung). Dokter Jirjis
Bukhtyshuri berhasil mengobati penyakit tersebut, sehingga khalifah memindahkan
pusat kedokteran dari Jundisapur ke Bagdad. Pada masa dinasti Abbasiyah didirikan
rumah sakit yang juga dijadikan sebagai pusat kegiatan pengajaran ilmu kedokteran,
sedangkan teorinya diajarkan di masjid dan madrasah. Ali bin Rabban at-Tabbari
adalah orang pertama yang mengarang buku kedokteran yiatu Firdaus al-Hikmah (850
M).
Ilmuwan muslim yang terkenal dalam bidang kedokteran adalah Ibnu Sina (Abu Ali
Husain bin Abdillah (370 – 439 H/980 – 1037 M). Dalam bidang ini, ia berhasil
menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Dia menjadi terkenal, karena
bukunya diterjemahkan di Eropa pada pertengahan kedua bad 15 M dan dijadikan
pegangan dalam bidang kedokteran hingga sekarang. Dia adalah pengarang buku
kedokteran Qanun fi al-Thibb.
1. Matematika
Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (194 – 266 H) adalah tokoh ilmuwan matematika
yang menyusun buku aljabar, yaitu Al-Jabr wal-Muqabalah. Beliau juga menemukan
angka nol. Angka 1 s.d 9 berasal dari India yang dikembangkan oleh dunia Arab,
sehingga angka ini disebut dengan Angka Arab, kemudian setelah dipopulerkan oleh
bangsa latin disebut angka latin. Umar Khayyam (1048-1131 M) mengarang buku
tentang aljabar, yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Perancis oleh F. Woepeke
(1857), yaitu Reatise on Algabera.
1. Filsafat
Ilmu filsafat banyak diterjemahkan dari Yunani kedalam bahasa Arab. Buku-buku yang
diterjemahkan antara lain Categories, Pyssices dan Makna Maralia karya Aristoteles.
Republik, Laws, da Timaeus karya Plato. Pada masa khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-
Makmun, kaum muslimin sibuk mempelajari ilmu filsafat, menerjemahkan dan
mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai ajaran Islam, sehingga muncul ilmu
filsafat Islam. Ilmu filsafat Islam adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat yang ada, sebab asal dan hukumnya atau ketentuan-ketentuannya
berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadits. Setelah penerjemahan buku-buku filsafat, dalam
kurun waktu 50 tahun muncullah tokoh-tokoh filsafat Islam. Tokoh-tokoh filsafat yang
dikenal pada masa ini, yaitu Al-Kindi, Al-Al-Farabi dan Ibnu Rusyd.
Al-Kindi yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya‟qub bin Ishak Al-Kindi, dikenal
dengan sebutan Failasuf Al-Arabi (Filosof Arab), karena dia adalah seorang tokoh
keturunan Arab murni. Al-Kindi melakukan Islamisasi pemikiran Yunani. Al-Al-Farabi
yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Turkhan Abi Nasir Al-Al-Farabi. Dia
bekerja di Istana Saif Ad-Daulah Al-Hamdani. Dia dikenal dengan julukan Guru kedua
(Muallim At-Tsani). Sedangkan guru pertama adalah Aristoteles. Ibnu Rusyd dikenal
dengan Averroes. Dia adalah pemikir filsafat Islam yang lahir di Cordova, Spanyol dan
banyak berpengaruh di Eropa, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut
Avorroisme.
1. Arsitektur
Pada masa Daulah Bani Abbasiyah, banyak dibangun kota-kota baru di berbagai
daerah. Bagdad dibangun oleh Abu Ja‟far Al-Mansur (754 – 775M) Samara dibangun
oleh Khalifah Al-Mu‟tashim, yang kemudian dijadikan sebagai ibukota negara, setelah
Bagdad Qata‟iu dibangun oleh Ahmad Ibnu Thoulun (Gubernur Mesir) dan dijadikan
sebagai ibuktoa wilayah Mesir. Qahirah (Kairo) dibangun oleh panglima perang Dinasti
Fatimiah yang bernama Jauhar AL-Katib as-Saqali, setelah menguasai mesir tahun
969.
1. Tafsir
Tokoh yang disebut sebagai pemuka ahli tafsir adalah At-Tabari yang memiliki nama
lengkap Abu Ja‟far Muhammad at-Tabari. Beliau menyusun kitab tafsir berjudul Jami‟
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur‟an (Himpunan Penjelasan dalam Al-Qur‟an). Corak penafsiran
At-Tabari adalah tafsir bil ma‟tsur (penafsiran dengan menyandarkan pada ayat Al-
Qur‟an, hadits dan ijtihad sahabat). Setelah itu, banyak bermunculan
tokoh mufassir (ahli tafsir). Metode yang digunakan pun berkembang menjadi
metode tafsir bir-ra‟yi (penafsiran dengan menyandarkan pada akal). Contoh: Mafatihul
Gaib (karya Fakhruddin Ar-Razi).
1. Hadits
Hadits yang merupakan tradisi lisan sejak masa Rasulullah, sahabat hingga tabiin telah
mengalami banyak permasalahan. Di antaranya adalah pemisahan antara hadits
dengan qaul sahabat, klasifikasi hadits, dan pemalsuan hadits. Untuk mengatasi hal
tersebut, para ulama melakukan penelusuran dan pengklasifikasian hadits-hadits Rasul
tersebut. Para tokoh ahli hadits telah menghimpun hadits-hadits rasul kedalam berbagai
kitab, berupa Sahih, Sunan dan Musnad.
Usaha ini diawali oleh Ishak bin Rawaih, kemudian dilanjutkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim yang menulis kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Berikutnya Abu Dawud,
Tirmizi, Nasa‟i dan Ibnu Majah yang menyusun kitab Sunan. Dari dua kitab Sahih dan
empat Sunan, disebut dengan Kutubus-sittah (Enam Kitab Induk Hadits). Adapun
kitab musnad disusun oleh Ahmad bin Hanbal, Musa Al-Abasi, Musaddad al-Basri Asad
bin Musa dan Nu‟aim bin Hamad al-khaza‟i.
1. Fikih
Perkembangan ilmu fikih melahirkan aliran dalam mazhab. Empat mazhab yang
terkenal adalah Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali.
1. Ringkasan
Al-Kindi adalah filosof Islam yang mula-mula secara sadar berupaya mempertemukan
ajaran-ajaran islam dengan filsafat yunani. Sebagai seorang filosof, Al-Kindi amat
percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang
realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk
mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karenanya menurut Al-Kindi diperlukan adanya
Nabi yang mengajarkan hal-hal diluar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari
wahyu Tuhan. Dengan demikian, Al-Kindi tidak sependapat dengan para filosof yunani
dalam hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama islam yang
diyakininya. Misalnya mengenai kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula
tiada, berbeda dengan pendapat aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak
diciptakan dan bersifat abadi. Oleh karenanya Al-Kindi tidak termasuk filosof yang
dikritik Al-Ghazali dalam kitabnya tahafut al-falasifah (kerancuan para filosof).
1. Suggested Reading
Basri Hasan dan Mufti Zaenal. 2009. Filsafat Islam Sejak Klasik sampai
Modern. Bandung. Insan Mandiri.
Bakar Ahmad, 1998. Filsafat Islam, Semarang, CV. Toha Putra.
Amir An-Najar, 2002 ”Al-ilmu An-Nafsi Ash-Shufiyah”, Terj. Hassan Abrari, Pustaka Abu
Amroeni Drajat. 2006. Filsafat Islam, Jakarta, Penerbit Erlangga.
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung. Pustaka
setia.
Supriyadi. Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam (konsep, filosof, dan
ajarannya). Bandung. Pustaka Setia.
Nasution, Harun 1985. Islam Ditinjau Dari Segi Aspeknya, jakarta, UI, Pres, Cet V.
Nasution, Harun 1995. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan bintang.
Hasyimsyah Nasution. 2002. filsafat islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, cet III.
Madkur Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Yogyakarta, Bumi Aksara.
Syarif, 1996. Para Filosof Muslim, Jakarta: Edisi Indonesia , Mizan.
1. Latihan
2. a) Soal Pilihan Ganda
3. Nama tokoh filsafat islam Al-Kindi dilahirkannya di daerah?
4. Kuffah Baghdad
5. Iraan Mesir
5. Pada masa pemerintahan siapakah Al-qindi dipercaya sebagai guru pribadi untuk
putra raja?
6. Al-makmun Al-rasyid
7. Al-mu‟tasim Al-mahdi
10. Karya-karya Al-qindi berupa buku daras tapi jumlahnya amat banyak, yang hasil
karyanya ditbitkan oleh Prof. Ahmad Fu‟ad Al-ahwani yang berjudul ?
11. Surat Al-qindi kepada Mu‟tashim Billah tentang filsafat pertama
12. Buku daras-buku daras filsafat Al-qindi
13. Bumi yang selamanya kekal
14. Wahyu diturunkan kepada yang suci
1. b) Soal Essay
2. Sebutkan beberapa filsafat Al-Kindi?
3. Sebutkan risalah jalannya akal (filsafat awal) yg diterangkan kembali oleh Al-Kindi?
4. Berapa macamkah Al-Kindi membagi filsafat akal?
5. Al-Kindi merupakan filosof pertama dalam islam, kemudian Ia memberikan
pandangan berbeda tentang menyelaraskan antara agama dan filsafat, coba
sebutkan?
6. Jelaskan pengertian filsafat Al-Kindi tentang Ruh?
1. Daftar Istilah
2. Philosophy
3. Al-Bukhala.
4. Risalah
5. Al-Hudud
6. Divine science, Pengetahuan Ilahi
7. Human science, Pengetahuan Manusiawi
8. Haqq,
9. Knowledge of truth , pengetahuan tentang yang benar
10. Ruh
11. Metafisik
12. Juz‟iyah
13. Paltikular
14. Qanun fi al-Thibb
BAB IV
AR-RAZI
1. Standar Kompetensi:
Mampu memahami definisi, ruang lingkup dan Urgensi materi mengenal Filsafat Islam.
Kompetensi Dasar:
Mampu memahami Biografi, karya-karya dan pemikiran atau filsafatnya dari filosof Ar-
Razi serta bagaimana mengaktualisasikan kedalam dunia keseharian.
2. Karya-karya Al-Razi
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga tidak
mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu
falak, matematika, kimia, kedokteran,dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai ahli kimia
dan ahli kedokteran dibanding sebagai seorang filosof. Ia sangat rajin menulis dan
membaca, agaknya inilah yang menyebabkan penglihatannya berangsur-angsur
melemah dan akhirnya buta total. Al Razi meninggalkan banyak sumbangan pemikiran
yang terjelma dalam bentuk tulisan. Dari karya-karya yang pernah disusunya, terlihat
jelas bahwa dia sosok seorang rasionalis yang juga pendukung kaum naturalis kuno.
Konsepsi pemikiran soal pemahaman agama, khususnya pandangan persoalan
kenabian banyak mendapat kecaman dan caci maki dari musuh-musuh ideologis yang
tidak sepaham dengannya. Salah seorang penentang al-Razi yang paling keras adalah
Abu Hatim (W. 322 H), cendikiawan aliran Isma‟iliyah dan abu Qasim Al-Balkhi,
pemimpin Mu‟tazilah Baghdad dan Ibnu Tammar, penulis ternama yang menolak
pemikiran Al- Razi dalam Al Thibb Al Ruhani (Basri, 2009: 55).
Al-Razi telah menghasilkan banyak karangan, Ibnu Abi Usaibiyah meriwayatkan bahwa
Al-Razi telah merilis 232 buku dan risalahnya. Mayoritas berkaitan dengan kedokteran
dan yang lain berhubungan dengan logika, fisika, metafisika, keTuhanan, Ilmu Mata,
kimia, biologi arsitektur. Sebagaian kalangan merincikan hasil karya al-Razi seperti
yang diyakini Nadhim: 118 buku, 19 surat, 4 syarah, dan 7 Makalah. Dalam disiplin
kedokteran , karya-karya Al-Razi meliputi persoalan-persoalan dalam tema-tema
seperti diet dan perawatan, lumpuh, diabetes radang sendi, mulas dan encok, anatomi
liver, mata, kandung kemih, telinga dan jantung bahkan studi tentang pembesaran pupil
mata. Al-Razi juga menulis karya-karya tentang berahi, sengggama, ketelanjangan, dan
efek mematikan penyakit simoom. Sebagaian kalangan menilai bahwa Al-Razi dalam
menyelesaikan karya pemikirannya sering merujuk pada karya Galen dalam buku That
the Outsanding Fisician Must Also Be A Filosofer. Akan tetapi sebagaian karangan
tersebut tidak sampai ke tangan cendikiawan setelahnya. Berikut daftar karya-karya Al
Razi:
Kitab al-Asrar yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Geard of Cremon.
Al-Hawi yang merupakan ensiklopedi ilmu kedokteran, diterjemahkan kedalam
bahasa Latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku
pegangan utama dikalangan kedokteran Eropa sampai abad ke-16.
Kitab al-Jidar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit
campak beserta pencegahannya, diterjemahkan orang kedalam berbagai bahasa
barat dan terakhir kedalam bahasa Inggris tahun 1847 M, dan dianggap buku
bacaan wajib Ilmu kedokteran barat.
Al-Mansuri Liber Al Mansori; doktrin kedokteran sepuluh jilid.
Al-Thibb Al-Ruhaini; pemikiran komprehensif Filsafat.
Sirah Al falsafiyah;karangan soal sejarah filsafat
Amarah Iqbal Al-Daulah
Kitab Al Ladzdzah
Kitab Al-Ilmu Al-Ilahi
Maqolah fi Ma Ba‟dah
Sedang bukunya yang paling besar adalah “Al Hawi”. Buku tersebut merupakan sebuah
ensiklopedia dan telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh seorang Yahudi.
Namanya adalah Faraj Ibnu salim. Adapun di antara karya-karyanya yang lain adalah :
Risalah tentang filsafat, pengobatan Ruhani, sejarah filsafat, Maqolah tentang
Metafisika, Maqolah tentang fiimaratil al iqbali wa al daulah, tentang kelezatan dan ilmu
keTuhanan serta ilmu prinsip yang kekal (Sudarsono, 2004: 55).
1. Filsafat Rasionalis
Al-Razi adalah rasionalis murni yang menitik-tolakan seluruh pemikiran dan
kecenderungannya pada keampuhan daya rasional. Di bagian pengantar karya Al-tib
Al-Ruhani, al- Razi menulis; Tuhan, segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal
agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyak manfaat; inilah karunia
terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan
yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang
jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula, kita nmemperoleh
pengetahuan tentang Tuhan, satu pengetahuan tertinggi yang kita peroleh (Basri, 2009:
58).
Di bagian yang sama, al Razi berupaya mengingatkan murid-muridnya untuk tidak
melecehkan peran penting akal. Hal ini dikarenakan Al-Razi meyakini bahwa akal
merupakan alat penentu, pusat pengendali dan pemberi perintah kepada manusia
menuju kebaikan. Al Razi memiliki kecenderungan empirik dalam memandang
keseluruhan objek filsafat. Studi klinis kedokterannya membantu Al-Razi dalam
menentukan metode yang kuat dijadikan fondasi pemikiran filsafat secara keseluruhan.
Melalui studi klinis kedokteran ini, Al-Razi mencoba untuk berpijak pada metode
observasi dan eksperimen dalam filsafat. Metode observasi dan eksperimen yang
diyakini Al-Razi, ternyata terbukti banyak berfungsi dalam mengkritisi pandangan
kosmologis dan medis. Dalam hal ini al Razi mengklaim bahwa kedokteran bersandar
pada filsafat, dengan asumsi „Praktik yang baik hanya akan lahir dari pemikiran bebas”.
Tidak hanya disiplin kedokteran, keseluruhan disiplin ilmu bersandar pada filsafat dan
kerap berhubungan dengan filsafat.
Hanya akal logislah yang merupakan kriteria tunggal pengetahuan dan perilaku. Tak
ada kekuatan irasional dapat dikerahkan. Ar-Razi menentang kenabian, wahyu,
kecenderungan berfikir irasional. Manusia lahir dengan kemampuan yang sama untuk
meraih pengetahuan. Hanya melalui pemupukan kemampuan inilah, manusia menjadi
berbeda, ada yang menggunakannya untuk spekulasi dan belajar, ada yang
mengabaikannya atau mengarahkannya untuk kehidupan praktis (Supriadi, 2013: 76).
Sebagai seorang rasionalis, Ar-Razi menolak anggapan yang meyakini bahwa manusia
membutuhkan nabi untuk keteraturan hidup. Baginya akal sudah merupakan anugrah
terbesar yang cukup untuk keteraturan hidup. Kekuatan akal mampu menjawab semua
lingkup pengetahuan. Termasuk juga pengetahuan tentang Tuhan. Sebagaian kalangan
beranggapan bahwa al-Razi mengupayakan sakralisasi akal dan menjadikan kekuatan
akal sebagai alat penolak kenabian (Basri, 2009: 66).
Dambaan akal merujuk pada kekuasaan tertinggi. Karena pendapat semacam itu
berarti menantikan segalanya, kecuali melalui akal. Ar-Razi memang menentang
kenabian wahyu dan kecenderungan berfikir irasional. Segalanya harus masuk akal
ilmiah dan logis. Sehingga akal sebagai kriteria prima dalam pengetahuan dan prilaku
(Mustofa, 1997: 118).
Alasan-alasan yang digunakan al-Razi dalam penolakan atas para Nabi, secara ringkas
dapat dirinci:
1. Filsafat Moral
Filsafat ini dapat digali dari karyanya: Ath-Thibb Ar-Ruhani dan Ash-Shirat Al-
Falsafiyyah. Ia menjelaskan teorinya tentang kesenangan. Baginya, kebahagiaan tidak
lain adalah kembalinya apa yang telah tersingkir oleh kemudharatan, misalnya, orang
yang meninggalkan tempat yang teduh menuju ke tempat yang penuh sinar matahari
dan panas akan senang ketika kembali ke tempat yang teduh tadi. Dengan alasan ini,
kata Ar-Razi, para filosof alami mendefinisikan kebahagiaan sebagai kembali kepada
alam. Ar-Razi mengutuk cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada
hawa nafsu. Ia juga mengutuk kepongahan dan kelengahan karena hal itu menghalangi
orang dari belajar lebih banyak dan bekerja lebih baik. keirihatian merupakan
perpaduan kekikiran dan ketamakan. Orang yang iri hati adalah orang yang merasa
sedih bila orang lain memperoleh suatu kebaikan, meskipun tidak ada keburukan
menimpa dirinya Orang yang memiliki keirihatian tidak akan mendapatkan
kesenangan,(Supriadi, 2013: 78).
Filsafat moral atau etika ar-Razi sangat bijak. Bahkan, intelektualisme eklusif yang
tampaknya ada dalam dirinya sendiri, mengikuti saran Galen bahwa kita dapat
menemukan keburukan-keburukan kita sendiri dengan memperhatikan kritik-kritik dari
musuh kita, diakui sebagai keburukan karena daya rusaknya terhadap kesehatan dan
ketenangan pikiran kita, dan karena rasa frustasi yang tak terelakkan yang diakibatkan
oleh tak terpenuhinya ambisi intelektual. Karena itu, “kesenangan” menurut Ar-Razi
“menjadi hakimnya akal dan bukan alasan untuk bersenang-senang” (Supriadi, 2013:
79). Jadi segala perbuatan manusia harus bersandar pada akal, bahkan hawa nafsu
pun harus dikekang oleh akal dibantu dengan ketetapan aturan agama. Sehingga
manusia tidak akan terjerumus pada perbuatan amoral.
1. Ringkasan
Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Al-Razi.
Dalam wacana keilmuan Barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Beliau dilahirkan di
Ray (bagian selatan Teheran ), di propinsi khurasan di sebuah kota tua yang dulu
bernama Rhogee, tanggal 1 sya‟ban 250 M/ 864 M. Ia adalah salah seorang dokter
terbesar sepanjang abad pertengahan. Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin
belajar dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis.
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran,dan filsafat. Ia
lebih terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai seorang filosof.
Al-Razi telah menghasilkan banyak karangan; Ibnu Abi Usaibiyah meriwayatkan bahwa
Al-Razi telah merilis 232 buku dan risalahnya Berkaitan dengan kedokteran dan yang
lain berhubungan dengan logika, fisika, metafisika, keTuhanan, Ilmu Mata, kimia, biologi
arsitektur. Pemikiran Filsafat Al-Razi terdiri dari filsafat Lima Kekal, filsafat Rasionalis,
dan filsafat Moral.
1. Suggested Reading
Basri, Hasan, Mufti, Zaenal. 2009. Filsafat Islam. Bandung: CV Insan Mandiri.
Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia
Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sudarsono, 2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Supriadi, Dedi, 2013. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
1. Latihan
2. Pilihan Ganda
3. Al-Kindi sering disebut juga sebagai..
A.Ahli filsafat Arab C.Ahli Filsafat inggris
B.Barsah D.Belanda
A.Penulis C.Pelukis
B.Tabib D.Guru
B.Penulis D.Pelukis
A.Al-Balkhi C.An-Nadim
B.Al-Bhulkhi D.Al-Shari
B menonton D.Kecelakaan
1. Soal Essay
2. Sebutkan minimal 3 karya Ar-Razi yang kamu ketahui!!
3. Ada berapa filsafat yang dimiliki oleh Ar-Razi,sebutkan!!
4. Mengapa Ar-Razi memposisikan akal sebagai penguasa,atau pengendali dalam
setiap pengambilan keputusan?
5. Apa saja kekekalan lima hal Ar-Razi sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Biruni?
6. Apa yang dimaksud dengan waktu absolut?
1. Daftar Istilah
2. Rhazes
3. Al Thibb Al Ruhani
4. Logika
5. Fisika
6. Metafisika
7. KeTuhanan
8. Ilmu Mata
9. Kimia
10. Biologi
11. Arsitektur
12. Lima Kekal
13. Independen
14. Al-hayula al-ula
15. Substansi, jauhar
16. rasionalis murni
17. Ash-Shirat Al-Falsafiyyah
18. kenabian
19. Filsafat Moral
20. Al-Qur‟an
21. Mukjizatnya
BAB V
AL-FARABI
(Al-Mu‟allim Ats-Tsani)
1. Standar Kompetensi:
Mampu memahami definisi, ruang lingkup dan Urgensi materi mengenal Filsafat Islam.
Kompetensi Dasar:
Mampu memahami Biografi, karya-karya dan pemikiran atau filsafatnya dari filosof Al-
Farabi serta bagaimana mengaktualisasikan kedalam dunia keseharian.
Pada waktu mudanya, Al-Farabi pernah belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad
kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus Ibnu
Yunus, Seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan Filsafat Yunani, dan
belajar kepada Yuhana Ibnu Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat
kebudayaan Yunani di Asia kecil, dan berguru kepada Yuhana Ibnu Jilad. Akan tetapi,
tidak berapa lama, ia kembali selama 20 tahun. Di Baghdad juga, ia membuat ulasan
terhadap buku-buku Filsafat Yunani dan mengajar. Diantara muridnya yang terkenal
adalah Yahya Ibnu „Adi, filosof Kristen.
Al-Farabi, hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu, sehingga tidak dekat
dengan penguasa-penguasa Abbasiyah pada waktu itu. Saking gemarnya Al-Farabi
dengan dunia ilmu dan kegemarannya dalam membaca dan menulis, ia sering
membaca dan menulis di bawah sinar lampu penjaga malam. Al-Farabi di kenal dengan
filosof islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan
memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan
sempurna, sehingga filosof yang datang sesudahnya seperti Ibnu sina, dan Ibnu Rusyd
banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. Pandangannya yang demikian
mengenai filsafat, terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara
pemikiran Plato dan Aristoteles lewat risalahnya Al-Jam‟u baina Ra‟yay Al-Hakimain
Alfathun wa Aristhu. Amin, (1964: 88). Menyatakan bahwa Ibnu sina telah membaca
40 kali buku metafisika karangan Aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku itu
dihapalnya, tetapi belum memahaminya. Ibnu Sina baru memahami filsafat Aristoteles
setelah membaca buku Al-Farabi, Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba‟da Ath-
Thobi‟ah yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles. Karena
pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat yunani, terutama Plato dan
Aristoteles, ia dijuluki Al-Mu‟allim Ats-Tsani (guru kedua), sedangkan Al-Mu‟allim Al-
Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles. Diperkirakan erat kaitannya dengan situasi
politik yang demikian kisruh, Al-Farabi menjadi gemar berkhalwat, menyendiri, dan
merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk
pemerintahan yang ideal (Sjadzali, 1994: 51).
Al-Farabi dalam hidupnya tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah
satu jabatan pemerintah. Hal tersebut di satu pihak merupakan keuntungan, karena dia
tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan
kenegaraan, dan untuk menguji teori-teorinya dengan kenyataan politik yang hidup di
tengah kehidupan bernegara pada zamannya.
2. Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik,
ilmu alam, ke-Tuhanan, fiqh, dan manthiq. Oleh karena itu, banyak karya yang
ditinggalkan Al-Farabi, namun karya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu
sina. Hal ini terjadi karena karya-karya Al-Farabi hanya berupa risalah-risalah
(karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam
pembicaraanya. Kebanyakan karyanya telah hilang, dan yang masih dapat di baca dan
di publikasikan, baik yang sampai kepada kita tidak kurang lebih 30 judul saja. Di antara
judul karyanya adalah sebagai berikut :
Dari kitab-kitab di atas dengan berbagai macam objek kajian yang di tulis Al-Farabi,
terlihat dengan jelas bahwa Al-Farabi adalah sosok filosof, ilmuwan, dan cendekiawan
kaliber dunia yang ilmunya sangat luas dan dalam. Massignon, ahli ketimuran perancis
mengatakan bahwa Al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama. Sebelum dia,
Al-Kindi tidak menciptakan sistem filsafat tertentu dan persoalan-persoalan yang
dibicarakannya masih banyak yang belum memperoleh pemecahan yang memuaskan.
Sebaliknya, Al-Farabi telah menciptakan suatu sistem filsafat yang lengkap seperti
peranan yang dimiliki Plotinus bagi dunia barat.
Atas dasar pemikiran itu, apabila dalam suatu Negara, para anggota masing-masing
kelas seperti yang di ungkap di atas menjalankan tugasnya tanpa mencampuri tugas-
tugas yang lain, Negara itu dapat di pandang sebagai Negara yang utama (al-madinah
al-fadilah). Dalam kaitannya dengan kepemimpinan Negara, pandangan Al-Farabi mirip
dengan pandangan plato yang menyatakan bahwa Negara terdiri dari atas tiga kelas :
1. Terdiri dari pemimpin Negara yang mempunyai kewenangan memerintah serta
mengelola Negara; 2. Terdiri atas angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas
keamanan dan keselamatan Negara, baik terhadap rongrongan dari dalam maupun dari
luar; 3. Terdiri dari pandai besi, pedagang, dan petani.
1. Filsafat Praktis
Dalam karyanya, Tahsil Al-Sa‟addah, Al-Farabi memperlihatkan keidentikan real dan
konseptual dari gagasan para filosof, ahli hukum, dan imam, dan mengklaim bahwa
keragaman label religius dan filosofis hanyalah mencerminkan penekanan yang
berbeda atas aspek-aspek tertentu dari realitas yang sama. Ini berarti, dengan gaya
Platonik yang bagus bahwa orang yang tidak berupaya menerapkan kesempurnaan
teoritisnya untuk pencarian praktis dan politik tidak dapat mengklaim dirinya Filosof,
orang semacam itu menurut Al-Farabi hanyalah filosof yang “sia-sia” atau gagal.
Mengingat perlunya mengkomunikasikan filsafat kepada khalayak awam, filosof
semacam itu sudah selayaknya mempunyai kemampuan-kemampuan retorik, puitik,
dan imajinatif, dan dengan demikian juga memenuhi syarat-syarat kenabian seperti
yang diuraikan dalam bagian-bagian psikologis karya-karya politik Al-farabi.
Tentu saja, Al-Farabi mengakui bahwa kombinasi ideal kenabian dan filsafat,
kepemimpinan religius dan politik, kebajikan moral, dan intelektual dalam diri seorang
pengusaha merupakan sesuatu yang jarang terealisasikan dalam praktik politik.
Akibatnya, keselarasan antara keyakinan filsafat dan agama secara teoritis mungkin,
tetapi mensyaratkan perkembangan historis yang sangat khusus dan pemenuhan
syarat-syarat yang ideal ini, menjadi sulit, kalau bukan mustahil, untuk direalisasikan
dalam kenyataan. Oleh karena itu, kedua risalah politik utama Al-Farabi juga
menguraikan keagamaan penyimpangan dari keadaan ideal yang mungkin terjadi,
mengikuti gaya pembahasan plato mengenai rezim politik yang baik dan yang jahat
dalam Republik.
Pemahaman filsafat Praktis Al-Farabi dapat terlihat ketika ia membandingkan antar kota
fasik, kota jahat, dan kota sesat. Negara Fasik dan kota sesat adalah kota-kota yang
warganya sekarang atau dahulu mempunyai beberapa pengetahuan mengenai tujuan
kemanusiaan yang benar, tetapi gagal mengikuti pengetahuan tersebut. Kota jahat
adalah kota yang warganya sengaja meninggalkan tujuan yang baik demi tujuan yang
lain, sedangkan kota sesat adalah kota yang pemimpinnya secara pribadi mempunyai
pengetahuan yang benar tentang tujuan semestinya yang harus diikuti oleh kota ini,
tetapi pemimpin itu menipu warganya dengan mengemukakan citra-citra dan
gambaran-gambaran menyesatkan dari tujuan tersebut.
1. Ringkasan
Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan, seperti ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik,
ilmu alam, keTuhanan, fiqh, dan manthiq. Oleh karena itu, banyak karya yang
ditinggalkan Al-Farabi, namun karya tersebut tidak banyak diketahui seperti karya Ibnu
sina. Hal ini terjadi karena karya-karya Al-Farabi hanya berupa risalah-risalah
(karangan pendek) dan sedikit sekali yang berupa buku besar yang mendalam
pembicaraanya. Filsafat Al-Farabi antara lain membahas tentang Metafisika, Filsafat
kenegaraan, Filsafat Praktis juga Logika dan Filsafat Bahasa yang di jelaskan dengan
begitu detail sehingga AL-Farabi di juluki sebagai AL-Mu‟allim Ats-TSani (guru kedua)
setelah Aristotelles sebagai guru pertama.
1. Suggested Reading
Supriyadi Dedi. 2013. “Pengantar Filsafat Islam”. Bandung: Pustaka Setia.
Nasser, Hosen 2003. Al-Farabi” dalam Enslikopedia Tematis Filsafat Islam. Bandung:
Mizan
Amin Hoesin, Oemar, 1964. Filsafat islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Hasyimsah, ,2002. Filsafat islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
1. Latihan
1) Pertanyaan Pilihan Ganda
1. Nama lengkap dari Al-Farabi adalah ?
2. Abunaser Abu Nasr Ibnu Farab
3. Munawir Sjadzali Saif Ad-Daulah Al-Hamdani
4. Abu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Auzalagh.
2. Berikut ini adalah bahasa yang di kuasai oleh Al-Farabi, kecuali ?
3. Arab Kurdi
4. Persia Melayu
5. Turki
7. Pemikiran Filsafat Al-Farabi tentang manusia tidak sama satu sama lain di sebabkan
oleh factor ?
8. Perusahaan iklim
9. Kekayaan kecerdasan
10. Kedudukan/jabatan
1. b) Soal Essay
2. Mengapa Al-Farabi di juluki Al-Mu‟allim Ats-Tsani ?
3. Sebutkan keahlian di bidang keilmuan yang dimiliki Al-Farabi ?
4. Jelaskan apa yang dimaksud degan negeri yang tidak baik itu dengan macam-
macamnya ?
5. Yang dimaksud kota jahat dan kota sesat menurut pendapat Ibnu Sina adalah ?
6. Filsafat Al-Farabi membahas tentang apa saja ?
1. Daftar Istilah
2. Al-Mu‟allim Ats-Tsani
3. Metafisika
4. Astronomi
5. Kemiliteran
6. Musik
7. Ilmu alam
8. ke-Tuhanan
9. Fiqh
10. Manthiq
11. Cendekiawan
12. Logika
BAB VI
IBNU MISKAWAIH
Belum dapat dipastikan apakah Miskawaih itu dia sendiri atau dia itu putra (Ibnu)
Miskawaih, ia mula-mula beragama majusi, kemudian memeluk Islam. Akan tetapi, hal
ini barangkali benar bagi ayahnya, karena Miskawaih sendiri, sebagaimana tercermin
pada namanya adalah putra seorang muslim, yang bernama Muhammad
(Supriyadi, 2013: 110).
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu di jelaskan bahwa Ibnu
Miskawaih belajar sejarah terutama Tharikh Al-Tabhari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil
Al-Qadhi (350H/960 M) dan belajar filsafat pada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan
Karya-karya Aristoteles. Ada diantara penulis yang mengatakan bahwa Ibnu Miskawaih
sebelum masuk Islam beragama majusi. Kredibilitas statemen ini perlu diragukan,
karena dilihat dari namanya, Muhammad, menunjukkan nama orang muslim. Agaknya
benar yang di kemukakan Abdurrahman Badawi bahwa statemen ini lebih tepat
ditujukan kepada bapaknya. Ibnu Miskawaih seorang penganut syiah indikasi ini
didasarkan pada pengabdiaannya kepada Sulthan dan Wazir-Wazir syiah dalam masa
pemerintahan Bani Buwaih (320-448H). Ketika Sulthan Ahmad „Adhud Daulah
memegang tampuk pemerintahan, ia menduduki jabatan yang penting, seperti diangkat
menjadi Khazin. Penjaga perpustakaan yang besar dan bendahara negara. Miskawaih
mengkaji al-kimia bersama Abu Ath-Thayyib ar-Razi, seorang ahli al-kimia. Dari
beberapa pertanyaan Ibnu Sina dan At-Tauhid tampak bahwa mereka berpendapat
bahwa ia tak mampu berfilsafat, dia salah seorang pemikir teoritis, moralis, dan
sejarawan.
Miskawaih pernah bekerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan dengan
sejumlah wazir dan Amir Bani Buwaihi, yakni bersama Abu-Fadhl Ibnu Al-Amid
(360H/970M) sebagai pustakawannya. Setelah wafatnya Abu-Fadhl (360H/970M), ia
mengabdi kepada putranya Abu Al-Fath Ali bin Muhammad Ibnu Al-Amid, dengan nama
keluarga Dzu Al-Kifayatain. Ia juga mengabdi kepada adud Ad-Daulah, seorang
Buwaihiah, kemudian kepada beberapa pangeran yang lain dari keluarga terkenal itu.
Miskawaih meninggal 9 safar 421 H yang bertepatan dengan tanggal 16 februari 1032
M. Tanggal kelahirannya tak jelas. Menurut sebagaian orang, ia meninggal tahun
330H/ 941 M, tetapi menurut kami, ia meninggal kira-kira tahun 320H/932 M, bila bukan
pada tahun-tahun sebelumnnya, karena ia biasa bersama Al-Mahallabi, yang menjabat
sebagai wazir pada 339 H/ 950 M dan meninggal pada 352 H/963 M.
1. Al-Fauz Al-Akbar
2. Al-Fauz Al-Asghar
3. Tajarib Al-Umam
4. Uns Al-Farid
5. Tartib As-Sa‟adah
6. Al-Mustafha
7. Jawidan Khirad
8. Al-Jami
9. As-Siyar
10. Tahzib Al-Akhlaq (Karya terkenal)
11. Ajwibah wa Al-As‟ilahfi An-Nafs wa Al-Aql
12. Thaharah An-Nafs
13. Al-Jawab fi Al-Masail As-Salas
14. Risalah fi Al-Ladzdzat wal-alam fi jauhar An-Nafs
15. Risalah fi Jawab fi Su‟al Ali bin Muhammad Abu
16. Hayyan Ash-Shufi fi Haqiqat Al-Aql
17. Risalah fi Haqiqah Al-„Aql
Dalam buku Al-Fauz Al-Ashgar, Miskawaih memaparkan uraian-uraian soal sifat dasar
pemikiran Neoplatonisme dengan cara yang tidak lazim. Dalam karya itu Miskawaih
mengemukakan bahwa para filosof klasik Yunani tidak meragukan eksistensi dan ke-
Esaan Tuhan sehingga bukan masalah bagi umat Islam untuk memadukan doktrin
filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Menurut Miskawaih, konsepsi Aristoteles soal
“pencipta” sebagai “penggerak yang tak digerakan” merupakan argumen yang mantap
untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan sudah semestinya diterima oleh kalangan
agamawan.
Miskwaih juga tidak menolak untuk membicarakan Tuhan lewat pedoman dan panduan
agama. Sebab paling rasional untuk membuktikan pendiriannya ini ialah karena
Miskawaih pernah membuat kesimpulan yang menyatakan bahwa ketiadaan jalan
rasional untuk memahami Tuhan, kita harus mengikuti seluruh petunjuk agama dan
pandangan-pandangan umum komunitas religius yang ada. Pernyataan ini merupakan
upaya penyelarasan pandangan filosofis dan agama sosial dasar-dasar pengetahuan
dunia. Miskawaih tidak mendapati rintangan untuk menerima konsepsi penciptaan dari
ketiadaan dan penciptaan melalui gagasan Emanasi Neo Platonik.
Sebagaian kalangan terkejut dengan uraian-urain Miskawaih dalam menerima konsepsi
penciptaan dari ketiadaan dan penciptaan melalui gagasan Emanasi Neo Platonik
secara bersamaan tanpa mengahadapi rintangan. Mereka menilai bahwa Miskwaih
tidak cukup memahami dasar perbedaan fundamental dari dua klaim yang berlawanan
tersebut. Miskawaih juga ditenggarai melakukan upaya pemaduan keduanya dengan
cara sembarangan sehingga kesimpulannya pun menjadi sembarangan juga.
Jika dalam tema penggabungan filsafat dan agama, Miskawaih cenderung dianggap
tidak luar biasa maka dalam kajian Etika, Miskawaih justru mampu menoreh pemikiran
yang luar biasa. Di bidang inilah, nama Miskawaih mengharumkan dengan pandangan-
pandangan Etis yang mampu menjadi rujukan masalah Moralitas dalam kurun yang
panjang. Tidak sedikit sejarawan yang mencatat nama Miskawaih sebagai Filosof
Moralis dalam arti yang sangat luas. Bagian terpenting pemikiran Filsafat Etika
Miskawaih dapat ditelusuri dalam tiga karyanya; (1). Tertibu Al-sa‟adah, (2). Tahzib Al-
Akhlak dan (3). Jawidan Khirad (Basri, 2009: 121).
1. Tentang Ke–Tuhanan
Tuhan, menurut Miskawaih adalah zat yang tidak berjism, Azali, dan pencipta. Tuhan
Esa dalam berbagai aspek, ia tidak terbagi dan tidak mengandung kejamakan dan ia
ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung pada yang lain, sementara yang lain
membutuhkanNya. Tampaknya pemikiran Ibnu Miskawaih sama denagan pemikiran Al-
Farabi dan Al-Kindi. Tuhan dapat dikenal dengan progresi negatif dan tidak dapat
dikenal dengan sebaliknya, progresi positif. Alasannya progresi positif akan
menyamakan Tuhan dengan alam. Segala sesuatu di alam ini ada gerakan.
Gerakan tersebut merupakan sifat bagi alam yang menimbulkan perubahan pada
sesuatu dari bentuknya semula. Ia bukti tentang adanya Tuhan pencipta alam.
Pendapat ini berdasarkan pada pemikiran Aristoteles bahwa segala sesuatu selalu
dalam perubahan yang mengubahnya dari bentuk semula. Sabagai filosofis religius
sejati Ibnu Miskawaih mengatakan, alam semesta ini diciptakan Allah dari tiada menjadi
ada, karena penciptaan yang sudah ada bahan sebelumnya tidak ada artinya. Disinilah
letak persamaan pemikirannya dengan Al-Kindi dan berbeda dengan Al-Farabi bahwa
Allah menciptakan alam dari sesuatu yang sudah ada.
1. Tentang Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah
menciptakan alam secara pancaran. Namun Emanasinya berbeda dengan Al-Farabi.
Menurut entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah akal aktif. Akal aktif ini
tanpa perantara apapun. Ia qadim, Sempurna dan tak berubah. Dari akal inilah timbul
jiwa dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan dan pemancaran yang
terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan di dalam alam ini. Andaikan Allah
menahan Pancaran-Nya, maka akan terhenti kemaujudan alam ini.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan perbedaan Emanasi antara Ibnu Miskawah
dan Al-Farabi (Zar, 2004: 131), sebagai berikut:
1. Bagi Ibnu Miskawaih Allah menjadikan alam ini secara Emanasi dari tiada menjadi
ada. Sementara itu menurut Al-Farabi alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari
bahan yang sudah ada menjadi ada.
2. Bagi Ibnu Miskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah akal aktif. Sementara itu, bagi
Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah akal pertama dan akal aktif adalah akal
kesepuluh.
Dari uaraian diatas dapat ditegaskan bahwa dalam masalah pokok Ibnu Miskawaih
sejalan dengan pemikiran Guru Kedua, Al-Farabi akan tetapi, Dalam
penyelesaian masalah ini lebih cenderung kepada Al-Kindi dan Teolog Muslim.
Sebagaimana Ikhwan Al-Shafa, Ibnu Miskawaih juga mengemukakan teori Evolusi,
menurutnya alam mineral, alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan dan alam manusia
merupakan rentetan yang sambung menyambung. Antara setiap alam tersebut
terdapat jarak waktu yang sangat panjang.
1. Tentang Jiwa
Jiwa, menurut Ibnu Miskawaih, adalah jauhar Ruhani yang tidak hancur dengan sebab
kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan yang tidak dapat terbagi bagi. Ia akan hidup
selalu dan tidak dapat diraba dengan panca Indra karena bukan jism dan bagian
dari jism. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan mengetahui keaktivitasnya.
Argumen yang di majukan adakah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang
berlawanan dalam waktu yang bersamaan. Jadi Ibnu Miskawaih mensinyalkan bahwa
jiwa tidak dapat di bagi-bagi itu tidak mempunyai unsur, sedangakan unsur-unsur hanya
terdapat pada materi. Namun demikian, jiwa dapat menyerap materi yang kompleks
dan non materi yang sederhana.
Dalam kesempatan lain, Ibnu Miskawaih juga membedakan antara pengetahuan jiwa
dan pengetahuan panca indra. Secara tegas menyatakan bahwa panca indra tidak
dapat menangkap selain apa yang dapat diraba atau di indra. Sementara jiwa dapat
menangkap apa yang dapat ditangkap panca indra, yakni dapat diraba dan juga tidak
dapat di raba. Tentang balasan Akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga
menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan di akhirat. karena,
menurutnya, kelezatan jasmaniyyah bukanlah kelezatan yang sebenarnya. Di dalam
bukunya “Tahdzib Al-Akhlak wa-Tath-Hir Al-A‟raq” Miskawaih menguraikan bahwa jika
manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat sebagai berikut:
1. An-Nafs al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2. An-Nafs as-sabu‟iyah (nafsu binatang buas) yang sedang.
3. An-Nafs an-nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Sifat buruk dari jiwa telah mempunyai kelakuan pengecut, ujub, sombong, suka olok-
olok, penipu. Sedangkan sebagai khususiyat dari jiwa yang cerdas ialah mempunyai
sifat adil, harga diri, berani, pemurah. Kebajikan bagi suatu makhluk yang hidup dan
berkemauan ialah apa yang dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan wujudnya.
Segala yang wujud ini baik ia mempunyai persediaan yang cukup guna melaksanakan
suatu tujuan. Tetapi setiap orang memiliki perbedaan yang pokok dalam bakat yang
dipunyainya.
Selanjutnya menurut Miskawaih, diantara manusia ada yang baik dari asalnya.
Golongan ini tidak akan cenderung berbuat kejahatan. Namun golongan ini adalah
minoritas, sedangkan golongan yang mayoritas adalah golongan yang dari sananya
sudah cenderung kepada kejahatan sehingga sulit untuk ditarik untuk cenderung
kepada kebaikan. Sedangkan diantara kedua golongan tersebut ada golongan yang
dapat beralih perhatian atau kejahatan. Hal ini tergantung pada pendidikan dan
lingkungan ia hidup. Selain hal-hal tersebut, diuraikan juga tentang akhlak, perihal
keadilan, perihal cinta dan persahabatan serta perihal pengobatan penyakit-penyakit
jiwa. Dengan demikian maka Miskawaih telah banyak meletakkan dasar-dasar etika
atau pembahasan akhlak secara teoretis.
Miskawaih yang membahas khusus tentang etika Islam diantaranya adalah: Al-Akbar,
Thaharat An-Nafs, dan kitab Tartib As-Sa‟adat yang membicarakan etika dan politik.
Sehingga dalam perkembangan filsafat Islam Miskwaih mendapat sebutan Bapak Etika
Islam, karena beliaulah yang mula-mula mengemukakan teori khusus tentang etika
secara lengkap.
Ibnu Miskawaih juga menjelaskan sifat-sifat yang utama, sifat-sifat ini, menurutnya erat
kaitannya dengan jiwa. Jiwa memiliki tiga daya: daya marah, daya berfikir, dan daya
keinginan. Sifat Hikmah adalah sifat utama bagi jiwa berfikir yang lahir dari ilmu. Berani
adalah sifat utama bagi jiwa marah yang timbul dari jiwa hilm, sementara Murah adalah
sifat utama pada jiwa keinginan lahir dari iffah. Dengan demikian ada tiga sifat utama
yaitu hikmah, berani dan murah. Apabila ketiga sifat utama ini serasi, muncul sifat
utama yang keempat, yakni adil.
Urain di atas adapat dijadikan bukti-bukti bahwa pemikiran Ibnu Miskawaih dasar
pokoknya adalah ajaran Islam. Sementara gabungan pendapat Plato dan Aristoteles
merupakan pemikiran pelengkap yang ia terima karena tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Tujuan ilmu Akhlak adalah membawa manusia menuju kesempurnaan
manusi terletak dalam pemikiran, maka perbuatan harus berdasarkan pemikiran,
sehingga tujuan ilmu akhlak adalah terciptanya kesempurnaan pengetahuan dan
kesempurnaan amal.
1. Tentang Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga Menginterpretasikan kenabian secara
Ilmiah. Usahanya ini dapat memperkecil perbedaan antara Nabi dan pilosof dan
memperkuat hubungan dan keharmonisan antara akal dan wahyu. Menurut Ibnu
Miskawaih, Nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat-hakikat
kebenaran seperti ini juga diperoleh oleh para pilosof. Perbedaannya hanya terletak
pada tehnik memperolehnya.
Filosof mendapatkan kebenaran tersebut dari bawah keatas dari daya indrawi menaik
kedaya khayal dan menaik lagi kedaya Fikir yang dapat berhubungan dan menangkap
kebenaran dari akal aktif. Sementara itu Nabi mendapatkan kebenaran diturunkan
dari atas kebawah, yakni dari akal aktif langsung kepada nabi sebagai rahmat Allah.
Penjelasan diatas dapat dijadikan petunjuk bahwa Ibnu Miskawaih berusaha
merekonsiliasi antara agama dan filsafat dan keduanya mesti cocok dan serasi, karena
sumber keduanya sama. Justru itulah filosof adalah orang yang paling cepat
menerima dan mempercayai apa yang di bawa oleh nabi karena nabi membawa ajaran
yang tidak bertolak pada akal fikiran manusia. Namun demikian, tidak berarti manusia
tidak membutuhkan nabi karena dengan perantaraan nabi dan wahyulah manusia
dapat mengetahui hal-hal yang bermanfaat. Yang dapat menbawa manusia kepada
kebahagian, ajaran ini tidak dapat dipelajari oleh manusia kecuali para pilosof, dengan
kata lain sangat sedikit kuantitas manusia yang dapat mencapainya. Hal ini karena
filsafat tidak dapat di jangkau oleh semua lapisan masyarakat.
1. Filsafat Politik
Miskawaih menegaskan bahwa yang menjaga tegaknya syariat Islam adalah iman yang
kekuasaannnya seperti raja. Penguasaan yang berpaling dari agama adalah penjajah,
tidak berhak disebut raja. Raja adalah pengawal pertama aturan-aturan Tuhan yang
menjaga agar masyarakat tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama
(Sunarya, 2012: 69).
Oleh karenanya, Miskawaih berpendapat bahwa antara agama dan Negara tidak bisa
dipisahkan. Dikutip pendapat Azsher (raja dan filosof bangsa persia) yang mengatakan
bahwa agama dan kerajaan ibarat dua saudara kembar atau dua sisi mata uang yang
sama, yang satu tidak sempurna tanpa yang lain. Agama merupakan landasan dasar,
kerajaan adalah pengawalnya. Miskawaih memperingatkan juga adanya raja-raja yang
disebut oleh khalifah Abu Bakar As-Sidiq dalam piadto penobatannya sebagai khalifah,
“manusia yang paling sengsara di dunia dan akhirat adalah raja-raja”. Yang dimaksud
adalah raja yang setelah berkuasa amat sayang membelanjakan harta yang dimiliki,
tetapi amat tamak terhadap harta orang lain dan hatinya selalu diliputi rasa ketakutan
(Mustofa, 2007: 186)
1. Ringkasan
Berdasarkan uraian di atas maka di simpulkan beberapa poin penting sebagai berikut:
Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih dasar pokoknya adalah ajaran Islam, Sementara
gabungan pendapat plato dan aristoteles merupakan pemikiran pelengkap yang ia
terima selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ibnu Miskawaih diberi
julukan sebagai Bapak Filosof Akhlak sebab Objek kajiaannya lebih menitik beratkan
pada masalah Moralitas. Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kebahagian manusia
meliputi kebahagian jasmani dan Ruhani.
1. Suggested Reading
Aziz Dahlan, Abdul. 2003. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan
Basri Hasan dan Mufti, Zaenal, 2002. Filsafat Islam. Bandung: CV Insan Mandiri.
Supriyadi, Dedi 2013. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Mustofa. 2007. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka cipta.
Sunarya, Yaya. 2012. Filsafat Islam. Bandung: CV Arfino Raya
1. Latihan
2. a) Soal Pilihan Ganda
3. Dimana tempat lahir Ibnu Miskawaih?
4. Iskandariah, Mesir
5. Damaskus, Syria
6. Rayy, Iran
7. Anthiokia, Syria
8. Konstantinopel, Byzantium
2. Selain sebagai seorang Filosof yang terkenal, Ibnu Miskawih juga banyak
menghasilkan karya-karya yang mengagumkan, manakah yang termasuk karya Ibnu
Miskawaih?
3. Al-Fauza –Al-Akbar
4. Tahafut Al-Falasifah
5. Qanun Fi Thib
6. Tahafut At-Tahafut
7. Ihya Ullumudin
5. Dalam Filsafat Ibnu Miskawaih dikenal dengan kemaujudan yang pertama, siapakah
kemaujudan yang pertama?
6. Tuhan
7. Malaikat
8. Dunia
9. Alam
10. Udara
6. Selain seorang Filosof Ibnu Miskawaih juga pernah mempelajari buku sejarah Tarikh
Ath-Thabari, kepada siapakah ia belajar Sejarah?
7. Said Al-Andalusia
8. Ibnu Hisyam
9. Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi
10. Ibnu Khaldun
11. Avicenna
7. Mengutip Plato Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa gerak itu terbagi dua, sebutkan
dua gerak tersebut?
8. Gerak ke Arah Inteligensi dan Gerak ke arah Materi
9. Gerak terpaksa dan Gerak tidak terpaksa
10. Gerak Kinetik dan Gerak Conduksi
11. Gerak Aktif dan Gerak Pasif
12. Gerak Gravitasi dan Gerak semu
9. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebahagian terbagi menjadi lima, sebutkan apa
saja itu?
10. Kesehatan, Kekayaan, Kemasyhuran dan Kehormatan, Keberhasilan, Pemikiran
yang baik
11. Kesejahtraan, Kekayaan, Kemasyhuran, keberhasilan, Kesuksesan
12. Kekayaan, Kemakmuran, Kesejahtraan, Kesuksesan, keberhasilan
13. Kemakmuran, Kekayaan, Kesuksesan, Kemasyhuran dan kehormatan
14. Pemikiran yang baik, Kekayaan, Kekuasaan, Kesuksesan, kemakmuran
1. b) Soal Essay
2. Jelaskan riwayat hidup dari Ibnu Miskawaih!
3. Sebutkan beberapa karya Ibnu Miskawaih
4. Jelaskan pemikiran Ibnu Miskawaih tentang teori keTuhanan
5. Jelaskan yang dimaksud dengan emanasi menurut Ibnu Miskawaih
6. Jelaskan maksud dari istilah dibawah ini menurut Ibnu Miskawaih
7. Akhlak Sa‟adah c. Pendidikan akhlak
1. Daftar Istilah
11. Alam tumbuhan
12. Alam hewan
1. al-Kimia
2. Al-Fauz Al-Ashgar 13. Jiwa
3. Neoplatonisme
14. Indrawi
4. Emanasi nir
5. Neo Platonik 15. Doktrin
Ada dua jenis utama subjek pengetahuan teoritis, yaitu subjek yang dapat dilekati
gerak, seperti kemanusiaan, kepersegian, dan kesatuan serta subjek yang tak dapat
dilekati gerak seperti Tuhan dan intelek yang pertama dibagi lagi menjadi 2, yaitu yang
tidak bisa eksis tanpa adanya gerak yang dikaitkan dengannya seperti: kemanusiaan
dan kepersegian dan yang bisa eksis tanpa gerak yang dikaitkan kepadanya seperti:
kesatuan dan keragaman. Yang pertama dari dua tipe yang terakhir adalah sedemikian
rupa sehingga ia mustahil bebas dari gerak, baik dalam realitas ataupun dalam fikiran
(misalnya kemanusiaan dan kekudaan), atau sedemikian rupa sehingga ia mungkin
bebas dari gerak dalam fikiran, tetapi tidak dalam realitas (kepersegian). Oleh karena
itu, terdapat 3 cabang filsafat teoretis yakni:
1. Filsafat yang membahas hal-hal sepanjang gerak terkait dengannya baik dalam
realitas maupun dalam fikiran, jenisnya yakni fisika.
2. Filsafat yang membahas hal-hal sepanjang gerak terkait dengannya dalam realitas,
tetapi tidak dalam fikiran, jenisnya yakni matematika murni.
Filsafat yang membicarakan hal-hal sepanjang gerak tidak terkait padanya baik dalam
realitas maupun dalam fikiran, jenisnya yakni metafisika (Inati, 1960: 3-4).
1. Di sisi lain filsafat praktis mempelajari salah satu dari hal berikut:
Prinsip yang mendasari berbagai urusan publik antar anggota masyarakat yang
mempelajari tentang manajemen negeri/kota yang disebut ilmu politik. Manfaatnya
untuk mengetahui cara mengelola “Musyawarah atau urun rembuk” yang baik di
kalangan anggota masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan manusia dan
kelestarian umat manusia.
Prinsip yang mendasari berbagai urusan personal di dalam masyarakat yang
mempelajari manajemen rumah tangga. Manfaatnya untuk memperkenalkan tipe
“saling berbagi” yang seharusnya berlangsung diantara keluarga demi terjaminnya
kesejahteraan mereka.
Prinsip yang mendasari urusan-urusan individu yang mempelajari manajemen
individu yang disebut etika. Memberikan dua manfaat yaitu: untuk mengetahui
kebajikan-kebajikan serta cara cara meraihnya dalam rangka memperbaiki jiwa dan
untuk mengetahui perbuatan-perbuatan jahat serta cara untuk menghindarinya
dalam rangka membersihkan jiwa.
Prinsip filsafat praktis tersebut diambil dari Syariah Ilahi.
1. Metafisika
Menurut Ibnu Sina metafisika merupakan ilmu yang memberikan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip filsafat teoretis yang berhubungan dengan maujud (eksisten atau yang
ada) sepanjang ia ada, maksudnya berhubungan dengan maujud mutlak atau umum
dan berhubungan dengan apa yang terkait dengannya. Caranya dengan
mendemonstrasikan perolehan sempurna prinsip-prinsip tersebut melalui intelek (Inati,
1960: 289).
Dalam kata lainnya, subjek metafisika adalah maujud, bukan lantaran maujud itu
diterapkan pada sesuatu dan bukan karena sesuatu yang partikular diletakkan
padanya, seperti pada fisika dan matematika (misalnya kuantitas dan kualitas, aksi dan
reaksi, yang dikaitkan pada objek-objek fisika), tetapi karena ia diterapkan pada prinsip
wujud dan karena sesuatu yang universal dilekatkan padanya (misalnya keesaan dan
kemajemukan, potensi dan aktualitas, kekekalan dan kemenjadian, sebab dan akibat,
universalitas dan partikularitas, kesempurnaan dan ketaksempurnaan, keniscayaan,
kemestian dan kemungkinan).
1. Wujud
Sebagaimana Al-Farabi sifatnya emanasionistis. Dari Tuhanlah kemaujudan yang
mesti, mengalir inteligensi pertama, sendirian karena hanya Allah yang Tunggal yang
mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi sifat inteligensi itu tidak selamanya mutlak
satu karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya
itu di wujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi
seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu:
Menurut para filosof muslim, meskipun Tuhan tinggal di dalam diri-Nya Sendiri dan jauh
tinggi di atas dunia yang diciptakan, namun ada hubungan (perantara) antara kekekalan
dan keniscayaan yang mutlak dari Tuhan dan dunia yang penuh dengan
ketidaktentuan. Teori ini juga sangat dekat dengan orang Islam atas keyakinannya
kepada para malaikat. Inilah kesempatan pertama untuk menandai bagaimana para
filosof Muslim mengolah kembali filsafat Yunani yang tidak hanya membangun sistem
yang rasional tetapi juga sistem irasional yang berupaya mengintegrasikan tradisi Islam.
Tetapi bagaimana teori pemancaran itu sendiri yang mengarahkan pada pandangan
dunia Panteistik yang bertentangan dengan Islam. Tak diragukan lagi bentuk-
bentuk Panteisme menjadi lebih dinamis yang berbeda dengan faham absolutis dan
yang dapat mengarahkan pada antropomorphisme (proses kenaikan kembali untuk
penyerapan kembali dari kemakhlukan ke arah Ke-Tuhanan).
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal
secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua.
Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang
apakah Tuhan itu, Hakikat Dia adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan
merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang
eksistensinya identik dengan esensinya. Demikian halnya adanya Tuhan adalah satu
keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan di turunkan dari
adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi,
karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada.
Prinsip Ibnu Sina tentang eksistensi yang menyatakan dunia secara keseluruhan ada
bukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ia diperlukan, dan keperluan ini
diturunkan oleh Tuhan. Dari sudut pandang metafisik, teori itu berupaya melengkapi
analisis Aristoteles tentang suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan bentuk
dan materi. Menurut Aristoteles, bentuk sesuatu adalah jumlah total dasar dan kualitas-
kualitasnya yang dapat di universalkan yang memebentuk definisinya; materi pada
setiap sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima kualitas-kualitas tersebut dengan
bentuk itu terjadilah eksistensi individu. Akan tetapi, ada 2 kesulitan besar dalam
konsep ini dari sudut pandang eksistensi sesuatu yang sebenarnya. Pertama, bentuk
adalah universal, karena itu, tidak ada. Demikian pula, materi, sebagai wujud
potensialitas murni, menjadi tidak ada, karena hal itu mewujud hanya melalui bentuk.
Kesulitan kedua timbul dari kenyataan bahwa meskipun Aristoteles secara umum
berpendapat bahwa definisi atau esensi dari sesuatu adalah bentuknya, ia pada bagian-
bagian penting lainnya menyebutkan bahwa materi juga termasuk dalam esensi
sesuatu tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kita hanya memiliki definisi
sebagaian darinya. Bila kita menganggap bentuk dan materi sebagai bentuk dan materi
sebagai penyusun definisi, kita tidak akan mencapai eksistensi sesuatu secara nyata.
Ini adalah bentuk ujian yang dihadapi oleh seluruh kerangka Aristoteles yang
membahas wujud yang terancam oleh kehancuran.
Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja tidak akan pernah
mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi hanya kualitas-kualitas esensial kebetulan.
Dalam Asy-Syifa Ibnu Sina menyimpulkan bahwa bentuk dan materi itu bergantung
kepada Tuhan (akal aktif) dan lebih jauh lagi bahwa eksistensi yang tersusun juga tidak
bisa hanya di sebabkan oleh bentuk dan materi saja tetapi harus terdapat “sesuatu
yang lain”. Ia menjelaskan kepada kita bahwa: “segala sesuatu kecuali yang Esa, yang
esensi-Nya adalah tunggal dan maujud, memperoleh eksistensi nya dari sesuatu yang
lain. Di dalam dirinya sendiri, ia layak untuk mendapatkan ketidakadaan yang mutlak.
Sekarang, ia bukan materi sendiri tanpa bentuknya, atau bentuk sendiri tanpa
materinya yang layak mendapatkan ketidakadaan itu, tetapi adalah semuanya (bentuk
dan materi)”.
Ibnu Sina menggunakan 3 acuan untuk menganalisis adanya objek materi, disamping 2
rumusan tradisional Yunani itu. Harus di catat bahwa apa yang di kembangkan disini
adalah doktrin Aristoteles. Banyak yang berkeyakinan bahwa Ibnu Sina, mengikuti
pendapat Aristoteles dan Neo-platonik, tetapi dari segi lain ternyata doktrin Neo-platonik
itu sama dengan Aristoteles, yaitu 2 bagian yang terdiri atas materi dan bentuk. Selain
itu, menurut Plotinus yang terpengaruh oleh plato, bentuk-bentuk itu mempunyai status
ontologis yang lebih tinggi dan ada dalam kesadaran Tuhan, dan kemudian Dia-lah
yang melanjutkan sehingga bentuk ada sebagai materi. Dapat dibayangkan bahwa
eksistensi sesungguhnya bukanlah bentuk benda, tetapi ia lebih merupakan hubungan
dengan Tuhan: bila kita memandang benda dalam kaitannya dengan adanya perantara
Tuhan yang mengadakan, benda itu ada dan benda itu ada karena keniscayaan,
kemudian eksistensinya itu dapat di fahami. Akan tetapi, bila keluar dari hubungan
dengan Tuhan adanya sesuatu itu hilanglah pengertian dan maknanya. Inilah aspek
hubungan yang ditunjukkan oleh Ibnu Sina dengan istilah “kejadian” dan mengatakan
bahwa eksistensi itu adalah suatu kejadian.
Ibnu Rusyid mengkritik dalam beberapa hal, menyalahkan Ibnu Sina yang menolak
definisi tentang substansi sebagai sesuatu yang ada dengan sendirinya; Aquinas yang
walaupun menerima pembedaan antara esensi dan eksistensi yang secara langsung di
bawah pengaruh Ibnu Sina, ia mengkritik sesuai dengan Ibnu Rusyid, meskipun ia
sendiri mengambil pendapat Ibnu Sina tentang perbedaan dasar dan adanya sesuatu.
Hal tersebut mengakibatkan para ahli sejarah pada abad Pertengahan di Barat
berpendapat sama dengan Ibnu Sina, yaitu bahwa eksistensi sesuatu adalah semata-
mata suatu kejadian diantara kejadian-kejadian yang lain.
Pembahasan itu jelas tentang masalah metafisik, tetapi masalah logika, Ibnu Sina telah
berusaha menjawabnya. Mengenai bagaimana mungkin kita dapat membicarakan
sesuatu yang tidak ada dan apa artinya. Jawabannya adalah kita berbuat demikian
karena kita mengadakan objek-objek ini dalam fikiran kita. Tetapi tak dapat diragukan
lagi bahwa masing-masing imajinasi kita tidak dapat membentuk makna-makna dari
wujud ini karena adanya alasan yang jelas ketika membicarakan sesuatu meskipun
sesuatu tersebut tidak ada bukan berarti kita sedang membicarakan sesuatu tersebut
tetapi tentang objek secara umum atau suatu kumpulan sifat.
Menurut Ibnu Sina, esensi mewujud dalam fikiran Tuhan (termasuk dalam pikiran-
pikiran inteligensi aktif) sebelum hal-hal yang ada itu maujud di dalam dunia lahiriah,
dan mereka juga ada dalam fikiran kita setelah mereka mewujud. Akan tetapi kedua
esensi ini sangat berbeda. Perbedaannya tidak hanya karena adanya pengertian bahwa
yang satu bersifat kreatif sedangkan yang lainnya bersifat imitatif. Esensinya tidak
universal dan tidak pula khas tetapi ia hanyalah esensi. Ia juga menyatakan kekhasan
dan universalitas adalah “kejadian” yang terjadi pada esensi. Universalitas hanya
terdapat dalam fikiran kita dan Ibnu Sina mengambil pandangan fungsional secara
keras tentang yang universal: pikiran kita mengabstrak yang universal atau konsep-
konsep umum dimana hal itu dapat merangkum keragaman yang tak terbatas dari
dunia ini secara ilmiah, yaitu dengan menghubungkan bangunan mental yang identik
dengan sejumlah objek. Di dunia lahiriah, esensi tidak maujud kecuali dalam pengertian
yang metaphorik artinya dalam pengertian bahwa objek-objek itu membiarkan dirinya
untuk dianggap identik. Kemaujudan-kemaujudan dalam dunia lahiriah adalah objek-
objek nyata, tidak ada yang benar-benar sama. Ibnu Sina berkata, “Tidak mungkin
bahwa esensi yang tunggal sama mewujud dalam hal banyak. Demikian pula,
kemanusiaan yang mutlak bukanlah kemanusiaan.”
Dari pernyataan terakhir bahwa “esensi” berubah pada setiap individu dan mengapa
kita harus menganggapnya sebagai esensi yang universal, karena keberadaan tertentu
yang nyata merupakan sesuatu yang melampaui dan di atas esensinya yaitu ia adalah
sesuatu yang di tambahkan pada esensi, atau suatu “kejadian” dari esensi tersebut.
1. Pertama, keberadaan adalah suatu yang di tambahkan, bukan pada objek yang ada
karena hal ini musykil tapi terdapat dalam esensi. Hal ini karena segala sesuatu
apakah ia ada atau tidak, pada kenyataannya setiap konsep adalah “sesuatu”yang
darinya dapat dibuat pernyataan baik yang positif maupun yang negatif. Bahkan
ketiadaanpun merupakan sebab seseorang membicarakannya. Keberadaan individu
yang positif lebih dari sekedar “sesuatu”. Oleh karena itu Ibnu Sina mengatakan bila
keberadaan dihubungkan dengan esensi, maka keberadaan ini sama dengan
“adalah sesuatu” dan karena itu pernyataan semacam itu tidak “menguntungkan”.
Namun pernyataan yang ada adalah informatif dan menguntungkan karena hal itu
menambah pada esensi sesuatu yang baru.
2. Kedua, meskipun Ibnu Sina membicarakan materi pada beberapa tempat sebagai
prinsip kemajemukan bentuk atau esensi, namun ia tidak pernah mengatakan
bahwa materi itu adalah prinsip dari suatu yang maujud, karena prinsip Tunggal dari
sesuatu yang ada adalah Tuhan. Penyebab kemaujudan materi adalah kemaujudan
yang menyuplai sifat-sifat lahiriah kemajemukan.
Sebagaimana dimaklumi yang menyatakan bahwa banyaknya kebingungan dalam
tulisan Ibnu Sina yang membahas istilah tentang “keberadaan”,”kejadian” dalam
hubungan “esensi”.
Terdapat pula pemetaan lebih rapi dibanding tentang maujud Tuhan versi Ibnu Sina
dengan segala eksistensinya sebagai berikut: Maujud boleh jadi substansi atau
aksiden. Sesuatu substansi adalah apapun yang tidak berada dalam suatu subjek, baik
dalam materi ataupun bukan materi. Oleh karena itu terdapat 2 macam substansi:
Wujud sesuatu boleh jadi wajib atau mesti dan boleh jadi mungkin. Wujud yang niscaya
adalah sedemikian rupa sehingga jika sesuatu yang termasuk di dalamnya diandaikan
tidak ada, kemustahilanlah yang muncul. Eksistensi yang mungkin adalah sedemikian
rupa sehingga jika sesuatu yang termasuk di dalamnya di asumsikan tidak ada atau
ada, tidak ada kemustahilan yang muncul.
Dalam konteks lain Ibnu Sina menyebutkan bahwa “wujud yang mungkin” dapat juga
digunakan dalam pengertian “wujud dalam potensi”. Eksistensi yang niscaya (wajib)
adalah eksistensi yang senantiasa berada atau termasuk dalam sesuatu melalui
sesuatu itu sendiri, atau yang senantiasa termasuk didalamnya melalui yang lain.
Misalnya pembakaran, bukan masalah pembakarannya tapi yang jadi permasalahannya
adalah 2 hal yang bertemu yaitu zat yg dapat terbakar dan zat yang membuat terbakar
dan tidak mungkin ada sesuatu yang lain dalam hal pembakaran tersebut. Pernyataan
eksistensinya adalah mungkin dalam dirinya, niscaya melalui yang lain dan mustahil
tanpa yang lain. Eksistensinya melalui yang lain berbeda dengan eksistensi tanpa yang
lain. Hal pertama adalah niscaya dan yang kedua adalah mungkin.
Dua prinsip dasar yang menjadi penentu eksistensi sesuatu yang niscaya dalam
dirinya:
Wujud Niscaya yang paling indah, sempurna, terbaik, memahami dirinya dalam
keindahan dan kebaikan tertinggi dengan pemahaman paling sempurna dan memahami
pemahaman yang dipahami sebagai satu dalam realitas adalah dalam esensi dan
dengan esensinya, Sang Maha Pencipta dan Maha Mencintai serta maha
Menyenangkan dan Maha Disenangi. Dari Wujud Niscaya ini wujud-wujud lainnya
memancar atau melimpah melalui proses emanasi. Yang pertama beremanasi adalah
intelek-intelek langit diikuti jiwa-jiwa, badan-badan langit, dan akhirnya wujud-wujud
bumi. Semua wujud ini melimpah (beremanasi) dari-Nya dalam kekekalan. Jika tidak,
suatu keadaan yang tidak ada sebelumnya akan muncul dalam diri-Nya tetapi mustahil
dalam suatu wujud yang niscaya dalam segala aspek. Emanasi ini merupakan hasil
niscaya dari Esensi Tuhan dan tidak dapat dikaitkan dengan tujuan diluar Esensi-Nya,
karena:
Pertama, tidak ada sesuatu pun dalam diri-Nya kecuali Esensi-Nya karena merupakan
ketunggalan total tetapi Dia dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda hanya
berdasarkan pemahaman itulah seseorang dapat membicarakan sifat-sifat-Nya.
Kedua, sekalipun mungkin bagi-Nya mempunyai sifat-sifat diluar esensinya, tidak
mungkin bagi-Nya mempunyai sifat-sifat semacam itu (suatu tujuan yang berkaitan
dengan dunia). Alasannya adalah setiap tujuan adalah demi yang dituju dan
eksistensinya kurang dari yang dituju, karena jika sesuatu itu “untuk” atau “demi (for the
sake of) yang lain, maka yang lain itu lebih sempurna dari eksistensinya. Apapun yang
eksistensinya lebih sempurna daripada yang lain maka tidak dapat berhasrat kepada
yang lain itu. Oleh karena itu, Tuhan tidak dapat berhasrat pada dunia atau sesuatu
yang ada di dalamnya karena eksistensinya lebih sempurna dari pada dunia.
Baik Tuhan ataupun sebab lain tidak mungkin disempurnakan secara esensial oleh
efeknya dan karenanya tidak mungkin memaksudkan efek-efeknya atau sesuatu bagi
mereka. Tuhan atau sebab lain secara aksidental dapat menyebabkan efek yang
menguntungkan jika ia adalah Tuhan, tahu dan senang akan efek-efek tersebut.
Misalnya kesehatan, secara substansi dan esensial bukan untuk menguntungkan orang
sakit tetapi menghasilkan sesuatu yang menguntungkan bagi orang sakit. Sama
dengan kesehatan, sebab-sebab yang lebih tinggi adalah sebab yang berada dalam
mereka sendiri bukan untuk menguntungkan sesuatu yang lain tetapi dapat
menguntungkan yang lain secara aksidental. Meskipun begitu, mereka berbeda dari
kesehatan dalam arti mereka mengetahui segala sesuatu yang ada serta tatanan dan
kebaikan sesuai dengan keberadaan sesuatu tersebut. Tetapi, pemeliharaan
dinisbahkan kepada Tuhan (Sebab Pertama dari segala sesuatu). Namun
kepemeliharaan tidak harus dipahami dalam pengertian petunjuk Tuhan terhadap dunia
atau kepedulian terhadapnya. Sebaliknya di definisikan sebagai pengetahuan Tuhan
mengenai tatanan wujud dan kebaikannya, pengetahuan-Nya bahwa Dia adalah
sumber emanasi tatanan ini karena hal itu mungkin dan Dia senang dengan tatanan ini.
1. Hubungan Jiwa dan Raga
Sama halnya seperti Al-farabi, Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa adalah
wujud Ruhani (imateri) yang berada dalam tubuh. Wujud imateri yang tidak berada
dalam atau tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal. Tetapi mengendalikan
secara langsung disebut jiwa. Badan bisa berubah secara fisik, tetapi jiwa ada sebelum
badan itu ada dan berubah (Aziz, 2002: 200).
Sama halnya dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa
dan raga tetapi semua kecenderungan Aristoteles menolak suatu pandangan dua
substansi yang oleh Ibnu Sina diyakini sebagai bentuk dari dualisme radikal.
Merupakan suatu pertanyaan yang berbeda apabila dua aspek doktrinnya bersesuaian.
Ibnu Sina tentu tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan
yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa dan raga. Menurutnya hal ini
merupakan cara pembuktian yang lebih langsung tentang substansialitas non-badan,
jiwa, yang berlaku sebagai pembuka mata, bukan sebagai argumen.
Jiwa dalam keberadaan hakikinya merupakan suatu substansi yang independent dan
diri kita yang transendental. Argumentasi Ibnu Sina tentang keabadian jiwa didasarkan
atas pandangan bahwa jiwa merupakan suatu substansi dan bukan suatu bentuk tubuh
yang kepada bentuk itu jiwa dikaitkan erat-erat oleh suatu hubungan mistik tertenu
keduanya. Substansi terpisah inteligensi aktif didalam jiwa bersama dalam munculnya
suatu tubuh yang tempramen terdapat suatu kecenderungan untuk mengaitkan dirinya
dengan tubuh ini, merawatnya, dan mengarahkannya sehingga saling menguntungkan.
Kemudain jiwa sebagai nonbadani merupakan suatu substansi sederhana yang
menjamin kesinambungan hidupnya bahkan bila tubuh telah rusakpun.
Pada taraf transendental, jiwa merupakan suatu wujud Ruhaniah murni ketika tubuh
belum ada bahkan sebagai suatu konsep relasional. Pada taraf fenomenal tubuh sudah
dapat di tentukan wujudnya sebagai mana bangunan yang di wujudkan oleh seorang
arsitek. Itulah sebabnya Ibnu sina berkata bahwa studi tentang fenomenal jiwa
termasuk dalam ilmu pengetahuan alam, sedangkan wujud transendentalnya termasuk
dalam metafisika. Oleh karena itu, Ibnu sina menolak gagasan tentang identitas yang
mungkin dari dua jiwa atau dari ego yang terlebur dari ego ilahi dan menekankan
kesinambungan hidupnya yang mesti bersifat individual. Merupakan suatu fakta utama
pengalaman bahwa setiap individu menyadari identits dirinya yang tidak dapat di
goyahkan oleh argumentasi apapun. Menurut doktrin Yunani yang universal, akal paling
tidak melambangkan identitas kualitatif manusia, suatu doktrin yang kemudian di
logikakan sedemikian rupa oleh Ibnu Rusyid.
Semua perbuatan dan keadaan psikofisik lainnya hanya memiliki kedua aspek tersebut
yaitu mental dan fisik. Misalnya, pengaruh fikiran terhadap tubuh, yaitu pengaruh emosi
dan kemauan. Ibnu Sina mengatakan, “berdasarkan pengalaman medisnya bahwa
sebenarnya secara fisik orang-orang yang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannya,
dapat menjadi sembuh dan begitu pula orang-orang sehat dapat menjadi benar-benar
sakit bila terpengaruhi oleh fikirannya bahwa ia sakit. Sebenarnya jika jiwa cukup kuat,
jiwa dapat menyembuhkan dan menyehatkan bagian badan lain tanpa sarana apapun.
Ada wujud yang berdiri sendiri dan adapula wujud yang tidak berdiri sendiri. Yang
pertama lebih unggul dari pada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak
berada dalam materi dan adapula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih
unggul daripada yang kedua selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada
juga hewan yang tidak rasional yang pertama lebih unggul daripada yang kedua,
selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung
(tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan
sempurna secara tidal langsung (yakni melalui latihan dan studi) maka yang pertama
yaitu para nabi yang lebih unggul dari pada yang kedua, yakni para filosof. Para nabi
berada dipuncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk
materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin yang di ungguli, nabi lah yang harus
memimpin segenap manusia yang di unggulinya (Aziz, 2002: 202).
Menurut Ibnu Sina, nabi identik dengan akal aktif atau yang sering disebut „aql
mustafad (akal yang telah dicapai). Oleh kren itu Ibnu Sina mengatakan bahwa nabi
sebagai manusia secara aksidental bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk
pengertian aksidental). Syarat yang dibutuhksn oleh seorang nabi harus memilik
imajinasi yang sangat kuat dan bahwa kekuatan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia
harus mempengaruhi bukan hanya fikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi
pada umumnya, dan bahwa ia harus mmpu melontarkan suatu sistem sosial politik.
Dengan kualitas imajinasi yang sangat kuat fikiran nabi, melalui keniscayaan psikologis
yang mendorong, mengubah kebenaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep
menjadi imajinasi dan simbol-simbol kehidupn yang demikian kuat sehingga orang yang
mendengarnya tidak hanya menjadi percaya, tetapi juga terdorong untuk berbuat
sesuatu.
Pemikir timur terkemuka yang mencerminkan pemikiran Ibnu Sina adalah Ath-Thusi,
Suhrawardi, Quthbuddin Asy-Syirazi, Mir Damad, Shadruddin Asy-Syirazi (Mulla
Shadra) dan seorang keristen Suryani Ibnu Al-Ibri‟. Teori iluminasi Suhrawardi dan Asy-
syrazi yang berasal dari “filsafat timur”-nya Ibnu sina. Juga uraian mereka mengenai
wujud dan esensi yang di ilhami oleh pandangan Ibnu Sina tentang subjek ini. Ibnu Al-
Ibri‟ yang setia dengan analisis Ibnu Sina mengenai hubungan Tuhan dengan dunia,
keberadaan-keburukan (evil) serta hakikat dan kestuan jiwa manusia serta
kemustahilan praeksistensi dan reinkarenasi.
Akan tetapi tidak semua orang merasakan dampak pemikiran Ibnu Sina secara positif.
Ibnu Sina juga mendapatkan kritik keras seperti dari Al-Ghazali dan Asy-Syahrastani di
timur, dan william dari Aurvegne dan Thomas Aquinas di barat. Kritik-kritiknya menolak
gagasannya tentang sifat dasar Tuhan, pengetahuannya tentang hal-hal partikular dan
hubungannya dengan dunia dan kekekalan jiwa. Bahkan Mulla Shadra (pengikut Ibnu
Sina) juga menolak keras pandangan kekekalan alam semesta dan ketidak mungkinan
kebangkitan jasmani. Ibnu Rusyid juga dalam karyanya Tahafut At-Tahafut yang
berusaha membela filsafat sebagai mana yang terkandung khususnya dalam karya
Ibnu Sina dan menuduh Ibnu Sina yang kadang-kadang menyalah pahami dan
mendistorsi Aristoteles.
Dalam filsafat barat Ibnu Sina tidak banyak kosmos Aristoteles yang di tanggalkan dari
pada yang di transformasikan. Skema dan kandungan alamnya tetap sama tetapi ada
pula suatu transformasi yang mendasar. Akal di kawinkan dengan intelek, kosmos lahir
di batiniahkan, fakta menjadi simbol, dan filsafat menjadi sophia hakiki yang tidak dapat
di pisahkan dari genosis yang di bela dengan penuh semangat olehnya dalam bab ke 9
dari karyanya, Al-Isyarat yang berjudul Fi Maqamat Al „Arifin. Tujuan filsafat bukan
sekedar pengetahuan teoritis tentang substansi dan aksiden kosmos, tetapi juga
pengalaman akan kehadiran dan aktualisasi mereka sehingga memunggkinkan jiwa
membebaskan diri dari batasan kosmos yang dianggap sebagai tempurung.
Pengaruhnya juga merambah kepada Aquinas dan teolog Barat resmi. Penerjemah
karyanya De Anima, Gundisalvus, yang sebagaian besar merupakan pengambilan dari
doktrin-doktrin Ibnu Sina juga para filosof dan ilmuan abad pertengahan Robert
Grosseteste dan Roger Bacon. Duns Scotus dan Count, pengulas Aristoteles pada
abad pertengahan yang memberi kesaksian tentang Ibnu Sina yang abadi itu. S. Van
Bergh dalam karyanya Averroes „Thahafut At-thafut yang telah melacak pengaruh ide
tertentu dari Syekh Ar-Rais hingga jaman modern, (Bergh, 1954) Bahkan tahun 1951
pemerintah Mesir dan Liga Arab membentuk sebuah panitia di Kairo untuk menyunting
eksiklopedi kitab Asy-Syifa yang sebagaian telah di terbitkan.
1. Ringkasan
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina. Dalam dunia
barat beliau di kenal dengan nama Avvicenna ia lahir pada bulan shafar 370H/ agustus
980 M di Ifsyina, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi
pada pemerintah Dinasti Saman. Beliau di besarkan di Bukhara serta belajar fisafat
kedokteran dan ilmu-ilmu agama islam. Di bidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai
imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Selain sebagai filosof
dan dokter, ia juga di kenal sebagai penyair, ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa,
logika, kedokteran, dan kimia, ia tulis dalam bentuk syair.
Buku-buku karangannya yang hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan,
diantaranya ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra Arab.
Adapun karya-karyanya sebagai berikut:
Filsafat Ibnu Sina itu ada 5 pemikiran yaitu diantaranya, menurut Ibnu Sina pembagian
filsafat dan ilmu, ada 2 tipe filsafat yaitu teoretis dan praktis. Teoritis adalah untuk
menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata-mata. sedangkan praktis adalah
untuk menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang apa yang seharusnya
dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan pengetahuan ini.
Menurut Ibnu Sina metafisika merupakan ilmu yang memberikan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip filsafat teoretis yang berhubungan dengan maujud (eksisten atau yang
ada) sepanjang ia ada. Menurut Ibnu Sina wujud Dari Tuhanlah kemaujudan yang
mesti, mengalir inteligensi pertama, sendirian karena hanya Allah yang Tunggal yang
mutlak, sesuatu dapat mewujud. Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa adalah
wujud Ruhani (imateri) yang berada dalam tubuh. Wujud imateri yang tidak berada
dalam atau tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal.
Ibnu Sina menegaskan filsafat tentang kenabian. Alasan logis yang disampaikannya
bahwa adanya perbedaan keunggulan atau keutamaan pada segenap wujud, dan pada
akhirnya bahwa para nabi yang akal teoretis yang mengaktual dengan sempurna
secara langsung lebih utama daripada mereka (filosof).
1. Suggested Reading
Abdul Hakim Atang dan Ahmad Saebani Beni, 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka
Setia.
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1992. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 2002. Filsafat Islam Jakarta: Gaya Media Pratama.
1. Latihan
2. a) Pilihan Ganda
3. Pada tahun berapakah Ibnu Sina dilahirkan ?
4. 430 H / 955 M
5. 370 H / 980 M
6. 320 H / 932 M
7. 450 H / 1062 M
8. 315 H / 930 M
2. Pada usia berapakah Ibnu Sina telah berhasil menghafal isi Al-Qur‟an dan
mendalami berbagai karya sastra ?
3. 9 Tahun
4. 10 Tahun
5. 11 Tahun
6. 12 Tahun
7. 13 Tahun
5. Dibawah ini kitab manakah yang dianggap paling penting dalam sumber medis Ibnu
sina ?
6. As-Syifa
7. „Uyun Al-Hikmah
8. Al-Qanun Fi Ath – Tihbb
9. An Najah
10. Risalah At-Thair
10. Nama muridnya Ibnu Sina yang menulis tentang riwayat hidupnya adalah
11. Al-Jurjani
12. Suhrawardi
13. Mir Damad
14. Gundisalvus
15. Asy-Syirazi
1. b) Essay
2. Sebutkan beberapa Esay Ibnu Sina yang terpenting !
3. Jelaskan biografi singkat tentang Ibnu Sina !
4. Dalam karya yang berjudul An-Najah terdapat empat bagian, sebutkan bagian-
bagian tersebut dan sebutkan siapa yang mempersiapkannya !
5. Di dalam filsafat Ibnu Sina terdapat prinsip yang mendasari berbagai urusan publik,
yakni manajemen negeri/kota, manajemen rumah tangga, dan manajemen individu.
Jelaskan dan sebutkan fungsi dari ketiga manajemen tersebut ?
6. Bagaimana pengaruh Ibnu Sina di Timur dan di Barat ?
1. Daftar Istilah
A. Al-Qanun fi Ath-Thibb
B. Asy-Syifa
C. Gerak
D. Kemanusiaan
E. Kepersegian
F. Kesatuan
G. Pembagian Filsafat dan Ilmu
H. Metafisika
I. Wujud
J. Inteligensi kedua
K. Ego tertinggi
L. Aktualitas
M. Absolutis
N. Aksiden
O. Kualitas
P. Kuantitas
Q. Relasi
R. Waktu
S. Ruang
T. Posisi
U. Kondisi
V. Aksi
W. Reaksi
X. Wujud
Y. „Aql mustafad
BAB VIII
UTS (UJIAN TENGAH SEMESTER)
3. Siapakah orang yang berbendapat bahwa “filsafat yunani sebenarnya pertama kali
diperkenalkan kepada dunia lewat karya-karya terjemahan berbahasa Arab, lalu
kedalam bahasa Yahudi, dan baru kemudian dalam bahasa Latin atau langsung dari
bahasa Arab kebahasa Latin”….
4. Al-Farabi
5. TaufiqYatul
6. Oliver Leaman
7. Max Horten
8. De Boer
4. Pada masa pemerintahan siapakah Al-qindi dipercaya sebagai guru pribadi untuk
putra raja?
5. Al-makmun c. Al-rasyid
6. Al-mu‟tasim d. Al-mahdi
10. Di bawah ini merupakan filsafat yang dikemukakan Ibnu Sina, kecuali ..
11. Metafisika
12. Wujud
13. Praktis
14. Hubungan jiwa dan raga
15. Kenabian
11. Pada usia berapakah Ibnu Sina telah berhasil menghafal isi Al-Qur‟an dan
mendalami berbagai karya sastra ?
12. 9 Tahun
13. 10 Tahun
14. 11 Tahun
15. 12 Tahun
16. 13 Tahun
13. Selain sebagai seorang Filosof yang terkenal, Ibnu Miskawih juga banyak
menghasilkan karya-karya yang mengagumkan, manakah yang termasuk karya Ibnu
Miskawaih?
14. Al-Fauza –Al-Akbar
15. Tahafut Al-Falasifah
16. Qanun Fi Thib
17. Tahafut At-Tahafut
18. Ihya Ullumudin
14. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa Tuhan adalah Penggerak pertama segala
gerak, Pertanyaannya mengenai pendapatnya di atas banyak dipengaruhi oleh
siapa Ibnu Miskwaih?
15. Parmenides
16. Herakleitos
17. Zoroaster
18. Aristoteles
19. Empedokles
17. Selain seorang Filosof Ibnu Miskawaih juga pernah mempelajari buku sejarah Tarikh
Ath-Thabari, kepada siapakah ia belajar Sejarah?
18. Said Al-Andalusia
19. Ibnu Hisyam
20. Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi
21. Ibnu Khaldun
22. Avicenna
18. Mengutip pendapat Plato, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa gerak itu terbagi dua,
sebutkan dua gerak tersebut?
19. Gerak ke Arah Inteligensi dan Gerak ke arah Materi
20. Gerak terpaksa dan Gerak tidak terpaksa
21. Gerak Kinetik dan Gerak Conduksi
22. Gerak Aktif dan Gerak Pasif
23. Gerak Gravitasi dan Gerak semu
24. Nama muridnya Ibnu Sina yang menulis tentang riwayat hidupnya adalah
25. Al-Jurjani
26. Suhrawardi
27. Mir Damad
28. Gundisalvus
29. Asy-Syirazi
25. Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebahagian terbagi menjadi lima, sebutkan apa
saja itu?
26. Kesehatan, Kekayaan, Kemasyhuran dan Kehormatan, Keberhasilan, Pemikiran
yang baik
27. Kesejahtraan, Kekayaan, Kemasyhuran, keberhasilan, Kesuksesan
28. Kekayaan, Kemakmuran, Kesejahtraan, Kesuksesan, keberhasilan
29. Kemakmuran, Kekayaan, Kesuksesan, Kemasyhuran dan kehormatan
30. Pemikiran yang baik, Kekayaan, Kekuasaan, Kesuksesan, kemakmuran
29. Pada masa pemerintahan siapakah Al-qindi mulai di percay auntuk menerjemahkan
kitab-kitab yunani?
30. Al-Makmum c. Al-Amin
31. Al-Mu‟tasim d. Al-Mahdi
30. Al-qindi sebagai filsafat muslim yang sangat menunjukan ketelitiannya dan
kecermatannya dalam berFilsapat islam, dari karangannya Al-qindi menganut aliran
?
31. Epistemologisme c. Eklektisisme
32. Rasionalisme d. Empirisme
31. Siapakah tokoh besar Filosof Islam yang mengembangkan ilmu medis atau dalam
bidang kedokteran?
32. Al-Farabi
33. Al-Ghazali
34. Al-Kindi
35. Ar-Razi
36. Ibnu Sina
33. Karya-karya yang di tulis Ibnu Sina yang sudah dikenal di dunia Islam, salah satu
diantaranya adalah?
34. Ihya Ulumudin
35. Uyun Al-Hikmah
36. At-Taqrib
37. Al-Muwatha
38. Al-Umm
34. Dari jumlah karya yang ditulis Ibnu Sina (diperkirakan antara 100 sampai 250 buah
judul) Diantara karyanya itu yang paling detail yang didalamnya terdapat seperti
logika, fisika, matematika, dan metafisika. Karya yang dimaksud adalah?
35. Uyun Al-Hikmah
36. An-Najah
37. Al-Qanun Fi Ath-Thibb
38. Asy-Syifa
39. Al-Isyarat Wa At-Tanbihat
35. Al-Isyarat Wa At-Tanbihat adalah salah satu karya Ibnu Sina yang didalamnya
membahas tentang?
36. Mengenai ontologi, aksiologi, dan epistimologi
37. Mengenai Fisika
38. Mengenai Mistisisme suatu uraian yang mungkin diklasifikasikan kedalam etika
ditinjau dari pengertian sufinya dari pada metafisika
39. Mengenai matematika dan dan fisika
40. Mengenai logika, fisika, matematika, dan metafisika
36. Ada dua jenis atau tipe filsafat yaitu teoritis dan praktis yang disebut tipe teoritis
tujuan adalah?
37. Menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata-mata
38. Menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang apa yang seharusnya
dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan pengetahuan ini
39. Menyempurnakan akal melalui pengetahuan tentang ilmu pengetahuan alam
40. Menyempurnakan akal mengetahuan tentang alam semesta dengan dibantu jiwa
41. Menyempurnakan pikiran melalui pengetahuan sosial masyarakat
42. Ilmu yang memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip filsafat teoritis, ilmu
yang dimaksudkan menurut Ibnu sina adalah?
43. Matematika
44. Wujud
45. Metafisika
46. Logika
47. Fisika
38. Pendapat Ibnu Sina yang sama seperti Al-Farabi yang berpendapat bahwa wujud
rohani yang berada dalam tubuh adalah?
39. Wujud
40. Metafisika
41. Fisika
42. Jiwa atau Raga
43. Matematika
39. Tokoh Ibnu Kammunah Fakhruddin Ar-Razi dan Nashirudin Ath-Thusi dan
Shadruddin adalah tokoh yang?
40. Tokoh yang tidak setuju dengan pemikiran Ibnu sina
41. Tokoh komentar yang paling terkenal kepada Ibnu sina
42. Tokoh yang tidak suka kepada Ibnu sina
43. Tokoh yang ingin menghancurkan Ibnu sina
44. Tokoh yang suka terhadap pemikiran Ibnu sina
40. Diantara para pemikir timur terkemuka yang mencerminkan pemikiran Ibnu sina
adalah?
41. Asy-Syahrastani
42. Wiliam
43. Thomas Aquinas
44. Ar-Razi
45. Ath-Thusi
45. Selama berapa tahun Ibnu Miskawih bekerja sebagai pustakawan bersama Abu-
Fadh ….
46. 6 Tahun
47. 7 Tahun
48. 8 Tahun
49. 9 Tahun
50. 10 Tahun
46. Setelah wafatnya Abu AL-Fadhlia mengabdi kepada putranya yang bernama ….
47. Abu Al-Fath Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-‟Amid
48. Abu Ath-ThayyibAr-Razi
49. Sayyed Hosen Naser
50. An-Najah
51. Al-Qanun fi Ath_Thibb
47. Ibnu Miskawih dikatakan sebagai penerjemah terbaik pada masanya dengan buku
yang berjudul….
48. Risalah fi Al-Ladzdzatwal-Alam fi Jauhar An-Nafs
49. Risalah fi Haqiqah Al–Aql
50. KitabSyarhQaulFlatun fi An-NafsGhairMaitah
51. Taharat An-Nafs
52. Al-muharrikalladzi la ya-taharrak
48. Ibnu Miskawih klaim bahwa penyamaan Aristoteles mengenai sang pencipta dengan
“Penggerak yang tidak bergerak” merupakan argumen kuat tentang Sang Pencipta
yang dapat diterima agama. Pendapat ini dikemukakan oleh .
49. Ikhwan Ash-Shafa
50. Al-Ghazali
51. IbnuSina
52. IbnuMiskawih
53. Ar-razi
50. Dalam karya yang manakah Miskawih mengetengahkan uraian tentang sifat dasar
Neoplatonisme yang agak tidak lazim, yang di dalamnya ia mengklaim bahwa para
filosof klasik (yakni, Yunani), tidak meragukan eksistensi dan keesaan Tuhan
sehingga tidak apa-apa mempertemukan pemikiran mereka dengan islam …
51. Al-Fauz Al-Asghar
52. Al-Fauz Al-Akbar
53. Tajarib Al-Umam
54. As-Siyar
55. Tahzib Al-Akhlaq
51. Menurut Al-Farabi ” Untuk menjadi filosof yang betul betul sempurna, seseorang
harus memiliki ilmu-ilmu yang teoritis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu untuk
kemanfaatan orang lain sesuia dengan kapasitas mereka”. Terdapat dalam karya Al-
Farabi yang berjudul.
52. „Uyun al-Masa‟il c. Tahshil As-Sa‟adah. e. At-Ta‟liqat
53. Risalah al-Aql d. Fushul al-hukm
52. Pola apakah yang ditawarkan oleh Al-farabi untuk menerapkan filsafat :
53. Konseptualisasi, Aktualisasi c. Observasi, pembenaran
54. analisis, Observasi d. Konseptualisasi, Pembenaran.
55. Demonstrasi, Observasi
53. Sebagai seorang filosof, Al-farabi lebih menyondongkan dirinya pada pemikiran
bahwa alam ini adalah baru . tokoh filosof Yunani yang berpendapat demikian
adalah….
54. Aristoteles c. Rene Descartes e. Plato.
55. Plotinus d. Karl Marx
57. Logika dan tata bahasa merupakan dua ilmu yang berlandaskan kaidah:
58. Rule-based sciences. c. Kebudayaan e. Estetika
59. Logika d. Kesenian
59. Kaitannya dengan pemimpin Al-Farabi menyatakan bahwa warga Negara terdiri
atas:
60. 2 kelas c. 4 kelas e. 6 kelas
61. 3 kelas. d. 5 kelas
60. Al-farabi membagi kelas untuk kepemimpinan Negara, kelas terendah terdiri atas:
61. Pemerintah c. Raja e. Satrawan
62. Kesatria d. Petani.
64. Dari beberapa filsafat Ar-Razi yang di kenal yaitu “ filsafat lima kekal” yang terdiri
dari….
65. Tuhan; roh universal; materi pertama; ruang mutlaq; dan waktu mutlaq.
66. Tuhan; manusia; materi pertama; ruang relative; waktu mutlaq.
67. Materi pertama; alam; tuhan; waktu mutlaq; jiwa mutlaq.
68. Tuhan; jiwa mutlaq; materi pertama; ruang relative; roh universal.
65. Dalam filsafat “rasionalis” Ar-Razi mengemukakan pendapatnya terhadap akal yang
dijelaskan dalam kitab?
66. Ash-shirat Al-falsafiyah
67. Amarat iqbal Ad-daulah
68. Kitab Al-Ladzdzah
69. Ath-thibb Ar-ruhani
66. Di bawah ini merupakan filsafat yang dikemukakan oleh Ar-Razi yaitu?
67. Filsafat akal; filsafat jiwa; filsafat hati;
68. Filsafat lima kekal; filsafat moral; filsafat hati;
69. Filsafat lima kekal; filsafat rasionalis; filsafat moral;
70. Filsafat hati; filsafat rasionalis; filsafat akal;
67. Dalam kitab “ Ath-Thibb Ar-Ruhani” Ar-razi juga mengemukakan teorinya mengenai..
68. Hati
69. Jiwa
70. Akal
71. Roh
68. Dalam filsafat” lima kekal” Ar-Razi, diantaranya “Al-makan al-muthlaq” terdapat dua
macam ruang (tempat) yang dibutuhkan, yaitu:
69. Ruang hati; ruang hidup;
70. Ruang particular; ruang universal;
71. Ruang universal; ruang hidup;
72. Ruang particular; ruang hari
69. Pendapat yang mengatakan bahwa Ar-Razi menentang faham yang di anut umat
islam, yaitu tidak percaya wahyu, al-qur‟an bukan mukjizat dan lain-lain, adalah
pendapat?
70. Al-Ghazali
71. At-Tanukhi
72. Fuad al-ahwani
73. Al-kindi
70. Siapakah yang mengatakan bahwa Ar-razi dijuluki sebagai “dokter islam yang tak
tertandingi”?
71. Abu Al-qasim Al-Balkhi
72. Ibnu Tammar
73. Yahya Ibnu „Adi
74. Abu hatim Ar-Razi
Ayah Al-Ghazali gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena ia hanya mau makan dari
usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pencinta ilmu dan selalu
berdo‟a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan, ajalnya tak
memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan keberhasilan Al-Ghazali sesuai
do‟anya (Rasyidin, 2005: 85).
Al-Juwaini memprakarsai muridnya yang brilian ini kedalam study kalam, filsafat dan
logika. Perkenalan Al-Ghazali dengan teori dan praktik mistisme merupakan berkat jasa
Al-Farmazi (wafat 1084 M, seorang sufi terkemuka saat itu).
Empat tahun lamanya al-Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang dengan ilmu
pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia memulai menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat. Tetapi, keadaan yang demikian tidaklah selamanya menenteramkan
hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya
sering muncul, inilah ilmu pengetahuan yang sebenarnya? Inilah kehidupan yang
dikasihi Allah? Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan? Dengan mereguk madu dunia
sampai ke dasar gelasnya. Bercamam-macam pertanyaan timbul dari sanubarinya.
Keraguan terhadap daya serap indra dan olahan akal betul-betul menyelimuti dirinya.
Akhirnya ia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekah,
kemudian ke Damaskus dan tinggal di sana sambil mengisolir diri untuk beribadah dan
kontemplatif. Kesunyian khalwat di Damaskus mulailah tampak terang yakin jalan sufi.
Al-Ghazali tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, karena di samping kekuatan
akal ada lagi nur yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-
sungguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus, ia kembali ke Bagdad, lalu kembali ke
kampungnya, Thus. Di kota ini, ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan
beribadah sampai akhir hayatnya, pada tanggal 14 Jumadil akhir 505 H (1111 M)
dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga
yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada usia 54 tahun.
2. Karya-karya Al-Ghazali
Setelah mempelajari beberapa filsafat, baik filsafat Yunani maupun filsafat Islam, Al-
Ghazali menemukan argumen-argumen mereka yang tidak kuat, bahkan banyak yang
bertentangan denga ajaran Islam. Oleh sebab itu, Al-Ghazali menyerang argumen para
filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persolan, di antaranya Al-Ghazali menyerang
dalil Aristoteles tentang azalinya alam. Ia menentang pendapat para filosof yang
mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian pada alam dan hanya
mengetahui soal-soal yang besar saja. Selain itu, ia menentang argumen para filosof
yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil adanya
penyelewengan dari hukum itu. (Yunasril, 1991: 68).
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan sebagai Hujjat Al-Islam atas pembelaannya yang
mengagumkan terhadap agama Islam, terutama karena bantahanya terhadap
kaum batiniyat dan kaum filosof. Al-Ghazali merupakan sosok luar biasa, ia seorang
ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Karenanya,
pernyataan yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagai orang Islam)
bahwa ia adalah muslim terbesar sesudah Muhammad Saw., memperkuat kebesaran
nama yang disandangkan. Pemaparan dan gaya bahasanya yang sangat menarik
menjadikan dalil yang disajikan menjadi sangat kuat sehingga setiap ilmu yang ditulis
dapat dijadikan hujah.
Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di bawah ini merupakan
beberapa warisan dari Al-Ghazali yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran
umat Islam.
3. Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan sosok pemikir dan ulama yang memiliki kontribusi besar di
panggung peradaban Islam. Namun, tidak sedikit pula orang-orang dengan berbagai
karyanya yang mendiskreditkan tokoh besar ini. Akibatnya, Al-Ghazali ditempatkan
sebagai sosok yang kontroversial dengan para filosof, bahkan Al-Ghazali dituding
sebagai orang yang mengharamkan filsafat. Berdasarkan hal itu, tidak sedikit orang
menanamkan kebencian terhadap Al-Ghazali dan pemikir-pemikirannya. Dalam
menyikapi fenomena tersebut, tentunya perlu ada upaya penjernihan dan kajian yang
mendalam tentang filsafat dalam pandangan Al-Ghazali yang sesungguhnya, sehingga
kajiannya tidak membingungkan para pembaca dalam memahami sosok Al-Ghazali ini.
Filsafat pada dasarnya adalah proses pencarian kebenaran. Adapun kebenaran yang
dicari Al-Ghazali adalah suatu kebenaran sejati, yaitu kebenaran yang diyakini betul-
betul merupakan kebenaran. Corak pemikiran Al-Ghazali pada mulanya adalah sama
dengan para filosof yang lainnya, ia memandang pengetahuan itu adalah hal-hal yang
bisa ditangkap oleh pancaindra, namun dia berpendapat pula bahwa pancaindra juga
memiliki kekurangan. Karena ketidak percayaan pada pancaindra, beliau meletakkan
kepercayaan pada akal, tetapi akal juga tidak bisa dipercaya. Alasan yang paling
membuat dia tidak percaya pada produk akal adalah dia melihat bahwa aliran-aliran
yang menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan
pemandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan oleh akal.
1. Metafisika
Mereka adalah filosof Yunani seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Aristoteles telah
menyanggah pemikiran filosof sebelumnya, yaitu materialis dan naturalis, namun ia
sendiri tidak membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran dan keheredoksian. Oleh
karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga Al-Farabi dan Ibnu Sina yang
menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
ª!$# ß,Î=»yz Èe@à2 &äóÓx« ( uqèdur 4‘n?tã Èe@ä. &äóÓx« ×@‹Ï.ur ÇÏËÈ
Artinya: “Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa,
yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan di bumi.
dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Hasyr: 24).
Adanya alam adalah hasil dari iradat Tuhan, karena sifat iradat dalam pandangan Al-
Ghazali adalah sifat yang mutlak dan ada pada Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan
memiliki kehendak dengan kebesaran yang tidak terbatas. Dia bisa berkehedak untuk
menciptkan atau tidak menciptakan. Begitupun halnya kebebasan kehendak Tuhan itu
tercermin dari segi waktu penciptaan. Artinya Tuhan bisa memilih waktu tertentu untuk
menciptakan sesuatu, tanpa harus mempertanyakan sebab Tuhan memilih waktu itu,
karen sebabnya itu merupakan iradat-Nya pula.
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula),
dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (Q.S. Al-
An‟am: 59).
Pembangkitan Jasmani
Menurut Al-Ghazali, pemikiran bahwa pembangkitan jasmani di hari kiamat itu tak ada,
itu pun membawa pada kekufuran karena teks ayat-ayat dalam Al-Qur‟an
menggambarkan adanya pembangkitan jasmani. Firman Allah Swt:
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibnu Rusyd menulis dalam Tahafut At-Tahafut bahwa
filosof-filosof Islam tak menyebutkan hal seperti itu. Dalam hal ini, ia melihat adanya
pertentangan dalam ucapan-ucapan Al-Ghazali. Di dalam Tahafut Al-Falasifah, Al-
Ghazali menulis, bahwa dalam Islam tidak mengenal konsep bahwa yang akan
dibangkitkan itu Ruhani saja. Namun, dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum
sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan Ruhani dan tidak ada pembangkitan jasmani.
Ketidak konsistenan Al-Ghazali menggambarkan perkembangan pemikirannya,
sebagaimana perkembangan penggembaraan intelektual beliau semasa hidupnya yang
berawal dari pengembaraan filsafat, kemudian ke tasawuf.
Dengan demikian, Al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan
kaum filosof dalam pemikiran tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Pemikiran
itu bukanlah pendapat filosof, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik Al-
Ghazali dari filsafat mereka. Pengkafiran Al-Ghazali terhadap tiga permasalahan
tersebut membuat orang di dunia Islam bagian Timur dan Baghdad, sebagai pusat
pemikiran, menjauhi filsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu, Al-Ghazali
mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah
filsafat, tetapi tasawuf. Bahkan, Al-Ghazali menurut Ibnu Rusyd telah melakukan dua
kesalahan.
Masalah Wujud
Dalam menetapkan wujud Tuhan ini, Al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al-
Asy‟ari, beliau menggunakan dalil wujud Tuhan itu atas dua bentuk, yaitu
dalil naqli dalil aqli. Penggunaan dalil naqli, yakni melalui perenungan terhadap ayat-
ayat Al-Qur‟an sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, di mana
dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai
mengakui wujud Tuhan. Sementara itu, dalam membuktikan wujud Tuhan melalui dalil
Aqli, Al-Ghazali mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah
adalah qadim, sedangkan wujud makhluk adalah hadits. Wujud yang hadits (baru)
menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang
mengadakannya.
Masalah Zat dan Sifat
Dalam membahas zat Tuhan, Al-Ghazali membatasi diri dengan mengemukakan hadits
Nabi Saw., yang melarang manusia memikirkan zat Allah SWT. Dan beliau
menegaskan, bahwa akal manusia tidak akan sampai mencapai zat itu. Cukup bagi
manusia hanya mengetahui sifat af‟al-nya saja, sedangkan dalam membahas tentang
sifat Tuhan, Al-Ghazali cenderung untuk mengikuti para mutakalimin dari mazhab Al-
As‟ari. Beliau menetapkan adanya sifat zat yang diistilahkan dengan sifat salbiyah dan
ma‟ani.
Masalah Af‘al
Dalam masalah ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT., tidaklah
terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT., juga menciptakan perbuatan
manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT.
Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Jadi, perbuatan
dan ikhtar manusia terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis kadar. Dalam
menguraikan tentang af‟al ini, Al-Ghazali mengembalikan permasalah kepada firman
Allah SWT :
Tasawuf Al-Ghazali
Karena tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia meninggalkan
kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyyah Baghdad pada tahun 1095 M, lalu
pergi ke Damaskus untuk bertapa di salah satu menara Masjid Umawi yang ada di
sana. Tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu
dirinya. Dari tasawuflah, ia memperoleh keyakinan yang dicari-carinya, itulah yang
membuat Al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali. Mengenai cahaya ini, Al-Ghazali
mengatakan: “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang
menyangka bahwa kasyaf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas, cahaya yang
dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan kedalam hati sanubari
seseorang.”Dengan demikian, satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan
akan kebenaran bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung
dari Tuhan dengan tasawuf (Nasution, 1978: 31).
1. Filsafat Etika atau Akhlak Al-Ghazali
Filsafat akhlak menurut Al-Ghazali amat erat kaitannya dengan filsafat ke-Tuhanannya,
sebab tujuan dari butiran nilai-nilai akhlak yang dikemukakannya tidak lain adalah
sebagai sarana untuk mencapai makrifatullah (mengenal Allah SWT). Dalam arti,
membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya. Al-Ghazali
menakrifkan akhlak itu dengan: “Sifat yang tertanam di dalam jiwa di mana timbul
perbuatan-perbuatan dan tindak tanduk dengan mudah dan gampang tanpa
memerlukan pikiran dan pertimbangan”. Jadi, akhlak adalah milik jiwa yang menjadi
sifat seorang manusia, yang dengan sifat itu secara gampang ia dapat berbuat. Dalam
mendefinisikan etika atau akhlak, Al-Ghazali memiliki banyak kesamaan dengan Ibnu
Miskawaih, yaitu suatu keadaan jiwa yang mantap yang direfleksikan dalam bentuk
perbuatan-perbuatan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Filsafat etika Al-Ghazali secara langsung dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam
bukunya Ihya‟ „Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali merupakan teori
tasawufnya. Tujuan pokok dari etika Al-Ghazali terdapat pada semboyan tasawuf yang
terkenal: at-takhalluq bi-akhlaqillahi „ala taqatil basyariyah, atau pada semboyannya
yang lain, as-sifatir-rahman „ala taqalil-basyatiyah. Maksud semboyan itu adalah agar
manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ke-Tuhanan, seperti
pengasih, penyayang, dan pengampun (pemaaf). Di samping itu, sifat-sifat yang disukai
Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya (Mustofa,
2000: 240).
2. Pengaruh Filsafat Al-Ghazali
Pengaruh pemikiran Al-Ghazali terhadap perkembangan peradaban Islam sangat besar
karena pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sesuai dengan ajaran Islam. Banyak kaitan
karangan Al-Ghazali yang merupakan upayanya untuk membersikan hati umat Islam
dari kesesatan sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik
Islam maupun Barat (orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan
pembelaan terhadap berbagai serangan, ia diberi gelar hujjatul Islam. Tentu saja gelar
tersebut bukan sembarangan gelar dan tidak ada seorangpun sebelumnya yang digelari
seperti itu. Gelar tersebut didasarkan pada pemikiran Al-Ghazali yang sangat baik dan
berpengaruh (Suseno, 2000: 33).
Bagaimanapun, karya-karya Al-Ghazali ini berpengaruh besar bagi para ilmuwan dan
filosof lain, termasuk di dataran Eropa, seperti:
1. Ringkasan
Imam Al-Ghazali adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela
Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang
menghanyutkan (Bahrun Mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada
keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan
pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses
memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi khalifah
di bumi. Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu mencapai
tujuan hidupnya di dunia dan akhirat, dan hidup yang berpedoman al-Qur‟an dan
Hadits. Imam Al-Ghazali memiliki banyak karangan yang dipakai dalam hal
pengetahuan pendidikan, dan beliau merupakan salah satu guru besar dalam ilmu
pengetahuan.
1. Suggested Reading
Zar, Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ar-Rasyidin dkk. 2005. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Ciputat
Press.
Ar Rasyidin dkk. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Syadan, Ahmad dkk. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam. Jakrta: Bumi
Askara.
Hanafi, Ahmad. 1996. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsah 2022. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nasution. Harun, 1978. Filsafat dan mistisis medalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Mustofa. 2000. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Suseno. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
1. Latihan
a) Soal Pilihan Ganda
1. Dimanakah Al-Ghazali dilahirkan?
1. Baghdad
2. Thusi
3. Mekah
4. Palestina
5. Semua salah
b) Soal Essay
1. Jelaskan biografi singkat Al-Ghazali !
2. Sebutkan karya-karya Al-Ghazali di bidang filsafat ! (3
saja)
3. Sebutkan karya-karya Al-Ghazali di bidang Agama ! (5
saja)
4. Sebutkan pemikiran filsafat Al-Ghazali yang
menentang pemikiran filosof islam sebelumnya !
5. Sebutkan pandangan Al-Ghazali terhadap ilmu !
1. Daftar Istilah
2. Hujjatul Islam, Pembela islam
3. Zainuddin, hiasan agama
4. bahrun mughriq, samudra yang menghanyutkan
5. Tahafut Al-Falasifah
6. Ihya‟ „Ulum Ad-Din
7. kasyf (pembukaan tabir)
8. Dalil naqli
9. Dalil aqli.
10. Metafisika
11. Juz‟iyyat
12. Kully
13. Iradat
14. Qadim
15. Azali
16. Tabi‟iyyun, Filosof Naturalis
17. Dahriyyun, filosof Materialis
18. Al-Munqiz min Ad-Dalal
19. Al-Ma‟arif Al-„Aqliyah
20. Maqasid Al-Falasifah
21. Misykat Al-Anwar
BAB X
IBNU BAJJAH
Di antara karya-karya Ibnu Bajjah yang terkenal dalam filsafatnya adalah sebagai
berikut:
Risalah Tadbir al-Mutawahhid, ini adalah kitab yang paling populer dan penting dari
seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu
menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat dan
negara, yang disebutnya sebagai Insan Muwahhid (manusia penyendiri). Menurutnya,
dengan cara begitu ia dapat berhubungan dengan Al-‟Aglul-Fa‟al (Full Force
Mind=kekuatan pikiran). Memang benar bahwa hidup mengasingkan diri pada
hakikatnya lebih baik. Sebagaimana yang dikatakan olehnya, ”untuk itu, orang yang
hidup menyendiri, dalam beberapa segi kehidupannya, sedapat mungkin harus
menjauhkan diri dari orang lain, tidak mengadakan hubungan dengan orang lain kecuali
dalam keadaan mendesak atau terdapat ilmu pengetahuan, kalau ada”. Sikap demikian
tidak bertentangan dengan apa yang disebut dengan ilmu peradaban, dan tidak
bertentangan pula dengan apa yang tampak jelas di dalam ilmu alam. Telah jelas
bahwa manusia adalah berada menurut kodratnya (Fuad, 1997: 99).
1. Risalah al-Wada‟, risalah ini membahas Penggerak Pertama (Tuhan) bagi wujud
manusia, alam, serta beberapa uraian mengenai kedokteran. Buku ini tersimpan di
perpustakaan Bodleian.
2. Risalah al-Ittisal al-„Aql bi al-Insan (perhubungan Akal dengan manusia), risalah ini
menguraikan tentang hubungan manusia dengan Akal Fa‟al.
Kitab al-Nafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa. Kitab ini juga berisi keterangan
mengenai kegemaran Ibnu Bajjah, yakni pemusatan dalam batas kemungkinan
persatuan jiwa manusia dengan Tuhan, sebagai aktifitas manusia yang tertinggi dan
kebahagiaan yang tertinggi, yang merupakan tujuan akhir dari wujud manusia,
(Sirajuddin, 2004: 187).
Karya lainnya yang dibuat oleh Ibnu Bajjah, baik dalam bentuk bahasa Arab atau
Bahasa Inggris, sekaligus menjadi bukti sebuah pengakuan dari dunia luar atas
karyanya, antara lain:
Keterangan Ibnu Bajjah di atas berlawanan sekali dengan pikiran al-Ghazali yang
menetapkan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya, serta semua
pengetahuan manusia sia-sia belaka karena tidak bisa menyampaikan pada suatu
kebenaran, maka cara yang paling baik untuk mencapai makrifat yang benar adalah
mendekatkan pikiran kepada tasawuf (beribadah untuk selalu menjauhkan dunia dan
mendekatkan diri pada Allah).
Dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain, tidak seperti
al-Farabi dia berurusan dengan masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia
mengagumi filsafat Aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya sendiri.
Tapi, dia berkata untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya
Ibnu Bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya Aristoteles. Uraian-uraian
ini merupakan bukti yang jelas bahwa dia mempelajari teks-teks karya Aristoteles
dengan sangat teliti, (Mustafa, 2007: 259).
Akan tetapi, dengan kecerdasan Ibnu Bajjah, walaupun ia sejalur dengan filsafat
Aristoteles, ia tidak pernah lari dari ajaran Islam. Ia berupaya mengislamkan argumen
metafisika Aristoteles tersebut. Menurutnya Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia
adalah Pencipta dan Pengatur alam. Argumen adanya Allah bahwa dengan adanya
gerakan di alam raya ini. Jadi, Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas.
Agar pembahasan filsafat menurut Ibnu Bajjah lebih jelas, lihat filsafatnya dalam uraian
di bawah ini:
1. Filsafat Metafisika
Menurut Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan
yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jism (materi) yang sifatnya finite (terbatas).
Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan
ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini di gerakkan
oleh penggerak yang tidak bergerak, dalam arti penggerak yang tidak berubah yang
berbeda dengan jism (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jism mustahil timbul
dari subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal
dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh Ibnu bajjah disebut dengan „aql.
Perlu di ketahui bahwa para filosof muslim pada umumnya menyebut Allah itu adalah
„aql. Argumen yang mereka majukan adalah Allah pencipta dan pengatur alam yang
beredar menurut aturan rancangan-Nya, mestilah ia memiliki daya berpikir. Kemudian
dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof muslim menyebut Allah
adalah zat yang mempunyai daya berpikir („aql), juga berpikir („aqil) dan objek
pemikiranya sendiri (ma‟qul). Keseluruhanya adalah zat-Nya yang
Esa, (Nasution, 1985: 17).
Ibnu Bajjah percaya pada kemajemukan akal, ia pun mengacu pada akal pertama dan
akal kedua. Ia berpendapat, akal manusia paling jauh adalah akal pertama. Kemudian
ia menjelaskan tingkat-tingkat akal dengan mengatakan bahwa sebagaian akal secara
langsung berasal dari akal pertama, sebagaian lain berasal dari akal-akal lain.
Hubungan antara yang diperoleh dan tempat asal akal yang diperoleh itu sama dengan
hubungan cahaya matahari yang ada di dalam rumah dan cahaya matahari yang ada di
halaman rumah., (Syarif, 1963: 163).
1. Filsafat Epistemologi
Manusia mampu berhubungan dan meleburkan diri dengan akal fa‟al atas bantuan ilmu
dan pertumbuhan kekuasaan insaniah, bila ia telah bersih dari kerendahan dan
keburukan masyarakat. Masyarakat bisa melumpuhkan daya kemampuan berpikir
perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan. Pengetahuan yang
didapatkan lewat akal, akan membangun kepribadian seseorang. (Nasution, 2001: 97).
Akal mendapatkan obyek-obyek pengetahuan yang disebut hal-hal yang dapat diserap
dari unsur imajinatif, dan memberikan sejumlah obyek pengetahuan lain kepada unsur
imajinatif. Hal yang paling mencengangkan pada unsur imajinatif adalah keterhubungan
dengan wahyu dan ramalan.
1. Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai jiwa. Jiwa ini tidak
mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia.
Jiwa di gerakkan dengan dua jenis alat, yaitu alat-alat jasmaniah dan alat-alat
Ruhaniah. Alat-alat jasmaniah diantaranya ada yang berupa buatan dan ada pula yang
berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari pada
alat buatan‟ yang di sebut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri (al-harr al-
gharizi) atau Ruh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.
Panca indera merupakan lima unsur dari suatu indera tunggal yaitu akal sehat, dan akal
sebagai realisasi penuh tubuh secara keseluruhan, oleh karena itu disebut sebagai
jiwa (Ruh). Unsur ini juga mensuplai materi untuk unsur imajinasi yang terorganisasi,
sebab itu unsur ini didahului oleh sensasi yang mensuplai materi kepadanya. Oleh
karenanya lagi sensasi dan imajinasi telah dianggap sebagai dua jenis persepsi jiwa.
Tetapi perbedaan keduanya sangat jelas sepanjang sensasi bersifat khusus dan
imajinasi bersifat umum. Unsur imajinatif berpuncak pada unsur penalaran yang
melawatinya orang-orang bisa mengungkapkan dirinya kepada orang lain dan sekaligus
mencapai serta membagi pengetahuan, (Mustafa, 2007: 265).
Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan menjadi tiga bagian, antara lain:
Pertama, bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki hubungan sirkular dengan materi
sehingga bentuk-bentuk itu dapat membuat kejelasan materi dan menjadi sempurna.
Kedua, kejelasan materi yang bereksistensi dalam materi.
Ketiga, bentuk-bentuk yang bereksistensi dalam indera-indera jiwa akal sehat, indera
khayali, ingatan, dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk kejiwaan
dan kejelasan materi (Hanafi, 1990: 151).
Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan akal aktif oleh Ibnu Bajjah dinamakan bentuk-
bentuk kejiwaan umum, sedangkan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan akal sehat
dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus. Pembedaan ini dilakukan karena bentuk-
bentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu hubungan yang menerima. Sedangkan
bentuk kejiwaan khusus memiliki dua hubungan-hubungan khusus dengan yang
berakal sehat dan hubungan umum dengan yang terasa. Misalnya, seorang manusia
ingat akan bentuk Taj Mahal, bentuk ini tidak berbeda dari bentuk nyata Taj
Mahal kalau benda itu berada di depan mata bentuk ini, selain memiliki hubungan
khusus seperti yang tersebut di atas, juga hubungan dengan wujud umum yang terasa
sebab banyak orang melihat Taj Mahal (Hanafi, 1990: 151).
1. Politik
Dari pengertian mutawahhid, banyak orang mengira bahwa Ibnu Bajjah menginginkan
supaya seseorang menjauhkan diri dari masyarakat ramai. Tetapi sebenarnya Ibnu
Bajjah bermaksud bahwa seorang mutawahhid sekalipun harus senantiasa
berhubungan dengan masyarakat. Tetapi hendaklah seseorang itu mampu menguasai
diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, tidak terseret kedalam arus perbuatan
rendah masyarakat. Dengan perkataan lain ia harus berpusat pada dirinya dan merasa
selalu bahwa dirinya menjadi contoh ikutan orang lain, serta sebagai penyusun
perundang-undangan bagi masyarakat, bukan malah tenggelam dalam masyarakat itu.
Tindakan-tindakan mulia itu kemungkinan bisa diterapkan di Negara utama. Dalam
bentuk-bentuk Negara Daerah yang rusak, semua tindakan dilakukan secara terpaksa
dan impulsive (bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu) karena penduduknya tidak
bertindak secara rasional, dan sukarela tetapi didorong, misalnya pencaharian
kebutuhan hidup, kesenangan pujian, atau kejayaan. Dalam kehidupan rezim yang
tidak sempurna ini, dimana aspirasi intelektual dirintangi, maka tindakan seseorang
yang terkucil, menarik diri dari pergaulan manusia, didalam Negara semacam ini untuk
apolitik.
1. Filsafat Etika
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah
perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhubungan denganya,
baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang
lurus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutnya, perbuatan-
perbuatan manusia.
Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu
sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia
mengemukakan seorang yang tertimpa batu kemudian ia luka-luka, lalu ia
melemparkan batu itu. Kalau ia melemparnya karena telah melukainya maka ia adalah
perbuatan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telah mendiktekkan
kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.
Kalau melemparkanya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena
kepentingan dirinya atau marahnya tidak bersangkut paut dengan pelemparan tersebut,
maka perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan yang terakhir ini saja
yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut Ibnu Bajjah hanya orang yang
bekerja dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata dan tidak ada
hubunganya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatanya dan
bisa di sebut orang langit.
Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain
hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaanya. Dalam keadaan
demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi
kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya,
karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukkanya kepada naluri
(Zar, 2004: 195).
Ibnu Bajjah pun sangat menguasai logika. Menurutnya, sesuatu yang dianggap ada itu
sama benar-benar ada atau tidak ada bergantung pada yang diyakini ada atau
hanyalah suatu kemungkinan. Justru, apa yang diyakini itulah sebenarnya satu
kebenaran dan sesuatu kemungkinan itu boleh jadi mungkin benar dan tidak benar.
Kenyataannya, banyak perkara di dunia yang tidak dapat diuraikan menggunakan
logika. Jadi, Ibnu Bajjah belajar ilmu-ilmu lain untuk membantunya memahami hal-hal
yang berkaitan dengan metafisika, seperti ilmu sains dan fisika. Ibnu Bajjah juga
terkenal dengan ungkapan yang menyebut manusia sebagai ”makhluk sosial”.
Pendapat itu dilontarkan jauh sebelum sarjana Barat mencetuskannya. Ia pun telah
menguraikan konsep masyarakat madani dalam tulisannya pada abad ke-11 M.
Kehebatannya dalam berbagai ilmu telah membuat banyak kalangan benci dan iri.
Menurut Ibnu Bajjah, kecepatan gaya gerak resistensi materi. Ibnu Bajjah pun adalah
fisikawan pertama yang mengatakan selalu ada gaya reaksi untuk setiap gaya yang
mempengaruhi. Ibnu Bajjah pun sangat mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas
mengenai analisis gerakan. Inilah salah satu bukti betapa peradaban barat banyak
terpengaruh dengan sains yang dikembangkan ilmuwan Muslim.
Psikologi
Ibnu Bajjah pun juga sangat berjasa dalam mengembangkan psikologi Islam.
Pemikirannya tentang studi psikologi didasarkan pada ilmu fisika. Dalam risalah yang
ditulisnya berjudul, Recognition of the Active Intelligence, Ibnu Bajjah
menulis inteligensiaaktif adalah kemampuan yang paling penting bagi manusia. Dia
juga menulis banyak hal tentang sensasi dan imajinasi.
”Pengetahuan tak dapat diperoleh dengan pikiran sehat saja, tapi juga
dengan inteligensiaaktif yang mengatur inteligensia alami,” ungkap Ibnu Bajjah. Ia juga
mengupas tentang jiwa. Bahkan, secara khusus Ibnu Bajjah menulis kitab berjudul, al-
Nafs, atau Jiwa. Dia juga membahas tentang kebebasan. Menurut dia, seseorang
dikatakan bebas ketika dapat bertindak dan berpikir secara rasional.
1. Ringkasan
Berdasarkan pemaparan diatas maka penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Suggested Reading
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, ter. Tim Pustaka Firdaus, Cet. VIII, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997.
Mustofa, Ahmad. Filsafat Islam, Jakarta: CV Pustaka Setia: 2004.
Nasution Hasimsyah. 2003, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof, dan Ajarannya.
Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2013.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam, filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.
1. Latihan
2. Pilihan Ganda
3. Ada berapa jiwa yang berhasrat dalam pemikiran Ibnu Bajjah…
4. 25 e. 7
5. 34
3. Perbuatan manusiawi
4. Kebijakan formal
5. Peruatan hewani
6. Kebijakan spekulatif
7. Kepribadian
10. Menurut satu riwayat, ia meninggal karena di racuni oleh seorang dokter bernama…
11. Ibnu Sina
12. Abu al-„Ala Ibnu Zuhri
13. Al-Biruni
14. Al-Khaitam
15. Al-Farabi
1. Soal Essay
2. Mengapa dalam pembahasan filsafat Ibnu Bajja dalam beberapa bukunya ada yang
tidak matang dan sempurna?
3. Mengapa Ibnu Bajjah menolak teori ilham Al-Ghazali?
4. Siapa yang mempengaruhi pemikiran filsafat Ibnu Bajjah? Dan apakah 100%
mempengaruhi filsafat Ibnu Bajjah?
5. Jelaskan satu persatu filsafat Ibnu Bajjah?
6. Bagaimana pengaruh filsafat Ibnu Bajjah dalam kehidupan masyarakat?
1. Daftar Istilah
2. Saintis
3. Risalah al-Wada
4. Risalah al-Ittisal al-„Aql bi al-Insan
5. Jism, materi
6. „Aqil, berpikir
7. Epistemologi
8. Jiwa
9. Etika
10. Astronomi
11. Psikologi
BAB XI
IBNU THUFAIL
Kemudian, pada tahun 549 H/1154 M, dia menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta
dan Tangier, putra „Abd Al-Mu‟min, penguasa Muwahhid spanyol pertama yang
merebut Maroko pada tahun 542/1147 M. Akhirnya, Thufail menduduki jabatan dokter
tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan serta wazir Khalifah Muwahhid Abu Ya‟qub
Yusuf (558 H/ 1163-580 H/1184 M) Khalifah ini berminat pada filsafat dan memberi
kebebasan berfilsafat. Hal ini menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran
filosof dan metode ilmiah serta membuat Spanyol sebagai “tempat kelahiran kembali
negeri Eropa, (Zaenal, 2012: 120)
Sebagaimana dijelaskan di awal bahwa tidak banyak karya Ibnu Thufail, bahkan hanya
satu yang tersisa sampai hari ini, Risalah Hayy bin Yaqzan. Sebagai gambaran isi kitab
tersebut, penulis uraikan secara singkat gambaran umumnya;
Hayy bin yaqzan bermakna yang Hidup Putra Yang Bangun. Hay Ibnu Yaqzan adalah
tokoh utama dalam karya tulis Ibnu Thufail, tetapi sebelumnya juga sudah dipakai oleh
Ibnu Sina sebagai tokoh utama dalam sebuah risalah pendeknya. Dalam risalah yang
ditulis Ibnu Sina, Hayy Ibnu Yaqzan dilukiskan sebagai seorang Syekh tua yang di
tangannya tergenggam kunci-kunci segenap pengetahuan, yang ia terima dari
bapaknya. Syekh tua itu adalah seorang pengembara yang dapat menjelajahi semua
penjuru bumi, dan disebutkan bahwa Ibnu sina sendiri bersama kawan-kawannya,
dalam suatu perjalanan, berjumpa dengan Syekh tua tersebut, dan terjadilah
perkenalan serta dialog. Syekh tua dengan nama Hayy Ibnu Yaqzan dalam karya tulis
Ibnu Sina itu merupakan tokoh simbolis bagi akal aktif, yang selain berkomunikasi
dengan para nabi, juga dengan para filosof.
Berbeda dengan Versi Ibnu Sina, Hayy Ibnu Yaqzan dalam tulisan Ibnu Thufail,
dilukiskan sebagai seorang bayi laki-laki yang berada di sebuah pulau yang belum
pernah dihuni manusia. Bayi itu boleh jadi muncul karena terbentuknya percampuran
tanah dan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki jiwa manusia sehingga
munculullah bayi itu, atau boleh jadi ia adalah bayi hasil pernikahan sah secara rahasia
antara saudara perempuan seorang raja dengan seorang anggota keluarga istana di
pulau lain. Karena takut pada raja, bayi itu dimasukan kedalam peti dan di lepas
terapung-apung di laut. Arus gelombang membuat peti bayi itu terdampar di pulau di
antara pulau-pulau yang terletak di bawah garis khatulistiwa. Bayi itu di susukan dan di
rawat oleh seekor rusa yang baru kehilangan bayi. Bayi yang bernama Hayy bin
Yaqzan ini dapat terus hidup dalam lingkungan binatang, dapat berkembang baik
menjad manusia dewasa, yang berbeda dengan binatang. Akal sehatnya berkembang
sedemikian rupa menurut sunatullah sehingga ia bukan saja mampu berpikir tentang
dunia fenomena, melainkan juga dapat menangkap hal-hal abstrak dan mengetahui
adanya Tuhan, pencipta sekalian alam. Ia bahkan dengan mata batinnya dapat melihat
Tuhan, merasa dekat dengan-Nya dan merasa berbahagia, tidak jauh dari pulau itu
terdapat pulau lain yang dihuni oleh masyarakat manusia. Namanya absal dan
salaman, adalah penganut agama wahyu, tetapi memiliki kecenderungan yang
berbeda. Absal banyak tertarik pada pengertian metaforis dari teks-teks agama,
Sedangkan Salaman lebih cenderung berpegang pada arti-arti lahiriah. Sejalan dengan
sikap masyarakat pada umumnya di pulau tersebut, Absal kemudian mengasingkan diri
dari masyarakat. Suatu hari, ia menyebrang ke pulau yang di huni Hayy Ibnu Yaqzan.
Keduanya berjumpa, dan setelah Hayy Ibnu Yaqzan di ajari berbicara, keduanya
berdialog dan saling berkisah. Hay Ibnu Yaqzan dengan mudah dapat memahami dan
menyetujui keterangan Absal tentang Tuhan, Surga, neraka, hari kebangkitan,
timbangan, jalan lurus, dan lain-lain sebagaimana yang di ajarkan oleh Wahyu. Absal
juga mudah memahami keterangan Hayy Ibnu Yaqzan tentang hasil renungan dan
penglaman Ruhaniahnya dengan Tuhan. Kedua insan itu (Hayy Ibnu Yaqzan dan Absal
) saling membenarkan.
Hay Ibnu Yaqzan dalam tulisan Ibnu Thufail bukanlah simbol akal aktif tetapi simbol
akal manusia yang tanpa bimbingan wahyu mampu mencapai kebenaran tentang dunia
fenomena serta tentang Tuhan dan alam Ruhaniah lainnya, dan kebenarannya tidak
bertentangan dengan kebenaran wahyu. Absal dan Salaman dapat dipandang sebagai
simbol wahyu yang dipahami dengan pemahaman yang berbeda. Absal sebagai simbol
wahyu dengan pemahaman metaforis kaum sufi, sedangkan Salaman sebagai simbol
wahyu yang dipahami dengan pemahaman tekstual kalangan ulama pada umumnya.
Ada tiga orang dalam cerita roman itu yang melambangi tiga cara hidup :
Hayy bin yaqzan sebagai lambang hidup filosof (ahli pikir atau ahli filsafat yang
sejati), yang dengan memikirkan alam dan semua isinya dan memikirkan dirinya
sendiri, lambat laun sampai kepada keyakinan adanya Tuhan.
Absal sebagai lambang hidup ahli agama, yang dengan memikirkan wahyu sebagai
kebenaran lambat laun sampai kepada keyakinan adanya Tuhan.
Raja Salaman dan rakyatnya sebagai lambang hidup dari dunia kita ini, yang
mengetahui Tuhan dari pelajaran yang diperoleh dari gurunya, yang pada dhahirnya
saja mengakui adanya Tuhan, jadi tidak disertai dengan keyakinan, sehingga
kehidupan mereka dipengaruhi oleh nafsu hendak senang, hendak kaya raya dan
hendak mendapat kedudukan (Sudarsono, 2010: 83).
Dari kisah simbolis di atas, dapat di tegaskan bahwa pengembangan pencarian
kebenaran bisa terjadi kepada siapa, apa, dan dimana saja. Hal itu dilukiskan dengan
simbol Hayy Ibnu Yaqzan, misalnya kutipan berikut ini:
Dia (Hayy Ibnu Yaqzan ) membawakan daun-daun yang segar dan memetik buah-buah
manis untuk disuapkan kepada rusa betina itu. Akan tetapi rusa betina itu semakin
lemah dan parah sakitnya, kemudian mati. Gerakannya berhenti total, Seluruh anggota
tubuhnya tidak berfungsi lagi, dan ketika anak laki-laki kecil itu (Hayy Ibnu Yaqzan)
melihat keadaan rusa betina itu, dia menangis tersedu-sedu, bahkan dia nyaris larut
dalam kesedihannya. Dia melihat-lihat kuping dan mata rusa betina yang telah mati itu,
dan tidak menemukan sesuatu pun yang bisa membuat ia mati. Demikian pula, dengan
seluruh anggota tubuhnya yang lain. Dia sangat berharap bisa menemukan tempat
penyakitnya, lalu membuang penyakit itu dari tubuh rusa betina tersebut. Kembali dia
membolak-balik seluruh anggota tubuh rusa betina itu, namun tidak menemukan
apapun yang bisa di duga sebagai penyebab kematiannya.
Dalam tulisan Malik bin Nabi, dijelaskan bahwa Hayy bin Yaqzan tidak berhasil
menemukan tempat penyakit rusa betina itu. Kendati demikian, Ibnu Thufail telah
membuat kita melanjutkan penelusuran terhadap pikirannya yang paling dalam, untuk
kemudian terungkaplah, sedikit demi sedikit, “ Ruh “, “ Keabadian Ruh “, dan akhirnya “
gagasan tentang Sang Maha Pencipta”. Sejak saat itu, semakin meningkatlah
perenungan yang memberi peluang kepada Hayy Ibnu Yaqzan, sesudah berkali-kali
gagal memahami sistem illahiah, untuk melihat Tuhan dengan hati nuraninya, dan tiba
pula pada pemahaman tentang sifat-sifatnya.
Dalam buku ini Ibnu Thufail mau menggambarkan bahwa filsafat (akal) dapat
berkembang sendiri tanpa harus bergantung pada masyarakat yang telah maju.
Dengan filsafat itu manusia dapat mengenal Tuhan. Akan tetapi, Ibnu Thufail akhirnya
mengakui juga bahwa agama lebih praktis untuk menuntun secara langsung
keselamatan manusia dalam hidupnya. Filsafat dapat dipakai untuk makrifat kepada
Tuhan, tetapi untuk amal kehidupan manusia sendiri filsafat itu terlalu ideal dan
teoretis. (Sudarsono, 2010: 84).
Maksud lain dengan bukunya itu ialah Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa agama
pada dasarnya sesuai dengan alam pikiran (filsafat). Dengan akalnya (filsafat) manusia
akan dapat menyelami maksud agama. Hanya dalam beberapa hal, teruama dalam
soal-soal peribadatan (ubudiah) seperti shalat, puasa dan haji, akal manusia masih
terlalu lemah untuk menyelami hikmahnya yang sebenarnya. Buku Hayy bin Yaqzan
tersebut mendapat perhatian banyak kaum intelektual baik di Barat maupun di dalam
kalangan umat Islam sendiri.
Pada Prinsipnya Ibnu Thufail melalui karangannya Hayy bin Yaqzan ingin
mengemukakakan kebenaran-kebenaran antara lain :
1. Urut-urutan tangga makrifat (pengetahuan ) yang ditempuh oleh akal, dimulai dari
objek-objek indrawi yang khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
2. Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud Tuhan, yaitu
dengan melalui tanda-tandanya pada makhluk-Nya, dan menegakkan dalil-dalil atas
wujud-N
3. Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidak mampuan
dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendk menggambarkan
keazalian mutlak, ketidakakhiran, zaman, qadim, huduts (baru) dan lain-lain yang
sejenis itu.
4. Baik akal menguatkan qadimnya alam atau kebaruannya, namun kelanjutan dari
kepercayaan tersebut adalah satu juga, yaitu adanya Tuhan.
5. Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-
dasar akhlak yang bersifat amali dan kemasyarakatan serta berhiaskan diri dengan
keutamaan dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan keinginan-keinginan
badan kepada hukum pikiran, tanpa melalaikan hak badan, atau meninggalkannya
sama sekali.
6. Apa yang diperintahkan oleh syariat Islam, dan apa yang diketahui oleh akal yang
sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan, dan keindahan dapat
bertemu kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi. Pokok dari
semua hikmah ialah apa yang telah ditetapkan oleh syara, yaitu mengarahkan
pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya tanpa membuka
kebenaran dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka. Juga pokok pangkal segala
kebaikan ialah menetapi batas-batas syara dan meniggalkan pendalaman sesuatu,
2010: 85).
Demikianlah kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari rumusan kata-kata kisah
tersebut. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Nabi saw. juga telah
mengatakan, bahwa setiap bayi yang dilahirkan oleh seseorang itu muslim (suci), akan
tetapi kedua orang tuanya membawa dia sebagai pemeluk agama yang dipeluk
mereka.
Penuturan hadits tersebut sejalan dengan bunyi ayat Quran: “Maka tegakkan mukamu
dengan lurus terhadap agama, sebagai fitrah kejadian yang menjadi dasar penciptaan
manusia oleh Tuhan. Tidak ada pergantian pada penciptaan Tuhan”. (QS. Ar-Rum, 30:
30 ) Pikiran pokok dalam ayat tersebut hendak mengemukakan bahwa ajaran Islam
membantu seseorang diberi pikiran sehat yang dapat dipakainya untuk membedakan
antara baik dengan buruk, dalam menemukan jalan hidup yang baik bagi dirinya sendiri;
suatu jalan yang menuntunnya kepada pembebasan. Ibnu Thufail dalam kisahnya itu
juga membuktikan tentang tidak adanya perlawanan antara filsafat dan ilmu
pengethuan dengan agama. Semuanya ini adalah sama dan sesuai satu sama lain.
(Sudarsono, 2010: 86)
Tetapi menurut Ibnu Khatib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan
merupakan karya Ibnu Thufail, setidaknya di tulis oleh dua orang muridnya yang di
persembahkan kepada Ibnu Thufail, yaitu karya Al-Bithruji judul Kitab al-Hai‟ah, dan
karya Ibnu Rusyd berjudul Fi al-Buqa‟ Al- Maskunah wa al-Ghair al-Maskunah. (
Nasution, 1999: 103)
Ibnu Thufail membagi perkembangan alam pikiran manusia menuju hakikat kebenaran
itu kedalam enam bagian :
Pertama: dengan cara ilmu Hayy bin Yaqzan, yaitu dengan kekuatan akalnya sendiri,
memperhatikan perkembangan alam makhluk ini bahwa tiap-tiap kejadian mesti ada
yang menyebabkannya.
Kedua: dengan cara pemikiran Hayy bin Yaqzan terhadap teraturnya peredaran benda-
benda besar di langit seperti matahari, bulan dan bintang-bintang.
Ketiga: dengan memikirkan bahwa puncak kebahagiaan seseoraang itu ialah
mempersiapkan adanya wajibal wujud Yang Maha Esa.
Keempat: dengan memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagaian saja dari makhluk
hewani, tetapi dijadikan Tuhan untuk kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dan
utama dari hewan.
Kelima; dengan memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari
kebinasaan hanyalah terdapat pada pengekalan penyaksiannya terhadap Tuhan
Wajibal-wujud.
Keenam: mengakui bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan semua kembali
kepada Tuhan. (Nasution, 1999: 103)
Ibnu Thufail menerangkan bahwa perbandingan dan hubungan antara Tuhan Wajibal-
wujud dengan alam makhluk adalah laksana cahaya matahari dengan benda-benda
alam yang disinarinya. Cahaya itu saja sebenarnya yang bercahaya (sumber cahaya),
tetapi orang mengira bahwa benda-benda lain itu juga bercahaya. Padahal benda-
benda lain itu, bila tubuhnya (jismnya) hilang binasa, maka cahayanya pun lenyaplah.
Dan yang tinggal tetap itu hanyalah cahaya matahari itu. Apakah cahaya matahari itu
sendiri sebenarnya memang tetap atau tidaak tetap, yakni akan lenyap pula (tidak kita
bicarakan) yang sudah pasti diakui ialah sekalian benda itu mendapat cahaya terang
daripadanya.
Sebagai seorang filosof Ibnu Thufail bukan hanya berpikir secara kefilsafatan, akan
tetapi juga banyak merenungkan kembali pemikiran filosof yang lain seperti Aristoteles,
Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali. Mengenai filsafat Aristoteles, Al-Farabai, dan Ibnu
Sina, Ibnu Thufail mengatakan bahwa dalam buku-buku mereka itu juga belum kita
dapatkan gambaran filsafat yang memuaskan tentang hakikat kebenaran
itu (Nasution, 1999: 103)
Suatu tulisan Al-Farabi yang berjudul Al-Milatul Fadilah dipuji oleh Ibnu Thufail. Oleh Al-
Farabi dikatakan dalam buku itu bahwa jiwa manusia yang jahat akan tetap berada
dalam penderitaan yang tak habis-habisnya sehingga akan menyebabkan putus asa
dalam mencapai kebahagiaannya. Mengenai Ibnu Sina dikatakan Olehnya bahwa
dalam bukunya, Asy-Syifa, Ibnu Sina kelihatan sekedar mengikuti aliran Aristoteles. Di
samping itu Ibnu Sina di puji berhubung dengan karangannya berjudul Al-Falsafaul-
Masyriqiah, yang mengandung pendapat tentang kebenaran yang di anggap penting
oleh Ibnu Thufail.
Akhirnya mengenai Al-Ghazali dikatakan Oleh Ibnu Thufail bahwa di dalam buku-buku
Al-Ghazali dia melihat adanya pertentangan pendapat satu sama lain. Misalnya
dikatakan oleh Al-Ghazali di dalam Tahaful Falasifah bahwa ahli-ahli filsafat itu kafir
karena mereka tidak mepercayai akan dikumpulkannya lagi jasad manusia pada hari
kiamat, dan karena mereka menetapkan bahwa siksa itu hanya di derita oleh jiwa saja.
Jika demikian, maka mestinya pendapat Al-Ghazali itu sendiri sebaliknya. Akan tetapi
dalam bukunya, Mizanul „Amal, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum Sufi menganggap
pahala dan siksa itu hanyalah mengenai jiwa saja. Sedangkan dalam Munqidz Minadh-
dhalal Al-Ghazali mengatakan bahwa pendiriannya sendiri cenderung pada pendirian
kaum sufi (ahli tasawuf).
Kesimpulan kritik-kritikannya terhadap filosof-filosof Timur ialah Ibnu Thufail memberi
kesan bahwa apa yang telah dijelaskan oleh mereka itu belumlah memberikan kesan
bahwa apa yang dijelaskan oleh mereka itu belumlah memberikan kepuasan. Dan
karena itu pula Ibnu Thufail lalu mencoba menerangkan pendapat filsafatnya dalam
cerita ibarat Hayy bin Yaqzan itu. Maksud menulis cerita itu ialah sebagai jalan untuk
menyampaikan hasrat orang yang bertanya tentang derajat kepuasan yang selalu
dibayangkan oleh kaum filsafat dan tasawuf. Berikut beberapa inti ajaran Ibnu Thufail.
1. Metafisika (Ke–Tuhanan)
Seperti para filosof sebelumnya, Ibnu Thufail memulai filsafatnya dengan filsafat
keTuhanan. Dalam membuktikan adanya Tuhan Ibnu Thufail mengemukakan tiga
argumen sebagai berikut:
1. Argumen Gerak
Gerak alam menjadi bukti adanya Allah. Baik bagi orang yang meyakini alam baru
maupun bagi orang yang meyakini alam qadim. Bagi orang yang meyakini alam itu
baru, gerak alam berarti dari ketiadaan hingga alam itu ada (diciptakan). Oleh karena
itu, keberadaan alam dari ketiadaan itu mestilah membutuhkan pencipta yaitu Allah.
Sementara bagi orang yang mengatakan bahwa alam itu qadim, gerak alam berarti
tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti gerak ini
tidak didahului oleh diam. Disini, penggerak alam (Allah) berfungsi mengubah materi
dari alam potensial ke aktual. Mengubah dari satu bentuk kebentuk yang lain, inilah
letak keistimewaan argumen gerak Ibnu Thufail, yakni dapat dipahami oleh semua
golongan. Dengan argumen diatas, secara tidak langsung, Ibnu Thufail memperkuat
argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.
1. Argumen Materi
Argumen gerak Ibnu Thufail juga digunakan untuk mebuktikan adanya Tuhan. Argumen
ini didasarkan pada ilmu fisika yang masih ada korelasinya dengan argumen yang
pertama (al-Harakat). Hal ini dikemukakan Ibnu Thufail dalam kelompok pikiran yang
terkait satu sama lain yakni, segala yang ada tersusun dari materi dan bentuk, setiap
materi membutuhkan bentuk, bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak dan segala
yang ada untuk bereksistensi membutuhkan pencipta. Bagi yang meyakini alam itu
qadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensikan wujud dari suatu bentuk ke bentuk
yang lain. Sementara bagi yang meyakini alam itu baru, pencipta berfungsi
menciptakan dari ketiadaan menjadi ada. Pencipta disini, merupakan ilat (sebab) dan
alam merupakan ma‟lul (akibat).
1. Argumen Alghaiyyat dan Al-inayat al ilahiyat
Argumen ini sebenarnya pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina. Tiga sebab yang
dikemukakan oleh aristoteles yaitu materi, bentuk dan pencipta. Ibnu sina
melengkapinya dengan ilat al ghaliyat, sebab tujuan. Menurut Ibnu Thufail, bahwa
segala yang ada di alam ini memiliki tujuan tertentu, ini merupakan inayah dari Allah.
Ibnu thufail yang berpegang pada argumen ini sesuai dengan Al-Qur‟an, menolak
bahwa alam diciptakan secara kebetulan. Alam ini, masih menurut Ibnu Thufail, sangat
rapi dan sangat teratur. Semua planet, begitu juga jenis hewan dan anggota tubuh pada
manusia memiliki tujuan tertentu. Demikian tiga argumen yang dikemukakan Ibnu
Thufail. Adapun mengenai Dzat Allah, Ibnu Thufail sependapat dengan kaum Mu‟tazilah
sifat-sifat Allah yang maha sempurna tidak berlainan dengan Dzat-Nya. Allah berkuasa
bukan dengan sifat ilmu dan kudrat yang dimiliki. Melainkan dengan Dzat Allah itu
sendiri.
2. Fisika
Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung mengenai golongan yang mengakui
bahwa alam itu baru atau mereka yang mengakui alam itu qadim. Mengenai alam ini,
Ibnu Thuifail merupakan penganut keduanya. Ia mempercayai bahwa alam itu baru
sekaligus alam itu qadim. Alam itu qadim, menurut Ibnu Thufail, karena ia diciptakan
sejak azali, tanpa di dahului zaman. Alam disebut baru karena ia membutuhkan dan
bergantung pada Dzat Allah. Ibnu Thufail mencontohkan, ketika seseorang
menggenggam suatu benda, kemudian ia gerakkan benda tersebut, maka benda itu
mesti bergerak mengikuti gerak tangan orang tersebut. Gerakan benda tersebut tidak
terlambat dari segi zaman dan hanya terlambat dari segi zat. Demikian alam ini,
keseluruhan merupakan akibat dan diciptakan Allah tanpa zaman (Daudy, 1986: 149-
150)
3. Manusia
Terdiri dari dua Unsur yakni jasad dan Ruh (al-madat al ruh). Badan tersusun dari
unsur-unsur sedangkan jiwa tidak. Jiwa bukan jism dan bukan pula sesuatu yang ada
didalam jism. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan,
dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah yang berada di dalam jasad akan
hidup dan kekal (Daudy, 1986: 151).
Jiwa terdiri dari tiga tingkat: jiwa tumbuhan (an-nafs al nabawiyat), jiwa jiwa hewan dan
jiwa manusia. Ketiga jiwa tersebut merupakan sebuah tingkatan dari yang terendah
hingga tertinggi yaitu jiwa manusia. Dalam menjabarkan hal ini, Ibnu Thufail kemudian
mengelompokkan jiwa hubungannya dengan Allah kedalam tiga golongan:
1. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi
kebesaran dan keagungannya, dan selalu ingat kepadanya, maka jiwa seperti ini
akan kekal dalam kebahagiaan.
2. Jiwa yang mengenal Allah namun bermaksiat, akan abadi dalam keseng
3. Jiwa yang tidak mengenal Allah selama hidupnya, akan berakhir seperti hewan.
Dalam hal ini, “Ibnu Thufail meletakkan tanggung jawab manusia dihadapan Allah
atas dasar pengetahuannya tentang Allah. Orang yang tahu kepada Allah dan
menjalankan kebaikan, akan kekal dalam kebahagiaan”.
4. Epistimologi
Ibnu Thufail mengatakan, seperti tersirat dalam kisah Hay Ibnu Yaqzan, Bahwa makrifat
dimulai dari panca indra. Hal yang bersifat metafisik dapat diketahui dengan akal dan
intuisi. Makrifat dapat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal seperti
yang dilakukan filosof muslim; dan tasawuf seperti yang dilakukan oleh kaum sufi,
kesesuaian antara nalar dan intuisilah yang membentuk epistimologi Ibnu Thufail.
Menurut Ibnu Thufail, Ma‟rifat dengan tasawuf dapat dilakukan dengan latihan-latihan
Ruhani dengan penuh kesungguhan. Semakin tinggi latihan itu, maka semakin jelas
dan hakikat semakin tersingkap. (Daudy. 1986: 151-152).
1. Ringkasan
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad Ibnu „Abd al-Malik Ibnu
Muhammad Thufail. Ia di lahirkan di Cadix, Propinsi Granada, spanyol pada tahun 506
H/1110 M. Dan meninggal di kota Marraqesh, Marokko pada 581 H ( 1185 M).
Karyanya yang sangat terkenal yakni Hayy bin Yaqzan. Pemikiran filsafat Ibnu Thufail
yakni Hay bin Yaqzan. Dengan filsafat akal dapat berkembang sendiri tanpa harus
bergantung pada tatanan masyarakat. Kedua, pada dasarnya ajaran agama selalu
sesuai dengan alam pikiran atau selaras dengan tujuan Filsafat. Ketiga, problem yang
ditimbulkan oleh pertentangan antara Filsafat dan agama bukan persoalan rumit yang
tidak bisa diselesaikan . Ibnu Tthufail menyadari adanya perbedaan tingkat akal antara
manusia. Tidak semua orang dapat sampai pada pengetahuan Wajib Al-Wujud dengan
jalan akal.
1. Suggested Reading
Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam. Bandung. CV Pustaka Setia
Basri, Hasan. 2009. Filsafat Islam. Bandung. CV Insan Mandiri
Nasution, Hasyimsyah, 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Basri, Hasan. 2009. Filsafat Islam. Jakarta; Direktorat Jenderral Pendidikan Islam..
Sudarsono, 2010. Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta
Sunarya, Yaya, 2012. Filsafat Islam. Bandung; CV arfino Raya
Mufti, Zaenal 2012. Filsafat Islam sejak klasik sampai modern. Bandung; VC Insan
Mandiri.
1. Latihan
2. Soal Pilihan Ganda
3. Pada masa itu Ibnu Thufail meniti karier sebagai Dokter praktik. Di daerah manakah
dia berkarir?
4. Granada Brazil e. Saudi Arabia
5. Andalusia Argentina
2. Seoarang filosof islam dikenal dengan Ibnu thufail, apakah nama lengkap dari Ibnu
thufail?
3. Abu Bakar As-Shidieq|
4. Abu Bakr Muhammad Ibnu Abd Al-Malik Ibnu Muhammad Ibnu Thufail
5. Hay Ibnu yaqzan
6. Muwahid abu ya‟qub yusuf
7. Muhammad thufail al-farizi Ibnu zahRuh
3. Pada tahun berapakah Ibnu thufail diangkat menjadi gubernur ceuta dan tangier?
4. 549 H/ 1154 M 569 H/ 1174 M e. 589 H/ 1194 M
5. 559 H/ 1164 M 579 H/ 1184 M
4. Apakah karya Ibnu thufail yang masih ada sampai sekarang ini?
5. Al-masriqiyah hayy Ibnu yaqzan e. Ibnu dubai
6. Al-maturidiyah hayy Ibnu qudus
5. Buku yang menjadi rujukan Ernst Beker dalam membuat novel adalah?
6. Hayy Ibnu Yaqzan Tarikh Al-Qisolat e. al-corozo
7. Robenson Corozo al-injiliyah
8. Ernes Beker adalah seorang yang pernah menjadikan karya Ibnu thufa‟il sebagai
rujukan untuk membuat novel, pada tahun berapakah Ernst Beker menerbitkan
novel tersebut?
9. 1940 1941 e. 1946
10. 1942 1945
7. Karya Ibnu Thufa‟il yang paling terkenal adalah Hayy Ibnu Yaqzan, apa judul
lengkap dari karya tersebut?
8. Hayy Ibnu Yaqzhan fi Asrar al-Hikmat al-Masriqiyyat
9. Hayy Ibnu Yaqzan Fi Asrar al-Injiliyah
10. Hayy Ibnu Yaqzan Al-Taqririyah Al-Qurisiyah
11. Hayy Ibnu Yaqzan Al-Qodariyah Fi Asrar
12. Hayy Ibnu Yaqzan Al-Farisiyah Fi Asrariyyah
8. Yang menjadi bukti tentangadanya Allah, baik bagi orang yang meyakini alam
baharu maupun bagi orang yang meyakini alam qadim adalah adalah?
9. Metafisika Argumen Gerak e. Fisika
10. Argumen Materi Rasionalis
9. Jiwa manusia menurut Ibnu Thufa‟il adalah Makhluk yang tertinggi martabatnya.
Dan manusia terdiri dari dua unsur. Apa yang terdiri dari dua unsur tersebut?
10. Metafisika Argumen Gerak e.Fisika
11. Argumen Materi Jiwa
10. Ibnu Thufa‟il menjelaskan bahwa ma‟rifat itu dimulai dari panca indra. Dengan
pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan indrawi. Hal-hal yang
bersifat metafisis dapat diketahui dengan akal intuisi. Penjelasan berikut adalah
adalah membahas tentang
11. Epistimologi Ontology e. Metafisika
12. Aksiologi Fisika
1. Soal Essay
2. 1. Sebutkan beberapa risalah yang di tulius oleh Ibnu thufail ?
3. 2. Jelaskan Hayy Ibnu yaqzan menurut Ibnu thufail dan Ibnu sina ?
4. 3. Sebutkan tujuan Ibnu thufail yang hendak di capai yang menyelaraskan filsafat
dengan syara‟ ?
5. 4. Jelaskan filsafat Ibnu Thufail tentang Tuhan dan kekekalan ?
6. 5. Jelaskan filsafat Ibnu Thufail tentang materi dan jiwa ?
1. Daftar Istilah
2. Hayy Ibnu Yaqzan
3. Absal
4. Yang Hidup Putra Yang Bangun
5. Ruhaniah
6. Ruh
7. Makrifat
8. Indrawi
9. Universal
10. Azalian
11. Mutlak
12. Ketidakakhiran
13. Zaman
14. Qadim
15. Huduts
16. Wajibal-wujud
17. sufi
BAB XII
IBNU RUSYD (AVERROES)
Sejak kecil, ia telah mempelajari Al-Quran, lalu mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti
tafsir, hadits, fikih, dan sastra arab. Dia merevisi buku Malikiyyah, Al-Muwatta, yang
dipelajarinya bersama ayahnya, Abu Al-Qasim, dan dihafalnya. Kemudian, ia
mendalami matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan kedokteran. Itu yang
membuat Rusyd kecil haus ilmu dan menunjukkan talenta serta kegeniusan yang luar
biasa sejak masa kanak-kanaknya (Zainal, 1975: 27). Pada tahun 548 H/1153 M, Ibnu
Rusyd pergi ke Marakesh (Marakusy) Maroko atas permintaan Ibnu Thufail (w. 581
H/1185 M), yang kemudian memperkenalkannya dengan khalifah Abu Ya‟qub Yusuf.
Dalam pertemuan pertama antara Ibnu Rusyd dengan Khalifah terjadi proses tanya
jawab diantara keduanya tentang asal-usul dan latar belakang Ibnu Rusyd, selain itu
mereka juga membahas tentang berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd menyangka
bahwa petanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karena persoalan ini sangat krusial
dan sensitif ketika itu. Ternyata dugaan itu meleset.
Ibnu Rusyd kagum pada pengetahuan khalifah tentang filsafat. Karenanya ia pun berani
menyatakan pendapatnya sendiri. Pertemuan pertama ini ternyata membawa berkah
bagi Ibnu Rusyd. Ia diperintahkan oleh khalifah untuk menterjemahkan karya-
karya Aristoteles dan menafsirkannya. Pertemuan itu pun mengantarkan Ibnu
Rusyd untuk menjadi qodhi di sevile. Setelah dua tahun mengabdi, ia pun diangkat
menjadi hakim agung di Cordova. Selain itu pada tahun 1182, ia kembali ke
istana Muwahidun di Marakhes menjadi dokter pribadi khalifah pengganti Ibnu Thufail.
Pada tahun 1184 khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh
putranya Abu Yusuf Ibnu Ya‟kub Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya khalifah ini
menghormati Ibnu Rusyd sebagaimana perlakuan ayahnya, namun pada 1195 mulai
terjadi kasak-kusuk dikalangan tokoh agama, mereka mulai menyerang para filosof dan
filsafat. Inilah awal kehidupan pahit bagi Ibnu Rusyd. Ia harus berhadapan dengan
pemuka agama yang memiliki pandangan sempit dan punya kepentingan serta ambisi-
ambisi tertentu. Dengan segala cara mereka pun memfitnah Ibnu Rusyd. Akhirnya Ibnu
Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatannya. Pada tahun 1195 ia
diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi yang terletak sekitar 50 km di
sebelah selatan Cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum, kecuali yang
berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta astronomi yang tidak dibakar.
Selain Ibnu Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh fukaha‟ dan sastrawan lainnya yang
mengalami nasib yang sama, yakni Abu „Abd Allah Ibnu Ibrahim (hakim di afrika), Abu
Ja‟far al-Dzahabi, Abu Rabi‟ al-Khalif dan Nafish Abu al-„Abbas. (Sunarya, 2012: 133).
Penindasan dan hukuman terhadap Ibnu Rusyd ini bermula karena Khalifah Al-
Mansyur ingin mengambil hati para tokoh agama yang biasanya memiliki hubungan
emosional dengan masyarakat awam. Khalifah melakukan hal ini karena didesak oleh
keperluan untuk memobilisasi rakyatnya menghadapi pemberontakan orang-orang
Kristen Spanyol. Disamping itu, hal yang cukup menarik, sikap anti kaum muslim
Spanyol terhadap filsafat dan para filosof lebih keras daripada kaum muslim Maghribi
atau Arab. Ini digunakan oleh pimpinan-pimpinan agama untuk memanas-manasi sikap
anti terhadap filsafat dan cemburu kepada filosof. Setelah pemberontakan berhasil
dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah menunjukkan sikap dan
kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada pemikiran kreatif Ibnu Rusyd,
suatu sikap yang sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al- Mansyur
merehabilitasi Ibnu Rusyd dan memanggilnya kembali ke istana. Ibnu Rusyd kembali
mendapat perlakuan hormat (Syarif, 1985: 203). Tidak lama setelah itu, pada 19 Shafar
595 H/ 10 Desember 1198 Ibnu Rusyd meninngal dunia di kota Marakesh. Beberapa
tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya yaitu ke
Cordova.
Qiyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir
wajib mempelajari kaidah-kaidah kias dan dalil serta mempelajari ilmu logika dan
falsafah. Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur‟an dan al-Hadits sebagai
sesuatu yang pada lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat
itu bertentangan dengan agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep
takwil yang lazim digunakan dalam masalah-masalah seperti ini.
Dalam Al-Qur‟an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh
dita‟wilkan dan ada juga yang harus dita‟wilkan dari pengertian lahiriah. Adapun jika
keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut
adanya. Dan jika tidak, ia harus dita‟wilkan. Namun ta‟wil itu sendiri tidak sembarang
orang dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat
melakukan ta‟wil itu adalah para filosof atau sebagaian mereka, yakni orang-orang yang
telah mantap dalam memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta‟wil itu
dibatasi pada orang-orang yang sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang
gampang menjadi kufur.
Agama Islam kata Ibnu Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat
rahasia, seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami
akal karena akal dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan
akali merupakan kesatuan yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada
hakikatnya adalah satu. Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang
ghaib seperti malaikat, kebangkitan jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain
sebagainya yang tidak dapat diapahami akal, maka hal-hal yang seperti itu kata Ibnu
Rusyd merupakan lambang atau simbol bagi hakikat akali. Dalam hal ini, ia menyetujui
pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali kepada petunjuk-petunjuk
agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.
1. Metafisika
1. Dalil Wujud Allah
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibnu Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah
dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa
yang telah digariskan oleh Syara‟, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibnu
Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur‟an dalam
berbagai ayatnya, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang-orang khusus yang
terpelajar.
1. Dalil ‘Inayah ( Pemelihara)
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitannya dengan manusia. Artinya,
segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama, segala
yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Kedua, kesesuaian sudah pasti datang dari
sang pencipta yang telah menghendaki demikian karena tidak mungkin persesuaian itu
terjadi secara kebetulan. Semua kejadian dalam alam sangat cocok dengan fitrah
manusia, seperti: siang, malam, matahari, bulan, tumbuh-tumbuhan, hewan dan
anggota tubuh manusia, tidak mungkin terjadi dan terpelihara semua itu tanpa pencipta
yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, Kata Ibnu Rusyd, siapa saja yang ingin
mengenal Allah wajib mempelajari kegunaan segala yang ada di alam ini.
1. Dalil Ikhtilaq (Penciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk, seperti ciptaan pada
kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
Menurut Ibnu Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,
sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang
dan falak di angkasa tunduk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu, siapa saja
yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat
segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas
ini, yang termasuk dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan,
langit, dan bumi, segala yang maujud di alam adalah diciptakan
(Sudarsono, 2010: 86). Segala yang diciptakan harus ada yang menciptakan. Ayat
suci yang mendukung dalil tersebut antara lain (QS. Al-Hajj ayat 73).
1. Dalil Gerak
Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibnu Rusyd memandangnya sebagai dalil yang
meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya.
Dalil ini menjelaskan bahwa alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang
abadi. Gerakan tersebut menujukan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak
dan bukan benda, yaitu Tuhan (Sudarsono, 2010: 86)
Gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua
jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang
bergerak pada dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama
sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibnu Rusyd juga berakhir
pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim lagi azali. Jika
tidak demikian, tentu ia tidak dapat disebut dengan penggerak pertama yang azali,
yakni Allah SWT.
1. Sifat-sifat Allah
Adapun pemikiran Ibnu Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam
gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibnu Rusyd mengatakan, orang
harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan).
Berpijak padadasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
1. Fisika
Materi dan forma
Seperti dalam halnya metafisika, Ibnu Rusyd juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam
fisika. Dalam teori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (maujud) yang
mengalami perubahan seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika
adalah materi dan forma. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa segala sesuatu yang berada di
bawah alam falak terdiri atas materi dan forma. Materi adalah sesuatu yang darinya ia
ada, sedangkan forma adalah sesuatu yang dengannya ia menjadi ada setelah tidak
ada.
Sifat-sifat jism.
Adapun sifat-sifat jism ada empat macam, yaitu:
1. Gerak
2. Diam
3. Zaman
4. Ruang
Bangunan alam.
Para filosof klasik mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna,
sehingga gerak melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal
lagi azali. Dengan sebab gerak ini, maka jism-jism samawi memiliki bentuk bundar.
Karena jism-jism ini bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu
planet yang bergerak melingkar. Dan planet ini hanya satu saja, sehingga tidak ada
kekosongan. Demikianlah alam falak itu saling mengisi.
Jadi alam ini terdiri dari jism-jism samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang
terdiri dari percampuran empat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah
benda-benda padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.
Manusia
Dalam masalah manusia, Ibnu Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagai
bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsur materi dan forma. Jasad adalah materi
dan jiwa adalah forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa
sebagai “kesempurnaan awal bagi jism alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai
kesempurnaan awal untuk membedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan
pelengkap darinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut
organis untuk menunjukan kepada jism yang terdiri dari anggota-anggota. Untuk
menjelaskan kesempurnaan jiwa tersebut, Ibnu Rusyd mengkaji jenis-jenis jiwa yang
menurutnya ada lima yaitu: jiwa nabati, jiwa perasa, jiwa khayal, jiwa berfikir, dan jiwa
kecendrungan.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dalam Negara utama orang tidak memerlukan lagi
kepada hakim dan dokter karena segala sesuatu berjalan secara seimbang, tidak lebih
dan tidak berrkurang. hal ini karena keutamaan itu sendiri terkandung dalam dirinya
keharusan menghormati hak orang lain dan melakukan kewajiban. Khusus tentang
wanita, Ibnu rusyd sangat membela kedudukannya yang sangat penting dalam Negara.
Pada hakikatnya, wanita tidak berbeda dengan pria pada watak dan daya kekuatan.
Dan jikapun ada, maka itu hanya ada pada kuantitas daya dan pada beberapa bidang
saja. Menurut Ibnu Rusyd, masyarakat islam tidak akan maju, selama tidak
membebaskan wanita dari berbagai ikatan dan kekangan yang membelenggu
kebebasannya.
1. Pengaruh filsafat Ibnu Rusyd
Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusyd sampai kedunia Barat, melalui Ernest Renan,
seorang penulis sejarawan asal prancis. Apresiasi dunia barat yang demikian besar
terhadap karya Rusyd, kata Alfred Gillaume dalam warisan islam menjadikan Rusyd
menjadi lebih milik Eropa, daripada milik Timur. Averroisme tetap merupakan faktor
yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran ilmu pengetahuan eksperimental
modern, tulis Glaume Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak
menundukkan segala sesuatu pada pertimbangan akal, kecuali dogma-dogma
keimanan yang diwahyukan Tuhan.
Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd terbesar dapat ditemukan melalui karya-karya berikut
ini:
1. Ringkasan
Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama
lengkapnya Abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, lahir di
Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M. Filsafat Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Aristoteles. Karena ia banyak menghabiskan waktunya untuk meneliti
dan membuat komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles dalam berbagai
bidang sehingga ia memiliki gelar Syarih (komentator).
Ibnu Rusyd adalah pribadi yang sangat berbeda dibandingkan al-Ghazali. Ibnu Rusyd
adalah sosok filosof yang lebih mengedepankan akal daripada perasaan (emosi).
Baginya segala macam persoalan, termasuk persoalan agama haruslah didasarkan
pada kekuatan akal pikiran yang dikuatkan pula oleh ayat-ayat al-Qur‟an. Pengaruh
filsafat terhadap ajaran islam tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri
terhadap eksistensi filsafat islam. Melalui buku Tahafuth al-Falasifah, al-Ghazali
melancarkan kritik keras terhadap para filosof dalam 20 masalah. Tiga dari masalah
tersebut, menurut al-Ghazali dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan yang
dimaksud adalah qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di
alam dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Maka dari sini Ibnu Rusyd melakukan
pembelaan untuk para filosof yang tengah di kafirkan oleh al-Ghazali dengan
memadukan harmonisasi agama dengan filsafat untuk menyanggah pemikiran-
pemikiran al-Ghazali yang menyudutkan para filosof itu.
1. D. Suggested Reading
Basri, Hasan, 2009, Filsafat Islam sejak klasik sampai modern, Bandung: Insan Mandiri
Fuad Al-Ahwani, Ahmad, 2008, Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus
Mustofa, H.A.2009, Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia
Nasution, Hasyimsyah, 1999, Filsafat Islam,Jakarta : Gaya Media Pratama
Sudarsono, 2004, Filasaf Islam,Jakarta: Rineka Cipta.
Sunarya, Yaya, 2013,Pengantar Filasafat Islam, Bandung: Arfino Raya
Supriyadi, Dedi 2009. Pengantar Filsafat Islam, Bandung:Pustaka Setia.
Syarif, M.M, 1985, Para Filosof Muslim, Bandung : Mizan
Zainal Abidin Ahmad, 1975.Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Averroes. Jakarta : Bulan
Bintang
1. Latihan
2. a) Soal Pilihan Ganda
3. Siapa filosof muslim yang muncul d belahan barat setelah Ibnu Thufail ?
4. Ibnu Rusyd
5. Ibnu Bajjah
6. Ibnu Sina
7. Ibnu Miskawaih
5. Keterkenalan Ibnu Rusyd dalam bidang ilmu filsafat diawali dengan peristiwa apa ?
6. Khalifah Abu Bakar
7. Khalifah Abu Sufyan
8. Khalifah Abu Yaqub
9. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
8. Dalam karya Ibnu Rusyd Kitab apa yang berkaitan dengan Ilmu Pengobatan ?
9. Kitab Tafsir Urjaza
10. Kitab Taslul
11. Kitab Al-„adawi
12. Kitab Risalah Al-Kharaj
9. Kitab Risalah Al-Kharaj merupakan salah satu karya Ibnu Rusyd yang berkaitan
dengan, Kecuali ?
10. Ilmu Pengobatan
11. Ilmu Kalam
12. Ilmu agama dan Filsafat
13. Ilmu tentang perpajakan
14. Siapa nama lengkap dari Ibnu Rusyd ?
15. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd
16. Abu Walied bin Muhammad
17. Ahmad bin Abu Walied Ibnu Rusyd
18. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd
1. b) Soal Essay
2. Jelaskan riwayat hidup Ibnu Rusyd secara singkat?
3. Sebutkan karya-karya Ibnu Rusyd ?
4. Sebutkan tiga masalah yang di sanggah Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali tentang
mengkafirkan para filosof?
5. Ibnu Rusyd membagi manusia dalam tiga golongan, sebagaimana dalam Al-Qur‟an.
Manusia terdiri dari golongan, sebutkan dan jelaskan ?
6. Jelaskan pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Rusyd di Eropa?
1. Daftar Istilah
1. Akal dan Jiwa
2. Akal dan wahyu
8. Kenabian
3. Ittisal 9. Mukjizat
10. Politik
4. Al-mawjudat 11. Akhlak
12. Alam qadim
5. Al-burhan
13. Argumen rasional
6. Dalil Gerak
7. Materi dan forma
BAB XIII
NASHIRUDDIN AT-THUSI
Thusi mencapai kemasyhuran ketika dia mampu membujuk Khulagu Khan untuk
membangun observatorium yang terkenal di Marghah Azerbaijan pada tahun 658 H,
yang dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Kemudian beliau menjadi direktur pada
observatorium Maraghah. Observatorium ini merupakan pusat penelitian yang tepat dari
tiga pusat penelitian, sastra dan astronomi di Timur setelah Dar al-Hikmah di Baghdad
dan Baitul Hikmah di Kairo yang didirikan oleh dinasti Fatimiyah.
Observatorium Maraghah lebih daripada sekedar tempat pengamatan astronomis.
Sebuah institusi ilmiah yang lengkap, tempat hampir setiap cabang ilmu diajarkan, dan
melahirkan sebagaian besar ilmuwan paling terkenal pada periode abad pertengahan.
Institusi ini dilengkapi dengan perlengkapan astronomis terbaik. Disamping itu terdapat
juga perpustakaan besar. Menurut Ibnu Syakir, perpustakaan itu mengoleksi lebih dari
400.000 buah buku.
Thusi merupakan orang yang berwawasan luas di dalam berbagai disiplin ilmu, buku
akhlak Nasiruddin Thusi mengklasifikasi pengetahuan kedalam spekulasi dan praktek.
Pengetahuan spekulasi termasuk di dalamnya metafisika, dan matematika (optik,
meteorologi, botani, zologi dan psikologi). Dan yang kedua, pengetahuan praktis yang
termasuk di dalamnya etika, ekonomi, domestik dan politik. Dengan itu Thusi dikenal
sebagai seorang filosof sedangkan di Barat beliau dukenal sebagai seorang astronom
dan matematikawan. Selain itu Thusi juga merupakan seorang yang jenius dan
kejeniusannya itu tersebar pada kritik-kritikannya dan tulisan-tulisannya banyak
mengulas berbagai hal, termasuk doktrin Ismailiyah ketika ia dinas pada kaum tersebut.
Tentang Logika
1. Asas al-Iqtibas
2. Al-Tajrid fi „Ilm al-Mantiq
3. Ta‟dil al-Miyar
Tentang Metafisika
1. Risalah dar Ithbat-i Wajib
2. Itsbat-i Jauhar al-Mufariq
3. Risalah dar Wujud-i Jauhar-i Mujarrad
4. Risalah dar Itsbat-i „Aql-i Fa‟al
5. Risalah Darurat-i Marg
6. Risalah Sudur Kathrat az Wahdat
7. Risalah „Ilal wa Ma‟lulat
8. Fushul
9. Tashawwurat
10. Talkhis al-Muhassal
11. Hall-i Musykilat al-Isyarat
Tentang Etika
1. Akhlaq-i Nasiri
2. Ausaf al-Asyraf
Tentang Teologi/Dogma
1. Tajrid al-„Aqaid
2. Qawa‟id al‟Aqaid
3. Risalah-i I‟tiqadat
Tentang Astronomi
1. Kitab al-Mutawassitat Bain al-Handasa wal Hai‟a
2. Ilkhanian Tables
3. Kitab al-Tazkira fi al-Ilm al-Hai‟a
4. Zubdat al-Hai‟a
5. Kitab al-Tahsil fi al-Nujum
6. Tahzir al-Majisti
7. Mukhtasar fi al-Ilm al-Tanjim wa Ma‟rifat al-Taqwim
8. Kitab al-Bari fi ulum al-Taqwim wa Harakat al-Aflak wa Ahkam al-Nujum
Tentang Aritmatika, Geometri, dan Trigonometri
1. Al-Mukhtasar bi jami al-Hisab bi al-Takht wa al-Turab
2. Kitab al-Jabr wa al-Muqabala
3. Al-Usul al-Maudua
4. Qawaid al-Handasa
5. Tahrir al-Ushul
6. Kitab Shakl al-Qatta
Tentang Optik
1. Tahrir Kitab al-Manazir
2. Mabahis Finikas al-Shur‟ar wa in Itafiha
Tentang Musik
1. Kitab fi „Ilm al-Mausiqi
2. Kanz al-Tuhaf
Tentang Medikal
a.Kitab al-Bab Bahiya fi al-Tarakib al-Sultaniya
3. Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi
Filsafat Logika
Pemahaman Ath-Thusi terhadap logika dapat diibaratkan seperti bulan (alat ilmu) yang
menangkap cahaya matahari (ilmu) untuk kemudian dipantulkan ke bumi sebagai
cahayanya sendiri. Bulan disini sebagai alat atau sarana yang digunakan energi utama
(matahari) untuk menyampaikan cahayanya ke belahan bumi lain yang tidak mendapat
cahaya matahari. Sementara bagi belahan bumi itu sendiri, bulan adalah energi utama
yang berperan sebagai sumber cahaya di malam hari. Logika adalah alat dan sumber
ilmu; dikatakan alat saat dia menjadi kunci untuk memahami berbagai ilmu, dan
dikatakan sumber ilmu saat dia memberikan pengertian dan menjelaskan sifat dari
suatu makna. Dan apabila pengertian dan penjelasan tersebut dapat dipahami dengan
baik, maka logika dapat menjadi seni yang membebaskan pikiran dari kesalahan atau
bisa disebut sebagai pengetahuan. Menurut Ath-Thusi, pengetahuan dapat dicapai
melalui definisi dan silogisme. Dengan demikian, logika adalah hukum untuk berpikir
tepat.
Filsafat Moral
Ath-Thusi menggunakan pemahaman Aristoteles mengenai akal praktis dari teori
pembedahan. Menurut Ath-Thusi, penyebab penyimpangan adalah segala sesuatu
yang berlebihan, karena keadaan jiwa yang tidak seimbang disebabkan oleh
keberlebihan, keberkurangan atau ketidakwajaran akal. Misalnya seorang pencuri yang
tertangkap akan memberontak terhadap si penangkap karena adanya perasaan takut
terhadap hukum, atau seorang anak yang berniat bunuh diri saat kedua orang tuanya
meninggal dunia.
Filsafat Metafisika
Metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu Ilmu Ke-Tuhanan dan Filsafat Pertama. Ilmu
KeTuhanan („Ilm-i Ilahi), mencakup persoalan ke-Tuhanan akal, jiwa, dan hal-hal yang
berkaitan dengan hal tersebut: seperti kenabian (nubuwwat), kepemimpinan
spiritual (imamat), dan hari pengadilan (qiyamat). Filsafat Pertama (Falsafah Ula),
meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Termasuk
dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan
kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan. Bagi Ath-Thusi,
Tuhan tidak dapat dianalisa dengan logika dan metafisika. Baginya, Tuhan harus
diterima dan dianggap sebagai postulat. Hal ini disebabkan keterbatasan dalam
kemampuan manusia.
Filsafat Jiwa
Menurut Ath-Thusi, eksistensi jiwa hanya dapat dibuktikan melalui jiwa itu sendiri,
sehingga jiwa menjadi mustahil untuk dipelajari. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot-
otot dan alat-alat perasa, tetapi tubuh tidak dapat merasakan keberadaan jiwa. Jiwa
merupakan substansi immaterial. Hal ini lantaran jiwa dapat menampung logika,
matematika, teologi dan sebagainya tanpa tercampur-baur dan dapat diingat dengan
kejelasan yang khas, yang tidak dapat dilakukan oleh substansi material. Ath-Thusi
menjelaskan bahwa jiwa imajinatif berada di antara jiwa hewani dan jiwa manusiawi.
Dalam jiwa manusiawi terdapat dua jenis akal, yaitu akal teoritis dan akal praktis. Dalam
akal teoritis tercakup empat tingkat perwujudan, yaitu akal material, akal malaikat, akal
aktif, dan akal yang diperoleh. Pada tingkatan akal yang diperoleh, bentuk konsepsual
yang terdapat dalam jiwa menjadi nyata terlihat. Sementara akal praktis berkenaan
dengan tindakan sengaja dan yang tidak sengaja, sehingga potensialnya diwujudkan
dengan tindakan-tindakan.
Filsafat Politik
Menurut Ath-Thusi, selain karena fitrah manusia yang selalu ingin berhubungan dengan
sesamanya, manusia juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Namun karena beragamnya motivasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, muncullah
istilah pertentangan dan ketidakadilan. Untuk itu diperlukan pemerintah yang adil
sebagai penengah kedua setelah hukum-hukum Tuhan. Ath-Thusi juga membicarakan
etika perang. Menurutnya, perang hanya boleh dilakukan jika tidak dapat menemukan
jalan keluar dari suatu pertentangan, dilakukan atas nama Tuhan, dan dengan
persetujuan seluruh anggota. Dan jika memperoleh kemenangan, tawanan tidak
diperbolehkan untuk dibunuh.
Ath-Thusi mengikuti pendapat Ibnu Miskawaih dalam mendidik anak-anak, yaitu dengan
penanaman moral yang baik melalui pujian, hadiah, dan celaan yang halus. Setelah itu
mengajarkan tata cara bergaul dan bersikap dalam masyarat, barulah melatih untuk
memilih pekerjaan baik yang sesuai dengan mereka. Ath-Thusi menekankan untuk
memperhatikan hak-hak orang tua. Menurutnya, anak baru dapat menyadari hak-hak
ayahnya saat dia sudah dapat membedakan sesuatu. Sementara hak-hak ibunya sudah
lama sejak dia mulai peka terhadap lingkungan. Hal ini dikarenakan hak ayah bersifat
mental, sementara hak ibu bersifat fisik.
Filsafat Kenabian
Menurut Ath-Thusi, Nabi merupakan utusan Tuhan untuk membawa aturan suci-Nya
untuk menjaga kehidupan manusia dari kekacauan dalam kehidupan sosial. Jadi
kehadiran seorang Nabi sangat penting bagi kehidupan manusia sebagai pemimpin
spiritual yang melanjutkan aturan suci dari Tuhan.
1. Ringkasan
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Nasiruddin Al-Tusi adalah Ilmuwan serba bisa.
Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi
perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tidak ternilai besarnya. Selama
hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan
beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat,
kedokteran, hingga ilmu agama Islam. Sarjana Muslim yang kemasyhurannya
setara dengan teolog dan filosof besar Thomas Aquinas, itu memiliki nama lengkap Abu
Ja‟far Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi. Pemikiran
epistemologinya, At-Tusi mendukug doktrin ortodoks mengenai cretio ex nihilo. Filsafat
etikanya menjelaskan bahwa manusia dalam mencapai kebaikan dituntut untuk sering
berbuat baik, mendapatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta. Sedangkan filsafat
jiwannya, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri
dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan.
1. D. Suggested Reading
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1997. Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri,
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta:
Rajawali,1989.
Mustofa, HA. 2009. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Supriyadi, Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. Jakarta:
PustakaFirdaus,.
1. E. Latihan
2. a) Soal Pilihan Ganda
3. Siapakah nama asli Nasiruddin Ath-Thusi?
4. Khawajah Abu Ja‟far Muhammad.
5. Nasir al-Din Abu Ja‟far Muhammad.
6. Khawajah Nasir al-Din Abu Ja‟far Muhammad.
7. Khawajah Nasir al-Din Abu Ja‟far
1. Daftar Istilah
2. Logika
3. Moral
4. Metafisika
5. „Ilm-i Ilahi
6. Qiyamat
7. Falsafah Ula
8. Kenabian
9. Astronomi
10. Biologi
11. Kimia
12. Matematika
13. Filsafat
14. Kedokteran,
BAB XIV
MUHAMAD IQBAL
Untuk meneruskan studi ia pergi ke Lahore dan ia belajar disana sampai memperoleh
gelar kesarjanaan M.A. di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold seorang
orientalis yang memberikan dorongan untuk melanjutkan studi di Inggris. Pada tahun
1905 ia pergi ke Inggris untuk melanjutkan studi di Universitas Cambridge untuk
mempelajari filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Jerman dan disanalah ia
memperoleh gelar Ph.D. dalam taswuf.
Muhammad Iqbal adalah seorang filosof dan penyair. Syairnya menjadi hebat karena
filsafatnya dan filsafatnya menjadi hebat karena syairnya. Iqbal yang merupakan murid
Thomas Arnold sangat berpengaruh dalam menentukkan arah perjuangan umat Islam
India. Ide-idenya tentang pembaruan dan politik mengantarkan umat Islam India
menjadi suatu bangsa yang lepas dari bayangan-bayangan India, yakni Pakistan.
Meskipun dia seorang penyair dan filosof pemikirannya mengenai kemajuan dan
kemunduran umat Islam sangat berpengaruh pada gerakan pembaruan Islam. Pada
masa kanak-kanak Muhammad Iqbal belajar pada ayahnya yang bernama Nur
Muhammad yang dikenal juga sebagai seorang ulama. Kemudian ayahnya
memasukkan Iqbal ke Scotch Mission College di Sailkot agar Iqbal mendapatkan
bimbingan dari Maulawi Mir Hasan, teman ayahnya yang ahli bahasa Persia dan Arab.
2. Karya-karya Muhammad Iqbal
Diperkirakan ada sekitar 21 karya monumental yang ditinggalkan oleh Muhammad
Iqbal, dan salah satu karyanya yang terkenal adalah Bal-I Jibril (Sayap Jibril) yang
dibuat pada tahun 1935. Karya yang lainnya yaitu:
Ilm al-Iqtitisad, (1903) “ buku pertama yang memuat tentang risalah ekonomi
sebagai anjuran”.
Development of Metaphisics In Persia: A Constribution to the History of Muslim
Philosophy, (1908) “Tesis Iqbal ketika meraih gelar doktor di Munich Jerman”.
Islam as a Moral and Political Ideal, (1909)
Asrar-I Khudi (Rahasia Pribadi), (1915)” pertama kali memuat Filsafat Agama
berbentuk puisi”
Rumuz-I Bekhudi, tulisan filosofis kedua, tema utamanya adalah hubungan antar
individu, masyarakat dan umat manusia. Buku ini sebagai penyempurna dari Asrar-I
Khudi.
Payam-I Masyriq [Pesan dari Timur], (1923)
Bang-I Dara (Seruan dari Perjalanan, (1924)
Self in the Light of Relativity Speeches and Statement of Iqbal, (1925)
Zaboor-I „Azam (Kidung Persia) (1927)
Khusal Khan Khattak, (1928)
A Plea for Deeper Study of Muslim Scientist, (1929)
Presidential Addres to the All-India Muslim Leaque, (1930)
Javid Nana (Kitab Kebaikan), (1932)
McTaggart Philosophy, (1932)
The Recontruction of Religius Thought in Islam (Pembangunan Kembali)
Pemikiran Keagamaan dalam Islam, (1934)
Letters of Iqbal to Jinnan, (1934)
Pas Chih Bayad Kard Aqwam-I Sharq, (1936)
Matsnawi Musafir, (1936) “Sang pengembara, perjalanannya menuju Afganistan dan
mengunjungi tempat-tempat yang bersejarah.
Zarb-I Kalim, (Tongkat/Pukulan Nabi Musa), (1936)
Armughan-I Hejaz (Hadiah dari Hejaz), (1938)
Pada beberapa saat sebelum Muhammad Iqbal meninggal dunia ia menuliskan
beberapa bait puisi: Bila beta telah pergi meninggalkan dunia ini, tiap orang akan
berkata Ia telah mengenal beta. Tapi sebenarnya tak seorangpun kenal kelana ini apa
yang ia katakan. Siapa yang diajak bicara? dan dari mana ia datang?. (Iqbal, 1976: 26)
Kembali pada pembahasan tentang ego. Salah satu filosof di Barat yaitu Descartes
yang mengemukakan tentang ego. Aktivitas ego menurut Iqbal pada dasarnya bukan
semata-mata berfikir seperti yang dikemukakan oleh Descartes, akan tetapi berupa
aktivitas kehendak seperti tindakan, harapan dan keinginan. Tindakan-tindakan tersebut
spontan yang terefleksikan dalam tubuh. Dengan kata lain, tubuh adalah tempat
penumpukan tindakan-tindakan dan kebiasaan ego. Ego adalah sesuatu yang dinamis,
ia mengorganisir dirinya berdasarkan waktu dan terbentuk, serta didisiplinkan
pengalaman sendiri. Setiap denyut pikiran baik masa lampau atau sekarang, adalah
satu jalinan tak terpisahkan dari suatu ego yang mengetahui dan memeras ingatannya.
Watak esensial ego, sebagaimana konsepsi Islam adalah memimpin karena ia bergerak
dari amr (perintah) Ilahi.
Artinya, realitas eksistensial manusia terletak dalam sikap keterpimpinan egonya dari
yang Ilahi melaui pertimbangan-pertimbangan, kehendak-kehendak, tujuan-tujuan dan
apresiasinya. Oleh karena itu kian jauh jarak seseorang dari Tuhan maka kian
berkuranglah kekuatan egonya. Bagi Iqbal, agama lebih dari sekedar etika yang
berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesungguhnya adalah
mendorong proses evolusi ego manusia dimana etika dan pengendalian diri menurut
Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia yang selalu
mendambakan kesempurnaan.
Iqbal juga menekankan bahwa kekekalan ego bukanlah suatu keadaan melainkan
proses. Maksud hal tersebut adalah untuk menyeimbangkan dua kecenderungan yang
berbeda dari bangsa Timur dan Barat. Mengingat sejarah Iqbal yang berusaha untuk
mengkombinasikan apa yang dipelajarinya di Timur dan di Barat, serta warisan
intelektual Islam untuk menghasilkan reinterpretasi pemahaman Islam, yang kebetulan
ayahnya sendiri dikenal sebagai seorang ulama di Sailkot. Bangsa Timur menyebut ego
sebagai bayangan atau ilusi, sementara itu Iqbal mengatakan bahwa Barat berada
dalam proses pencarian sesuai dengan karakteristik masing-masing. Dalam konteks
inilah Iqbal terlebih dahulu menyerang tiga pemikiran tentang Panteisme memandang
ego manusia sebagai noneksistensi, sementara eksistensi sebenarnya adalah ego
absolut atau Tuhan. Namun apa kata Iqbal? Ia menolak pandangan panteisme tersebut
dan berpendapat bahwa ego manusia adalah nyata. Aliran lain yang menolak adanya
ego adalah empirisme, terutama yang dikemukakan oleh David Hume yang
memandang konsep ego itu yang poros pengalaman-pengalaman yang datang silih
berganti adalah sekadar penamaan (nominalisme) ketika yang nyata adalah
pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti dan bisa dipisahkan secara atomis.
Iqbal tidak begitu setuju dengan pendapat tersebut bahkan menolaknya dengan
mengatakan bahwa orang tidak bisa menyangkal terdapatnya pusat yang menyatukan
pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti tersebut. Iqbal juga menolak
rasionalisme Cartesian yang masih melihat ego sebagai konsep yang diperoleh melalui
penalaran dubium methodicum. Bahkan Iqbal juga menolak pendapat Kant yang
mengatakan bahwa ego yang terpusat, bebas dan kekal hanya dapat dijadikan bagi
postulat bagi kepentingan moral. Akan tetapi bagi Iqbal keberadaan ego yang unified,
bebas, dan kekal bisa diketahui secara pasti dan tidak sekedar pengandaian logis.
Adapun adanya ego atau diri yang terpusat, bebas, imortal bisa diketahui secara
langsung lewat intuisi (Donny, 2003: 82).
1. Konsep Penciptaan
Dalam penjelasan mengenai teori penciptaan Iqbal dalam bagian ini, penulis mencoba
mengutip langsung dari karya Iqbal sendiri yang telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia dengan judul Asrar-I Khudi; Rahasia-Rahasia Pribadi. Akan tetapi, untuk
menghindari dan tidak bermaksud untuk menghilangkan pandangan-pandangan serta
catatan-catatan penerjemahnya yang cenderung bersifat subjektif, dipaparkan lansung
terjemahan dari karya Iqbal agar kita mendapatkan pemahaman lansung yang lebih dari
pemikiran Iqbal. Perlu diperhatikan, sebagaian besar dari karya Iqbal berbentuk tulisan
dalam syair-syair atau puisi-puisi yang mempunyai nilai estetika yang cukup tinggi, dan
kita perlu memiliki pemahaman sastra yang baik untuk dapat memahami isi dari
pemikiran Iqbal tersebut.
Bisa digaris bawahi dari sebuah syair yang di buat oleh Muhammad Ikbal yang
menjelaskan mengenai teori penciptaan alam semesta. “Semua bentuk kejadian
berasal dari khudi (Pribadi atau di dalam bahasa Farsi dan Urdu diartikan sebagai
Tuhan). Semua yang ada pada realitas merupakan rahasia-rahasia khudi. Ketika alam
dan pikiran murni diciptakan dalam “kesadaran” khudi, maka alam-alam yang tercipta
tersebut akan terhubung pada khudi. Dari khudi akan mewujud keluasan dunia yang
berkemauan (kreativitas), dan akan mewujud bentuk-bentuk yang berkembang dan
saling bersentuhan atau bergesekan. Dari bentuk-bentuk (kembang mawar) yang saling
bergesekan akan membuat tenaga yang bersifat mandiri, untuk suatu bentuk (kembang
mawar), akan mengambil suatu tempat atau ruang (taman mawar) yang diringi dengan
waktu (mencari sebuah lagu). Dari sini akan membentuk “sebuah langit”, dan dari langit
tersebut akan membentuk banyak langit yang terus- menerus menyempurna
(menyempurnakan keindahan Ruhani).
Dari kegiatan langit yang terus menyempurnakan “Membentuk” materi-materi (Kejuitaan
Shirin “membenarkan” Farhad). Dari materi yang memiliki daya ini, akan menarik
(mengimbau) materi-materi lain yang memiliki daya (Harum wangi kembang jeruk
“menghimbau” harum muskus). Kegiatan dari tarik-menarik (nyala api) antara materi-
materi, akan membuat materi (sang agas) tersebut terlempar dan mengalami
keterseleksian (Nasib sang agas melontar diri dalam nyala api, Derita sang agas
dibenarkan oleh cinta). Dari materi yang telah mengalami keterseleksian inilah, khudi
sebagai daya kreatif (pensil khudi) membentuk realitas-realitas kekinian agar dapat
memujudkan realitas-realitas yang akan datang (Pensil khudi melukis ratusan kekinian.
Agar diwujudkannya fajar hari esok yang akan datang).
Ketika kegiatan tarik-menarik antara materi-materi (nyala api) bersentuhan dengan
potensi-potensi terciptanya manusia (Ratusan Ibrahim), maka seiring dengan itulah
manusia akan terwujud (Nyala apinya membakar ratusan Ibrahim. Agar kemilau lampu
seorang Muhammad). Pada diri manusialah dapat diketahi subjek, objek, cara, sebab ,
dan musabab atau pengetahuan, yang semua bertujuan untuk amal (Subjek, objek,
cara, sebab, dan musabab. Semuanya ada untuk maksud amal). Dalam proses
penciptaan alam, khudi berperan sebagai “designer” dalam keteraturan alam.
1. Moral
Filsafat Iqbal adalah filsafat yang meletakan kepercayaan kepada manusia yang
dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai kemampuan untuk
mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk memperindah
dunia. Hal itu di mungkinkan karena manusia merupakan wujud penampakan diri dari
Aku Yang Akbar (Nasution, 2005: 200).
Dalam syair-syairnya Iqbal mendorong umat islam supaya bergerak dan jangan tinggal
diam, intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan, maka Iqbal
berseru kepada umat islam supaya bangun dan menciptakan dunia baru. Untuk
keperluan ini umat islam harus menguasai ilmu dan teknologi, dengan catatan agar
mereka belajar dan mengadopsi ilmu dari barat tanpa harus mengulangi kesalahan
barat memuja kekuatan materi yang menyababkan lenyapnya aspek-aspek etika dan
spiritual.
1. Ringkasan
Muhammad Iqbal berasal dari golongan menengah, lahir di Sailkol pada tahun 1877.
Untuk meneruskan studi ia pergi ke Lahore dan ia belajar disana sampai memperoleh
gelar kesarjanaan M.A. di kota itulah ia berkenalan dengan Thomas Arnold seorang
orientalis yang memberikan dorongan untuk melanjutkan stadi di Inggris. Pada tahun
1905 ia pergi ke Inggris untuk melanjutkan studi di Universitas Cambridge untuk
mempelajari filsafat.
Hukum dalam Islam menurut Iqbal tidak bersifat statis, tetapi dapat berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman. Islam pada hakikatnya bersifat dinamisme, demikian
pendapat Iqbal. Alquran senantiasa mengajarkan serta menganjurkan pemakaian akal
terhadap ayat atau tanda yang terdapat pada alam, seperti matahari, bulan, bintang,
pergantian siang dan malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli dengan
perubahan hal tersebut maka akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang.
Menurut Iqbal konsep alam ialah bersifat dinamis atau berkembang.
1. D. Suggested Reading
Al-Bahiy, Muhammad. 1986. Pemikiran Islam Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Donny Gahral, Adian, 2003. Muhammad Iqbal: Seri Tokoh Filsafat, (Jakarta Selatan:
Teraju
Hamid, Abdul dan Yaya. 2010. Pemikiran Modern dalam Islam. Bandung: Pustaka
Setia.
Iqbal, Muhammad, 1976. Asrar I Khudi; Rahasia-Rahasia Pribadi. Jakarta: Bulan
Bintang
Mulyati, Sri, 2011. Mengenal dan Memahami: Tarekat-Tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana
Nasution, Harun 2003. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
1. Latihan
2. a) Soal Pilihan Ganda (PG)
3. Pada tanggal berapa Muhammad Iqbal dilahirkan?
1. 03 Januari 1877
2. 09 Agustus 1877
3. 12 Juni 1877
4. 09 November 1877
5. 16 April 1877
4. Pada tahun berapa Muhammad Iqbal terpilih menjadi Presiden Liga Muslim?
5. 1930
6. 1931
7. 1932
8. 1933
9. 1934
6. Tokoh pertama yang menyuarakan “Bahwa pintu ijtihad tidak tertutup” adalah
7. Ibnu Sina
8. Ibnu Taimiyah
9. Ibnu Rusyd
10. Mulla Shadra
11. Al-Farbi
1. b) Soal Essay
2. Jelaskan pemikiran pembaharuan Muhammad Iqbal?
3. Mengapa Muhammad Iqbal lebih dikenal sebagai penyair dan politisi dibanding
seorang filosof?
4. Sebutkan teori filsafat Muhammad Iqbal?
5. Apa saja aspek yang dikaji dalam filsafat Muhammad Iqbal?
6. Apa pengaruh filsafat Muhammad Iqbal dalam kehidupan masa kini?
1. Daftar Istilah
2. Hakikat Ego.
3. Moral
4. Khudi
5. Evolusi ego
6. Etika
7. Esensial ego
8. Development
9. Metaphisics
10. Taswuf
11. Sufistik
BAB XV
MULLA SHADRA
Tidak heran, jika Mulla Shadra mendapatkan perhatian dan pendidikan yang
terbaik. Apalagi seabad sebelumnya, Shiraz merupakan pusat ilmu, baik filsafat
maupun ilmu tradisional lainnya. Kondisi ini membuatnya cepat menguasai beragam
ilmu baik Bahasa Arab maupun Persia, al-Qur‟an dan Hadits serta bidang ilmu lainnya.
Meski demikian, hal itu tidak membuat Mulla Shadra merasa puas. Maka untuk
memuaskan rasa dahaganya akan ilmu, ia meninggalkan kota kelahirannya menuju
Isfahan. Di sana ia mendapatkan bimbingan dari dua orang guru yang mumpuni
keilmuannya. Yakni Syekh Bahauddin al-Amili, biasa disebut Syekh Baha‟i, yang
terkenal sebagai teolog, sufi, ahli hukum, filosof juga seorang penyair. Ilmu-ilmu
keagamaan ia serap dari gurunya itu. Pada periode yang sama, Mulla Shadra juga
mendapatkan bimbingan dari Sayid Muhammad Baqir, lebih dikenal Mir Damad,
terutama ilmu-ilmu intelektual.
Menurut taba‟i sebagaimana dikutip Nasr, karya mulla Shadra tidak kurang dari 46
judul ditambah 6 risalah. Akan tetapi, Fazlur Rahman menyebutkan berjumlah 32 atau
33 risalah, sebagaian besar karya-karya tersebut telah dipublikasikan sejak seperempat
terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja yang belum dipublikasikan.
Karya-karya Mulla Shadra pada umumnya filosofis dan religius, telah menyatu dan
saling melengkapi. Berikut ini adalah karya-karya Shadra.
Al-Hikmah Al-Muta‟aliyah fi Asfar Al-„aqlyah Al-Arba‟ah (Teosofi Transendental yang
membicarakan empat perjalanan akal pada jiwa) lebih dikenal dengan
sebutan Asfar. Kitab ini merupakan karya monumental karena menjadi dasar bagi
karya pendeknya, juga menjadi risalah pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya.
Kitab ini menjelaskan penggambaran intelektual dan spiritual manusia kehadirat
Tuhan. Selain itu, kitab ini juga membuat hampir semua persoalan yang berkaitan
dengan wacana pemikiran dalam islam: ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat.
Penyajiannya menggunakan pendekatan morfologis, metafisis, dan historis.
Al-Hasyr (Tentang kebangkitan). Buku ini terdiri atas delapan bab yang menjelaskan
hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan: Materi, manusia dan tumbuhan akan
kembali kepada-Nya. Nama lain kitab ini adalah Tarh Al-Kawnayn fi Hasyr Al-
„Alamin.
Al-Hikmah Al-„Arsyiyah (Hikmah diturunkan dari „Arsy Ilahi). Buku ini menjelaskan
Tuhan, kebangkitan (resurrection), dan kehidupan manusia setelah mati.
Hudus Al-‟Alam (Penciptaan Alam). Kitab ini berisi tentang asal-usul penciptaan
alam dan kejadiannya dalam „waktu‟ berlandaskan atas al-harakah al-jauhiriyyah.
Kalq Al-A‟mal (Sifat kejadian perbuatan Manusia). Buku ini membicarakansifat
kejadian perbuatan manusia; kebebasan atau ketentuan atas tindakan manusia.
Shadra mengeluarkan pandangan yang berbeda dengan pendapat para ulama
kalam.
Al-Masya‟ir (Kitab) Merupakan salah satu dari kitab Shadra yang utama dan paling
banyak dikaji dewasa ini, mengandung ringkasan teori ontologinya.
Mafatih Al-Ghaib (Kunci Alam Ghaib) Merupakan karya Shadra yang sangat
mendasar dalam masa kematangan dalam ilmu. Ramuan ilmu berdasarkan doktrin
„irfan
Kitab al-masya‟ir (kitab penembusan metafisika) salah satu kitab Shadra yang paling
banyak dipelajari dalam tahun-tahun belakangan ini mengandung ringkasan teori
ontologi. Buku ini banyak dikaji dan di sarah para pemikir persia
Al-mizaj (tentang prilaku perasaan). Membicarakan tentang prilaku akibat dari
bawaan, perangai dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa
Mutasyabihat al-qur‟an (ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat dalam Al-quran).
Memperbincangkan tentang ayat-ayat yang sukar difahami dan bersifat metafora
dari sudut irfan
Sebagai sebuah konstruksi, pemikiran al-hikmah al-muta‟aliyah tentu saja tidak hanya
dihasilkan dari konstruksi pemikiran pribadi Shadra, namun bersumber juga pada karya-
karya sebelumnya. Akan tetapi, tidak dapat disimpulkan bahwa pemikiran Shadra
hanya gabungan dari berbagai karya terdahulu.
1. Metode dan Karakteristik tentang al-Hikmah al-Muta’aliyah
Penyelidikan yang menyeluruh dan mendalam terhadap kebenaran-kebenaran agama
melalui intuisi intelektual dan harmonisasinya dengan pembuktian-pembuktian rasional
telah memberikan Mulla Shadra pelbagai fondasi, persoalan dan kemungkinan baru
untuk memperluas pembahasan-pembahasan filosofis. Dari sinilah kemudian dia
menciptakan persoalan-persoalan baru, menemukan pandangan-pandangan yang baru
dan mendalam, yang tidak pernah bisa ditemukan melalui pemikiran semata-mata.
Itulah sebabnya mengapa dalam al-hikmah al-muta‟aliyah semangat filsafat diperbarui
kembali dan sejumlah pembahasan ditambahkan kepadanya. Diantara pembahasan
yang menarik dalam al-hikmah al-muta‟aliyah adalah tertang empat perjalanan manusia
bila ingin memperoleh kebenaran dari Tuhan. Empat perjalanan tersebut yaitu;
Perjalanan dari dunia ciptaan (al-Khalq), dunia kasat mata, menuju kepada dunia
pencipta, dunia kebenaran sejati (al–Haqq). Perjalanan ini ditempuh dengan cara
melakukan semacam “observasi empirik” terhadap fenomena natural. Melalui observasi
terhadap dunia natural yang serba beragam, akal sampai kepada sesuatu yang
mempersatukan keragaman itu. Sebut saja, ini adalah empirisme Ruhaniah ala Mulla
Shadra. Dengan kata lain, pada perjalanan pertama ini, orang melihat dirinya dari sisi
dunia fisik dan diri jasmaniahnya sambil berusaha menggapai peleburan diri pada diri
yang suci (Tuhan).
1. Perjalanan dalam kebenaran yang sejati (al-Haqq) melalui pengetahuan yang sejati
(al-Haqq). Inilah fase transendensi: tahap melampaui keragaman alam natural, dan
tenggelam dalam Ketunggalan Mutlak yang tak mengenai kepelbagaian aksidental
(„aradl), atau dapat dikatakan pada perjalanan kedua ini, seseorang dapat mencapai
tingkat keselarasan dengan nama dan sifat yang suci, atau dalam bahasa
sederhana disebut wali. Pada kondisi ini dia melihat, mendengar dan berbuat
melalui Tuhan.
2. Perjalanan dari Yang Maha Sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalaui
pengetahuan sejati yang diperoleh pada tahap kedua di atas. Ini adalah empirisme
kedua yang sudah mengalami transformasi radikal. Sebab, keragaman dilihat bukan
sebagai keragaman pada dirinya sendiri, tetapi sebagai manifestasi dari
Ketunggalan Mutlak. Bisa jadi pada perjalanan ketiga ini puncak peleburan diri yang
disebut fana. (Saifullah, 2004: 108).
Perjalanan bersama dengan Yang Maha Sejati dalam dunia ciptaan, Perbedaan antara
tahap keempat dan ketiga ialah: pada tahap ke-3, yang kita jumpai adalah perjalanan
menuju (ila) kepada dunia ciptaan, sementara pada tahap keempat, kita berjumpa
dengan perjalanan di dalam (fi) dunia ciptaan itu sendiri. Dengan kata lain, pada tahap
keempat inilah terdapat puncak petualangan, di mana akal tenggelam di dalam alam
ciptaan, tetapi memandangnya dengan ilmu sejati (al–Haqq). Akal menjadi bagian dari
dunia, tetapi juga sekaligus berjarak dari dunia. Ambiguitas tahap keempat ini
menjelaskan secara ringkas semacam “kosmologi” dan “ontologi” Sadrian. Dalam
bahasa yang sederhana dapat dikatakan, seseorang tersebut, kembali ke dunia (al-
khalq) dan membawa petunjuk bagi sesama.
1. Sumber-Sumber Filsafat Mulla Shadra
Shadra mengkaji seluruh warisan filsafat, keagamaan dan spiritual Islam, kecuali para
filosof Spanyol, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd dari Spanyol dan
wilayah Islam Barat. Ia juga sangat berhutang kepada Ibnu „Arabi, yang memberikan
satu pengaruh terpenting terhadapnya. Tradisi filsafat Peripatetik yang berawal pada
Ibnu Sina, tradisi teologi kalam, baik Syiah maupun Sunni, filsafat Iluminasionis
Suhrawardi beserta para pengikut dan komentatornya dan akhirnya tradisi sufi yang
berpuncak pada Ibnu „Arabi beserta murid-murid dan komentatornya. Semuanya masuk
kedalam struktur intelektual filosof kita. Dengan demikian ada tiga untaian utama yang
secara sadar disatukan oleh Shadra untuk membentuk “sintesis besar”, yaitu (1) tradisi
peripatetik Ibnu Sina (2) tradisi Iluminasionis al-Suhrawardi dan (3) Genosis-sufisme-
nya Ibnu „Arabi.
1. Tradisi Peripatetik Ibnu Sina. (w. 428/1037). Ibnu Sina diberi gelar al-Syaikh al-Rais
yang berarti guru kepala, hendak menjelaskan bahwa ia merupakan lantai atau
pondasi yang mendasari semua pembahasan filsafat dalam Islam. Tulisan- tulisan
metafisika Ibnu Sina yang sudah dikomentari secara ekstensif dan kreatif beberapa
abad sebelum Shadra membentuk puncak teoritis dari sebuah tradisi filosofis
Aristotelian Islami. Shadra mencari dukungan dari pernyataan-pernyataan bagi
ajarannya sendiri yang khas seperti mengenai realitas wujud dan kelemahan esensi
disamping mengkritik, memodifikasi dan terkadang membelanya dari kritik-kritik al-
Suhrawardi, al-Thusi dan lain-lainnya.
2. Tradisi Iluminasionis al-Suhrawardi (w. 587/1191). Seorang filosof yang syahid pada
usia 38 tahun yang sangat langsung dan berpengaruh besar kepada Shadra,
dimana ia sendiri telah mensyarah kitab pentingnya al-Suhrawardi yakni Hikmah al-
Isyraq. Pengaruh ini dalam kenyataannya dapat dipahami sebagai suatu
penyempurnaan dan perluasan dari masa muda al-Suhrawardi serta upaya-upaya
perintis: perubahan-perubahan penting dalam pendekatan Shadra sendiri.
Pandangan al-Suhrawardi yang positif diterima oleh Shadra adalah pandangan yang
menyatakan bahwa esensi logis itu bukanlah realitas, karena defenisi logis tidak
menciptakan pembedaan yang tajam dalam realitas, pandangan lain adalah tentang
realitas, dengan demikian, adalah cahaya tunggal yang berangkai yang hanya dapat
dijelaskan oleh pembedaan-pembedaan “lebih dan kurang” atau “ lebih sempurna
dan kurang sempurna”. Kegelapan benar-benar negatif, yang nyata ialah “tingkatan”
cahaya yang tersusun secara berjenjang dari cahaya mutlak (Tuhan) turun kepada
apa yang disebutnya “cahaya-cahaya aksidental”. Gagasan tentang jenjang realitas
ini diambil alih oleh Shadra. Adapun pokok penentangan Shadra kepada al-
Suhrawardi adalah konsepnya tentang wujud adalah “gagasan atau hal sekunder
yang dipikirkan”, sebaliknya shadra menegaskan wujud adalah realitas satu-
satunya. Ia menjelaskan hanya wujudlah yang dapat menjadi lebih atau kurang,
sedangkan esensi bukanlah realitas sebenarnya, tetapi hanya ada dalam pikiran.
Jika wujud bukan realitas yang sebenarnya, apa yang tertinggal selain esensi?
Esensi sendiri tidak dapat menjadi lebih kurang karena tiap esensi bersifat “tertutup”,
statis dan pas. Lebih jauh Shadra menggantikan cahaya al-Suhrawardi dengan
wujud.
3. Ibnu Arabi dan sufisme (w. 638/1240). Digelari al-Syaikh al-akbar yang berarti guru
terbesar dan dikenal sebagai pengembang tradisi tasawuf-falsafi. Pengaruh Ibnu
„Arabi bagi Mulla Shadra dapat dilihat pada tiga isu penting: non-wujudnya esensi,
realitas sifat-sifat Tuhan dan peran eskatologis-psikologis alam citra („alam al-
Mitsal). Mengenai yang pertama, ungkapan Ibnu „Arabi terkenal “esensi tidak
bernada wujud” dikutip oleh Shadra beberapa kali untuk mendukung ajarannya
bahwa wujud adalah realitas satu-satunya dan bukan esensi. Di antara hal penting
lain adalah pengaruh Ibnu „Arabi terhadap ajaran Shadra tentang “Alam Citra”.
Ajaran ini digunakan oleh Shadra juga Ibnu „Arabi untuk membuktikan kebangkitan
jasmani. Menurut mereka apa yang mereka persepsi melalui indra di dalam dunia ini
lebih lemah ketimbang – karena kita terikat dengan dunia material – apa yang akan
dipersepsi jiwa dalam ahirat kelak yang sangat kuat dan riil.
4. Selain itu, wahyu adalah aspek penting yang dijadikan sumber filsafat Mulla Shadra,
baik itu al-Qur‟an (tafsir) atau hadits nabi. Ada lagi sumber yang lain, yaitu kalamnya
Imam Syiah, ulama‟ Sunni dan lain sebagainya.
A. Pengaruh Filsafat Mulla Shadra
Pengaruh Mulla Shadra pada masanya sangat terbatas dan mazhabnya hanya
mempunyai sedikit pengikut. Ajaran Shadra menyebar secara gradual, terutama berkat
komentar-komentarnya terhadap karya-karya Ibnu Sina dan As-Suhrawardi yang
menarik perhatian para pengikut mazhab peripartisisme dan iluminasionisme. Tokoh
penting pertama mazhab Mulla Shadra yang sebenarnya, yang telah mencetak
sejumlah murid yang andal dan aktif adalah Mullah „Ali Nuri (wafat 1246). Sementara
itu, Asytiyani memproklamasikan diri sebagai “pengikut terbesar dan terbaik di kalangan
para komentator Shadra”.
Ali Ridha Shadra menulis sebuah risalah yang diterbitkan di Majalah Pegah edisi
terakhir dengan judul “Mengenal Metode Al Hikmah Al Muta‟aliyah dan Pengaruhnya
pada Pemikiran Politik” Dalam buku-bukunya beliau juga menjelaskan tentang sistem
pemerintahan yang mana beliau berangkat dari keyakinannya akan keberadaan bahwa
keberadaan adalah sesuatu yang mengada atau dengan kata lain adalah “menjadi
ada”. Para ulama dan pakar Islam selama ini telah berusaha untuk menyusun konsep
pemikiran baik dalam akhlak atau pun lainnya, seperti Khujah Nasiruddin Thusi, Ibnu
Miskawaih, Razi dan lain-lain. namun semua itu sama dengan orang yang tahu akan
penyakit dan teori tentang penyakit, sementara kita butuh pada dokter yang tidak hanya
tahu tentang teori penyakit namun yang bisa menyembuhkan penyakit. Sejak lama kita
memiliki dua problema dalam dunia pemikiran politik; pertama adalah ilmu politik dan
kedua ilmu untuk memahamkannya kepada orang lain. Menurut Mulla Shadra metode
yang harus digunakan adalah metode “Sayr Wa Suluk” karena itu beliau memberi nama
kitabnya dengan “Asfar” yang diperkaya dengan teks ayat suci Al Quran.
1. Ringkasan
Dari ulasan yang dipaparkan dimuka, dapat disimpulkan sebagai berikut:
bahwa theosofi transcendental atau hikmah al-muta‟aliyah Mulla Shadra adalah sejenis
ajaran kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual
(dzawq atau isyraq), pembuktian rasional („aql atau istidlal), dan syari‟at. Salah satu
kandungan ajaran tersebut adalah, tertang empat perjalanan manusia bila ingin
memperoleh kebenaran dari Tuhan secara benar. Empat perjalanan itu adalah; 1).
Perjalanan dari dunia ciptaan (al-Khalq), dunia kasat mata, menuju kepada dunia
pencipta, dunia kebenaran sejati (al–Haqq), 2). Perjalanan dalam kebenaran yang sejati
(al-Haqq) melalui pengetahuan yang sejati (al-Haqq), 3). Perjalanan dari Yang Maha
Sejati menuju kepada dunia ciptaan, melalaui pengetahuan sejati yang diperoleh pada
tahap kedua di atas, dan 4). Perjalanan bersama dengan Yang Maha Sejati dalam
dunia ciptaan.
Untuk sampai kepuncak pemikiran tersebut, Mulla Shadra banyak terinspirasi oleh
filosof atau ahli hikmah terdahulu, dan itu menjadi sejenis sumber ajaran hikmah al-
muta‟aliyahnya, diantaranya adalah: Ibnu Sina, Syaikhul Isyraq Suhrawardi al-Maqtul,
Wahyu, kalam-kalam Syiah, Sunni dan Muktazilah.
1. Suggested Reading
Hossen Nasr Sayyed, 1996. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi,. Yogyakarta:
Nur, Syaifan,. 2003 Filsafat Mulla Shadra, Pendiri Mazhab al-Hikmah al-Muta‟aliyat,.
Bandung: Teraju.
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka Vol. 02, No. 02, Juli-
Desember.
Saifullah, 2004. Filsafat eksistensialistik, study atas pemikiran Mulla Shadra,
Jakarta: Tiara Wacana.
Sunarya, Yaya, 2012. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV Arfino Raya
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pusat Bahasa,
1. Latihan
2. a) Soal Pilihan Ganda
1. Mulla Shadra dilahirkan di Syiraz. Syiraz adalah sebuah nama kota di Negara….
2. Palestina
3. Istanbul
4. Iran
5. Malaysia
2. Mulla Shadra datang ke Isfahan pada usia yang masih sangat muda dan belajar
pada teolog yang bernama….
3. Baha‟uddin Al-„Amili
4. Mir Damad
5. Khudi
6. Shadr Al-Muta‟allihin
4. Mulla Shadra lebih dikenal dengan sebutan Shadr Al-Muta‟allihin karena ketinggian
tingkat pengetahuan nya tentang…..
5. Ahli fiiqh
6. Hikmah
7. Ahli Tafsir
8. Ahli antropolog
5. Putra pertama mulla Shadra ialah (mulla) ibrahim, baliau adalah seorang ….
6. Filosof,muhadits,mutakallim,matematikiawan
7. Sejarawan,antropolog,filolog,jurnalistik,dokter
8. Arkeolog,ustad,ahli hadits,dan seorang penyair
9. Sastrawan,Filosof,mistikus,matematikiawan.
6. Putra kedua mulla Shadra ialah Nizamuddin Ahmad, Beliau adalah seorang…
7. Mistikus,sastrawan,penyair dan filosof
8. Filosof,muhadits,mutakallim,matematikiawan
9. Sastrawan,filosof,mistikus,matematikiawan
10. Psikolog,sosiolog,kriminolog dan gubernur
4. Siapakah penggagas utama filsafat islam yang sering disebut dengan bapak filsafat
?
5. Al Kindi
6. Plato
7. Aristoteles
8. Ibnurusyd
9. Al Ghazali
9. Menurut Ibnu An Nadim dan Al Qafthi karangan Al kindi memiliki beberapa karangan
pendek, jumlah karangannya yakni ?
10. 340 Risalah
11. 370 Risalah
12. 314 Risalah
13. 238 Risalah
14. 561 Risalah
13. Di daerahnya Thus, Al-Ghazali belajar ilmu fiqh pada salah seorang ulama yang
bernama……
14. Muhammad Ar -Razkani Ath-Thusy
15. Nidham Al-Mulkrazi Ath-Thusy
16. Qhutbuddin Asy-syirozi
17. Shadruddin Asy-syirozi
14. Siapakah perdana mentri daulah Bani Saljuk yang memberikan kepercayaan
kepada Al-Ghazali untuk mengelola madrasah Nidhamiyah di bagdad…..
15. Muqtadi Bin Amrilah
16. Abu Nashr Al-Ismai‟liy
17. Malik Syah
18. Nidham Al-Muluk
15. Murid Al-Ghazali, yaitu Muhammad Bin Taumart mendirikan pemerintahan baru
bernama…..
16. Daulah Murabithun
17. Daulah Fatimiyyah
18. Daulah Abasiyyah
19. Daulah Umayyah
16. Menurut Al-Ghazli ada empat aliran yang popular pada masa itu yaitu…..
17. Ahli kalam, para sufi, para filosof dan ahli tasawuf
18. Para filosof, ahli kalam, ahli tasawuf dan para sufi
19. Ahli Kalam, para filosof, para ta‟lim dan para sufi
20. Ahli ta‟lim, para sufi, para filosof dan ahli tasawuf
17. Pada tahun berapakah Ibnu Miskawaih dilahirkan?
18. 299 H 320 H
19. 330 H 330 H
21. Apa yang diuraikan Ibnu Miskawaih dalam bukunya yang berjudul Al-Fauz Al-Asgar?
22. Tentang sifat dasar Neoplatisme yang agak tidak lazim
23. Tentang akhlak
24. Memaparkan kemajuan Tuhan
25. Menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh watak-watak yang lurus
1. Semuanya benar
2. Dibawah ini adalah karangan –karangan Ibnu sina ,kecuali…
3. As-syifa
4. Al-musiqa
5. Mujiz, khabir wa shagir
6. Al-murikhat
b.7 d.1
32. Apa manfaat ilmu manajemen rumah tangga menurut Ibnu sina…
33. Mewujudkan kesejahteraan
34. Memperkenalkan type
35. Untunmengetahui cara mengelola
36. Memperkenalkan segala urusan
33. Ibnu sina berkata bahwa studi tentang aspek fenomenal jiwa termasuk dalam bidang
….
a.Ilmu pengetahuan alam
c.Ilmu tauhid
d.ilmu antrofologi
c.Akal ruang
41. Karya tentang kisah yang memeiliki nilai sastra yang tinggi adalah?
42. Safir-i Simurgh (Jerit Merdu Burung Pingai).
43. Ruzi ba Jama‟at-i Sufiyan (Sehari dengan Para Sufi),
44. Awz-i pari-i Jibra‟il (Suara Sayap Jibril),
45. Hayakil An-Nur (Rumah Suci Cahaya)
46. Al-Hikmah Al-Isyraq (Filsafat Pencerahan).
47. Dalam bidang metafisika, Suhrawardi membaginya dalam berapa bagian?
48. Metafisika generalis
49. Metafisika spesialis
50. Metafisika generalis dan Metafisika spesialis
51. Metafisika emanasional neoplatonik
52. Salah semuanya
45. Siapa pemuka besar pertama pemikir filosofis muwahhid dari sepanyol…
46. Abu bakar muhammad bin yahya c. Al-ghajali e. Ibnu Sina
47. Syihabuddin yahya Ibnu habasy d. Ibnu thufail
48. Abad ke berapa dan dimana lahirnya Ibnu Thufail…
49. Abad ke-6 H/ke-12 M di Ouadik d. Abad ke-450 H/1058 M di thus
50. Abad ke-12 M di Andalusi e. Abad ke-8 H Bagdhad
51. Abad ke- 549 H/1154 M di persia barat
49. Nama Hayy Ibnu yaqzan itu bermakana: Hayyu, melambangkan akal manusia,
sedangkan Yaqzan melambangkan…
50. Tuhan b. Nabi e. hewan
51. Rosul d. malaikat
50. Tahun berapa Ibnu thufail di angkat menjadi sekertaris pribadi gubernur Ceuta dan
Tangieur…
51. 542 H/1147 M c. 558 H/1163 M e. 580 H/1184 M
52. 324 H/1024 M d. 549 H/1154
52. Adapun sebagai seorang ahli tasawuf, Ibnu Thufail memihak Al-Ghajli dan
mengubah rasionalisme menjadi tasawuf untuk melawan…
53. Ar- Razi b. Ibnu Miskawaih e. Suhrawardi Al-Maqtul
54. Ibnu Rusyd d. Ibnu bajjah
53. Ibnu thufail meyebarkan gagasan plotinus bahwaalam intelektual (nous) adalah…
54. Satu atau banyak c. Apa adanya e. Cenderung alami
55. Sekedarnya saja d. Terlihat berlebihan
54. Setelah mendidik indra dan akal serta memerhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu
thufail akhirnya berpaling pada…
55. Disiplin diri dan hati c. Disiplin jiwa e. Disiplin indra dan akal
56. Disiplin pikiran dan pengetahuan d. Disiplin ilmu
73. Siapakah yang begitu berpengaruh dalam kemajuan pemikiran Ath-Thusi sehingga
menjadi pemikir ?
74. Ibnu Sina
75. Muhammad bin Idris
76. Yazid bin Abi Sofian
77. Al-Farabi
Pilihan jawaban.
1. Pemikiran Ibnu Bajjah
2. memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan bahwa metode
ini didasarkan pada ajaran-ajaran Nabi suci.
3. perbuatan yang didorong oleh motif naluri atau hal-hal lain yang berhubungan
dengannya.
4. Majalah al-Majama‟ al-Ilm al-Arabi.
5.
6. negara sempurna dan negara tidak sempurna.
7. (1)membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan dan memuliakanNya
(2) membuat organ-organ tubuh kita bertindak sesuai dengan wawasan hati
(3) menghindari segala yang membuat kita lalai mengingat Tuhan.
8. Metafisika Menurut Ibnu Bajjah
9. perbuatan manusiawi.
10. Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya al-Sha‟igh.
88. Ibnu Nadhim mengatakan bahwa al-Kindi telah meliris 260 judul karya.
Benar Salah
89. Al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan
filsafat, Ia melicinkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyid.
Benar Salah
90. Kitab Fi Ibarah Al-Jawami‟ Al-Fikriyah adalah karya al-Kindi yang membahas
tentang definisi benda-benda dan uraian-uraiannya.
Benar Salah
91. Risalah Fi Annahu Jawahir La Ajsam adalah karya al-Kindi tentang soal subtansi.
Benar Salah
93. Al-Kindi menolak anggapan yang meyakini bahwa manusia membutuhkan Nabi
untuk keteraturan hidup. Baginya, akal sudah merupakan anugrah terbesar yang
cukup untuk menciptakan keteraturan hidup.
Benar Salah
94. Al-Kindi adalah filosof yang menguasai betul tentang musik, baik teori maupun
praktik dan dikatakan juga sebagai ahli alkemi (kimia kuno).
Benar Salah
1. d) Soal Essay
2. Kemuliaan dan kedudukan yang diperoleh oleh Al-Ghazali di Baghdad tidak
berlangsung lama akibat adanya berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa.
Apa sajakah peristiwa atau musibah itu? Sebutkan!
3. Sebutkan Karangan-karangan karya Al-Ghazali! (Minimal 4)
4. Jelaskan bagaimana Filsafat di mata Al-Ghazali!
5. Sebutkan Klasifikasi Ilmu menurut Al-Ghazali!
6. Sebutkan 3 persoalan yang menyebabkan para filosof dipandang kafir!
7. Mengapa Al-Ghazali tidak mau disebut seorang filosuf?
PENUTUP
Mata Kuliah Filsafat Islam atau dalam Buku Daras ini diberi judul “Mengenal Filsafat
Islam” merupakan Mata Kuliah yang wajib dipelajari oleh seluruh Mahasiswa atau para
Pembelajar, Mereka wajib mempelajari dan mengetahui pengertian, ruang lingkup,
Obyek kajian dan dimensi-dimensi filsafat dan pemikiran dari para filosof Muslim
diantaranya mengenai Biografi mereka, karya-karyanya serta Filsafat.
Para filosof muslim yang wajib dipelajari oleh para Mahasiswa diantaranya: filosof Al-
Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibnu Miskawih, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu
Thufail, Ibnu Rusyd, Nashiruddin At-Thusi, Muhammad Iqbal serta Mulla Shadra.
Para filosof muslim tersebut telah memberikan yang terbaik dalam berfilsafat dan
pemikiran-pemikirannya sehingga filsafat setelah ditangan para filosof muslim lebih
berkembang lagi karena mereka memadukan antara kekuatan akal dan wahyu
sehingga ditangan mereka islam mengalami zaman keemasannya mampu memberikan
manfaat terhadap peradaban dunia baik di dunia timur maupun di barat. Dengan
demikian setelah membaca dan mempelajari para pembaca diharapkan mendapatkan
manfaat dan motivasi untuk meneladani dan berkarya yang terbaik bagi kemajuan
tanah air kita tercinta, kalau mereka telah memberikan yang terbaik dalam berkarya
hasil pemikirannya selama hidupnya dan kita termotivasi untuk bertanya kepada diri kita
sendiri, Apa karya yang akan diberikan selama hidup ini yang amat bermakna untuk
kemajuan peradaban dunia yang memberikan keseimbangan peran akal dengan
wahyu, sehingga wahyu dapat memandu illmu yang di ridhai oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, 2003, Muhammad Iqbal: Seri Tokoh Filsafat. Jakarta: Insan
Mandiri
Amir An-Najar, 2002. ”Al-ilmu An-Nafsi Ash-Shufiyah”, Terj. Hassan Abrari, Pustaka
Azam, Jakarta Selatan
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka
Setia.
Aziz, Abdul Dahlan, 2002. Filsafat Dalam Ensikloped Tematis Dunia Islam, Jakarta:
Icthiar Baru
Basri, Hasan dan Mufti, Zaenal, 2009. Filsafat Islam Sejak Klasik sampai
Modern. Bandung. Insan Mandiri.
Basri, Hasan 2009. .Filsafat Islam. Jakarta; Direktorat Jenderral Pendidikan Islam.
Dahlan, Abdul Aziz. 2003. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan
Daudy, Ahmad. 1984. Segi-segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Fuad Ahmad Al- Ahwani. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
G.C.Qanawati.1995. Mu‟allaf Ibnu Sina. Kairo, dan Y. Mahdavi. Fihristi Mushanfat Ibnu
Sina
Ha‟iri yazdi, Mehdi 1994. Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat
Islam, Bandung : Mizan.
Hanafi, Ahmad, M. A, 1996, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Hamid, Abdul dan Yaya. 2010. Pemikiran Modern dalam Islam. Bandung: Pustaka
Setia.
Nasution, Harun 1985. Islam Ditinjau Dari Segi Aspeknya, jakarta: UI Pres
Nasution, Hasyimsyah, 2002. Filsafat Islam. Jakart: Gaya Media Prtama. Bandung:
Mizan.
Nasution, Hasyimsyah 2013. filsafat islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, cet 6.
Madkur, Ibrahim, 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Yogyakarta, Bumi Aksara.
Madkur, Ibrahim, 1996. Filsafat Islam Metode dan Penerapan, Jakarta: PT, Raja
Grifindo Persada,.
Leaman, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta:
Rajawali
Mustofa, A. 1997, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm. 169-170
Nasution, Harun, 1973. Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1992. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah, 1999, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama.
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka Setia
Salam, Abdus, 1983. Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Salman
Sholeh, A. Khodhori. 2004. Wacana Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
1997. Praja, Juhaya, 1997. Aliran- aliran Filsafat dan Etika;Suatu Pengantar.
Bandung:Yayasan Piara.
1. Praja, Juhaya, 2013, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sunarya, Yaya, 2013. Pengantar Filasafat Islam, Bandung: Arfino Raya
Suseno. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam. Jakrta: Bumi Askara.
Zainal Abidin Ahmad, 1975. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Averroes. Jakarta : Bulan
Bintang
Zaenal mufti, 2012. Filsafat Islam sejak klasik sampai modern. Bandung; VC Insan
Mandiri.
Zar, Sirajuddin, 2004. Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,
Zar,Sirajuddin, 2014, filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
INDEKS
A
Abbasiyyah 9
Al-Farabi 7
Al-Ghazali 7
Al-Kindi 7, 15
Al-Makmun 9
Al-Mu‟allim Ats-Tsani 41 B
Al-Qur‟an 10, 11 Babylonia 20
Arab 9 Bakry 9
Cardam 16 D
Daulah 9
Cordova 9
Dialektik 9
Categories 20
Cremona 16 Definisi 16
E F
Eksperimen 9 Fadillah 20
Emanasi 43 Falak 20
Evolusi 43 Filsafat 7
Fenomena 9
Fiqh 39
H
Harun Ar-Rasyid 15
Hasbullah 9
Herokleitos 9
Hellenis 11
Hujjah 7
Hikmah 9
G
Garis 9 Hillmuth Ritter 16
Genus-genus 20 Historis 39
I
Ibnu Rusyd 7
Ibnu Sina 7
Ilmu 9
J
Isbat An-Nubuwwat 11 Jepang 13
Islam 7 Jerman 16
Iskandariah 9 Jiwa
Ilahi 16
Ibnu Miskawaih 42
K
Kalam 7
Kindah 15
Khasanah 9
L
Lahiriayah 20
Kompetensi 9
Logika 39
Kufah 15
Kenabian 43
M
Manthiq 39
Matematika 20
Muslim 7, 9
Mu‟tazilah 16
N
Metodologi 9 Neoplatonik 16
O P
Observatorium 20 Partikularitas
Ontology 9 Pemikiran 9
Perpustakaan 16
Philosophia 7
Plato 9
R
Radikal 18
Rasio 16
ratio-reason 16
Rasa‟il 52
Rayy 43
Risalah 16
Rububiyyah 29
Q
Qamariyah 20 Ruh 9
S
Sistematis 9
Simple 16
Solusi 9
T
Tahzib Al-Akhlak 42
Spanyol 9 Teologi 7
Spesies 20 Tuhanan 7
Y Y
Yunani 7 Yunani 7