Sistem Informasi Kesehatan Tentang Stunting

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

INDIKATOR KESEHATAN PADA STUNTING

Disusun Untuk Memenuhi Penugasan Mata Kuliah Sistem Informasi Kesehatan

Dosen Pengampu : Alfiana Ainun Nisa., S.K.M., M.Kes.

Oleh :

Martha Gobai (6411415156)

Putri Nur Tamalla (6411417006)

Eka May Salama Putri (6411417018)

Balqisza Dima Attar Zach (6411417019)

Rombel 1

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Usia balita merupakan masa dimana proses pertumbuhan dan

perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan

gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak karena balita

umumnya mempunyai aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam proses

belajar (Welassih & Wirjatmadi, 2012). Salah satu current issue yang saat ini

sering menjadi permasalahan gizi adalah stunting.

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan

penurunan kecepatan pertumbuhan dan merupakan dampak dari

ketidakseimbangan gizi. Menurut World Health Organization (WHO) Child

Growth Standart, stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur

(PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang

dari -2 SD.3 . Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami

stunting (Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia

adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/Baduta (Bayi

dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat

kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap

penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat

produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat

pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.


Stunting masih merupakan satu masalah gizi di Indonesia yang belum

terselesaikan. Stunting akan menyebabkan dampak jangka panjang yaitu

terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, serta kognitif. Anak yang

terkena stunting hingga usia 5 tahun akan sulit untuk diperbaiki sehingga akan

berlanjut hingga dewasa dan dapat meningkatkan risiko keturunan dengan berat

badan lahir yang rendah (BBLR).

Kekurangan gizi masa anak-anak selalu dihubungkan dengan kekurangan

vitamin mineral yang spesifik dan berhubungan dengan mikronutrien maupun

makronutrien tertentu. Beberapa tahun terakhir ini telah banyak penelitian

mengenai dampak dari kekurangan intake zat gizi, dimulai dari meningkatnya

risiko terhadap penyakit infeksi dan kematian yang dapat menghambat

pertumbuhan dan perkembangan mental.

Secara umum gizi buruk disebabkan karena asupan makanan yang tidak

mencukupi dan penyakit infeksi. Terdapat dua kelompok utama zat gizi yaitu zat

gizi makro dan zat gizi mikro (Admin, 2008). Zat gizi makro merupakan zat gizi

yang menyediakan energi bagi tubuh dan diperlukan dalam pertumbuhan,

termasuk di dalamnya adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan zat gizi

mikro merupakan zat gizi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh

lainnya, misalnya dalam memproduksi sel darah merah, tubuh memerlukan zat

besi. Termasuk di dalamnya adalah vitamin dan mineral. Stunting tidak hanya

disebabkan oleh satu faktor saja tetapi disebabkan oleh banyak faktor, dimana

faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Ada tiga

faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makan tidak seimbang (berkaitan

dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak,
mineral, vitamin, dan air) riwayat berat lahir badan rendah (BBLR) dan riwayat

penyakit (UNICEF, 2007). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam

makalah ini akan membahas mengenai indikator kesehatan dalam stunting.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana status kesehatan stunting di Indonesia ?

2. Bagaimana sistem kesehatan stunting di Indonesia ?

3. Bagaimana cakupan pelayanan stunting di Indonesia ?

4. Bagaimana faktor risiko stunting di Indonesia ?

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui status kesehatan stunting di Indonesia.

2. Untuk mengetahui sistem kesehatan stunting di Indonesia.

3. Untuk mengetahui cakupan pelayanan stunting di Indonesia.

4. Untuk mengetahui faktor risiko stunting di Indonesia.

1.4 MANFAAT

1. Diharapkan dapat menjadi masukan untuk program, terutama bagi

stakeholder di bidang kesehatan untuk menentukan langkah pencegahan

dan penanggulangan stunting di Indonesia.

2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya, guna pengembangan

penelitian terkait penyebab stunting di Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN STUNTING

Stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat, berupa

penurunan kecepatan pertumbuhan dalam perkembangan manusia yang

merupakan dampak utama dari gizi kurang. Gizi kurang merupakan hasil dari

ketidak seimbangan faktor-faktor pertumbuhan (faktor internal dan eksternal).

Gizi kurang dapat terjadi selama beberapa periode pertumbuhan, seperti masa

kehamilan, masa perinatal, masa menyusui, bayi dan masa pertumbuhan (masa

anak). Hal ini juga bisa disebabkan karena defisiensi dari berbagai zat gizi,

misalnya mikronutrien, protein atau energi (Setiawan, 2010).

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth

(tumbuh kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting

merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan

meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik

motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up

growth yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk

mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok

balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila

pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik.


2.2 PENGERTIAN INDIKATOR KESEHATAN

Indikator adalah variabel yang membantu kita dalam mengukur

perubahan-perubahan yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung

(WHO, 1981). Sedangkan indikator kesehatan adalah ukuran yang

menggambarkan atau menunjukkan status kesehatan sekelompok orang dalam

populasi tertentu, misalnya pada issue current stunting. Terdapat 4 (empat)

indikator kesehatan dalam stunting yaitu status kesehatan, sistem kesehatan,

cakupan pelayanan, dan faktor risiko dalam stunting.

2.2.1 Status Kesehatan terkait Stunting

 Prevalensi balita stunting turun dari 37, 2% pada tahun 2013 menjadi

30,8% pada tahun 2018. Prevalensi baduta (bayi di bawah dua tahun)

stunting mengalami penurunan dari 32,8% pada tahun 2013 menjadi

29,9 % pada tahun 2018.

 Prevalensi balita gizi buruk/gizi kurang dan kurus/sangat kurus juga

mcenderung mengalami penurunan pada tahun 2013-2018

 Tantangan percepatan penurunan stunting masih cukup besar:

- Proporsi Berat Badan Lahir Rendah (< 2500 gram/BBLR)

mengalami kenikan tipis dari 5,7 pada tahun 2013 menjadi 6,2%

pada tahun 2018

- Panjang badan lahir kurang dari 48 cm mengalami kenaikan dari

20,2% pada 2013 menjadi 22,7% di 2018.

- Proposisi imunisasi dasar lengkap pada anak usia 12 – 23 bulan

mengalami penurunan dari 59,2% pada tahun 2013 menjadi 57,9%


di 2018. Sedangkan proporsi anak yang tidak imunisasi meningkat

dari 8,7% pada 2013 menjadi 9,2% pada 2018.

 Percepatan penurunan stunting ke depan antara lain dapat dilakukan

dengan mengatasi masalah sebagai berikut :

- ibu hamil dan balita yang belum mendapatkan program makanan

tambahan (PMT) masih cukup tinggi masing-masing sekitar

74,8% dan 59%.

- Proporsi anemia pada ibu hamil mengalami kenaikan dari 37,1

pada tahun 2013 menjadi 48,9% pada 2018.

 Kendala dalam penyelenggaraan percepatan pencegahan stunting

- Belum efektifnya program-program pebcegahan stunting.

- Belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan intervensi gizi

spesifik dan sensitif di semua tingkatan, terkait dengan

perencanaan dan pengenggaran, penyelenggaraan, dan

pemantauan dan evaluasi.

- Belum efektif dan efisiennya pengalokasian dan pemanfaatan

sumber daya dan sumber dana.

- Keterbatasan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan program.

- Masih minimnya advokasi, kampanye, dan desiminasi terkait

stunting, dan berbagai upaya pencegahannya.

2.2.2 Sistem Kesehatan Stunting

Sistem kesehatan adalah suatu jaringan penyedia pelayanan kesehatan dan

orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut di setiap wilayah, serta


Negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut (Kebijakan

Kesehatan Indonesia)

INPUT PROSES OUTPUT

SUMBER DAYA PEMBERDAYAA


MANUSIA N MASYARAKAT
KESEHATAN

MENURUNKAN
OBAT DAN ANGKA
UPAYA
PERBEKALAN STUNTING
KESEHATAN

PEMBIAYAAN

MANAJEMEN
KESEHATAN

Subsistem Sistem Kesehatan, antara lain:

1) Sumber Daya Manusia Kesehatan

- Pemerintah : pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintahan

kabupaten/kota.

- Masyarakat, termasuk swasta.

- Individu dan kelompok masyarakat.

2) Pembiayaan pemerintah dalam pencegahan stunting


Gambar 1. Sumber pembiayaan pemerintah untuk pencegahan stunting
Sumber : TP2NK, 2018
3) Upaya kesehatan untuk menurunkan stunting

Pada 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition

(SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak

untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Pada 2012,

Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui

perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting. Kerangka Intervensi

Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua,

yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif.

A. Intervensi Gizi Spesifik

Intervensi Gizi Spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada

anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada

30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik

umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat


jangka pendek dimana hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek.

Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan Intervensi Gizi

Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari

masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:

1. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi ini

meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu

hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis,

mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan

iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi

ibu hamil dari Malaria.

2. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak

Usia 0-6 Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan

yang mendorong inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui

pemberian ASI jolong/colostrum serta mendorong pemberian ASI

Eksklusif.

3. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak

Usia 7-23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong

penerusan pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan.

Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6 bulan didampingi oleh

pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan

suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan,

memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi

lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.


Berikut ini adalah identifikasi beberapa program gizi spesifik yang telah

dilakukan oleh pemerintah:

 Program terkait Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil, yang dilakukan

melalui beberapa program/kegiatan berikut:

- Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi

kekurangan energi dan protein kronis

- Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat

- Program untuk mengatasi kekurangan iodium

- Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu

hamil

- Program untuk melindungi ibu hamil dari Malaria.

 Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan

termasuk diantaranya mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini melalui

pemberian ASI jolong/colostrum dan memastikan edukasi kepada ibu

untuk terus memberikan ASI Eksklusif kepada anak balitanya. Kegiatan

terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), promosi menyusui ASI

eksklusif (konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau

tumbuh kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit

secara tepat.

 Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui

dan Anak Usia 7-23 bulan:

- Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan

didampingi oleh pemberian MP-ASI


- Menyediakan obat cacing

- Menyediakan suplementasi zink

- Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan

- Memberikan perlindungan terhadap malaria

- Memberikan imunisasi lengkap

- Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

B. Intervensi Gizi Sensitif

Intervensi Gizi Sensitif dilakukan melalui berbagai kegiatan

pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70%

Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat

secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari

Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi Sensitif dapat

dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan

dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang

dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi

Spesifik sebagai berikut:

a) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

b) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

c) Melakukan fortifikasi bahan pangan.

d) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga

Berencana (KB).

e) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

f) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

g) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.


h) Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

i) Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

j) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi

pada remaja.

k) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi

Terkait dengan intervensi gizi sensitif yang telah dilakukan oleh

pemerintah melalui K/L terkait beberapa diantaranya adalah kegiatan

sebagai berikut:

 Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih melalui

program PAMSIMAS (Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi

berbasis Masyarakat). Program PAMSIMAS dilakukan lintas K/L

termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas/Kementerian PPN),

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

(KemenPUPERA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Selain pemerintah pusat,

PAMSIMAS juga dilakukan dengan kontribusi dari pemerintah

daerah serta masyakart melalui pelaksanaan beberapa jenis kegiatan

seperti dibawah:

- Meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat

- Meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air

minum dan sanitasi yang berkelanjutan

- Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal

(pemerintah daerah maupun masyarakat) dalam


penyelenggaraan layanan air minum dan sanitasi berbasis

masyarakat

- Meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang

pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi

berbasis masyarakat.

 Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi melalui

Kebijakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang

pelaksanaanya dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes)

bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Rakyat (KemenPUPERA). Kegiatan ini meliputi gerakan

peningkatan gizi/Scaling Up Nutrition (SUN) Movement yang

hingga 2015 telah menjangkau 26.417 desa/kelurahan.

 Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan (Garam, Terigu, dan

Minyak Goreng), umumnya dilakukan oleh Kementerian Pertanian.

 Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga

Berencana (KB) melalui dua program:

- Program KKBPK (Kependudukan, Keluarga Berencana dan

Pembangunan Keluarga) oleh BKKBN (Badan Kependudukan

dan Keluarga Berencana Nasional) bekerjasama dengan

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Kegiatan yang dilakukan

meliputi:

 Penguatan advokasi dan KIE (Komunikasi, Informasi dan

Edukasi) terkait Program KKBPK

 Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata


 Peningkatan pemahaman dan kesadaran remaja mengenai

kesehatan reproduksi dan penyiapan kehidupan berkeluarga

 Penguatan landasan hukum dalam rangka optimalisasi

pelaksanaan pembangunan bidang Kependudukan dan

Keluarga Berencana (KKB)

 Penguatan data dan informasi kependudukan, KB dan KS.

- Program Layanan KB dan Kesehatan Seksual serta Reproduksi

(Kespro) oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Kegiatan

yang dilakukan adalah:

 Menyediakan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi

yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk

difabel (seseorang dengan kemampuan berbeda) dan

kelompok marjinal termasuk remaja

 Menyediakan pelayanan penanganan kehamilan tak

diinginkan yang komprehensif yang terjangkau.

 Mengembangkan standar pelayanan yang berkualitas di

semua strata pelayanan, termasuk mekanisme rujukan

pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi

 Melakukan studi untuk mengembangkan pelayanan yang

berorientasi pada kepuasan klien, pengembangan kapasitas

dan kualitas provider. Mengembangkan program

penanganan kesehatan seksual dan reproduksi pada situasi

bencana, konflik dan situasi darurat lainnya.


 Mengembangkan model pelayanan KB dan Kesehatan

Produksi (Kespro) melalui pendekatan pengembangan

masyarakat.

 Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Kementerian

Kesehatan (Kemenkes) telah melakukan Program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN)-Penerima Bantuan Iuran (PBI) berupa

pemberian layanan kesehatan kepada keluarga miskin dan saat ini

telah menjangkau sekitar 96 juta individu dari keluarga miskin dan

rentan.

 Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal) yang

dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan

memberikan layanan kesehatan kepada ibu hamil dari keluarga/

rumah tangga miskin yang belum mendapatkan JKN-Penerima

Bantuan Iuran/PBI.

 Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.

 Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal yang

dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(Kemendikbud) melalui Program Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD).Beberapa kegiatan yang dilakukan berupa:

- Perluasan dan peningkatan mutu satuan PAUD.

- Peningkatan jumlah dan mutu Pendidik dan Tenaga

Kependidikan (PTK) PAUD.

- Penguatan orang tua dan masyarakat.


- Penguatan dan pemberdayaan mitra (pemangku kepentingan,

stakeholders).

 Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat

Program Perbaikan Gizi Masyarakat yang dilaksanakan oleh

Kementerian Kesehatan (melalui Puskesmas dan Posyandu)

Kegiatan yang dilakukan berupa:

- Peningkatan pendidikan gizi.

- Penanggulangan Kurang Energi Protein.

- Menurunkan prevalansi anemia, mengatasi kekurangan zinc dan

zat besi, mengatasi Ganguan Akibat Kekurangan Yodium

(GAKY) serta kekurangan Vitamin A

- Perbaikan keadaan zat gizi lebih.

- Peningkatan Survailans Gizi.

- Pemberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat.

 Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi serta

Gizi pada Remaja, berupa Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Remaja yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes)

melalui Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) termasuk

pemberian layanan konseling dan peningkatan kemampuan remaja

dalam menerapkan Pendidikan dan Keterampilan Hidup Sehat

(PKHS).

 Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga

Miskin, misalnya melalui Program Subsidi Beras Masyarakat

Berpenghasilan Rendah (Raskin/Rastra) dan Program Keluarga


Harapan (PKH) yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial

(Kemensos). Kegiatannya berupa pemberian subsidi untuk

mengakses pangan (beras dan telur) dan pemberian bantuan tunai

bersyarat kepada ibu Hamil, Menyusui dan Balita.

 Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi melalui Program

Ketahanan Pangan dan Gizi yang dilaksanakan Lintas K/L yaitu

Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi, Kemendagri.

Kegiatan yang dilakukan berupa:

- Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi

terutama ibu hamil,

- ibu menyusui, dan anak-anak.

- Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi

semua golongan penduduk.

- Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan

gender.

- Pemberdayaan Ekonomi Mikro bagi Keluarga dengan Bumil

KEK (Kurang Energi Protein).

- Peningkatan Layanan KB.

4) Obat dan perbekalan

Pemerintah baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal meliputi

pemberian suplementasi besi folat minimal 90 tablet, memberikan

dukungan kepada ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan

minimal 4 kali, memberikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT), pemberian

makanan tambahan pada ibu hamil, melakukan upaya untuk


penanggulangan cacingan pada ibu hamil, dan memberikan kelambu serta

pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria. Selain itu pemerintah juga

melakukan pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi

kekurangan energi dan protein kronis, program untuk mengatasi

kekurangan zat besi dan asam folat program untuk mengatasi kekurangan

iodium, pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu

hamil.

5) Pemberdayaan Masyarakat

1. Promosi dan konseling menyusui.

2. Promosi dan konseling pemberian makan bayi dan anak (PMBA).

3. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

6) Manajemen Kesehatan

Gambar 2. Siklus kerja dan Akuntanbilitas Pemantauan Dan Evaluasi


Sumber : TNP2K, 2018
2.2.3 Cakupan Pelayanan Stunting

Cakupan pelayanan adalah angka persentase yang menggambarkan jumlah

jiwa yang terlayani oleh sambungan pelanggan dari jumlah total jiwa, populasi

daerah pelayanan (menurut UU No. 43 Tahun 2016).

Kelebihan cakupan pelayanan dalam stunting :

a. Masyarakat/ balita mendapatkan pelayanan gizi baik dari pemerintah

b. Menjamin tercapainya sasaran dan prioritas pengembangan nasional

kesehatan di bidang gizi

c. Agar kebutuhan masyarakat/ balita dalam bidang gizi kesehatan terpenuhi.

Kendala cakupan pelayanan dalam stunting :

a. Penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif masih belum terpadu,

baik dari proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan,

pemantauan, maupun evaluasi.

b. Kebijakan dan program yang dilaksanakan oleh berbagai sektor belum

memprioritaskan intervensi yang terbukti efektif. Stunting yang telah

ditetapkan sebagai prioritas nasional di dalam RPJMN 2015-2019 belum

dijabarkan menjadi program dan kegiatan prioritas oleh sektor/lembaga

terkait.

c. Pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya dan sumber dana belum

efektif dan efisien. Belum ada kepastian pemenuhan kebutuhan sumber

dana untuk pencegahan stunting di tingkat kabupaten/kota. Potensi sumber

daya dan sumber dana tersedia dari berbagai sumber, namun belum

diidentifikasi dan dimobilisasi secara optimal.


d. Terdapat keterbatasan kapasitas penyelenggara program, ketersediaan,

kualitas, dan pemanfaatan data untuk mengembangkan kebijakan. Program

advokasi, sosialisasi, kampanye stunting, kegiatan konseling, dan

keterlibatan masyarakat masih sangat terbatas.

e. Di tingkat lapangan (desa) berbagai kegiatan yang terkait dengan stunting

belum terpadu, baik dalam penetapan sasaran, perencanaan kegiatan, peran

dan tugas antarpihak. Akibatnya cakupan dan kualitas berbagai pelayanan

kurang optimal.

f. Secara umum,koordinasi program di berbagai tingkat administrasi sangat

lemah. Strategi pencapaian stunting :

a. Kepemimpinan Presiden untuk pencegahan stunting, dengan

memastikan bahwa visi, arahan, dan dukungan Presiden dan Wakil

Presiden untuk pencegahan stunting tersosialiasi dengan baik dan

diterjemahkan ke dalam kebijakan dan distribusi sumber daya yang

tepat sasaran dan memadai untuk penyelenggaraan pencegahan

stunting di semua tingkatan pemerintah dan masyarakat.

b. Kepemimpinan Pemerintah Daerah untuk pencegahan stunting, dengan

menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung bagi

penyelenggaraan kegiatan pencegahan stunting yang konvergen dan

berbasis pencapaian hasil.

c. Kepemimpinan Pemerintah Desa untuk pencegahan stunting, dengan

menciptakan lingkungan kebijakan yang mendukung bagi

penyelenggaraan kegiatan pencegahan stunting secara konvergen di

tingkat desa.
d. Pelibatan swasta, masyarakat madani, dan komunitas, dengan

memastikan keterlibatan mereka secara aktif dalam percepatan

pencegahan stunting di kalangan masyarakat.

2.2.4 Faktor Risiko Stunting

Berdasarkan penelitian Eko dkk (2018), tentang Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian Stunting pada Anak usia 24-59 bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur tahun 2018. Terdapat 11

faktor risiko yang diteliti dengan keterangan:

1. Tingkat asupan energy

2. Rerata durasi sakit

3. Berat badan lahir

4. Tingkat pendidikan ibu

5. Tingkat pendapat keluarga

Lima faktor diatas memiliki nilai kemaknaan yang berhubungan dengan

kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas

Andalas, dengan faktor tingkat pendidikan ibu memiliki hubungan yang paling

dominan. Sedangkan faktor lain yang diteliti:

1. Tingkat asupan protein

2. Rerata frekuensi sakit

3. Status pemberian ASI eksklusif

4. Status kelengkapan imunisasi dasar

5. Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi

6. Jumlah anggota rumah tangga


Enam faktor tersebut tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan

kejadian stunting.

Berdasarkan penelitian Wanda, dkk (2014), tentang Faktor Risiko stunting

pada anak umur 6-24 bulan di kecamatan Penanggalan kota Subulussalam

provinsi Aceh. Mendapatkan hasil yakni:

1. Rendahnya pendapatan keluarga

2. Menderita diare

3. Menderita ISPA

4. Rendahnya tingkat kecukupan energy

5. Rendahnya tingkat kecukupan protein

6. Salah satu orang tua pendek

7. BBLR

8. Tidak diberi ASI eksklusif

9. MP-ASI terlalu dini

10. Pola asuh kurang baik

Faktor risiko yang paling dominan terhadap kejadian stunting pada anak umur

6-24 bulan yakni salah satu orang tua yang pendek.

Berdasarkan penelitian Nadiyah, dkk (2014) tentang Faktor Risiko Stunting

Pada Anak Usia 0—23 Bulan Di Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan Nusa Tenggara

Timur, yakni:

1. BBLR

2. Tinggi badan ibu <150 cm

3. Sanitasi kurang baik

4. Pemberian makanan pre-lakteal.


BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan

penurunan pertumbuhan dan perkembangan, akibat dari pemberian cakupan gizi

yang kurang. Status kesehatan stunting dipengaruhi oleh tantangan percepatan

penurunan stunting yang cukup besar dan kendala dalam penyelngaraan pencegahan

stunting. Sistem kesehata stunting meliputi input (SDM, obat, dan pembiayaan),

proses (pemberdayaan masyarakat, upaya kesehatan, dan manajemen), dan output

(menurunkan angka stunting). Cakupan pelayanan stunting terdapat kelebihan dan

kekurangan, dengan cakupan tersebut perlu melibatkan berbagai pihak untuk

mempercepat adanya pencegahan dalam upaya penurunan angka stunting. Terdapat

klasifikasi perbedaan faktor risiko berdasarkan penelitian, dengan kirasan usia 0-23

bulan, 6-24 bulan, serta 24-59 bulan.

3.2 SARAN

Stunting merupakan masalah dalam kesehatan yang perlu dilakukan pencegahan,

dengan melihat data status kesehatan dan faktor risiko, membuat suatu sistem

kesehatan yang berdampak postif guna diterapkan dalam cakupan pelayanan yang

merata.
DAFTAR PUSTAKA

Lestari, W., & dkk. (2014). Faktor Risiko Stunting pada Anak Umur 6-24 Bulan
di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh. Jurnal Gizi
Indonesia, 37-45.
Nadiyah, & dkk. (2014). Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 0—23 Bulan di
Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan
Pangan, 125-132.
Satriawan, Elan. (2018). Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting
2018-1024. Jakarta: TNP2K.
Setiawan, E., & dkk. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal
Kesehatan Andalas, 275-284.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. (2017). 100
Kabupaten/Kota Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta:
TNP2K-Unit Komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai