K3 Sektor Informal
K3 Sektor Informal
K3 Sektor Informal
LAPORAN
Disusun Oleh :
Kelas : A – 2017
Penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
diharapkan segala kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan dari
laporan ini kedepanya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46
LAMPIRAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap jenis dan tempat pekerjaan baik pada pekerja formal mauapun
informal memilki risiko yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pada
umumnya, para pekerja sektor informal kurang memiliki kesadaran dan
pengetahuan tentang bahaya di lingkungan kerjanya.
Selain masalah gizi, penyakit tidak menular, dan penyakit menular, para
pekerja informal juga memilki risiko keselamatan dan kesehatan terkait
pekerjaanya yang dapat mengganggu produktifitas mereka seperti kondisi
lingkungan kerja yang berbahaya, masalah kesehatan seperti gangguan otot
rangka, gangguan mata, telinga dan gangguan kesehatan kulit. Para pekerja
informal terpapar potensi bahaya pekerjaan dengan kecenderungan tidak ada
badan usaha ataupun pemilik yang secara langsung bertanggung jawab atas
kesehatan dan keselamatan kerja mereka terutama yang berhubungan dengan
berbagai penyakit dan gangguan akibat kesehatan dan kecelakaan kerja
(Kemenkes RI, 2016).
Berdasarkan BPS tahun 2016, bahwa sebanyak 26,74 persen penduduk
yang bekerja di Indonesia mempunyai keluhan kesehatan. Empat provinsi
dengan persentase penduduk yang bekerja yang mempunyai keluhan kesehatan
terendah merupakan provinsi yang berada di kawasan timur Indonesia, yaitu
Papua Barat (17,43 persen), Maluku (15,95 persen), Maluku Utara (15,55
persen), dan Papua (15,17 persen). Sedangkan presentasi tertinggi adalah Nusa
Tenggara Barat yaitu sebesar 34,76 persen.
Angka kecelakaan kerja menunjukan tren yang meningkat. Pada tahun
2017 angka kecelakaan kerja yang dilaporkan sebanyak 123.041 kasus,
sementara itu sepanjang tahun 2018 mencapai 173.105 kasus dengan
didominasi oleh kasus-kasus kecelakaan kerja ringan di lingkungan pekerjaan
yang berkarakter pabrik (BPJS, 2019).
1
2
5
6
dokter yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan
menangani limbah yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan
yang tercemar kuman patogen maupun debu beracun mempunyai
peluang terkena infeksi.
Pencegahan :
a) Seluruh pekerja harus mendapat pelatihan dasar tentang kebersihan,
epidemilogi, dan desinfeksi.
b) Sebelum bekerja dilakukan pemeriksaan kesehatan pekerja untuk
memastikan dalam keadaan sehat badan, punya cukup kekebalan
alami untuk bekrja dengan bahan infeksius, dan dilakukan
imunisasi.
c) Melakukan pekerjaan laboratorium dengan praktek yang benar
(Good Laboratory Practice).
d) Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang
benar.
e) Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan
infeksius, dan spesimen secara benar.
f) Pengelolaan limbah infeksius dengan benar.
g) Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai.
h) Kebersihan diri dari petugas.
4) Faktor Ergonomi/Fisiologi
Faktor ini sebagai akibat dari cara kerja, posisi kerja, alat
kerja, lingkungan kerja yang salah, dan kontruksi yang salah. Efek
terhadap tubuh: kelelahan fisik, nyeri otot, deformirtas tulang,
perubahan bentuk, dislokasi, dan kecelakaan.
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi, dan seni berupaya
menyerasikan alat, cara, proses, dan lingkungan kerja terhadap
kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia untuk terwujudnya
kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan tercapai
efisiensi yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat
10
5) Bahaya Biologis
Di berbagai lingkungan kerja terdapat bahaya yang
bersumber dari unsur biologis seperti flora dan fauna yang terdapat
di lingkungan kerja atau berasal dari aktivitas kerja. Faktor bahaya
ini ditemukan dalam industri makanan, farmasi, pertanian, kimia,
pertambangan, pengolahan minyak dan gas bumi.
6. Pengendalian Resiko Bahaya K3
Pengendalian resiko dapat mengikuti Pendekatan Hirarki
Pengendalian (Hirarchy of Control). Hirarki pengedalian resiko
adalah suatu urutan-urutan dalam pencegahan dan pengendalian resiko
yang mungkin timbul yang terdiri dari beberapa tingkatan secara
berurutan. Di dalam hirarki pengendalian resiko terdapat 2 (dua)
pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan ”Long Term Gain” yaitu pengendalian berorientasi
jangka panjang dan bersifat permanen dimulai dari pengendalian
substitusi, eliminasi, rekayasa teknik, isolasi atau pembatasan,
administrasi dan terakhir jatuh pada pilihan penggunaan alat
pelindung diri.
b. Pendekatan ”Short Term Gain”, yaitu pengendalian berorientasi
jangka pendek dan bersifat temporari atau sementara. Pendekatan
pengendalian ini diimplementasikan selama pengendalian yag
bersifat lebih permanen belum dapat diterapkan. Pilihan
pengendalian resiko ini dimulai dari penggunaan alat pelindung diri
menuju ke atas sampai dengan substitusi (Tarwaka, 2008) dalam
(Isma, 2014).
Hirarki Pengendalian Resiko merupakan suatu urutan-urutan
dalam pencegahan dan pengendalian resiko yang mungkin timbul
yang terdiri dari beberapa tingkatan secara berurutan. Salah satunya
dengan membuat rencana pengendalian antara lain :
a. Eliminasi (Elimination)
13
A. Profil Usaha
17
18
B. Bahan Baku
1. Bahan Utama
a. Bahan kulit asli
Bahan utama untuk pembuatan sepatu salah satunya adalah bahan
kulit asli, bahan ini didapatkan dari Jakarta. Bahan kulit ini pun tidak
melalui proses penyamakan di pabrik Prospero, melainkan membeli
bahan kulit yang sudah disamak sebelumnya.
b. Bahan Kulit Imitasi
Bahan kulit imitasi adalah kulit yang tidak menggunakan kulit
hewan, kulit imitasi telah dibuat berbagai macam jenis yang sangat
mirip dengan kulit yang aslinya. Ada berbagai macam warna dan jenis
bahan kulit imitasi diantaranya ada yang polos dan bermotif.
21
c. Tekson
Bahan tekson adalah bahan dasar yang digunakan dalam
pembuatan desain dan pola serta insole.
2. Bahan Pembantu
a. Outsole
Outsole merupakan bahan berupa karet dan bagian terluar dari
sepatu. Outsole diperuntukan untuk melindungi seluruh bagian kaki
terutama telapak kaki.
b. Insole
Insole adalah sebuah lapisan bahan yang berada diantara sole dan
telapak kaki. Insole ini berfungsi agar kaki tidak sakit ketika
menginjak/ memakai sepatu, karena bahan dari insole ini empuk.
c. Sulas
Sulas merupakan acuan yang digunakan dalam pembentukan
sepatu sehingga sepatu bisa terbentuk sesuai yang pola yang dibentuk.
Sulas ini digunakan ketika sepatu akan dibentuk atau pada tahap
penyatuan muka sepatu dengan bawahan menggunakan lem, ketika lem
sudah kering maka sulas ini dilepaskan dari sepatu.
d. Pola
Pola merupakan bahan pembantu yang paling penting karena
bentuk sepatu tergantung dari pola yang dibuat. Pola ini digunakan
sebagai acuan pembentukan sepatu mulai dari insole dan muka sepatu.
e. Lem
Lem merupakan bahan perekat yang digunakan baik pada tahap
penjahitan muka sepatu, penyatuan muka sepatu dengan bawahan serta
pada tahap finishing. Hampir dalam semua tahapan ada penggunaan
lem, lem yang digunakan adalah lem gold bond dan lem fox.
f. Pengeras (Bahan Keras)
Bahan keras merupakan berupa bahan yang digunakan untuk
memperkeras muka sepatu supaya terbentuk seperti sepatu pada
22
C. Proses Produksi
Ada beberapa tahapan dalam pembuatan sepatu yaitu terdiri dari:
1. Pembuatan Desain dan Pola
Pembuatan desain dan pola dilakukan oleh tukang tores. Pada
tahap ini, pola digambar pada bahan tekson, dibentuk sesuai bagian-bagian
yang nantinya akan dibuat menjadi muka sepatu dan alas (insole). Setelah
pola terbentuk maka selanjutnya menjiplak pola yang telah dibentuk pada
bahan tekson pada bahan kulit, bahan kulit yang sudah diberi pola
digunting/ dipotong.
Setelah insole, outsole dan muka sepatu sudah siap, maka dilakukan
penyatuan bahan tersebut, berikut rangkaian penyatuannya:
a. Muka sepatu dibentuk dengan acuan sulas, muka sepatu ditarik dan
dilakukan pemakuan serta pengeleman, dan disimpan sampai lem
kering. Pemakuan dan penarikan dilakukan agar muka sepatu tidak
kendor dan rapih.
b. Setelah lem kering, dilakukan pencabutan paku lalu dilakukan
penyatuan muka sepatu tersebut dengan insole dan outsole
menggunakan lem.
26
5. Packing
Setelah proses finishing, maka selanjutnya tahap packing. Pada
tahap ini sepatu yang sudah bersih dan rapih dimasukan ke dalam dus-dus
khusus sepatu dan sepatu siap untuk dipasarkan.
BAB IV
IDENTIFIKASI MASALAH
27
28
Finishing
Packing
Penulisan Pola
Desain pada Bahan Membentuk
Pola Tekson Pola pada
Bahan Kulit
Potongan-
potongan Bahan Penyatuan
yang Telah Bahan dengan
dipola Cara Dijahit
Muka Sepatu
Identifikasi : Limbah yang dihasilkan dari proses ini yaitu ceceran lem
Munculnya yang berada diatas meja pekerja yang telah mengeras.
Limbah
Opsi : a. Mengurangi penggunaan lem yang berlebihan
Produksi Bersih sehingga tidak banyak lem yang berceceran.
b. Pengeleman lapisan dalam sepatu juga dilakukan pada
tahap selanjutnya, muka sepatu yang telah dilem pada
tahap ini akan dibuka dan dilem kembali oleh pekerja
33
d. Finishing
Deskripsi Proses : Pada tahap ini dilakukan pembersihan sepatu
menggunakan wash bensin dari sisa-sisa lem bekas
produksi, serta penempelan tatakan dan nomor sepatu
menggunakan lem.
Input dan Output :
Wash bensin
Lem
Sepatu semi
jadi Pembersihan dan
penempelan tatakan
serta nomor sepatu
Sepatu jadi
Identifikasi : Pada tahap ini tidak ada proses yang menghasilkan
Munculnya limbah.
Limbah
Opsi : Penggunaan lem dan wash bensin dilakukan secara
Produksi Bersih efisien sehingga tidak ada ceceran lem maupun wash
bensin.
36
e. Packing
Deskripsi Proses : Pada tahap ini sepatu yang sudah bersih dan rapih
dimasukan ke dalam dus-dus khusus sepatu dan sepatu
siap untuk dipasarkan.
Input dan Output :
Dus sepatu
Pemasukkan sepatu
Sepatu jadi ke dalam dus
39
40
e. Pencahayaan
Setelah kami melakukan observasi ke lapangan pekerjaan pabrik
sepatu Prospero ini, kami melihat kondisi tempat yang kurang dari
pencahayaan alami yaitu kurang cahaya matahari yang masuk ke
ruangan kerja sehingga pada saat pekerja bekerja siang hari tetap
menyalakan lampu untuk membantu pencahayaan ruangan, hal ini
sangat tidak efisien. Maka untuk melakukan perbaikannya yaitu dengan
cara penambahan cahaya yang masuk ke ruangan agar ruangan tidak
terlihat kumuh atau redup pada siang hari tanpa memerlukan bantuan
cahaya lampu sehingga cahaya yang masuk secara natural. Pada malam
hari pabrik ini medapat satu masalah yaitu pada salah satu bidang
pengerjaan bahan yaitu proses penjahitan muka sepatu, sehingga harus
menambah daya penambahan cahaya atau menambah lampu agar
cukup dalam pencahayaan proses pengerjaan
2. Aspek Kimia
Aspek kimia ini dapat berdampak bahaya bagi kesehatan terutama
zat kimia benzene. Maka dari itu penanganan suatu paparan dapat
dilakukan dengan cara pengurangan waktu jam kerja, memperbanyak
ventilasi udara, dan alat bantu alat pertukaran udara seperti kipas angin,
penggunaan APD, dan dilakukan pendidikan mengenai bahaya zat benzene
agar pengetahuannya meningkat sehingga tau bahaya dan akibat dari
benzene, sehingga pekerja memanfaatkan APD yang telah disediakan.
3. Aspek Biologi
Tidak menutup kemungkinan terdapat bakteri atau virus dalam
bahan kulit yang digunakan, bahkan pekerja bagian pembuatan desain dan
pola kerap mengalami gatal-gatal, tidak menutup kemungkinan gatal-gatal
tersebut diakibatkan oleh bahan kulit yang digunakan. Maka penganan
masalah pada tahap ini bisa dilakukan dengan penggunaan sarung tangan
bagi pekerja yang menyentuh langsung bahan kulit tersebut.
4. Aspek Sosial
42
B. Penanganan Masalah K3
Pada hasil wawancara dan pemberian quisioner hasil yang di dapat adalah
keluhan akibat kebisingan, pencahayaan yang kurang baik, ketidak
ergonomisan duduk, dampak dari radiasi cahaya computer, rasa gatal yang
ditimbulkan dari bahan kulit, sesak jika ke ruangan produksi.
Penanganan kebisingan dan gatal akibat kulit yaitu dengan cara
menggunakan APD ( eurplug dan sarung tangan) yang telah di fasilitasi oleh
pihak pemilik pabrik, karna pengetahuan yang kurang sering kali pekerja
menganggap hal ini sepele, maka penting sekali adanya pendidikan atau
pelatihan mengenai penggunaan APD dan masalah K3.
Pencahayaan kurang baik bisa dilakukan dengan penamambahan cahaya
lampu pada malam hari dan penambahan jendela atau ventilasi sehingga
cahaya matahari bisa lebih banyak yang masuk agar pekerja dapat bekerja
dengan baik atau lebih focus pada bidang kerjanya.
Ketidak ergonomisan duduk sering sekali dan paling banyak dikeluhkan
oleh pekerja karna tidak ada pembatasan jam kerja sehingga pekerja mudah
lelah dan mengeluh pegal tetapi hal tersebut tergantung banyak target dalam
pemasaran. Semakin banyak pemrmintaan semakin lama juga duduk bekerja.
Begitupun dengan cahaya komputer yang didapat pada admin perlu adanya
pembatasan jam kerja.
Sesak merupakan hal yang belum biasa jika orang yang baru masuk
kelingkungan produksi tentu akan merasa sesakdan pusing karena pengaruh
dari lem dan bahan kulit sepatu lainnya, tentu perlu penggunaan masker agar
dapat mengurangi uap lem yang terhirup.
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
43
44
pekerja kepada peneliti lain agar lebih terukur dan dapat memastikan
akibat yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Fyona A. dkk, 2012. Penilaian Resiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada
Area Produksi Bengkel Sepatu Aris, Cibaduyut. Departemen Kesehatan
dan Keselamatan Kerja,. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Holid, Abdul. Meilani, Rini Intasari. 2018. Pengaruh lingkungan kerja sosial
terhadap kinerja karyawan direktorat akademik di sebuah perguruan
tinggi di Indonesia. JURNAL PENDIDIKAN MANAJEMEN
PERKANTORAN. Vol. 1 No. 2, Januari 2018, Hal. 201-209.
http://ejournal.upi.edu/index.php/jpmanper/article/view/00000
Laelasari, Eva. Kristant, Dewi. Rahmat, Basuki. 2018. Penggunaan Lem Sepatu
Dan Gangguan Kesehatan Pekerja Industri Sepatu Di Ciomas, Bogor.
Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Litbang Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia. Diakses pada 23 April 2019. Tersedia di
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/jek/article/view/150/1
88 .
46
Martha Tinelli Haen dan Katharina Oginawati. 2012. Hubungan Pajanan
Senyawa Benzena, Toluena Dan Xylen Dengan Sistem Hematologi
Pekerja Di Kawasan Industri Sepatu. Di akses pada 23 April 2019.
Tersedia di
http://www.ar.itb.ac.id/wpcontent/uploads/sites/8/2012/07/25310025
Martha-Tinelli-Haen.pdf.
Reza I., Pengertian Jenis Bahan Kulit Sintetis Asli Beserta Perbedaan. Diakses
pada 23 April 2019. Tersedia di https://sumbercenel.com/bahan-kulit-
sintetis/.
Suciati, Ari. 2016. Eksplorasi Limbah Eva Industri Sepatu (Potensi Visual). Prodi
Desain Produk, Fakultas Industri Kreatif, Universitas Telkom. Vol.3,
No.3 December 2016 | Page 1426.
Syaf, Agus hikmat. 2005. Karakteristik Industri Pengolahan Kulit dan Dampak
Limbah Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar.
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
47
LAMPIRAN
A. Surat Keterangan
B. Kuesioner
A. Identitas Responden
Nama :
Umur :
Tahap Pekerjaan :
Lama Bekerja :
Pendidikan :
B. Pertanyaan-pertanyaan
1. Aspek Fisik
No Pertanyaan Ya Tidak
2. Aspek Biologi
No Pertanyaan Ya Tidak
4. Aspek Kimia
No Pertanyaan Ya Tidak
5. Aspek Ergonomi
No Pertanyaan Ya Tidak
A. Identitas responden
Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
B. Pertanyaan-pertanyaan
1. Berapa lama Anda tinggal disini?
2. Apakah Anda tergangu dengan proses produksi sepatu di perusahaan
ini?
3. Apakah pabrik sepatu ini terdengar bising?
C. Dokumentasi