Teknik Pahat Dalam Pembuatan Wayang Golek

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

SENI KRIYA

“ TEKNIK PAHAT PADA PEMBUATAN WAYANG GOLEK”

Dosen Pengampu: Aan Sudarwanto

Disusun Oleh:

Novian Kurniadi (A510170168)

6C / PGSD

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA

2019
Latar Belakang

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi.
Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang
yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa
dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal
sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan
oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang
golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan
Ramayana.
Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan
demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya
dan dalang yang luar biasa. Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita
Islam) dipentaskan pula.
Wayang, oleh para pendahulu negeri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam. Sunan
Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah
Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa
Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek
di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang
Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".

Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal mula adanya wayang golek?
2. Apa saja jenis-jenis wayang golek?
3. Nilai budaya apa saja yang terkandung dalam kesenian wayang golek?
4. Bagaimana cara pembuatan wayang golek?

2
Pembahasan
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan
lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari
wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun
demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus
membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada
siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16
Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang
diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari (Bolz, 2007).
Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari keberadaan wayang kulit, Sejalan
dengan itu berkenaan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada masa pemerintahan Raden
Patah dari kerajaan Demak, kemudian disebarluaskan para Wali Sanga. Termasuk Sunan
Gunung Jati yang pada tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di kasultanan Cirebon.
Beliau memanfaatkan pagelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk memperluas
penyebaran agama Islam. Seriring kehadiran wayang golek di babad jawa pada sekitar
1548 Sunan Kudus memperkenalkan budaya wayang yang terbuat dari kayu, yang kemudian
disebut sebagai wayang golek. karena wayang golek sendiri adalah hasil dari perkembangan
wayang kulit. Sunan kudus membuat wayang dari material kayu yang kemudian dipentaskan
pada saat siang hari. pendapat tersebut diyakini sebagai awal munculnya kesenian wayang kayu
yang lahir dan berkembang di wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada awal abad ke-17 dimana
kerajaan Islam tertua di Pulau Jawa yaitu kesultanan Demak tumbuh disana.(Wardani &
Widiyastuti, 2013) Menurut legenda yang berkembang disinilah Sultan Kudus menggunakan
wayang golek dengan dialog bahasa jawa sebagai media untuk menyebarkan islam
dimasyarakat. perkembangan wayang golek melaju pesat, kesenian wayang golek berbahasa
jawa mulai digeser ketenaranya dengan kesenian wayang golek berbahasa sunda, bisa
dibuktikan dominasi wayang golek berbahasa sunda pada abad ke-17 pada masa ekspansi
Kesultanan Mataram.
Pertunjukan seni wayang golek yang kala itu masih bertahan mewarisi beberapa
pengaruh Hindu sebagai bekas wilayah kerajaan Sunda Pajajaran. Pakem dan ajalan ceritanya
sesuai dengan versi jawa meskipun terdapat beberapa perbedaan nama tokoh, yang kedian
dalam pertunjukan wayang golek berbahas sunda dikenal pula sebagai wayang golek
purwa.Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada dibawah pemerintahan Mataram,
ketika masa pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), penggemar seni pewayang meningkat,
bukan hanya dari kalangan biasa bahkan banyak bangsawan sunda yang datang ke Mataram

3
untuk mepelajari bahasa jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan, dalam penyebaranya
wayang golek tumbuh dengan membebaskan pemakaian bahasa masing-masing. Hasilnya seni
pewayangan berkembang dan menjangakau seluruh daerah Jawa Barat.

Menurut penjelasan Dr. Th. Pigeaud, bahwa seorang bupati Sumedang mendapat
gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya menyerupai wayang kulit dalam lakon
Ramayana dan mahabharata. Perubahan dari bentuk wayang kulit menjadi golek terjadi secara
berangsur-angsur, hal ini terjadi sekitar abad 18-19. (Rosyadi, 2009)hal ini diamini dengan
adanya berita bahwa pada abad ke-18 atau sekitar tahun 1794-1829 Dalem bupati Bandung
(Karanganyar), menugaskan Ki Darman seorang pegiat wayang kulit asal Tegal Jawa tengah
yang berdomisili di Cibiru, Jawa Barat untuk membuat wayang golek purwa.

Kemudian pada abad ke-20 berubahan-perubahan bentuk wayang golek menjadi


semakin baik dan sempurna. Hasilnya dapat dilihat pada perkembangan wayang golek yang
sering kita jumpai pada masa sekarang ini, wayang golek yang akrab kita temui tersebut adalah
penyempurnaan bentuk dari wayang golek purwa sunda. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya,
pagelaran wayang golek mula-mula ekslusif dilaksanakan oleh kaum bangsawan, terutama
para penguasa seperti bupati di Jawa Barat mempunyai cukup andil dalam perkebangan
kesenian wayang golek di Jawa Barat.

Pada awalnya pertunjukan wayang golek didelenggaran oleh para kaum priyayi (kaum
bangsawan sunda) dilingkungan Istana atau Kabupaten baik untuk kepentingan pribadi ataupun
keperluan umum.(Gunawan, Suganda, Dienaputra, & Nalan, 2016) Fungsi pertujukan pada
kala itu masih bergantung pada permintaan para bangsawan. pagelaran seni wayang golek
memiliki tujuan bermacam-macam, dari mulai yang sifatnya ritual, ataupun dalam rangka
tontonan atau hiburan semata. Pertunjukan yang bersifat ritual sudah jarang dipentaskan,
misalnya saja pada upacara sedkah laut atau sedekah bumi, yang biasanya hanya diadakab
setahun sekali.

Pementasan yang masih bertahan sampai sekarang adalah pertunjukan seni wayang
golek untuk hiburan, bisanya diselenggarakan untuk memriahkan acara peringatan kabupaten,
hari kemerdekan Indonesia, Syukura, hajatan, dan lainnya. Walaupun demikian, tak berarti
esensi yang mengandung nilai tuntunan sudah hilang, dalam penuturan lakon setiap tokoh
pewayangan nilai-nilai pembelajaran selalu ada.

4
Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari
kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu,
disebut sebagai wayang golek.

Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan
wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa
Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut
sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar.(Sukistono,
Haryono, Soedarsono, & -, 2018) Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak
dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang
dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek
dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840
(Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah
III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging
wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari
kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang
golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan
sendiri dikenal pada awal abad ke-19.(Suganda, 2007) Perkenalan masyarakat Sunda dengan
wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan
daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan
menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang
digunakan adalah bahasa Sunda.
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan
wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad
dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek
khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda
sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang
Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat
trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan
kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan
oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980(- & Piliang, 2013).

5
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata,
tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-
nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode
etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman
Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil
musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung.
Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman
sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya
diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru
penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta
menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia.
Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan.
Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri,
maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan
tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-
istiadat bangsa(Sabunga, Barnas Budimansyah, Dasim Sauri, 2016).
Dalam perkembangan wayang golek, pada awal tahun 70-an seni pertunjukan ini mulai
menghadirkan bintang pesinden yang terkenal yang bahkan ketenaranya melebihi seorang
dalang. Pesinden pada saat ini menjadi wajib dalam pagelaran wayang sebagai pelengkapan
percakapan dalang melalui para lakon wayang.

Bagi seniman wayang yang masih tetap mempertahankan nilai tuntunan, mereka tetap
berupaya mengembangan daya kreatifitasnya melalui keseimbangan antara penggarapan segi
tontonan yang menuntun penikmatnya. Wadah, perangkat kasar, meliputi penggarapan unsur-
unsur pedalangan (penggarapan tokoh, lakon, alur, sastra pedalangan, sabet, iringan, dan lain-
lain). Isi dari pementasan wayang golek sejatinya wajib sampai kepada penikmatnya melalui
esensi atau rohani serta pesan moral.

Kini selain sebagai seni pertunjukan wayang, kerajinan seni wayang golek juga
dikonversasi sebagai cindra mata oleh para wisatawan tokoh-tokoh seperti Rama, Sinta,
Arjuna, Srikandi serta tokoh punakawan seperti Semar dan Cepot bisa dibawa pulang sebagai
hiasan atau benda pajangan interior.

6
Langkah-Langkah Pembuatan Wayang Golek

Ada beberapa alat dan bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan wayang golek Bahan
yang digunakan untuk membuat wayang golek, antara lain :

 Kayu yang digunakan kayu lame


 Pisau
 Kapak
 Gergaji
 Bor
 Cat untuk pewarnaan
 Bahan kain untuk hiasan pakaian wayang golek

Proses pembuatan sebuah wayang golek terhitung rumit. Langkah pertama yaitu,
mengukir bentuk wajah. Detail wajah, mulai dari lekukan hidung, mata, hingga hiasan dibuat
sedemikian halus. Proses pewarnaannya pun menggunakan beberapa kuas. Untuk beberapa
detail seperti riasan kelopak mata perlu kuas yang kecil agar hasilnya sempurna.

Langkah selanjutnya adalah membuat bagian tubuh. Wayang golek memiliki bentuk
tubuh yang terpisah dengan tangan. Pada bagian atas, kanan, kiri dan bawah tubuh diberi
lubang untuk menyatukan kepala dan lengan menggunakan tali. Setelah beberapa bagian
selesai dibuat, sampeurit (kayu penyangga kepala) dipasang, agar kepala wayang bisa
digerakan. Kemudian tuding ( kayu pemegang dalang) dipasang di kedua tangan wayang.

7
Satu lagi yang menjadi bagian penting dari wayang golek adalah pakaian tradisional
sesuai dengan tokoh aslinya. Untuk atasan, terbuat dari kain bludru dengan hiasan monte
berwarna emas atau perak. Lalu bawahannya, memakai kain batik. Biasanya Cecep
menyediakan tiga macam warna untuk wayang golek Rama dan Shinta. Ada yang bercorak
hitam -putih, coklat-emas, dan putih-merah.

Pakaian Wayang Golek

Tahap pembuatan wayang golek adalah tahap pertama bakalan atau disebut jug sebagai
bahan kepala wayang pengerajin terlebih dahulu membayangkan pola wayang golek sesuai
pola tokoh yang di pesan ,rata-rata lebar kayu yang dipakai itu kurang lebih 1 jengkal 2 jari itu
untuk kepala wayang .
Kemudian di pola dan di ukir dengan pisau raut khusus juga bermacam - macam ukuran
pisau nya karena pisau menetukan juga ukiran-ukiran dan bentuk pada wayang golek terkadang
bilamana kayu tersebut sangat lah berat biasanya pengrajin membelah dua kayu tersebut
kemudian pada bagian dalamnya di kerok atau di bobok supaya ringan , dan kemudian
tempelkan kembali dengan lem kayu dengan di campur serbuk gergaji dan biasanya didiamkan
selama 2 sampai 3 hari supaya sangat rapat . terkadang bila kayu itu masih basah biasanya
pengerajin mempunyai teknik dengan istilah di unun atau di asap diatas dapur tradisional
sunda.

8
Bentuk Kepala wayang yang belum jadi

Bentuk Tangan wayang Yang sedang di warnai

Bentuk Kepala wayang yang sudah di warnai

9
Bentuk kepala wayang yang telah di cat

Hasil akhir

10
Kesimpulan

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi.
Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang
yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa
dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003,
sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Dilihat dari sudut pandang terminologi ada beberapa pendapat mengenai asal kata wayang.
Pendapat pertama mengatakan wayang berasal dari kata wayangan atau bayangan yaitu sumber
ilham, yang maksudnya yaitu ide dalam menggambar wujud tokoh. Sedangkan pada pendapat
kedua mengatakan kata wayang berasal dari Wad dan Hyang, artinya leluhur.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Wayang berarti sesuatu yang dimainkan ki Dalang berupa
gambar pahatan dari kulit binatang, melambangkan watak-watak manusia.
Dalam Kamus Bahasa Sunda disebutkan bahwa wayang adalah boneka berbentuk manusia
yang dibuat dari kulit atau kayu, dan lebih ditegaskan lagi pengertian wayang sama dengan
sandiwara boneka
Dalam pengertian luas wayang golek bisa mengandung makna gambar, boneka tiruan
manusia yang terbuat dari kulit, kardus, seng, mungkin kaca-serat (fibre-glass), atau bahan
dwimatra lainnya, dan dari kayu pipih maupun bulat torak tiga dimensi.

11
Daftar Pustaka
-, I., & Piliang, Y. A. (2013). Perbandingan Kode Visual Pertunjukan Golek Sunda
Tradisional dan Pertunjukan Golek Sunda dalam Media TV. Panggung, 23(2).
https://doi.org/10.26742/panggung.v23i2.97
Bolz, J. (2007). Wayang. The Women’s Review of Books, 17(12), 21.
https://doi.org/10.2307/4023556
Gunawan, W. A., Suganda, D., Dienaputra, R. D., & Nalan, A. S. (2016). The Structural
Transformations of Sundanese Wayang Golek Performance. International Journal of
Culture and History, 3(1), 16. https://doi.org/10.5296/ijch.v3i1.7364
Rosyadi, R. (2009). WAYANG GOLEK DARI SENI PERTUNJUKAN KE SENI KRIYA
(Studi tentang Perkembangan Fungsi Wayang Golek di Kota Bogor). Patanjala : Jurnal
Penelitian Sejarah Dan Budaya, 1(2), 135. https://doi.org/10.30959/patanjala.v1i2.239
Sabunga, Barnas Budimansyah, Dasim Sauri, S. (2016). Nilai-Nilai Karakter Dalam
Pertunjukan Wayang Golek Purwa. SOSIORELIGI, 14.
Suganda, D. (2007). PEMANFAATAN KONSEP “MUKA” (FACE) DALAM WACANA
WAYANG GOLEK: ANALISIS PRAGMATIK. Jurnal Humaniora, (Vol 19, No 3
(2007)). Retrieved from http://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-
humaniora/article/view/908
Sukistono, D., Haryono, T., Soedarsono, R. M., & -, S. (2018). Tatahan dan Sunggingan
Wayang Golek Menak Yogyakarta. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan, 10(2).
https://doi.org/10.24821/resital.v10i2.485
Wardani, N. E., & Widiyastuti, E. (2013). Mapping Wayang Traditional Theatre As A Form
of Local Wisdom of Surakarta Indonesia. ASIAN JOURNAL OF SOCIAL SCIENCES &
HUMANITIES, 2(2). Retrieved from www.ajssh.leena-luna.co.jp

12

Anda mungkin juga menyukai