ANALGETIKA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

ANALGETIKA, ANALGETIKA-ANTIPIRETIK,

ANALGETIKA-AINS

A. Analgetik

Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi


rasa sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit
terdiri dari dua proses, yakni:
1. Penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional
dan individu terhadap perangsang ini.
2. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan
mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik
menekan reaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.

Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau


kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan
melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada
ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ)
lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf
Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat
nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-
mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin,
dan prostaglandin-prostagladin, serta ion-ion kalium.

Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan
beberapa cara, yaitu :
1. Analgetika perifer : menghalangi terbentuknya rangsangan pada nyeri perifer.
2. Anestetika lokal : menghalangi penyaluran rangsangan di saraf sensoris.
3. Analgetika sentral (narkotika) : memblokir pusat nyeri di CNS (anestesi
umum).
4. Antidepresif trisiklis : digunakan pada nyeri kanker dan saraf, mekanisme
kerja belum diketahui secara jelas (misal amitriptilin).
5. Antiepileptika : meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang synaps pada
nyeri (pregabalin, karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, valproate).

Penanganan jenis nyeri dibagi menjadi :


 Nyeri ringan dan disertai demam : dengan obat perifer (parasetamol,
asetosal, asam mefenamat, propifenazon, aminofenazon).
 Nyeri sedang : dengan obat perifer ditambah kafein atau kodein.
 Nyeri yang disertai pembengkakan atau trauma/jatuh : sebaiknya
diberi analgetika anti radang (aminofenazon dan NSAID : ibu profen, asam
mefenamat.
 Nyeri hebat : dengan morfin atau piat lainnya (tramadol).

Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non-
narkotinik atau analgetik non-opioid atau integumental analgesik (misalnya asetosal
dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral
analgesic (misalnya morfin).

1. Analgetik narkotik (opioid)

Analgetik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti


opium. Mekanisme kerjanya meniru opioid endogen dengan memperpanjang
aktivasi dari reseptor reseptor opiod (µ reseptor). Bekerja pada resptor opioid
di CNS menyebabkan persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri
berkurang.
Secara kimiawi, obat-obat ini dapat dibagi dalam beberapa kelompok
sebagai berikut:
1. Agonis opiate :
 Alkaloid candu : morfin, kodein, heroin, nikomorfin
 Zat zat sintetik : metadon dan derivatnya (dekstromoramida,
propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanyl,
sufentanil), tramadol.
2. Antagonis opiate :
nalokson, nalorfin, pentazosin, brupenorfin (temgesic).
3. Campuran

Mekanisme Kerja :

Menduduki sisa sisa reseptor nyeri yang tidak diduduki oleh endorphin
(morfin endogen) mengakibatkan perasaan nyeri di blokir. Zat-zat ini memiliki daya
menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf
Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan
menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan
kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan
gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka
kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-undang
Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM.

Efek Samping :

 Supresi CNS :
- Sedasi, menekan pernafasan , miosis, hypothermia perubahan mood
- Stimulasi langsung pada CTZ ( Chemo Triger Zone) mengakibatkan
mual, muntah.
- Dosis tinggi mengakibatkan menurunnya aktivitas mental & motorik
 Saluran nafas : bronchokontriksi, pernafasan dangkal, frekuensi nafas
menurun
 Sistim sirkulasi : vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi terjadi hipotensi dan
bradycardia.
 Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi spinchter kandung
empedu (kolik batu empedu), sekresi pancreas/ usus empedu berkurang
 Saluran urogenital : retensi urin (naiknya tonus spinchter vesica urinaria),
motilitas uterus turun (waktu persalinan diperpanjang)
 Histamin liberator : urticarial, gatal-gatal (pelepasan histamin)
 Kebiasaan : adiksi

2. Analgetik perifer (non-narkotik)


Obat obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak
mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau
mengakibatkan ketagihan.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut :
1. Parasetamol
2. Salisilat : asetosal, salisilamida, benorilat
3. Penghambat prostaglandin/NSAID : ibuprofen dll.
4. Derivat antranilat : mefenaminat, glafenin
5. Derivat pirazolinon : propifenazon, isopropilaminazon, metamizol
6. Benzidamin (tantum)

Penggunaan :

 Meringankan / menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi CNS/


menurunkan kesadaran & tidak menimbulkan adiksi.
 Umumnya juga berdaya anti piretik berupa rangsangan terhadap pusat
pengatur kalor di hypothalamus mengakibatkan vasodilatasi perifer (di
kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai keluarnya
keringat
 Umumnya juga berdaya anti inflamasi/ antiradang (anti flogistik)
 Untuk anti nyeri ringan sampai sedang, menurunkan demam (akibat
infeksi virus/bakteri, selesma, pilek) dan peradangan (rheuma)
 Sering digunakan kombinasi dua atau lebih menghasilkan efek
potensiasi, dosis masing masing, missal kombinasi dengan kodein atau
kafein).
Efek Samping analgetika perifer :

 Biasanya karena penggunaan lama atau dosis tinggi


 Gangguan lambung dan usus (salisilat, NSAID, derivate pirazolinon)
 Kerusakan darah ( parasetamol, salisilat, derivate antranilat, derivate
pirazolinon)
 Kerusakan hepar dan ginjal (parasetamol, NSAID)
 Reaksi alergi kulit
 Memperkuat efek antikoagulansia kecuali parasetamol dan
glafparasetamolenin
 Graviditas dan laktasi : yang dianggap aman adalah parasetamol
(tetapi diekskresi melalui air susu)
 Asetosal, NSAIDs, metamizol dapat mengganggu perkembangan janin

Golongan salisilat

Asam asetil salisilat (Acetyl Salicylic Acid) : asetosal / aspirin. Obat ini
diindikasi untuk sakit kepala, nyeri otot, demam dll. Saat ini asetosal makin banyak
dipakai karena sifat anti plateletnya. Sebagai contoh aspirin dosis kecil digunakan
untuk pencegahan trombosis coroner dan cerebral. Asetosal adalah analgetik
antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat
bebas. Efek samping yaitu mengiritasi lambung dan saluran cerna namun dapat
dikurangi dengan meminum obat setelah makan atau membuat menjadi sediaan salut
enteritik (enteric-coated). Karena salisilat bersifat hepatotoksik maka tidak
dianjurkan diberikan pada penderita penyakit hepar yang kronis.

Golongan para aminofenol

Terdiri dari fanasetin dan asetaminofen (parasetamol). Efek analgesic


golongan ini serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri
ringan sampai sedang, dan dapat menurunkan suhu tubuh dalam keadaan demam,
dengan mekanisme efek sentral. Fanasetin karena toksisitasnya terhadap hepar dan
ginjal saat ini sudah dilarang penggunaannya. Efek samping parasetamol dan
kombinasinya pada penggunaan dosis besar atau jangka lama dapat menyebabkan
kerusakan hepar.

Golongan pirazolon (dipiron)

Fenilbutazon dan turunannya saat ini yang digunakan adalah dipiron /


methampiron / antalgin sebagai analgesic antipiretik. Efek samping semua dapat
menyebabkan agranulositosis, anemia aplastic dan trombositopenia. Fenilbutazon
digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid.

Golongan antranilat (asam mefenamat / mefenamic acid)

Digunakan sebagai analgesic sebagai anti inflamasi kurang efektif disbanding


dengan aspirin. Efek samping seperti gejala iritasi mukosa lambung dan gangguan
saluran cerna sering timbul.

B. Analgetik – Antipiretik

Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri


tanpa menghilangkan kesadaran. Sedangkan antipiretik adalah obat yang dapat
menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi, analgetik-antipiretik adalah obat yang
mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Prototip
obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini disering disebut juga
obat mirip aspirin (aspirin-like drugs).
Sebagai mediator nyeri, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Histamin
2. Serotonin
3. Plasmokinin (antara lain Bradikinin)
4. Prostaglandin
5. Ion Kalium
Mekanisme Kerja :

panas yang berada di hipotalamus. Pada keadaan demam terjadi


peningkatan suhu tubuh yang diawali penglepasan suatu zat pirogen endogen atau
sitokin misalnya IL-1 yang memacu prostaglandin yang berlebihan di daerah preoptik
hipotalamus. Obat mirip-aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan
menghambat sintesis prostaglandin.

Efek Farmakodinamik :

Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin menurunkan suhu badan hanya pada
keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat inimemperlihatkan efek antipiretik in
vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila
digunakan rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang
ada di sental otak terutama COX-3 dimana hanya parasetamol dan beberapa obat
AINS lainnya dapat menghambat. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak
dibenarkan digunakan sebagai antipiretik atas alas an tersebut.

C. Analgesik – AINS

Adalah obat-obat analgesic yang selain memiliki efek analgesic juga memiliki
efek anti inflamasi. Digunakan dalam pengobatan rheumatic dan gout. Obat-obatnya
antara lain ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenilbutazon dan piroxicam.

Mekanisme Kerja :

Menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat


menjadi PGG2 terganggu.

Efek Farmakodinamik :

Kebanyakan obat mirip aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan


sebagai anti-inflamasi pada pengobatan kelainan musculoskeletal, seperti artritis
rheumatoid, osteoarthritis dan spondylitis ankilosa. Tetap obat mirip aspirin hanya
meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara
simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan
jaringanpada kelainan musculoskeletal ini.

Ibuprofen

Adalah turunan asam propionate yang berkhasiat anti inflamasi, analgesic dan
anti piretik. Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek anti-inflamasi terlihat
dengan dosis 1200-2400 mg sehari. Absorbsi ibuprofen cepat melalui lambung dan
kadar maksimumdalam plasma dicapai setlah 1-2 jam. Ekskresinya berlangung cepat
dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorbsi akan diekskresi melalui urin
sebagai metabolit atau konjugatnya. Efek sampingnya ialah eritema kulit, sakit kepala
trombositopenia, amblipobia toksik yang reversible.

Fenilbutazon

Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih kuat daripada
analgetikanya. Sebagai obat rematik seperti halnya juga dengan oksifenilbutazon.
Kontra indikasinya berupa penyakit jantung, gangguan paru, ginjal, dan hati,
kehamilan dengan riwayat tukak lambung, penyakit tiroid. Efek sampingnya berupa
radang tenggorokan, sariawan, gangguan penglihatan, gangguan darah.
Penyalahgunaannya dalam obat-obat penguat dan tonikum (dengan ginseng) dapat
memberikan efek merusak sel-sel darah.

Piroksikam

Anti radang, analgetik dan antipiretik yang kuat. Untuk nyeri dan radang
reumatik, gangguan otot skelet, gout. Efek samping berupa perdarahan dalam
lambung usus, nyeri dapat timbul ditempat penyuntikan, suppositoria menyebabkan
iritasi rectum kadang-kadang pendarahan.

D. Efek Samping Obat Analgetik, Analgetik-Antipiretik, Analgetik-AINS


1. Gangguan Saluran Cerna
Selain menimbulkan demam dan nyeri, ternyata prostaglandin berperan
melindungi saluran cerna. Senyawa ini dapat menghambat pengeluaran asam
lambung dan mengeluarkan cairan (mukus) sehingga mengakibatkan dinding
saluran cerna rentan terluka, karena sifat asam lambung yang bisa merusak.
2. Gangguan Hati (Hepar)
Obat yang dapat menimbulkan gangguan hepar adalah parasetamol.
Untuk penderita gangguan hati disarankan mengganti dengan obat lain
3. Gangguan Ginjal
Hambatan pembentukan prostaglandin juga bisa berdampak pada ginjal.
Karena prostaglandin berperan homestasis di ginjal. Jika pembentukan
terganggu, terjadi gangguan homeostasis.
4. Reaksi Alergi
Penggunaan obat aspirin dapat menimbulkan raksi alergi. Reaksi dapat
berupa rinitis vasomotor, asma bronkial hingga mengakibatkan syok.
Antihistamin

Antihistamin

Zat zat yang dapat mengurangi /menghalangi efek histamin terhadap tubuh
dengan cara memblokir reseptor histamin
Penggolongan AH1 :
1. Antihistamin H1 (AH1) generasi I / antihistaminika klasik. Berkhasiat
sedatif, sebagian besar mempunyai efek kolinergik
 Etanolamin: karbinoksamin, difenhidramin,dimenhidrinat
 Etilenediamin : pirilamin,tripelenamin
 Piperazin : hidroksizin, sikilizin, meklizin
 Alkilamin : klorferinamin, bromfeniramin
 Derivat fenotiazin : prometazin
 Lain-lain : siproheptadin, mebhidrolin napadisilat
2. Antihistamin H1 (AH1) generasi II / penghambat asam. Bersifat hidrofil
(sulit mencapai cairan cerebrosipnal), tidak berkhasiat sedatif. Masa paruh
panjang. Dapat menghambat sintesis mediator inflamasi (prostaglandin,
leukotrien, kinin).
 Astemizol
 Feksofenadin
 Lain-lain : loratadin, setrizin

A. Antagonis Reseptor H1 ( AH1)

Farmakodinamik :

1. Antagonisme terhadap histamin. AH1 menghambat efek histamine pada


pembuluh darah, bronkus dan bermacam macam otot polos; selain itu AH1
bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang
disertai penglepasan histamine endogen berlebihan.
2. Otot polos. efektif menghambat kerja histamine pada otot polos dan bronkus.
3. Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat
histamine, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1
4. Reaksi anafilaksis dan alergi. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi
refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan histamine saja yang
berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan.
5. Kelenjar eksokrin. Efek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan
lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi
saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
6. Susunan saraf pusat. AH1 dapat meransgsang maupun penghambat SSP.
Efek perangsangan biasanya kantuk, kurang kewaspadaan dan waktu reaksi
yang lambat misalnya golongan etanolamin yaitu difenhidramin. Namun
berdeda dengan AH1 generasi II misalnya terfenadin, astemizol, tidak atau
sangat sedikit menembus sawar darah otak sehingga tidak menyebabkan
kantuk, gangguan koordinasi atau efek lain pada SSP sehingga disebut
antihistamin nonsedatif.
7. Anestetik lokal. AH1 yang baik sebagai anestetik lokal ialah prometazin dan
pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar
yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin.
8. Antikolinergik. Bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi,
tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut
kering, kesukaran miksi dan impotensi.
9. Sistem kardiovaskuler. Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti seperti
kuinidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anestetik lokalnya.

Farmakokinetik :

Efek timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan timbul 15-30 menit
setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah
pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam, sedangkan derivat piperazin seperti
meklizin dan hidroksizin memiliki masa kerja yang panjang. Tempat utama
transformasi AH1 ialah hati, tetapi dapat juga dapat paru-paru dan ginjal. AH1
diekskresi melalui urin selama 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

Indikasi :

AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi (polinosis


dan urtikaria), dapat mengatasi asma bronkial ringan bila diberikan sebagai
profilaksis, antikolinergik, antiemetik, sedatif (menekan CNS), efek antiserotonin
dan lokak anestetik (lemah), digunakan secara sistemik (p.o atau p.e), sengatan
serangga (tawon dan lebah), urticaria, stimulasi nafsu makan (siproheptadin),
sedativum ( prometazin, difenhidramin), Parkinson desease (difenhidramin), mabuk
jalan (sik;izin, meklizin, dimenhidrinat), vertigo (sizarizin), syok anafilaktik,
campuran untuk selesma, flu.

Efek Samping :

Efek samping paling sering ialah sedasi. efek yang berhubungan dengan efek
sentral AH1 ialah vertigo,tinitus, lelah, inkoordinasi, penglihatan kabur, tremor.
Gangguan saluran cerna : mual, muntah, anoreksia, sembelit, konstipasi atau diare.
Efek antikolinergik mulut kering, gangguan akomodasi dan retensi urin. Efek
antiserotonin dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan. Jangan diberikan
pada penderita glaukoma, hipertrofi dan prostat.

Intoksikasi Akut AH1 :

Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Manifestasinya


halusinasi,eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang.gejalain ialah keracunan
atropin misalnya midriasis, kemerahan di muka dan demam. Akhirnya terjadi kolaps
kardiorespirasi yang disusul kematian dalam 2-18 jam.
Pengobatan :

Pengobatan diberikan secara simtomatik dan supportif karena tidak ada


antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam barbiturat. Pernapasan
biasanya tidak mengalami gangguan yang berat dan tekanan darah dapat
dipertahankan secara baik. Bila terjadi konvulsi, maka diberikan tiopental atau
diazepam.

Perhatian :

AH1 sebagai campuran resep harus digunakan hati-hati karena efek AH1
bersifat aditif dengan alkohol, obat penenang atau hipnotik sedatif.

B. Antagonis Reseptor H2 ( AH2)

Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung.


Burimarid dan metiamid meruapakanantagonis reseptor H2 yang pertama kali
ditemukan, namun karena toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H2
yang ada dewasa ini adalah Simetidin, Ranitidin, Famotidin, dan Nizatidin.

Simetidin dan Ranitidin

Farmakodinamik :

Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan


reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung,
sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi asam lambung dihambat.
Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.

Farmakokinetik :

Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV


atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat oleh
makanan. Sehingga diberikan bersama atau segera setelh makan dengan maksud
untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama
terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam
cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50%-80% dari dosis IV dan 40% dari
dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh
eliminasinya sekitar 2 jam.

Indikasi :

Simetidin, ranitidin, dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi


gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya. Penyembuhan
tukak lambung duodenum umumnya dipercepat dengan pemberian simetidin 800 mg,
ranitidin 300 mg, famoidin 40 mg, atau nizatidin 300 mg satu kali sehari selama 8
minggu.

Efek samping :

Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten. Simetidin mengikat reseptor androgen
dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia.

Interaksi obat :

Antasid dan metoklopramid mengurangi bioavaibilitas oral simetidin


sebanyak 20-30% dan dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan
antasid atau metoklopramid dan simetidin oral. Ketokonazol harus diberikan 2 jam
sebelum pemberian simetidin karena absorpsi ketokonazol berkurang sekitar 50% bila
diberikan bersama simetidin. Selain itu ketokonazol membutuhkan pH asam untuk
dapat bekerja dan menjadi kurang efektif pada pH lebih tinggi. Ranitidin lebih jarang
berinteraksi dengan obat lain akan tetapi dilaporkan nifedipin, warfarin, teofilin dan
metaprolol berinteraksi dengan ranitidin. Ranitidin dapat menghambat absorpsi
diazepam dan mengurangi kadarplasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan
dengan selang waktu minimal 1 jam.
Anti mikroba

Klasifikasi

Antintibiotik berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti “melawan” dan bios
yang berarti “hidup”. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan miroorganisme
tertentu untuk menginhibisi pertumbuhan bahkan membunuh mikroorganis lain di
dalam larutan. Dengan kata lain antibiotic merupakan agen antimikroba. Anti
mikroba diklasifikasikan menurut jenis mikroba yang menjadi targetnya
kemampuannya mematikan kuman, dan menurut sifat pharmacokinetics dan
pharmacodynamics (PK/PD) nya.

Menurut jenis mikroba yang menjadi target, Anti mikroba dapat dibagi
menjadi :

 Anti bakteri
 Anti virus
 Anti jamur
 Anti protozoa
 Anti cacing

Beberapa anti mikroba mempunyai kemampuan lebih dari satu kelompok


mikroba, misalnya doksisiklin menghambat bakteri juga dapat menghambat
plasmodia.

Dari sudut kemampuannya mematikan kuman, antimikroba dibagi menjadi


dua kelompok yaitu anti mikroba bersifat :

 Bakteriostatik : menghambat pertumbuhan kuman


 Bakterisidal : mematikan kuman
Penggolongan berdasarkan spektrum kerja anti mikroba :

 Spektrum luas (broad spectrum)

Anti mikroba yang besifat aktif terhadap bakteri gram positif


dan gram negatif. Membunuh semua jenis bakteri didalam tubuh. Dianjurkan untuk
menghindari mengkonsumsi antibiotik jenis ini karena akan membunuh
jenis bakteri lainnya yang sngat berguna untuk tubuh kita. Antibiotik yang termasuk
kategori ini adalah cephalosporin.

 Spektrum sempit (narrow spectrum)

Anti mikroba yang bersifat aktif hanya terhadap bakteri gram positif atau
gram negatif saja. Contoh : Penisilin G, streptomisin.

Selama dua dasa warsa terakhir ini, dilaporkan bahwa kemampuan anti
mikroba mematikan kuman sangat bergantung dari sifat PK/PDnya. Dari segi ini ,
anti mikroba dapat dibedakan 2 kelompok yaitu :
 Tergantung dari kadar (concentration-dependent)
 Tergantung dari waktu (time-dependent)

Mekanisme Kerja :

1. Menghambat sintesis dinding sel kuman : Kuman mempunyai dinding sel


yang kokoh untuk mencegah pecahnya sel kuman akibat tekanan osmotik
intraseluler yang tinggi. Anti mikroba yang kerjanya menghambat proses
sintesis dinding sel (misalnya golongan betalaktam) menyebabkan kematian
kuman akibat lisis. Anti mikroba golongan ini tidak bermanfaat untuk
mengatasi infeksi oleh beberapa kuman tertentu yang tidak mempunyai
dinding sel, misalnya Mycoplasma pneumonia atau dinding selnya tidak
memiliki peptidoglikan (misalnya Chalmidya).
2. Merusak membran sel kuman : antibiotika golongan polien (mis. nistatin,
amfoterisin B), anti jamur golongan azol (mis. flukonazol, ketokonazol, dan
golongan polimiksin (mis. kolistin, polimiksin β) merusak membran sel
kuman sehingga beberapa zat intraseluler yang penting lolos keluar dan
menyebabkan kematian sel.
3. Menghambat sintesis protein : beberapa jenis antibiotik masuk ke sel kuman
dan menghambat sintesis proteinnya di tingkat ribosom sehingga
pemanjangan rantai polipeptida terhenti. Ada yang bersifat bakteriostatik
(mis. golongan tetrasiklin, kloramfenikol, makrolid), tetapi ada juga yang
bersifat bakterisidal (mis. golongan aminoglikosida).
4. Menghambat metabolisme asam nukleat : beberapa anti mikroba bekerja
secara langsung dengan merusak sistem replikasi dan perbaikan (repair) DNA
(misalnya kuinolon dan metronidazol) atau RNA (mis. rifampisin). Ada
juga yang bekerja secara tidak langsung, yaitu dengan menghambat, yaitu
dengan menghambat asintesin asam nukleat (mis. sulfonamid dan
trimetoprim).

Golongan Beta Laktam

Seluruh anggota golongan antibiotik beta laktam memiliki cincin beta


laktam dalam struktur kimianya. Spektrum kerja dari antibiotik beta laktam
mencakup bakteri gram (+) dan gram (-), namun bervariasi tergantung pada
masing-masing senyawa. Cincin beta laktam merupakan syarat mutlak untuk
khasiat antibiotik jenis ini. Jika cincin beta laktam ini dibuka misalnya oleh
enzim beta-laktamase (penisilinase dan sefalosporinase), maka zat ini akan
menjadi inaktif.
Antibiotik beta laktam mempunyai mekanisme kerja yang mampu
menyebabkan kerusakan pada dinding sel bakteri, yakni dengan menghambat
secara selektif sintesis dari dinding sel bakteri. Diawali dengan aksi antibiotik
berupa ikatan obat pada reseptor sel yang disebut protein binding penisilin
(PBP). Seteah melakat pada suatu reseptor dari sel, reaksi transpeptidasi
dihambat.
Reaksi transpeptidasi yang dikatalis oleh enzim transpeptidase akan
menghasilkan ikatan silang antara dua rantai peptida-glukan. Walaupun
dinding sel tetap terus dibentuk. Dinding sel yang terbentuk tidak memiliki
ikatan silang dan peptidoglikan yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih
lemah dan mudah terdegradasi. Pada kondisi normal, perbedaan tekanan
osmotik di dalam sel bakteri gram negatif dan di lingkungan akan membuat
terjadinya lisis sel. Selain itu, kompleks protein transpeptidase dan antibiotik
beta-laktam akan menstimulasi senyawa autolisin yang dapat mendigesti
dinding sel bakteri tersebut. Dengan demikian, bakteri yang kehilangan
dinding sel maupun mengalami lisis akan mati.
Terdapat dua golongan besar antibiotik beta laktam, yakni Penisilin
dan Sefalosporin.
Penisilin merupakan antiobiotik pertama yang digunakan di klinik
pada tahun 1941 yang merupakan antibiotik spektrum sempit. Diperoleh dari
jamur Pennicilium notatum dan Pennicilium chrysogenum. Terdapat beberapa
jenis penisillin, yakni Penisilin-G (Benzyl Penicillin), yang umumnya bekerja
pada bakteri gram positif (Coccus dan Bacillus). Penisilin-G digunakan pada
infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti Gonorrhoea, Syphilis,
Diptheria, Tetanus dan gas gangren.
Sedangkan sefalosporin diperoleh dari jamur Pennicilium
acremonium. Sefalosporin termasuk antibiotik spektrum luas dengan cakupan
bakteri gram negatif yang lebih banyak dan bersifat bakteriosid. Efek
samping yang mungkin timbul akibat penggunaan penisilin dan sefalosporin
adalah reaksi hipersensitifitas, mual, muntah, gangguan lambung dan pada
dosis tinggi dapat menimbulkan nefrotoksis dan neurotoksis.
Lama kerja dari penisilin diperpanjang oleh obat-obatan seperti
probenesid, sulfinpirazon, asetol, dan indometasin. Efek penisilin dikurangi
oleh antibiotika yang bersifat bakteriostatis.
Farmakokinetik dari sefalosporin diawali dengan resorbsi di usus
yang berlangsung cepat, kemudian didistribusikan ke cairan tubuh dan
jaringan yang pada akhirnya diekskresikan melalui urin.

TETRASIKLIN

Senyawa tetrasiklin diperoleh dari Streptomyces aureofaciens


(klortetrasiklin) dan Streptomyces rimosus (oksite trasikli). Tetrasiklin bersifat
bakteriostatis. Rute pemberian hanya melalui injeksi intra vena dapat dicapai kadar
plama yang bakterisid lemah. Spektrum kerja dari tetraksilin luas, yaitu meliputi
banyak cocci Gram positif dan Gram negatif serta kebanyakan bacili, kecuali
Pseudomonas dan Proteus.

 Pengunaan : infeksi saluran nafas dan paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata.

 Kinetik : resorbsi tetrasiklin dari usus pada lambung kurang lebih 75% dan agak
lambat baru setelah 3-4 jam tercapai kadra puncak dalam darah. Pengecualian untuk
doksisilin dan minosiklin yang diserap baik sekali yaitu 90-100%. Ekskresi
secara utuh melalui ginjal. Untuk doksisilin dan minosiklin disekresi melalui
empedu dan tinja.

 Efek samping : pada penggunaan oral sering terjadi gangguan lambung-usus (mual,
muntah, diare), supra-infeksi oleh jamur Candida albicans (dengan gejala mulut dan
tenggorokan nyeri, gatal sekitar anus, diare, diabetes insipidus, kerusakan ginjal, hati.

Pada gigi berefek pada terdeposisinya perkembangan tulang dan gigi. Pemberian
pada pertengahan kehamilan sampai 5 bulan, akan memberikan efek pada gigi
desidui berupa diskolorisasi kecoklatan pada gigi yang menyerupai karies.
Tetrasikilin yang diberikan antara umur 3 bulan sampai 6 bulan akan mempengaruhi
perkembangam dentin dari gigi anterior. Sedangkan pemberian tetrasikilin yang
diberikan di akhir masa kehamilan atau masa kanak-kanak dapat menyebabkan
penghambatan secara temporer dari pertumbuhan tulang.Pada penggunaan jangka
panjang dapat menyebabkan kelainan bentuk dan pengurangan tinggi badan.

 Kontra indikasi : tidak boleh diberikan pada wanita hamil setelah bulan keempat
dari kehamilan, dan pada anak-anak sampai usia 8 tahun.
 Interaksi : tetrasiklin tidak boleh diminum bersamaan dengan susu atau antisida,
Karena tetrasiklin membentuk senyawa komplek yang tak larut dengan besi,
alumunium, magnesium dan kalsium. Ini akan menyebabkan gagalnya resorbsi dari
usus-ginjal.

SULFONAMIDA

Senyawa-senyawa dari sulfenomida dapat digunakan untuk menghadapi


berbagai infeksi. Selain itu, dapat digunakan sebagai diuretika (zat perintang
karbonanhidrase) dan antidiabetika oral. Sulfonamide bersifat amfoter. Artinya dapat
membentuk garam dengan asam maupun basa. Mekanisme kerja dari obat ini
berdasarkan pencegahan sintesis (dihidro)folat dalam kuman dengan cara antagonis.
Sulfonamide diresorbsi di lambung dan usus (terkecuali sulfa-usus).

 Kombinasi Sulfonamida

a. Trisulfa adalah kombinasi dari 3 sulfonamida, biasanya sulfadiazine,


sulfamerazin, dan sulfamezathin dalam perbandingan yang sama.

b. Kotrimoksazol adalah kombinasi dari sulfametoksazol = trimetoprin dalam


perbandingan 5 : 1 (400=80 mg)

 Kombinasi Sulfonamida

 Kombinasi trimetropin + sulfa lain dengan sifat-sifat dan penggunaan sama


dengan kortimoksazol adalah:

o Supristol= sulfomoxol 200mg +trimetoprim 43mg

o Kelfitin = sulfalen 200mg + trimetiprim 250mg

o Lidatrim = sulfametrol 400mg + trimetokrim 80mg

 Penggunaan Sulfonamida

 Infeksi saluran kemih : sulfametizol, sulfavurasol dan kortimoksazol. Ini


sering digunakan sebagai desinfektan saluran kemih atas yang menahun.

 Infeksi mata: sulfasetamida, sulfaditramida dan sulfametizol. Ini digunakan


topikal terhadap infeksi mata yang disebabkan oleh kuman-kuman yang peka
terhadap sulfonamida dan digunakan untuk trakoma.
 Radang usus: sulfasasalazin khusus digunakan pada penyakit radang usus
kronis.

 Radang otak atau meningitis: sulfadiasin, resistensi dari sulfadiasin sangat


pesat sehingga obat ini diganti dengan ampisilin atau rifampisin.

 Efek Samping Sulfonamida

 Reaksi alergi seperti urtikaria, fotosensitasi dan sindrom stevens-johnson


pada anak.

 Gangguan saluran cerna ( mual, diare).

 Pada kehamilan dan laktasi penggunaan sulfonamida tidak dinajurakan pada


bulan-bulan terakhir, karena resiko timbulnya icterus-inti pada neonanti
(akibat pembebasan bilirubin dari ikatan protein plasma)

 Dosis

a. Anak-anak : 100-150 mg/kg berat badan atau menurut usia antara 1-3 tahun
sepertiga, antara 4-10 tahun setenagh, dan antara 11-15 tahun tigaperempat dosis
dewasa.

b. Pengobatan dengan dosis tepat harus dilanjutkan minimal 5-7 hari untuk
menghindari gagalnya terapi dan cepatnya timbul resistensi.

Penggolongan Sulfonamida

a. Sulfonamida short-acting : sulfametazol, derivat-isokazol (sulfaferasol) dan


derivat-pirimidin 9sulfadiazin-merazin, metazin, sulfasomidin)

b. Sulfonamida liong-acting : sulfadoksin dan sulfalen

c. Sulfonamida usus: sulfaguanidin dan salazosulfapiridin

d. Sulfonamida lokal: sulfatenamida, sulfadikramida dan silversulfadiasin.

AMINOGLIKOSIDA

Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan


Micromospora. Semua senyawa dan turunan semi sintesisnya mengandung dua atau
tiga gula amino di dalam molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis.
Spekturm kerjanya luas meliputi banyak bacilli Gram-negatif, antara lain E.Colli,
Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, Shigella. Aminoglikosida juga aktif terhadap
gonococci dan sejumlah bakteri gram positif. Aktivitasnya adalah bakterisid,
berdasarkan dayanya untuk mempenetrasi dinding bakteri dan mengikat diri pada
ribosom di dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu, sehingga
biosintesa proteinnya dikacaukan.

 Efek samping secara umum  pada penggunaan parenteral menyebabkan


kerusakan organ pendengaran da keseimbangan (ototoksis).Pada penggunaan
oral bisa terjadi nausea, muntah, dan diare. Pada kehamilan dan laktasi tidak
dianjurkan, karena bisa menyebabkan ketulian pada bayi.
 Macam-macam aminoglikosida :
a. Streptomisin  mengandung satu molekul gula amino dalam
molekulnya
Penggunaan  parenteral pada tuberkulosa, dikombinasi dengan rifampisin,
INH, pirazinamida.
Spektrum kerja : Aktif melawan Mycobacterium Tuberculosis. Akan tetapi
karena streptomisin menyebabkan ototoksisitas yang berkaitan dengan dosis,
terutama dalam jangka waktu panjang, streptomisin sering digantikan oleh
rifampisin.
Farmakokinetik : Resorpsinya dari usus nihil, distribusinya ke jaringan
buruk, dapat melewati plasenta. Waktu paruhnya 2-3 jam. Ekskresinya
melalui ginjal rata-rata 60 % dalam bentuk utuh.
Efek samping : Terhadap ginjal dan organ pendengar. Bisa menyebaban
ketulian.
Dosis : tergantung dari usia. 1 dd 0.5-1 g maksimum 2 bulan, selalu
dikombinasi dengan obat-obat lain.
b. Gentamisin  mrngandung 2 molekul gula yang dihubungkan oleh
sikloheksan
Penggunaan  parenteral, topikal
Spektrum kerja  melawan Pseudomonas, Proteus, dan stafilokokus yang
resisten untuk penisilin dan metisilin. Tidak aktif terhadap mycobacterium.
Farmakokinetik  Waktu paruh : 2-3 jam, ekskresi melalui kemih secara
utuh rata-rata 70 %
Efek Samping  Lebih ringan dari pada streptomisin dan kanamisin. Agak
jarang mengganggu pendengaran.
Dosis  3-5 mg/kg/hari dalam 3 dosis (garam sulfat). Krem 0.1 %, salep
mata dan tetes mata 0.3 % : 4-6 dd 1-2 tetes. (Garamycin).
c. Paramomisin
Penggunaan  Oral
Indikasi  infeksi usus dan mensterilkan usus sebelum pembedahan
Dosis  disentri amoeba oral 35 mg/kg/hari dalam 3 dosis selama 5-10 hari,
crystosporidiosis oral 4x sehari 500-750 mg

MAKROLIDA

Makrolida digunakan sebagai obat alternatif pada pasien yang sensitif


penisilin, terutama pada infeksi yang disebabkan oleh streptococcus, stafilokokus,
pneumococcus, dan clostridium. Rute pemberian secara oral, tetapi eritromisin dan
klaritromisin dapat diberikan intravena bila perlu. Efek samping dari mekanisme
kerja semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati. Penggunaan makrolida tidak
efektif pada meningitis. Kondisi resistensi pada pengguna antibiotic ini bisa terjadi
karena adanya perubahan yang dikendalikan oleh plasmid pada reseptornya dalam
subunit 50S ribosom bakteri.

 Contoh Makrolida :
a. Eritromisin
Aktivitas  bekerja bakteriostatis. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan
reversible pada ribosom kuman, sehingga menghambat sintesis protein
Indikasi  infeksi paru-paru oleh Mycoplasma pneumonia, infeksi usus
dengan Campilobacter jejuni. Untuk infeksi saluran nafas dijadikan alternatif
kedua bilaman terdapat resistansi atau hipersensitivitas oleh penisilin atau
sefalosporin.
Farmakokinetik  Makanan memperburuk absorpsinya, maka sebaiknya
diminum saat perut kosong. 80 % terikat pada protein. Kadar dalam
intraseluler tinggi. Metabolismenya, semua makrolida diuraikan dalam hati,
sebagian oleh system sitokrom-P450. Ekskresinya melalui empedu dan tinja
serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif.
Efek samping  gangguan lambung-usus, diare, nyeri perut,nausea,muntah.
Interaksi denga obat lain bisa terjadi. Penghambatan metabolisme teofilin,
kumarin, rifampisin, siklosporin.
Pada kehamilan dan laktasi, dapat diberikan dengan aman, namun
derivatnya belum diketahui secara pasti.
Dosis  Oral 2-4 dd 250-500 mg pada saat perut kosong, untuk anak-anak
20-40 mg/kgBB/hari selama maksimum 7 hari.
b. Spiramisin
Indikasi  Infeksi di jaringan mulut, tenggorokan, dan saluran napas
Farmakokinetik  Resorpsinya tidak konstan, PP-nya hanya 30 %, waktu
paruhnya 4-8 jam tergantung dari dosis.
Efek samping  Ringan. Wanita hamil dapat meminum obat ini, tetapi tidak
dianjurkan selama laktasi karena kadarnya dalam ASI tinggi sekali.
Dosis  Oral 4 dd 0,5-1 g, anak-anak 50-100 mg/kg/hari selama 5 hari, pada
toxoplasmaosis selama 3-4 minggu.

DERIVAT NITROBENZENA

Contoh obat antibiotik yang merupakan derivate dari nitrobenzena adalah khloramfenikol.

Khloramfenikol:

 Khloramfenikol diberikan secara oral atau intravena


 Efek samping  aplasia sumsum tulang
 Supresi reversible sel darah merah dan putih, ensefalopati, neuritis optic
 Indikasi  demam tifoid, meningitis Haemophylus influenza
 Dimetabolisme di hati, bisa menghambat metabolism obat lain dan bisa
mempotensiasi aksi fenitoin, warfarin, sulfonylurea
 Neonatus tidak dapat memetabolisme dengan cepat, akumulasi menyebabkan sidrom
“grey baby”
ANTIFUNGAL

Antifungal digunakan untuk mengobati infeksi jamur. Secara umum infeksi jamur
dibagi menjadi 2 yaitu infeksi jamur sistemik dan topical. Contoh antifungal untuk infeksi
sistemik adalah amfoterisin B, flusitosin, ketokonazol. Sedangkan contoh antifungal untuk
infeksi jamur topical adalah griseofulvin, mikonazol, dan klotrimazol.

1. Ketokonazol
Ketokonazol merupakan turunan dari imidazol yang mempunyai aktivitas antijamur
baik sistemik maupun nonsistemik. Efektif terhadap Candida, Coccidioides imitis,
Crytococcus Neoformans, H. capsulatum, B. Dermatidis, Aspergillus, dan Sporothrix
spp.
Farmakokinetik  Ketokonazol merupakan antijamur sistemik per oral yang diserap
baik melalui saluran cerna dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk
menekan aktivitas berbagai jenis jamur. Penyerapan melalui saluran cerna akn
berkurang pada penderita dengan pH lambung yang tinggi.Sebagian besar dari obat
ini mengalami metabolism lintas pertama. Ekskresinya melalui cairan empedu ke
lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan melalui urin.
2. Mikonazol
Mikonazol mempunyai spektrum luas baik terhadap jamur sistemik maupun
dermatofit. Obat ini berbentuk kristal putih, tidak berwarna dan berbau, sebagian
kecil larut dalam air tetapi lebih larut dalm pelarut organik.
Aktivitas antijamur  menghambat aktivitas jamur Trichophyton, Epidermophyton,
Microsporum, Candida, dan Malassezia furfur. Mikonazol menghambat sintesis
ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membrane sel jamur meningkat juga
menyebabkan gangguan sintesis asam nukleat yang akan menyebabkan kerusakan
jamur.
Efek samping  iritasi, rasa terbakar.

ANTIVIRUS

 Obat yang menghentikan virus untuk memasuki sel pejamu (host)


 Amantadin  mengganggu replikasi influenza A dengan menghambat
protein M2 transmembran yang penting untuk pelepasan selubung virus.
 Zanamivir  obat baru yang secara spesifik mengahambat neuraminidase
influenza A dan B, suatu enzim yang penting untuk pelepasan virus dari sel
yang terinfeksi. Obat ini mengurangi durasi gejala bila diberikan dalam 48
jam sejak dimulainya gejala.Efektif dalam pencegahan influenza pada orang
dewasa sehat.
 Imunoglobulin  melawan antigen superficial virus dan dapat mengganggu
proses masuknya virus ke dalam sel pejamu (host). Suntikan
immunoglobulin normal berguna untuk perlindungan sementara elawan
hepatitis A, campak, dan rubella.
 Obat yang menghambat sintesis asam nukleat
 Asiklovir  Virus herpes simpleks (HSV) dan varisela zoster (VZV),
mengandung timidin kinase yang bisa mengubah asiklovir menjadi bentuk
monofosfat.Monofosfat mengalami fosforilasi oleh enzim host menjadi
asikloguanosin trifosfat yang menghambat polymerase DNA virus dan
sintesis DNA virus. Efektif diberikan secara topical, oral dan parenteral.
 Gansiklovir  harus diberikan secra intravena. Hanya digunakan untuk
mengobati infeksi sitomegalovirus (CMV) berat pada pasien
immunocompromised.
 Zidovudin  menghambat transcriptase reverse HIV dan digunakan secara
oral pada terapi AIDS. Efek sampingnya berupa anemia, neutropenia,
mialgia, mual, dan sakit kepala. Inhibitor transkripatase reverse nukleosida
lainnya adalah stavudin, didanosin, dan zalsitabin.
 Inhibitor protease
Pada HIV, mRNA ditranslasi menjadi poliprotein inert. Poliprotein diubah menjadi
protein matur yang esensial oleh suatu protease yang spesifik virus. Inhibitor
“protease HIV” yang digunakan dalam kombinasi dengan obat lain, termasuk
saquinavir dan ritonavir. Efek sampingnya mual, muntah, diabetes, dan lipodistropi.

ANTIPROTOZOA

Malaria merupakan jenis penyakit yang disebabkan oleh protozoa. Antimalaria atau
bisa disebut sebagai anti protozoa bersifat toksik bagi skizon eritrositik, skizon adalah
sporozoit matang di jaringan dari protozoa yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Obat
antiprotozoa atau antimalaria yang bekerja cepat antara lain:

a. Klorokuin Skizontisida darah kerja cepat


b. Kuinin Mengobati serangan klinis dari malaria
c. Meflokuin Mengobati serangan klinis dari malaria,
profilaksis
d. Malaron dan terapi.
e. Riamet Aktif untuk P. Vivax dan P. Ovale.

Efek yang ditimbulkan dari dosis tinggi mengakibatkan mual, muntah, diare, ruam
pruritis, dan yang jarang adalah psikosis. Pemberian dosisi tinggi dalam jangka panjang akan
merusak retina secara irreversibel. Pemberian dari kuinin, meflokuin, malaron, dan riamet
dilakukan melalui oral.

Skizontisida darah kerja lambat


a. Proguanil + pirimetamin  skizontisida efektif namun kerjanya
lambat untuk mengobati serangan akut.
b. Proguanil + atovakuon  mengobati infeksi P.falcivarum yang
resisten dan semakin banyak digunakan untuk kemoprofilaksis.
Skizontisida jaringan

Primakuin Satu-satunya antimalaria yang membunuh skizon P. vivax dan


P. ovale yang dorman di hati. Tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengobati
serangan klinis. Efek samping yang ditimbulkan meliputi mual, muntah, depresi
sumsum tulang, dan anemia hemolitik.

Antelmintik
Antelmintik atau obat cacing ialah obat yang digunakan untuk memberantas
atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh

Obat obat penyakit cacing

 Mebendazol
 Pirantel Pamoat
 Piperazin
 Levamisol
 Albendazol
 Tiabendazol
 Ivermektin
 Dietilkarbamazin
 Prazikuantel
 Metrifonat
 Niklosamid

1. Albendazol

Albendazol adalah obat cacing derivat benzi midazol bersepektrum lebar yang
dapat diberikan pe oral. Dosis tunggal untuk infeksi cacing kremi, cacing gelang,
cacing trikuris, cacing S. stercoralis dan cacing tambang. Juga merupakan obat
pilihan untuk penyakit hidatit dan sistiserkosis.

Farmakokinetik

Pada pemberian per oral obat ini diserap secara tidak teratur oleh usus obat ini
cepat dimetabolisme, terutama menjadi albendazole sulfoksida suatu metabolit aktif
yang sebagian besar lewat fases. Makanan berlemak akan meningkatkan absorpsi
empat kali lebih besar disbanding perut kosong . kadar puncak metabolit aktif plasma
dicapai dalam 3 jam. Waktu paruh 8-9 jam sebagian besar metabolit terikat dengan
protein dan didistribusi ke jaringan jaringan, serta ke cairan serebrospnal, termasuk ke
kista hidatid.

Farmakodinamik

Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan β-tubulin parasit sehingga
menghambat polimerisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh
larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glikogen menurun dan
pembentukan ATP berkurang, akibatnya cacing akan mati. Obat ini memiliki khasiat
membunuh larva pada cacing tambang. Gelang trikuris, penyakit hidatid,
sistiserkosis, dan juga dapat merusak cacing gelang, tambang dan trikuris.

Indikasi

Untuk infeksi cacing kremi, cacing tambang. Cacing askaris dan trikuris.
Dosis dewasa dan anak umur diatas 2 tahun adalah 400 mg dosis tunggal bersama
makan. Untuk cacing kremi , terapi hendaknya diulangi sesudah 2 minggu. Untuk N.
americanus cacing trikuris serta askariasis berat lama pengobatan yang dianjurkan
ialah 2-3 hari. Untuk infeksi cacing S. stercoralis dosis terapi 2 x 400 mg per hari
selama 1-2 minggu diberikan bersama makanan.

Untuk neuro-sistiserkosis : dosis efektif yang dilaporkan adalah 2 x 400 mg/hari


selama 21 hari.

Untuk cutaneus larva migran dosis terapimya 400 mg/hari selama 3 hari dan untuk
kapilariasis intestinal selama 10 hari serta untuk trichinosis selama 1-2 minggu

Efek Samping

Untuk penggunaan 1-3 hari, aman. Efek samping berupa nyeri ulu haati, diare,
sakit kepala, mual, lemah, pusing, insomnia, frekuensinya sebanyak 6%. Pada
pengobatan/penyakit hidatid selama 3 bulan, dilaporkan timbulnya efek samping
berupa alopesia, leokopenia yang reversible. Peningkatan transaminase yang
revesible, serta gangguan cerna berupa mual, muntah, dan nyeri perut.
Pada studi loksisitas kronik dengan hewan coba ditemukan adanya: diari, anemi,
hipotensi, depresi sumsum tulang, kelainan fungsi, embriotoksisitas, dan
tertogenisitas

Kontraindikasi : Anak umur kurang dari 2 tahun wanita hamil dan sirosis hati

2. Ivermektin

Obat ini sekarang digunakan untuk pengobatan masal dan individual terhadap
onchocerciasis dan strongyloidiasis.

Farmakokinetik

Ivermektin dihasilkan dihasilkan proses fermentasi dari Streptomyces


avermitilis. Pemberian per oral pada manusia diabsorpsi baik dan memiliki waktu
paruh 10-12 jam. Kadar puncak dicapai dalam 4 jam. Obat ini tak dapat melewati
sawar darah otak kecuali bila ada meningitis .

Farmakodinamik

Cara kerja obat ini yakni memperkuat peranan GABA pada proses transmisi
di saraf tepi. Sehingga cacing mati pada keadaan paralisis. Obat ber efek terhadap
microfilaria di jaringan embryogenesis pada cacing betina microfilaria mengalami
paralis, sehingga mudah dihancurkan oleh system retikulo-endotelia. Karena obat ini
tak melewati BBB, maka tak menyebabkan paralisis pada hopes. Obat ini memiliki
margin of safety yang lebar.

Indikasi

Digunakan pada onkoserkiasis. Dosis tunggal 150 µg/kgBB. Obat ini


efektivitasnya setara dengan dietilkarbamazin dalam hal memberantas microfilaria di
jaringan kulit dan rongga mata bagia depan (anterior chamber), invermektin kerjanya
lebih lambat dan menyebabnya reaksi sistemik dan reaksi terhadap mata yang lebih
ringan. Untuk stongiloidiasis pemberian dosis tunggal 200 µg/kgBB, memberikan
keberhasilan pengobatan lebih dari 80%
Efek samping

Pada dosis tunggal 50-200 µg/kgBB efek samping ang ditimbul umumnya
ringan sebentar dan dapat ditoleransi. Biasanya berupa demam, pruritus, sakit otot
dan sendi, sakit kepala, hipotensi nyeri di kelenjar limfe. Gejala efek samping ini tak
separah seperti dietilkarbamazin, biasanya cukup disembukan dengan pemberian
antihistamin dan antipiretik. Gejala ini berkaitan dengan jumlah microfilaria yang
mati dan dikenal sebagai reaksi mazzotti. Efek teragonik obat ini terlihat pada hewan
coba.

Kontraindikasi. Pada wanita hamil, obat ini jangan diberikan bersama-sama


barbiturate, benzodiazepine, atau asal valporat.

3. Prazikuantel

Prazikuantel merupakan derivate pirazinoiskuinolin. Obat ini merupakan


antelmintik berspektrum lebar dan efektif pada cestoda dan trematoda pada hewan
dan manusia. Prazikuantel, berbentuk kristal tidak berwarna dan rasanya pahit.

Efek antelmintik.

In vitro, prazikuantel diambil secara cepat dan reversible oleh cacing, tetapi
didak dimetabolisme. Kerjanya cepat melalui 2 cara (1) pada kadar efektivitas
terendah menimbulkan peningkatan aktivita otot cacing, karena hilangnya caintrasel
sehingga timbul kontraksi dan paralis spastic yang bersifat reversibel, yang mungkin
mengakibatkan terlepasnya cacing dari tempatnya cacing S. mansoni dan S.
japonicum dari vena mesentrika dan masuk ke hati . (2) pada dosis terapi yang lebih
tinggi prazikuantel mengakibatkan vakuolisasi dan vesikulasi tegument cacing,
sehingga isi cacing keluar , mekanisme pertahanan tubuh hospes dipacu dan terjadi
kehancuran cacing.

Farmakokinetik
Pada pemberian oral absorpsinya baik. Kadar maksimal dalam daarah tercapai
dalam waktu 1-3 jam. Metabolisme obat berlangsung cepat di hati melalui proses
hidroksilasi dan konyugasi sehingga terbentuk produk yang efek antelmintik kurang
aktif. Waktu paruh 0,8-1.5 jam. Ekskresi sebagian besar melalui urin dan sisanya
melalui empedu. Hanya sedikit obat yang diekskresi dalam bentuk utuh.

Efek samping

Efek samping timbul dalam beberapaa jam setelah pemberian obat dan akan
bertahan selama beberapa jam 1 hari. Yang paling sering adalah sakit kepala, pusing,
mengantuk dan lelah yang lainnya adalah : mual, muntah, nyeri perut, diare, pruritus,
urtikaria, nyeri sendi dan otot, serta peningkatan enzim hati selintas. Deman ringan,
pruritus, dan skin rashes disertai dengan peningkatan easinofil yang terlihat setelah
beberapa hari pengobatan.

Kontraindikasi

Sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil dan menyusui. Demikian pada
pekerja-pekerja yang melakukan koordinasi fisik dan kewaspadaan, harus
diperingatkan mengenai efek kantuk yang terjadi pemakaian obat. Kontraindikasi
mutlak adalah pada ocular cysticercosis, sebab kehancuran parasit di mata
menimbulkan kerusakan mata yang tak dapat diperbaiki .Pasien dengan gangguan
fungsi hati memerlukan penyesuaian dosis pemberian kortikosteroid untuk menekan
reaksi informasi perlu mendapat pertimbangan karena kortikosteroid dapat
mengurangi kadar plasma sampai 50%.

Anda mungkin juga menyukai