Outline
Outline
Outline
Σbulan kering
𝑄= Σbulan basah
x100%
Untuk perhitungan bulan kering dan basah menggunakan skala Mohr sebagai
berikut :
1. Bulan kering yaitu bulan yang curah hujannya < 60 mm.
2. Bulan basah yaitu bulan yang curah hujannya > 100 mm.
3. Bulan lembab yaitu bulan yang curah hujannya antara 60 – 100 mm.
Sedangkan untuk penentuan nilai Q, bulan lembab dimasukan pada bulan basah.
Berdasarkan rasio nilai Q, maka Schmidt – Fergusson membagi iklim sebagai berikut :
Tabel 4. 1. Data Pembagian Nilai Q Menurut Schmidt=Fergusson
Keterangan:
DDPm : Daya Dukung Permukiman
JP : Jumlah Proyeksi Penduduk
α : Koefisien Luas Kebutuhan Ruang/Kapita (m2 /Kapita) Menurut Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat No.II/PERMEN/M/2008 adalah 26 m2 untuk zona
perkotaan
LPm : Luas Lahan Yang Layak Untuk Permukiman (m2 )
4.1.2.9 Evaluasi Pemafaatan Lahan yang Ada Terhadap Kesesuaian Lahan
Wilayah perencanaan pada BWP Selatan Kawasan Perkotaan Kuala Tanjung
memerlukan arahan pembangunan yang sesuai dengan peruntukan fungsi kawasannya
agar tidak terjadi penyimpangan penggunaan lahan yang menyebabkan penurunan
kualitas pada lingkungan. Sehingga, pemanfaatan sumberdaya lahan wilayah perencanaan
dapat ditingkatkan dan dapat digunakan secara efektif dan efisien.
Dari proses analisa sumber daya alam dan fisik dasar ini akan dihasilkan kawasan lindung
dan kawasan budidaya yang merupakan arahan penggunaan lahan dan kegiatan menurut
fungsi peruntukan tanah sesuai dengan karakteristik dan sifat dasar di wilayah masing-
masing desa pada wilayah perencanaan. Maka dalam pengembangan potensi sumber daya
alam tersebut harus teridentifikasi penggunaan tanahnya untuk menghindari tumpang
tindih pemanfaatan sebagai kawasan lindung/budidaya.
Dalam analisis fisik wilayah, beberapa pertimbangan dalam menentukan kemampuan
lahan dan kesesuaian lahan dari pertimbangan penggunaan lahan eksisting dan beberapa
kondisi fisik wilayah diantaranya :
1. Karakteristik umum fisik wilayah (letak geografis, morfologi wilayah, dan sebagainya);
2. Potensi rawan bencana alam (longsor, banjir, tsunami, dan bencana alam geologi, dan
bencana alam lainnya);
3. Potensi sumber daya alam (mineral, batubara, migas, panas bumi, dan air tanah)
Tabel 4. 5. Jarak Bebas Minimum dari sumbu vertikal Menara/tiang Pada SUTT,
SIUTET dan SUTTAS
Nilai
Kelas Jenis Tanah Klasifikasi
Skor
I Aluvial, Glei, Planosol, Hidromerf, Laterik air Tidak Peka 15
tanah
II Latosol Kurang Peka 30
III Brown forest soil, non calcic brown mediteran Agak Peka 45
IV Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolic Peka 60
V Regosol, Litosol, Organosol, Rensina Sangat Peka 75
Sumber: SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No.
683/Kpts/Um/8/1981
3. Intensitas hujan harian rata-rata
Intensitas hujan rata-rata memiliki klasifikasi dan nilai skor seperti pada Tabel
3.3
Tabel 4. 8 Intensitas Hujan Harian rata-rata
Intensitas Hujan
Kelas Klasifikasi Nilai Skor
(mm/hari)
I 0 - 13,6 Sangat Rendah 10
II 13,6 – 20,7 Rendah 20
III 20,7 – 27,7 Sedang 30
IV 27,7 – 34,8 Tinggi 40
V >34,8 Sangat Tinggi 50
Sumber: SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No.
683/Kpts/Um/8/1981
Sedangkan terdapat kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan
produksi menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 yaitu
sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung
Kawasan lindung merupakan suatu wilayah dengan keadaan sumber daya alami
baik flora maupun fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah
sekitar mata air, alur sungai, dan kawasan lindung lainnya yang diatur dalam
Kepres 32 Tahun 1990. Suatu areal ditetapkan sebagai kawasan fungsi lahan, jika
besarnya skor kemampuan lahannya ≥175, beberapa syarat sebagai berikut:
a. Mempunyai kemiringan lahan > 40%
b. Jenis tanahnya sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah Regosol, Litosol,
Organosol, dan Renzine dengan kemiringan lapangan > 15%
c. Jalur pengaman aliran sungai/air sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-
kanan sungai besar dan 50 meter kiri-kanan anak sungai
d. Perlindungan mata air sekurang-kurangnya radius 200 meter di sekeliling
mata air
e. Perlindungan danau/waduk, yaitu 50-100 meter di sekeliling danau/waduk
f. Mempunyai ketinggian 2000 meter di atas permukaan air laut
g. Merupakan kawasan Taman Nasional yang lokasinya telah ditetapkan oleh
pemerintah
h. Memiliki guna keperluan/kepentingan khusus dan ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kawasan lindung.
2. Kawasan Penyangga
Kawasan penyangga merupakan suatu wilayah yang memiliki fungsi lindung dan
fungsi budidaya, seperti hutan produksi terbatas, perkebunan (tanaman keras),
kebun campuran dan lainnya yang sejenisnya. Kawasan penyangga memiliki
beberapakriteria sebagai berikut:
a. Areal dengan jumlah bobot untuk kemampuan lahannya 124-174
b. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara
ekonomis
c. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan
penyangga
d. Tidak merugikan segi-segi ekologi lingkungan
3. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Kawasan budidaya tanaman tahunan merupakan kawasan budidaya yang
diusahakan dengan tanaman tahunan seperti hutan produksi tetap, hutan tanaman
industri, hutan rakyat, perkebunan (tanaman keras), dan tanaman buah-buahan.
Kawasan budidaya tanaman tahunan memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Areal dengan jumlah bobot untuk kemampuan lahannya ≤ 124
b. Tingkat kemiringan lahan 15-40% serta cocok dikembangkan sebagai usaha
tani tanaman tahunan seperti kayu-kayuan, tanaman perkebunan, dan
tanaman industri.
c. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara
ekonomis
d. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan
penyangga
e. Tidak merugikan segi-segi ekologi lingkungan
4. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim dan Permukiman
Kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman merupakan kawasan yang
memiliki fungsi budidaya dan diusahakan untuk tanaman semusim terutama
tanaman pangan. Dalam pemilihan jenis komoditas harus mempertimbangkan
kesesuaian fisik terhadap komoditi yang akan dikembangkan. Kawasan budidaya
tanaman semusim dan permukiman memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Areal dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman
tahunan tetapi areal tersebut cocok atau seharusnya dikembangkan usaha tani
tanaman semusim/setahun
b. Nilai kemampuan lahan maksimal 124 dan kemiringan tidak lebih dari 8%
Kawasan permukiman merupakan areal yang memenuhi kriteria budidaya sehingga
cocok sebagai areal permukiman serta secara mikro mempunyai kelerengan 0-8%
2.1.1.1.1.1.1.1 P
e
Sedangkan nilai untuk bobot pada setiap variabel diatas disajikan dalam penjelasan
berikut:
Topografi
Diwilayah-wilayah yang terjal dan pada bagian hulu daerah aliran sungai, topografi
memegang peranan penting dan paling besar pengaruhnya terhadap kemungkinan
terjadinya erosi bila dibandingkan dalam prosentase kemiringan dan dilihat
berdasarkan sudut kemiringan. Dalam pengertian tersebut digunakan kriteria
berdasarkan ketentuan direktorat tata guna tanah departemen dalam negeri, yaitu :
Kelerengan 0 – 8 % atau kelerengan tingkat I, lahan dengan kemiringan lereng
ini dapat digunakan secara intensif dengan pengelolaan yang kecil.
Kelerengan 8 15 % atau kelerengan dengan tingkat II (landai), pada lahan
tersebut dapat digunakan sebagai kegiatan permukiman dan pertanian tapi
harus memperhatikan proses pengelolaan tanah dan kontruksi untuk
menghindari terjadinya bahaya erosi.
Kelerengan 15 – 25 % atau kelerengan tingkat III (agak curam), kemungkinan
terjadi erosi lebih besar dibanding dengan kelerengan sebelumnya.
Kelerengan 25 -45 % atau kelerengan tingkat IV (curam), jika pertumbuhan atau
perkembangan tanaman keras diperlukan tanah kurang, maka akan mudah
terjadi erosi/tanah longsor.
Kelerengan 45% atau kelerengan tingkat V (sangat curam), kelerengan tersebut
sangat peka terhadap erosi, sehingga kegiatan yang harus diprioritaskan adalah
kawasan lindung/rawan bencana.
Tabel 4. 9. Skoring Pada Variabel Topografi/kelerengan
KELAS KELERENGAN NILAI/BOBOT
I 0 % - 8 % (datar) 20
II 8 % - 15 % (landai) 40
III 15 % - 25 % (curam) 60
IV 25 % - 45 % (agak curam) 80
V > 45 % (sangat curam) 100
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007
Tentang Pedoman Teknis Kawasan Budidaya yang didukung pula
dengan SK Mentan no 837/KPTS/1980
Jenis Tanah
Jenis tanah merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan dan tanah terbagi
dalam beberapa golongan berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi. Berdasarkan
surat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman
Teknis Kawasan Budidaya yang didukung pula dengan SK Mentan no
837/KPTS/1980, tentang kriteria cara penetapan hutan lindung, dimana bentuk
klasifikasi ini berdasarkan kepekaan tanah terhadap erosi dan telah diberikan nilai
bobot.
Tabel 4. 10. Skoring Pada Variabel Jenis Tanah
TINGKAT
KELAS JENIS TANAH NILAI
KEPEKAAN
I Aluvial, Tanah Glei, Planosal, Tidak peka 15
Hidromorf kelabu, Latorik air
tanah
II Latosol Kurang peka 30
III Brown forest soil, Noncolcic Agak peka 45
brown, Mediteran
IV Andosol, Loterik, Gromosol, Peka 60
Potsol, Padsolik
V Regosol, Litosol, Orgosol, Rezina Sangat peka 75
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman
Teknis Kawasan Budidaya
Curah Hujan
Bagi daerah beriklim basah, komponen iklim sangat berpengaruh terhadap
kerusakan tanah adalah curah hujan, yang menyebabkan pengikisan dan
pengangkutan tanah (erosi) maupun pencucian unsur-unsur hara (top soil) yang
diperlukan tanaman.
Tabel 4. 11. Skoring Pada Variabel Intensitas Hujan Harian Rata – Rata
NILAI
KELAS INTENSITAS HUJAN KLASIFIKASI
BOBOT
I < 13.6 mm/Hari Sangat Rendah 10
II 13.6-20.7 mm/Hari Rendah 20
III 20.7-27.77 mm/hari Sedang 30
IV 27.7-34.8 mm/hari Tinggi 40
V > 34.8 mm/hari Sangat Tinggi 50
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
837/KPTS/UM/1980
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman
Teknis Kawasan Budidaya,penentuan kawasan budidaya dikelompokkan berdasarkan
fungsi utama, kriteria umum, dan kaidah perencanaansebagai berikut:
1. Kawasan peruntukan hutan produksi
Kawasan peruntukan hutan produksi meliputi hutan produksi tetap, hutan
produksiterbatas, dan hutan produksi yang dikonversi.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan hutan produksi memiliki fungsi antara lain:
1) Penghasil kayu dan bukan kayu;
2) Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya;
3) Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat;
4) Sumber pemasukan dana bagi Pemerintah Daerah (dana bagi hasil)sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk
kepentinganpembangunan di luar kehutanan harus memenuhi ketentuan
sebagaiberikut:
Tidak mengubah fungsi pokok kawasan peruntukan hutan produksi;
Penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk
kepentinganpertambangan dilakukan melalui pemberian ijin pinjam pakai
olehMenteri terkait dengan memperhatikan batasan luas dan jangkawaktu
tertentu serta kelestarian hutan/lingkungan;
Penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk
kepentinganpertambangan terbuka harus dilakukan dengan ketentuan
khususdan secara selektif.
2) Ketentuan pokok tentang status dan fungsi hutan; pengurusan hutan;perencanaan
hutan; dan pengelolaan hutan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan;
3) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi mencakuptentang
kegiatan pemanfaatan kawasan, kegiatan pemanfaatan jasalingkungan, kegiatan
pemanfaatan hasil kayu dan atau bukan kayu, dankegiatan pemungutan hasil kayu
dan atau bukan kayu;
4) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi harusterlebih dahulu
memiliki kajian studi Analisis Mengenai DampakLingkungan (AMDAL) yang
diselenggarakan oleh pemrakarsa yangdilengkapi dengan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) danRencana Pengelolaan Lingkungan (RKL);
5) Cara pengelolaan produksi hutan yang diterapkan harus didasarkankepada
rencana kerja yang disetujui Dinas Kehutanan dan atauDepartemen Kehutanan,
dan pelaksanaannya harus dilaporkan secaraberkala. Rencana kerja tersebut
harus memuat juga rencana kegiatanreboisasi di lokasi hutan yang sudah
ditebang;
6) Kegiatan di kawasan peruntukan hutan produksi harus diupayakan untuktetap
mempertahankan bentuk tebing sungai dan mencegah sedimentasike aliran
sungai akibat erosi dan longsor;
7) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi harusdiupayakan
untuk menyerap sebesar mungkin tenaga kerja yang berasaldari masyarakat lokal;
8) Kawasan peruntukan hutan produksi dapat dimanfaatkan untukkepentingan
pembangunan di luar sektor kehutanan sepertipertambangan, pembangunan
jaringan listrik, telepon dan instalasi air,kepentingan religi, serta kepentingan
pertahanan dan keamanan;
9) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi wajibmemenuhi
kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari yangmencakup aspek
ekonomi, sosial, dan ekologi;
10) Pemanfaatan ruang beserta sumber daya hasil hutan di kawasanperuntukan hutan
produksi harus diperuntukan untuk sebesar-besarnyabagi kepentingan negara
dan kemakmuran rakyat, dengan tetapmemelihara sumber daya tersebut sebagai
cadangan pembangunanyang berkelanjutan dan tetap menjaga kelestarian fungsi
hutan sebagaidaerah resapan air hujan serta memperhatikan kaidah-kaidah
pelestarianfungsi lingkungan hidup.
2. Kawasan peruntukan pertanian
Kegiatan kawasan peruntukan pertanian meliputi pertanian tanaman pangan danpalawija,
perkebunan tanaman keras, peternakan, perikanan air tawar, danperikanan laut.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan pertanian memiliki fungsi antara lain:
1) Menghasilkan bahan pangan, palawija, tanaman keras, hasil peternakandan
perikanan;
2) Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya;
3) Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang perencanaan dan penyelenggaraan budi dayatanaman;
serta tata ruang dan tata guna tanah budidaya tanamanmengacu kepada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang SistemBudi Daya Tanaman;
2) Ketentuan pokok tentang kegiatan perencanaan perkebunan;penggunaan tanah
untuk usaha perkebunan; serta pemberdayaan danpengelolaan usaha perkebunan
mengacu kepada Undang-UndangNomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
3) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan pertanian harus diperuntukanuntuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memeliharasumber daya
tersebut sebagai cadangan pembangunan yangberkelanjutan dan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsilingkungan hidup;
4) Ketentuan pokok tentang pemakaian tanah dan air untuk usahapeternakan; serta
penertiban dan keseimbangan tanah untuk ternakmengacu kepada Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan;
5) Ketentuan pokok tentang wilayah pengelolaan perikanan; pengelolaanperikanan;
dan usaha perikanan mengacu kepada Undang-UndangNomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
6) Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman harusmemanfaatkan potensi
tanah yang sesuai untuk peningkatan kegiatanproduksi dan wajib memperhatikan
aspek kelestarian fungsi lingkunganhidup dan mencegah kerusakannya;
7) Kawasan pertanian tanaman lahan basah dengan irigasi teknis tidakboleh
dialihfungsikan;
8) Kawasan pertanian tanaman lahan kering tidak produktif dapatdialihfungsikan
dengan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh pemerintahdaerah setempat dan
atau oleh Departemen Pertanian;
9) Wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifiklokasi
dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang;
10) Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya denganindikasi
geografis dilarang dialihfungsikan;
11) Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan),baik yang
menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harusterlebih dahulu memiliki
kajian studi Amdal;
12) Penanganan limbah pertanian tanaman (kadar pupuk dan pestisida yangterlarut
dalam air drainase) dan polusi industri pertanian (udara-bau danasap, limbah
cair) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKLyang disertakan dalam
dokumen Amdal;
13) Penanganan limbah peternakan (kotoran ternak, bangkai ternak, kulitternak, bulu
unggas, dsb) dan polusi (udara-bau, limbah cair) yangdihasilkan harus disusun
dalam RPL dan RKL yang disertakan dalamdokumen Amdal;
14) Penanganan limbah perikanan (ikan busuk, kulit ikan/udang/kerang) danpolusi
(udara-bau) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKLyang disertakan
dalam dokumen Amdal;
15) Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan),harus
diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat;
16) Pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkankesesuaian
lahan;
17) Upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering
tidakproduktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain
harusdilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.
3. Kawasan peruntukan pertambangan
Sesuai dengan ketentuan pasal 4 (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dinyatakan bahwakewenangan pemerintah
daerah atas bahan galian mencakup atas bahan galianC yang meliputi penguasaan dan
pengaturan usaha pertambangannya. Untukbahan galian strategis golongan A dan vital
atau golongan B, pelaksanaannyadilakukan oleh Menteri. Khusus bahan galian golongan B,
pengaturan usahapertambangannya dapat diserahkan kepada pemerintah daerah
provinsi.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan pertambangan memiliki fungsi antara lain:
1) Menghasilkan barang hasil tambang yang meliputi minyak dan gas bumi,bahan
galian pertambangan secara umum, dan bahan galian C;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja;
3) Sumber pemasukan dana bagi Pemerintah Daerah (dana bagi hasil)sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang penggolongan pelaksanaan penguasaan bahangalian;
bentuk dan organisasi perusahaan pertambangan; usahapertambangan; kuasa
pertambangan; dan hubungan kuasapertambangan dengan hak-hak tanah
mengacu kepada Undang-UndangNomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan PokokPertambangan;
2) Ketentuan pokok tentang penguasaan dan pengusahaan; kegiatan usahahulu;
kegiatan usaha hilir; hubungan kegiatan usaha minyak dan gasbumi dengan hak
atas tanah; serta pembinaan dan pengawasanmengacu kepada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyakdan Gas Bumi;
3) Pemanfaatan ruang beserta sumber daya tambang dan galian di
kawasanperuntukan pertambangan harus diperuntukan untuk sebesar-
besarnyakemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber daya
tersebutsebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan
tetapmemperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup;
4) Setiap kegiatan pertambangan harus memberdayakan masyarakat dilingkungan
yang dipengaruhinya guna kepentingan dan kesejahteraanmasyarakat setempat;
5) Kegiatan pertambangan ditujukan untuk menyediakan bahan baku bagiindustri
dalam negeri dan berbagai keperluan masyarakat, sertameningkatkan ekspor,
meningkatkan penerimaan negara danpendapatan daerah serta memperluas
lapangan pekerjaan dankesempatan usaha;
6) Kegiatan pertambangan harus terlebih dahulu memiliki kajian studi Amdalyang
dilengkapi dengan RPL dan RKL;
7) Kegiatan pertambangan mulai dari tahap perencanaan, tahap ekplorasihingga
eksploitasi harus diupayakan sedemikian rupa agar tidakmenimbulkan
perselisihan dan atau persengketaan dengan masyarakatsetempat;
8) Rencana kegiatan eksploitasi harus disetujui oleh dinas pertambangansetempat
dan atau oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,dan pelaksanaannya
dilaporkan secara berkala;
9) Pada lokasi kawasan pertambangan fasilitas fisik yang harus tersediameliputi
jaringan listrik, jaringan jalan raya, tempat pembuangan sampah,drainase, dan
saluran air kotor.
4. Kawasan peruntukan permukiman
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan permukiman memiliki fungsi antara lain:
1) Sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukungperi
kehidupan dan penghidupan masyarakat sekaligus menciptakaninteraksi sosial;
2) Sebagai kumpulan tempat hunian dan tempat berteduh keluarga sertasarana bagi
pembinaan keluarga.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat,dan
pembinaan perumahan dan permukiman nasional mengacu kepadaUndang-
Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan danPermukiman dan Surat
Keputusan Menteri Permukiman dan PrasaranaWilayah Nomor
217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan StrategiNasional Perumahan dan
Permukiman (KSNPP);
2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harussesuai dengan
daya dukung tanah setempat dan harus dapatmenyediakan lingkungan yang sehat
dan aman dari bencana alam sertadapat memberikan lingkungan hidup yang
sesuai bagi pengembanganmasyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian
fungsi lingkunganhidup;
3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan danterjangkau
oleh sarana tranportasi umum;
4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harusdidukung
oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusatperdagangan dan
jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan,penanganan limbah dan
drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan,pendidikan, agama);
5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
7) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun(lisiba),
penetapan lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraanpengelolaan; dan
pembinaannya diatur di dalam Peraturan PemerintahNomor 80 Tahun 1999
tentang Kawasan Siap Bangun dan LingkunganSiap Bangun yang Berdiri Sendiri.
5. Kawasan peruntukan industri
Sebagian atau seluruh bagian kawasan peruntukan industri dapat dikelola olehsatu
pengelola tertentu. Dalam hal ini, kawasan yang dikelola oleh satu pengelolatertentu
tersebut disebut kawasan industri.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan industri memiliki fungsi antara lain:
1) Memfasilitasi kegiatan industri agar tercipta aglomerasi kegiatan produksidi satu
lokasi dengan biaya investasi prasarana yang efisien;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja;
3) Meningkatkan nilai tambah komoditas yang pada gilirannya meningkatkanProduk
Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah yang bersangkutan;
4) Mempermudah koordinasi pengendalian dampak lingkungan yangmungkin
ditimbulkan.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang pengaturan, pembinaan dan pengembanganindustri;
serta izin usaha industri mengacu kepada Undang-UndangNomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian;
2) Pemanfaatan kawasan peruntukan industri harus sebesar-besarnyadiperuntukan
bagi upaya mensejahterakan masyarakat melaluipeningkatan nilai tambah dan
peningkatan pendapatan yang terciptaakibat efisiensi biaya investasi dan proses
aglomerasi, dengan tetapmempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
3) Jenis industri yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangankerja dan
dapat meningkatkan kualitas sumber daya masyarakatsetempat. Untuk itu jenis
industri yang dikembangkan harus memilikihubungan keterkaitan yang kuat
dengan karakteristik lokasi setempat,seperti kemudahan akses ke bahan baku dan
atau kemudahan akseske pasar;
4) Kawasan peruntukan industri harus memiliki kajian Amdal, sehinggadapat
ditetapkan kriteria jenis industri yang diizinkan beroperasi dikawasan tersebut;
5) Untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan, di dalamkawasan
peruntukan industri dapat dibentuk suatu perusahaan kawasanindustri yang
mengelola kawasan industri;
6) Ketentuan tentang kawasan industri diatur tersendiri melalui KeputusanPresiden
Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri dan SuratKeputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 50/M/SK/1997 tentang Standar Teknis
Kawasan Industri yang mengatur beberapaaspek substansi serta hak dan
kewajiban Perusahaan Kawasan Industri,Perusahaan Pengelola Kawasan Industri,
dan Perusahaan Industri dalampengelolaan Kawasan Industri;
7) Khusus untuk kawasan industri, pihak pengelola wajib menyiapkan kajianstudi
Amdal sehingga pihak industri cukup menyiapkan RPL dan RKL.
6. Kawasan peruntukan pariwisata
Jenis obyek wisata yang diusahakan dan dikembangkan di kawasan peruntukanpariwisata
dapat berupa wisata alam ataupun wisata sejarah dan konservasibudaya.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan pariwisata memiliki fungsi antara lain:
1) Memperkenalkan, mendayagunakan, dan melestarikan nilai-nilai sejarah/budaya
lokal dan keindahan alam;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja yang pada gilirannya
dapatmeningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang pengaturan, pembinaan dan pengembangankegiatan
kepariwisataan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 9Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan;
2) Kegiatan kepariwisataan diarahkan untuk memanfaatkan potensikeindahan alam,
budaya, dan sejarah di kawasan peruntukan pariwisataguna mendorong
perkembangan pariwisata dengan memperhatikankelestarian nilai-nilai budaya,
adat istiadat, mutu dan keindahanlingkungan alam serta kelestarian fungsi
lingkungan hidup;
3) Kegiatan kepariwisataan yang dikembangkan harus memiliki hubunganfungsional
dengan kawasan industri kecil dan industri rumah tangga sertamembangkitkan
kegiatan sektor jasa masyarakat;
4) Pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya untuk
kepentinganpariwisata, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan
danagama harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan bangunan
cagarbudaya tersebut. Pemanfaatan tersebut harus memiliki izin dariPemerintah
Daerah dan atau Kementerian yang menangani bidangkebudayaan;
5) Pengusahaan situs benda cagar budaya sebagai obyek wisatadiharapkan dapat
membantu memenuhi kebutuhan dana bagipemeliharaan dan upaya pelestarian
benda cagar budaya yangbersangkutan;
6) Ketentuan tentang penguasaan, pemilikan, pengelolaan, danpemanfaatan benda-
benda cagar budaya diatur dalam Undang-UndangNomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya dan PeraturanPemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang
Pelaksanaan Undang-UndangNomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
7) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan pariwisata harusdiperuntukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetapmemelihara sumber daya
tersebut sebagai cadangan pembangunanyang berkelanjutan dan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah pelestarianfungsi lingkungan hidup;
8) Pada kawasan peruntukan pariwisata, fasilitas fisik yang harus tersediameliputi
jaringan listrik, telepon, jaringan jalan raya, tempat pembuangansampah, drainase,
dan saluran air kotor;
9) Harus memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksiseperti
kawasan pertanian, perikanan, dan perkebunan;
10) Harus bebas polusi;
11) Pengelolaan dan perawatan benda cagar budaya dan situs adalahtanggung jawab
Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12) Setiap orang dilarang mengubah bentuk dan atau warna, mengambilatau
memindahkan benda cagar budaya dari lokasi keberadaannya.
7. Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa memiliki fungsi antara lain:
1) Memfasilitasi kegiatan transaksi perdagangan dan jasa antar masyarakatyang
membutuhkan (sisi permintaan) dan masyarakat yang menjual jasa(sisi
penawaran);
2) Menyerap tenaga kerja di perkotaan dan memberikan kontribusi yangdominan
terhadap PDRB.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Peletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukungdisesuaikan dengan kebutuhan konsumen;
2) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
bangunan usaha perdagangan (eceran dan grosir): toko, warung,tempat
perkulakan, pertokoan, dan sebagainya;
bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, dan penginapan lainnya;
bangunan penyimpanan dan pergudangan: tempat parkir, gudang;
bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
bangunan pariwisata/rekreasi (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.
3) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan perdagangan dan jasa diperuntukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber
daya tersebut sebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
4.1.3 Kependudukan
Analisis sosial kependudukan diarahkan untuk menghimpun informasi yang
berkaitan dengan penilaian apakah sumberdaya manusia yang ada pada suatu kabupaten
merupakan potensi ataukah masalah bagi usaha-usaha peningkatan produktivitas daerah
dan membandingkan tingkat perkembangan relatif dari sub wilayah yang terdapat pada
suatu kabupaten.Hasil dari analisa sosial Kependudukan ini sekurang-kurangnya meliputi:
1. Proyeksi jumlah, distribusi, dan kepadatan penduduk pada jangka waktu perencanaan;
2. Proyeksi penduduk perkotaan dan perdesaan pada jangka waktu perencanaan;
3. Kualitas sumberdaya manusia, antara lain ketenagakerjaan, tingkat pendidikan,
kesehatan, kesejahteraanyang bisa dilihat dari indeks pertumbuhan masyarakat/data
BPS.
4. Kondisi sosial dan budaya, antara lain kebiasaan/adat istiadat, kearifan lokal,
keagamaan.
N. aPx – ax . aP
b =
N. ax2 – (ax) 2
d. Comparative Model
Asumsi dasar penggunaan model ini adalah bahwa pola pertumbuhan penduduk
pada suatu lokasi relatif akan sama atau proporsional atau analog dengan pola
pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas, atau pada suatu lokasi
yang memiliki kesamaan karakteristik dengan lokasi pengamatan. Ada tiga jenis
comparative methods yaitu :
Ratio Methods
Model matematisnya : Pc (t) = k Ps(t)
Di mana :
Pc(t) = Jumlah penduduk kecamatan pada tahun t
Ps(t) = Jumlah penduduk kota pada tahun t
k = Proportional factor
Time Lag Methods
Model matematisnya : Pa(t) = Pb(t-T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb(t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t –T
k = Proportional factor
T = Time lag
Combination Methods
Model matematisnya : Pa(t) = kPb (t – T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb (t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t – T
k = Proportional factor
T = Time lag
e. Minimum Sum of Square Method
Metode ini digunakan untuk menguji tingkat kecocokan suatu model terhadap
kondisi faktualnya. Tingkat kecocokan dapat dilihat dari jumlah kuadrat
simpangannya. Nilai jumlah kuadrat simpangan terkecil merupakan indikator
tingkat kecocokan suatu model. Dalam proses perencanaan kota, metode ini
digunakan untuk menguji tingkat kecocokan beberapa model pertumbuhan
penduduk. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut :
= ( Yi – Ya)
Di mana : = Nilai simpangan
Yi = Perkiraan jumlah penduduk
Ya = Jumlah penduduk faktual
ax2 - ax . aPx
a =
N. ax2 – (ax) 2
N. aPx – ax . aP
b =
N. ax2 – (ax) 2
i. Comparative Model
Asumsi dasar penggunaan model ini adalah bahwa pola pertumbuhan penduduk
pada suatu lokasi relatif akan sama atau proporsional atau analog dengan pola
pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas, atau pada suatu lokasi
yang memiliki kesamaan karakteristik dengan lokasi pengamatan. Ada tiga jenis
comparative methods yaitu :
Ratio Methods
Model matematisnya : Pc (t) = k Ps(t)
Di mana :
Pc(t) = Jumlah penduduk kecamatan pada tahun t
Ps(t) = Jumlah penduduk kota pada tahun t
k = Proportional factor
Time Lag Methods
Model matematisnya : Pa(t) = Pb(t-T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb(t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t –T
k = Proportional factor
T = Time lag
Combination Methods
Model matematisnya : Pa(t) = kPb (t – T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb (t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t – T
k = Proportional factor
T = Time lag
j. Minimum Sum of Square Method
Metode ini digunakan untuk menguji tingkat kecocokan suatu model terhadap
kondisi faktualnya. Tingkat kecocokan dapat dilihat dari jumlah kuadrat
simpangannya. Nilai jumlah kuadrat simpangan terkecil merupakan indikator
tingkat kecocokan suatu model. Dalam proses perencanaan kota, metode ini
digunakan untuk menguji tingkat kecocokan beberapa model pertumbuhan
penduduk. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut :
= ( Yi – Ya)
Di mana : = Nilai simpangan
Yi = Perkiraan jumlah penduduk
Ya = Jumlah penduduk faktual
4.1.4.2 Komoditi sektor basis yang memiliki keunggulan dan komparatif
berpotensi ekspor
4.1.4.3 Penentuan sektor basis/Komoditas Potensial
4.1.4.4 Penentuan sektor basis/Komoditas Unggulan
4.1.4.5 Penilaian kelayakan pengembangan komoditas unggulan
4.1.5 Transportasi
4.1.5.1 Transportasi Darat
A. Rencana Jaringan Jalan
Sistem transportasi yang ada didarat dalam kelancarannya adalah
menggunakan prasarana yang ada, dimana definisi dari jalan itu sendiri adalah
kesatuan sistem jaringan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat
pengembangan dengan wilayah yang ada pengaruhnya dalam suatu hubungan
hierarki. Adapun perencanaan ataupun penataan yang dilakukan terhadap jalan
tersebut didasarkan atas komponen berikut ini :
1. Hierarkhi jalan
Tingkat fungsi jalan dalam melayani pergerakan lalu lintas yang ada pada
suatu kawasan dengan pusat kawasan atau dengan daerah lainnya yang ada
disekitar kawasan.
2. Analisa Pola Jaringan Jalan
Sistem sirkulasi tidak begitu saja terjadi secara kebetulan, sistem sirkulasi
dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori; sistem grid, radial, linier, kurva
linier, serta beberapa kombinasi diantaranya:
Sistem Grid
Sistem Grid biasanya terjadi karena adanya
perpotongan jalan yang sama tegak lurus satu sama
lain dengan lebar jalan yang rata-rata sama.
Biasanya digunakan pada lahan yang datar atau
sedikit bergelombang, dan tidak jarang penerapannya
kurang baik, serta menghasilkan pemandangan yang
monoton atau penanganan topografi yang kurang
simpatik. Mengingat bahwa Sistem Grid mudah diikuti karena orientasinya
mudah, maka Sistem Grid bisa digunakan untuk mendistribusikan arus lalu lintas
yang kompleks apabila tingkatan keras (hirarkhi) jalan telah ditetapkan. Karena
hirarkhi ini sering diabaikan maka sering pula mengakibatkan terjadinya
kepadatan atau kekacauan lalu lintas dibeberapa jalan arteri. Dengan jalan
membengkokkan, “mempluntir” berbagai ukuran blok untuk meyesuaikan
sebagian dari Grid tersebut sedemikian sehingga cocok dengan topografinya dan
dengan menetapkan hirarkhi arus lalu lintas pada jalan-jalan tersebut, untuk
memperoleh pola sirkulasi yang lebih menarik dan berfungsi dengan baik.
Sistem Radial
Suatu sistem radial mengarahkan arus lalu lintas
menuju suatu pusat umum yang padat dengan berbagai
aktivitas, namun, pusat tersebut dapat tumbuh
sedemikian sehingga sukar diatur. Karena pusat itu
bersifat tetap dan kaku sehingga sukar diubah, maka
sistem ini tidak seluwes Sistem Grid. Untuk mengatasi
hal tersebut dibeberapa tempat di bagian luar daerah
pusat sering ditambah dengan sistem ring. Sistem ring
dapat memberi kesempatan jalan keluar bagi arus lalu lintas yang bermaksud
melewati daerah pusat tersebut.
Sistem Linier
Pada dasarnya Sistem Linier merupakan pola garis lurus
yang menghubungkan dua titik penting, misalnya jalur
rel kereta api, kanal atau terusan, jalan raya antar
kota, dan sebagainya. Mengingat sifatnya, sistem inii
cenderung mudah mengalami kepadatan atau kemacetan lalu lintas. Untuk
mengatasinya diadakan suatu penyaluran yang dikenal dengan sistem loop, suatu
jalan “melambung” yang keluar dari jalur utama disuatu titik untuk kemudian
kembali lagi masuk ke jalur utama tadi di titik yang lain.
Sistem Kurvalinier
Sistem Kurvalinier merupakan gabungan dari pola garis
lurus dan garis lengkung, yang memanfaatkan topografi,
dengan cara mengikuti bentuk lahan sedekat mungkin.
Sistem ini sangat erat hubungannya dengan lalu lintas
pada tingkat lokal dan mempunyai variasi jalur-jalur jalan yang mudah
disesuaikan dengan topografi. Pada sistem kurvalinier jalan-jalan tembusnya
lebih sedikit dibanding dengan sistem Grid. Cul - de - sac, atau jalan buntu yang
mempunyai panjang maksimum 150 meter, sering digunakan. Hal-hal tersebut
cenderung dapat memperlambat laju lalu lintas. Dengan sistem kurvalinier,
suasana jalan menjadi lebih menarik karena bervariasinya pemandangan, jenis
serta panjang jalan, dan mudahnya penyesuaian terhadap perubahan topografi.
Ternyata pembangunan unit perumahan yang direncanakan dengan
menggunakan sistem kurvalinier makin banyak.
Modifikasi Grid
Pola ini pada dasarnya dari pola grid yang
dimodifikasi dengan sistem loop ditengahnya atau
pada kedua sisi. Pada bagian loop selain
memungkinkan untuk kawasan terbangun dan juga
dapat digunakan sebagai ruang terbuka hijau.
Cul De Sac
Pola ini dibuat dengan membuat pengelompokan pada satu pola
jaringan jalan secara tertutup. Pola ini akan efisien bila jaraknya
kurang dari 150 meter.
Loop
Pola ini dibuat dengan membuat sistem melingkar
pada satu ruas jalan. Seperti halnya dengan pola grid
yang dimodifikasi, maka sistem loop ini pada bagian
tengahnya selain dapat digunakan sebagai kawasan
terbangun juga dapat digunakan untuk ruang terbuka hijau.
Analisa Sistem jaringan pergerakan sangat erat kaitannya dengan pembentukan
struktur ruang wilayah perencanaan yang utuh antara pusat kegiatan dan infrastruktur
yang menunjang dan dibutuhkan. Dalam sistem jaringan pergerakan ini, yang dibahas
bukan hanya dalam lingkup wilayah perencanaan tetapi juga keterkaitan sistem jaringan
dengan wiayah yang ebih luas. Perlunya penelaahan terhadap sistem perangkutan/
transportasi mengingat adanya keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan antara
transportasi dengan pola tata guna lahan pada setiap kawasan. Lain dari itu, mengingat
bahwa kegiatan transportasi merupakan kegiatan jasa yang melayani pergerakan kegiatan
sosial dan kegiatan ekonomi penduduk, maka pelayanan sistem tranportasi kota harus
mampu mendukung dan sesuai dengan struktur dan fungsi wilayah perencanaan secara
keseluruhan.
Sistem transportasi merupakan gabungan elemen-elemen atau komponen–
komponen : Prasarana (jalan dan terminal), Sarana (kendaraan), sistem pengoperasian
(yang mengkoordinasikan komponen prasarana dan sarana). Ini berarti bahwa
pengembangan sistem transportasi untuk mendukung kelancaran mobilitas manusia antar
tata guna lahan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan ekonominya adalah
mengembangkan salah satu komponen (elemen) tersebut.
Analisa sistem jaringan pergerakan yang akan dibahas dimaksud untuk
memperhitungkan kebutuhan tata jenjang jaringan pergerakan yang menghubungkan
antar bagian-bagian kawasan perencanaan maupun wilayah luar agar sesuai dengan
masing-masing fungsi dan perannya. Adapun elemen-eleman sistem jaringan pergerakan
yang akan dianalisa pada pembahasan ini antara lain :
a. Analisa pelayanan jaringan jalan, yang diklasifikasikan berdasarkan Undang-
Undang Tentang Jaringan Jalan No. 38 Tahun 2004, termasuk membahas fasilitas
terminal penumpang dan barang yang dibutuhkan pada wilayah perencanaan.
b. Pengembangan sistem jaringan pergerakan, yang akan menganalisa kebijakan
rencana pembangunan yang telah ditetapkan baik oleh pemerintah maupun swasta.
c. Analisa kebutuhan interkoneksi dan intrakoneksi jaringan, yang didasarkan kaitan
wilayah perencanaan dengan wilayah yang lebih luas yang telah direncanakan dan
hasil analisa pelayanan baik jalan maupun jaringan kereta api.
Analisa Sistem Jaringan Jalan Raya
Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari
sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam
hubungan hierarki.
1) Sistem Jaringan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut :
a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan
b. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.
2) Sistem Jaringan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus
kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder
kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.
Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, fungsi jalan (sifat dan
pergerakan pada lalu lintas dan angkutan jalan) dibedakan menjadi:
a. Jalan Arteri Primer menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan
nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah,
ciri ciri jalan arteri primer adalah sebagai berikut :
Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60
(enam puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11
(sebelas) meter.
Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
Pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.
Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
b. Jalan Kolektor Primer menghubungkan secara berdaya guna antara pusat
kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah,
atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal, dengan ciri ciri
sebagai berikut :
Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
40 (empat puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9
(sembilan) meter.
Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu
lintas rata-rata.
Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
c. Jalan Lokal Primer menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan
pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal
dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Ciri
ciri jalan lokal primer :
Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua
puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh
koma lima) meter.
Jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus.
d. Jalan lingkungan primermenghubungkan antarpusat kegiatan di dalam
kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan.
Jalan lingkungan primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 15 (lima belas) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 6,5 (enam koma lima) meter.
Persyaratan teknis jalan lingkungan primer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih.
Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan
bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling
sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter.
e. Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan
sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu,
atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Ciri-cirinya
sebagai berikut :
Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
30 (tiga puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11
(sebelas) meter.
Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada
volume lalu lintas rata-rata.
Pada jalan arteri sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat.
Persimpangan sebidang pada jalan arteri sekunder dengan pengaturan
tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2).
f. Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan
sekunder ketiga.
Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 20 (dua puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 9 (sembilan) meter.
Jalan kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada
volume lalu lintas rata-rata.
Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat .
Persimpangan sebidang pada jalan kolektor sekunder dengan pengaturan
tertentu harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
g. Jalan lokal sekundermenghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder
ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
10 (sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5
(tujuh koma lima) meter.
h. Jalan lingkungan sekunder menghubungkan antarpersil dalam kawasan
perkotaan.
Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 10 (sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 6,5 (enam koma lima) meter.
Persyaratan teknis jalan lingkungan sekunder sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih.
Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan
bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan
paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter
Perencanaan dimensi jalan meliputi penentuan lebar Ruang manfaat jalan (Rumaja),
Ruang milik jalan (Rumija) dan Ruang pengawasan jalan (Ruwasja). Dalam penetapan
dimensi jalan ini harus memenuhi standar minimum yang terdapat cukup ruang untuk
jalur hijau dan kelengkapan jalan (Street Furniture). Untuk ketentuan dimensi jalan ini
mengacu pada PP No. 26/tahun 1985 serta UU No. 38 tahun 2004.
Perkerasan jalan ditentukan selain berpedoman pada fungsi jalannya, juga kemampuan
lahan dan volume lalu lintasnya. Sedangkan lebar jalan merupakan penampang geometrik
jalan yang dibedakan atas 3 jenis, yaitu :
Lebar Ruang Manfaat Jalan
Lebar Ruang Milik Jalan
Lebar Ruang Pengawasan Jalan
Penentuan lebar dan besaran masing-masing kelompok dimensi jalan tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Laju Harian Rata-rata (LHR) jalan
Konstruksi jalan eksisting ( lebar jalan dan lebar sempadan bangunan )
Fungsi jalan
Pedoman konstruksi jalan.
B. Analisis Tingkat Pelayanan Jalan
Analisa tingkat pelayanan jalan dilakukan dengan membandingkan kapasitas jalan
dengan volume kendaraan di lapang. Tingkat pelayanan jalan ditentukan dengan standar
level of service dari highway capacity manual. Rumus-rumus yang dipergunakan adalah
sebagai berikut :
Rumus Perhitungan Kapasitas Jalan : C = 1.600 x N x U
Keterangan :
N = jumlah lajur
U = Faktor penyesuaian
Rumus Perhitungan Volume Jalan
VolumeKendaraanSelama1Jam
PHF
4 xVolumeKendaraanPeriode15MernitTert inggi
C. Analisis Tingkat Aksesibilitas
Tingkat aksesibilitas adalah kemudahan mencapai suatu wilayah dari wilayah lain
yang berdekatan, atau bisa juga dilihat dari sudut kemudahan mencapai wilayah lain yang
berdekatan bagi masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Ada beberapa unsur yang
mempengaruhi tingkat aksesibilitas, misalnya kondisi jalan, jenis angkutan umum yang
tersedia, frekuensi keberangkatan dan jarak.
Aksesibilitas adalah jarak pencapaian dari suatu daerah ke daerah lainnya, dimana
semakin tinggi aksebilitas suatu daerah dengan daerah lainnya maka akan semakin cepat
pula proses perkembangannya begitu pula sebaliknya. Adapun indikator yang menunjang
diantaranya adalah arah perkembangan atau pergerakan penduduk.
Untuk mengukur nilai aksebilitas digunakan rumus matematis sebagai berikut :
Keterangan :
Ai : Nilai aksebilitas
K : Kondisi jalan aspal (aspal, perkerasan dan tanah)
F : Fungsi jalan (arteri, kolektor dan lokal)
T : Fungsi dari jenis pergerakan (regional, lokal) dan trayek pergerakan yang
melayaninya
d : Jarak
Nilai F, K dan T diberi bobot
Untuk mengukur indeks aksebilitas menggunakan rumus matematis sebagai berikut :
Keterangan :
Ai : Nilai aksebilitas
Ej : Ukuran aktivitas (dapat menggunakan ukuran antara lain jumlah
penduduk usia kerja)
dij : Jarak tempuh (waktu/uang)
b : Parameter
Keterangan :
K : Kondisi jalan
T : Total individu trip
P : Jumlah penduduk suatu daerah
Tij ( Pipj ) p
Keterangan :
Tij : Hipotheticaltrip volume
Pipj : Jumlah penduduk didaerah I dan j
p : Jumlah penduduk diseluruh daerah
1200 m2
b) Sekolah Dasar (SD) minimum terdiri dari 6 ruang kelah dengan daya tampung
40 murid/kelas dan radius pencapaian maksimum 1000 meter dan 1.600 jiwa
pendukung dengan kebutuhan luas kapling sebesar 3600 m2
c) Sekolah Menengah Pertama (SMP) minimum terdiri dari 6 ruang kelah dengan
daya tampung 40 murid/kelas dan 4.800 jiwa pendukung dengan kebutuhan
luas kapling sebesar 2700 m2
d) Sekolah Menengah Atas (SMU/SMK) minimum terdiri dari 6 ruang kelah
dengan daya tampung 40 murid/kelas dan 4.800 jiwa pendukung dengan
Q= .............................................(1)
Q15 = arus pejalan kaki (pjk/ meter/ menit)
Nm = jumlah pejalan kaki (pjk)
WE = lebar efektif trotoar (m)
WE = WT – B......................................(2)
WT = lebar total trotoar (m)
B = lebar trotoar halangan yang tidak bisa digunakan untuk berjalan kaki (m)
Vs = .......................................(3)
D= ...............................................(4)
D = kepadatan pejalan kaki (pjk/ m2)
Q = arus pejalan kaki (pjk/m/menit)
Vs = kecepatan rata-rata ruang (m/ menit)
S= ........................................(5)
S = ruang pejalan kaki (m2/pjk)
D = kepadatan pejalan kaki (pjk/m2)
Q = arus pejalan kaki (pjk/m/menit)
Vs = kecepatan rata-rata ruang (m/menit)
r = ..................................................(6)
r = rasio arus dan kapasitas pejalan kaki
v = arus pejalan kaki
c = kapasitas/ ruang pejalan kaki
a. Facade
Facade merupakan berasal dari Bahasa Italia facciata atau faccia. Kemudian
diadaptasi dari Bahasa Latin facies, yang selanjutnya berkembang menjadi
faceyang dalam Bahasa Inggris memiliki arti sebagai wajah. Menurut Moughtin
(1992) bahwa facadeadalah elemen yang penting yang menampilkan sebuah
kekayaan pengalaman visual bagi pengamat atau bagi yang melihatnya. Serta pada
facadeterdapat elemen-elemen yang dapat dianalisis yang terbagi pada 3 bagian
utama yaitu berupa bagian bidang dasar bagian bidang lantai serta bagian bidang
atap. Fasad juga berperan sebagai identitas seperti dibahas oleh Bentley (1980)
bahwa kekhasan suatu penampilan fisik yang melingkupi bagian ruang jalan
menjadi suatu elemen pendukung terhadap terciptanya identitas pada sebuah
kawasan yang kemudian hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas visual
yang baik sehingga dengan memiliki kualitas visual yang baik akan muncul
berdasarkan desain citra dari eksternal bangunan.
b. Skyline
Skyline adalah suatu garis pertemuan antara massa yang berdiri di atas tanah
atau garis tanah dengan langit. Skyline berhubungan erat dengan bentuk dan
massa bangunan, sempadan bangunan, ketinggian bangunan dan kondisi
topografinya. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan visual tatanan
bangunan/deretan massa di sepanjang koridor yang menunjukkan garis langit
(skyline) dengan membuat bayangan bentuk bangunan pada posisi berderet di
salah satu sisi penggal jalan. Pengamatan terhadap skylineakan memberikan
gambaran komposisi massa bangunan yang menunjukkan hirarki visual bangunan.
Sedangkan peranan skyline terhadap koridor adalah untuk menentukan kualitas
keruangan dan tingkat keutamaan visual terhadap lingkungan (Moughtin dalam
Dipta,2015).
Gambar 4. 4 Skyline
Sumber: Moughtin dalam Dipta (2015)
No Jenis Zona/Sub Zona GSB (Garis Sempadan Bangunan) GSS (Garis Sempadan Sungai)
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan.
Zona Perumahan GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
1 GSB samping bangunan tiap unit bangunan deret, kopel dan rumah tunggal = minimal 2 meter.
Kepadatan Rendah jalan inpeksi atau jalur hijau.
GSB belakang bangunan tiap unit bangunan deret, kopel dan rumah tunggal = minimal 2 meter.
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan atau = 0 (pemilik
bangunan diberi kompensasi pembangunan yang diijinkan dengan KLB maksimum dan harus
membangun semi basement untuk parkir) GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
2 Zona Perdagangan dan Jasa
GSB samping bangunan = minimal 2 meter (untuk menjaga jarak dan memberi ruang gerak jalan inpeksi atau jalur hijau.
penyelamatan diri apabila terjadi kebakaran).
GSB belakang bangunan = minimal 1 meter.
GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan.
jalan inpeksi atau jalur hijau.
3 Zona Pendidikan GSB samping bangunan = minimal 5 meter.
GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk green belt
GSB belakang bangunan = minimal 5 meter.
area.
GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan.
jalan inpeksi atau jalur hijau.
4 Zona Sosial Budaya GSB samping bangunan = minimal 5 meter.
GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk green belt
GSB belakang bangunan = minimal 5 meter.
area.
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan atau = 0 (pemilik
GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
bangunan diberi kompensasi pembangunan yang diijinkan dengan KLB maksimum dan harus
jalan inpeksi atau jalur hijau.
5 Zona Kesehatan membangun semi basement untuk parkir)
GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk green belt
GSB samping bangunan = minimal 2 meter.
area.
GSB belakang bangunan = minimal 2 meter.
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan atau = 0 (pemilik
bangunan diberi kompensasi pembangunan yang diijinkan dengan KLB maksimum dan harus
membangun semi basement untuk parkir) GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
6 Zona Perkantoran
GSB samping bangunan = minimal 2 meter (untuk menjaga jarak dan memberi ruang gerak jalan inpeksi atau jalur hijau.
penyelamatan diri apabila terjadi kebakaran).
GSB belakang bangunan = minimal 1 meter.
GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan dimanfaatkan
jalan inpeksi atau jalur hijau.
untuk green belt untuk mereduksi polusi.
7 Zona Industri GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk buffer zone
GSB samping bangunan = minimal 10 meter.
area antara daerah industri dengan lingkungan
GSB belakang bangunan = minimal 10 meter.
sekitar dan atau green belt area.
Jenis Zona/Sub
No GSB (Garis Sempadan Bangunan) GSS (Garis Sempadan Sungai)
Zona
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW
GSS = ½ lebar badan sungai
jalan didepan bangunan, dimanfaatkan untuk
dimanfaatkan untuk jalan
taman.
inpeksi atau jalur hijau.
8 Zona Pariwisata GSB samping bangunan tiap unit bangunan resort =
GSS yang besar bisa
minimal 5 meter.
dimanfaatkan untuk green belt
GSB belakang bangunan tiap unit bangunan resort
area.
= minimal 5 meter.
GSS = ½ lebar badan sungai
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW
dimanfaatkan untuk jalan
jalan didepan bangunan, dimanfaatkan untuk
inpeksi atau jalur hijau.
taman/parkir.
GSS yang besar bisa
9 Zona Transportasi GSB samping bangunan tiap unit bangunan =
dimanfaatkan untuk ruang
minimal 2 meter.
loading – unloading barang
GSB belakang bangunan tiap unit bangunan =
dan penumpang dan atau
minimal 2 meter.
parkir.
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = minimal
GSS yang besar bisa
100 meter.
Zona Sempadan dimanfaatkan untuk ruang
10 GSB samping bangunan pendukung ruang terbuka
Pantai publik, wisata pantai, dan atau
publik = minimal 100 meter.
green belt area.
GSB belakang bangunan = minimal 100 meter.
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = sungai
besar minimal 100 meter dan sungai kecil minimal
50 meter. GSS yang besar dan kecil bisa
Zona Sempadan GSB samping bangunan pendukung ruang terbuka dimanfaatkan untuk ruang
11
Sungai publik = sungai besar minimal 100 meter dan publik, wisata sungai, dan atau
sungai kecil minimal 50 meter. green belt area.
GSB belakang bangunan = sungai besar minimal
100 meter dan sungai kecil minimal 50 meter.
GSB depan bangunan tiap unit bangunan = minimal
GSS yang besar bisa
50 meter.
Zona Sempadan dimanfaatkan untuk ruang
12 GSB samping bangunan pendukung ruang terbuka
Danau publik, wisata danau, dan atau
publik = minimal 50 meter.
green belt area.
GSB belakang bangunan = minimal 50 meter.
Penetapan kepadatan bangunan, KDB, KTB, KLB dan KDH serta tinggi bangunan
terutama didasarkan pada daya dukung fisik lahan dan daya dukung prasarana
(terutama kapasitas jalan) dan utilitas wilayah perencanaan. Untuk lebih jelas contoh
penetapan tinggi bangunan berdasarkan pertimbangan sky explosure plane dan Angle of
Light Obstruction (ALO) dapat dilihat pada Gambar 4.21.
Gambar 4.21
Contoh Penetapan Tinggi Bangunan Berdasarkan Pertimbangan Sky Explosure Plane dan
Angle of Light Obstruction (ALO)
KDH adalah angka prosentase perbandingan antara luas ruang terbuka di luar
bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas tanah
daerah perencanaan. KDH merupakan areal minimal yang harus disediakan dan
harus dapat menjalankan fungsi ekologis dan estetika.
Ketentuan tentang KDH berlaku pada ruang terbuka hijau mikro yang merupakan
ruang terbuka hijau privat, berupa halaman/pekarangan pada suatu daerah
perencanaan. Sebagai contoh : sebuah lahan ditentukan KDB 60%, KDH 25% maka
pada lahan tersebut didapatkan tanah diluar bangunan sebesar 40%, yang terdiri
atasa minimal 25% penghijauan dan maksimal 15% perkerasan.
E. Kepadatan Bangunan
1000
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑠𝑖 =
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑟𝑒𝑝𝑙𝑜𝑡𝑖𝑛𝑛𝑔
Berdasarkan nilai konversi ini, dapat ditentukan indeks nilai jalan untuk seluruh
ruas jalan di kawasan penyesuaian ulang lahan sebelum dan sesudah replotting.
Prosedur perhitungan nilai jalan dan indeks nilai jalan mengikuti Standar
Penyesuaian Ulang Lahan Kementrian PU (2014) dapat dilihat pada Lampiran 1.
Hasil perhitungan indeks nilai jalan ini menjadi baseline untuk menentukan
penataan dan melakukan tranformasi kawasan serta konversi lahan aktual menjadi
bangunan vertikal (rumah susun). Indeks nilai jalan ini menjadi acuan untuk
menentukan besarnya rasio kontribusi dari masing-masing pemilik lahan.