Outline

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 73

4.1.

1 Analisis Struktur Internal BWP


1. Analisis struktur internal kawasan BWP dilakukan untuk merumuskan kegiatan
fungsional sebagai pusat dan jaringan yang menghubungkan antarpusat di dalam
BWP ruang dari RTRW Kabupaten ke RDTR.
2. Analisis struktur internal kawasan perkotaan didasarkan pada kegiatan fungsional di
dalam kawasan perkotaan tersebut, pusat-pusat kegiatan,dan sistem jaringan yang
melayaninya. Analisis struktur internal kawasan perkotaan membagi kawasan
perkotaan berdasarkan homogenitas kondisi fisik, ekonomi, dan sosial budaya, serta
menggambarkan arahan garis besar intensitas ruang dan arahan pengembangannya
di masa datang.
3. Analisis struktur internal BWP tersebut meliputi:
a) analisis sistem pusat pelayanan;
b) analisis sistem jaringan jalan;
c) analisis intensitas pengembangan ruang pada seluruh BWP.
4. Analisis ini digunakan sebagai bahan pertimbangan merumuskan rencana pola ruang
dan masukan perumusan konsep struktur internal BWP.

Gambar 4. 1. Ilustrasi Pusat Pelayanan di dalam BWP

4.1.1.1 Analisis Sistem Pusat Pelayanan


Analisis pusat pelayanan merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan
pusat dan sub pusat pelayanan wilayah/regional. Pusat pelayanan sebagai penentu suatu
daerah atau jaminan bahwa wilayah tersebut apakah sudah maju ataukah masih
terbelakang. Pusat pelayanan merupakan pusat dari segala kegiatan antara lain politik,
sosial budaya, ekonomi, dan teknologi. Kegiatan tersebut dijalankan melalui jasa
pelayanan yang diberikan oleh fasilitas-fasilitas umum maupun sosial yang ada
didalamnya. Oleh karena itu, suatu pusat kota harus memiliki kelengkapan fasilitas yang
baik dan memadai. Jika dilihat dari fungsinya, pusat wilayah merupakan tempat sentral
yang bertindak sebagai pusat pelayanan bagi daerah- daerah di belakangnya dan
penyuplai barang dan jasa bagi wilayah tersebut.
Salah satu analisis yang biasa digunakan dalam menentukan pusat-pusat
pertumbuhan dalam perencanaan wilayah adalah analisis skalogram yang sering disebut
Skala Guttman. Analisis skalogram digunakan untuk mengidentifikasi pusat-pusat
pelayanan berdasarkan fasilitas yang dimilikinya. Untuk menguji kelayakan skalogram
digunakan persamaan Coeffisien of Reproducibility (COR).
COR = (T-S)/T
Keterangan :
COR = Coeffisien of Reproducibility
T = jumlah total fasilitas yang diamati tiap wilayah
S = jumlah kesalahan
Berdasarkan perhitungan ketersediaan fasilitas, terdapat error sebanyak 4 dan jumlah
ketersediaan seluruh fasilitas adalah 187.
COR = (T-S)/T
= (187-4)/187 = 0,97
Uji skalogram menghasilkan nilai 0,97 sehingga perhitungan ini dianggap layak digunakan
untuk dasar analisis lebih lanjut. Untuk mengetahui pusat pelayanan, maka digunakan
metode Weighted Centrality Index (WCI). Jumlah satuan jenis fasilitas yang ada saling
dibandingkan, sehingga diperoleh tingkat keterpusatan. Keterpusatan ini merupakan
indikator yang menunjukkan kemampuan pelayanan fasilitas kota. Metode ini
menggunakan pembobotan terhadap seluruh jenis fasilitas yang merupakan Nilai
Sentralitas Gabungan, nilai sentralitas diasumsikan 100. Pembobotan dilakukan dengan
rumus :
C = t/T
Keterangan :
C = bobot/jenis fasilitas
t = nilai sentralitas tiap jenis fasilitas (100)
T = jumlah satuan tiap jenis fasilitas
Sesudah dihasilkan perhitungan indeks sentralitas, selanjutnya adalah menghitung kelas
interval untuk penentuan orde kawasan yaitu menghitung banyak kelas orde, panjang
kelas, dan pembagian orde. Uraian perhitungannya dapat dilihat dibawah ini:
Banyak kelas = 1 + 3,3 log n
= 1 + 3,3 log 16
= 1 + 3,3 (1,204) = 4,97 = 5
= (154,22 – 56,25)/ 5
= 19,59
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat diperoleh panjang kelas untuk setiap
hierarki :
1. Hierarki I = 134,62-154,22
2. Hierarki II = 115,03-134,61
3. Hierarki III = 95,44-115,02
4. Hierarki IV = 75,85-95,43
5. Hierarki V = 56,25-75,84
4.1.2 Analisis Sistem Penggunaan Lahan (Landuse)
4.1.2.1 Analisis Simpangan Antara Pola Ruang RDTR Dan Kondisi Eksisting
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk
file shp, yang diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatra Utara. Adapun
data-data tersebut adalah peta administrasi Kabupaten Batu Bara, peta penggunaan tanah
Kabupaten Batu Bara tahun 2014 , peta penggunaan tanah Kabupaten Batu Bara tahun
2018, peta kesesuain, peta perubahan, dan peta RTRW. RTRW yang digunakan adalah
RTRW Kabupaten Batu Bara Tahun 2012– 2032.
Menggunakan metode:
A. Geoprocessing
Geoprocessing adalah suatu proses dalam SIG yang digunakan untuk
mengolah/melakukan analisa terhadap data spasial, dimana pada akhirnya akan
menghasilkan data dan informasi yang baru (Marjuki, 2014). Definisi lain mengatakan
bahwa geoprocessing adalah sekumpulan fungsi yang melakukan operasi dengan
didasarkan dari lokasi geografis layer-layer input (Affan, 2014). Fungsi-fungsi
geoprocessing ini sering juga digunakan sebagai pelengkap dari fungsi buffer.
Terdapat enam fungsi dalam geoprocessing yaitu Dissolve, Merge, Clip, Intersect,
Union, dan Assign Data by Location (Spatial Join) (Marjuki, 2014). Dalam penelitian
ini menggunakan fungsi Union, karena akan dibuat theme baru hasil penggabungan
dari dua theme. Theme yang telah digabung ini berisikan fitur-fitur dan atribut dari
dua theme yang digabungkan tersebut.
B. Global Moran’s I
Global Moran's I adalah indikator autokorelasi spasial yang umum digunakan.
Global Moran's I digunakan sebagai ukuran pertama autokorelasi spasial (Fu, dkk.,
2014; Huo, dkk.,2012). Nilai-nilainya berkisar antara -1 sampai 1. Nilai “1” berarti
autokorelasi spasial positif yang sempurna (nilai tinggi atau nilai rendah kluster
bersama-sama), sementara “-1” menunjukkan autokorelasi spasial negatif yang
sempurna (pola kotak-kotak), dan “0” menyiratkan keacakan spasial yang sempurna
(Tu & Xia, 2008). Global Moran’s I sangat cocok dalam melakukan analisis pada area
yang memiliki cakupan luas (global). Dibandingkan dengan indeks G Getis, indeks
Geary’s C dan indeks Tango’s C, Moran's I nampaknya merupakan metode yang sangat
populer dalam analisis spatial-cluster dalam penelitian terbaru (Fu, dkk., 2014).
Global Moran’s I digunakan dalam penelitian ini karena analisis yang dilakukan
mencakup keseluruhan wilayah Kabupaten Bantul. Statistik Moran’s I dapat
dirumuskan dengan Persamaan (1) (Widi, dkk., 2013), dimana N adalah jumlah objek,
X adalah rata-rata perubahan tata guna lahan, Xi adalah longitude, Xj adalah latitude,
Wij adalah bobot kombinas i,j.

Untuk melihat hasil signifikansi terhadap pola sebaran menggunakan kurva


pada Gambar 1 sebagai acuan, dimana p-value adalah probabilitas. Bila p-value sangat
kecil, itu berarti sangat kecil kemungkinannya bahwa pola spasial yang diamati
adalah hasil proses acak, sehingga dapat menolak hipotesis nol. z-scores adalah
standar deviasi. z-scores yang sangat tinggi atau sangat rendah (negatif), terkait
dengan p-value yang sangat kecil, ditemukan di bagian akhir distribusi normal. Ketika
fitur tools analisis pola dijalankan dan menghasilkan pvalue kecil dan z-scores yang
sangat tinggi atau sangat rendah (negatif), ini mengindikasikan bahwa pola spasial
yang diamati mencerminkan pola Complete Spatial Randomness (CSR) yang
ditunjukkan oleh hipotesis nol (Jiao & Liu, 2012).
Gambar 4. 2. Kurva p-value dan z-scores

Adapun tahapan analisis data dilakukan sebagai berikut: (1) Analisis


perubahan tata guna lahan 2014-2018 didapatkan dari hasil union dilakukan
terhadap peta penggunaan tanah tahun 2014 dan peta penggunaan tanah tahun 2018
menghasilkan peta penggunaan tanah 2014-2018. Selanjutnya, union antara peta
administrasi dan peta perubahan menghasilkan peta administrasi perubahan,
kemudian akan dilakukan union antara peta penggunaan tanah tahun 2014-2018 dan
peta administrasi perubahan. Analisis ini dilakukan pada Quantum GIS. (2)
Analisis pola sebaran perubahan tata guna lahan akan dilakukan
menggunakan metode Global Moran’s I pada RStudio. (3) Analisis kesesuaian tata
guna lahan terhadap RTRW Kabupaten Batu Bara didapatkan dari hasil union yang
dilakukan dengan menggabungkan peta administrasi, penggunaan tanah tahun 2014,
penggunaan tanah tahun 2018, dan RTRW. Analisis ini dilakukan pada Quantum GIS.

4.1.2.2 Analisis Tutupan Lahan Dan Run-Off Yang Ditimbulkan


Dalam pelaksanaan penelitian ini menggunakan metode survei. Adapun
pendekatan yang digunakan adalah: pendekatan Biofisik Daerah Aliran Sungai dengan
batas topografis, untuk memperkirakan potensi limpasan permukaan. Data yang
digunakan meliputi data primer dan sekunder
a. Data Primer, terdiri atas: - Tekstur tanah digunakan untuk sifat tanah dalam
kemampuan tanah meresapkan air hujan, - Permeabilitas tanah digunakan untuk
menentukan kecepatan meresapkan air hujan.
b. Data Sekunder antara lain: - Citra Landsat digunakan dalam pembuatan Peta
Penggunaan Lahan, - Peta Rupa Bumi Indonesia Digital digunakan sebagai peta dasar
dalam pembuatan Peta Lereng (slope), Relief, Penggunaan Lahan, Kepadatan Aliran,
dan penentuan batas administratif, - Peta Geologi skala 1: 250.000 untuk mengetahui
kondisi geologi daerah penelitian, - Peta Jenis Tanah untuk mengetahui jenis tanah
dan untuk pendekatan dalam penentuan tekstur tanah, - Data-data meteorologi: suhu,
curah hujan dan kelembaban udara untuk memperkirakan kondisi iklim dan
distribusi air hujan, - Data lain yang terkait topik penelitian: referensi, penelitian
sebelumnya, dan lainnya.

4.1.2.3 Analisis Kepemilikan Tanah


Metodologi penelitian yang dilaksanakan dalam penelitian ini dibagi menjadi
empat tahap, yaitu sebagai berikut :
1. Pengumpulan data dan digitasi citra. Dalam tahap ini akan dilaksanakan
pengumpulan datadata yang dibutuhkan, terutama citra satelit yang akan
dilaksanakan proses digitasi untuk pembuatan peta penguasaan, pemilikan,
penggunaan, pemanfaatan tanah, sebaran bidang tanah, dan penentuan titik sampel.
2. Menentukan klasifikasi parameter yang merujuk dengan NSPK BPN berdasarkan
batas antar bidang tanah.
3. Survei penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ke lapangan.
4. Penarikan kesimpulan dan pembuatan laporan.
4.1.2.4 Analisis Sumber Daya Air
Metode penelitian yang akan digunakan adalah fenomenologi. Hal ini sesuai dengan
prinsip pelestarian objek studi yang banyak berkaitan dengan sistem pengelolaan sumber
daya air. Proses penelitian terdiri atas dua tahapan. Hasil yang diperoleh berupa
karakteristik sungai, morfologi muara sungai pasca perubahan fungsi lahan disekitar
muara sungai, berdasarkan data sekunder dan penelitian di lapangan (data primer),
Penelitian ini menggunakan perangkat lunak sebagai alat analisis. Bahan penelitian
sebagian besar berupa data primer yang dicari langsung di lokasi penelitian dan
dilengkapi dengan data sekunder yang relevan dari data 5 tahun terakhir.
A. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder
yang terdiri dari: kondisi lingkungan di hilir sungai/muara sungai saat ini terkait dengan
perubahan lahan, debit air, kualitas air, dan jenis sedimen. Sedangkan data sukender
diperoleh berdasarkan laporan BPS, PU, BLH.
B. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari lapangan dan berdasarkan laporan yang diperoleh akan
dianalisis untuk mendapatkan perubahan lahan, debit air dan kualitas air serta metode
pengelolaan sumber daya air di daerah hilir sungai/muara
4.1.2.5 Analisis topografi dan kelerengan
Topografi diartikan sebagai ketinggian suatu tempat yang dihitung dari
permukaan air laut. Dari peta topografi ini dapat ditentukan elevasi tanah asli, lebar
sungai dan bentang efektif jembatan. Data topografi ini diperlukan untuk menentukan
trase jalan pendekat / oprit. Analisis geometrik jalan pendekat / oprit yang meliputi
alinyemen vertikal dan horisontal diperhitungkan untuk memberikan rasa aman dan
nyaman bagi pengendara ataupun pengguna jalan saat melintasi jembatan ( memberikan
rasa aman dan nyaman bagi pengguna jalan saat melintasi pergantian antara jalan dengan
jembatan ). Dengan melihat kondisi lapangan, medan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
4.1.2.6 Analisis Geologi Lingkungan
Geologi Tata Lingkungan merupakan media dalam penerapan informasi geologi
melalui penataan ruang dalam rangka pengembangan wilayah dan pengelolaan
lingkungan, yaitu memberikan informasi tentang karakteristik lingkungan geologi suatu
lokasi/wilayah berdasarkan keterpaduan dari aspek sumber daya geologi sebagai faktor
pendukung dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala. Selanjutnya hasil kajian
geologi lingkungan menggambarkan tingkat keleluasaan suatu wilayah untuk
dikembangkan.
Analisis geologi lingkungan menggunakan metode pembobotan/skoring secara
kuantitatif dan penilaian para ahli ditumpang susun (overlay) dari peta-peta tematik
secara manual maupun dengan Sistem Informasi Geografi (SIG).
4.1.2.7 Analisis Klimatologi
Klimatologi adalah ilmu yang mempelajari iklim, dan merupakan sebuah cabang dari
ilmu atmosfer. Dikontraskan dengan meteorologi yang mempelajari cuaca jangka pendek
yang berakhir sampai beberapa minggu, klimatologi mempeljari frekuensi di mana sistem
cuaca ini terjadi.
Klimatologi tidak mempelajari fenomena atmosfer secara tepat (misalnya
pembentukan awan, curah hujan, dan petir), tetapi mempelajari kejadian rata-rata selama
beberapa tahun sampai millenia, dan juga perubahan dalam pola cuaca jangka panjang,
dalam hubungannya dengan kondisi atmosfer. Klimatologi berasal dari bahasa Yunani
Klima dan Logos. Klima artinya kemiringan yang diarahkan ke lintang tempat sedangkan
Logos artinya ilmu. Sehingga Klimatologi data diartikan sebagai ilmu yang mencari
gambaran dan penjelasan sifat iklim, penyebab perbedaan iklim di bumi, dan juga
kaitannya dengan iklim dan aktivitasmanusia.
Iklim merupakan salah satu factor pembatas dalam proses pertumbuhan dan
produksi tanaman Jenis-jenis dan sifat-sifat ikim bias menentukan jenis-jenis tanaman
yang bias tumbuh dengan iklim tertentu. Oleh karena itu, iklim sangat berpengaruh di
bidang pertanian. Seiring dengan dengan semakin berkembangnya isu pemanasan global
dan akibatnya pada perubahan iklim, membuat sektor pertanian begitu terpukul. Tidak
teraturnya perilaku iklim dan perubahan awal musim dan akhir musim seperti musim
kemarau dan musim hujan membuat para petani begitu susah untuk merencanakan masa
tanam dan masa panen. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, hujan merupakan faktor
pembatas penting dalam pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian. Selain hujan,
unsur iklim lain yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah suhu, angin,
kelembaban dan sinar matahari.
Hujan adalah peristiwa jatuhnya titik air yang semula berupa uap air di udara
kepermukaan bumi dalam bentuk cair atau padat. Alat pengukur hujan dinamakan
penakar hujan. Jumlah curah hujan di Indonesia tidak merata dan paling banyak terjadi
selama angin muson barat bertiup.
Menurut Schmidt dan Fergusson iklim dibagi menjadi delapan tipe dengan perhitungan
Nilai Quatient (Q) dengan rumus (Nugroho,2007) :

Σbulan kering
𝑄= Σbulan basah
x100%

Untuk perhitungan bulan kering dan basah menggunakan skala Mohr sebagai
berikut :
1. Bulan kering yaitu bulan yang curah hujannya < 60 mm.
2. Bulan basah yaitu bulan yang curah hujannya > 100 mm.
3. Bulan lembab yaitu bulan yang curah hujannya antara 60 – 100 mm.
Sedangkan untuk penentuan nilai Q, bulan lembab dimasukan pada bulan basah.
Berdasarkan rasio nilai Q, maka Schmidt – Fergusson membagi iklim sebagai berikut :
Tabel 4. 1. Data Pembagian Nilai Q Menurut Schmidt=Fergusson

Tipe Besar Nilai Q (%) Ciri Ciri


A 0 - ≤ 14,3 Sangat basah, vegetasi hutan hujan tropis
B 14,3 - ≤ 33,3 Basah, vegetasi hutan hujan tropis
C 33,3 - ≤ 60 Agak basah, vegetasi hutan rimba, vegetasi meranggas
D 60 - ≤ 100 Sedang, vegetasi hutan musim
E 100 - ≤ 167 Agak kering, vegetasi hutan belantara (sabana)
F 167 - ≤ 300 Kering, vegetasi sabana
G 300 - ≤ 700 Sangat kering, vegetasi padang ilalang
H > 700 Ekstrim kering, vegetasi padang ilalang
Sumber : Data Klimatologi BMGTabel II.5
Tabel 4. 2. Intensitas Hujan Harian Rata Rata

Sumber : SK Mentri Kehutanan No.837/ KPTS/UM/II /1980 dan No.683/KPTS/UM/VII/1981

No Kelas Interval(mm/hr) Deskripsi Skor


1 I 0 – 13,6 Sangat rendah 10
2 II 13,6 – 20,7 Rendah 20
3 III 20,7 – 27,7 Sedang 30
4 IV 27,7 – 34,8 Tinggi 40
5 V >34,8 Sangat tinggi 50

4.1.2.8 Analisis Perkiraan Daya Tampung dan Daya Dukung Lahan


Daya tampung lahan sangat perlu diperhitungan karena untuk mendukung
perkembangan suatu wilayah dengan aktivitasnya dengan dinamika penduduk yang
berkembang maupun berpindah. Perhitungan daya tampung lahan diperkirakan melalui
serangkaian proses identifikasi daya tampung sesuai dengan pola asumsi-asumsi tertentu
yang mengacu pada fungsi pemanfaatan ruang. Adapun pendekatan yang digunakan
untuk memperkirakan daya tampung lahan wilayah perencanaan adalah asumsi-asumsi
sebagai berikut :
a. Sesuai dengan arahan fungsi kawasan maka komposisi antara lahan terbangun dengan
lahan tidak terbangun/ruang terbuka diarahkan dengan asumsi masing-masing
sebesar 70% : 30% dimana sebesar 30% merupakan pemanfaatan ruang terbuka yang
dimaksudkan untuk fungsi konservasi (daerah resapan dan tangkapan air,
perlindungan setempat) dalam bentuk ruang terbuka hijau (Privat 10 % dan Publik 30
%).
b. Asumsi penduduk pendatang yang nantinya akan terkait dengan kebutuhan daya
tampung untuk penyediaan kawasan peruntukan permukiman pada pembangunan
kawasan industri, sesuai Permenrin no.35 tahun 2010 maka jumlah proyeksi
penduduk pendatang (kawasan industri) pada masing-masing level pekerja di
kawasan industri adalah :
- Tenaga level manager 90 %
- Tenaga level staff 80 %
- Tenaga level buruh 60%
c. Dengan alokasi luas kapling mengikuti konsep perumahan berimbang yaitu dengan
pola kapling besar, kapling sedang, dan kapling kecil dengan perbandingan 1 : 3 : 6
dan luas kapling masing-masing diasumsikan sebesar 300m2 untuk kapling besar, 200
m2 untuk kapling sedang, dan 100 m2 untuk kapling kecil. Dengan demikian
didapatkan untuk setiap paketnya diperlukan perumahan sebesar 1.500 m2 {(300 m2 x
1) + (150 m2 x 3) + (100 m2 x 6)}
d. Diasumsikan setiap unit rumah dihuni oleh 1 KK dan jumlah penghuni rumah untuk
setiap KK diasumsikan sebanyak 4 jiwa/KK.

B. Daya Dukung Lahan


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, daya dukung adalah kemampuan lingkungan dalam menopang kehidupan manusia.
Daya dukung ini merupakan jumlah maksimum manusia yang dapat ditampung dengan
mempertimbangkan sumberdaya alam yang tersedia. Selain itu, daya dukung ini tidak
membolehkan adanya kerusakan lingkungan karena adanya pembangunan untuk
kehidupan manusia. Jika ada kerusakan, berarti daya dukung yang ada telah terlampaui.
Tiga hal yang menjadi faktor utama dan berpengaruh besar pada daya dukung
adalah banyaknya sumberdaya alam yang menopang kehidupan, jumlah populasi manusia,
dan banyak konsumsi sumberdaya per individu. Kemampuan alam dalam menerima
limbah yang dihasilkan juga menjadi salah satu daya dukung dari lingkungan yang
dibutuhkan. Maka daya dukung adalah bersifat dinamis dan dapat berkurang ataupun
bertambah jika dirusak atau dilestarikan.
LPm/JP
DPPm = α

Keterangan:
DDPm : Daya Dukung Permukiman
JP : Jumlah Proyeksi Penduduk
α : Koefisien Luas Kebutuhan Ruang/Kapita (m2 /Kapita) Menurut Peraturan
Menteri Negara Perumahan Rakyat No.II/PERMEN/M/2008 adalah 26 m2 untuk zona
perkotaan
LPm : Luas Lahan Yang Layak Untuk Permukiman (m2 )
4.1.2.9 Evaluasi Pemafaatan Lahan yang Ada Terhadap Kesesuaian Lahan
Wilayah perencanaan pada BWP Selatan Kawasan Perkotaan Kuala Tanjung
memerlukan arahan pembangunan yang sesuai dengan peruntukan fungsi kawasannya
agar tidak terjadi penyimpangan penggunaan lahan yang menyebabkan penurunan
kualitas pada lingkungan. Sehingga, pemanfaatan sumberdaya lahan wilayah perencanaan
dapat ditingkatkan dan dapat digunakan secara efektif dan efisien.
Dari proses analisa sumber daya alam dan fisik dasar ini akan dihasilkan kawasan lindung
dan kawasan budidaya yang merupakan arahan penggunaan lahan dan kegiatan menurut
fungsi peruntukan tanah sesuai dengan karakteristik dan sifat dasar di wilayah masing-
masing desa pada wilayah perencanaan. Maka dalam pengembangan potensi sumber daya
alam tersebut harus teridentifikasi penggunaan tanahnya untuk menghindari tumpang
tindih pemanfaatan sebagai kawasan lindung/budidaya.
Dalam analisis fisik wilayah, beberapa pertimbangan dalam menentukan kemampuan
lahan dan kesesuaian lahan dari pertimbangan penggunaan lahan eksisting dan beberapa
kondisi fisik wilayah diantaranya :
1. Karakteristik umum fisik wilayah (letak geografis, morfologi wilayah, dan sebagainya);
2. Potensi rawan bencana alam (longsor, banjir, tsunami, dan bencana alam geologi, dan
bencana alam lainnya);
3. Potensi sumber daya alam (mineral, batubara, migas, panas bumi, dan air tanah)

A. Kriteria Penentuan Fungsi Kawasan


Sesuai dengan UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan
pengembangan terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan
lindung yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup mencangkup sumber alam, sumberdaya buatan dan nilai
sejarah/budaya bangsa guna mensukseskan sistem pembangunan berkelanjutan.
Kawasan lindung di wilayah perencanaan pada dasarnya merupakan penetapan
fungsi kawasan agar wilayah yang harus dilindungi dan memiliki fungsi perlindungan
dapat dipertahankan guna menghindari kerusakan lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan dalam jangka panjang. Kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung ini
adalah kawasan yang memberikan perlindungan bawahnya, kawasan perlindungan
setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, cagar budaya dan ilmu
pengetahuan, dan kawasan rawan bencana, serta kawasan lindung lainnya.
Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk membudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya diwilayah perencanaan
meliputi kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran, industri, pariwisata,
ruang terbuka hijau dan non hijau, sektor informal, pendidikan, kesehatan, peribadatan,
serta keamanan dan keselamatan. Kriteria penentuan fungsi kawasan dirumuskan
berdasarkan keputusan Presiden No 32 tahun 1990tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung, Permen PUPR N0.08/Prt/M/2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Jaringan
Irigasi, Permen PUPR N0.28/Prt/M/2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai Dan
Garis Sempadan Danau, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang
Pedoman Teknis Kawasan Budidaya, Dan UU No 5 Tahun 1990Tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati Serta yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4. 3. Kriteria Penentuan Fungsi Kawasan Lindung
PERMEN PUPR
N0.08/PRT/M/2015
Tentang Penetapan
PERATURAN MENTERI Garis Sempadan
KEPPPRES NO. 32 TAHUN 1990 PEKERJAAN UMUM UU NO. 5 TAHUN 1990 Jaringan Irigasi dan
tentang Pengelolaan Kawasan NO.41/PRT/M/2007 tentang Konservasi Permen PUPR
Lindung Tentang Pedoman Teknis Sumberday Alam Hayati N0.28/Prt/M/2015
Kawasan Budidaya Tentang Penetapan
Garis Sempadan Sungai
Dan Garis Sempadan
Danau
Kawasan lindung meliputi : Faktor pembatas yang 1. Sumber daya alam hayati Dalam hal saluran
1. Kawasan yang memberikan digunakan untuk klasifikasi adalah unsur-unsur irigasi tidak
perlindungan kawasan ini adalah : hayati di alam yang bertanggulmempunyai
dibawahnya : a. Kemiringan Lereng terdiri dari sumber daya kedalaman kurang dari
a. Kawasan Lindung adalah - Kelas I = 0-8 % alam nabati (tumbuhan) 1 (satu) meter, jarak
kawasan yang ditetapkan (Datar) Nilai Skor 20 dan sumber daya alam garis sempadan
Nilai Skor
saluran
20
dengan fungsi utama - Kelas II = 8-15 % hewani (satwa) yang irigasi paling sedikit 1
melindungi kelestarian (Landai) Nilai Skor bersama dengan unsur (satu) meter. diukur
lingkungan hidup yang 40 non hayati di sekitarnya dari tepi luar parit
mencakup sumber daya alam - Kelas III = 15-25 % secara keseluruhan drainase di kanan dan
dan sumber daya buatan dan (Agak Curam)Nilai membentuk ekosistem. kiri saluran irigasi
nilai sejarah serta budaya Skor 60 2. Konservasi sumber daya
bangsa guna kepentingan - Kelas IV = 25-45 % alam hayati adalah Penentuan jarak garis
pembangunan yang (Curam) Nilai Skor pengelolaan sumber sempadan saluran
berkelanjutan. 80 daya alam hayati yang irigasi bertanggul,
b. Kawasan Hutan Lindung, - Kelas V = > 45 % pemanfaatannya diukur dari sisi luar
dengan kriteria : (Sangat curam) Nilai dilakukan secara kaki tanggul dengan
- Kawasan hutan dengan Skor 100 bijaksana untuk Jarak garis sempadan
faktor-faktor lereng b. Faktor jenis tanah menjamin paling sedikit sama
lapangan, jenis tanah, curah menurut kepekaannya kesinambungan dengan ketinggian
hujan yang melebihi skor terhadap erosi : persediaannya dengan tanggul saluran irigasi.
175 dan/atau; - Kelas I = Aluvial, tetap memelihara dan Jika tanggul
- Kawasan hutan yang tanah Glei, Planosol, meningkatkan kualitas mempunyai ketinggian
mempunyai lereng Hidromorf Kelabu, keanekaragaman dan kurang dari 1 (satu)
lapangan 40 % atau lebih; Laterik Air Tanah nilainya. meter, jarak garis
- Kawasan hutan yang (Tidak peka) Nilai 3. Ekosistem sumber daya sempadan saluran
mempunyai ketinggian di Skor 15 alam hayati adalah irigasi bertanggul
atas permukaan laut 2000 - Kelas II = Latosol sistem hubungan timbal paling sedikit 1 (satu)
meter atau lebih. (Agak peka) Nilai balik antara unsur dalam meter.
c. Kawasan Bergambut, dengan Skor 30 alam, baik hayati
kriteria yaitu tanah bergambut - Kelas III = Brown maupun non hayati yang jarak garis sempadan
yang memiliki ketebalan 3 Forest Soil,Non saling tergantung dan saluran irigasi yang
PERMEN PUPR
N0.08/PRT/M/2015
Tentang Penetapan
PERATURAN MENTERI Garis Sempadan
KEPPPRES NO. 32 TAHUN 1990 PEKERJAAN UMUM UU NO. 5 TAHUN 1990 Jaringan Irigasi dan
tentang Pengelolaan Kawasan NO.41/PRT/M/2007 tentang Konservasi Permen PUPR
Lindung Tentang Pedoman Teknis Sumberday Alam Hayati N0.28/Prt/M/2015
Kawasan Budidaya Tentang Penetapan
Garis Sempadan Sungai
Dan Garis Sempadan
Danau
meter atau lebih yang terdapat Caleic pengaruh terletak pada
di bagian hulu sungai dan Brown,Mediteran mempengaruhi. lereng/tebingdiukur
rawa; (Agak peka)Nilai 4. Tumbuhan adalah semua dari titik potong antara
d. Kawasan Resapan Air, dengan Skor 45 jenis sumber daya alam garis galian dengan
kriteria yaitu curah hujan - Kelas IV = Andosol nabati, baik yang hidup permukaan tanah asli
tinggi, struktur tanah yang Laterek, Grumosol, di darat maupun di air. untuk sisi lereng di atas
mudah meresapkan air dan Podsoil, Podsolic 5. Satwa adalah semua saluran dan sisi luar
bentuk geomorfologi yang (Peka)Nilai Skor 60 jenis sumber daya alam kaki tanggul untuk sisi
mampu meresapkan air hujan - Kelas V = Regosol, hewani yang hidup di lereng di bawah
secara besar-besaran. Litosol, Orgosol, darat, dan atau di air, saluran:
2. Kawasan Perlindungan Setempat Renzina (Sangat dan atau di udara.  Jarak garis
a. Kriteria sempadan pantai yaitu Peka) Nilai Skor 75 6. Tumbuhan liar adalah sempadan untuk sisi
daratan sepanjang tepian yang c. Faktor Intensitas Hujan tumbuhan yang hidup di lereng di atas
lebarnya proporsional dengan Harian : alam bebas dan atau saluran, paling
dan kondisi fisik pantai - Kelas I = s/d 13,6 dipelihara, yang masih sedikit sama dengan
minimal 100 meter dari titik mm/hari (sangat mempunyai kemurnian kedalaman galian
pasang tertinggi ke arah darat; rendah) Nilai Skor jenisnya. saluran irigasi.
b. Kriteria sempadan sungai yaitu 10 7. Satwa liar adalah semua  Jarak garis
: - Kelas II= 13,6-20,7 binatang yang hidup di sempadan untuk sisi
- Sekurang-kurangnya 100 mm/hari (rendah) Nilai darat, dan atau di air, lereng di bawah
meter dari kiri kanan Skor 20 dan atau di udara yang saluran, paling
sungai besar dan 50 meter - Kelas III= 20,7-27,7 masih mempunyai sifat- sedikit sama dengan
di kiri kanan sungai yang mm/hari (sedang) Nilai sifat liar, baik yang hidup ketinggian tanggul
berada di luar permukiman; Skor 30 bebas maupun yang saluran irigasi
- Untuk sungai di kawasan - Kelas IV= 27,7 34,8 dipelihara oleh manusia.
permukiman berupa mm/hari (tinggi) Nilai 8. Habitat adalah Garis sempadan pada
sempadan sungai yang Skor 40 lingkungan tempat sungai tidak bertanggul
diperkirakan cukup untuk - Kelas V = > 34,8 tumbuhan atau satwa di dalam kawasan
dibangun jalan inspeksi mm/hari (Sangat dapat hidup dan perkotaan
antara 10-15 meter. tinggi) Nilai Skor 50 berkembang secara ditentukan:
c. Kriteria kawasan sekitar danau Dengan menjumlahkan skor alami. a. paling sedikit
atau waduk yaitu daratan ketiga faktor tersebut maka 9. Kawasan suaka alam berjarak 10
sepanjang tepian danau atau dapat ditetapkan adalah kawasan dengan (sepuluh) meter dari
waduk yang lebarnya penggunaan lahan pada ciri khas tertentu, baik di tepi kiri dan kanan
proporsional dengan bentuk setiap kawasan adalah darat maupun di palung sungai
dan kondisi fisik danau/waduk sebagai berikut : perairan yang sepanjang alur
antara 50-100 meter dari titik A. Kawasan Lindung mempunyai fungsi sungai, dalam hal
pasang tertinggi ke arah darat. Areal dengan jumlah pokok sebagai kawasan kedalaman sungai
d. Kriteria kawasan sekitar mata nilai skor untuk pengawetan kurang dari atau
air yaitu sekurang-kurangnya kemampuan lahan sama keanekaragaman sama dengan 3 (tiga)
dengan jari-jari 200 meter di dengan atau lebih dari tumbuhan dan satwa meter;
sekitar mata air. 175. atau memenuhi serta ekosistemnya yang
3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar salah satu atau beberapa juga berfungsi sebagai b. paling sedikit
Budaya syarat berikut : wilayah sistem berjarak 15 (lima
a. Kriteria Cagar Alam adalah : - Mempunyai lereng penyangga kehidupan. belas) meter dari tepi
- Kawasan yang ditunjuk lapang >45 %; 10. Cagar alam adalah kiri dan kanan
mempunyai - Tanah sangat peka kawasan suaka alam palung sungai
keanekaragaman jenis terhadap erosi yaitu karena keadaan alamnya sepanjang alur
tumbuhan dan satwa dan jenis tanah Regosol, mempunyai kekhasan sungai, dalam hal
tipe ekosistemnya; Litosol, Organosol, tunbuhan, satwa, dan kedalaman sungai
- Mewakili formasi biota dan Renzine dengan ekosistemnya atau lebih dari 3 (tiga)
tertentu dan/atau unit-unit lereng >45 %; ekosistem tertentu yang meter sampai dengan
PERMEN PUPR
N0.08/PRT/M/2015
Tentang Penetapan
PERATURAN MENTERI Garis Sempadan
KEPPPRES NO. 32 TAHUN 1990 PEKERJAAN UMUM UU NO. 5 TAHUN 1990 Jaringan Irigasi dan
tentang Pengelolaan Kawasan NO.41/PRT/M/2007 tentang Konservasi Permen PUPR
Lindung Tentang Pedoman Teknis Sumberday Alam Hayati N0.28/Prt/M/2015
Kawasan Budidaya Tentang Penetapan
Garis Sempadan Sungai
Dan Garis Sempadan
Danau
penyusun; - Merupakan jalur perlu dilindungi dan 20 (dua puluh)
- Mempunyai kondisi alam, pengaman aliran perkembangannya meter; dan
baik biota maupun fisiknya sungai/air sekurang- berlangsung secara
yang masih asli dan tidak kurangnya 100 alami. c. paling sedikit
atau belum diaganggu meter di kiri kanan 11. Suaka margasatwa berjarak 30 (tiga
manusia; sungai/aliran air adalah kawasan suaka puluh) meter dari
- Mempunyai luas dan tersebut; alam yang mempunyai tepi kiri dan kanan
bentuk tertentu agar - Mempunyai ciri khas berupa palung sungai
mempunyai pengelolaan ketinggian 2000 keanekaragaman dan sepanjang alur
yag efektif dengan daerah meter di atas atau keunikan jenis sungai, dalam hal
penyangga yang cukup luas; permukaan air laut; satwa yang untuk kedalaman sungai
- Mempunyai ciri khas dan - Guna kelangsungan hidupnya lebih dari 20 (dua
dapat merupakan satu- keperluan/kepentin dapat dilakukan puluh) meter.
satunya contoh di suatu gan khusus dan pembinaan terhadap
daerah serta diterapkan oleh habitatnya. Garis sempadan sungai
keberadaannya pemerintah sebagai 12. Cagar biosfer adalah bertanggul di dalam
memerlukan konservasi. kawasan lindung. suatu kawasan yang kawasan
b. Kriteria Suaka Margasatwa, B. Kawasan Penyangga terdiri dari ekosistem perkotaanditentukan
yaitu : Areal dengan jumlah asli, ekosistem unik, dan paling sedikit berjarak
- Kawasan yang ditunjuk nilai skor untuk atau ekosistem yang 3 (tiga) meter dari tepi
merupakan tempat hidup kemampuan lahannya telah mengalami luar kaki tanggul
dan perkembangbiakkan 124-174 dan atau degradasi yang sepanjang alur sungai.
dari suatu jenis satwa yang memnuhi beberap keseluruhan unsur
perlu dilakukan upaya kriteria umum, sebagai alamnya dilindungi dan Garis sempadan mata
konservasinya; berikut : dilestarikan bagi air
- Memiliki keanekaragaman - Keadaan fisik areal kepentingan penelitian ditentukan mengelilingi
dan populasi satwa yang memungkinkan dan pendidikan. mata air paling sedikit
tinggi; untuk dilakukan 13. Kawasan pelestarian berjarak 200 (dua
- Merupakan tempat dan dan budidaya secara alam adalah kawasan ratus) meter dari pusat
kehidupan bagi jenis satwa ekonomis; dengan ciri khas mata air.
migran tertentu; - Lokasinya secara tertentu, baik di darat
- Mempunyai luas yang ekonomis mudah maupun di perairan yang Garis sempadan danau
cukup dan lapangannya dikembangkan mempunyai fungsi ditentukan mengelilingi
tidak membahayakan. sebagai kawasan perlindungan sistem danau paling sedikit
c. Kriteria Hutan Wisata penyangga; penyangga kehidupan, berjarak 50 (lima
- Kawasan yang ditunjuk - Tidak merugikan pengawetan puluh) meter dari tepi
memiliki keadaan yang segi-segi ekologi keanekaragaman jenis muka air tertinggi yang
menarik dan indah baik lingkungan. tumbuhan dan satwa, pernah terjadi.
secara alamiah maupun C. Kawasan Budidaya serta pemanfaatan
buatan manusia; Tanaman Tahunan secara lestari sumber
- Memenuhi kebutuhan Areal dengan jumlah daya alam hayati dan
manusia akan rekreasi dan nilai skor untuk ekosistemnya.
olah raga serta terletak kemampuan lahannya 14. Taman nasional adalah
dekat pusat-pusat 124 ke bawah serta kawasan pelesatarian
permukiman penduduk; cocok atau seharusnya alam yang mempunyai
- Mengandung satwa baru dikembangkan usaha ekosistem asli, dikelola
yang dapat tani tanaman tahunan dengan sistem zonasi
dikembangbiakkan (kayu-kayuan, tanaman yang dimanfaatkan
sehingga memungkinkan perkebunan dan untuk tujuan penelitian,
perburuan secara teratur tanaman industri). ilmu pengetahuan,
dengan mengutamakan segi Disamping itu areal pendidikan, menunjang
rekreasi, olah raga dan tersebut harus budidaya, pariwisata,
PERMEN PUPR
N0.08/PRT/M/2015
Tentang Penetapan
PERATURAN MENTERI Garis Sempadan
KEPPPRES NO. 32 TAHUN 1990 PEKERJAAN UMUM UU NO. 5 TAHUN 1990 Jaringan Irigasi dan
tentang Pengelolaan Kawasan NO.41/PRT/M/2007 tentang Konservasi Permen PUPR
Lindung Tentang Pedoman Teknis Sumberday Alam Hayati N0.28/Prt/M/2015
Kawasan Budidaya Tentang Penetapan
Garis Sempadan Sungai
Dan Garis Sempadan
Danau
kelestarian satwa; memenuhi kriteria dan rekreasi.
- Mempunyai luas yang umum untuk kawasan 15. Taman hutan raya
cukup dan lapangan yang penyangga. adalah kawasan
tidak membahayakan. D. Kawasan Budidaya pelestarian alam untuk
Tanaman Semusim tujuan koleksi tumbuhan
d. Kriteria Daerah Perlindungan Setahun dan atau satwa yang
Plasma Nutfah Areal dengan kriteria alami atau buatan, jenis
 Areal yang ditunjuk seperti dalam penetapan asli dan atau bukan asli,
memiliki jenis plasma kawasan budidaya yang dimanfaatkan bagi
nutfah tertentu belum tanaman tahunan akan kepentingan penelitian,
terdapat di dalam tetapi areal tersebut ilmu pengetahuan,
kawasan konservasi yang cocok atau seharusnya pendidikan, menunjang
telah ditetapkan; dikembangkan usaha budidaya, budaya,
 Merupakan areal tempat tani tanaman pariwisata dan rekreasi.
pemindahan satwa yang semusim/setahun. 16. Taman wisata alam
merupakan tempat E. Kawasan Permukiman adalah kawasan
kehidupan baru bagi Areal yang memenuhi pelestarian alam yang
satwa tersebut; kriteria budidaya cocok terutama dimanfaatkan
 Mempunyai luas yang untuk areal permukiman untuk pariwisata dan
cukup dan lapangan yang serta secara mikro rekreasi alam.
tidak membahayakan mempunyai kelerengan
e. Kriteria Daerah Pengungsian 0-8 %.
Satwa
 Areal yang ditunjuk
merupakan wilayah
kehidupan satwa yang
sejak semula menghuni
areal tersebut;
 Mempunyai luas tertentu
yang memungkinkan
berlangsungnya proses
hidup dan kehidupan
serta berkembangbiaknya
satwa tersebut.
f. Kawasan Rawan Bencana
Adalah kawasan yang
diidentifikasi sering dan
berpotensi tinggi mengalami
bencana alam seperti letusan
gunung berapi, gempa bumi
dan tanah longsor.
Sedangkan Untuk ruang beba dan jarak bebas minimum pada saluran udara tegangan
tinggi, saluran udara tegangan ekstra tinggi dan saluran udara tegangan ekstra tinggi arus
seaarah untuk penyaluran tenaga listrik diatur dalam peraturan menteri Energi dan
Sumberdaya Mineral No 18 tahun 2015 dengan ketentuan sebagai berikut :
Tabel 4. 4. Jarak Bebas Minimum Vertikal dari Konduktor

Tabel 4. 5. Jarak Bebas Minimum dari sumbu vertikal Menara/tiang Pada SUTT,
SIUTET dan SUTTAS

C. Analisa Kemampuan Lahan


Kemampuan lahan adalah penilaian atas kemampuan lahan untuk penggunaan
tertentu yang dinilai dari masing-masing faktor penghambat (Penggunaan lahan yang
tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak dikuti dengan usaha konservasi tanah yang
baik akan mempercepat terjadi erosi. Analisis kemampuan lahan merupakan analisis yang
ditujukan utntuk mengetahui kemampuan potensi dan kemampuan lahan. Terdapat
faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penentuan kawasan lindung yaitu meliputi
tingkat kelerengan lahan, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi, dan intensitas
curah hujan.
1. Kelerangan Lahan
Klasifikasi kelerengan dan skor dapat dilihat pada Tabel 4.6 sebagai berikut:
Tabel 4. 6 Klasifikasi Kelerengan

Kelas Kelerengan Klasifikasi Nilai Skor


I 0 - 8% Datar 20
II 8 – 15% Landai 40
III 15 – 25% Agak Curam 60
IV 25 – 40% Curam 80
V .> 40% Sangat Curam 100
Sumber: SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No.
683/Kpts/Um/8/1981
Keterangan:
a. Tanah kelerengan 0-8 % atau kelerengan tingkat I dapat digunakan secara
intensif dengan pengolahan yang kecil.
b. Tanah kelerengan 8-15 % atau kelerengan tingkat II (landai), dapat untuk
kegiatan permukiman dan pertanian, tetapi jika terjadi kesalahan dalam
pengolahannya kemungkinan akan terjadi erosi.
c. Tanah kelerengan 15-25 % atau kelerengan tingkat III (agak curam),dapat
berpotensi erosi lebih besar daripada kelerengan tingkat II.
d. Tanah kelerengan 25-40 % atau kelerengan tingkat IV (curam), dapat
digunakan menutupi permukaan tanah di tebing, maka lereng akan mudah
terjadi erosi.
e. Tanah kelerengan > 40 % atau kelerengan tingkat V (sangat curam), ini sangat
peka terhadap terjadinya erosi, kegiatan yang dilakukan harus bersifat non
budidaya.
2. Jenis Tanah menurut Kepekaan terhadap Erosi
Jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi memiliki klasifikasi dan nilai
skor seperti pada Tabel 4.9.
Tabel 4. 7 Jenis Tanah menurut Kepekaan terhadap Erosi

Nilai
Kelas Jenis Tanah Klasifikasi
Skor
I Aluvial, Glei, Planosol, Hidromerf, Laterik air Tidak Peka 15
tanah
II Latosol Kurang Peka 30
III Brown forest soil, non calcic brown mediteran Agak Peka 45
IV Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolic Peka 60
V Regosol, Litosol, Organosol, Rensina Sangat Peka 75
Sumber: SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No.
683/Kpts/Um/8/1981
3. Intensitas hujan harian rata-rata
Intensitas hujan rata-rata memiliki klasifikasi dan nilai skor seperti pada Tabel
3.3
Tabel 4. 8 Intensitas Hujan Harian rata-rata

Intensitas Hujan
Kelas Klasifikasi Nilai Skor
(mm/hari)
I 0 - 13,6 Sangat Rendah 10
II 13,6 – 20,7 Rendah 20
III 20,7 – 27,7 Sedang 30
IV 27,7 – 34,8 Tinggi 40
V >34,8 Sangat Tinggi 50
Sumber: SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No.
683/Kpts/Um/8/1981
Sedangkan terdapat kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan hutan
produksi menurut Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 yaitu
sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung
Kawasan lindung merupakan suatu wilayah dengan keadaan sumber daya alami
baik flora maupun fauna seperti hutan lindung, hutan suaka, hutan wisata, daerah
sekitar mata air, alur sungai, dan kawasan lindung lainnya yang diatur dalam
Kepres 32 Tahun 1990. Suatu areal ditetapkan sebagai kawasan fungsi lahan, jika
besarnya skor kemampuan lahannya ≥175, beberapa syarat sebagai berikut:
a. Mempunyai kemiringan lahan > 40%
b. Jenis tanahnya sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah Regosol, Litosol,
Organosol, dan Renzine dengan kemiringan lapangan > 15%
c. Jalur pengaman aliran sungai/air sekurang-kurangnya 100 meter di kiri-
kanan sungai besar dan 50 meter kiri-kanan anak sungai
d. Perlindungan mata air sekurang-kurangnya radius 200 meter di sekeliling
mata air
e. Perlindungan danau/waduk, yaitu 50-100 meter di sekeliling danau/waduk
f. Mempunyai ketinggian 2000 meter di atas permukaan air laut
g. Merupakan kawasan Taman Nasional yang lokasinya telah ditetapkan oleh
pemerintah
h. Memiliki guna keperluan/kepentingan khusus dan ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kawasan lindung.
2. Kawasan Penyangga
Kawasan penyangga merupakan suatu wilayah yang memiliki fungsi lindung dan
fungsi budidaya, seperti hutan produksi terbatas, perkebunan (tanaman keras),
kebun campuran dan lainnya yang sejenisnya. Kawasan penyangga memiliki
beberapakriteria sebagai berikut:
a. Areal dengan jumlah bobot untuk kemampuan lahannya 124-174
b. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara
ekonomis
c. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan
penyangga
d. Tidak merugikan segi-segi ekologi lingkungan
3. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Kawasan budidaya tanaman tahunan merupakan kawasan budidaya yang
diusahakan dengan tanaman tahunan seperti hutan produksi tetap, hutan tanaman
industri, hutan rakyat, perkebunan (tanaman keras), dan tanaman buah-buahan.
Kawasan budidaya tanaman tahunan memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Areal dengan jumlah bobot untuk kemampuan lahannya ≤ 124
b. Tingkat kemiringan lahan 15-40% serta cocok dikembangkan sebagai usaha
tani tanaman tahunan seperti kayu-kayuan, tanaman perkebunan, dan
tanaman industri.
c. Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budidaya secara
ekonomis
d. Lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan
penyangga
e. Tidak merugikan segi-segi ekologi lingkungan
4. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim dan Permukiman
Kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman merupakan kawasan yang
memiliki fungsi budidaya dan diusahakan untuk tanaman semusim terutama
tanaman pangan. Dalam pemilihan jenis komoditas harus mempertimbangkan
kesesuaian fisik terhadap komoditi yang akan dikembangkan. Kawasan budidaya
tanaman semusim dan permukiman memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Areal dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tanaman
tahunan tetapi areal tersebut cocok atau seharusnya dikembangkan usaha tani
tanaman semusim/setahun
b. Nilai kemampuan lahan maksimal 124 dan kemiringan tidak lebih dari 8%
Kawasan permukiman merupakan areal yang memenuhi kriteria budidaya sehingga
cocok sebagai areal permukiman serta secara mikro mempunyai kelerengan 0-8%

D. Analisa Kesesuaian Lahan


Analisa kesesuaian lahan disini meliputi penetapan fungsi kawasan berdasarkan
penentuan fungsi kawasan yang dikeluarkan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman Teknis Kawasan Budidaya yang didukung pula
dengan SK Mentan no 837/KPTS/1980 dan penetapan kawasan lindung berdasarkan
Kepres no 32 tahun 1990. Berikut ini diuraikan analisa kesesuaian lahan berdasarkan
pendekatan Fungsi Kawasan Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman Teknis Kawasan Budidaya yang didukung pula
dengan SK Mentan no 837/KPTS/1980
Pelaksanaan analisis ini dibagi menjadi beberapa tahapan yang meliputi,
penentuan ciri lahan dan penentuan sifat lokasi yang ada hubungannya dan dapat
dianalisis tanpa memerlukan usaha-usaha yang besar. Ciri ini disebut karakteristik lahan
dan meliputi keterangan mengenai keadaan tanah, topografi, iklim dan sifat lain yang
berhubungan pada kawasan lindung.
Analisa ini dilakukan dengan tujuan mengatur peruntukan tanah yang sesuai dalam
pelestarian dan menjaga tingkat bahaya erosi, agar tidak melebihi batas ambang. Adapun
elemen yang terkait dalam penetuan fungsi kawasan dapat diurankan berikut ini :
 Topografi : Untuk melihat sisi kelerengan/ketinggian lahan
 Jenis tanah : Kepekaan tanah terhadap bahaya erosi dan tanah longsor
 Iklim/curah hujan : Identifikasi curah hujan, sehingga diketahui kapasitas
hujan
2.1.1.1.1 Evaluasi Sumber Daya Lahan
- Penentuan zone-zone penggunaan lahan
- Menggunakan unit lahan sebagai unit analisis

Karakteristik Lahan Yang di Analisa

Kemiringan Lereng Kondisi Tanah Keadaan Iklim

2.1.1.1.1.1.1.1 P
e

< 75 75 - 125 125 - 175 < 175


Kawasan Budidaya Tanaman Kawasan Budidaya Kawasan Penyangga Kawasan Lindung
Semusim / Tahunan Tanaman Tahunan

Gambar 4. 3. Proses Evaluasi Sumber Daya Lahan

Sedangkan nilai untuk bobot pada setiap variabel diatas disajikan dalam penjelasan
berikut:
 Topografi
Diwilayah-wilayah yang terjal dan pada bagian hulu daerah aliran sungai, topografi
memegang peranan penting dan paling besar pengaruhnya terhadap kemungkinan
terjadinya erosi bila dibandingkan dalam prosentase kemiringan dan dilihat
berdasarkan sudut kemiringan. Dalam pengertian tersebut digunakan kriteria
berdasarkan ketentuan direktorat tata guna tanah departemen dalam negeri, yaitu :
 Kelerengan 0 – 8 % atau kelerengan tingkat I, lahan dengan kemiringan lereng
ini dapat digunakan secara intensif dengan pengelolaan yang kecil.
 Kelerengan 8 15 % atau kelerengan dengan tingkat II (landai), pada lahan
tersebut dapat digunakan sebagai kegiatan permukiman dan pertanian tapi
harus memperhatikan proses pengelolaan tanah dan kontruksi untuk
menghindari terjadinya bahaya erosi.
 Kelerengan 15 – 25 % atau kelerengan tingkat III (agak curam), kemungkinan
terjadi erosi lebih besar dibanding dengan kelerengan sebelumnya.
 Kelerengan 25 -45 % atau kelerengan tingkat IV (curam), jika pertumbuhan atau
perkembangan tanaman keras diperlukan tanah kurang, maka akan mudah
terjadi erosi/tanah longsor.
 Kelerengan 45% atau kelerengan tingkat V (sangat curam), kelerengan tersebut
sangat peka terhadap erosi, sehingga kegiatan yang harus diprioritaskan adalah
kawasan lindung/rawan bencana.

Tabel 4. 9. Skoring Pada Variabel Topografi/kelerengan
KELAS KELERENGAN NILAI/BOBOT
I 0 % - 8 % (datar) 20
II 8 % - 15 % (landai) 40
III 15 % - 25 % (curam) 60
IV 25 % - 45 % (agak curam) 80
V > 45 % (sangat curam) 100
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007
Tentang Pedoman Teknis Kawasan Budidaya yang didukung pula
dengan SK Mentan no 837/KPTS/1980

 Jenis Tanah
Jenis tanah merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan dan tanah terbagi
dalam beberapa golongan berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi. Berdasarkan
surat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman
Teknis Kawasan Budidaya yang didukung pula dengan SK Mentan no
837/KPTS/1980, tentang kriteria cara penetapan hutan lindung, dimana bentuk
klasifikasi ini berdasarkan kepekaan tanah terhadap erosi dan telah diberikan nilai
bobot.
Tabel 4. 10. Skoring Pada Variabel Jenis Tanah
TINGKAT
KELAS JENIS TANAH NILAI
KEPEKAAN
I Aluvial, Tanah Glei, Planosal, Tidak peka 15
Hidromorf kelabu, Latorik air
tanah
II Latosol Kurang peka 30
III Brown forest soil, Noncolcic Agak peka 45
brown, Mediteran
IV Andosol, Loterik, Gromosol, Peka 60
Potsol, Padsolik
V Regosol, Litosol, Orgosol, Rezina Sangat peka 75
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman
Teknis Kawasan Budidaya
 Curah Hujan
Bagi daerah beriklim basah, komponen iklim sangat berpengaruh terhadap
kerusakan tanah adalah curah hujan, yang menyebabkan pengikisan dan
pengangkutan tanah (erosi) maupun pencucian unsur-unsur hara (top soil) yang
diperlukan tanaman.
Tabel 4. 11. Skoring Pada Variabel Intensitas Hujan Harian Rata – Rata

NILAI
KELAS INTENSITAS HUJAN KLASIFIKASI
BOBOT
I < 13.6 mm/Hari Sangat Rendah 10
II 13.6-20.7 mm/Hari Rendah 20
III 20.7-27.77 mm/hari Sedang 30
IV 27.7-34.8 mm/hari Tinggi 40
V > 34.8 mm/hari Sangat Tinggi 50
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
837/KPTS/UM/1980
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/Prt/M/2007 Tentang Pedoman
Teknis Kawasan Budidaya,penentuan kawasan budidaya dikelompokkan berdasarkan
fungsi utama, kriteria umum, dan kaidah perencanaansebagai berikut:
1. Kawasan peruntukan hutan produksi
Kawasan peruntukan hutan produksi meliputi hutan produksi tetap, hutan
produksiterbatas, dan hutan produksi yang dikonversi.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan hutan produksi memiliki fungsi antara lain:
1) Penghasil kayu dan bukan kayu;
2) Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya;
3) Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat;
4) Sumber pemasukan dana bagi Pemerintah Daerah (dana bagi hasil)sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk
kepentinganpembangunan di luar kehutanan harus memenuhi ketentuan
sebagaiberikut:
 Tidak mengubah fungsi pokok kawasan peruntukan hutan produksi;
 Penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk
kepentinganpertambangan dilakukan melalui pemberian ijin pinjam pakai
olehMenteri terkait dengan memperhatikan batasan luas dan jangkawaktu
tertentu serta kelestarian hutan/lingkungan;
 Penggunaan kawasan peruntukan hutan produksi untuk
kepentinganpertambangan terbuka harus dilakukan dengan ketentuan
khususdan secara selektif.
2) Ketentuan pokok tentang status dan fungsi hutan; pengurusan hutan;perencanaan
hutan; dan pengelolaan hutan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan;
3) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi mencakuptentang
kegiatan pemanfaatan kawasan, kegiatan pemanfaatan jasalingkungan, kegiatan
pemanfaatan hasil kayu dan atau bukan kayu, dankegiatan pemungutan hasil kayu
dan atau bukan kayu;
4) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi harusterlebih dahulu
memiliki kajian studi Analisis Mengenai DampakLingkungan (AMDAL) yang
diselenggarakan oleh pemrakarsa yangdilengkapi dengan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) danRencana Pengelolaan Lingkungan (RKL);
5) Cara pengelolaan produksi hutan yang diterapkan harus didasarkankepada
rencana kerja yang disetujui Dinas Kehutanan dan atauDepartemen Kehutanan,
dan pelaksanaannya harus dilaporkan secaraberkala. Rencana kerja tersebut
harus memuat juga rencana kegiatanreboisasi di lokasi hutan yang sudah
ditebang;
6) Kegiatan di kawasan peruntukan hutan produksi harus diupayakan untuktetap
mempertahankan bentuk tebing sungai dan mencegah sedimentasike aliran
sungai akibat erosi dan longsor;
7) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi harusdiupayakan
untuk menyerap sebesar mungkin tenaga kerja yang berasaldari masyarakat lokal;
8) Kawasan peruntukan hutan produksi dapat dimanfaatkan untukkepentingan
pembangunan di luar sektor kehutanan sepertipertambangan, pembangunan
jaringan listrik, telepon dan instalasi air,kepentingan religi, serta kepentingan
pertahanan dan keamanan;
9) Kegiatan pemanfaatan kawasan peruntukan hutan produksi wajibmemenuhi
kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari yangmencakup aspek
ekonomi, sosial, dan ekologi;
10) Pemanfaatan ruang beserta sumber daya hasil hutan di kawasanperuntukan hutan
produksi harus diperuntukan untuk sebesar-besarnyabagi kepentingan negara
dan kemakmuran rakyat, dengan tetapmemelihara sumber daya tersebut sebagai
cadangan pembangunanyang berkelanjutan dan tetap menjaga kelestarian fungsi
hutan sebagaidaerah resapan air hujan serta memperhatikan kaidah-kaidah
pelestarianfungsi lingkungan hidup.
2. Kawasan peruntukan pertanian
Kegiatan kawasan peruntukan pertanian meliputi pertanian tanaman pangan danpalawija,
perkebunan tanaman keras, peternakan, perikanan air tawar, danperikanan laut.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan pertanian memiliki fungsi antara lain:
1) Menghasilkan bahan pangan, palawija, tanaman keras, hasil peternakandan
perikanan;
2) Sebagai daerah resapan air hujan untuk kawasan sekitarnya;
3) Membantu penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang perencanaan dan penyelenggaraan budi dayatanaman;
serta tata ruang dan tata guna tanah budidaya tanamanmengacu kepada Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang SistemBudi Daya Tanaman;
2) Ketentuan pokok tentang kegiatan perencanaan perkebunan;penggunaan tanah
untuk usaha perkebunan; serta pemberdayaan danpengelolaan usaha perkebunan
mengacu kepada Undang-UndangNomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
3) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan pertanian harus diperuntukanuntuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memeliharasumber daya
tersebut sebagai cadangan pembangunan yangberkelanjutan dan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsilingkungan hidup;
4) Ketentuan pokok tentang pemakaian tanah dan air untuk usahapeternakan; serta
penertiban dan keseimbangan tanah untuk ternakmengacu kepada Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan;
5) Ketentuan pokok tentang wilayah pengelolaan perikanan; pengelolaanperikanan;
dan usaha perikanan mengacu kepada Undang-UndangNomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
6) Penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian tanaman harusmemanfaatkan potensi
tanah yang sesuai untuk peningkatan kegiatanproduksi dan wajib memperhatikan
aspek kelestarian fungsi lingkunganhidup dan mencegah kerusakannya;
7) Kawasan pertanian tanaman lahan basah dengan irigasi teknis tidakboleh
dialihfungsikan;
8) Kawasan pertanian tanaman lahan kering tidak produktif dapatdialihfungsikan
dengan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh pemerintahdaerah setempat dan
atau oleh Departemen Pertanian;
9) Wilayah yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifiklokasi
dilindungi kelestariannya dengan indikasi ruang;
10) Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya denganindikasi
geografis dilarang dialihfungsikan;
11) Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan),baik yang
menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif harusterlebih dahulu memiliki
kajian studi Amdal;
12) Penanganan limbah pertanian tanaman (kadar pupuk dan pestisida yangterlarut
dalam air drainase) dan polusi industri pertanian (udara-bau danasap, limbah
cair) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKLyang disertakan dalam
dokumen Amdal;
13) Penanganan limbah peternakan (kotoran ternak, bangkai ternak, kulitternak, bulu
unggas, dsb) dan polusi (udara-bau, limbah cair) yangdihasilkan harus disusun
dalam RPL dan RKL yang disertakan dalamdokumen Amdal;
14) Penanganan limbah perikanan (ikan busuk, kulit ikan/udang/kerang) danpolusi
(udara-bau) yang dihasilkan harus disusun dalam RPL dan RKLyang disertakan
dalam dokumen Amdal;
15) Kegiatan pertanian skala besar (termasuk peternakan dan perikanan),harus
diupayakan menyerap sebesar mungkin tenaga kerja setempat;
16) Pemanfaatan dan pengelolaan lahan harus dilakukan berdasarkankesesuaian
lahan;
17) Upaya pengalihan fungsi lahan dari kawasan pertanian lahan kering
tidakproduktif (tingkat kesuburan rendah) menjadi peruntukan lain
harusdilakukan tanpa mengurangi kesejahteraan masyarakat.
3. Kawasan peruntukan pertambangan
Sesuai dengan ketentuan pasal 4 (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dinyatakan bahwakewenangan pemerintah
daerah atas bahan galian mencakup atas bahan galianC yang meliputi penguasaan dan
pengaturan usaha pertambangannya. Untukbahan galian strategis golongan A dan vital
atau golongan B, pelaksanaannyadilakukan oleh Menteri. Khusus bahan galian golongan B,
pengaturan usahapertambangannya dapat diserahkan kepada pemerintah daerah
provinsi.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan pertambangan memiliki fungsi antara lain:
1) Menghasilkan barang hasil tambang yang meliputi minyak dan gas bumi,bahan
galian pertambangan secara umum, dan bahan galian C;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja;
3) Sumber pemasukan dana bagi Pemerintah Daerah (dana bagi hasil)sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat danPemerintah Daerah.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang penggolongan pelaksanaan penguasaan bahangalian;
bentuk dan organisasi perusahaan pertambangan; usahapertambangan; kuasa
pertambangan; dan hubungan kuasapertambangan dengan hak-hak tanah
mengacu kepada Undang-UndangNomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan PokokPertambangan;
2) Ketentuan pokok tentang penguasaan dan pengusahaan; kegiatan usahahulu;
kegiatan usaha hilir; hubungan kegiatan usaha minyak dan gasbumi dengan hak
atas tanah; serta pembinaan dan pengawasanmengacu kepada Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyakdan Gas Bumi;
3) Pemanfaatan ruang beserta sumber daya tambang dan galian di
kawasanperuntukan pertambangan harus diperuntukan untuk sebesar-
besarnyakemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber daya
tersebutsebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan
tetapmemperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup;
4) Setiap kegiatan pertambangan harus memberdayakan masyarakat dilingkungan
yang dipengaruhinya guna kepentingan dan kesejahteraanmasyarakat setempat;
5) Kegiatan pertambangan ditujukan untuk menyediakan bahan baku bagiindustri
dalam negeri dan berbagai keperluan masyarakat, sertameningkatkan ekspor,
meningkatkan penerimaan negara danpendapatan daerah serta memperluas
lapangan pekerjaan dankesempatan usaha;
6) Kegiatan pertambangan harus terlebih dahulu memiliki kajian studi Amdalyang
dilengkapi dengan RPL dan RKL;
7) Kegiatan pertambangan mulai dari tahap perencanaan, tahap ekplorasihingga
eksploitasi harus diupayakan sedemikian rupa agar tidakmenimbulkan
perselisihan dan atau persengketaan dengan masyarakatsetempat;
8) Rencana kegiatan eksploitasi harus disetujui oleh dinas pertambangansetempat
dan atau oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,dan pelaksanaannya
dilaporkan secara berkala;
9) Pada lokasi kawasan pertambangan fasilitas fisik yang harus tersediameliputi
jaringan listrik, jaringan jalan raya, tempat pembuangan sampah,drainase, dan
saluran air kotor.
4. Kawasan peruntukan permukiman
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan permukiman memiliki fungsi antara lain:
1) Sebagai lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukungperi
kehidupan dan penghidupan masyarakat sekaligus menciptakaninteraksi sosial;
2) Sebagai kumpulan tempat hunian dan tempat berteduh keluarga sertasarana bagi
pembinaan keluarga.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang perumahan, permukiman, peran masyarakat,dan
pembinaan perumahan dan permukiman nasional mengacu kepadaUndang-
Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan danPermukiman dan Surat
Keputusan Menteri Permukiman dan PrasaranaWilayah Nomor
217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan StrategiNasional Perumahan dan
Permukiman (KSNPP);
2) Pemanfaatan ruang untuk kawasan peruntukan permukiman harussesuai dengan
daya dukung tanah setempat dan harus dapatmenyediakan lingkungan yang sehat
dan aman dari bencana alam sertadapat memberikan lingkungan hidup yang
sesuai bagi pengembanganmasyarakat, dengan tetap memperhatikan kelestarian
fungsi lingkunganhidup;
3) Kawasan peruntukan permukiman harus memiliki prasarana jalan danterjangkau
oleh sarana tranportasi umum;
4) Pemanfaatan dan pengelolaan kawasan peruntukan permukiman harusdidukung
oleh ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum (pasar, pusatperdagangan dan
jasa, perkantoran, sarana air bersih, persampahan,penanganan limbah dan
drainase) dan fasilitas sosial (kesehatan,pendidikan, agama);
5) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada;
6) Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
7) Dalam hal kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun(lisiba),
penetapan lokasi dan penyediaan tanah; penyelenggaraanpengelolaan; dan
pembinaannya diatur di dalam Peraturan PemerintahNomor 80 Tahun 1999
tentang Kawasan Siap Bangun dan LingkunganSiap Bangun yang Berdiri Sendiri.
5. Kawasan peruntukan industri
Sebagian atau seluruh bagian kawasan peruntukan industri dapat dikelola olehsatu
pengelola tertentu. Dalam hal ini, kawasan yang dikelola oleh satu pengelolatertentu
tersebut disebut kawasan industri.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan industri memiliki fungsi antara lain:
1) Memfasilitasi kegiatan industri agar tercipta aglomerasi kegiatan produksidi satu
lokasi dengan biaya investasi prasarana yang efisien;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja;
3) Meningkatkan nilai tambah komoditas yang pada gilirannya meningkatkanProduk
Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah yang bersangkutan;
4) Mempermudah koordinasi pengendalian dampak lingkungan yangmungkin
ditimbulkan.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang pengaturan, pembinaan dan pengembanganindustri;
serta izin usaha industri mengacu kepada Undang-UndangNomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian;
2) Pemanfaatan kawasan peruntukan industri harus sebesar-besarnyadiperuntukan
bagi upaya mensejahterakan masyarakat melaluipeningkatan nilai tambah dan
peningkatan pendapatan yang terciptaakibat efisiensi biaya investasi dan proses
aglomerasi, dengan tetapmempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup;
3) Jenis industri yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangankerja dan
dapat meningkatkan kualitas sumber daya masyarakatsetempat. Untuk itu jenis
industri yang dikembangkan harus memilikihubungan keterkaitan yang kuat
dengan karakteristik lokasi setempat,seperti kemudahan akses ke bahan baku dan
atau kemudahan akseske pasar;
4) Kawasan peruntukan industri harus memiliki kajian Amdal, sehinggadapat
ditetapkan kriteria jenis industri yang diizinkan beroperasi dikawasan tersebut;
5) Untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan, di dalamkawasan
peruntukan industri dapat dibentuk suatu perusahaan kawasanindustri yang
mengelola kawasan industri;
6) Ketentuan tentang kawasan industri diatur tersendiri melalui KeputusanPresiden
Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri dan SuratKeputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 50/M/SK/1997 tentang Standar Teknis
Kawasan Industri yang mengatur beberapaaspek substansi serta hak dan
kewajiban Perusahaan Kawasan Industri,Perusahaan Pengelola Kawasan Industri,
dan Perusahaan Industri dalampengelolaan Kawasan Industri;
7) Khusus untuk kawasan industri, pihak pengelola wajib menyiapkan kajianstudi
Amdal sehingga pihak industri cukup menyiapkan RPL dan RKL.
6. Kawasan peruntukan pariwisata
Jenis obyek wisata yang diusahakan dan dikembangkan di kawasan peruntukanpariwisata
dapat berupa wisata alam ataupun wisata sejarah dan konservasibudaya.
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan pariwisata memiliki fungsi antara lain:
1) Memperkenalkan, mendayagunakan, dan melestarikan nilai-nilai sejarah/budaya
lokal dan keindahan alam;
2) Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja yang pada gilirannya
dapatmeningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah yang bersangkutan.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Ketentuan pokok tentang pengaturan, pembinaan dan pengembangankegiatan
kepariwisataan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 9Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan;
2) Kegiatan kepariwisataan diarahkan untuk memanfaatkan potensikeindahan alam,
budaya, dan sejarah di kawasan peruntukan pariwisataguna mendorong
perkembangan pariwisata dengan memperhatikankelestarian nilai-nilai budaya,
adat istiadat, mutu dan keindahanlingkungan alam serta kelestarian fungsi
lingkungan hidup;
3) Kegiatan kepariwisataan yang dikembangkan harus memiliki hubunganfungsional
dengan kawasan industri kecil dan industri rumah tangga sertamembangkitkan
kegiatan sektor jasa masyarakat;
4) Pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya untuk
kepentinganpariwisata, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan
danagama harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan bangunan
cagarbudaya tersebut. Pemanfaatan tersebut harus memiliki izin dariPemerintah
Daerah dan atau Kementerian yang menangani bidangkebudayaan;
5) Pengusahaan situs benda cagar budaya sebagai obyek wisatadiharapkan dapat
membantu memenuhi kebutuhan dana bagipemeliharaan dan upaya pelestarian
benda cagar budaya yangbersangkutan;
6) Ketentuan tentang penguasaan, pemilikan, pengelolaan, danpemanfaatan benda-
benda cagar budaya diatur dalam Undang-UndangNomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya dan PeraturanPemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang
Pelaksanaan Undang-UndangNomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
7) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan pariwisata harusdiperuntukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetapmemelihara sumber daya
tersebut sebagai cadangan pembangunanyang berkelanjutan dan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah pelestarianfungsi lingkungan hidup;
8) Pada kawasan peruntukan pariwisata, fasilitas fisik yang harus tersediameliputi
jaringan listrik, telepon, jaringan jalan raya, tempat pembuangansampah, drainase,
dan saluran air kotor;
9) Harus memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksiseperti
kawasan pertanian, perikanan, dan perkebunan;
10) Harus bebas polusi;
11) Pengelolaan dan perawatan benda cagar budaya dan situs adalahtanggung jawab
Pemerintah/Pemerintah Daerah;
12) Setiap orang dilarang mengubah bentuk dan atau warna, mengambilatau
memindahkan benda cagar budaya dari lokasi keberadaannya.
7. Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa
a. Fungsi utama
Kawasan peruntukan perdagangan dan jasa memiliki fungsi antara lain:
1) Memfasilitasi kegiatan transaksi perdagangan dan jasa antar masyarakatyang
membutuhkan (sisi permintaan) dan masyarakat yang menjual jasa(sisi
penawaran);
2) Menyerap tenaga kerja di perkotaan dan memberikan kontribusi yangdominan
terhadap PDRB.
b. Kriteria umum dan kaidah perencanaan:
1) Peletakan bangunan dan ketersediaan sarana dan prasarana
pendukungdisesuaikan dengan kebutuhan konsumen;
2) Jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan antara lain:
 bangunan usaha perdagangan (eceran dan grosir): toko, warung,tempat
perkulakan, pertokoan, dan sebagainya;
 bangunan penginapan: hotel, guest house, motel, dan penginapan lainnya;
 bangunan penyimpanan dan pergudangan: tempat parkir, gudang;
 bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
 bangunan pariwisata/rekreasi (di ruang tertutup): bioskop, area bermain.
3) Pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan perdagangan dan jasa diperuntukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap memelihara sumber
daya tersebut sebagai cadangan pembangunan yang berkelanjutan dan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
4.1.3 Kependudukan
Analisis sosial kependudukan diarahkan untuk menghimpun informasi yang
berkaitan dengan penilaian apakah sumberdaya manusia yang ada pada suatu kabupaten
merupakan potensi ataukah masalah bagi usaha-usaha peningkatan produktivitas daerah
dan membandingkan tingkat perkembangan relatif dari sub wilayah yang terdapat pada
suatu kabupaten.Hasil dari analisa sosial Kependudukan ini sekurang-kurangnya meliputi:
1. Proyeksi jumlah, distribusi, dan kepadatan penduduk pada jangka waktu perencanaan;
2. Proyeksi penduduk perkotaan dan perdesaan pada jangka waktu perencanaan;
3. Kualitas sumberdaya manusia, antara lain ketenagakerjaan, tingkat pendidikan,
kesehatan, kesejahteraanyang bisa dilihat dari indeks pertumbuhan masyarakat/data
BPS.
4. Kondisi sosial dan budaya, antara lain kebiasaan/adat istiadat, kearifan lokal,
keagamaan.

4.1.3.1 Proyeksi Penduduk


Analisis sosial kependudukan diarahkan untuk menghimpun informasi yang
berkaitan dengan penilaian apakah sumberdaya manusia yang ada pada suatu kabupaten
merupakan potensi ataukah masalah bagi usaha-usaha peningkatan produktivitas daerah
dan membandingkan tingkat perkembangan relatif dari sub wilayah yang terdapat pada
suatu kabupaten.
Disamping itu, digunakan pula untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan
untuk memperkirakan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan umum di masa yang akan
datang serta memprediksi daya dukung lingkungan terhadap perkembangan jumlah
penduduk.
a. Kepadatan Penduduk
Untuk mengetahui kepadatan penduduk di suatu wilayah dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Untuk mengetahui kepadatan penduduk di suatu daerah dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
 Kepadatan Penduduk Kotor adalah jumlah penduduk dibagi luas wilayah
 Kepadatan penduduk bersih adalah jumlah penduduk dibagi luas wilayah
terbangun
b. Persebaran Penduduk
Analisis ini dipergunakan untuk mengetahui persebaran penduduk di setiap
kelurahan yang ada. Angka persebaran penduduk suatu kelurahan dapat diketahui
melalui proporsi penduduk kelurahan terhadap total jumlah penduduk. Sementara
angka persebaran penduduk antar kelurahan dapat diketahui dengan cara
membandingkan kepadatan penduduk antar kelurahan.
c. Perkiraan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Apabila data yang ada di tingkat kota cukup falid dan tersedia, maka untuk
menentukan jumlah pertumbuhan penduduk di suatu daerah, dipengaruhi oleh
 Besarnya kelahiran
 Besarnya kematian
 Besarnya migrasi masuk dan keluar
Keadaan penduduk pada tahun tertentu dapat dilukiskan sebagai berikut :
Pt = Po + ((Po ((B – D) + (Mi – Mo)) n)
Dengan :
Pt : Jumlah penduduk pada tahun t
Po : Jumlah penduduk pada tahun dasar
B : Jumlah kelahiran
D : Jumlah kematian
Mi : Jumlah migrasi masuk
Mo : Jumlah migrasi keluar
(B – D) : Pertumbuhan penduduk alamiah
(Mi – Mo) : Pertumbuhan penduduk migrasi (neto)
Selain metode tersebut diatas, dapat dipergunakan pula motode analisis lainnya
apabila data yang ada di tingkat kota tidak terpenuhi (jumlah kematian, kelahiran,
migrasi masuk dan migrasi keluar tidak ada). Metode tersebut antara lain :
a. Model Linier (Polinomial)
Model linier digunakan dengan asumsi, tingkat pertumbuhan penduduk
jumlahnya selalu konstan dari tahun ketahun. Bentuk matematis model linier
adalah:
P(t+q) = Pt + b(q)
dimana :
P(t+q) : Jumlah penduduk tahun proyeksi
Pt : Jumlah penduduk tahun dasar
b : Selisih tahun dari tahun dasar ke tahun t+q
q : Rata-rata tambahan jumlah penduduk tiap tahun.

b. Model Bunga Berganda


Penggunaan model bunga berganda didasarkan pada asumsi bahwa tingkat
pertumbuhan penduduk tiap tahun selalu proporsional dengan jumlah penduduk
pada tahun sebelumnya. Model bunga berganda adalah sebagai berikut:
Pt = Po (1 + r)n
dimana :
Pt : Jumlah Penduduk Tahun Proyeksi
Po : Jumlah Penduduk Tahun dasar
r : Prosen Perkembangan
n : Tahun Proyeksi
c. Model Regresi Linier
Model regresi linier digunakan dengan asumsi terdapat hubungan linier antara
tahun pengamatan dengan jumlah penduduk pada tahun pengamatan yang
bersangkutan. Model matematisnya adalah sebagai berikut :
P(t+x) = a + b (x)
Dimana :
P(t+x) : Jumlah Penduduk Tahun Proyeksi
x : Tambahan Tahun Terhitung dari Tahun Dasar
a&b : Konstanta dengan rumus
ax2 - ax . aPx
a =
N. ax2 – (ax) 2

N. aPx – ax . aP
b =
N. ax2 – (ax) 2
d. Comparative Model
Asumsi dasar penggunaan model ini adalah bahwa pola pertumbuhan penduduk
pada suatu lokasi relatif akan sama atau proporsional atau analog dengan pola
pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas, atau pada suatu lokasi
yang memiliki kesamaan karakteristik dengan lokasi pengamatan. Ada tiga jenis
comparative methods yaitu :
 Ratio Methods
Model matematisnya : Pc (t) = k Ps(t)
Di mana :
Pc(t) = Jumlah penduduk kecamatan pada tahun t
Ps(t) = Jumlah penduduk kota pada tahun t
k = Proportional factor
 Time Lag Methods
Model matematisnya : Pa(t) = Pb(t-T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb(t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t –T
k = Proportional factor
T = Time lag
 Combination Methods
Model matematisnya : Pa(t) = kPb (t – T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb (t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t – T
k = Proportional factor
T = Time lag
e. Minimum Sum of Square Method
Metode ini digunakan untuk menguji tingkat kecocokan suatu model terhadap
kondisi faktualnya. Tingkat kecocokan dapat dilihat dari jumlah kuadrat
simpangannya. Nilai jumlah kuadrat simpangan terkecil merupakan indikator
tingkat kecocokan suatu model. Dalam proses perencanaan kota, metode ini
digunakan untuk menguji tingkat kecocokan beberapa model pertumbuhan
penduduk. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut :
 =  ( Yi – Ya)
Di mana :  = Nilai simpangan
Yi = Perkiraan jumlah penduduk
Ya = Jumlah penduduk faktual

4.1.4 Struktur Ekonomi


4.1.4.1 Sektor Basis
Analisis sosial kependudukan diarahkan untuk menghimpun informasi yang berkaitan
dengan penilaian apakah sumberdaya manusia yang ada pada suatu kabupaten
merupakan potensi ataukah masalah bagi usaha-usaha peningkatan produktivitas daerah
dan membandingkan tingkat perkembangan relatif dari sub wilayah yang terdapat pada
suatu kabupaten.
Disamping itu, digunakan pula untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk
memperkirakan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan umum di masa yang akan datang
serta memprediksi daya dukung lingkungan terhadap perkembangan jumlah penduduk.
d. Kepadatan Penduduk
Untuk mengetahui kepadatan penduduk di suatu wilayah dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Untuk mengetahui kepadatan penduduk di suatu daerah dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :
 Kepadatan Penduduk Kotor adalah jumlah penduduk dibagi luas wilayah
 Kepadatan penduduk bersih adalah jumlah penduduk dibagi luas wilayah
terbangun
e. Persebaran Penduduk
Analisis ini dipergunakan untuk mengetahui persebaran penduduk di setiap
kelurahan yang ada. Angka persebaran penduduk suatu kelurahan dapat diketahui
melalui proporsi penduduk kelurahan terhadap total jumlah penduduk. Sementara
angka persebaran penduduk antar kelurahan dapat diketahui dengan cara
membandingkan kepadatan penduduk antar kelurahan.
f. Perkiraan Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Apabila data yang ada di tingkat kota cukup falid dan tersedia, maka untuk
menentukan jumlah pertumbuhan penduduk di suatu daerah, dipengaruhi oleh
 Besarnya kelahiran
 Besarnya kematian
 Besarnya migrasi masuk dan keluar
Keadaan penduduk pada tahun tertentu dapat dilukiskan sebagai berikut :
Pt = Po + ((Po ((B – D) + (Mi – Mo)) n)
Dengan :
Pt : Jumlah penduduk pada tahun t
Po : Jumlah penduduk pada tahun dasar
B : Jumlah kelahiran
D : Jumlah kematian
Mi : Jumlah migrasi masuk
Mo : Jumlah migrasi keluar
(B – D) : Pertumbuhan penduduk alamiah
(Mi – Mo) : Pertumbuhan penduduk migrasi (neto)
Selain metode tersebut diatas, dapat dipergunakan pula motode analisis lainnya
apabila data yang ada di tingkat kota tidak terpenuhi (jumlah kematian, kelahiran,
migrasi masuk dan migrasi keluar tidak ada). Metode tersebut antara lain :
f. Model Linier (Polinomial)
Model linier digunakan dengan asumsi, tingkat pertumbuhan penduduk
jumlahnya selalu konstan dari tahun ketahun. Bentuk matematis model linier
adalah:
P(t+q) = Pt + b(q)
dimana :
P(t+q) : Jumlah penduduk tahun proyeksi
Pt : Jumlah penduduk tahun dasar
b : Selisih tahun dari tahun dasar ke tahun t+q
q : Rata-rata tambahan jumlah penduduk tiap tahun.

g. Model Bunga Berganda


Penggunaan model bunga berganda didasarkan pada asumsi bahwa tingkat
pertumbuhan penduduk tiap tahun selalu proporsional dengan jumlah penduduk
pada tahun sebelumnya. Model bunga berganda adalah sebagai berikut:
Pt = Po (1 + r)n
dimana :
Pt : Jumlah Penduduk Tahun Proyeksi
Po : Jumlah Penduduk Tahun dasar
r : Prosen Perkembangan
n : Tahun Proyeksi
h. Model Regresi Linier
Model regresi linier digunakan dengan asumsi terdapat hubungan linier antara
tahun pengamatan dengan jumlah penduduk pada tahun pengamatan yang
bersangkutan. Model matematisnya adalah sebagai berikut :
P(t+x) = a + b (x)
Dimana :
P(t+x) : Jumlah Penduduk Tahun Proyeksi
x : Tambahan Tahun Terhitung dari Tahun Dasar
a&b : Konstanta dengan rumus

ax2 - ax . aPx
a =
N. ax2 – (ax) 2

N. aPx – ax . aP
b =
N. ax2 – (ax) 2
i. Comparative Model
Asumsi dasar penggunaan model ini adalah bahwa pola pertumbuhan penduduk
pada suatu lokasi relatif akan sama atau proporsional atau analog dengan pola
pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas, atau pada suatu lokasi
yang memiliki kesamaan karakteristik dengan lokasi pengamatan. Ada tiga jenis
comparative methods yaitu :
 Ratio Methods
Model matematisnya : Pc (t) = k Ps(t)
Di mana :
Pc(t) = Jumlah penduduk kecamatan pada tahun t
Ps(t) = Jumlah penduduk kota pada tahun t
k = Proportional factor
 Time Lag Methods
Model matematisnya : Pa(t) = Pb(t-T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb(t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t –T
k = Proportional factor
T = Time lag
 Combination Methods
Model matematisnya : Pa(t) = kPb (t – T)
Di mana :
Pa(t) = Jumlah penduduk area a pada tahun t
Pb (t-T) = Jumlah penduduk area b pada tahun t – T
k = Proportional factor
T = Time lag
j. Minimum Sum of Square Method
Metode ini digunakan untuk menguji tingkat kecocokan suatu model terhadap
kondisi faktualnya. Tingkat kecocokan dapat dilihat dari jumlah kuadrat
simpangannya. Nilai jumlah kuadrat simpangan terkecil merupakan indikator
tingkat kecocokan suatu model. Dalam proses perencanaan kota, metode ini
digunakan untuk menguji tingkat kecocokan beberapa model pertumbuhan
penduduk. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut :
 =  ( Yi – Ya)
Di mana :  = Nilai simpangan
Yi = Perkiraan jumlah penduduk
Ya = Jumlah penduduk faktual
4.1.4.2 Komoditi sektor basis yang memiliki keunggulan dan komparatif
berpotensi ekspor
4.1.4.3 Penentuan sektor basis/Komoditas Potensial
4.1.4.4 Penentuan sektor basis/Komoditas Unggulan
4.1.4.5 Penilaian kelayakan pengembangan komoditas unggulan

4.1.5 Transportasi
4.1.5.1 Transportasi Darat
A. Rencana Jaringan Jalan
Sistem transportasi yang ada didarat dalam kelancarannya adalah
menggunakan prasarana yang ada, dimana definisi dari jalan itu sendiri adalah
kesatuan sistem jaringan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat
pengembangan dengan wilayah yang ada pengaruhnya dalam suatu hubungan
hierarki. Adapun perencanaan ataupun penataan yang dilakukan terhadap jalan
tersebut didasarkan atas komponen berikut ini :
1. Hierarkhi jalan
Tingkat fungsi jalan dalam melayani pergerakan lalu lintas yang ada pada
suatu kawasan dengan pusat kawasan atau dengan daerah lainnya yang ada
disekitar kawasan.
2. Analisa Pola Jaringan Jalan
Sistem sirkulasi tidak begitu saja terjadi secara kebetulan, sistem sirkulasi
dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori; sistem grid, radial, linier, kurva
linier, serta beberapa kombinasi diantaranya:
 Sistem Grid
Sistem Grid biasanya terjadi karena adanya
perpotongan jalan yang sama tegak lurus satu sama
lain dengan lebar jalan yang rata-rata sama.
Biasanya digunakan pada lahan yang datar atau
sedikit bergelombang, dan tidak jarang penerapannya
kurang baik, serta menghasilkan pemandangan yang
monoton atau penanganan topografi yang kurang
simpatik. Mengingat bahwa Sistem Grid mudah diikuti karena orientasinya
mudah, maka Sistem Grid bisa digunakan untuk mendistribusikan arus lalu lintas
yang kompleks apabila tingkatan keras (hirarkhi) jalan telah ditetapkan. Karena
hirarkhi ini sering diabaikan maka sering pula mengakibatkan terjadinya
kepadatan atau kekacauan lalu lintas dibeberapa jalan arteri. Dengan jalan
membengkokkan, “mempluntir” berbagai ukuran blok untuk meyesuaikan
sebagian dari Grid tersebut sedemikian sehingga cocok dengan topografinya dan
dengan menetapkan hirarkhi arus lalu lintas pada jalan-jalan tersebut, untuk
memperoleh pola sirkulasi yang lebih menarik dan berfungsi dengan baik.
 Sistem Radial
Suatu sistem radial mengarahkan arus lalu lintas
menuju suatu pusat umum yang padat dengan berbagai
aktivitas, namun, pusat tersebut dapat tumbuh
sedemikian sehingga sukar diatur. Karena pusat itu
bersifat tetap dan kaku sehingga sukar diubah, maka
sistem ini tidak seluwes Sistem Grid. Untuk mengatasi
hal tersebut dibeberapa tempat di bagian luar daerah
pusat sering ditambah dengan sistem ring. Sistem ring
dapat memberi kesempatan jalan keluar bagi arus lalu lintas yang bermaksud
melewati daerah pusat tersebut.
 Sistem Linier
Pada dasarnya Sistem Linier merupakan pola garis lurus
yang menghubungkan dua titik penting, misalnya jalur
rel kereta api, kanal atau terusan, jalan raya antar
kota, dan sebagainya. Mengingat sifatnya, sistem inii
cenderung mudah mengalami kepadatan atau kemacetan lalu lintas. Untuk
mengatasinya diadakan suatu penyaluran yang dikenal dengan sistem loop, suatu
jalan “melambung” yang keluar dari jalur utama disuatu titik untuk kemudian
kembali lagi masuk ke jalur utama tadi di titik yang lain.
 Sistem Kurvalinier
Sistem Kurvalinier merupakan gabungan dari pola garis
lurus dan garis lengkung, yang memanfaatkan topografi,
dengan cara mengikuti bentuk lahan sedekat mungkin.
Sistem ini sangat erat hubungannya dengan lalu lintas
pada tingkat lokal dan mempunyai variasi jalur-jalur jalan yang mudah
disesuaikan dengan topografi. Pada sistem kurvalinier jalan-jalan tembusnya
lebih sedikit dibanding dengan sistem Grid. Cul - de - sac, atau jalan buntu yang
mempunyai panjang maksimum 150 meter, sering digunakan. Hal-hal tersebut
cenderung dapat memperlambat laju lalu lintas. Dengan sistem kurvalinier,
suasana jalan menjadi lebih menarik karena bervariasinya pemandangan, jenis
serta panjang jalan, dan mudahnya penyesuaian terhadap perubahan topografi.
Ternyata pembangunan unit perumahan yang direncanakan dengan
menggunakan sistem kurvalinier makin banyak.
 Modifikasi Grid
Pola ini pada dasarnya dari pola grid yang
dimodifikasi dengan sistem loop ditengahnya atau
pada kedua sisi. Pada bagian loop selain
memungkinkan untuk kawasan terbangun dan juga
dapat digunakan sebagai ruang terbuka hijau.
 Cul De Sac
Pola ini dibuat dengan membuat pengelompokan pada satu pola
jaringan jalan secara tertutup. Pola ini akan efisien bila jaraknya
kurang dari 150 meter.
 Loop
Pola ini dibuat dengan membuat sistem melingkar
pada satu ruas jalan. Seperti halnya dengan pola grid
yang dimodifikasi, maka sistem loop ini pada bagian
tengahnya selain dapat digunakan sebagai kawasan
terbangun juga dapat digunakan untuk ruang terbuka hijau.
Analisa Sistem jaringan pergerakan sangat erat kaitannya dengan pembentukan
struktur ruang wilayah perencanaan yang utuh antara pusat kegiatan dan infrastruktur
yang menunjang dan dibutuhkan. Dalam sistem jaringan pergerakan ini, yang dibahas
bukan hanya dalam lingkup wilayah perencanaan tetapi juga keterkaitan sistem jaringan
dengan wiayah yang ebih luas. Perlunya penelaahan terhadap sistem perangkutan/
transportasi mengingat adanya keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan antara
transportasi dengan pola tata guna lahan pada setiap kawasan. Lain dari itu, mengingat
bahwa kegiatan transportasi merupakan kegiatan jasa yang melayani pergerakan kegiatan
sosial dan kegiatan ekonomi penduduk, maka pelayanan sistem tranportasi kota harus
mampu mendukung dan sesuai dengan struktur dan fungsi wilayah perencanaan secara
keseluruhan.
Sistem transportasi merupakan gabungan elemen-elemen atau komponen–
komponen : Prasarana (jalan dan terminal), Sarana (kendaraan), sistem pengoperasian
(yang mengkoordinasikan komponen prasarana dan sarana). Ini berarti bahwa
pengembangan sistem transportasi untuk mendukung kelancaran mobilitas manusia antar
tata guna lahan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan ekonominya adalah
mengembangkan salah satu komponen (elemen) tersebut.
Analisa sistem jaringan pergerakan yang akan dibahas dimaksud untuk
memperhitungkan kebutuhan tata jenjang jaringan pergerakan yang menghubungkan
antar bagian-bagian kawasan perencanaan maupun wilayah luar agar sesuai dengan
masing-masing fungsi dan perannya. Adapun elemen-eleman sistem jaringan pergerakan
yang akan dianalisa pada pembahasan ini antara lain :
a. Analisa pelayanan jaringan jalan, yang diklasifikasikan berdasarkan Undang-
Undang Tentang Jaringan Jalan No. 38 Tahun 2004, termasuk membahas fasilitas
terminal penumpang dan barang yang dibutuhkan pada wilayah perencanaan.
b. Pengembangan sistem jaringan pergerakan, yang akan menganalisa kebijakan
rencana pembangunan yang telah ditetapkan baik oleh pemerintah maupun swasta.
c. Analisa kebutuhan interkoneksi dan intrakoneksi jaringan, yang didasarkan kaitan
wilayah perencanaan dengan wilayah yang lebih luas yang telah direncanakan dan
hasil analisa pelayanan baik jalan maupun jaringan kereta api.
 Analisa Sistem Jaringan Jalan Raya
Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari
sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam
hubungan hierarki.
1) Sistem Jaringan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut :
a. menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan
wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan
b. menghubungkan antarpusat kegiatan nasional.
2) Sistem Jaringan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus
kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder
kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.
Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan, fungsi jalan (sifat dan
pergerakan pada lalu lintas dan angkutan jalan) dibedakan menjadi:
a. Jalan Arteri Primer menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan
nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah,
ciri ciri jalan arteri primer adalah sebagai berikut :
 Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60
(enam puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11
(sebelas) meter.
 Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
 Pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.
 Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
b. Jalan Kolektor Primer menghubungkan secara berdaya guna antara pusat
kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah,
atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal, dengan ciri ciri
sebagai berikut :
 Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
40 (empat puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9
(sembilan) meter.
 Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu
lintas rata-rata.
 Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
c. Jalan Lokal Primer menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan
pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal
dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Ciri
ciri jalan lokal primer :
 Jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua
puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh
koma lima) meter.
 Jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus.
d. Jalan lingkungan primermenghubungkan antarpusat kegiatan di dalam
kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan.
 Jalan lingkungan primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 15 (lima belas) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 6,5 (enam koma lima) meter.
 Persyaratan teknis jalan lingkungan primer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih.
 Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan
bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling
sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter.
e. Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan
sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu,
atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Ciri-cirinya
sebagai berikut :
 Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
30 (tiga puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11
(sebelas) meter.
 Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada
volume lalu lintas rata-rata.
 Pada jalan arteri sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat.
 Persimpangan sebidang pada jalan arteri sekunder dengan pengaturan
tertentu harus dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2).
f. Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan
sekunder ketiga.
 Jalan kolektor sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 20 (dua puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 9 (sembilan) meter.
 Jalan kolektor sekunder mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada
volume lalu lintas rata-rata.
 Pada jalan kolektor sekunder lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat .
 Persimpangan sebidang pada jalan kolektor sekunder dengan pengaturan
tertentu harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
g. Jalan lokal sekundermenghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder
ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.
 Jalan lokal sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
10 (sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5
(tujuh koma lima) meter.
h. Jalan lingkungan sekunder menghubungkan antarpersil dalam kawasan
perkotaan.
 Jalan lingkungan sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 10 (sepuluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling
sedikit 6,5 (enam koma lima) meter.
 Persyaratan teknis jalan lingkungan sekunder sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih.
 Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan
bermotor beroda 3 (tiga) atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan
paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter
Perencanaan dimensi jalan meliputi penentuan lebar Ruang manfaat jalan (Rumaja),
Ruang milik jalan (Rumija) dan Ruang pengawasan jalan (Ruwasja). Dalam penetapan
dimensi jalan ini harus memenuhi standar minimum yang terdapat cukup ruang untuk
jalur hijau dan kelengkapan jalan (Street Furniture). Untuk ketentuan dimensi jalan ini
mengacu pada PP No. 26/tahun 1985 serta UU No. 38 tahun 2004.
Perkerasan jalan ditentukan selain berpedoman pada fungsi jalannya, juga kemampuan
lahan dan volume lalu lintasnya. Sedangkan lebar jalan merupakan penampang geometrik
jalan yang dibedakan atas 3 jenis, yaitu :
 Lebar Ruang Manfaat Jalan
 Lebar Ruang Milik Jalan
 Lebar Ruang Pengawasan Jalan
Penentuan lebar dan besaran masing-masing kelompok dimensi jalan tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
 Laju Harian Rata-rata (LHR) jalan
 Konstruksi jalan eksisting ( lebar jalan dan lebar sempadan bangunan )
 Fungsi jalan
 Pedoman konstruksi jalan.
B. Analisis Tingkat Pelayanan Jalan
Analisa tingkat pelayanan jalan dilakukan dengan membandingkan kapasitas jalan
dengan volume kendaraan di lapang. Tingkat pelayanan jalan ditentukan dengan standar
level of service dari highway capacity manual. Rumus-rumus yang dipergunakan adalah
sebagai berikut :
Rumus Perhitungan Kapasitas Jalan : C = 1.600 x N x U
Keterangan :
N = jumlah lajur
U = Faktor penyesuaian
Rumus Perhitungan Volume Jalan
VolumeKendaraanSelama1Jam
PHF 
4 xVolumeKendaraanPeriode15MernitTert inggi
C. Analisis Tingkat Aksesibilitas
Tingkat aksesibilitas adalah kemudahan mencapai suatu wilayah dari wilayah lain
yang berdekatan, atau bisa juga dilihat dari sudut kemudahan mencapai wilayah lain yang
berdekatan bagi masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Ada beberapa unsur yang
mempengaruhi tingkat aksesibilitas, misalnya kondisi jalan, jenis angkutan umum yang
tersedia, frekuensi keberangkatan dan jarak.
Aksesibilitas adalah jarak pencapaian dari suatu daerah ke daerah lainnya, dimana
semakin tinggi aksebilitas suatu daerah dengan daerah lainnya maka akan semakin cepat
pula proses perkembangannya begitu pula sebaliknya. Adapun indikator yang menunjang
diantaranya adalah arah perkembangan atau pergerakan penduduk.
Untuk mengukur nilai aksebilitas digunakan rumus matematis sebagai berikut :

Keterangan :
Ai : Nilai aksebilitas
K : Kondisi jalan aspal (aspal, perkerasan dan tanah)
F : Fungsi jalan (arteri, kolektor dan lokal)
T : Fungsi dari jenis pergerakan (regional, lokal) dan trayek pergerakan yang
melayaninya
d : Jarak
Nilai F, K dan T diberi bobot
Untuk mengukur indeks aksebilitas menggunakan rumus matematis sebagai berikut :

Keterangan :
Ai : Nilai aksebilitas
Ej : Ukuran aktivitas (dapat menggunakan ukuran antara lain jumlah
penduduk usia kerja)
dij : Jarak tempuh (waktu/uang)
b : Parameter

Perhitungan parameter b menggunakan grafik regresi linier, yang diperoleh berdasarkan


perhitungan :
K T P

Keterangan :
K : Kondisi jalan
T : Total individu trip
P : Jumlah penduduk suatu daerah
Tij  ( Pipj ) p
Keterangan :
Tij : Hipotheticaltrip volume
Pipj : Jumlah penduduk didaerah I dan j
p : Jumlah penduduk diseluruh daerah

4.1.6 Sumber Daya Buatan


Analisis Sumber daya buatan merupakan analisis mengenai kebutuhan
fasilitas dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah fasilitas dan luas tanah
yang dibutuhkan untuk masing-masing fasilitas. Dalam menganalisa kebutuhan
fasilitas ini selain mengacu pada standar PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN
SARANA LINGKUNGAN PERUMAHAN PERDESAAN DAN KOTA KECIL yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya
Daerah juga dilakukan berdasarkan tren yang terdapat di wilayah perencanaan.

4.1.6.1 Kebutuhan Penggolongan Sarana Hunian


Khusus untuk fasilitas perumahan menyesuaikan dengan Standar
Perumahan sesuai Keputusan Menteri Perumahan Rakyat No. 698 – 384/1992, No.
739 /KPTS / 1992 dan No. 009 / KPTS / 1992.
Berisikan pengaturan kapling blok permukiman
a) Kapling kecil seluas ; 50 M2 - 200 M2
b) Kapling sedang ; 200 M2 - 300 M2
c) Kapling besar ; 300 M2 - 500 M2
Pengembangan perumahan dilakukan dengan kriteria perbandingan antara
kavling besar, sedang, dan kecil yaitu 1 : 3 : 6 Untuk fasilitas – fasilitas berikut ini
menggunakan standar PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN SARANA LINGKUNGAN
PERUMAHAN PERDESAAN DAN KOTA KECIL

4.1.6.2 Kebutuhan Sarana Pendidikan


Berdasarkan standart :
a) Untuk tingkat Taman Kanak-kanak (TK) minimum terdiri dari 2 ruang kelas
dengan daya tampung 35-40 murid/kelas dan radius pencapaian maksimum
500 meter dan 1.000 jiwa pendukung dengan kebutuhan luas kapling sebesar

1200 m2
b) Sekolah Dasar (SD) minimum terdiri dari 6 ruang kelah dengan daya tampung
40 murid/kelas dan radius pencapaian maksimum 1000 meter dan 1.600 jiwa
pendukung dengan kebutuhan luas kapling sebesar 3600 m2
c) Sekolah Menengah Pertama (SMP) minimum terdiri dari 6 ruang kelah dengan
daya tampung 40 murid/kelas dan 4.800 jiwa pendukung dengan kebutuhan
luas kapling sebesar 2700 m2
d) Sekolah Menengah Atas (SMU/SMK) minimum terdiri dari 6 ruang kelah
dengan daya tampung 40 murid/kelas dan 4.800 jiwa pendukung dengan

kebutuhan luas kapling sebesar 2700 m2


Berdasarkan Kondisi di Lapangan :
a) Perhitungan yang dilakukan yakni berdasarkan proyeksi jumlah penduduk
usia sekolah dan daya tampung tiap unit sekolah dimana daya tampung yang
digunakan adalah rata-rata dari daya tampung sekolah di wilayah
perencanaan.
b) Taman Kanak-kanak merupakan fasilitas pendidikan tingkat pra-sekolah bagi
anak-anak yang akan memasuki sekolah dasar, yaitu bagi anak-anak yang
berusia 4-5 tahun.
c) Sekolah dasar yang diperhitungkan merupakan unit sekolah yang
diperuntukkan bagi anak-anak berusia 6-12 Tahun.
d) Sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) diperuntukan bagi anak-anak lulusan
sekolah dasar yaitu anak-anak berumur 13-15 tahun.
e) Sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) disediakan untuk melayani penduduk
berumur 16-19 tahun.

4.1.6.3 Kebutuhan Sarana Kesehatan


a. Balai Pengobatan berfungsi untuk memberikan pelayanan kepada penduduk
yang menitikberatkan pada penyembuhan tanpa perawatan/berobat dan pada
wkatu tertentu juga dapat melakukan vaksinasi. Lokasinya ditengah – tengah
lingkungan perumahan dan radius pencapaian 1000 meter. Penduduk
pendukung minimum 3000 jiwa,
b. BKIA dan Rumah Bersalin berfungsi untuk melayani ibu – ibu sebelum, pada,
pada waktu, dan sesudah melahirkan dan anak – anak usia s/d 6 tahun.
Lokasinya ditengah lingkungan perumahan dan diusahakan tidak menyeberang
jalan lingkungan. Radius pencapaian 2000 meter, dan penduduk pendukung
10.000 jiwa.
c. Puskesmas Pembantu ; pencapaian maksimum 1.500 meter, luas tanah 1.200
M2 dan penduduk pendukung 30.000 jiwa
d. Pusksesmas ; Puskesmas membawahi 5 Pustu, radius pencapain 3000 meter,
luas tanah 2400 M2 dan penduduk pendukung minimum 120.000 jiwa
e. Tempat praktek dokter ; dapat menyatu dengan rumah tinggal dan dapat
berdiri sendiri, radius pencapaian 1500 meter, dan minimum penduduk
pendukung 5000 jiwa
f. Apotek ; radius pencapaian 1.500 meter, dan penduduk minimum pendukung
10.000 jiwa.

4.1.6.4 Kebutuhan Sarana Peribadatan


Sarana-sarana peribadatan ini, jenis, macam dan besaran sangat
tergantung dengan kondisi setempat. Untuk mendapatkan hasil perencanaan yang
sesuai perlu dilakukan survey setempat tentang :
a) Struktur penduduk menurut umur dan jenis kelamin
b) Jenis agama/kepercayaan yang dianut
c) Cara atau pola melaksanakan agama/kepercayaan
Sebagai standar umum dapat digunakan perhitungan sebagai berikut :
a) Luas tanah bruto per jemaah : 1,2 m2
b) Luas tanah bruto per jemaah adalah tergantung pada peraturan bangunan
setempat
Bila tidak dikehendaki perhitungan , maka bisa digunakan patokan untuk
kebutuhan tanah sebagai berikut :
Untuk agama Islam
a) Kelompok penduduk 2.500 (RW)
b) - 1 langgar : 300 m2
c) Kelompok penduduk 30.000 (Lingkungan)
d) - 1 masjid lingkungan : 1.750 m2
e) Kelompok penduduk 120.000 (Kecamatan)
f) - 1 masjid kecamatan : 4.000 m2

4.1.6.5 Sarana dan Prasarana Lingkungan


1) Fasilitas Perdagangan dan Jasa
a) Warung berfungsi menjual keperluan sehari – hari (sabun, gula, rempah –
rempah, dll) ; lokasinya berada di pusat lingkungan yang mudah dicapai
dan mempunyai radius pencapaian maksimum 500 meter. Minimum
penduduk pendukung 250 jiwa, luas lantai ± 50 M2 termasuk gudang dan
luas lahan yang dibutuhkan ± 100 M2
b) Pertokoan berfungsi menjual barang – barang keperluan sehari – hari
berupa toko – toko PD. Lokasinya di pusa lingkungan dan tidak
menyeberang jalan lingkungan, dekat dengan taman kanak – kanak dan
tempat bermain. Minimal penduduk pendukung 2.500 jiwa, luas tanah yang
dibutuhkan 1.300 M2 dan building coverage 40%. Adapun prosentase
dengan area yang dilayani adalah ;
Luas tanah x 100%
Luas areal permukiman tingkat RW
c) Sarana pelengkap yang harusnya ada adalah ; tempat parkir kendaraan
umum yang dapat dipakai kegiatan lain pada pusat lingkungan, sarana –
sarana lain yang erat kaitannya dengan aktifitas ibu, balai pengobatan, balai
pertemuan RW.
d) Pusat Perbelanjaan Kawasan ;
Fungsi utama sebagai pusat perbelanjaan di lingkungan yang menjual
keperluan sehari – hari termasuk sayur, daging, ikan buah, beras, pakaian,
alat pendidikan, alat rumah tangga, dll. Terdiri dari pasar, toko-toko
lengkap dengan bengkel – bengkel kecil. Lokasinya berada pada jalan
utama lingkungan dan mengelompok dengan pusat lingkungan.
Mempunyai terminal kecil (APK/Areal Pangkalan Kendaraan) untuk
pemberhentian kendaraan. Minimum penduduk pendukung 30.000 jiwa,
luas tanah 13.500 M2. Prosentase terhadap area permukiman yan dilayani
adalah 0,973%. Sarana pelengkap yang harusnya ada adalah ; tempat
parkir umum, dan pos Polisi.
e) Pusat Perbelanjaan dan Niaga Kawasan ;
Fungsi utama sama dengan pusat perbelanjaan lingkungan hanya
dilengkapi dengan sarana niaga lainnya seperti kantor – kantor, industri
kecil, dll. Toko – toko yang ada tidak hanya menjual kebutuhan sehari – hari
tapi juga menjual kebutuhan tersier, bengkel reparasi, service kendaraan
resmi dan tempat hiburan.
f) Lokasinya mengelompok dengan pusat kecamatan dan mempunyai
pangkalan transportasi umum untuk kendaraan jenis penumpang. Minimu
penduduk pendukung 120.000 jiwa, dengan luas lahan 36.000 M2.
Prosentase terhadap areal permukiman yan dilayani adalah 0,065% (±
0,6%). Sarana pelengkap yang seharusnya ada ; tempat parkir, pos polisi,
pos PMK, kantor pos, dan tempat ibadah.
2) Fasilitas Olah Raga dan Rekreasi
a) Taman Lingkungan ; jumlah penduduk pendukung 250 jiwa dengan
luas 250 M2
b) Taman Bermain ; jumlah penduduk pendukung 2.500 jiwa dengan
luas 1250 M2
c) Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 30.000 penduduk ;
Jumlah penduduk pendukung 30.000 jiwa yang dapat melayani
aktivitas kelompok di area terbuka misalnya pertandingan olah raga,
apel bersama, dll. Sarna ini sebaiknya berbentuk taman yang
dilengkapi lapangan olah raga/sepak bola sehingga berfungsi serba
guna dan harus terbuka. Untuk peneduh dapat ditanami pohon
sekelilingnya. Luas areal yang dibutuhkan 9.000 M2 atau 0,3
M2/penduduk. Lokasinya tidak harus di pusat lingkungan, sebaiknya
berdekatan dengan sekolah sehingga bermanfaat untuk kegiatan
persekolahan.
d) Taman dan Lapangan Olah Raga untuk 120.000 penduduk ;
Setiap kelompok penduduk 120.000 jiwa sekurangnya memiliki satu
lapangan hijau yang terbuka. Saran ini berfungsi seperti kelompok
30.000 penduduk, begitu juga bentuknya hanya dilengkapi dengan
dengan sarana olah raga yang diperkeras misalnya lapangan tenis,
bola basket, dll. Dilengkapi dengan tempat ganti pakaian dan WC
umum.
Luas areal yang diperlukan adalh 24.000 M2 atau 2,4 Ha dengan
standar 0,2 M2/penduduk. Lokasinya tidak harus dipusat kecamatan
tetapi jika dapat disatukan akan lebih baik, yang jelas
pengelompokan dengan sekolah sangat bermanfaat.
3) Jalur hijau ;
Disamping taman lapangan olah raga yang terbuka perlu disediakan
jalur hijau, adapun besarnya jalur hijau adalah 15 M2/penduduk.
Lokasinya menyebar dan sekaligus merupakan filter dari daerah –
daerah indus dan daerah yang menimbulkan polusi jika ada.
Sedangkan analisa kebutuhan fasilitas berdasarkan tren, yaitu dengan
menghitung kebutuhan fasilitas berdasarkan penduduk pendukung.
Perhitungan ini dilakukan dengan membandingkan antara jumlah
fasilitas yang terdapat di wilayah perencanaan dengan jumlah
penduduk eksisting (penduduk pendukung tiap fasilitas). Sehingga
diperoleh ratio pelayanan (jumlah penduduk pendukung) untuk 1 unit
fasilitas. Perhitungan berdasarkan tren ini dilakukan dengan asumsi
bahwa jumlah fasilitas eksisting tersebut sudah mencukupi kebutuhan
penduduk di wilayah perencanaan.

4.1.7 Kondisi Lingkungan Binaan (Built Environment)

4.1.7.1 Analisis Figure And Ground


Metoda Figure-Ground (FG) adalah salah satu teknik dalam analisis dan
desain ruang dengan cara mengilustrasikan komposisi atau perbandingan antara
figure dan ground. Figure seringkali diinterpretasikan sebagai solid sementara
ground sebagai void, walaupun sesungguhnya secara konseptual bias dibalik.
Komposisi yang dihasilkan oleh teknik pewarnaan gelap-terang ini
menggambarkan komposisi fugure-ground yang mendefinisikan ruang, struktur,
dan bentuk (kota). Ruang dapat didefinisikan, dibatasi, dan dibentuk baik oleh
figure maupun oleh ground. Kota Vienna, misalnya, ruang kotanya didefinisikan
secara jelas oleh Ringstrasse yang merupakan elemen ground-. Komposisi figure-
ground yang mendefinisikan struktur ruang, misalnya, dapat dilihat di kota
Savannah. Sementara kota Barcelona mempunyai komposisi figure-ground yang
merupakan gabungan dari sedikitnya 2 bentuk kota, yaitu radiosentries (daerah
Barri Gothic) dan rektilinear (daerah Gran Via dan l"Example).

Metoda figure-ground dapat dan seringkali digunakan untuk mengenali


sejarah suatu kota atau suatu bagian kota dalam suatu kurun waktu tertentu.
Komposisi solid-void mencerminkan arogansi aristokrat di zaman Baroque
(Versailles), prinsip kesamaan di Amerika (downtown Manhattan), atau bahkan
semangat pembaharuan (Karlsruhe)
Salah satu keterbatasan metoda ini adalah sifatnya yang dua dimensional
dan tidak mengandung informasi volume, padahal ruang tidak hanya memiliki
panjang dan lebar tetapi juga kedalaman. Metoda ini juga hanya menggambarkan
komposisi solid-void pada lantai dasar sehingga kehilangan "keampuhannya" pada
kasus bangunan pilotis.
Setelah segala teori yang rumit tersebut, munculkah suatu pertanyaan yang
menggelitik tentang kegunaan metoda figure-ground sesungguhnya. Salah seorang
pendidik saya pernah berkata, "Figure Ground map is useless".Argumen ini benar
jika figure-ground digunakan sebagai satu-satu-nya alat atau tongkat ajaib dalam
analisis dan perancangan kota. Kota adalah hasil manifestasi dari berbagai aspek
dengan kompleksitas tinggi, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik, dan
sebagainya; dan metoda figure-ground hanya salah satu alat bantu awal untuk
melihat perwujudan fisik dari aspek-aspek tersebut. Metoda figure-ground
menyajikan kerangka abstrak dan interpretif yang berguna untuk tahap awal
perancangan kota sehingga memungkinkan seseorang untuk mengungkapkan
potensi perkembangan atau penyempurnaan suatu rencana kota (Copper,1982)

4.1.7.2 Analisis Aksesbilitas Pejalan Kaki Dan Pesepeda

Penelitin ini diawali dengan mengidentifikasi karakteristik pejalan kaki


berdasarkan usia, jenis kelamin, tujuan dan waktu perjalanan pejalan kaki
selanjutnya mengidentifikasi kinerja jalur pejalan kaki, kondisi fasilitas pejalan
kaki dan indeks walkability. Penilaian kinerja jalur pejalan kaki dilakukan
berdasarkan Pedoman Perencanaan, Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana
Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan (2014).

Q= .............................................(1)
Q15 = arus pejalan kaki (pjk/ meter/ menit)
Nm = jumlah pejalan kaki (pjk)
WE = lebar efektif trotoar (m)

WE = WT – B......................................(2)
WT = lebar total trotoar (m)
B = lebar trotoar halangan yang tidak bisa digunakan untuk berjalan kaki (m)
Vs = .......................................(3)

Vs = kecepatan rata-rata (m/menit)


n = jumlah data
Vi = kecepatan tiap pejalan kaki yang diamati (m/menit)

D= ...............................................(4)
D = kepadatan pejalan kaki (pjk/ m2)
Q = arus pejalan kaki (pjk/m/menit)
Vs = kecepatan rata-rata ruang (m/ menit)

S= ........................................(5)
S = ruang pejalan kaki (m2/pjk)
D = kepadatan pejalan kaki (pjk/m2)
Q = arus pejalan kaki (pjk/m/menit)
Vs = kecepatan rata-rata ruang (m/menit)

r = ..................................................(6)
r = rasio arus dan kapasitas pejalan kaki
v = arus pejalan kaki
c = kapasitas/ ruang pejalan kaki

Tingkat walkability jalur pejalan kaki dilakukan berdasarkan persepsi


pengguna dan ketentuan standar yang berlaku. Berdasarkan persepsi pengguna
dilakukan melalui analisis indeks walkability sedangkan berdasarkan ketentuan
yang berlaku dilakukan dilakukan melalui analisis fasilitas pejalan kaki yang
disesuaikan dengan indikator walkability.
Menurut US Department Health and Human (2010), indikator walkability
terdiri dari kondisi trotoar, konflik pejalan kaki, penyeberangan, pemeliharaan,
lebar trotoar, buffer, aksesibilitas, estetika dan peneduh (Tabel 1). Penilaian indeks
walkability dilakukan berdasarkan nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap
indikator tersebut.

4.1.7.3 Analisis Ketersediaan Dan Dimensi Jalur Khusus Pedesterian


Berdasarkan Permen PU No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman
Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan
Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, fasilitas sarana dan prasarana ruang pejalan
kaki terdiri atas jalur hijau, lampu penerangan, tempat duduk, pagar pengaman,
tempat sampah, marka, perambuan, papan informasi, halte/shelter bus dan lapak
tunggu, dan telepon umum. Standar besaran ruang untuk jalur pejalan kaki dapat
dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai dengan tipologi ruas pejalan kaki dengan
memperhatikan kebiasaan dan jenis aktivitas setempat. Berdasarkan Permen PU
No. 3 tahun 2014, standar pelayanan jalur pejalan kaki terdiri atas:a.Standar A,
para pejalan kaki dapat berjalan dengan bebas, termasuk dapat menentukan arah
berjalan dengan bebas, dengan kecepatan yang relatif cepat tanpa menimbulkan
gangguan antarpejalan kaki. b.Standar B, para pejalan kaki masih dapat berjalan
dengan nyaman dan cepat tanpa mengganggu pejalan kaki lainnya, namun
keberadaan pejalan kaki yang lainnya sudah mulai berpengaruh pada arus pejalan
kaki.c.Standar C, para pejalan kaki dapat bergerak dengan arus yang searah secara
normal walaupun pada arah yang berlawanan akan terjadi persinggungan kecil,
dan relatif lambat karena keterbatasan ruang antar pejalan kaki.d.Standar D, para
pejalan kaki dapat berjalan dengan arus normal, namun harus sering berganti
posisi dan merubah kecepatan karena arus berlawanan pejalan kaki memiliki
potensi untuk dapat menimbulkan konflik.e.Standar E, para pejalan kaki dapat
berjalan dengan kecepatan yang sama, namun pergerakan akan relatif lambat dan
tidak teratur ketika banyaknya pejalan kaki yang berbalik arah atau berhenti.
Standar E mulai tidak nyaman untuk dilalui.f.Standar F, para pejalan kaki berjalan
dengan kecepatan arus yang sangat lambat dan terbatas karena sering terjadi
konflik dengan pejalan kaki yang searah atau berlawanan. Standar F sudah tidak
nyaman dan sudah tidak sesuai dengan kapasitas ruang pejalan kaki.Berikut tabel
tingkatan standar pelayanan jalur pejalan kaki.

Tabel 4. 12 Tingkatan Standar Pelayanan Jalur Pejalan Kaki


Sumber: Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan
Perkotaan, Departemen Pekerjaan Umum

4.1.7.4 Analisis Karakteristik Kawasan (Langgam Bangunan)


Sebuah kawasan kota dalam hal ini adalah koridor jalan diharapkan
memiliki karakter tersendiri agar memiliki citra. Berikut beberapa gambaran
mengenai analisis karekateristik kawasan.

a. Facade
Facade merupakan berasal dari Bahasa Italia facciata atau faccia. Kemudian
diadaptasi dari Bahasa Latin facies, yang selanjutnya berkembang menjadi
faceyang dalam Bahasa Inggris memiliki arti sebagai wajah. Menurut Moughtin
(1992) bahwa facadeadalah elemen yang penting yang menampilkan sebuah
kekayaan pengalaman visual bagi pengamat atau bagi yang melihatnya. Serta pada
facadeterdapat elemen-elemen yang dapat dianalisis yang terbagi pada 3 bagian
utama yaitu berupa bagian bidang dasar bagian bidang lantai serta bagian bidang
atap. Fasad juga berperan sebagai identitas seperti dibahas oleh Bentley (1980)
bahwa kekhasan suatu penampilan fisik yang melingkupi bagian ruang jalan
menjadi suatu elemen pendukung terhadap terciptanya identitas pada sebuah
kawasan yang kemudian hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas visual
yang baik sehingga dengan memiliki kualitas visual yang baik akan muncul
berdasarkan desain citra dari eksternal bangunan.

b. Skyline
Skyline adalah suatu garis pertemuan antara massa yang berdiri di atas tanah
atau garis tanah dengan langit. Skyline berhubungan erat dengan bentuk dan
massa bangunan, sempadan bangunan, ketinggian bangunan dan kondisi
topografinya. Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan visual tatanan
bangunan/deretan massa di sepanjang koridor yang menunjukkan garis langit
(skyline) dengan membuat bayangan bentuk bangunan pada posisi berderet di
salah satu sisi penggal jalan. Pengamatan terhadap skylineakan memberikan
gambaran komposisi massa bangunan yang menunjukkan hirarki visual bangunan.
Sedangkan peranan skyline terhadap koridor adalah untuk menentukan kualitas
keruangan dan tingkat keutamaan visual terhadap lingkungan (Moughtin dalam
Dipta,2015).

Gambar 4. 4 Skyline
Sumber: Moughtin dalam Dipta (2015)

4.1.7.5 Analisis Land Use


Tahapan analisis dalam penelitian ini antara lain terdiri dari klasifikasi
penggunaan lahan dan analisis perubahan penggunaan lahan. Analisis yang
dilakukan merupakan analisis berbasis Geographic Information System (GIS) sesuai
dengan kebutuhan penelitian dalam segi spasial.
1. Klasifikasi Penggunaan Lahan
Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah mengklasifikasikan
penggunaan lahan di BWP Selatan Kawasan Perkotaan Kuala Tanjung. Dalam
proses ini dibutuhkan penggunaan lahan dalam beberapa penggunaan lahan dalam
dimensi waktu yang berbeda (multi temporal). Penelitian ini menggunakan
penggunaan lahan pada tahun 2003, 2009, dan 2016 yang didapat dari interpretasi
citra satelit yang kemudian diklasifikasikan untuk penggunaan lahannya. Dalam
penelitian ini menggunakan citra Quickbird yang merupakan satelit observasi
bumi komersial resolusi tinggi, yang dimiliki oleh Digital Globe dan diluncurkan
pada tahun 2001.
Citra Quickbird yang telah disetting untuk sistem koordinatnya dapat
didelineasi secara manual penggunaan lahannya dengan teknik interpretasi visual
berdasarkan karakteristiknya. Unsur-unsur interpretasi yang digunakan
mencakup rona, bentuk, tekstur, pola, ukuran, bayangan, situs, dan asosiasi. Dalam
interpretasi, dilakukan klasifikasi penggunaan lahan yang tampak pada citra. Di
setiap kenampakan karakteristik lahan yang homogen dikategorikan dan
didelineasi dengan digitasi pada layar yang kemudian menghasilkan data vector.
Dalam penelitian ini klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan mengacu pada
SNI nomor 7645:2010 tentang penutup lahan, yang kemudian dimodifikasi sesuai
dengan karakteristik penggunaan lahan di wilayah penelitian.
Hasil delineasi klasifikasi penggunaan lahan kemudian dilakukan proses
validasi dengan pengecekkan lapangan. Dalam proses validasi penelitian ini telah
ditentukan 100 titik sampel secara acak dengan spatial sampling yang akan dicek
dengan survei lapangan. Survei lapangan dilakukan untuk melengkapi hasil
interpretasi citra satelit dan membuktikan kebenaran delineasi dalam klasifikasi
penggunaan lahan pada wilayah penelitian sehingga data akhir memiliki
keakuratan tinggi. Data penggunaan lahan tahun 2003, 2009, 2016 yang telah
dihasilkan dari serangkaian proses kemudian dilanjutkan untuk mengetahui
perubahan penggunaan lahan

2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan


Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan
antar peta penggunaan lahan tahun 2003, 2009, dan 2016 yang telah divalidasi
dengan menggunakan metode analisis overlay GIS. Analisis overlay (tumpang
tindih) adalah salah satu teknik analisis yang dapat dilakukan dengan bantuan
software pengolahan data spasial ArcGIS. Teknik analisis overlay dilakukan dengan
cara meletakkan sebuah peta beserta seluruh atribut di dalamnya di atas sebuah
peta lain untuk kemudian ditampilkan hasilnya.
Hasil dari proses analisis overlay ini adalah peta perubahan penggunaan
wilayah penelitian. Peta perubahan penggunaan lahan adalah peta yang
menunjukkan distribusi spasial dari lahan yang berubah dan tidak berubah
penggunaannya. Selain iyu juga dapat diketahui untuk statistik perubahan
penggunaan lahannya setiap periode tahunnya. Perubahan penggunaan yang
dihasilkan dalam penelitian ini berupa 3 periode waktu, yaitu periode tahun 2003-
2009, tahun 2009-2016, dan tahun 2003-2016. Dari data perubahan penggunaan
lahan ini, dapat diketahui statistik jenis, luasan, distribusi, dan kecenderungan
perubahan penggunaan lahan di Kota Pekalongan. Output dari analisis overlay ini
akan menjawab tujuan penelitian secara keseluruhan yaitu menganalisis
perubahan penggunaan lahan di BWP Selatan Kawasan Perkotaan Kuala Tanjung.

4.1.7.6 Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Dan Non Hijau

Berdasarkan dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Undang-


undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007. Tentang penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) sebagian besar lahan kota merupakan
ruang terbuka hijau yang memiliki 30% dari luas keseluruhan wilayah yang terdiri
dari ruang terbuka publik dan Privat. Proporsi yang dimiliki harus terdapat Ruang
Terbuka Hijau yang dimana 30% meliputi (10% RTH Privat dan 20% RTH Publik)
dengan jenis klasifikasinya ada empat yaitu RTH pekarangan, RTH Taman dan
Hutan Kota, RTH Jalur Hijau Jalan, dan RTH Fungsi Tertentu.
Analisis kebutuhan RTHKebutuhan berdasarkan luas wilayah merupakan
tahap kedua dalam proses analisis tahapan kebutuhan ruang terbuka hijau
Kecamatan Kartasura tahapan ini merupakan upaya menuju pencapaian tujuan
utama. Untuk mengetahui kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas
wilayah dilakukan pendekatan analisis berdasarkan ketentuan luas minimal 30%
dari luas wilayah kota. Rumusan kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah adalah
sebagai berikut :Kebutuhan RTH (Ha) = Luas wilayah (Ha) x 30% Analisis
kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah dibagi berdasarkan prorsi jenis RTH
yaitu RTH Publik sebesar 20% dan RTH Privat sebesar 10%. Kebutuhan ruang
terbuka hijau berdasarkan proporsi luas wilayah yang di analisis pada tingkat
kelurahan/desa untuk terciptanya distribusi ruang terbuka hijau yang berimbang
antar wilayah.
4.1.7.7 Analisis Vista Kawasan (Pelataran Pandang)

Arti vista secara harafiah berhubungan dengan view yang berarti


pandangan sejauh yang dapat tertangkap oleh mata manusia. View hanya dapat
dibatasi oleh sesuatu yang menghalangi. View merupakan sesuatu yang sangat
penting dalam perencanaan kawasan. Bagaimana suatu kawasan mempunyai nilai
estetika yang baik sangat ditentukan oleh faktor view. Hal ini berhubungan dengan
kontur, gaya bangunan, jalur jalan dan elemen-elemen lain seperti furniscape,
taman kota, dan public area. Vista yang berhubungan dengan path, edge, district,
dan node akan sangat mempengaruhi citra kota. Path atau jalur yang vital seperti
jalur transportasi menurut Kevin Lynch (Perancangan Kota Secara Terpadu
(Markus Zahnd, 2006)) adalah sesuatu yang mewakili gambaran kota secara
keseluruhan. Edge adalah batas wilayah yang dapat berupa dinding, sungai, atau
pantai. District adalah kawasan kota dalam skala dua dimensi yang mempunyai
kemiripan dalam bentuk, pola dan fungsinya. Node adalah sebuah titik temu
berbagai aktivitas ataupun arah pergerakan penduduk kota, seperti persimpangan,
pasar, square, dan sebagainya.

4.1.7.8 Analisis Tata Massa Bangunan


Tata masa bangunan adalah bentuk, besaran, peletakan, dan tampilan
bangunan pada suatu persil/tapak yang dikuasai. Pengaturan tata massa bangunan
mencakup antara lain:
A. Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Jarak Bebas Bangunan (JBB)
Pertimbangan Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Jarak Bebas Bangunan
minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan keselamatan, risiko
kebakaran, kesehatan, kenyamanan dan estetika. Faktor GSB dan JBB meliputi:
a. Garis sempadan bangunan;
b. Garis sempadan pagar;
c. Garis sempadan samping bangunan.
Adapun ketentuan GSB dan JBB sebagai berikut:
a. Untuk ruang milik jalan (rumija) < 8 m, GSB minimum = ½ rumija;
b. Untuk ruang milik jalan >= 8 m, GSB minimum = ½ rumija + 1 m;
c. Jarak antara bangunan gedung minimal setengah tinggi bangunan gedung.
B. Garis Sempadan Sungai (GSS) dan Jarak Bebas Bangunan (JBB)
Pertimbangan Garis Sempadan Sungai (GSS) dan Jarak Bebas Bangunan
minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan keselamatan, kenyamanan
dan estetika, serta kesehatan. Dengan mempertimbangkan:
a. Kedalaman sungai;
b. Lokasi di/luar wilayah perkotaan;
c. Daerah cakupan aliran sungai;
d. Ketersediaan fasilitas pengaman sungai (tanggul);
e. Fasilitas jalan yang ada di sungai/pemanfaatan lahan.
C. Tinggi Bangunan
Tinggi bangunan ditetapkan dengan mempertimbangkan keselamatan, risiko
kebakaran, teknologi, estetika, dan prasarana. Batasan ketinggian bangunan
tergantung pada daya dukung dan daya tampung lahan, intensitas pemanfaatan
lahan, serta potensi sarana/prasarana lingkungan yang bersangkutan. Batasan
ketinggian bangunan dapat berupa batasan lapis/tingkat bangunan atau dalam
satuan ketinggian (M’) baik yang membatasi ketinggian lantai yang dapat
digunakan maupun yang membatasi ketinggian bangunan yang tidak
digunakan (seperti antenna, dll).
D. Tampilan Bangunan
Tampilan bangunan ditetapkan dengan melihat karakter budaya setempat dan
perkembangan sosial ekonomi masyarakat, seperti penentuan wajah
bangunan, gaya bangunan, keindahan, dan keserasian dengan lingkungan
sekitar. Tampilan/arsitektur bangunan di Wilayah Perencanaan dapat
bertumpu konsep pengembangan arsitektur rumah adat Aceh (Krong Bade)
yang dapat memperkaya khazanah arsitektur di Indonesia, yaitu
mengembangkan arsitektur tradisional masyarakat setempat sepanjang
memungkinkan dan menggali nilai-nilai arsitektur yang berkembang saat ini,
yang kemudian secara sinerjik dapat diterapkan pada bangunan tersebut.
Guna mengetahui analisis tata masa bangunan di kawasan perencanaan
sebagaimana terlihat pada Tabel 4.51.
Tabel 4.51
Analisis Tata Massa Bangunan di Kawasan Perencanaan

No Jenis Zona/Sub Zona GSB (Garis Sempadan Bangunan) GSS (Garis Sempadan Sungai)
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan.
Zona Perumahan  GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
1  GSB samping bangunan tiap unit bangunan deret, kopel dan rumah tunggal = minimal 2 meter.
Kepadatan Rendah jalan inpeksi atau jalur hijau.
 GSB belakang bangunan tiap unit bangunan deret, kopel dan rumah tunggal = minimal 2 meter.
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan atau = 0 (pemilik
bangunan diberi kompensasi pembangunan yang diijinkan dengan KLB maksimum dan harus
membangun semi basement untuk parkir)  GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
2 Zona Perdagangan dan Jasa
 GSB samping bangunan = minimal 2 meter (untuk menjaga jarak dan memberi ruang gerak jalan inpeksi atau jalur hijau.
penyelamatan diri apabila terjadi kebakaran).
 GSB belakang bangunan = minimal 1 meter.
 GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan.
jalan inpeksi atau jalur hijau.
3 Zona Pendidikan  GSB samping bangunan = minimal 5 meter.
 GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk green belt
 GSB belakang bangunan = minimal 5 meter.
area.
 GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan.
jalan inpeksi atau jalur hijau.
4 Zona Sosial Budaya  GSB samping bangunan = minimal 5 meter.
 GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk green belt
 GSB belakang bangunan = minimal 5 meter.
area.
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan atau = 0 (pemilik
 GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
bangunan diberi kompensasi pembangunan yang diijinkan dengan KLB maksimum dan harus
jalan inpeksi atau jalur hijau.
5 Zona Kesehatan membangun semi basement untuk parkir)
 GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk green belt
 GSB samping bangunan = minimal 2 meter.
area.
 GSB belakang bangunan = minimal 2 meter.
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan atau = 0 (pemilik
bangunan diberi kompensasi pembangunan yang diijinkan dengan KLB maksimum dan harus
membangun semi basement untuk parkir)  GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
6 Zona Perkantoran
 GSB samping bangunan = minimal 2 meter (untuk menjaga jarak dan memberi ruang gerak jalan inpeksi atau jalur hijau.
penyelamatan diri apabila terjadi kebakaran).
 GSB belakang bangunan = minimal 1 meter.
 GSS = ½ lebar badan sungai dimanfaatkan untuk
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW jalan didepan bangunan dimanfaatkan
jalan inpeksi atau jalur hijau.
untuk green belt untuk mereduksi polusi.
7 Zona Industri  GSS yang besar bisa dimanfaatkan untuk buffer zone
 GSB samping bangunan = minimal 10 meter.
area antara daerah industri dengan lingkungan
 GSB belakang bangunan = minimal 10 meter.
sekitar dan atau green belt area.
Jenis Zona/Sub
No GSB (Garis Sempadan Bangunan) GSS (Garis Sempadan Sungai)
Zona
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW
 GSS = ½ lebar badan sungai
jalan didepan bangunan, dimanfaatkan untuk
dimanfaatkan untuk jalan
taman.
inpeksi atau jalur hijau.
8 Zona Pariwisata  GSB samping bangunan tiap unit bangunan resort =
 GSS yang besar bisa
minimal 5 meter.
dimanfaatkan untuk green belt
 GSB belakang bangunan tiap unit bangunan resort
area.
= minimal 5 meter.
 GSS = ½ lebar badan sungai
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = ½ ROW
dimanfaatkan untuk jalan
jalan didepan bangunan, dimanfaatkan untuk
inpeksi atau jalur hijau.
taman/parkir.
 GSS yang besar bisa
9 Zona Transportasi  GSB samping bangunan tiap unit bangunan =
dimanfaatkan untuk ruang
minimal 2 meter.
loading – unloading barang
 GSB belakang bangunan tiap unit bangunan =
dan penumpang dan atau
minimal 2 meter.
parkir.
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = minimal
 GSS yang besar bisa
100 meter.
Zona Sempadan dimanfaatkan untuk ruang
10  GSB samping bangunan pendukung ruang terbuka
Pantai publik, wisata pantai, dan atau
publik = minimal 100 meter.
green belt area.
 GSB belakang bangunan = minimal 100 meter.
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = sungai
besar minimal 100 meter dan sungai kecil minimal
50 meter.  GSS yang besar dan kecil bisa
Zona Sempadan  GSB samping bangunan pendukung ruang terbuka dimanfaatkan untuk ruang
11
Sungai publik = sungai besar minimal 100 meter dan publik, wisata sungai, dan atau
sungai kecil minimal 50 meter. green belt area.
 GSB belakang bangunan = sungai besar minimal
100 meter dan sungai kecil minimal 50 meter.
 GSB depan bangunan tiap unit bangunan = minimal
 GSS yang besar bisa
50 meter.
Zona Sempadan dimanfaatkan untuk ruang
12  GSB samping bangunan pendukung ruang terbuka
Danau publik, wisata danau, dan atau
publik = minimal 50 meter.
green belt area.
 GSB belakang bangunan = minimal 50 meter.

4.1.7.9 Analisis Intensitas Bangunan

Intensitas pemanfaatan ruang adalah besaran pembangunan yang


diperbolehkan berdasarkan batasan KDB, KLB, KDH atau kepadatan penduduk. Tujuan
intesitas pemanfaatan ruang adalah mendapatkan distribusi pemanfaatan lahan wilayah
yang lebih merata dan seimbang sesuai dengan jenis peruntukan dan daya dukung
kawasan perencanaan.

Penetapan kepadatan bangunan, KDB, KTB, KLB dan KDH serta tinggi bangunan
terutama didasarkan pada daya dukung fisik lahan dan daya dukung prasarana
(terutama kapasitas jalan) dan utilitas wilayah perencanaan. Untuk lebih jelas contoh
penetapan tinggi bangunan berdasarkan pertimbangan sky explosure plane dan Angle of
Light Obstruction (ALO) dapat dilihat pada Gambar 4.21.
Gambar 4.21
Contoh Penetapan Tinggi Bangunan Berdasarkan Pertimbangan Sky Explosure Plane dan
Angle of Light Obstruction (ALO)

Sedangkan sasaran intensitas pemanfaatan lahan adalah:


a. Distribusi secara spasial (ruang) intesitas pemanfaatan lahan kawasan menurut
jenis peruntukannya.
b. Mengupayakan ambang intesitas pemanfaatan lahan secara lebih merata (KLB rata-
rata).
c. Menentukan kepadatan bangunan dan tutupan lahan (KDB).

A. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)

KDB merupakan angka presentase berdasarkan perbandingan luas lantai dasar


bangunan terhadap luas tanah perpetakan yang dikuasai sesuai dengan rencana tata
ruangnya. Guna mengetahui klasifikasi KDB dapat dilihat Tabel 4.49.

Tabel 4.49 Klasifikasi KDB


No Klasifikasi Besaran KDB
1 Sangat rendah ≤5%
2 Rendah > 5 – 20 %
3 Sedang > 20 – 50 %
4 Tinggi > 50 – 75 %
5 Sangat tinggi > 75 %
Sumber : Keputusan Menteri PU No. 640/KPTS/1986.

Maksud penetapan KDB adalah untuk tetap menyediakan perbandingan yang


seimbang antara lahan terbangun dan tidak terbangun, sehingga peresapan air
tanah tidak terganggu, kebutuhan udara terbuka dapat terpenuhi, dan citra
arsitektur lingkungan dapat terpelihara. Sebagai contoh dengan KDB 40%, maka
pada kavling seluas 100 m2 diijinkan untuk mendirikan bangunan dengan luas lantai
40 m2.

B. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)

KLB adalah koefisien perbandingan antara luas keseluruhan lantai bangunan


terhadap luas persil/kavling/blok peruntukan. Penetapan KLB bermaksud untuk
menetapkan ketinggian maksimum dan minimum suatu bangunan untuk setiap blok
peruntukan.

Menurut standar Peraturan Bangunan Nasional, yang dimaksud dengan ketinggian


bangunan adalah jumlah lantai penuh dalam satu bangunan yang dihitung dari lantai
dasar sampai lantai tertinggi. Ketinggian suatu bangunan diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu:
a. Bangunan satu lantai, yakni bangunan sementara atau permanen yang berdiri
langsung di atas pondasi pada bangunan yang tidak terdapat pemanfaatan lain
selain pada lantai dasarnya;
b. Bangunan bertingkat, yakni bangunan permanen dengan ketinggian dua sampai
dengan lima lantai;
c. Bangunan tinggi, yaitu bangunan permanen dengan jumlah lantai lebih dari lima
atau ketinggian bangunan lebih dari 20 m.

Pertimbangan dalam menentukan angka KLB adalah:


a. Jenis penggunaan tanah;
b. Angka KDB;
c. Ukuran jalan dan jarak sempadan;
d. Jarak bangunan;
e. Ketinggian bangunan maksimum yang diijinkan.

Dari rencana KDB, maka rencana KLB adalah sebagai berikut:


a. Pada wilayah padat/strategis, nilai KLB tinggi (KLB maksimum 3,2; 4,2; dan 4,8)
b. Pada wilayah dengan kepadatan sedang, nilai KLB sedang (KLB maksimum 1,8;
2,1; 2,4; dan 2,8)
c. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, nilai KLB rendah (KLB maksimum 0,2;
0,8; 1,2; dan 1,6)

C. Koefisien Dasar Hijau (KDH)

KDH adalah angka prosentase perbandingan antara luas ruang terbuka di luar
bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas tanah
daerah perencanaan. KDH merupakan areal minimal yang harus disediakan dan
harus dapat menjalankan fungsi ekologis dan estetika.

Ketentuan tentang KDH berlaku pada ruang terbuka hijau mikro yang merupakan
ruang terbuka hijau privat, berupa halaman/pekarangan pada suatu daerah
perencanaan. Sebagai contoh : sebuah lahan ditentukan KDB 60%, KDH 25% maka
pada lahan tersebut didapatkan tanah diluar bangunan sebesar 40%, yang terdiri
atasa minimal 25% penghijauan dan maksimal 15% perkerasan.

D. Koefisien Tapak Basement (KTB)

KTB adalah angka prosentasi berdasarkan perbandingan luas tapak basement


terhadap luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana.
Penetapan besar KTB maksimum didasarkan pada batas KDH minimum yang
ditetapkan. Sebagai contoh : bila KDH minimum = 25%, maka KTB maksimum =
75%.

E. Kepadatan Bangunan

Kepadatan bangunan adalah angka prosentase perbandingan antara jumlah


bangunan dengan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan. Standar atau interval
KDB dan KLB dapat merujuk pada aturan yang berlaku, dan dapat disesuaikan
dengan kondisi di daerah.

Kepadatan bangunan ditetapkan berdasarkan pertimbangan (Stevens 1960):


1. Faktor kesehatan
– Ketersediaan air bersih; sanitasi dan sampah; cahaya; sinar matahari; aliran
udara; ruang antarbangunan.
2. Faktor sosial
– Ruang terbuka privat; privasi; perlindungan, jarak tempuh terhadap fasilitas
lingkungan
3. Faktor teknis
– Risiko kebakaran; keterbatasan lahan untuk bangunan/rumah;
4. Faktor ekonomi
– Biaya lahan; jarak dari rumah ke tempat kerja dan ongkos transportasi;
ketersediaan dan ongkos penyediaan pelayanan dasar; ketersediaan dan
ongkos tukang, material, dan peralatan.

Guna mengetahui analisis intensitas pemanfaatan ruang di kawasan perencanaan


sebagaimana terlihat pada Tabel 4.50.

Tabel 4.50 Analisis Intensitas Pemanfaatan Ruang di Kawasan Perencanaan


No Jenis Zona/Sub Zona KDB KLB KDH
Zona Perumahan KLB perumahan tunggal/deret =
1 Kepadatan Sedang dan 50% - 70% maks. 2,4 atau ketinggian bangunan = 30% - 50%
Rendah maks. 4 lantai.
KLB = maks. 2,4 atau ketinggian
2 Zona Perdagangan dan Jasa maks. 60% min. 40%
bangunan = maks. 4 lantai
KLB = maks. 2 atau ketinggian
3 Zonas Pendidikan 40% - 60% 40% - 60%
bangunan = maks. 3 lantai
KLB = maks. 2,4 atau ketinggian
4 Zona Kesehatan 40% - 60% 40% - 60%
bangunan = maks. 4 lantai
KLB = maks. 2,4 atau ketinggian
5 Zona Sosian Budaya 40% - 60% 40% - 60%
bangunan = maks. 4 lantai
KLB = maks. 2,4 atau ketinggian
6 Zona Perkantoran maks. 60% min. 40%
bangunan = maks. 4 lantai
KLB = maks. 1 atau ketinggian
7 Zona Industri 40% - 60% 40% - 60%
bangunan = 2 lantai
KLB = maks. 2,4 atau ketinggian
8 Zona Pariwisata maks. 40% min. 60%
bangunan = maks. 4 lantai
KLB = maks. 1 atau ketinggian
9 Zona Transportasi maks. 40% min. 60%
bangunan = maks. 2 lantai
KLB = maks. 1 atau ketinggian
10 Zona Sempadan Pantai maks. 20% min. 80%
bangunan = maks. 2 lantai
KDB
KLB = maks. 0,1 atau ketinggian
11 Zona Sempadan Sungai pendukung 90% - 100%
bangunan = maks. 1 lantai
maks. 10%
KDB
KLB = maks. 0,1 atau ketinggian
12 Zona Sempadan Danau pendukung 90% - 100%
bangunan = maks. 1 lantai
maks. 10%

4.1.7.10 Analisis Land Value Capture (Pertambahan Nilai Lahan)


1. Analisis nilai lahan berbasis nilai jalan (street value);
Analisis dilakukan menggunakan pendekatan rumusan perhitungan nilai lahan
menggunakan penilai jalan (street value) berdasarkan Standar Penyesuaian Ulang
Lahan Kementrian PU (2014). Jalan merupakan fitur penting untuk pembangunan,
pengembangan seluruh wilayah dapat terjadi setelah pembangunan jalan. Rumusan
tersebut terdiri dari 2 tahapan yaitu:
1) Menghitung nilai jalan yang akan menghasilkan indeks nilai jalan yang dihitung
berdasarkan posisi atau kedudukan dan luasan tiap persil lahan (satuan dalam
unit/m2); dan
2) Menghitung nilai lahan yaitu nilai dari setiap persil berdasarkan indeks nilai
jalan, dengan diasumsikan nilai jalan adalah 1000 unit/m2 (satuan dalam
unit/m2). Perhitungan ‘nilai jalan’ mengunakan formula: Nilai jalan (NJ) =
Koefisien Jalan + Koefisien Aksesibilitas + Koefisien Lahan
a. Koefisien jalan (KJ) mencerminkan nilai guna persil bidang lahan yang
menghadap ke jalan, dan dihitung dari penjumlahan koefisien fungsi jalan, lebar
jalan dan koefisien kelengkapan jalan.
b. Koefisien Aksesibilitas (KA) mencerminkan nilai guna/manfaat yang
menguntungkan dari persil lahan yang dihitung berdasarkan jarak
relatif(berdasarkan kemampuan orang berjalan kaki (walking distance) + 400
m) antara persil dengan sarana transportasi, dan prasarana dan sarana umum.
c. Koefisien lahan (KL) mencerminkan fitur ketersediaan, kemudahan dan
keamanan terhadap bencana dari prasarana (utilitas) yang melekat pada jalan
dan memberikan nilai terhadap persil yang berada dihadapan jalan tersebut
yang mencakup luasan, bentuk, penggunaan lahan, ketersediaan air minum,
saluran pembuangan, jaringan listrik tegangan tinggi atau gardu, posisi mata
angin, aliran udara, kondisi tanah, dan lainnya.
Setelah memperoleh nilai jalan, maka langkah selanjutnya adalah menghitung
indeks nilai jalan (street value index). Penghitungan indeks nilai jalan dilakukan
dengan pendekatan perbandingan konversi dimana nilai maksimal nilai jalan
sebelum proses replotting sebesar 1000 unit/m2. Nilai konversi diperoleh dengan
cara memilih ruas jalan yang memiliki nilai tertinggi dari sekumpulan nilai ruas
jalan dalam wilayah perencanaan menjadi nilai referensi untuk pembanding. Nilai
konversi di hitung sebagai berikut:

1000
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑠𝑖 =
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑟𝑒𝑝𝑙𝑜𝑡𝑖𝑛𝑛𝑔

Berdasarkan nilai konversi ini, dapat ditentukan indeks nilai jalan untuk seluruh
ruas jalan di kawasan penyesuaian ulang lahan sebelum dan sesudah replotting.
Prosedur perhitungan nilai jalan dan indeks nilai jalan mengikuti Standar
Penyesuaian Ulang Lahan Kementrian PU (2014) dapat dilihat pada Lampiran 1.
Hasil perhitungan indeks nilai jalan ini menjadi baseline untuk menentukan
penataan dan melakukan tranformasi kawasan serta konversi lahan aktual menjadi
bangunan vertikal (rumah susun). Indeks nilai jalan ini menjadi acuan untuk
menentukan besarnya rasio kontribusi dari masing-masing pemilik lahan.

2. Replotting blok kawasan;


Penyusunan disain replotting kawasan penyesuaian ulang lahan dilakukan dengan
tahapan umum berikut ini (lihat Gambar 4.2).

Gambar 4. 5 Tahapan desain replotting

3. Analisis kenaikan nilai lahan (sesudah replotting)


Pada masing-masing kondisi sebelum dan sesudah replotting dapat dihitung nilai
rata-rata indeks nilai jalan. Dengan membandingkan indeks nilai jalan setelah dan
sebelum replotting dapat dihasilkan ‘nilai peningkatan’ (increase rate) yang
merupakan ‘nilai dasar’ dalam perubahan nilai lahan karena proses
replotting(perencanaan). Hasil penghitungan nilai jalan menghasilkan 'nilai
peningkatan' (increase rate) kawasan sesudah penyesuaian ulang lahan. Nilai
increase rate dapat dihitung sebagai berikut:
𝑰𝒏𝒅𝒆𝒌𝒔 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒓𝒆𝒑𝒍𝒐𝒕𝒕𝒊𝒏𝒈
𝑰𝒏𝒅𝒆𝒌𝒔 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝒓𝒆𝒑𝒍𝒐𝒕𝒕𝒊𝒏𝒈
Nilai rerata peningkatan (increase rate) hasil replotting dikatakan 'layak' apabila
nilainya lebih besar atau sama dengan 1.2 ( > 1.2) (sesuai Standar Penyesuaian
Ulang Lahan Kementrian PU 2014)
4. Neraca penggunaan lahan sesudah replotting;
Neraca penggunaan lahan sesudah replotting merupakan perhitungan luasan dan
prensentase alokasi rencana penggunaan lahan pemukiman, jalan dan prasarana
pendukung, ruang terbukan hijau, lahan cadangan dan penggunaan lainnya. Neraca
penggunaan lahan tersebut dapat menunjukkan perubahan komposisi alokasi lahan
pada kondisi aktual dengan kondisi sesudah replotting. Neraca ini mencermin
terjadi transformasi ruang dalam bentuk penataan kembali kawasan baik bentuk
dan bidang tanah sesuai arahan rencana tata ruang dan penggunaan lahan
perkotaan yang disesuaikan dengan kebutuhan pola hunia atau pola usaha, sekaligus
penyediaan sarana dan prasarana.
5. Kontribusi lahan.
Rasio kontribusi dalam penyesuaian ulang lahan (land readjustment)dilakukan
dengan membagi jumlah lahan yang akan dimanfaatkan untuk pelayanan publik dari
jumlah total luasan kawasan. Rasio ini diterapkan pada setiap plot dan secara umum
persentase kontribusi lahan adalah 30% - 40% (Cete 2010). Perhitungan kontribusi
dilakukan dengan formula sebagai berikut ini (Tabel 5.4). Kategori lahan
pemukiman yang sebagiannya digunakan adalah: persil (Lot) bangunan; Ruang
Terbuka Hijau privat, dan Lainnya (sekolah, masjid, kantor dan aula RW, Posyandu).
Sedangkan untuk didistribusikan untuk penggunaan fasilitas publik adalah: jaringan
jalan, RTH publik, dan lahan cadangan. Perhitungan kontribusi setiap satuan luasan
lahan pemukiman yang digunakan adalah sebagai berikut:
 Luasan lahan untuk fasilitas public setelah replotting (L1) = A1+B1+F1
 Luasan lahan untuk fasilitas public sebelum replotting (L0) = A0+B0+F0
 Luasan lahan untuk permukiman sebelum replotting (P0) = C0+D0+E0
 Tambahan luasan untuk fasilitas publik setelah replotting (TL) = L1-L0
 Persentase Kontribusi (CR) = (TL/P0) x 100%
 Persentase distribusi untuk setiap satuan luasan yang dikontribusikan adalah:
(1) Untuk Jaringan Jalan (SA x 100%); RTH Publik (SB x 100%), dan Lahan
Cadangan (SF x 100%); dimana SA+SB+SF=1.00
Tabel 4. 13 Rumusan perhitungan rasio kontribusi lahan

Anda mungkin juga menyukai