Kecemasan Pada Remaja Menurut Perspektif Kognitif
Kecemasan Pada Remaja Menurut Perspektif Kognitif
Kecemasan Pada Remaja Menurut Perspektif Kognitif
b. Perubahan Internal
Perubahan yang terjadi dalam organ dalam tubuh remaja dan tidak tampak dari luar.
Perubahan ini nantinya sangat mempengaruhi kepribadian remaja. Perubahan tersebut
adalah:
1. Sistem Pencernaan
Perut menjadi lebih panjang dan tidak lagi terlampau berbentuk pipa, usus
bertambah panjang dan bertambah besar, otot-otot di perut dan dinding-dinding usus
menjadi lebih tebal dan kuat, hati bertambah berat dan kerongkongan bertambah
panjang.
2. Sistem Peredaran Darah
Jantung tumbuh pesat selama masa remaja, pada usia tujuh belas atau delapan
belas, beratnya dua belas kali berat pada waktu lahir. Panjang dan tebal dinding
pembuluh darah meningkat dan mencapai tingkat kematangan bilamana jantung
sudah matang.
3. Sistem Pernafasan
Kapasitas paru-paru anak perempuan hampir matang pada usia tujuh belas
tahun; anak laki-laki mencapat tingkat kematangan baru beberapa tahun kemudian.
4. Sistem Endokrin
Kegiatan gonad yang meningkat pada masa puber menyebabkan
ketidakseimbangan sementara dari seluruh sistem endokrin pada masa awal puber.
Kelenjar-kelenjar seks berkembang pesat dan berfungsi, meskipun belum mencapai
ukuran yang matang sampai akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
5. Jaringan Tubuh
Perkembangan kerangka berhenti rata-rata pada usia delapan belas tahun.
Jaringan selain tulang, khususnya bagi perkembangan otot, terus berkembang sampai
tulang mencapai ukuran yang matang.
Adapun ciri – ciri dari proses perkembangan kognitif remaja ini adalah
bahwasanya seorang remaja berpikir secara abstrak, idealis dan logis. Berpikir
secara abstrak, yaitu remaja dapat berpikir untuk memecahkan persamaan –
persamaan aljabar yang bersifat abstrak. Berpikir secara idealistis, yaitu
kemampuan remaja dalam berpikir sesuatu ang bersifat mungkin, mereka
berpikir tentang ciri ideal mereka sendiri, orang lain dan dunia. Berpikir secara
logis, yaitu berpikir seperti seorang ilmuwan, yang menyusun rencana untuk
memecahkan masalah – masalah dan mengujinya secara sistematis pemcahan –
pemecahan masalah tersebut.
1. Periode Pra-remaja
Selama periode ini terjadi gejala yang hamper sama antara remaja pria
maupun wanita. Perubahan fisik belum begitu tampak jelas, tetapi pada remaja
putrid biasanya memperlihatkan penambahan berat badan yang cepat sehingga
mereka merasa kegemukan. Gerakan-gerakan mereka mulai menjadi kaku.
Perubahan ini disertai sifat kepekaan terhadap rangsang-rangsang dari luar,
responnya biasanya berlebihan sehingga mereka mudah tersinggung dan cengeng,
tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak.
2. Periode Remaja Awal
Selama periode ini perkembangan gejala fisik yang semakin tampak jelas
adalah perubahan fungsi alat-alat kelamin. Karena perubahan alat-alat kelamin
serta perubahan fisik yang semakin nyata ini, remaja seringkali megalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri denngan perubahan-perubahan itu. Akibatnya
tidak jarang mereka cenderung menyendiri sehingga tidak jarang pula merasa
terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang
yang mau mempedulikannya. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit dan
mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia
sekitarnya. Perilaku seperti ini sesunguhnya terjadi karena adanya kecemasan
terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang kadang-kadang tidak
wajar.
3. Periode Remaja Tengah.
Tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja
untuk dapat menuju kearah mampu memikul sendiri seringkali menimbulkan
masalah tersendiri bagi remaja. Karena tuntutan peningkatan tanggung jawab ini
tidak hanya datang dari orang tua atau anggota keluarganya melainkan juga dari
masyarakat sekitarnya, maka tidak jarang masyarkat juga terbawa-bawa menjadi
masalah bagi remaja. Melihat fenomena yang sring terjadi dalam masyrakat yang
seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang
mereka ketahui, maka tidak jarang juga remaja mulai meragukan tentang apa yang
disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai
mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik dan pantas untuk dikembangkan
dikalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orang tua atau orang dewasa
sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa
disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka atau bahkan orang tua
atau orang dewasa menunjukkan prilaku yang tidak konsisten dengan nilai-nilai
yang dipaksakannya itu.
4. Periode Remaja Akhir
Selama periode ini remaja memandang dirinya sebagai orang dewasa dan
mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang makin dewasa.
Oleh sebab itu, orang tua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang
selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orang tua juga menjadi semakin
bagus dan lancar karena mereka sudah semakin memiliki kebebasan yang relative
terkendali dan emosinya pun mulai stabil. Pilihan arah hidup sudah semakin jelas
dan mulai mampu mangambil pilihan serta keputusan tentang arah hidupnya
secara lebbih bijaksana meskipun belum bias secara penuh. Mereka juga mulai
memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap dirinya
sendiri, orang tua, dan masyarakat.
Pengaruh Emosi Terhadap Perilaku Individu
Emosi sangat berpengaruh bagi kita khusunya remaja dalam kehidupan
pergaulannya, baik yang tampak langsung berupa tingkahlaku maupun yang
tersembunyi. Menurut Djawad Dahlan (2007:115), ada beberapa pengaruh emosi
terhadap prilaku individu diantaranya sebagai berikut :
1. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil
yang dicapai.
2. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan
sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
3. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang
mengalami ketegangan emosi dan biasa juga menimbulkan sikap gugup
(nervous).
4. Terganggunya penyesuiaan sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati
5. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya
akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain. Dengan kata lain, semakin baik
kondisi emosi seseorang, maka semakin baik pula prilaku yang
dimunculkan oleh individu tetsebut.
5. Gambaran Reaksi Emosi dan Perilaku dalam Perawatan Gigi dan Mulut Pada
Remaja
Masa remaja adalah masa transisi dari kanak-kanak ke dewasa. Masa remaja menurut
Olds dimulai pada usia dua belas tahun sampai awal dua puluhan tahun. Masa ini hampir
selalu merupakan masa masa sulit bagi remaja. Perkembangan secara emosionalnya
antara lain :
a. Remaja mulai menyampaikan kebebasan dan haknya untuk mengemukakan
pendapatnya sendiri. Ini dapat menciptakan ketegangan dan perselisian serta dapat
menjauhkan diri.
b. Remaja lebih muda dipengaruhi teman-temannya daripada ketika masih lebih
muda.
c. Remaja mengalami perubahan fisik yang luar biasa seperti penakut,
membingungkan dan menjadi sumber perasaan salah dan frustasi.
d. Emosi biasanya meningkat mengakibatkan ia sukar menerima nasihat
Selain yang telah disebutkan diatas, anak yang baru memasuki masa remaja
cenderung akan berperilaku aktif, menerima pemikiran orang dewasa, menyukai
berkelompok dengan teman sebayanya, memiliki perilaku lebih dewasa berupa kontrol
emosional yang baik, mudah menyesuaikan diri dengan situasi sekitar, dan berusaha
mematuhi instruksi yang diberikan dokter gigi. Hal ini juga dikarenakan pada usia remaja
mereka sudah dapat merasakan kekurangan dalam dirinya dan berusaha untuk
memperbaiki penampilannya. Apabila ada masalah pada gigi dan mulutnya, mereka akan
merasa tidak percaya diri terbukti dari hasil penelitian Paula dkk (2009) tentang
Psychosocial Impact of Dental Esthetics on Quality of Life in Adolescents dari 301 remaja
dengan rentang usia 13 sampai 20 tahun yaitu adanya dampak lisan masalah gigi dan
mulut yaitu menurunnya interaksi sosial karena masalah pada gigi dilaporkan oleh 88%
dari remaja, dan 98,3% dari subyek menunjukkan beberapa tingkat dampak psikososial
dan ketidakpuasan dengan beberapa bagian tubuh yang diungkapkan oleh 72% dari
sampel. Pemaparan diatas menggambarkan bahwa masalah kesehatan gigi dan mulut
memainkan peranan penting dalam interaksi sosial dan psikologis pada remaja. Dampak
kondisi kesehatan mulut terhadap kualitas hidup yaitu dapat mempengaruhi kepuasan
dengan penampilan, menyebabkan perasaan malu dalam kontak sosial dan mempengaruhi
efek psikologis.
Biasanya anak pada usia ini bisa menangani ketakutan terhadap prosedur
perawatan gigi karena dokter gigi bisa menjelaskan apa yang akan dilakukan dan alasan
kenapa perawatan tersebut dilakukan. Faktor umur sangat mempengaruhi perilaku anak
terhadap perawatan gigi dan mulut. Anak dengan usia sangat muda sering menunjukkan
perilaku kurang kooperatif terhadap perawatan gigi dan mulut. Penelitian yang dilakukan
oleh Mittal dan Sharma pada tahun 2013 pada 180 anak usia 6 - 12 tahun menunjukkan
bahwa semua anak pada penelitian tersebut berperilaku kooperatiif. Sebanyak 92.22%
anak memiliki persepsi yang positif terhadap perawatan gigi dan mulut. Mereka
menunjukkan sikap senang dan bahagia. Bahkan lima anak di antara mereka
menunjukkan ambisi atau cita-citanya untuk menjadi dokter gigi. Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Klein yang mengatakan bahwa terdapat persentase yang
tinggi (52.23%) dari 111 anak-anak yang berumur 3-6 yang menunjukkan perilaku
negatif.
Menurut Soemartono pada tahun 2003, rasa takut dan cemas menghadapi
perawatan gigi merupakan reaksi yang pada umumnya dirasakan pasien, baik itu anak-
anak, remaja maupun orang dewasa. Usia remaja memiliki prevalensi kecemasan dental
lebih rendah dibandingkan anak-anak, kemungkinan disebabkan karena anak remaja telah
memiliki lebih banyak pengalaman menjalani penyuluhan dan pemeriksaan rutin di
sekolah. Prevalensi kecemasan dental akan berkurang seiring bertambahnya usia anak.
Anak dengan usia lebih muda umumnya memiliki perasaan lebih takut terhadap
perawatan gigi dibandingkan anak dengan usia lebih dewasa. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian juga banyak mengemukakan
bahwa masalah perilaku terhadap perawatan gigi dan mulut paling banyak ditemukan
pada usia prasekolah.
Perasaan cemas sering kali menjadi penyebab seseorang menghindar dari
perawatan gigi. Menurut Gao et al., rasa takut dan cemas terhadap perawatan gigi (dental
fear and anxiety, DFA) merupakan masalah besar bagi sebagian individu, terutama anak
dan remaja. Prevalensi DFA pada anak dan remaja berkisar antara 5-20% di berbagai
negara, dengan beberapa kasus menunjukkan kasus yang mengarah pada dental phobia
(DFA berat). Perilaku anak dan remaja dengan DFA dapat mempengaruhi hasil
perawatan, menciptakan stres kerja pada dokter gigi dan stafnya, serta tidak jarang
menjadi penyebab perselisihan antara dokter gigi dengan pasien atau orang tua mereka.
Anak akan mencoba segala cara untuk menghindari atau menunda pengobatan, sehingga
kesehatan rongga mulut tidak terjaga. Selain dampaknya terhadap perawatan gigi, DFA
juga dapat menyebabkan gangguan tidur, mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan
memiliki dampak negatif pada seseorang fungsi psikososial. DFA diperoleh di masa
kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa dan merupakan prediktor signifikan untuk
menghindari kunjungan ke dokter gigi pada usia dewasa. Hal tersebut merupakan tahap
penting untuk mencegah DFA sehingga kesehatan mulut dapat dicapai secara optimal.
Remaja memiliki potensi untuk mengalami kecemasan, hal ini terlihat dari beberapa
cirri khas pda masa remaja, antara lain: pertama, masa remaja sebagai periode peralihan.
Pada masa ini, pengalaman masa lalu remaja sangat berpengaruh terhadap apa yang terjadi
saat ini dan yang akan datang. Selain itu, makin sukarnya untuk mempelajari tanggung
jawab dalam masa dewasa. Kedua, masa remaja sebagai masa perubahan. Pada masa ini
timbul lebih banyak dan lebih sulit pemasalahan untuk diselesaikan. Selain itu sikap yang
ambivalen yaitu keinginan untuk mendapatkan kebebasan dan adanya ketakutan untuk
bertanggung jawab akan akibatnya, serta meragakan kemampuan mereka untuk mengatasi
tanggung jawab tersebut. Ketiga, masa remaja sebagai usia bermasalah. Pada masa ini
mereka merasa mandiri, ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak bantuan
orang lain. Padahal sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengalaman dalam
mengatasi masalah karena sepanjang masa kanak-kanak orang lain yaitu orang tua dan
guru-gurulah yang selalu terlibat dalam mengatasi masalah mereka.
Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan aspek fisiologis, di masa
remaja kelenjar hipofise menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormone, seperti
hormon gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat pematangan sel telur dan sperma, serta
mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis,
testosterone, estrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga
terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk dalam Sumiati, 2009:14). Perubahan emosional,
pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Pola-pola
emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang.
Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam
mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman
emosi yang ekstrem dan selalu merasa mendapatkan tekanan (Hurlock dalam Sumiati,
2009:20). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan
emosi secara ekstrem dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi
dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain
remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil.
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala-gejala tertentu seperti: kardiovaskuler
(misalnya takikardi), muskuler (misalnya nyeri kepala), gastrointestinal (misalnya diare), dan
respirasi (misalnya takipneu). Sistem saraf otonom pada pasien dengan gangguan kecemasan
menunjukkan peningkatan tonus simpatik yang beradaptasi lambat terhadap stimulus yang
berulang dan beradaptasi secara berlebihan terhadap stimulus dengan intensitas sedang.
Ada tiga neurotransmiter yang berkaitan dengan kecemasan yaitu: norepinefrin,
serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Teori mengenai peranan norepinefrin
dalam kecemasan yaitu adanya sistem noradrenergik yang tidak teregulasi dengan baik
disertai ledakan aktivitas pada saat-saat tertentu seperti yang tampak pada gejala kronik
kecemasan. Penelitian mengenai peranan serotonin dalam kecemasan menunjukkan hasil
yang berbeda-beda sehingga pola abnormalitasnya belum dapat dijelaskan.
Peranan GABA dalam kecemasan didukung kuat oleh efikasi benzodiazepin dalam
mengatasi gangguan kecemasan. Obat tersebut meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor
GABA tipe A di mana resptor tersebut diduga mengalami abnormalitas pada penderita
gangguan kecemasan.
Asrori, 2005. Perkembangan Peserta Didik. Malang: Wineka Media
Azmi, Nurul. 2015. Potensi Emosi Remaja Dan Pengembangannya. Jurnal Pendidikan
Sosial. Vol. 2, No. 1. ISSN 2407-5299. Pontianak.
Berk, Laura E. ̧2003, Child Development, sixth edition, USA: Allyn and Bacon.
Gao X, Hamzah SH, Yiu YCK, McGrath C, King MN. Dental fear and anxiety in
children and adolescents: qualitative study using YouTube. J Med Internet Res 2013;
15(2): e29.
Jeffrey S. Nevid, dkk. (2005). Psikologi Abnormal. Edisi Kelima. Jilid 1. Jakarta:
Erlangga
John W. Santrock (2007). Perkembangan Anak. Jilid 1 Edisi kesebelas. Jakarta : PT.
Erlangga.
Sumiati., Dinarti., Nurhaeni, H. & Aryani, R. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja Dan
Konseling. Jakarta:
Trans Info Media.