Perbandingan Birokrasi Negara Indonesia Dan Singapura

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

Gambaran umum birokrasi di Indonesia

Pada saat awal pasca kemerdekaan, Indonesia masih semangat memperjuangkan nasib rakyat Indonesia.
Namun saat masa demokrasi parlementer, birokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat tersebut
mulai ternodai dengan adanya unsur kepentingan politik dalam birokrasi. Kemudian pada saat Orde
Baru, birokrasi mulai didominasi oleh kekuatan Golkar.Dan pada masa reformasi saat ini, birokrasi yang
ada menjadi kurang peka terhadap kebutuhan masyarakat karena imbas darii buruknya birokrasi pada
masa-masa sebelumnya , sorotan dan permasalahan utama dalam birokrasi di Indonesia adalah
integritas aparat birokrasi yang rendah yang masih sangat rentan dengan KKN. Hal tersebut bisa terjadi
karena ketidakmandirian, ketidakdisiplinan dan kualitas birokrat yang kurang memadai yang ditambah
dengan sikap materialistis dan gaji kecil sehingga membuat kinerja para birokrat yang tidak memuaskan.
Ada berbagai faktor yang dapat menghambat terciptanya birokrasi yang bersih dan efektif di Indonesia,
antara lain:

1. Pemahaman yang berbeda mengenai pengertian administrasi publik

Kelemahan institusi (adanya tumpang tindih wewenang, hak dan kewajiban)

Lemahnya menejemen sumberdaya aparatur

Lemahnya prosedur kerja dan pelayanan (proses berbelit-belit dan susah terjangkau)

Lemahnya sistem hukum

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semakin menjamur di Indonesia

Sementara yang menjadi sorotan birokrasi di Indonesia sebagai negara berkembang adalah para birokrat
yang dinilai bekerja tidak memuaskan. Biasanya mereka cenderung menyelewengkan wewenang yang
mereka pegang. Karena dalam realitanya, yang menggejala di Indonesia saat ini adalah praktek buruk
yang menyimpang dari teori idealis birokrasi. Dalam prakteknya, muncul kesan yang menunjukkan
seakan-akan para pejabat dibiarkan menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk kepentingan diri dan
kelompok. Ini dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek birokrasi yang tidak efisien dan bertele-
tele. Reformasi birokrasi terus dikembangkan dan digalakan selama beberapa periode. Namun demikian,
kondisi ini merupakan suatu proses dan tahapan yang harus dilalui. Tidak dapat ditampik bahwa
reformasi birokrasi yang dilaksanakan hingga saat ini pun masih menyisakan berbagai permasalahan.
Penyakit yang masih menjangkit tubuh birokrasi saat ini antara lain, pertama, Tingginya penyalahgunaan
kewenangan dalam bentuk KKN. Prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan di
seluruh lini pemerintahan, baik pusat hingga daerah. Kasus KKN yang sudah menyentuh seluruh lini
pemerintahan jelas melukai masyarakat. Hal ini disebabkan, KKN selalu menyeret beberapa pihak
terutama aparatur-aparatur pemerintah termasuk para pimpinan daerah. Praktik-praktik KKN telah
tumbuh subur sejak zaman orde baru hingga reformasi. Kondisi ini yang kemudian memunculkan
persepsi bahwa aparatur negara memiliki profesionalitas dan komitmen terhadap negara yang masih
rendah. Hal ini kemudian menyebabkan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum optimal,
serta waktu yang ada tidak digunakan secara produktif. Selain itu akuntabilitas, responsibiltas dan empati
aparatur pemerintah terhadap kepentingan masyarakat masih rendah. Kondisi demikian yang
mempengaruhi masih rendahnya kemampuan melaksanakan standar kinerja birokrasi seperti yang
diharapkan.

Kedua, rendahnya kualitas pelayanan publik. Menjadi rahasia umum bahwa birokrasi pelayanan di
Indonesia lekat dengan sistem dan prosedur yang berbelit-belit, mahal dan sumber daya manusia yang
lamban dalam memberikan pelayanan. Hal ini yang semakin memperburuk citra birokrasi dan semakin
kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Seiring dengan pelaksanaan sistem desentralisasi melalui
otonomi daerah, sudah banyak daerah-daerah yang mampu berinovasi, membenahi budaya
birokrasinya, serta menunjukan perubahan dan perbaikan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Di lain sisi, tidak sedikit pula, terjadi praktik penyimpangan kekuasaan, menampakan wajah
koruptif, manipulatif dan cenderung predatoris (Hadiz, 2010). Fenomena ini memunculkan paradoks,
yang dapat dilihat dari beberapa daerah yang sebelumnya dinobatkan sebagai daerah reformis
atauchampion,seperti diantaranya Bupati Sragen, Jembrana dan Tanah Datar yang diproses hukum
dengan dakwaan melakukan korupsi (Djani, 2013).

Budaya birokrasi yang masih buruk serta birokrasi yang tambun berimplikasi pada kurang efisien dan
efektif dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu sumber daya aparatur atau sumber daya manusia
yang memberikan pelayanan, kurang berkompeten dibidangnya. Mentalitas dan niat dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat juga masih rendah. Perilaku aparatur yang arogan serta birokrasi yang
tambun, berkaitan dengan rendahnya kesadaran aparatur bahwa kedaulatan berasal dari rakyat
sedangkan birokrat hanya sebagai pelaksana amanat yang diberikan oleh masyarakat. Fakta yang ada di
lapangan, aparatur bukan melayani namun dilayani.

Ketiga, pengaruh politik yang kuat terhadap birokrasi, juga menjadi penyumbang terhadap masih
terhambatnya kinerja birokrasi sehingga lemah dalam merespon agenda dan tantangan dalam
pembangunan nasional. Kondisi ini tidak dapat dihindari karena sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh Indonesia. Sistem kepartaian yang dianut oleh Indonesia, sedikit banyak berdampak pada kinerja
aparatur yang tidak netral. Aparatur negara terkooptasi dan terintervensi oleh kepentingan partai yang
dinilai berjasa dalam mengusung namanya menjadi aparatur negara. Tidak sedikit pengangkatan pejabat
eselon I berbagai kementerian/lembaga negara serta BUMN yang disesuaikan dengan nafas politik
menterinya (Bappenas, 2004). Pergolakan politik berkontribusi terhadap jalannya pemerintahan di
Indonesia. Kedua hal ini, baik birokrasi dan politik memang tidak dapat dipisahkan. Beberapa jabatan di
birokrat tidak dapat dipungkiri diduduki oleh orang-orang yang berangkat dari partai, yang membawa
kepentingan partainya masing-masing yang diperoleh melalui pemilu. Pada akhirnya mengarahkan
anggapan bahwa masyarakat hanya dijadikan sebagai obyek dalam pemilu untuk memenangkan tujuan
berpolitik beberapa pihak/kelompok, mengantarkan elit pimpinan menjadi pimpinan negara dan
pemerintah. Setelah terpilihnya pihak-pihak tersebut, lantas kepentingan rakyat terlupakan dengan
kepentingan pribadi/kelompok. Kondisi ini menunjukan sangat lemahnya akuntabilitas dan
pertanggungjawaban kepada publik.
Meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk menciptakan birokrasi yang
bersih dan ideal sesuai harapan, bukan tidak mungkin semuanya dapat diselesaikan dengan berbagai
proses dan tahapan melalui reformasi birokrasi. Hal-hal yang dapat terus dilakukan oleh pemerintah
antara lain, pertama, meningkatkan pengawasan dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan
dengan memberikan akses kepada masyarakat, ikut berperan dalam melakukan pengawasan. Akses yang
diberikan bukan hanya sebatas kotak pengaduan, karena pada kenyataannya, cara ini tidak efektif
sebagai bentuk pengaduan atau penngawasan. Pemerintah dapat memberikan kemudahan akses dengan
membentuk lembaga pengaduan atau memaksimalkan fungsi lembaga/komisi yang sudah ada seperti
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BPKP, kepolisian dan lembaga pengaduan yang lain. Peningkatan
penegakan hukum melalui perbaikan terhadap sistem kerja internal serta keselarasan antara lembaga
penegak hukum dan lembaga pengawasan. Bentuk akuntabilitas bukan sebatas Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi dan Pemerintah (Lakip), tetapi juga perlu pemahaman lebih terhadap konsep
akuntabilitas itu sendiri. Keberhasilan pemerintah bukan sebatas terserapnya anggaran melalui program-
program pemerintah atau pencapaian output, tetapi yang terpenting adalah outcomeyang dicapai
melalui program tersebut. Kerap kali, dalam Lakip, output dapat tercapai, namun luput terkait outcome
apa yang sudah tercapai. Kedua, meningkatkan komitmen aparatur pemerintah untuk memberikan
pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Upaya ini memang tidak mudah, mengingat hal ini terkait
dengan mentalitas, etika, kesadaran serta empati masing-masing birokrat. Namun hal ini dapat ditempuh
dengan pembuatan sistem yang kemudian mengharuskan aparatur untuk dapat memberikan pelayanan
dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya melalui, penilaian kinerja
masing-masing pegawai sesuai dengan apa yang dikerjakan. Perekrutan pegawai sesuai dengan
kompetensi dan dilakukan analisis jabatan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan. Ketiga,
membenahi dan meningkatkan mutu pelayanan publik, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pelayanan
publik yang disediakan oleh pemerintah, dapat diupayakan dengan memberikan kemudahan akses bagi
masyarakat, memperpendek proses birokrasi, mempercepat waktu pelayanan, memberikan kenyamanan
tempat pelayanan, dan mengubah budaya pelayanan dengan memberikan pelatihan kepada pegawai
(birokrat) untuk memberikan pelayanan layaknya kepada konsumen. Hal yang penting adalah
membentuk SOP (standart operasional prosedur) sehingga jelas standar pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat. Selain itu yang tidak kalah penting adalah, semua harus diatur dalam bentuk
peraturan tertulis, yang menyangkut sanksi apabila SOP tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.
Bukan hanya masyarakat yang mendapat sanksi tetapi juga birokrat/ pegawai juga wajib menerima sanksi
apabila tidak memberikan pelayanan sesuai ketentuan. Dalam hal pelayanan ini, sudah banyak daerah-
daerah yang mampu berinovasi dalam memberikan pelayanan yang kemudian dapat menjadi studi bagi
daerah lain untuk melakukan hal yang sama tentunya disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan
karakteristik masyarakat.

.
b. Gambaran umum birokrasi di Singapura

Singapura kembali lagi dinobatkan menjadi salah satu negara terbaik bagi birokrasi dalam hal efisiensi,
pelayanan masyarakat, dan iklim investasi (hasil survey Political & Economic Risk Consultancy (PERC)
2012). Tidak hanya itu. Singapura juga menjadi contoh yang baik dalam hal disiplin aparat birokrasi dan
penerapan ’’reward and punishment’’ bagi pegawainya. Padahal pada tahun 1959 ketika Lee Kuan Yew
diangkat sebagai Perdana Menteri, Singapura yang memiliki luas wilayah hanya 400 km persegi sedang
dalam kondisi carut marut dengan pengangguran mencapai 14%. Saat itu tak ada yang dapat diperbuat,
kecuali bangkit agar Negeri “Singa” itu mampu menjadi negara yang makmur. Di Singapura, birokrasi
tampil begitu inovatif. Birokrasi hadir dengan semangat melayani, inisiatif tinggi, efisiensi atas sumber
daya, peningkatan gaji atau bonus berbasis kinerja, berorientasi pada kepuasan masyarakat, dan
pembaharuan terus-menerus terhadap cara dan hasil kerja.

Pemerintah Singapura juga memberlakukan sistem penggajian model perusahaan. Pemerintah Singapura
memiliki patokan untuk menentukan gaji eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pertumbuhan ekonomi
menjadi tolak ukur bagi pemerintah dalam menentukan gaji. Ketika kondisi ekonomi sedang memburuk,
pemerintah memotong gaji pegawai negeri sesuai kemampuan keuangan negara pada saat itu, termasuk
gaji perdana menterinya. Ketika kondisi ekonomi membaik dan pertumbuhan ekonomi meningkat,
Singapura memberikan bonus gaji tambahan. Singapura menjadi salah satu negara terkaya di dunia
dengan Gross Domestic Product (GDP) pendapatan per kapita $59,936 per tahun. Sukses
pembangunannya adalah dengan rumusan strategi pembangunan ekonomi global berorientasi
keunggulan daya saing dan produktivitas lewat birokrasi pemerintahan yang bersih dan efisien,
masyarakat yang disiplin, dan industrialisasi yang dikawal tenaga-tenaga profesional.

Anda mungkin juga menyukai