Tugas 2 Hukum Islam

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

1.

Jelaskan perbedaan pengaturan mengenai perkawinan menurut Fikih Munakahat, UU


Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam!

2. Sebutkan dan jelaskan penyebab putusnya perkawinan!

Jawaban

1. Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan masyarakatagama
islam dan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan untuk membangun
rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang sebagai jalan untuk
meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi
diantara manusia. Secara etimologi bahasa Indonesia pernikahan berasal dari kata nikah,
yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”.

Pernikahan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Pernikahan dalam islam juga berkaitan
dengan pengertian mahram (baca muhrim dalam islam) dan wanita yang haram dinikahi.

1. Pengertian menurut etimologi

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata an-nikh dan
azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas, menaiki, dan bersenggema
atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-dhammu, yang memiliki arti
merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta sikap yang ramah. adapun pernikahan
yang berasalh dari kata aljam’u yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Pernikahan
dalam istilah ilmu fiqih disebut ) ‫ ( نكاح‬,) ‫ ( زواج‬keduanya berasal dari bahasa arab. Nikah
dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu ) ‫ ( الوطء والضم‬baik arti secara hakiki ) ‫( الضم‬
yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan ) ‫ ( الوطء‬yakni perjanjian atau
bersetubuh.

2. Pengertian Menurut Istilah

Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki
pendapatnya sendiri antara lain :

1. Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat


pernikahan menjadikan seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan
termasuk seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau
kenikmatan.
2. Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal ‫ ُح حاكَكنِن‬, atau ‫ كَ ز كَ وا ُح ج‬, yang memiliki arti pernikahan
menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian
yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang dibayar.
4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan
lafal ‫ان ْن ن كَ كا ُح ح‬
ِ atau ‫ كَ ْن ِن و ْن ُح ج‬yang artinya pernikahan membuat laki-laki dan
perempuan dapat memiliki kepuasan satu sama lain.
5. Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara laki-
laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati yang lain
dan untuk membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat yang bersih
6. Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan
bahwa nikah adalah akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi halal
dalam melakukan bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara keduanya.

Dasar Hukum Pernikahan

Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang menjadikannya


disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar hukum pernikahan berdasarkan
Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1(.

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang


layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk
menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah
ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.

Hukum Pernikahan

Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi atau
situasi orang yang akan menikah. Berikut hukum pernikahan menurut islam
 Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak menikah
ia bisa tergelincir perbuatan zina (baca zina dalam islam)
 Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun jika
tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina
 Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri dari
zina tapi ia memiliki keinginan yang kuat untuk menikah
 Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk
menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk kesenangan
semata
 Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan
jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat memenuhi kewajiban
suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri terhadap
suaminya. Pernikahan juga haram hukumnya apabila menikahi mahram atau
pernikahan sedarah.

Rukun dan Syarat Pernikahan

Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar
pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah secara resmi maupun nikah
siri. Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan rukun yang harus dipenuhi dalam
sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa wali maupun ijab kabul hukumnya tidak sah.

a. Rukun Nikah

Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan pernikahan, mencakup
:

1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan


2. Wali dari pihak mempelai perempuan
3. Dua orang saksi
4. Ijab kabul yang sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak perempuan dan dijawab
oleh calon mempelai laki-laki.

b. Syarat Nikah

Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah

1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini

 Beragama Islam
 Berjenis kelamin Laki-laki
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak memiliki halangan untuk menikah
2. Calon istri dengan syarat-syarat

 Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh beraga nasrani
maupun yahudi)
 Berjenis kelamin Perempuan
 Ada orangnya atau jelas identitasnya
 Setuju untuk menikah
 Tidak terhalang untuk menikah

3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut (baca juga urutan wali nikah).

 Laki-laki
 Dewasa
 Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita
 Adil
 Beragama Islam
 Berakal Sehat
 Tidak sedang berihram haji atau umrah

4. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ;

 Minimal terdiri dari dua orang laki-laki


 Hadir dalam proses ijab qabul
 mengerti maksud akad nikah
 beragama islam
 Adil
 dewasa

5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :

 Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik oleh pelaku
akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga haruslah jelas dan dapat
didengar oleh para saksi.

Fikih pernikahan atau munakahat adalah salah satu ilmu yang mesti dipelajari dan diketahui
umat islam pada umumnya agar pernikahan dapat berjalan sesuai dengan tuntunan syariat
agama dan menghindarkan hal-hal yang dapat membatalkan pernikahan.

Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan menurut pasal 1


UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal KUHPerdata, tidak memberikan pengertian
perkawinan itu. Tetapi menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu 'perikatan'
(verbindtenis). Dalam hal ini marilah kita lihat kemabali dalam pada pada 26 KUH
Perdata. Jadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata. Hal ini berarti bahwa undang-undang hanya
mengakui perkawinan perdata sebagai perkawinan yang sah, berarti perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
sedang syarat-syarat serta peraturan agama tidak diperhatikan atau dikesampingkan.

a. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam


Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci
(sakramen, samskara), yaitu suatu perikatanantara dua pihak dalam memenuhi perintah
dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar berkehidupan keluarga dan berumah tangga
serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-
masing. Jadi, perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan
rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai
beserta keluarga kerabatnya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan
yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam
daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh


yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya,
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang
suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu
dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
d. Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus siap jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg
baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang
masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah
terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas
umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran
yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan
dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin
baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya
perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19
Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama
suami istri.

Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam


Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu:
1. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan
perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui
apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.
2. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan
larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan
pelaksanaan perkawinan itu sendiri.
4. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah
tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya.
5. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung
jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan
menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada
perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

Perbedaan tujuan perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI


Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut
UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha
Esa. Arti bahagia sebenarnya bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan
defenisi Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang
perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang
bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari
ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun
bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan
istri.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan dijelaskan pada
pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah,
mawaddah dan wa rahmah. ” Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum
Islam. Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya
perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ” Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu
adalah sah menurut UU Perkawinan.
Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu ” perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam,
namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.

Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan menurut Peraturan Perundang-


Undangan
1. Hakikat Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan
sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi
sebagai suami dan isteri.
Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakanya merupakan ibadah.
Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan
hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan
tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan
tersebut mereka menjadi terikat.
2. Asas Perkawinan
Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang
hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud
dengan KHI. Sedangkan KUHPerdata menganut asas monogami mutlak karena ini
berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).
3. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4
KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam
pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan.
Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada pasal 6 s/d 12 UU No. 1/1974 syarat-syarat perkawinan, yaitu adanya persetujuan
kedua calon mempelai, ada izin orang tua atau wali bagi calon yang belum berusia 21
tahun, usia calon pria berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun, tidak ada
hubungan darah yang tidak boleh kawin, tidak ada ikatan perkawinan dengan pihak lain,
tidak ada larangan kawin menurut agama dan kepercayaannya untuk ketiga kalinya, tidak
dalam waktu tunggu bagi wanita yang janda.
Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu
asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15
tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah perkawinan yang terdahulu
dibubarkan. Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang
yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan
untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui
perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Menurut pasal 14
KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan isteri, wali nikah, dua
orang saksi serta sighat akad nikah.

4. Tujuan Perkawinan
Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu
pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Dalam
pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan
berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan-hubungan perdata.
2.5 Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
teori resepsi seperti yang diajarkan di Zaman Hindia Belanda menjadi hapus dengan
sendirinya. Teori resepsi adalah teori yang menyatakan bahwa Hukum Islam baru berlaku
di Indonesia untuk penganut agama Islam apabila sesuatu Hukum Islam telah nyata-nyata
diresapi oleh dan Hukum adat, maka dengan pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang
Perkawinan ini tidak ada keragua-raguan untuk menerima dalil bahwa Hukum Islam
telah langsung menjadi sumber hukum tanpa memerlukan bantuan atau peraturan Hukum
Adat.
Disamping pendapat tersebut diatas, ada juga pendapat yang dikemukakan bahwa
sebetulnya teori resepsi itu baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134
ayat 2 Indisce Staatsregeling telah terhapus dengan berlakunya Undang-Undang Dasar
1945.
Hal ini bisa kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 19 ayat 2 yang memuat
ketentuan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya. Dari
ketentuan pasal 29 ayat 2 tersebut diatas. Maka pemerintah berhak untuk mengatur
persoalan-persoalan tertentu berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana peraturan-
peraturan itu diperuntukan bagi warga negara yang beragama Islam. Jadi berlakunya
Hukum Islam bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam tidak usah melihat
apakah hukum Islam telah menjadi hukum adat atau belum.
Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975
sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak
berlaku lagi, karena dengan berlakuknya peraturan perundang-undangan tersebut diatas,
maka sejak 1 Oktober tahun 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku
untuk seluruh wargan negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal
ini dengan tegas disebut dalam pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan
bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74),
Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898
Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini,
hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak tepat, sebab menurut ketentuan
dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan
tersebut diatas secara keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal
yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.
Disamping ketentuan tersebut diatas tentang masih tetap berlakunya hukum Perkawinan
Islam bagi mereka yang beragama Islam, secara tegas disebutkan dalam pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah pabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan
demikian maka hal-hal yang belum diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-
undang Perkawinan ini. tetap berlaku menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, maka bagi warga negara Indonesia yang beragam Islam yang hendak
melakukan perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum
perkawinan Islam.
Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini dapat
dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai
peraturan-peraturan khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang beragama
Islam.
2. Putusnya perkawinan serta akibatnya di atur dalam Bab VIII, Pasal 38 sampai dengan
Pasal 41 Undang-undang Perkawinan. Diatur juga dalam Bab V Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975 tentang Tata Cara Perceraian, Pasal 14 sampai dengan Pasal 36.
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan
tiga hal, yaitu :
1. Kematian.
2. Perceraian, dan
3. Atas Keputusan Pengadilan

Sementara menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai putusnya


perkawinan diatur dalam Pasal 199, 200-206b, 207-232a dan 233-249.
Pasal 199 menerangkan putusnya perkawinan disebabkan:
a. Karena meninggal dunia,
b. Karena keadaan tidak hadirnya salah seorang suami isteri selama sepuluh tahun
diikuti dengan perkawinan baru sesudah itu suami atau isterinya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam bagian ke lima bab delapan belas,
c. Karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur dan
pendaftaran putusnya perkawinan itu dalam register catatan sipil, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan bagian kedua bab ini,
d. Karena perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga bab ini

Anda mungkin juga menyukai