Makalah Keperawatan Medikal Bedah Buk Debby Nelva
Makalah Keperawatan Medikal Bedah Buk Debby Nelva
Makalah Keperawatan Medikal Bedah Buk Debby Nelva
OLEH:
TINGKAT : II B
NIM : 18334061
PRODI D3 KEPERAWATAN
2019
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang kami
ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat hidayah-Nya
pada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Otitis Media Dan Glukomia” ini dengan baik.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya
maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka
selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi aran dan kritik pada kami sehingga kami
dapat memperbaiki makalah kami dikemudian hari.
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang................................................................................................... 1
1.2 RumusanMasalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media merupakan salah satu penyebab utama gangguan pendengaran dan
ketulian, bahkan dapat menimbulkan penyulit yang mengancam jiwa. Namun demikian
oleh sebagian masyarakat masih dianggap hal biasa, sehingga tidak segera mencari
pertolongan saat menderita otitis media. Saat pendengarannya mulai berkurang, tidak
mampu mengikuti pelajaran di sekolah ataukah setelah terjadi komplikasi barulah mereka
mencari pertolongan medis.
Survei epidemiologi di 7 propinsi Indonesia (1994-1996), menemukan bahwa dari
19.375 responden yang diperiksa ternyata 18,5% mengalami gangguan kesehatan telinga
dan pendengaran. Penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan 25% dari
penderita yang datang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia dengan
prevalensi adalah 3,8 %.
Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan
pada anak-anak terutama usia 3 bulan- 3 tahun. Sebagaimana halnya dengan kejadian
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), otitis media juga merupakan salah satu penyakit
langganan anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu
episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka
mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal
satu episode sebelum usia sepuluh tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering
terjadi pada usia 3-6 tahun. OMA sering diderita oleh bayi dan anak-anak, penyebabnya
infeksi virus atau bakteri. Pada penyakit bawaan, seperti Down Syndrome dan anak
dengan alergi sering terjadi. Otitis media sebenarnya adalah diagnosa yang paling sering
dijumpai pada anak – anak di bawah usia 15 tahun.
Pada anak-anak semakin seringnya terserang infeksi saluran pernafasan atas,
kemungkinan terjadi otitis media akut juga semakin sering. Bayi-bayi yang di bawah
umur 6 minggu cenderung mempunyai infeksi-infeksi dari keragaman bakteri-bakteri
yang berbeda dalam telinga tengah.
4
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
Otitis media akut ialah peradangan telinga tengah yang mengenai sebagian atau
seluruh periosteum dan terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.
Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi otitis
media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa faktor yang
menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang terlambat diberikan, terapi
yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh pasien yang rendah
(gizi kurang), dan higiene yang buruk.
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah secaraterus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau berupa
nanah. Biasanya disertai gangguan pendengaran. (Arif Mansjoer, 2001 : 82). Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut “congek” adalah radang kronis telinga
tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulen.
2.2 Etiologi
Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media.
Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga pencegahan
invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu, ISPA juga merupakan
salah satu faktor penyebab yang paling sering.
6
Kuman penyebab OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptococcus
hemoliticus, Haemophilus Influenzae (27%), Staphylococcus aureus (2%), Streptococcus
Pneumoniae (38%), Pneumococcus.
2.3 Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat
bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya
sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri
dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam
telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang
gendang telinga Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan
organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran
yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih
banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran
pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat,
cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena
tekanannya.
7
Otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, yang
mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal
komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian
faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan
transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap
infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh
pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.
2.4 Klasifikasi
8
Membran timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema ynag hebat pada
mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya
eksudat purulen di kavum timpani.
4. Stadium Perforasi
Karena pemberian antibiotik yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi, dapat
terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke
telinga luar.
5. Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila
terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering. Bila daya tahan tubuh
baik dan virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan.
(Mansjoer, 2001: 79-80)
9
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal dalam telinga
atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik, yang terjadi ketika
tuba Eustachius berusaha membuka.
Membran timpani merah, atau tampak kusam (warna kuning redup sampai abu-abu
pada otoskopi pneumatik) sering menggelembung tanpa tonjolan tulang (dapat terlihat
gelembung udara dalam telinga tengah), dan tidak bergerak pada otoskopi pneumatik
(pemberian tekanan positif atau negatif pada telinga tengah dengan insulator balon yang
dikaitkan ke otoskop), dan dapat mengalami perforasi.
Perbandingan gambaran klinis : otitis eksterna akut dan otitis media akut
Nyeri tekan aural Ada pada palpasi aurikula Biasanya tidak ada
10
2.6 Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak
tembus cahaya dengan kerusakan mobilitas.
Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme
penyebab.
Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani
2.7 Penatalaksanaan
Terapi OMA tergantung pada stadiumnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.
1) Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka kembali tuba
eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik
untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak yang
berumur >12 thn atau dewasa.. selain itu, sumber infeksi juga harus diobati
dengan memberikan antibiotik.
2) Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik.
Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau sefalosporin. Untuk
terapi awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat di dalam darah.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-
100 mg/KgBB, amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40
mg/kgBB/hari.
3) Pengobatan stadium supurasi selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu, analgesik
juga perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang.
4) Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
11
5) Stadium resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir keluar. Pada keadaan ini
dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3 minggu, namun bila masih keluar sekret
diduga telah terjadi mastoiditis.
2.8 Komplikasi
Menurut Jeffrey P. Harris dan David H. Darrow membagi komplikasi ini menjadi dua
yaitu :
A. Komplikasi intrakranial meliputi:
1. Meningitis
Meningitis dapat terjadi disetiap saat dalam perjalanan komplikasi infeksi telinga.
Jalan penyebaran yang biasa terjadi yaitu melalui penyebaran langsung, jarang
melalui tromboflebitis. Pada waktu kuman menyerang biasanya streptokokkus,
pneumokokkus, atau stafilokokkus atau kuman yang lebih jarang H. Influenza,
koliform, atau piokokus, menginvasi ruang sub arachnoid, pia-arachnoid bereaksi
dengan mengadakan eksudasi cairan serosa yang menyebabkan peningkatan
ringan tekanan cairan spinal.
2. Abses subdural
Abses subdural merupakan stadium supurasi dari pekimeningitis interna.
Sekarang sudah jarang ditemukan. Bila terjadi harus dianggap keadaan gawat
darurat bedah saraf, karena harus mendapatkan pembedahan segera untuk
mencegah kematian.
3. Abses ekstradural
Abses ekstradural ialah terkumpulnya nanah diantara durameter dan tulang yang
menutupi rongga mastoid atau telinga tengah. Abses ekstradural jika tidak
tertangani dengan baik dapat menyebabkan meningitis, trombosis sinus sigmoid
dan abses otak (lobus temporal atau serebelar, tergantung pada sisi yang terkena.
4. Trombosis sinus lateralis
Sejalan dengan progresifitas infeksi, trombus mengalami perlusan retrograd
kedaerah vena jugular, melintasi sinus petrosus hingga ke daerah sinus
12
cavernosus. Komplikasi ini sering ditemukan pada zaman pra-antibiotik, tetapi
kini sudah jarang terjadi.
5. Abses otak
Sebagai komplikasi otitis media dan mastoiditis, abses otak dapat timbul di
serebellum di fossa kranii posterior, atau pada lobus temporal di fossa kranii
media. Abses otak biasanya terbentuk sebagai perluasan langsung infeksi telinga
atau tromboflebitis.
6. Hidrosefalus otitis
Kelainan ini berupa peningkatan tekanan intrakranial dengan temuan cairan
serebrospinal yang normal. Pada pemeriksaan terdapat edema papil. Keadaan ini
dapat menyertai otitis media akut atau kronis.
2.9 Pencegahan
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:
1. Pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak.
2. Pemberian ASI minimal selama 6 bulan.
3. Penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring.
4. Penghindaran pajanan terhadap asap rokok.
5. Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA.
13
WOC OMA
OMA adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena masuknya
bakteri patogenik ke dalam telinga tengah (Smeltzer,2001).
ETIOLOGI
Gangguan rasa
Menyerang nyaman (nyeri) b.d Sumbatan pada tuba
nasofaring dan faring proses peradangan eustachius
ISPA
Pendengaran terganggu
Gendang telinga
robek
Gangguan
Kehilangan pendengaran psikososial b.d
Tuli kondusif 14 otarea
Gangguan
Otarea psikososial b.d
otarea
WOC OMK
OMK adalah infeksi kronik di telinga tengah dengan performasi membrane timpani dan
secret yang keluar dari telinga tengah secara terus-menerus atau hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental; bening atau berupa nanah (Syamsuhidajat,1997).
1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita gangguan pendengaran
(kapan, berapa lama, pengobatan apa yang dilakukan, bagaimana kebiasaan
membersihkan telinga, keadaan lingkungan tenan, daerah industri, daerah polusi),
apakah riwayat pada anggota keluarga.
2. Riwayat kesehatan sekarang
kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di anamnesa, Seperti
penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri yang dirasakan.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Ada atau tidaknya riwayat infeksi saluran pendengaran yang berulang dan riwayat
alergi pada keluarga.
c. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum klien
a. Kepala
Lakukan Inspeksi,palpasi,perkusi dan di daerah telinga,dengan menggunakan
senter ataupun alat-alat lain nya apakah ada cairan yang keluar dari
telinga,bagaimana warna, bau, dan jumlah.apakah ada tanda-tanda radang.
b. Kaji adanya nyeri pada telinga
c. Leher, Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher
d. Dada / thorak
e. Jantung
f. Perut / abdomen
g. Genitourinaria
h. Ekstremitas
16
i. Sistem integumen
j. Sistem neurologi
k. Data pola kebiasaan sehari-hari
d. Nutrisi
Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat dan sakit,apakah ada perbedaan
konsumsi diit nya.
e. Eliminasi
Kaji miksi,dan defekasi klien
f. Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri
Biasanya klien dengan gangguan otitis media ini,agak susah untk berkomunikasi dengan
orang lain karena ada gangguan pada telinga nya sehingga ia kurang mendengar/kurang
nyambung tentang apa yang di bicarakan orang lain.
g. Pemeriksaan diagnostik
1. Tes Audiometri : AC menurun
2. X ray : terhadap kondisi patologi
3. Tes berbisik
4. Tes garpu tala
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa Otitis media akut
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan proses peradangan pada
telinga tengah
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan efek kehilangan pendengaran.
3. Gangguan persepsi/sensoris berhubungan dengan obstruksi, infeksi di telinga
tengah atau kerusakan di syaraf pendengaran
4. Ansietas berhubuangan denagn prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi,
nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah
operasi.
17
3. Intervensi
NO Diagnosa Keperawatan Luaran dan kriteria hasil Intervensi (SIKI)
(SLKI)
1 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan a. Observasi :
nyaman (nyeri) keperawatan selama 3 x 24 Lakukan pengkajian yang komprehensif
berhubungan jam maka nyeri menurun meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi,
dengan proses dengan Kriteria Hasil: frekuensi, intensitas, kualitas atau keparahan
peradangan pada telinga Menunjukkan Tingkat Nyeri nyeri dan factor presipitasinya.
tengah yang dibuktikan oleh indicator Lakukan pemeriksaaan TTV
sebagai berikut (sebutkan 1-5 b. Terapeutik
: sangat berat, berat, sedang, Gunakan pendekatan yang positif untuk
ringan atau tidak ada) : mengoptimalkan respon pasien terhadap
Ekspresi nyeri pada analgesik.
wajah Gunakan pendekatan yang menenangkan
Gelisah/ ketegangan Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku
otot pasien
Durasi episode nyeri Jelaskan semua prosedur dan apa yang
Merintih dan menangis dirasakan selama prosedur
Gelisah Temani pasien untuk memberikan keamanan
dan mengurangi takut
c. Edukasi
Bantu pasien mengenal situasi yang
menimbulkan kecemasan
Dorong pasien untuk mengungkapkan perasan
,ketakutan,persepsi
Instruksikan pasien menggunakan teknik
relaksasi
Informasikan kepada pasien tentang prosedur
yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan
strategi koping yang disarankan.
18
2 Gangguan interakasi Setelah dilakukan tindakan a. Observasi
sosial berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Identifikasi kemampuan berintekrasi
dengan efek kehilangan jam maka interakasi sosial dengan orang lain.
pendengaran meningkat dengan Kriteria Identifikasi hambatan melakukan interaksi
Hasil: dengan orang lain
Perasaan nyaman dengan b. Terapeutik
situasi sosial Motivasi meningkatkan kterlibatan dalam
Perasaan mudah suatu hubungan
mengkomunikasikan Motivasi berpartisipsi dalam kegiatan baru
perasaaan dan kelompok
Minat melakukan kontak Motivasi interaksi di luar lingkungan
fisik Diskusikan perencanaa kegiatan masa
Responsif kepada orang depan
lain c. Edukasi
Anjurkan berintekrasi dengan orang lain
secara berthap
Anjurkan ikut serta kegiatan sosial
Anjurkan berbagi pengalaman denagn
orang lain
19
Konsentrasi Ajarkan cara menimilasisasikan stimulasi
Orientasi (mengurangi kebisingan)
Fungsi sensori
20
4.Implementasi Keperawatan
Implementasi membutuhkan perawat untuk mengkaji kembali keadaan klien, menelaah, dan
memodifikasi rencana keperawatn yang sudah ada, mengidentifikasi area dimana bantuan
dibutuhkan untuk mengimplementasikan, mengkomunikasikan intervensi keperawatan.
Implementasi dari asuhan keperawatan juga membutuhkan pengetahuan tambahan keterampilan
dan personal. Setelah implementasi, perawat menuliskan dalam catatan klien deskripsi singkat
dari pengkajian keperawatan, Prosedur spesifik dan respon klien terhadap asuhan keperawatan
atau juga perawat bisa mendelegasikan implementasi pada tenaga kesehatan lain termasuk
memastikan bahwa orang yang didelegasikan terampil dalam tugas dan dapat menjelaskan tugas
sesuai dengan standar keperawatan.
5.Evaluasi
Menurut Patricia A. Potter (2005), Evaluasi merupakan proses yang dilakukan untuk
menilai pencapaian tujuan atau menilai respon klien terhadap tindakan leperawatan
seberapa jauh tujuan keperawatan telah terpenuhi.
21
Pada umumnya evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif.
Dalam evalusi kuantitatif yang dinilai adalah kuatitas atau jumlah kegiatan keperawatan yang
telah ditentukan sedangkan evaluasi kualitatif difokoskan pada masalah satu dari tiga dimensi
struktur atau sumber, dimensi proses dan dimensi hasil tindakan yang dilakukan.
Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut :
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid yang biasanya disebabkan oleh bakteri atau virus yang terjadi kurang
dari 3 minggu. Penyebab utama dari OMA adalah tersumbatnya saluran atau tuba eustachius
yang bisa disebabkan oleh proses peradangan akibat infeksi bakteri yang masuk ke dalam tuba
eustachius tersebut, kejadian ISPA yang berulang pada anak juga dapat menjadi faktor penyebab
terjadinya OMA pada anak. Stadium OMA dapat terbagi menjadi lima stadium, antara lain :
Stadium Oklusi, Presupurasi, Supurasi, Perforasi, dan Stadium Resolusi. Dimana manifestasi
dari OMA juga tergantung pada letak stadium yang dialami oleh klien. Terapi dari OMA juga
berdasar pada stadium yang dialami klien. Dari perjalanan penyakit OMA, dapat muncul
beberapa masalah keperawatan yang dialami oleh klien, antara lain : nyeri, resiko infeksi, resiko
injury, gangguan persepsi sensori, dan gangguan konsep diri.
3.2 Saran
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum
mencapai seluruh aspek. Oleh karena itu kami menyarankan agar pembaca dapat mencari
reverensi – reverensi dari buku – buku lain yang juga mendukung dalam Asuhan Keperawatan
pada Otitis Media akut dan kronis.
23
DAFTAR PUSTAKA
Syaifuddin. (2016). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC.
24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Glaukoma adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan tekanan intraokuler pada mata. Oleh
karena itu glaukoma dapat mengganggu penglihatan yang perlu diwaspadai. Tidak hanya itu,
glaucoma juga dapat membawa kita kepada kebutaan. Contohnya pada kasus glaucoma yang
terjadi di Amerika Serikat. Disana glaucoma beresiko 12% pada kebutan(Luckman &
Sorensen.1980).
Menurut data dari WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan paling utama di dunia adalah
katarak (47,8%), galukoma (12,3%), uveitis (10,2%), age- related mucular degeneration (AMD)
(8,7%), trakhoma (3,6%), corneal apacity (5,1%), dan diabetic retinopathy (4,8%). Namun
sesungguhnya hal ini bisa di cegah dengan pemeriksaan tonometri rutin. Sehingga tidak sampai
terjadi hal fatal seperti kebutaan. Jika seseorang tidak pernah melakukan pemeriksaan tonometri,
sedang ia baru mendapati dirinya glaukoma yang sudah fatal, maka tindakan yang bisa di ambil
adalah operasi. Mendengar kata ini jelas kita sudah merinding sebelum melakukannya. Apalagi
hasil dari opersi belum tentu sesuai dengan harapan kita. Misal, opersi tersebut berujung pada
kebutaan seperti contoh di atas. Oleh karena itu, kita perlu malakukan pengukuran tonometri
rutin dan juga memahami proses keparawatan pada klien glaukoma. Supaya sebagai perawat
tentunya kita dapat menegakkan asuhan keperawatan yang benar.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami kelainan penglihatan pada pasien glaukoma
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami pengertian glaukoma
b. Mahasiswa mampu memahami etiologi glaukoma
c. Mahasiwa mampu memahami manifestasi klinik glaukoma
25
d. Mahasiswa mampu memahami klasifikasi glaukoma
e. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan glaukoma
f. Mahasiswa mampu memahami pengkajian glaukoma
g. Mahasiswa mampu memahami diagnosa berhubungan dengan analisa data glaukoma
h. Mahasiswa mampu memahami intervensi dari setiap diagnosa
i. Mahasiswa mampu memahami evaluasi glaukoma
C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan oleh penulis pada penyakit Glukoma adalah sebagai berikut :
1. Untuk masyarakat : sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan kesehatan
2. Untuk Mahasiswa : di harapkan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan pembanding
tugas serupa.
3. Untuk Insatansi : agar tercapainya tingkat kepuasan kerja yang optimal
4. Untuk tenaga kesehatan : makalah ini bisa di jadikan bahan acuan untuk melakukan tindakan
asuhan keperawatan pada kasus yang serupa..
26
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian/Definisi
Glaukoma berasal dari bahasa Yunani: Glaukos yang berarti hijau kebiruan yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita ditandai dengan adanya peningkatan
tekanan bola mata, atropi papil saraf optik dan menciutnya lapang pandang.
Glaukoma adalah penyakit mata yang menyebabkan proses hilangnya pengelihatan yang
disebabkan oleh peningkatan tekanan cairan didalam mata, karena gangguan makanisme
pengeluaran cairan mata dan kelainan syaraf mata. Jika tidak ditangani dengan segera dapat
menyebabkan kerusakan retina dan resiko kebutaan total.
Glaukoma adalah Sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan
intraokular.( Barbara C Long, 2000 : 262 )
Glaukoma merupakan sekelompok penyakit kerusakan saraf optik(neoropati optik) yang
biasanya disebabkan oleh efek peningkatan tekanan okular pada papil saraf optik. Yang
menyebabkan defek lapang pandang dan hilangnya tajam penglihatan jika lapang pandang
sentral terkena.. (Bruce James. et al , 2006 : 95)
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai ekskavasi glaukomatosa, neuropati saraf
optik, serta kerusakan lapang pandang yang khas dan utamanya diakibatkan oleh tekanan bola
mata yang tidak normal. (Sidarta Ilyas, 2002 : 239). Glaukoma adalah suatu keadaan dimana
tekanan bola mata tidak normal (N = 15-20mmHg). (Sidarta Ilyas, 2004 : 135)
Ada beberapa sebab dan faktor yang beresiko terhadap terjadinya glaukoma. Diantaranya adalah:
1. Umur
27
Risiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya usia. Terdapat 2% dari populasi usia 40
tahun yang terkena glaukoma. Angka ini akan bertambah dengan bertambahnya usia.
Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita glaukoma mempunyai resiko 6 kali
lebih besar untuk terkena glaukoma. Resiko terbesar adalah kakak-beradik kemudian hubungan
orang tua dan anak-anak.
Tekanan bola mata diatas 21 mmHg berisiko tinggi terkena glaukoma. Meskipun untuk sebagian
individu, tekanan bola mata yang lebih rendah sudah dapat merusak saraf optik. Untuk mengukur
tekanan bola mata dapat dilakukan dirumah sakit mata dan/atau dokter spesialis mata. Obat-
obatan
Pemakai obat tetes mata yang mengandung steroid yang tidak dikontrol oleh dokter, obat inhaler
untuk penderita asma, obat steroid untuk radang sendi dan pemakai obat yang memakai steroid
secara rutin lainnya. Bila anda mengetahui bahwa anda pemakai obat-obatan steroid secara rutin,
sangat dianjurkan memeriksakan diri anda ke dokter spesialis mata untuk pendeteksian
glaukoma.
5. Visus menurun.
6. Edema kornea.
28
7. Bilik mata depan dangkal (mungkin tidak ditemui pada glaukoma sudut terbuka).
2.3. Klasifikasi.
1. Glaukoma Primer
Glaukoma jenis ini merupakan bentuk yang paling sering terjadi, struktur yang terlibat
dalam sirkulasi dan atau reabsorbsi akuos humor mengalami perubahan langsung.
Tanda dan gejala meliputi nyeri hebat di dalam dan sekitar mata., timbulnya halo di sekitar
cahaya, pndangan kabur. Klien kadang mengeluhkan keluhan umum seperti sakit kepala, mual,
29
muntah, kedinginan, demam. Peningkatan TIO menyebabkan nyeri yang melalui saraf kornea
menjalar ke pelipis, oksiput dan rahang melaui cabang-cabang nervus trigeminus. Iritasi
2. Glaukoma Sekunder.
Glaukoma sekunder adalah glaucoma yang terjadi akibat penyakit mata lain yang
menyebabkan penyempitan sudut atau peningkatan volume cairan di dalam mata. Kondisi ini
secara tidak langsung mengganggu aktivitas struktur yang terlibat dalam sirkulasi dan atau
reabsorbsi akueos humor. Gangguan ini terjadi akibat:
3. Glaukoma Congenital.
Glaukoma ini terjadi akibat kegagalan jaringan mesodermal memfungsikan trabekular.
Kondisi ini disebabkan oleh ciri autosom resesif dan biasanya bilateral
30
3.1. WOC (Terlampir)
31
a. Obat Sistemik
Asetazolamida, obat yang menghambat enzim karbonik anhidrase yang akan
mengakibatkan diuresis dan menurunkan sekresi cairan mata sebanyak 60%, menurunkan
tekanan bola mata. Pada permulaan pemberian akan terjadi hipokalemia sementara. Dapat
memberikan efek samping hilangnya kalium tubuh parastesi, anoreksia, diarea,
hipokalemia, batu ginjal dan miopia sementara.
Agen hiperosmotik. Macam obat yang tersedia dalam bentuk obat minum adalah glycerol
dan isosorbide sedangkan dalam bentuk intravena adalah manitol. Obat ini diberikan jika
TIO sangat tinggi atau ketika acetazolamide sudah tidak efektif lagi.
2. Terapi Bedah
a. Iridektomi perifer. Digunakan untuk membuat saluran dari bilik mata belakang dan depan
karena telah terdapat hambatan dalam pengaliran humor akueus.
b. Trabekulotomi (Bedah drainase). Dilakukan jika sudut yang tertutup lebih dari 50% gagal
dengan iridektomi.
2.5 Komplikasi
Kebutaan dapat terjadi pada semua jenis glaukoma, glaukoma penutupan sudut akut
adalah suatu kedaruratan medis. agens topikal yang digunakan untuk mengobati glaukoma
dapat memiliki efek sistemik yang merugikan, terutama pada lansia. Efek ini dapat berupa
perburukan kondisi jantung, pernapsan atau neurologis.
32
2.6 Pemeriksaan Laboratorium.
1. PEMERIKSAAN TAJAM PENGLIHATAN
Pemeriksaan tajam penglihatan bukan merupakan pemeriksaan khusus untuk
glaukoma.:
a. Tonometri
Tonometri diperlukan untuk mengukur tekanan bola mata. Dikenal empat cara
tonometri, untuk mengetahui tekanan intra ocular yaitu :
- Palpasi atau digital dengan jari telunjuk
- Indentasi dengan tonometer schiotz
- Aplanasi dengan tonometer aplanasi goldmann
- Nonkontak pneumotonometri
Cara ini adalah yang paling mudah, tetapi juga yang paling tidak cermat, sebab cara
mengukurnya dengan perasaan jari telunjuk. Dpat digunakan dalam keadaan terpaksa dan
tidak ada alat lain. Caranya adalah dengan dua jari telunjuk diletakan diatas bola mata
sambil pendertia disuruh melihat kebawah. Mata tidak boleh ditutup, sebab menutup mata
mengakibatkan tarsus kelopak mata yang keras pindah ke depan bola mata, hingga apa yang
kita palpasi adalah tarsus dan ini selalu memberi kesan perasaan keras. Dilakukan dengan
palpasi : dimana satu jari menahan, jari lainnya menekan secara bergantian.
Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut :
N : normal
N + 1 : agak tinggi
N + 2 : untuk tekanan yang lebih tinggi
N – 1 : lebih rendah dari normal
N – 2 : lebih rendah lagi, dan seterusnya.
2. Gonioskopi.
33
Gonioskopi adalah suatu cara untuk memeriksa sudut bilik mata depan dengan
menggunakan lensa kontak khusus. Dalam hal glaukoma gonioskopi diperlukan untuk
menilai lebar sempitnya sudut bilik mata depan.
3. Oftalmoskopi.
Pemeriksaan fundus mata, khususnya untuk mempertahankan keadaan papil saraf optik,
sangat penting dalam pengelolaan glaukoma yang kronik. Papil saraf optik yang dinilai
adalah warna papil saraf optik dan lebarnya ekskavasi. Apakah suatu pengobatan berhasil
atau tidak dapat dilihat dari ekskavasi yang luasnya tetap atau terus melebar.
Pada penderita dengan dugaan glaukoma harus dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Biomikroskopi, untuk menentukan kondisi segmen anterior mata, dengan pemeriksaan ini
dapat ditentukan apakah glaukomanya merupakan glaukoma primer atau sekunder.
2. Gonioskopi, menggunakan lensa gonioskop. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat
sudut pembuangan humor akuos sehingga dapat ditentukan jenis glaukomanya sudut
terbuka atau tertutup.
3. Oftalmoskopi, yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan saraf optik
berdasarkan penilaian bentuk saraf optik menggunakan alat oftalmoskop direk.
4. OCT (Optical Coherent Tomography). Alat ini berguna untuk mengukur ketebalan
serabut saraf sekitar papil saraf optik sehingga jika terdapat kerusakan dapat segera
dideteksi sebelum terjadi kerusakan lapang pandangan, sehingga glaukoma dapat ditemukan
dalam stadium dini
34
5. Perimetri, alat ini berguna untuk melihat adanya kelainan lapang pandangan yang
disebabkan oleh kerusakan saraf optik.
6. Tonometri, pemeriksaan ini bebertujuan untuk mengukur besarnya tekanan bola
mata/tekanan intraokuler/TIO.
2.7 Patofisiologi.
Tingginya tekanan intraokular bergantung pada besarnya produksi humor aquelus oleh
badan siliari dan mengalirkannya keluar. Besarnya aliran keluar humor aquelus melalui sudut
bilik mata depan juga bergantung pada keadaan kanal Schlemm dan keadaan tekanan
episklera.
Tekanan intraokular dianggap normal bila kurang dari 20 mmHg pada pemeriksaan
dengan tonometer Schiotz (aplasti). Jika terjadi peningkatan tekanan intraokuli lebih dari 23
mmHg, diperlukan evaluasi lebih lanjut. Secara fisiologis, tekanan intraokuli yang tinggi
akan menyebabkan terhambatannya aliran darah menuju serabut saraf optik dan ke retina.
Iskemia ini akan menimbulkan kerusakan fungsi secara bertahap. Apabila terjadi peningkatan
tekanan intraokular, akan timbul penggaungan dan degenerasi saraf optikus yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor :
1. Gangguan perdarahan pada papil yang menyebabkan deganerasi berkas serabut saraf pada
papil saraf optik.
2.Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang
merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian tepi papil saraf
otak relatif lebih kuat dari pada bagian tengah sehingga terjadi penggaungan pada papil saraf
optik.
3. Sampai saat ini, patofisiologi sesungguhnya dari kelainan ini masih belum jelas.
4. Kelainan lapang pandang pada glaukoma disebabkan oleh kerusakan serabut saraf optik.(
Anas Tamsuri, 2010 : 72-73 ).
35
2.8 Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Glukoma.
A. Pengkajian
1. Identifikasi Klien.
Nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, pendidikan, pekerjaan, tgl MRS, diagnosa
medis, suku bangsa, status perkawinan.
2. Keluhan Utama.
Terjadi tekanan intra okuler yang meningkat mendadak sangat tinggi, nyeri hebat di kepala,
mual muntah, penglihatan menurun, mata merah dan bengkak.
3. Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Hal ini meliputi keluhan utama mulai sebelum ada keluhan sampai terjadi nyeri hebat di
kepala, mual muntah, penglihatan menurun, mata merah dan bengkak.
4. Data Biologis.
a. Pola Nutrisi dan Cairan
36
Kaji apa yang klien makan dan minum saat sakit dan saat sebelum sakit,dari
jenis,frekuensi,porsi,alergi/pantanga dan apakah ada kesulitan saat makan ataupun minum.
b. Pola eliminasi
Pada kasus ini pola eliminasinya tidak mengalami gangguan, akan tetapi tetap dikaji
konsestansi,frekuensi, warna,serta adakah kesulitan saat melakukan eliminasi.
d. Personal hygine.
Kaji pemeliharaan gigi,mandi,keramas,ganti baju,serta kuku pasien saat sakit dan sebelum
sakit.
e. Pola aktivitas
Dalam aktivitas klien jelas akan terganggu karena fungsi penglihatan klien mengalami
penurunan.
f. Pola persepsi konsep diri
Meliputi : Body image, self sistem, kekacauan identitas, rasa cemas terhadap penyakitnya,
dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep diri.
i. Pola reproduksi
Pada pola reproduksi tidak ada gangguan.
c. Pemeriksaan Integumen
Meliputi warna kulit, turgor kulit.
e. Pemeriksaan Kardiovaskular
38
Meliputi irama dan suara jantung.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral
penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aquous atau vitreus
humor, kesalahan refraksi, atau penyakit syaraf atau penglihatan ke retina atau jalan optik.
b. Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV, massa tumor pada
hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma.
c. Pengukuran tonografi : Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25 mmHg)
d. Pengukuran gonioskopi :Membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup
glaukoma.
e. Tes Provokatif :digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal atau hanya
meningkat ringan.
f. Pemeriksaan oftalmoskopi:Mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng
optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma.
g. Darah lengkap, LED :Menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
h. EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: Memastikan aterosklerosis.
i. Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM.
39
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b/d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan mual dan muntah
2. Gangguan persepsi sensori penglihatan b/d gangguan penerimaan, gangguan status organ
ditandai dengan kehilangan lapang pandang progresif.
3.Ansietas b/d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri,
kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan ketakutan, ragu-ragu,
menyatakan masalah tentang perubahan kejadian hidup
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan b/d
kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang mengingat, salah interpretasi ditandai dengan
pertanyaan, pernyataan salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi
yang dapat dicegah
C. INTERVENSI.
N Dx. Keperawatan Standar Luaran Intervensi (SIKI)
o. Kriteria Hasil (SLKI)
40
Kesulitan tidur Identifikasi pengaruh
menurun dengan budaya terhadap respons
skor 4 nyeri
Perasaan takut Identifikasi pengaruh nyeri
mengalami cedera pada kualitas hidup
berulang menurun Monitor keberhasilan
dengan skor 4 terapi,komplementer yang
Pola tidur sudah di berikan
membaik dengan Monitor efek samping
skor 4 penggunaan analgetik
Terapeutik:
Edukasi:
Jelaskan penyebab,periode
dan pemicu nyeri
jelaskan strategi meredakan
nyeri
anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
41
Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
analgetik,jika perlu
42
Kolaborasi:
Kolaborasi dalam
meminimalkan prosedur
atau tindakan
Kolaborasi pemberian obat
yang mempengaruhi
presepsi stimulus.
43
tenang dan meyakinkan
Tempatkan barang pribadi
yang memberikan
kenyamanan
Motivasi,mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
Diskusikan perencanaan
realistis tentang peristiwa
yang akan datang.
Edukasi:
44
ketegangan
Latih penggunaan
mekanisme pertahanan diri
yang tepat
Latih teknik relaksasi
Kolaborasi:
D. Implementasi Keperawatan
E. Evaluasi.
1. Gangguan rasa nyeri b/d S: Klien mengatakan nyeri yang dirasakan sudah
peradangan konjungtiva d.d mulai berkurang
nyeri yang dirasakan raut muka O: Klien menunjukkan perasaan yang rileks dan
/ wajah. tidak mengalami kesakitan lagi
A: Masalah teratasi
45
P: Hentikan intervensi
2. Gangguan persepsi sensori
penglihatan b/d gangguan
penerimaan, gangguan status
organ d.d kehilangan lapang
pandang progresif
A: Masalah Teratasi
P: Intervensi dihentikan.
46
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang
secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama akan semakin
berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan
yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan
menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata tidak
mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.
Glaucoma diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan berdasarkan mekanisme peningkatan
tekanan intra okuler. Penyebab tergantung dari klasifikasi glaucoma itu sendiri tetapi pada
umumnya disebabkan k arena aliran aqueus humor terhambat yang bisa meningkatkan TIO.
Tanda dan gejalanya kornea suram, sakit kepala , nyeri, lapang pandang menurun,dll.
Komplikasi dari glaucoma adalah kebutaan. Penatalaksanaannya dapat dilakukan pembedahan
dan obat-obatan.
4.2 Saran
Klien yang mengalami glaukoma harus mendapatkan gambaran tentang penyakit serta
penatalaksanaannya, efek pengobatan, dan tujuan akhir pengobatan itu. Pendidikan kesehatan
yang diberikan harus menekankan bahwa pengobatan bukan untuk mengembalikan fungsi
penglihatan , tetapi hanya mempertahankan fungsi penglihatan yang masih ada.
47
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Ramatjandra, Sidarta Ilyas, 1991, Klasifikasi dan Diagnosis Banding Penyakit Mata, 1991,
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Smeltzer, Suzaanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC.
48