Analisis Fundamental

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

Analisis Fundamental dan Teknikal

Kasus: Analisis Ekonomi dan Industri

Nama :Iskandy Wijaya


NIM :115140105
Analisis fundamental

Analisis fundamental adalah analisis sekuritas yang menggunakan data-data fundamental dan faktor-
faktor eksternal yang berhubungan dengan perusahaan/ badan usaha tersebut. Data fundamental yang
dimaksud adalah data keuangan, data pangsa pasar, siklus bisnis, dan sejenisnya. Sementara data
faktor eksternal yang berhubungan dengan badan usaha adalah kebijakan pemerintah, tingkat suku
bunga, inflasi, dan sejenisnya. Dengan mempertimbangkan data-data seperti tersebut diatas, analisis
fundamental menghasilkan berupa analisis penilaian badan usaha dengan kesimpulan apakah
perusahaan tersebut sahamnya layak dibeli atau tidak. Jika nilainya mahal atau overvalued, saham
tersebut dianggap nilainya lebih tinggi berdasarkan analisis fundamental melalui perbandingan harga
yang berlaku di pasar. Dengan kata lain harganya sudah terlalu mahal jadi lebih baik tidak dibeli atau
dijual jika memiliki sahamnya. Sementara jika yang terjadi sebaliknya, saham itu layak untuk dibeli
dengan alasan harganya murah.

Analisis ini memiliki horizon jangka panjang, karena selain menggunakan data historis (berupa
laporan keuangan perusahaan) analisis ini juga menggunakan data masa depan berupa estimasi
pertumbuhan perusahaan, estimasi perubahaan ekonomi di masa mendatang, dan berbagai jenis
estimasi lainnya yang dianggap dapat mempengaruhi kinerja dan kelangsungan usaha. Meskipun
menggunakan pendekatan kuantitatif dalam proses analisisnya, banyak variabel ditentukan
berdasarkan judgment, misalnya tingkat pertumbuhan perusahaan di masa mendatang. Akibatnya,
meskipun beberapa orang menggunakan metode analisis fundamental dengan cara yang sama,
hasilnya bisa jadi berbeda. Analisis ini biasa digunakan untuk jangka panjang, tetapi permasalahannya
yang seringkali dihadapi oleh investor adalah timing dan informasi. Karena tidak semua investor
mendapatkan informasi yang lengkap sehingga jika hanya mengandalkan analisis fundamental, dapat
terjadi kesalahan investasi akibat kurangnya informasi atau kesalahan timing sehingga bisa jadi saham
yang dibeli harganya sudah mahal. Untuk mengatasi masalah timing tersebut dapat dilihat dari
pergerakan bursa atau pergerakan saham tersebut melalui analisis teknikal untuk menentukan sinyal
transaksi (sinyal beli/sinyal jual). Dengan menggunakan / menggabung kedua analisis tersebut secara
tepat, bertujuan untuk menghasilkan capital gain yang optimum.

Analisis fundamental ini melihat factor ekonomi yang dikenal sebagai dasar.Dengan melihat pada
neraca, arus kas dan pendapatan pernyataan pernyataan, mendasar analis akan mencoba untuk
menentukan nilai perusahaan. Dalam hal keuangan, seorang analis yang mencoba untuk mengukur
nilai intrinsik perusahaan. Dalam pendekatan ini, keputusan investasi yang cukup mudah – jika harga
saham perdagangan yang di bawah nilai intrinsik-nya, it’s a good investasi. Walaupun ini adalah
berlebih-lebihan (fundamental analisis hanya berjalan di luar laporan keuangan) untuk keperluan
tutorial ini, ini benar memegang prinsip sederhana.

Analisis fundamental memiliki dua model penilaian saham yang sering digunakan para analisis
sekuritas (Jogiyanto, 2003:89) yaitu :

1) Pendekatan Present value, mencoba menaksir present value, dengan menggunakan tingkat
bunga tertentu, manfaat yang akan diterima oleh pemilik saham.

2) Pendekatan Price earning ratio, menaksir nilai saham dengan mengalikan laba perlembar saham
dengan kelipatan tertentu.

Price earning ratio ( PER ) ini sendiri dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut : harga
pasar / EPS.
Untuk EPS / Earning per share ini dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

NIAT (-Deviden) / total saham

Seperti contoh :

Net interest after tax (NIAT) Rp. 500.000.000.000,- sementara jumlah saham ada 1 milyar dan harga
pasaran saham Rp. 1500.

Carilah Price earning rationya ( PER ) ?

Jawab :

Karena disini kita belum mengetahui EPS nya maka harus dicari terlebih dulu EPS nya.

EPS = NIAT (-Deviden) / total saham

Karena deviden disini tidak diketahui berrti deviden tidak usah dicantumkan.

EPS = Rp 500.000.000.000 / 1.000.000.000

= 500

Setelah itu mencari PER

PER = harga pasar / EPS

= 1.500 / 500

=3

Pendekatan top-down vs. bottom-up

Kedua pendekatan investasi ini sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menemukan
saham-saham unggulan yang layak untuk dimasukkan ke dalam keranjang investasi.

Pendekatan top-down merupakan analisa "gambaran secara garis besar" (the big picture). Dengan
pendekatan ini, manajer investasi menganalisa kondisi makroekonomi dan kemudian berdasarkan
analisanya tersebut ia kemudian memperkirakan sektor atau industri mana saja yang akan
menghasilkan imbal hasil terbaik dalam kondisi makroekonomi tersebut. Setelah memilih sektor-
sektor unggulan, manajer investasi kemudian akan menganalisa emiten-emiten yang terdapat dalam
sektor-sektor unggulan tersebut dan memilih mana yang terbaik. Hasilnya adalah saham-saham
unggulan yang akan dimasukkan ke dalam keranjang investasi/portofolio. Sebagai contoh, misalkan
manajer investasi memperkirakan akan terjadi penurunan suku bunga dalam waktu dekat. Dengan
pendekatan top-down, maka sektor perbankan dan properti akan terpengaruh karena kenaikan suku
bunga pada gilirannya akan berpengaruh pada pendapatan perbankan (penurunan suku bunga
membuat tingkat bunga kredit turun sehingga menggairahkan penyaluran kredit perbankan) dan
perusahaan properti (penurunan bunga KPR akan meningkatkan volume penjualan properti). Dengan
demikian, sektor perbankan dan properti menjadi sektor unggulan, sehingga kemudian manajer
investasi akan menelaah lebih lanjut emiten/saham yang ada di sektor tersebut.

Sebaliknya, manajer investasi dengan pendekatan bottom-up berfofus pada pemilihan saham
berdasarkan analisa mendalam atas masing-masing emiten saham. Dengan pendekatan ini, manajer
investasi berusaha menemukan emiten dengan prospek yang bagus, terlepas dari sektor.industrinya
ataupun faktor-faktor makroekonomi. Akan tetapi, kriteria yang menentukan apakah suatu emiten
memiliki prospek yang baik mungkin berbeda-beda dari satu manajer investasi ke yang lainnya. Ada
yang mencari emiten dengan tingkat pertumbuhan laba (earnings growth) yang tinggi, sementara yang
lainnya mungkin menggangap emiten dengan rasio PER yang rendahlah yang menarik. Dalam
pendekatan bottom-up manajer investasi akan membandungkan satu emiten dengan emiten lainnya
berrdasarkan faktor-faktor fundamental dari masing-masing emiten. Sejauh emitennya dinilai
memiliki fundamental yang kuat, siklus bisnis ataupun kondisi industri secara keseluruhan tidaklah
terlalu penting.

Pendekatan mana yang lebih baik?

Setelah kita membahas kedua pendekatan ini, berikut adalah tabel yang merangkum perbandingan di
antara keduanya:

Tabel 3: Perbandingan antara pendekatan top-up dan bottom-down


Menurut pengamatan saya di Indonesia menggunakan kombinasi keduanya, namun sebagian besar
lebih cenderung mengedepankan pendekatan top-down. Alasan mengapa top-down lebih lazim
digunakan saya kira karena beberapa hal berikut:

 Pasar modal masih relatif didominasi investor asing, sehingga praktis kondisi makroekonomi
baik global maupun lokal masih sangat mempengaruhi pergerakan pasar modal kita.
- jumlah emiten di pasar saham belum banyak dan para emitennya belum terlalu bervariasi.
Dengan demikian pendekatan top-up mungkin sudah dirasa cukup. Jika emiten sudah banyak
dan emiten-emiten dalam 1 sektor pun sudah beragam dalam segi karakteristik maka
pendekatan bottom-up mungkin akan lebih efektif untuk menemukan hidden jewels (saham-
saham berkualitas baik yang harganya masih murah).
 Dari segi sumber daya (waktu, tenaga, SDM) pendekatan bottom-up memerlukan riset
mendalam yang memerlukan waktu, usaha serta SDM yang mumpuni. Untuk memgenal satu
emiten saja misalnya, manajer investasi tidak hanya harus mempelajari laporan keuangan dan
literatur lainnya, tapi juga harus mengunjungi emiten tsb atau mengirimkan analisnya untuk
berbicara dan menghimpun data langsung dari emiten. Bayangkan sumber daya yang harus
dikerahkan jika emiten yang dikaji banyak! Sementara dalam pendekatan top-up, analisa
makroekonomi sudah merupakan saringan awal karena dari situ sudah dapat ditentukan
sektor-sektor unggulan. Kemudian dari sektor-sektor unggulan disaring lagi untuk mencari
saham-saham unggulan.
 Jenis produk reksa dana saham yang beredar saat ini cenderung masih yang bersifat generik
dan tematik saja, dan dengan jumlah emiten yang belum banyak (dan dari sekian banyak
emiten tsb yang sahamnya layak investasi lebih sedikit lagi!), pendekatan top-up sudah dirasa
cukup.
 Yang menarik, imvestor reksa dana kita memiliki horison investasi yang sangat pendek jika
dibandingkan dengan imvestor di luar negeri. Untuk jangka panjang misalnya, rata-rata
imvestor reksa dana kita masih banyak yang mematok 1 tahun sebagai periode jangka
panjang. Pendekatan top-up dirasa lebih pas untuk kondisi ini karena pendekatan ini lebih
bertumpu pada alokasi aset. Pendekatan bottom-up di sisi lain, lebih pas untuk value investors
atau mereka yang mencari saham-saham bagus namun murah dan menyimpannya untuk
waktu lama tanpa terlalu peduli dengan fluktuasi ekonomi dan pasar modal - investasinya
lebih bertumpu pada conviction. Reksa dana dengan karakteristik value investing cenderung
merupakan "boom and bust fund" di mana keyakinan manajer investasi merupakan penentu
utama kinerja reksa dana. Konsekuensinya, investor harus memiliki kapasitas untuk
menunggu dalam jangka waktu cukup lama (biasanya >3 tahun) karena biasanya saham-
saham yang dipilih lewat pendekatan bottom-up tidak serta merta berkinerja bagus dalam
jangka pendek, terutama jika saham tsb dibeli saat pasar sedang bearish.

CAPM

CAPM adalah sebuah model yang menggambarkan hubungan antara risiko dan return yang
diharapkann, model ini digunakan dalam penilaian harga sekuritas

Model CAPM diperkenalkan oleh Treynor, Sharpe dan Litner. Model CAPM merupakan
pengembangan teori portofolio yang dikemukan oleh Markowitz dengan memperkenalkan istilah
baru yaitu risiko sistematik (systematic risk) dan risiko spesifik/risiko tidak
sistematik (spesific risk /unsystematic risk). Pada tahun 1990, William Sharpe memperoleh nobel
ekonomi atas teori pembentukan harga aset keuangan yang kemudian disebut Capital Asset Pricing
Model (CAPM)

Bodie et al. (2005) menjelaskan bahwa Capital Asset Pricing Model (CAPM) merupakan hasil utama
dari ekonomi keuangan modern.Capital Asset Pricing Model (CAPM) memberikan prediksi yang
tepat antara hubungan risiko sebuah aset dan tingkat harapan pengembalian (expected return).
Walaupun Capital Asset Pricing Model belum dapat dibuktikan secara empiris, Capital Asset Pricing
Model sudah luas digunakan karena Capital Asset Pricing Model akurasi yang cukup pada aplikasi
penting.

Capital Asset Pricing Model mengasumsikan bahwa para investor adalah perencana pada suatu
periode tunggal yang memiliki persepsi yang sama mengenai keadaan pasar dan mencari mean-
variance dari portofolio yang optimal. Capital Asset Pricing Model juga mengasumsikan bahwa pasar
saham yang ideal adalah pasar saham yang besar, dan para investor adalah para price-takers, tidak ada
pajak maupun biaya transaksi, semua aset dapat diperdagangkan secara umum, dan para investor
dapat meminjam maupun meminjamkan pada jumlah yang tidak terbatas pada tingkat suku bunga
tetap yang tidak berisiko (fixed risk free rate). Dengan asumsi ini, semua investor memiliki portofolio
yang risikonya identik.

Capital Asset Pricing Model menyatakan bahwa dalam keadaan ekuilibrium, portofolio pasar adalah
tangensial dari rata-rata varians portofolio. Sehingga strategi yang efisien adalah passive strategy.
Capital Asset Pricing Model berimplikasi bahwa premium risiko dari sembarang aset individu atau
portofolio adalah hasil kali dari risk premium pada portofolio pasar dan koefisien beta.

Risiko dan Return

Keinginan utama dari investor adalah meminimalkan risiko dan meningkatkan perolehan (minimize
risk and maximize return). Asumsi umum bahwa investor individu yang rasional adalah seorang yang
tidak menyukai risiko (risk aversive), sehingga investasi yang berisiko harus dapat menawarkan
tingkat perolehan yang tinggi (higher rates of return), oleh karena itu investor sangat membutuhkan
informasi mengenai risiko dan pengembalian yang diinginkan.
Risiko investasi yang dihadapi oleh investor (Rose, Peter S., dan Marquis, Milton H. 2006. Money
and Capital Markets, Ninth Edition, p 277-280):

1. Market Risk (risiko pasar), sering disebut juga sebagai interest rate risk, nilai investasi akan
menjadi turun ketika suku bunga meningkat mengakibatkan pemilik investasi mengalami capital loss.

2. Reinvestment risk, risiko yang disebabkan sebuah aset akan memiliki yield yang lebih sedikit pada
beberapa waktu di masa yang akan datang.

3. Default risk. Risiko apabila penerbit aset gagal membayar bunga atau bahkan pokok aset.

4. Inflation risk. Risiko menurunya nilai riil aset karena inflasi.

5. Currency risk. Risiko menurunnya nilai aset karena penurunan nilai tukar mata uang yang dipakai
oleh aset.

6. Political risk. Risiko menurunya nilai aset karena perubahan dalam peraturan atau hukum karena
perubahan kebijakan pemerintah atau perubahan penguasa.Suku bunga bank sentral tentunya masih
berpotensi memiliki semua risiko, akan tetapi diasumsikan negara tidak mungkin gagal membayar
(walaupun ada juga kemungkinannya), oleh karena itu biasanya return dari risk free aset (Rf)
digunakan suku bunga bank sentral.

Capital Asset Pricing Model (CAPM) mencoba untuk menjelaskan hubungan antara risk dan return.
Dalam penilaian mengenai risiko biasanya saham biasa digolongkan sebagai investasi yang berisiko.
Risiko sendiri berarti kemungkinan penyimpangan perolehan aktual dari perolehan yang diharapkan
(possibility), sedangkan derajat risiko (degree of risk) adalah jumlah dari kemungkinan fluktuasi
(amount of potential fluctuation).

Saham berisiko dapat dikombinasi dalam sebuah portfolio menjadi investasi yang lebih rendah risiko
daripada saham biasa tunggal. Diversifikasi akan mengurangi risiko sistematis (systematic risk), tetapi
tidak dapat mengurangi risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk). Unsystematic risk adalah
bagian dari risiko yang tidak umum dalam sebuah perusahaan yang dapat dipisahkan. Systematic risks
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan yang berhubungan dengan seluruh pergerakan pasar saham
dan tidak dapat dihindari.

Informasi keuangan mengenai sebuah perusahaan dapat membantu dalam menentukan keputusan
investasi. Investor biasanya menghindari risiko, investor menginginkan perolehan tambahan
(additional returns) untuk menanggung risiko tambahan (additional risks). Oleh karena itu saham
berisiko tinggi (High-risk securities) harus mempunyai harga yang menghasilkan perolehan lebih
tinggi daripada perolehan yang diharapkan dari saham berisiko lebih rendah.

Persamaan CAPM

Persamaan risiko dan perolehan (Equation Risk and Return) adalah :

Rs = Rf + Rp

Rs = Expected Return on a given risky security

Rf = Risk-free rate

Rp = Risk premium

Bila nilai β = 1 artinya adanya hubungan yang sempurna dengan kinerja seluruh pasar seperti yang
diukur indek pasar (market index), contohnya nilai yang diukur oleh Dow-Jones Industrials dan
Standard and Poor’s 500-stock-index. Hubungan ini dapat digambarkan dalam contoh pada gambar.

β adalah ukuran dari hubungan paralel dari sebuah saham biasa dengan seluruh tren dalam pasar
saham.

Bila β > 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih tinggi daripada pasar.

β < 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih rendah daripada indek pasar secara umum
(general market index).
Perubahan persamaan risiko dan perolehan (Equation Risk and Return) dengan memasukan faktor β
dinyatakan sebagai:

Rs = Rf + βs (Rm – Rf)

Rs = Expected Return on a given risky security

Rf = Risk-free rate

Rm = Expected return on the stock market as a whole

βs = Stock’s beta, yang dihitung berdasarkan waktu tertentu

CAPM bertahan bahwa harga saham tidak akan dipengaruhi oleh unsystematic risk, dan saham yang
menawarkan risiko yang relatif lebih tinggi (higher βs) akan dihargai relatif lebih daripada saham
yang menawarkan risiko lebih rendah (lower βs). Riset empiris mendukung argumen mengenai βs
sebagai prediktor yang baik untuk memprediksi nilai saham di masa yang akan datang (future stock
prices).

CAPM dikritik sebagai penyebab masalah kompetisi di Amerika Serikat. Manajer di sebuah
perusahaan di Amerika Serikat yang menggunakan CAPM terpaksa membuat investasi yang aman
dalam jangka pendek dan perolehannya dapat diprediksi dalam jangka pendek daripada investasi yang
aman dan perolehan dalam jangka panjang. Para peneliti telah menggunakan CAPM untuk menguji
hipotesa yang berhubungan dengan hipotesa pasar efisien.

Markowitz dan Market Model

William Sharpe dalam membangun model CAPM diilhami dari teori portofolio yang diajukan oleh
Harry Markowits. Markowitz mengusulkan sebuah model untuk menjelaskan korelasi diantara return
sekuritas. Model ini mengasumsikan bahawa return dari sekuritas ke-i tergantung pada sebuah faktor
yang mendasari, nilai yang diwakili oleh indeks, dalam notasi matematika dinyatakan sebagai:

ri = ai + Bi.F + ui

ri = return sekuritas i

Bi = Beta dari sekuritas i

F = indeks (belum tentu indeks pasar)

ui = error term

(walaupun selanjutnya markowitz mengusulkan bahwa persamaan itu seharusnya tidak linier, karena
ada faktor lain yang mendasarinya)

Kemudian pada tahun 1963, William Sharpe menguji persamaan tersebut sebagai penjelasan
bagaimana return sekuritas cenderung naik dan turun seiring dengan naik turunnya indeks umum
pasar, secara spesifik Sharpe menggunakan persamaan sebagai berikut:

rit = ai + Bi.rmt + uit

rit = return dari aset i pada periode t

rmt = return dari indeks pasar pada periode t


ai = komponen non-pasar dari return aset i

Bi = rasio kovarian dari return aset i dan return indeks pasar terhadap varians return indeks pasar

uit = zero mean random error term

Model ini disebut model pasar indeks tunggal (single index market model) atau sering disebut market
model.

Dilihat disini pada model markowitz, indeks-nya belum tentu indeks pasar, tetapi pada market model
digunakan indeks pasar.

Kesimpulan:

Disamping beberapa model analisis seperti Eficient Frontier Markowitz dan SIM, terdapat beberapa
model keseimbangan seperti CAPM dan APT Model keseimbangan CAPM membantu
menggambarkan hubungan risiko dan return secara lebih sederhana, dan hanya menggunakan satu
variabel (disebut juga variabel beta) untuk menggambarkan risiko, sedangkan APT lebih kompleks
dibanding CAPM karena menggunakan sekian banyak variabel pengukur risiko.

Anda mungkin juga menyukai