Kajian Wangsalan Dalam Bahasa Jawa PDF
Kajian Wangsalan Dalam Bahasa Jawa PDF
Kajian Wangsalan Dalam Bahasa Jawa PDF
KAJIAN WANGSALAN
DALAM BAHASA JAWA
TIDAi< DIPERDAGANGKAN UNTUK UMUM
KAJIAN WANGSALAN
DALAM BAHASA JAWA
D. Edi Subroto
Slamet Raharjo
Sujono
Imam Sutarjo
PUSAT BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
JAKARTA
2000
00 ?.;z., .
71-~tJO-f
./.¢ Penyun ing Penyelia
flb · ~ ma_ ita Almanar
Pt{8> k~J Q,~-1;i
yunting
~ Titik lndiastini
Tri Saptarini
Pewajah Kulit
Gerdi W.K.
Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam
bentuk apa pun tanpa seizin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal
pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah .
398-949-923-1
SUB Subroto, D. Edi at al.
k Kajian Wangsalan dalam Bahasa Jawa/D . Edi Subroto,
Slamet Raharjo , Sujono, dan Imam Sutarjo.-- Jakarta:
Pusat Bahasa, 2000
x + 110 him.; 21 cm
ISBN 979-685-080-X
1. Peribahasa
2. Bahasa Jawa-Peribahasa
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSAT BAHASA
Setiap buku yang diterbitkan, tentang apa pun isinya, oleh penulis dan
penerbitnya pasti diharapkan dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas .
Pada sisi lain pembaca mengharapkan agar buku yang dibacanya itu dapat
menambah wawasan dan pengetahuannya. Di luar konteks persekolahan,
jenis wawasan dan pengetahuan yang ingin diperoleh dari kegiatan
membaca buku itu berbeda antara pembaca yang satu dan pembaca yang
lain, bahkan antara kelompok pembaca yang satu dan kelompok pembaca
yang lain. Faktor pembeda itu erat kaitannya dengan minat yang sedikit
atau banyak pasti berkorelasi dengan latar belakang pendidikan atau
profesi dari setiap pembaca atau kelompok pembaca yang bersangkutan.
Penyediaan buku atau bahan bacaan yang bermutu yang diasumsikan
oapat memenuhi tuntutan minat para pembaca itu merupakan salah satu
upaya yang sangat bermakna untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dalam pengertian yang luas. Hal ini menyangkut rnasalah keberaksaraan
yang cakupan pengertiannya tidak hanya merujuk pada kemampuan
seseorang untuk membaca dan menulis, tetapi juga menyangkut hal
berikutnya yang jauh lebih penting , yaitu bagaimana mengembangkan
dan mengoptirnalkan kemampuan tersebut agar wawasan dan pengetahu-
an yang sesuai dengan minat itu dapat secara terus-menerus ditingkatkan .
Dalam konteks masyarakat-bangsa, kelompok masyarakat yang
tingkat keberaksaraannya tinggi memiliki kewajiban untuk berbuat se-
suatu yang bertujuan mengentaskan kelompok masyarakat yang tingkat
keberaksaraannya rnasih rendah. Hal itu berarti bahwa mereka yang
sudah tergolong pakar, ilmuwan, atau cendekiawan berkewajiban "me-
nularkan " wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya kepada mereka
yang rnasih tergolong orang awam. Salah satu upayanya yang patut di-
lakukan ialah melakukan penelitian yang hasilnya dipublikasikan dalam
bentuk terbitan.
Dilihat dari isinya, buku yang dapat memberi tambahan wawasan
dan pengetahuan itu amat beragam dan menyangkut bidang ilmu tertentu.
vi
Salah satu di antaranya ialah bidang bahasa dan sastra termasuk peng-
ajarannya. Terhadap bidang ini masih harus ditambahkan keterangan agar
diketahui apakah isi buku itu tentang bahasa/sastra Indonesia atau me-
ngenai bahasa/sastra daerah.
Bidang bahasa dan sastra di Indonesia boleh dikatakan tergolong
sebagai bidang ilmu yang peminatnya masih sangat sedikit dan terbatas ,
baik yang berkenaan dengan peneliti, penulis , maupun pembacanya. Oleh
karena itu , setiap upaya sekecil apa pun yang bertujuan menerbitkan
buku dalam bidang bahasa dan/atau sastra perlu memperoleh dorongan
dari berbagai pihak yang berkepentingan.
Sehubungan dengan hal itu, buku Kajian Wangsalan dalam Bahasa
Jawa yang dihasilkan oleh Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah-Jawa Tengah tahun 1997 /1998 ini per Ju kita
sambut dengan gembira . Kepada tim penyusun, yaitu D. Edi Subroto ,
Slamet Raharjo, Sujono, dan Imam Sutarjo, saya ucapkan terima kasih
dan penghargaan yang tinggi. Demikian pula halnya kepada Pemimpin
Proyek Pembinaan Bahasa qan Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta
beserta seluruh staf, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih atas
segala upayanya dalam menyiapkan naskah siap cetak untuk penerbitan
buku ini .
Hasan Alwi
UCAPAN TERIMA KASm
Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v
Ucapan Terima Kasih . . . . . . . . . . . . . . . . . vii
Daftar Isi . . . . . . . .............. . viii
Bab I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Pemikiran . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian ....... . 5
1.4 Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . 6
1.5 Tinjauan Pustaka ......... . 6
1.6 Sistematika Laporan Penelitian ... . 11
PENDAHULUAN
"Genre, a term taken from the French, is used 'in literary criticism to
signify a literary spesies or, as we now often say, a literary form ".
Genre, sebuah istilah yang diambil dari bahasa Prancis, dipakai di dalam
kritik sastra untuk menunjuk pada sebuah jenis sastra atau sebuah bentuk
sastra.
Dalam kaitannya dengan teori mengenai genre ini, Wellek dan
Waren (1962:228) menyatakan bahwa
Jadi, menurut Wellek dan Waren, teori genre adalah sebuah prinsip pena-
taan atau pengaturan yang mengklasifikasi susastra atau sejarah sastra
tidak berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe organisasi
atau struktur sastra secara khas . Selanjutnya, Shaw (1972: 172) menyata-
2
kan bahwa genre adalah suatu kategori atau kelas dari suatu karya artistik
yang memiliki bentuk, teknik, atau isi tertentu. Genre-genre yang secara
umum ditemukan di dalam karya sastra ialah novel, cerita pendek, esai,
epik, dan sebagainya. Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut dapat di-
simpulkan bahwa genre atau jenis sastra adalah upaya menggolong-
golongkan karya sastra berdasarkan aspek bentuk karya sastra atau tipe
organisasi atau struktur sastra. Aspek teknik penceritaan dan isi karya
sastra juga menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jenis karya
sastra. Beberapa genre karya sastra yang dikenal secara umum di antara-
nya adalah novel, cerita pendek, esai, epik, tragedi, komedi, sejarah,
tragis/tragedi , lirik, satire, biografi , dan drama (Padmopuspito dalam
Sudaryanto, 1991).
Dalam kaitannya dengan susastra Jawa (baru atau modem), pem-
bagian jenis karya sastra Jawa juga dilakukan berdasarkan bentuknya.
Pembagian jenis karya sastra itu, di antaranya, dinyatakan oleh Kats dan
Hadiwidjana (1934) bahwa pembagian jenis sastra Jawa dilakukan ber-
dasarkan bentuknya (kapirid mungguh ing wujude) dan cara mengungkap-
kan bahasa (cara wedharing basa). Jenis karya sastra Jawa dibedakan
atas (a) tembang (puisi Jawa tradisional) yang mencakup (1) tembang pa-
ra (parikan, ge8uritan, gendhingan, wangsalan) dan (2) tembang yasan;
dan (b) basa gancaran (prosa). Selanjutnya, menurut konsep Kementeri-
an Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1946), jenis sastra Jawa
berdasarkan bentuk dibedakan atas (a) basa pinathok (bahasa yang diten-
tukan aturan-aturannya, bahasa terikat) yang dibedakan atas milik orang
banyak (umum) dan milik pribadi yang melingkupi bahasa terikat yang
ditata (tembang, parikan, geguritan, wangsalan, cangkriman, gerongan,
senggakan, candra sengkala) dan bahasa terikat yang tidak ditata (saloka,
paribasan, pasemon); (b) gancaran (prosa) (Padmopuspito dalam Sudar-
yanto, 1991).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa wangsalan ter-
masuk puisi Jawa Baru yang bersifat tradisional karena memiliki sejum-
lah patokan atau aturan, serta milik pribadi . Bagaimana patokan, aturan,
atau ikatan itu, berikut ini dikemukakan sejumlah contoh.
Janur gunung, kulone Banjar Patoman (Bag. 1)
Kadingaren, wong bagus gasik tekane. (Bag. 2)
3
satu atau dua, tergantung banyaknya teka-teki, yang terkandung pada ka-
limat pengantar, suku kata atau kata pada kalimat tersebut (Supanggah
dalam Sudaryanto, 1991: 333). Definisi yang cukup panjang itu membe-
rikan sedikit penuntun yang bermanfaat untuk memahami wangsalan. Se-
kalipun demikian, memang tedapat hal-hal yang membingungkan, yakni
pemyataannya bahwa bagian kedua, yang merupakan kalimat mandiri
kadangkala tidak ada hubungannya dengan kalimat bagian pertama.
Apakah yang dimaksud "kalimat mandiri" dan apa pula yang dimaksud
"tidak ada hubungan", sama sekali tidak dijelaskan. Justru daya tarik
utama pada studi terhadap wangsalan ialah adanya hubungan isi secara
terselubung antara bagian pertama (teka-teki) dengan bagian kedua (isi
wangsalan). Orang harus menebak-nebak atau harus mereka-reka dengan
menemukan indikator-indikator penanda adanya hubungan itu. Adanya
hubungan isi tuturan secara tersirat atau terselubung itu hanya dikenali
oleh penutur dan mitra tutur yang sama-sama berada dalam konteks buda-
ya yang sama dan sama--sama masih menghayati akan kehidupan wang-
salan itu. Tanpa kondisi demikian, mustahil orang Jawa dapat memahami
dan menghayati daya tarik wangsalan. Faktor itulah yang menyebabkan
generasi muda Jawa sangat sedikit yang masih memahami dan meng-
hayati kehidupan wangsalan sebagai salah satu khasanah budaya Jawa.
Konteks budaya itu dapat dipandang sebagai konteks tuturan dan dipakai
oleh Leech (1993:20) sebagai salah satu kriteria yang menyatakan bahwa
pragmatik mengkaji makna dalam kaitannya dengan situasi ujar.
Keterangan yang lebih kurang sama juga diberikan oleh Tedjohadi-
sumarto dalam bukunya Mbombong Manah I 'Membuat Hati Bombong/
Bangga', penerbit Djambatan (tanpa tahun). Dalam buku itu dinyatakan
bahwa wangsalan adalah ungkapan atau tuturan yang serupa dengan teka-
teki atau cangkriman, tetapi jawabannya sudah disebutkan sekaligus pada
larik jawaban secara tersamar. Jawaban atau tebakan itu berwujud kata
atau perkataan yang mengandung suku kata yang sama dengan suku kata
terakhir pada kata tebakan pada gatra bagian depan; bahkan yang sama
hanyalah hurufnya belaka. Dari pemyataan tersebut dapat disimpulkan
bahwa hal yang esensi pada wangsalan ialah terdapatnya bagian tuturan
sebagai teka-teki dan sekaligus terdapatnya bagian jawaban secara ter-
samar.
8
Contoh:
tangkan efek-efek puitis tertentu. Hal itu, antara lain, juga ditegaskan
oleh Culler (1975:55) sebagai berikut.
kaitan dengan hakikat ciri-ciri dan fungsi karya sastra; genre karya
sastra; ihwal wangsalan, beberapa pendapat tentang wangsalan, ciri-ciri
wangsalan, jenis-jenis wangsalan, fungsi wangsalan, persajakan dan rima
dalam wangsalan, serta kehidupan wangsalan dalam masyarakat Jawa
dewasa ini.
Bab III berisi laporan penelitian ini berisi hal-hal yang berkaitan
dengan metodologi. Di antaranya akan dikemukakan ihwal jenis pene-
litian yang dipakai, penentuan sampel, alasan penentuan sampel, data dan
sumber data, serta pemerolehan data, klasifikasi data, dasar-dasar klasi-
fikasi data, dan model analisis data yang dipakai.
Bab IV berisi bagian inti dari penelitian ini, yaitu berisi hasil ana-
lisis mengenai seluk-beluk wangsalan berdasarkan data yang ditemukan.
Di antaranya akan dikemukakan ihwal jenis-jenis wangsalan berdasarkan
ciri-cirinya, jenis wangsalan yang paling banyak dijumpai dalam kehi-
dupan susastra Jawa, 'ihwal bagian teka-teki dan bagian isi atau jawaban;
berbagai indikator yang ditemukan untuk menuntun pada isi wangsalan;
ihwal pengaturan gatra, rima dan persajakan; berbagai jenis fungsi wang-
salan berdasarkan data yang ditemukan, kehidupan wangsalan dewasa ini
dan kecenderungannya.
Bab V berisi kesimpulan dan beberapa catatan penutup serta saran-
saran yang perla dikemukakan agar jenis karya sastra ini dapat dilestari-
kan dan berperan dalam kehidupan susastra Jawa.
BAB II
BEBERAPASEGITEORETIS
si tertentu yang disebut fungsi puitik (Culler, 1975: 55) . Dengan meng-
antarkan pemakaian bahasa dalam karya sastra ini, diharapkan dapat di-
pahami secara lebih tepat ihwal hakikat karya sastra dan ciri-ciri umum-
nya.
Ihwal apakah karya sastra itu, Luxemburg et al. (1989: 21) menya-
takan bahwa sastra terikat oleh dimensi waktu dan budaya karena sastra
adalah hasil sebuah kebudayaan. Sebuah karya sastra hadir atau ada ka-
rena terjadinya interaksi dengan pembaca, terutama golongan pembaca
yang serius . Dalam rangka memahami ihwal hakikat sastra itu, berikut
ini beberapa ciri khas yang dapat dipakai unk mengenali karya sastra.
1. Dalam karya sastra terdapat penanganan bahan atau materi yang ber-
sifat khusus . Termasuk di dalamnya ialah cara penanganan atau pe-
manfaatan potensi bahasa bagi pengungkapan karya sastra. Sehubung-
an dengan itu, adanya kekhususan atau keunikan pemakaian bahasa
dalam karya sastr'a merupakan salah satu ciri khasnya. Ciri tersebut
berkaitan dengan pemanfaatan potensi bahasa untuk keperluan eks-
presi dan penceritaan. Pemanfaatan itu bahkan dapat berupa penyim-
pangan kaidah yang berlaku secara umum demi mencapai efek-efek
tertentu . Hal itu juga berkaitan dengan pengolahan materi atau bahan
cerita. Karya sastra memiliki kebenaran cerita atau logika bercerita
tersendiri yang berbeda dari kebenaran bercerita dan logika umum.
2. Secara umum dapat pula dinyatakan bahwa kebanyakan teks sastra
bersifat rekaan (fiksional). Kebenaran cerita dalam karya sastra bu-
kanlah kebenaran faktual atau nyata, melainkan fiksional berdasarkan
imaginasi dan sebagai hasil sebuah kreativitas. Tipe/pola kejadian
atau peristiwa dan tokoh-tokoh beserta karaktemya barangkali dapat
ditemukan dalam dunia nyata sehari-hari, tetapi secara keseluruhan
dia bersifat rekaan atau fiksi .
3. Secara umum, karya sastra berbicara mengenai masalah manusia,
masalah kemanusiaan, dan masalah kehidupan dengan mengolahnya
secara khusus berdasarkan daya imaginasi dan daya kreativitasnya.
Dengan demikian, karya sastra berfungsi dapat memberi dan mem-
perluas wawasan pembacanya akan masalah-masalah manusia dan ke
manusiaan, harkat dan martabat manusia, masalah keadilan, dan ma-
salah sosial.
15
yang secara umum disebut puisi. Dilihat dari situasi bahasa sebagai sa-
rana pengungkapan dibedakan tiga ragam atau bentuk, yaitu larik, drama,
dan epik Luxemburg et al. 1989: 23). Lirik pada umumnya berupa si-
tuasi penggunaan bahasa yang banyak mengungkapkan perasaan pribadi
pengarangnya, terutama dalam bentuk puisi, sekalipun ada pula peng-
ungkapan perasaan secara liris yang tidak dalam bentuk puisi. Drama dan
epik pada umumnya berisikan cerita, baik yang dinyatakan dalam bentuk
dialog maupun bukan. Intinya terdapat aspek kisahan atau penceritaan.
Demikian pula di dalam pengkajian atau telaah sastra juga banyak
disinggung ihwal genre sastra. Hal itu menunjukkan bahwa ihwal genre
sastra sudah dikenal cukup akrab di kalangan pembelajar sastra ataupun
di kalangan penelaah sastra, misalnya dalam Hutomo (1975). Kita me-
ngenal adanya jenis karya sastra, yaitu puisi, cerita pendek, novel, roman
penglipur wuyung, d~ sastra keagamaan. Jenis-jenis itu menurut penulis-
nya juga dikenal dalam sastra Indonesia baru.
Jenis-jenis karya sastra itu juga terlihat pada Ras (1979). Buku teks
yang berupa bunga rampai sastra Jawa modem itu di dalamnya terdapat
jenis-jenis sastra, yaitu cerita pendek, puisi, drama, novel, lagu dolanan,
lagu lirik, dan drama. Hal terpenting yang ditekankan oleh Ras dalam
buku itu ialah pemyataannya mengenai pentingnya pendekatan ekstrinsik
(Damono, 1989': 3). Jadi, sekalipun teori-teori mengenai genre sastra itu
tidak dinyatakan, tetapi di kalangan pembelajar dan pengkaji sastra, jenis-
jenis sastra tersebut bukan merupakan sesuatu yang asing. Untuk me-
ngenal masalah itu secara baik, perlu dikemukakan konsep teoretis me-
ngenai genre sastra.
Telah disinggung bahwa menurut Wellek dan Waren (1982: 228)
teori genre pada dasamya adalah prinsip penataan atau pengaturan. Teori
mengenai genre itu mengklasifikasi karya sastra atau sejarah sastra tidak
berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe-tipe pengorgani-
sasian atau struktur sastra secara khas. Berdasarkan rumusan Wellek dan
Waren itu dapat dipahami bahwa prinsip dasar genre sastra adalah bagai-
mana pengarang mengorganisasikan ungkapan rasanya atau struktur ki-
sahannya dan mengaktualisasikannya dalam wujud cetakan.
Rumusan yang tampaknya juga bersesuaian dapat diambil dari Shaw
( 1972: 172) yang menyatakan bahwa genre adalah suatu kategori atau
17
2.3 Wangsalan
Dalam kaitannya dengan sastra Jawa baru atau modem, pembagian jenis
sastra Jawa juga dilakukan berdasarkan bentuknya. Di antaranya dinyata-
kan oleh Kats dan Hadiwidjana (1934) bahwa pembagian jenis sastra
Jawa dilakukan berdasarkan bentuk (kapirid mungguh ing wujude 'di-
pertimbangkan berdasarkan bentuknya') dan cai:a mengungkapkan bahasa
(cara wedharing basa 'cara membeberkan bahasa'). Jenis sastra Jawa di-
bedakan atas (a) tembang (puisi Jawa tradisional) yang mencakup (1)
tembang para (parikan, guritan, gendhingan , wangsalan) dan (2) tem-
bang yasan; (b) basa gancaran atau prosa.
Pembagian jenis sastra Jawa menurut konsep Kementrian Pengajar-
an, Pendidikan dan Kebudayaan (1946) adalah sebagai berikut: (a) Basa
pinathok (bahasa yang aturannya sudah ditentukan) yang dibedakan lagi
atas (1) milik orang banyak (umum), (2) milik pribadi yang mencakup
bahasa terikat yang ditata (tembang parikan, geguritan, wangsalan, cang-
kriman, gerongan, senggakan, candra sengkalan) dan bahasa terikat yang
tidak ditata (saloka, paribasan, pasemon) ; (b) Gancaran (prosa) (lihat
Padmopuspito dalam Sudaryanto, 1991).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa wangsalan ter-
masuk puisi Jawa Baru yang bersifat tradisional karena memiliki sejurn-
lah patokan. Di samping itu , wangsalan juga dimiliki oleh setiap orang .
Kata wangsalan dibentuk dari akar wangsal yang berarti 'jawab atau
18
W angsalan di atas terdiri atas sebuah baris atau larik yang terdiri atas dua
bagian atau gatra, yaitu gatra 1 (jenang gula) dan gatra 2 (aja lali) dan
masing-masing terdiri atas empat suku kata. Bagian pertama merupakan
teka-teki atau cangkriman yang dinyatakan secara metaforis. Jenang gula
berarti gulali atau glali, yaitu semacam gula-gula yang terbuat dari gula.
Kata gulalilglali memberi indikator jawban lali 'lupa' dalam aja lali .
Wangsalan tersebut memberi pesan kepada orang kedua (02), yakni be-
suk kalau sudah kaya atau jadi orang besar jangan lupa kepadaku . Pesan
itu dinyatakan secara tidak langsung atau secara terselubung .
Baris pertama terdiri dari dua bagian atau gatra, yang masing-masing ter-
diri atas 4 dan 8 suku kata (janur gunung dan kulone Banjar Patoman) .
Demikian pula, baris kedua juga terdiri atas dua bagian, yang masing-
masing juga terdiri atas 4 dan 8 suku kata (kadingaran dan wong bagus
gasik tekane). Bagian pertama baris pertama memberi indikator jawaban
yang dinyatakan pada bagian pertama baris kedua, yaitu janur gunung
adalah aren (nama tumbuh-tumbuhan sebangsa pinang yang tumbuh di
19
Wangsalan di atas hanya terdiri dari satu baris, yang terdiri dari dua ba-
gian atau gatra. Masing-rnasing terdiri atas 4 dan 8 suku kata. Tuturan
metaforis bagian pertama yang rnerupakan teka-teki ialah uler kambang
yang berarti 'ulat yang rnengapung di air' atau disebut 'lintah'. Pada ba-
gian kedua terdapat tuturan alon-alonan 'serba santai' atau sama dengan
satitahe 'serba seenaknya, tak perlu tergesa-gesa'. Di sini suku kata /tahl
dari kata lintah berkorespondensi dengan suku kata ltah/ pada kata
satitahe. W angsalan terse but rnerupakan reaksi penutur terhadap law an
tutur . Reaksi itu pun dinyatakan terselubung atau tersamar.
anggap sudab dikenal oleh para pengguna babasa dalam kehidupan se-
hari-hari.
Contoh:
Tuturan metaforis njangan gori 'bergaya bagaikan sayur dari nangka mu-
da' sama dengan 'gudeg '. Hal itu diasurnsikan sudah dikenai dalam ke-
hidupan sehari-hari. Bunyi suku kata !deg! dari kata gudeg berkorespon-
densi dengan suku kata !deg! pada kata budeg 'tuli' . Jadi, maksud wang-
salan itu ialah mengungkapkan pendapat penutur kepada lawan tutur yang
berintikan sekalipun dia sudah tahu kalau saya undang, tetapi dia bergaya
pura-pura tidak mendengar (tuli) . Wangsalan sehari-hari ini terasa agak
kasar dan kurang puitii; .
Dilihat dari segi persajakannya, kata priya 'lelaki' pada bagian pertama,
baris pertama berulang kembali pada kata priyagung 'orang bermartabat,
bangsawan tinggi' dan juga bersajak dengan bunyi Iof pada kata Anjani-
putra. Demikian pula bunyi Jani pada kata eman 'sayang' (bagian perta-
23
ma, baris kedua) bersajak dengan bunyi Ian/ pada kata kangelan (kata
terakhir, bagian kedua, baris kedua). Wangsalan tersebut di atas terdiri
dari dua baris yang masing-masing terdiri dari dua bagian pola suku kata
4 dan 8. Kulik priya berarti tuhu 'patuh' dan ini berkorespondensi dengan
bagian pertama, baris kedua sebagai jawaban, yaitu tuhu eman 'sungguh
sayang'. Tuturan metaforis Anjaniputra 'putera Dewi Anjani' berarti
Anoman. Suku kata lnoml dari Anoman ini memberi indikator jawaban
wong enom 'orang muda' pada bagian kedua, baris kedua. Jadi, kedua
bagian pada baris pertama merupakan teka-teki, sedangkan baris kedua
merupakan jawaban. Baris kedua itu berarti sungguh sayang, anak muda
malas/takut bekerja keras. Wangsalan tersebut merupakan kritik orang
tua kepada generasi muda yang disampaikan secara terselubung, yaitu
sebagai anak muda sungguh amat sayang apabila ia takut bekerja keras
menghadapi bahaya atau rintangan atau kesulitan.
Wangsalan sebagai khasanah sastra Jawa tradisional ternyata memi-
liki berbagai fungsi komunikatif. Sebagaimana terlihat dari contoh-contoh
di atas di antaranya terdapat wangsalan yang berfungsi menyampaikan
kritik, perrnintaan atau saran, reaksi, nasihat, sanggahan kepada rnitra tu-
tur atau kepada orang kedua (02) dalam arti luas. Mitra tutur itu barang-
kali adalah lawan bicara, pendengar, atau pemegang otoritas tertentu.
Hanya saja penyampaiannya bersifat tidak langsung, terselubung, atau
tersamar dengan maksud tidak mempermalukan rnitra tutur untuk meng-
hindari konflik. Inilah salah satu nilai budaya Jawa yang bersifat dasar,
yaitu menghindari konflik, menjaga harmoni makrodunia dengan rnikro-
dunia, rukun, menjaga perasaan orang agar tidak merasa dipermalukan,
tidak memaksakan kehendak, dan sebagainya. Bentuk pengungkapannya
bersifat klise. Namun, karena proses modemisasi (baca: pembangunan)
yang berjalan sangat pesat, wangsalan itu tidak lagi diakrabi oleh gene-
rasi muda. Dalam penelitian ini, aneka komunikatif wangsalan itu akan
dikaji lebih lanjut.
Dalam pada itu , juga ditemukan wangsalan yang dipakai di dalam
pertunjukan wayang , untuk memberi isyarat gendhing, oleh dalang ke-
pada para penabuh gamelan. Dalam hal ini pun dianggap tidak layak atau
tidak sopan jika dalang merninta gendhing yang serba jelas kepada para
penabuh. Isyarat gendhing itu harus diberikan secara terselubung atau se-
24
2.4 Metafora
Karena wangsalan merupakan salah satu bentuk tuturan metaforis, ada
baiknya dikemukakan beberapa hal mengenai metafora. Metafora dapat
dipandang sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa oleh pengguna
bahasa di dalam penerangan makna (Edi Subroto, 1992: 38). Berdasarkan
rumusan itu, metafora terdapat di dalam penggunaan bahasa. Bahasa ada-
lah sesuatu yang dapat dibentuk dengan berbagai variasi oleh pengguna
bahasa. Jadi, yang memiliki sifat lentur atau elastis adalah bahasa itu sen-
diri; tetapi yang memiliki daya kreatif adalah pengguna bahasa. Bahasa
memiliki berbagai potensi (bunyi, kaidah, pola, arti atau makna) yang
dapat diwujudkan dalam berbagai realisasi berdasarkan daya kreatif peng-
guna bahasa. Bahkan, dapat dinyatakan bahwa kegiatan berbahasa sehari-
hari pada dasarnya adalah berpikir metaforis . Kegiatan pelaksanaan suatu
proyek yang tidak lancar dikatakan "terseok-seok atau merayap" , terjadi-
nya perbedaan mencolok antara si kaya dan si miskin dikatakan "terdapat
jurang yang menganga antara si kaya dan si miskin", di kalangan muda-
mudi dikenal bulan adalah saksi percintaan kita", dan masih banyak lagi.
Pada dasarnya, metafora diciptakan berdasarkan kesamaan antara
dua hal atau antara referen. Hal ini dirumuskan Ullman (1977: 213) se-
bagai "the thing we are talking about" dan "that to wich we are compa-
ring it" atau 'sesuatu yang sedang kita perbincangkan' dan 'sesuatu tem-
pat kita membandingkan ".
Benda, barang, atau sesuatu yang sedang diperbincangkan itu disebut
"tenor", sedangkan benda, barang, atau sesuatu tempat memperbanding-
kan disebut "wahana". Kesamaan atau kemiripan antara dua referensi
atau dua hal/barang/sesuatu itu merupakan dasar penting terciptanya
25
kemiripan antara tenor dan wahana, metafora itu semakin kurang efektif.
Namun, jika hubungan antara tenor dan wahana itu bersifat implisit, ku-
rang jelas, samar-sarnar, atau bersifat intuitif, semakin efektif daya meta-
fora itu. Kemiripan pertama disebut kemiripan faktual, sedangkan kemi-
ripan kedua disebut kemiripan intuitif atau kemiripan kultural. Metafora
jenis pertama sering disebut rnetafora konvensional (kaki meja, kuping
gajah, leher botol, rnulut botol, kaki bukit, punggung bukit, rnulut gua),
sedangkan jenis yang kedua disebut metafora ekspresif. Metafora efektif
terutama diternukan pada puisi-puisi modern. Misalnya, dalam salah satu
sajak Rendra ditemukan tuturan rnetaforis "Bulan gosok-gosokkan pung-
gungnya di pucuk-pucuk para " (Balada terbunuhnya Atma Karpo). Ung-
kapan itu rnenggambarkan suasana pertempuran malam hari di hutan para
(karet). Ungkapan itu menunjukkan bahwa bulan bergerak-gerak di antara
pucuk-pucuk daun kllret pada rnalam hari karena pohon karet itu ber-
gerak tertiup angin. Ungkapan itu dapat memperjelas penggambaran sua-
sana dinamis pada rnalam hari tatkala terjadi pertempuran di hutan para.
Bulan sendiri sebenarnya diam di ternpat hanya rnenyorotkan sinarnya.
Metafora itu sendiri sebenarnya bermacam-macam. Pertarna rneta-
fora antrornorfis, yaitu jenis rnetafora yang dinamai berdasarkan bagian
tubuh rnanusia: atau sebaliknya nama bagian tubuh manusia dinamai ber-
dasarkan narna 'bagian tubuh binatang atau benda-benda mati lainnya.
Misalnya, kata ma.ta. Mata adalah indra penglihatan rnanusia yang ber-
bentuk kecil dan bulat. Lewat indra penglihatan tersebut, cahaya dipan-
carkan dan dipantulkan sehingga sesuatu dapat dilihat. Berdasarkan alat
indra tersebut, benda-benda tertentu disebut atau diberi nama ma.tahari,
ma.ta bisul, ma.ta kail, mata jarum, dan sebagainya. Semua nama itu ber-
ciri kecil, bulat, tempat sesuatu keluar atau masuk, dan sumber cahaya.
Sebaliknya, di dalam indra mata terdapat suatu benda yang disebut "bola
rnata", yaitu bagian mata yang bulat yang di dalarnnya terdapat lensa
untuk menangkap dan memantulkan benda. Bagian rnata itu dinamai ber-
dasarkan adanya suatu benda yang bulat, yang biasa disebut "bola". Ke-
dua, rnetafora kehewanan, yaitu jenis rnetafora yang bersumber pada du-
nia kehewanan. Misalnya: babi kamu, anjing kamu, kerbau kamu, kuda
kamu. Dalam hal ini sifat-sifat kurang baik yang terdapat pada babi,
anjing, kerbau , kuda diterapkan secara langsung pada mitra tutur atau
27
METODE PENELITIAN
tasinya (Edi Subroto, 1992: 5). Sekalipun penelitian sastra, bahasa, atau
budaya tetap dapat dilaksanakan berdasarkan model kualitatif, masing-
masing memiliki kekhasan berdasarkan aspek substansi masalah dan
orientasi.
Hal yang lebih kurang sama juga dinyatakan oleh Dimyati ( 1997:
64), yaitu setiap penelitian kualitatif memiliki hal-hal sebagai berikut: ( 1)
paradigma penelitian keilmuan tersendiri, (2) dasar dan orientasi menurut
disiplin ilmu tertentu seperti sejarah, sosiologi, antropologi, ... , (3) me-
ngejar dan berorientasi pada temuan teori pengetahuan tersendiri, (4)
memperoleh kebenaran ilmiah sesuai dengan disiplin ilmu tersendiri .
Terlihat dari uraian tersebut bahwa sekalipun penelitian kualitatif dapat
diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya, tetapi masing-
masing disiplin ilmu memiliki otoritas metodologis untuk mencapai ke-
benaran keilmuannya tersendiri dengan metodologinya sendiri. Hal itu
penting untuk menepis pendapat seolah-olah penerapan penelitian kua-
litatif untuk semua disiplin ilmu sosial dan ilmu budaya itu haruslah se-
ragam dan tunggal . Berikut ini ditampilkan beberpa ciri khas penelitian
kualitatif yang terutama diambil dari Bogdan dan Biklen (1982).
Pertama, penelitian kualitatif itu menggunakan paradigma atau pers-
pektiffenomenologis, sedangkan penelitian kuantitatif menggunakan para-
digma positivisme dari August Comte. Sesuai dengan perspektif yang di-
pakai, penelitian kualitatif berusaha memahami ide di balik fenomena
yang tampak dan berusaha memahami makna dari fenomena-fenomena,
peristiwa-peristiwa dalam kalimatnya dengan orang atau masyarakat yang
diteliti dalam konteks kehidupan yang sesungguhnya. Paradigma fenome-
nologis pada dasamya sangat dipengaruhi oleh pandangan filsuf Edmund
Husserl dan juga Weber yang sangat menekankan aspek verstehen atau
pemahaman terhadap manusia dengan segala perilakunya (Moleong,
1989: 10).
Hal-hal lain yang penting di dalam penelitian kualitatif adalah se-
bagai berikut. Data yang dikurnpulkan adalah data lunak. Maksudnya,
data itu kaya akan deskripsi tentang orang-orang, tempat-ternpat, dan
konversasi-konversasi dari orang yang diteliti. Fokus penelitiannya ter-
letak pada pemahaman tingkah laku manusia dari segi subjek penelitian
dan cenderung mengurnpulkan data melalui kontak yang terus-menrus
30
HASIL PENELITIAN
salnya, seseorang yang merasa kesal atau jengkel melihat kelakuan se-
orang anak yang berulang kali memegang sesuatu tanpa disuruh/izin
biasanya tidak diucapkan Ngapa kowe kok nyuk-nyukan 'mengapa kamu
berulang kali memegang benda itu tanpa kusuruh ' , tetapi diucapkan
Ngapa kowe kok mutra kethek (munyuk). Demikian juga ungkapan rasa
senang melihat saudara atau teman yang lama tidak berkunjung akan
disebut dengan ucapanjanur gunung (aren) kok panjenengan kersa rawuh
mrene daripada Kadingaren kok panjenengan kersa rawuh mrene 'Tum-
ben mau berkunjung ke sini '.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa--terutama oleh generasi muda--
wangsalan-wangsalan ternyata memiliki fungsi komunikatif tertentu .
Fungsi komunikatif itu--kadangkala terselubung--sering tidak dapat di -
tangkap oleh kebanyakan generasi muda dan juga masyarakat umum. Me-
reka tidak terasa kalau disindir, dicela, disanjung , atau dinasihati. Ketiga
ha! tersebut (deskripsi wangsalan tipe wangsalan, fungsi komunikati f
wangsalan , dan interpretasi akademik keberadaan wangsalan diuraikan
dalam pembahasan berikut ini:
Uler kambang itu berarti 'ulat yang mengapung di air', yaitu lintah .
Sela pang/awed ganda itu berarti 'batu yang dipergunakan untuk meng-
gilas obat ', yaitu pipisan . Kata lintah selain ditebak betah (suku kata tah)
bisa ditebak bermacam-macam, seperti mentah, dan sebagainya. Kata pi-
pisan selain ditebak pungkasan (san-san) dapat ditebak bermacam-macam
asal memiliki persajakan suku kata yang sama, seperti pisan, sisan, we-
kasan , dan sebagainya. Persajakannya pada suku kata san-san tersebut.
Jadi , wangsalan uler kambang kang sela pang/awed ganda dapat ditebak
sebagai berikut.
Niring bendu itu berarti 'bilangnya amarah' atau lilih , sedang pa-
treming andaka berarti 'tunduk' atau sengat. Kata lilih dan sengat itu
sebagai dasar persajakan dalam bagian tebakan . Kata lilih selain ditebak
liliha (lib-lib) bisa ditebak bermacam-macam, seperti lilih, mulih, dan
tumolih. Kata sengat/sungu selain dibatang rengating (ngat-ngat) dapat
dibatang bermacam-macam pula asal memiliki persajakan suku kata yang
sama, (yaitu ngat dan ngu) seperti mupangatira-sangune dan mangu-
mangu. Jadi , tebakan wangsalan niring bendu, dening patreming andaka
dapat dibatang atau ditebak sebagai berikut.
29) banyak putra, peksi praja angumbara (blengur 'anak angsa', manuk
beri 'burung garuda ')
angur padha taberiya barang karya.
'lebih baik rajinlah terhadap segala pekerjaan'
30) gudhe rambat, teja dawa ing ngawiyat (kara 'buah kara', kaluwung
'pelangi')
kekuwunge kaya trah ing madukara.
'sinarnya seperti keturunan dari Madukara'
31) gayung sumur, woh iji apendha duren (timba 'timba', nangka
'nangka')
sewu langka yen kawula ketiban sih.
'tidak mungkin apabila saya mendapat kasih sayang'
32) buron rema, kang ming sumengkeng toya (tuma 'kutu', nungsung
'berenang melawflll arus air')
pisungsungna marang jenma kang utama.
'hadiahkan kepada manusia yang baik'
33) bayem gate/, dening tembung kang kineker (lateng 'jelatang', wadi
'rahasia')
mung antenge kang bisa karya wiyadi.
hanya tenang yang dapat membuat sedih'
34) balung pakel, dara muluk sakembaran (pelok biji mangga', sajodho
'satu jodoh')
adoh elok yen jodho teka sumandhing.
'sungguh indah apabila jodoh/suami istri datang berjajar'
35) bebek rawa, kawine maesa wana (maliwis 'itik hutan', andaka 'ban-
teng')
yen wus kongsi aja kongsi kawadaka.
'jika sudah perseroan jangan sampai mendapat gangguan'
36) bajing reta, panu biru munggeng jaja (jlarang 'kerawak', toh 'tahi
lalat')
nora larang dentah ana talang jiwa.
'tidak mahal dipertaruhkan jiwanya untuk korban'
37) bayem arda, kayu uri rebah tanggung (lateng 'jelatang ', dhoyong)
mari anteng sempoyongan malah pantes.
'lcehilangan tenang, sempoyongan malah pantas'
55
Jadi , rumus persajakan wangsalan ini adalah a .... b, b .... c. Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam uraian wangsalan nomor (1) dan (2) berikut.
56
Contoh:
67) jati keli = lompo, tebakannya plompong 'plompong (nama
kartu)'
68) jalak latar=pitik, tebakannya petik 'petik (nama kartu)'
69) kadhal gowok= tikek, tebakannya clengkek 'clengkek' (nama
kartu)'
70) kluwung esuk= teja, tebakannya kleja 'kleja (nama kartu)'
62
bait) memiliki fungsi penting dalam sastra Jawa. Karya sastra lama yang
merupakan perwujudan hasil karya para pujangga pada umurnnya di-
sampaikan dalam bentuk tembang. Keterikatan aturan tembang inilah
yang mewarnai keunikan pemakaian bahasa dalam wangsalan. Jumlah
baris, jumlah suku kata pada tiap baris, dan jatuhnya bunyi suku akhir
baris sudah ditentukan. Adapun aturan guru wilangan, guru lagu (dhong-
dhing), dan guru gatra tembang macapat adalah sebagai berikut.
1) Maskumambang 12/i, 6/a, 8/i, 8/a
2) Pocung 12/u, 6/a, 8/i, 12/a
3) Megatruh 12/u, 8/i, 8/u, 8/i, 8c
4) Gambuh 7 /u, 10/u, 12/i, 6/u, 8/o
5) Mijil 10/i, 610, 10/c, 10/i
6) Kinanthi 8/u, 8/i, 8/a, 8/i, 8/a, 8/i
7) Durma 12/a, 7/i, 6/a, 7 /a, 8/i, 5/a, 7 /i
8) Asmaradana 8/i, 8/a, 8/c, 8/a, 7 /a, 8/u, 8/a
9) Pangkur 8/a, 11/i, 8/u, 7/a, 12/u, 8/a, 8/i
10) Sinom 8/a, 8/i , 8/a, 8/i , 7 /i, 8/u, 7 /a, 8/i, 12/a
l l) Dhandhanggula 10/1, 10/a, 8/e, 7/u, 9/i, 7/a, 6/u, 8/a,
12/i, 7/a
'
Beberapa contoh pemakaian wangsalan dalam karya sastra tembang
adalah sebagai berikut.
Pada watak tembang Pangkur terlihat bahwa baris pertama dan ke-
dua merupakan teka-teki. lndikator tebakannya diberikan dalam kurung.
Indikator tebakan itu menuntun pembaca/penafsir mengetahui isi tebakan
pada baris isi. Selanjutnya, yang akan diterjemahkan hanya baris isi saja
karena baris teka-teki boleh dipandang sebagai permainan estetik bahasa
sebagai simbol dan sulit diterjemahkan. Demikianlah, baris pertama
memberi indikator tebakan kusambi 'nama tumbuhan' yang akan berko-
respondensi dengan baris isi nyenyambi 'pekerjaan sambilan'. Baris ke-
dua juga teka-teki sayeng kaga yang berindikator kala 'jerat, saat' dan
we reksa kang muroni berindikator anggur 'anggu_r' Baris ketiga (isi)
nyenyambi kalaning nganggur 'berbuat sesuatu sebagai sambilan, pengisi
waktu luang'. Demikian pula dalam tembang letak teka-teki tidak selalu
mendahului tebakan, tetapi tebakan dapat juga mendahului teka-teki.
hati '
paneteg jro masjidl (mimbar 'tempat berkhotbah')
aja ngumbar nepsu// 'jangan menuruti hawa nafsu '
5) Garwa Prabu Keskendha negri I (Dewi Tara 'Dewi Tara atau istri
Raden Sugriwa')
sela rineka wong/ (reca 'area' )
manungsa wus ana antaranel 'manusia telah ada jaraknya'
lamun kena rencananing eblis/ 'apabila terkena godaan iblis '
tina saking dhiril (kringet 'keringat')
den enget ing kalbu// 'supaya ingat dalam hati'
6) Sanggalangit anirahe neng bejil (ganggeng 'lumut')
sirat pajar tinonl (bangun 'waktu fajar/pagi hari ')
nora langgeng aneng dunya pael 'tidak abadi hidup di dunia '
aja pijer bangun sukeng galih jangan selalu menuruti kesenangan
hati ')
wanara geng langkingl (lutung 'kera berbulu hitam')
pasemon den ketungl/ 'isyarat supaya dipertanggungjawabkan '
7) Sela mangka panglawedan sari! (pipisan 'tempat membuat jamu ')
kanthong bahu ing kanan keringe/ (sak ' saku ')
aja karya sok seriking atil 'jangan sering membuat kecewa'
pentil wohing tirisl (bluluk 'putik buah kelapa ')
mring samaning makhluk/I 'terhadap sesama manusia '
8) Pratandha gang pakeming narpatil (cap 'tanda' )
kocaping cariyos/ 'demikianlah ceritanya'
kisma luhur adoh panggonanel (gunung 'gunung ')
bethik a/it kang saba neng sabinl (sepal 'ikan sepat '
dununging Hyang widhil 'tempat Tuhan '
sipat murah agungll 'bersifat mahamurah '
9) Senthe jurang wijiling narpatil (kajar 'daun kajar')
ujar wus kawiyos/ 'tutur kata telah diucapkan'
talasih pethak dadya jampine/ (lampes 'daun telasih berwarna
putih ')
kang temb'aga cinampuring rukmil (swasa 'suasa ')
apesing pawestril ' sialnya wanita'
kuwasa tan sinungll'tidak merniliki ke~asaan '
83
12) Kasur pandan jebug gandanya mrihl (kalasa 'tikar, pala 'pa-
la')
sarehning sira apalakramal 'karena kamu bersuami isteri'
den eling sasakarsanel 'supaya ingat semua kehendak'
dhuh babo jaladri gungl (segara 'laut')
timbrah nila ingsun wastanil (latak 'endapan nila')
aja watak sarakahl jangan berwatak serakah'
mring darbeking kakungl 'terhadap milik suami'
ajate kang wadya balal 'k:einginan para prajurut'
gudhe pandhak kena pan dipunluluril buah sejenis kara pen-
dek dapat digosok'
tinulat buyut canggah/I 'dicontoh anak cucu'
13) Sotya sumawur sunar nelahil (udiwala 'cahaya, sinar'
aywa mituhu sabdaning liyanl 'jangan percaya perkataan orang
lain'
wanci panjinging srengengel (surup 'waktu terbenamnya mata-
hari' )
kathah kang seling surupl banyak salah terka'
papan sawung kinepang janmil 'tempat mengadu ayam dilihat
orang banyak' ,
dhukut arum ngrembakal 'rumput harum tumbuh subur'
wus estunipun/ 'sudah mestinya'
wong liya nora kelanganl 'orang lain tidak kehilangan'
sompil bundhel 'keyong simpul'
bathok alit denwalesil 'tempurung kecil diberi gandar'
yen tan mikir priyanggall 'apabila tidak memikirkan diri sen-
diri '
14) Sembung langu marica bang putihl (segunggu 'kayu sembung',
wuni 'buah buni ')
poma aja wani mring wong tuwal 'sekali-kalijangan berani ke-
pada orang tua'
gugunen sapituturel 'patuhilah segala nasihatnya'
tratage wong mantu I (tarub 'teratak')
paksi jowan kang mangsa wringinl (kathik burung punai ')
Lah iku pethikanal 'itu gentasilah'
88
Jawaban :
3) Wangsaian sinung terbuka! giyanti mendheg noleh! menur
panambang kukila! waja jamus sekar miati! gung liwat wora-
wari! ceplok piring panjang timur/ pawestri nganyut jiwal kang
sekar Lara kendhatil pacar banyu kang sekar kulineng toya!!
4) Sempol sasoring wentisnya! saruni kurang respati!wijah-wijah
sekar soka! kenanga bonang kapencil! telukiloro sijil regulo
kang janma tuduh/ burba miseseng praja! ragahina cacad
dhiri! sundel maiem kang sekar pawestri liwar!!
94
baik'
tambi palwa dadi watiring tarunal/ (kentir 'hanyut')
Ungkapan metaforis cubung wulung berarti "tlasih". Suku kata /sih/ pada
tlasih berhubungan dengan /sih/ pada asiha berbelas kasihanlah, sayang-
lah '. Oleh karena itu, bagian kedua wangsalan itu berarti 'bersikap sa-
yanglah pada sesama'. Hal itu berarti memberi nasihat agar kita bersikap
sayang atau tidak semena-mena kepada sesama.
Berdasarkan analisis tersebut, berikut ini dikemukakan nilai-nilai
pragmatik wangsalan dalam bahasa Jawa.
4.3.1 Menasibati
Yang dimaksud menasihati adalah seseorang yang diberi nasihat hen-
daknya dapat melaksanakan pembentukan budi pekerti yang luhur.
Contoh:
102
4.3.2 Menyanjung
Contoh:
1) Sajake Lagi klapa mudha (degan), seneng atine batinya ber-
suka cita'
2) Mbalung ula (ragas), priya bregas tur sembada 'pria tampan
dan berwibawa'
3) Bapak bareng ngagem ageman kejawen katon mandhan rawa
103
4.3.3 Menyindir
Yang dimaksud menyindir adalah menyindir orang lain dengan kata-kata
kias atau yang tidak sebenarnya agar yang menerirna atau terkena sindir-
an tidak marah atau sakit hati .
Contoh (satu baris/larik):
1) Nyaron bumbung (angklung) nganti cengklungen anggonku ngenteni
'sampai lelah sekali, olehku menunggu'
2) Pindhang lulang (krecek) , kacek apa aku karo kowe, kok kowe sing
dipilih
' beda apa saya dengan kau , kenapa kau yang dipilih '
3) Bocah cilik senengane ngrokok cendhak (tegesan)
'anak kecil , kenapa merninta-rninta kejelasan'
104
4.3.4 Kagum/Kekag0man
Yang dimaksud kagum atau kekaguman adalah wangsalan yang berisi
tentang kekaguman seseorang terhadap sesuatu/seseorang .
Contoh:
1) Tepi wastra, wastra tumrap ing pranaja
Tanpa tindha saben ari nambut karya
'Tanpa ragll-ragu, setiap hari bekerja'
2) Sayang kaga, kaga kresna mangan sawa
wong susila, lagake anuju prana
'orang susila, gayanya merasa puas '
3) Yaksa dewa, dewa dewi lir danawa
Kala mudha, bangkit ambengkas durgama
'saat muda, bangkit memberantas kejahatan'
4) Ancur kaca (rasa), kaca kacak mungguring netra (tesmak)
wong wruh rasa, tan mamak ing tatakrama.
'orang yang tahu rasa, tak buta akan sopan santun '
4.3.5 Mencela/Celaan
Yang dimaksud dengan mencela/celaan adalah mencela kepada orang
dengan halus dan tidak langsung agar orang yang dicela tidak marah,
bahkan malah merasa senang.
105
Contoh:
1) Eman banger isih enom tur bagus, kok njangan gori (jangan gori=
gudheg, maksudnya budheg 'tuli'
'sayang sekali, masih muda lagi tampan kenapa tuli'
2) Ditakoni temenan malah ngembang suruh
(kembang suruh = drenges. Maksudnya cengengesan)
'Ditanyai sungguh-sungguh, kenapa malah tertawa-tawa/bermain-
main)
3) Dijak gojek Zan guyon wae kok mentil kacang
(pentil kacang= besungut. Maksudnya mbesengut 'marah')
4.3.6 Peringatan
Yang dimaksud dengan peringatan adalah menging'atkan kepada orang
Jain atau teman bicara agar teringat kepada tu gas yang disanggupi, atau
peringatan agar seseorang selalu berbuat hati-hati dan waspada.
Contoh:
1) Jenang gula (glali), Mas. Welingku wingi.
'Jangan lupa Mas, pesanku kemarin'
2) oming )ala (coba), aja seneng coba-coba ·
'Janganlah (kau) senang mencoba-coba'
3) Sekar aren (dangu), sampun dangu-dangu anggenipun tindak.
'Bunga aren, jangan Jama-Jama bepergian
4) Kancing gelung (peniti) tibeng dhadha, coba titenana
'Kancing sanggul jatuh di dada, coba tengarailah'
5) Kembang ganyong, aja pisan-pisan cidra mring wong tuwa.
'Bunga ganyong, jangan sekali-kali durhaka pada orang tua.
4.3.7 Pennohonan
Yang dimaksud dengan permohonan adalah memohon sesuatu kepada
seseorang agar orang berkenan mengizinkan dengan ikhlas dan senang
hati.
Contoh:
1) Jenang sela (apu) Mas, kula boten mampir sonten menika.
'maatkanlah, saya tak singgah sore ini'
2) Bebek rawa (mliwis), yen uwis enggal mrenea.
106
4.3.8 Pemberitahuan
Yang dimaksud dengan pemberitahuan adalah memberikan pengertian
kepada orang lain dengan cara tidak terus terang .
Contoh:
1) Dheweke lagi mader bungkuk (urang)
"Dia sedang mengurang-ngurangi'
2) Gayung sumur (timba), amba sadremi pun utus
'gayung sumur, saya sekedar disuruh '
3) Teken palwa (setang) , palwa agung manca nagri (sekoci)
Nora ngetang, Iara Lapa saben wanci
'Tanpa menghitung, berprihatin setiap waktu'
BABV
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan dapat di-
ambil beberapa simpulan sebagai berikut. Simpulan ini pada dasarnya
merupakan jabaran lebih rinci ihwal masalah dan dan tujuan penelitian.
1. Wangsalan adalah salah satu jenis sastra Jawa 'J3aru (sebagai lawan
sastra Jawa Kuna) yang bercorak tradisional , tergolong rnilik pri-
badi. Wangsalan dapat dibedakan atas dua matra (dimensi), yaitu
matra jumlah baris atau larik dan matra pemakaian. Berdasarkan
jumlah jumlah barisnya dibedakan atas wangsalan satu baris dan
wangsalan dua baris . W angsalan satu baris dibedakan atas dua sub-
tipe, wangsalan satu satu baris tanpa menyebutkan tebakannya dan
wangsalan satu baris dengan menyebutkan tebakannya; sedang
wangsalan dua baris dapat dibedakan atas tiga subtipe: 1) wangsalan
dua baris dengan dua tebakan, 2) wangsalan dua baris dengan tiga
tebakan, dan 3) wangsalan dua baris dengan disertai pengulangan
kata yang menimbulkan metrum dan persajakan yang indah.
2) Wangsalan terutama dikenal di kalangan masyarakat Jawa tradisio-
nal (golongan tua-tua yang akrab dengan susastra Jawa tradisional) .
Generasi muda Jawa pada umumnya sudah sangat asing dengan du -
nia wangsalan.
3) Salah satu ciri khas wangsalan dalam Bahasa Jawa sebagai salah
satu bentuk susastra Jawa tradisional adalah selalu terdapat bagian
tuturan sebagai teka-teki atau cangkriman yang dinyatakan secara
metaforis dan bagian lain sebagai jawaban atau batangan.
4) Terdapat hubungan tersirat, simbolis, atau bersifat tidak langsung
antara teka-teki dengan jawaban atau tebakan .
5) Tidak dapat ditentukan secara tegas atau jelas letak teka-teki atau
cangkriman dalam kaitannya dengan jawaban di dalam hubungan
108
5.2 Catatan
1. Dalam rangka pengkaj ian secara komprehensif akan nilai-nilai bu-
daya Jawa dan nilai-nilai filsafat masyarakat Jawa, wangsalan meru-
pakan lahan kajian yang representatif. Oleh karena itu, perlu di-
lakukan pengkajian lebih mendalam untuk bidang tersebut.
2. Dampak dari proses modemisasi/pembangunan ialah semakin ter-
asingnya generasi muda Jawa akan nilai-n!lai budaya Jawa termasuk
wangsalan . Itu masih bersifat hipotesis dan perlu dibuktikan lebih
lanjut.
DAFTAR PUST-A~
D: I \__:-\2JK\
Abrams, M.H. 1981. A. Glossary of Literary Term. New York: Holt,
Rinehart and Winston .
Aminuddin, 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya
Sastra . Semarang: IKIP Semarang Press
Bogdan, Robert C dan S .K. Biklen, 1982. Qualitation Research/or Edu-
cation: An Introduction to Theory and Method. London: Allyn and
Bacon Inc.
Culler, J. 1975.Structured Poetics. London : Routledge & Kegan Paul.
Damono, Sapardi Djoko . 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah
Fungsi, lsi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengem-
bangan Bahasa.·
Dick, S.C. 1977. "Wet is pragmatic?" dalam B.T. Terrant (editor)
Wetenschap & Taal. Muiderberg : Coutinho .
Dimyati, Moh. 1997. Penelitian Kualitatif. Malang: IPTPI Cabang
Malang .
Edi Subroto, D. 1992 . Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struk-
tural. Surakarta: Sebelas Maret University Press .
-------- et al. 1996. "Telaah Stilistika Novel Berbahasa Jawa Tahun
1980-an ". (Laporan Hasil Penelitian). Semarang: Proyek Penelitian
Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Tengah.
Hayes , C.W . 1973. "Linguistics and Literature: Prose and Poetry ".
Dalam A.A. Hill (editor). Linguistics. Washington :Voice of Ame-
rica Forum Lectures.
Hutomo , Suripan Sadi . 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modern . Ja-
karta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kats , J. dan R.D .S. Hadiwidjana. 1934. Cengkorongan Kawruh
KesusastraanJawi . Batavia : N.V. Backhandel en Drukkerij Visser
& Co.
Kementrian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan. 1946. Kasoesastra-
an Djawi. Jakarta: KPPK.
UI-Press . 1 -g
Leech, G. 1993 . Prinsip-prinsip Pragmatik. (Edisi Terjemahan). Jakarta:
A 'Al.\N
SA
";AS NAL J
398.
,. " ·'