Infrastruktur Berwawasan Lingkungan
Infrastruktur Berwawasan Lingkungan
Infrastruktur Berwawasan Lingkungan
Latar Belakang
Pembangunan adalah usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan atau perubahan yang
berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah
menuju modernitas dalam rangka pembangunan bangsa (nation building) (SP Siagian,
1973). Dalam setiap aktivitas pembangunan akan selalu ada trade-off. Di satu sisi
pembangunan mewujudkan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain pembangunan
bisa menurunkan kualitas lingkungan. Hal ini tentunya menjadi catatan permasalahan
dalam pelaksanaan pembangunan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dapat
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pencemaran air dan tanah, bertambahnya
konsentrasi gas rumah kaca (gas karbon dioksida, gas metan, dll), perubahan fungsi
lahan, pengalihan DAS, dan sebagainya. Kerusakan tersebut tidak selalu menimbulkan
dampak yang segera, namun akumulasinya bisa menyebabkan ketidakseimbangan
ekosistem, seperti terjadinya bencana alam dan perubahan iklim (climate change). Jika
hal ini dibiarkan terus-menerus, maka kualitas lingkungan yang ada akan mengalami
degradasi dan berdampak buruk bagi generasi selanjutnya.
Infrastruktur Pekerjaan Umum (Sumber Daya Air, Bina Marga, Cipta Karya)
mempunyai peran strategis dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, memberi
kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, serta bagi peningkatan kualitas lingkungan
hidup. Infrastruktur seperti prasarana air bersih, sanitasi dan drainase akan
meningkatkan kualitas lingkungan masyarakat. Demikian juga penyediaan
permukiman yang layak huni serta prasarana pengendalian banjir dan prasarana jalan
yang terpelihara baik akan meningkatkan kualitas lingkungan. Dalam proses
pembangunan infrastruktur hendaknya memperhatikan atau tidak rusaknya
lingkungan; misalnya pembangunan jalan yang mengubah fungsi lahan tanam/resapan
air menjadi beton dan pembangunan waduk/bendungan yang mengubah alur sungai
alami, tipe TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah yang open dumping dan dapat
mencemari air tanah dan lingkungan sekitar. Hal ini mesti diupayakan penanganan
dampaknya. Sementara itu, terkait dengan fenomena perubahan iklim, infrastruktur
juga berperan dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak yang ditimbulkan
oleh perubahan iklim (climate change) terhadap lingkungan seperti banjir, kekeringan,
longsor, dan lain-lain.
Secara rinci identifikasi masalah awal yang digunakan, terkait dengan pembangunan
infrastruktur bidang Pekerjaan Umum yang diperkirakan dapat menyebabkan
kerusakan pada lingkungan hidup, tersaji dalam diagram fishbone (tulang ikan)
dibawah ini.
Dampak positif dari pembangunan infrastruktur antara lain adalah akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan pendapatan daerah tersebut. Kebutuhan akan pembangunan
infrastruktur berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penduduk/masyarakat suatu
kota atau wilayah, sehingga semakin bertambahnya penduduk pada kota/wilayah
tersebut maka kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur juga akan meningkat.
Infrastruktur merupakan pendukung utama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Suatu infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur
dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan
untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat.
Untuk mendapatakan suatu kualitas lingkungan hidup yang lebih baik, terutama terkait
dengan pembangunan infrastruktur bidang ke-PU-an, , maka diperlukan
beberapa strategi kebijakan sehingga pelaksanaan pembangunan infrastruktur bidang
pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
Di samping itu, dari sisi dimensi ruang, apakah ruang yang direncanakan tersebut
mampu untuk memberikan ruang gerak/mobilitas manusia (termasuk barang dan jasa)
yang hidup di atas lahan tersebut selama beberapa tahun perencanaan. Hal ini penting
untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas yang membutuhkan mobilitas yang akan
berlangsung di atas lahan tersebut dalam jangka waktu lama, dapat terakomodir.
Terkait dengan dimensi kedua, yaitu skala komunitas, penataan ruang perlu
memperhatikan karakteristik sosial-budaya masyarakat yang akan menempati lahan
tersebut. Karakter masyarakat dapat mempengaruhi perkembangan guna lahan yang di
tempatinya. Misalnya, masyarakat agraris akan membutuhkan ruang untuk aktivitas
pertaniannya, sedangkan masyarakat modern akan membutuhkan ruang untuk
mendukung aktivitas yang lebih bersifat pada industri dan jasa-jasa. Oleh karena itu,
dalam penataan ruang perlu memperhatikan sifat komunitas yang akan ditempatkan
dalam lahan tersebut, yang secara umum dapat dibedakan atas komunitas urban
(perkotaan) dan komunitas rural (perdesaan).
Dengan memperhatikan dua dimensi penting di atas (skala kewilayahan dan skala
komunitas), penataan ruang diharapkan dapat mewujudkan tatanan kehidupan yang
seimbang dan harmonis, sehingga dengan demikian penataan ruang yang berwawasan
lingkungan diharapkan mampu mendukung terealisasinya goal pembangunan nasional,
yaitu pembangunan yang pro-poor, pro-growth, dan pro-environment.
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang;
dan/atau
Masalah pokok yang seringkali menjadi kendala bagi pemerintah daerah, yaitu
mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap proses pembangunan di segala
sektor. Masih lemahnya pengawasan di daerah menjadi salah satu penyebab terjadinya
pergeseran dalam peruntukkan ruang. Kasus-kasus berkembangnya pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, merupakan bukti dari lemahnya mekanisme
pengawasan di daerah, terutama dalam hal pemberian ijin pembangunan fisik
infrastruktur. Untuk itu, mekanisme pengawasan perlu diperketat dan ditingkatkan.
Menurut UU no. 32 tahun 2009 dinyatakan secara tegas bahwa, evaluasi secara holistik
terhadap dampak yang diperkirakan akan terjadi, dimana hal tersebut telah dikaji
dalam dokumen AMDAL, belum dapat berjalan secara efektif. Kelemahannya adalah
dalam hal pengawasan. Di sisi lain, dokumen AMDAL mewajibkan adanya kegiatan
rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atau yang disebut RKL dan
RPL. Kegiatan ini belum sepenuhnya dapat dijalankan mengingat keterbatasan sumber
daya (SDM dan finansial). Kasus-kasus yang terjadi di daerah mencerminkan masih
minimnya dukungan sumber daya yang dimiliki untuk dapat menjalankan kegiatan
RKL dan RPL tersebut.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa di dalam UU 32 tahun 2009
dinyatakan bahwa setiap Pemegang izin lingkungan yang diwajibkan untuk memiliki
AMDAL maupun UKL/UPL, wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan
fungsi lingkungan hidup, bilamana pada suatu ketika terjadi adanya gangguan terhadap
fungsi-fungsi lingkungan, seperti pencemaran, polusi, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, hal ini menjadi cukup krusial bagi daerah-daerah yang tidak memiliki kapasitas
dalam hal pendanaan untuk menjamin upaya pemulihan fungsi lingkungan hidup bagi
proyek-proyek pembangunan fisik yang berskala besar yang jika tidak dilakukan
pengawasan secara ketat akan menimbulkan dampak negatif dan dapat mengganggu
fungsi-fungsi lingkungan hidup.
Dalam kaitan ini, diperlukan mekanisme pendanaan yang jelas, yang dapat diakomodir
oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia guna menjamin pemulihan fungsi
lingkungan hidup manakala terjadi hal-hal diluar perencanaan dan tidak terakomodasi
di dalam dokumen AMDAL.
Selain itu, rekomendasi dari dokumen lingkungan terutama dokumen AMDAL yang
mewajibkan pelaporan rutin setiap 6 bulan untuk kegiatan RKL/RPL (rencana kelola
lingkungan dan rencana pantau lingkungan) membutuhkan dana yang rutin. Dari hasil
survei, diketahui bahwa untuk pembangunan infrastruktur PU yang dibiayai dan
dikelola oleh pemerintah, tidak pernah melakukan kewajiban pelaporan PKL/RPL dari
kegiatan yang telah dioperasikan kepada Badan Lingkungan Hidup Daerah. Hal ini
menimbulkan pemikiran akan perlunya alokasi dana khusus untuk kegiatan RKL/PKL.
Sharing kegiatan tersebut dengan pemerintah daerah, disamping porses pembebasan
lahan perlu dipikirkan.
Penutup
Harvey, J. 1996. “Urban Land Economics”. 4th ed. London: Macmillan Press Ltd.
Naveh, Z. and A.S. Liebermen. 1984. “Landscape Ecology: Theory and Application”.
New York: Springer-Verlag.
Stern, N. 2007. The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
The World Bank. 2005. “Third Urban Research Symposium on Land Development,
Urban Policy and Poverty Reduction”, Brazil