LP Maternitas SC Dengan PE

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUHAN

I. KONSEP PRE EKLAMSIA


A. Definisi
Pre-eklamsia adalah suatu hipertensi atau tekanan darah tinggi yang
timbul setelah 20 minggu kehamilan dan disertai dengan proteinuria
(Walyani, 2015, p. 43).
Pre-eklamsia Berat adalah tekanan darah yang tinggi (hipertensi)
160/110 mmHg atau lebih dan disertai proteinuria +3, edema di kehamilan 20
minggu atau lebih (Maryunani, 2016, p. 172).
Jadi menurut pengertian diatas PEB merupakan tekanan darah tinggi
yaitu 160/110 mmHg atau lebih, dan disertai dengan adanya protein di
kandungan urin ibu bahkan terjadi edema di kehamilan >20 minggu.

B. Klasifikasi
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 186) klasifikasi pre-eklampsia
dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Pre-eklampsi ringan
a. Terdapat tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih dengan pengukuran
dua kali pemeriksaan dalam jarak periksa 1 jam atau dapat sebaliknya
6 jam.
b. Terdapat edema yang umum yang biasa terjadi pada muka, jari tangan,
kaki, atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih per minggu.
c. Proteinuria +1 sampai +2
2. Pre-eklamsia berat
a. Terdapat tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih
b. Terdapat proteinuria lebih dari +3 hingga +5
c. Terjadi oliguria dengan jumlah urine <400cc/24jam
d. Adanya gangguan cerebral, gangguan penglihatan, nyeri kepala, dan
rasa nyei pada epigastreum.
e. Terdapat edema paru disertai dengan sianosis
f. Enzim hati yang meningkat dan terjadi ikterus
g. Terjadi perdarahan pada mata khususnya pada retina
h. Penurunan trombosit hingga kurang 100.000/mm.
C. Etiologi
Timbulnya pre-eklamsia pada ibu hamil >20 minggu tidak diketahui
secara pasti penyebabnya, namun secara umum disebabkan vasospasme
arteriola dan juga ada faktor lain yang dapat mempengaruhi timbulnya pre-
eklamsia diantaranya : hidramnio, primigravida, multigravida, kehamilan
ganda, mola hidatidosa, malnutrisi berat, dan bisa dari faktor usia ibu yang
kurang dari 18 tahun atau lebih dari 35 tahun serta anemia (Maryunani, 2016,
p. 172).

D. Manifestasi Klinis
Menurut pendapat (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 187) tanda dan gejala
pre-eklamsia berat adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kepala pada bagian depan dan belakang kepala dengan diikuti
tekanan darah yang tinggi dan juga sakit kepala terus – menerus
2. Pandangan kabur dan kebutaan sementara
3. Ibu gelisah, bila mendengar suara berisik
4. Nyeri perut pada ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah
5. Gangguan pernafasan dan terjadi cyanosis
6. Penurunan kesadaran penurunan fungsi ginjal
Sedangkan menurut (Maryunani, 2016, p. 319) cara menentukan edema
yaitu sebagai berikut:
1. Kriteria menentukan adanya edema adalah nilai positif jika terjadi edema
di daerah tibia, lumbosakral, wajah dan tangan.
2. Bila sulit menentukan tingkat edema, maka metode dibawah ini dapat
digunakan adalah sebagai berikut:
a. + = Sedikit edema pada daerah kaki pretibia
b. ++ = Edema ditentukan pada ekstremitas bawah
c. +++ =Edema pada muka, tangan, abdomen bagian bawah
d. ++++ =Anasarka disertai asites.

E. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia
uterus. Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan
tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus.
Bahan tropoblastik menyebabkan terjadinya endotheliosis menyebabkan
pelepasan tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan
pelepasan tomboksan dan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin.
Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme sedangkan
aktivasi/ agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan koagulasi
intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif
koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor
pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis.
Renin uterus yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ
hati dan bersama- sama angiotensinogen menjadi angiotensi I dan selanjutnya
menjadi angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan
menyebabkan terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan lumen
arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit menyebabkan lumen
hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer akan
meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhab sehingga menyebabkan
terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan
merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme
bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi
darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya
otak, darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat
menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan
terjadinya gangguan perfusi serebral , nyeri dan terjadinya kejang sehingga
menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi
enditheliosis menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah pecah.
Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya pendarahan,
sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya anemia
hemolitik. Pada paru- paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan
terjadinya oedema paru. Oedema paru akan menyebabkan terjadinya
kerusakan pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah
menyebabkan akan menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard sehingga
menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa keperawatan
penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi
peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa
keperawatan kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada
ginjal akan meyebabkan penurunan GFR dan permeabilitas terrhadap protein
akan meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan
reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga
menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau anuri akan
memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin. Permeabilitas
terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan
lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan
terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan oedem diskus optikus dan
retina. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan
diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan
menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan
pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinyaIntra Uterin Growth
Retardation serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf
parasimpatis akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi
traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H
menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik.
Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual
dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektrimitas dapat
terjadi metabolisme anaerob menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah
yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam
laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat
lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas.
Keadaan hipertensi akan mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi
dan memunculkan diagnosa keperawatan kurang pengetahuan.

F. Komplikasi
Menurut (Mitayani, 2013, pp. 16-17) komplikasi yang dapat terjadi
pada klien PEB sebagai berikut:
1. Pada ibu
a. Eklamsia
b. Solusio plasenta
c. Perdarahan sukapsula hepar
d. Kelainan pembekuan darah (DIC)
e. Sindrom HELLP ( hemolisis, elevated, liver, enzim, dan low platelet
count)
f. Ablasio retina
g. Gagal jantung hingga syok dan kematian
2. Pada janin
a. Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus
b. Prematur
c. Asfiksia neonatorum
d. Kematian dalam uterus
e. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal.

G. Pemerikasaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah
b. Penurunan hemoglobin ( nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin
untuk wanita hamil adalah 12-14 gr% )
c. Hematokrit meningkat ( nilai rujukan 37 – 43 vol% )
d. Trombosit menurun ( nilai rujukan 150 – 450 ribu/mm3)
2. Urinalisis
a. Ditemukan protein dalam urine.
3. Pemeriksaan Fungsi hati
a. Bilirubin meningkat ( N= < 1 mg/dl )
b. LDH ( laktat dehidrogenase ) meningkat
c. Aspartat aminomtransferase ( AST ) > 60 ul.
d. Serum Glutamat pirufat transaminase ( SGPT ) meningkat ( N= 15-45
u/ml )
e. Serum glutamat oxaloacetic trasaminase ( SGOT ) meningkat ( N=
<31 u/l )
f. Total protein serum menurun ( N= 6,7-8,7 g/dl )
4. Tes kimia darah
a. Asam urat meningkat ( N= 2,4-2,7 mg/dl )
5. Radiologi
a. Ultrasonografi
Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra uterus. Pernafasan
intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit.
b. Kardiotografi
Diketahui denyut jantung janin bayi lemah.
H. Penatalaksanaan
Pada pasien preeklamsia berat penatalaksanaan yang tepat diberikan
adalah semacam obat sedatif dengan tujuan mencegah adanya kejang. sesudah
12 sampai 24 jam sudah teratasi, maka tindakan selanjutnya adalah mengh
entikan kehamilan. Juga diberikan larutan MgSO4 20% dengan dosis 4gr
secara i.v (intravena). selanjutnya di berikan MgSO4 40% sebanyak 12gr
dalam 500 cc RL drip dengan 17 tetes /menit. dengan tujuan untuk
menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Pada pre-eklampsia
dapat diberikan juga klorpromazim dengan dosis 50 mg secara im ataupun
diazepam 20 mg i.m (Nurarif & Kusuma, 2016, p. (Nurarif & Kusuma, 2016,
p. 188).

I. WOC
Terlampir

II. KONSEP NIFAS SC


A. DEFINISI
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta
keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti semula
(sebelum hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Ari
Sulistyawati, 2009).
Nifas dibagi menjadi 3 tahap yaitu puerperium dini, puerperium
intermedial, dan remote puerperium.
1. Puerperium dini yaitu masa kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan
berdisi dan berjalan-jalan.
2. Puerperium inermedial yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia
utama lamanya 6-8 minggu.
3. Remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih dan
sehat sempurna terutama bila ibu selama hamil atau bersalin mempunyai
komplikasi.
4. Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-mingu, bulanan atau
tahunan.
Sectio Caesarea yaitu suatu tindakan untuk melahirkan bayi melalui
tindakan pembedahan dengan membuka dinding perut dan dinding
rahim yang disebabkan karena bayi tidak bisa lahir pervaginam. Jadi seksio
sesaria yaitu tindakan yang dilakukan untuk melahirkan bayi melalui dinding
perut dan dinding rahim dikarenakan b
ayi tidak bisa lahir dengan persalinan pervagina dengan syarat berat
janin diatas 500 gram. Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin
dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut,
seksio sesaria juga dapat juga didefinisikan sebagai sesuatu
histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim.

B. INDIKASI
1. Plasenta previa
Plasenta previa adalah lokasi abnormal plasenta di segmen bawah uterus,
yang sebagian atau keseluruhannya menutupi os serviks. Ketika kehamilan
maju, ibu rentan terhadap perdarahan, terutama saat serviks dilatasi, dan
perdarahan bisa sangat hebat. Sedangkan plasenta previa adalah kondisi
plasenta terimplantasi sebagian atau keseluruhan di uterus bagian bawah,
baik di dinding anterior maupun posterior. Lokasi anterior tidak seserius
lokasi posterior.
2. Panggul sempit
Panggul sempit adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan
ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melairkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus
tidaknya proses persalinan. Tulang-tulang panggul merupakan susunan
beberapa tulang yang membentuk rongga panggul yang merupakan
“jalan” yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara alami.
Bentuk tulang panggul ada empat jenis, yaitu panggul ginekoid, android,
platpeloid, dan anthropoid. Sebenarnya bentuk apapun yang dimiliki tidak
mempengaruhi besar kecilnya ukuran panggul sehingga apabila masih
dalam kisaran normal janin dapat melaluinya. Namun, umunya bentuk
panggul ginekoid yang akan membantu memudahkan kelahiran bayi
(Bramantyo, 2003).
3. Disproporsi sevalopelvik, yaitu ketidakseimbangan antara ukuran kepala
dan ukuran panggul.
4. Ruptur uteri
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau
dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya perineum visceral.
5. Partus lama (prolonged labor)
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada
primi dan lebih dari 18 jam pada multigravida.
6. Partus tak maju (obstructed labor)
Partus tak maju adalah suatu persalinan dengan his yang adekuat tapi tidak
menunjukkan kemajuan pada pembukaan serviks, turunnya kepala dan
putar paksi selama 2 jam terakhir. Penyebab partus tak maju antara lain
adalah kelainan letak janin, kelainan panggul, kelainan his, pimpinan
partus yang salah, janin besar atau ada kelainan kongenital, primitua, perut
gantung, grandmulti dan ketuban pecah dini.
7. Distosia serviks
Distosia servik adalah terhalangnya kemajuan persalinan karena kelainan
pada serviks uteri.Walaupun his normal dan baik, kadang pembukaan
serviks macet karena ada kelainan yang menyebabkan servik tidak mau
membuka.
8. Pre-eklamsia
Pre eklamsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai dengan
proteinuria, edema atau kedua-duanya yang terjadi akibat kehamilan
setelah minggu ke 20 atau kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat
perubahan hidatidiformis yang luas pada vili dan korialis (Mitayani,
2009).
9. Hipertensi
10. Malpresentasi janin
Posisi janin yang dikatakan sebagai posisi malpresentasi adalah posisi-
posisi bagian terendah janin yang berada di bagian segmen bawah rahim,
bukan bagian belakang kepala.

C. JENIS-JENIS SC
1. Abdomen (SC Abdominalis)
a. Sectio caesarea transperitonealis
b. Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang pada
korpus uteri.
c. Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada segmen bawah uterus
2. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis dan
dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
3. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
4. Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan apabila:
a. Sayatan memanjang (longitudinal)
b. Sayatan melintang (tranversal)
c. Sayatan huruf T (T Insisian)
5. Sectio caesarea klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira 10cm.
6. Sectio caesaria (ismika profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada
segmen bawah rahim kira-kira 10cm.

D. PERUBAHAN-PERUBAHAN MASA NIFAS POST SC


1. Perubahan Fisiologis
a. Tanda-tanda vital
1) Suhu tubuh
Suhu tubuh normalnya 35,5 – 37C pada pasien post SC dicatat
setiap setegah jam untuk 2 jam pertama, lalu setiap jam untuk 2
jam berikutnya dan kemudian setiap 4 jam (Medforth, 2012).
2) Denyut nadi
Nadi berkisar antara 60-80 kali permenit. Pada masa nifas
umumnya denyut nadi lebih labil dibandingkan dengan suhu
badan. Frekuensi denyut nadi pada pasien post SC dicatat setiap
setegah jam untuk 2 jam pertama, lalu setiap jam untuk 2
jam berikutnya dan kemudian setiap 4 jam (Medforth,
2012). Denyut nadi yang cepat dapat disebabkan oleh infeksi.
3) Frekuensi pernapasan Pemeriksaan respirasi yang pertama adalah
pastikan jalan nafas bersih dan cukup ventilasi. Respirasi pada
wanita post SC, selama tidak memiliki penyakit pernafasan akan
kembali normal dengan cepat berkisar 18-20x/menit
4) Tekanan darah
Tekanan darah pada post SC harus diperhatikan, tekanan darah
normal antara 110-120 mmHg. Pemeriksaan tekanan darah post SC
pada pasien post SC dicatat setiap setegah jam untuk 2 jam
pertama, lalu setiap jam untuk 2 jam berikutnya dan kemudian
setiap 4 jam (Medforth, 2012).
b. Alat reproduksi
1) Uterus
Selama 12 jam pertama paska partum, kontraksi uterus kuat dan
teratur, ini berlanjut 2 – 3 hari berikutnya. Uterus kemudian
mengalami involusi dengan cepat selama 7 – 10 hari pertama dan
selanjutnya proses involusi ini berlangsung lebih berangsur-
angsur.Lochea rubra (cruenta) : berisi darah segar dan sisa-sisa
selaput ketuban, sel-sel desidua, vernik caseosa, dan mekonium,
selama 2 hari pasca persalinan.
a) Lochea sanguelenta: berwarna merah kuning berisi darah dan
lendir, hari ke 3-7 pasca persalinan.
b) Lochea serosa: berwaran kuning, cairan tidak berdarah lagi
pada hari ke 7-14 pasca persalinan.
c) Lochea alba: cairan putih, setelah 2 minggu.
d) Lochea purulenta: terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah
barbau busuk.
e) Locheostasis: lochea tidak keluar lancar.
2) Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus, setelah
persalinan, ostium eksterna dapat dimasuki oleh 2-3 jari tangan,
setelah 6 minggu post natal serviks menutup. Karena robekan
kecil-kecil yang terjadi selama dilatasi, serviks tidak pernah
kembali seperti keadaan sebelum hamil (nulipara) yang berupa
lubang kecil seperti mata jarum, serviks hanya dapat kembali
sembuh. Dengan demikian OS serviks wanita muda yang sudah
pernah melahirkan merupakan salah satu tanda yang menunjukkan
riwayat kelahiran bayi lewat vagina.
3) Vulva dan vagina Vulva dan vagina mengalami penekanan serta
peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi,
setelah beberapa hari keduanya menjadi kendor. Setelah 3 minggu
akan kembali dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur
akan muncul kembali, sementara labia lebih menonjol.
4) Perineum
Setelah melahirkan perineum menjadi kendor, pada hari kelima
perineum akan mendapatkan kembali sebagian besar tonus
sekalipun lebih kendor daripada keadaan sebelum melahirkan.
5) Payudara
Payudara mencapai maturitas yang penuh selama masa nifas
kecuali jika laktasi disupresi. Payudara lebih besar, kencang dan
mula-mula lebih nyeri tekan sebagai reaksi terhadap perubahan
status hormonal serta dimulainya laktasi.
6) Traktus urinarius
BAB sering sulit pada 24 jam pertama, kemungkinan terdapat
spasme sfingter edema leher buli-buli sesudah bagian ini
mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama
persalinan.
7) Sistem gastrointestinal
Memerlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal.
Rasa sakit di premium dapat menghalangi keinginan ke belakang.
8) Sistem kardiovaskuler
Jumlah sel darah dan Hb kembali normal pada hari kelima.
9) Ligamen
Ligamen, fasia dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu
persalinan, setelah bayi lahir, setelah berangsur-angsur menjadi
ciut dan pulih kembali sehingga tidak jarang uterus jatuh
kebelalang dan menjadi retrofleksi, karena ligamentum rotundum
menjadi kendor. Untuk memulihkan kembali sebaiknya dengan
latihan-latihan (mobilisasi) post SC.
2. Perubahan Psikologi
Farrer (2001), mengungkapkan bahwa perubahan yang mendadak
dan dramatis pada status hormonal menyebabkan ibu berada
dalam masa nifas menjadi sensitif terhadap faktor-faktor yang dalam
keadaan normal mampu diatasinya. Disamping perubahan hormonal,
cadangan fisiknya sering sudah terkuras oleh tuntunan kehamilan
dan persalinan. Keadaan kurang tidur, lingkungan yang asing baginya
dan oleh kecemasan akan bayi, suami atau anak-anak yang lainnya.
Depresi ringan akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu yang
singkat setelah kondisi ibu membaik.
a) Perubahan emosional
Setelah persalinan bedah sc, beberapa wanita mungkin akan
mengalami perasaan emosi yang campur aduk seperti bingung dan
sedih, terutama jika operasi tersebut dilakukan karena keadaan
darurat (tidak direncanakan sebelumnya). Menurut sebuah
penelitian lain mengungkapkan, hampir 80% ibu baru, mengalami
perasaan sedih setelah melahirkan misalnya perasaan ibu yang
merasa tidak mampu atau khawatir akan bertanggung jawab
barunya sebagai ibu, yakni merawat anak. Hal ini semakin menekan
apabila lingkungan keuarga kurang membei perhatian padanya,
melainkan, pada si kecil, ibu akan merasa terisih. Keadaan ini yang
lebih dikenal baby blues (Kasdu, 2003).
b) Perubahan hormonal
Setelah melahirkan, terjadi berbagai perubahan tubuh dalam
proses mengembalikan fungsi organ reproduksi seperti semula
karena setelah melahirkan, hormon progesteron dan ekstrogen
mengalami proses perubahan kembali ke keadaan sebelum hamil.
Berdasarkan penelitian 34% ibu baru, menderita post partum
depression pada tahun pertamanya. Sampai saat ini, para dokter
menilai post partum depression sebagai akibat dari perubahan
hormon secara mendadak setelah melahirkan.
c) Adaptasi psikolkogi masa nifas
Perubahan psikologis yang berangsung selama semingu
pertama menyebabkan banyak wanita yang emosional dan perasaan
labil. Ini terjadi 3-4 hari pertama. Kekuatiran alamiah dan tacit
melahirkan, upaya fisik waktu bersalin merupakan pengalaman
puncak yang dialami keluarga, kerabat maupu bidan. Jika masa
nifas tidak dijalankan dengan baik maka akan mengarah pada kesulitan
emosional atau depresi.
Menurut Reva Rubin ada 3 fase selama periode nifas, yaitu:
1) Periode taking in
a. Periode ini terjadi sesudah melahirkan. Ibu baru pada umumnya
pasif dan tergantung pehatiannnya tertuju pada kekhawatiran akan
tubuhnya.
b. Ia mungkin akan mengulang-ulang menceritakan pengalamnya waktu
melahirkan.
c. Tidur tanpa ganggguan sangat penting untuk mengurangi
gangguan kesehatan akibat kurang istirahat.
d. Peningkatan nutrisi dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan dan
penyembuhan luka, serta persiapan proses laktasi aktif.
2) Periode taking hold
a. Periode ini berlangsung pada hari ke 2-4 post partum.
b. Ibu menjadi perhatian pada ibunya menjadi orang tua yang sukses dan
meningkatkan tanggung jawab terhadap bayi.
c. Ibu berkonsentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya, BAB, BAK,
mobilisasi serta kekuatan dan ketahan tubuhnya.
d. Ibu berusaha keras untuk menguasai asuhan keperawatan bayinya.
3) Periode letting go
Periode ini biasanya terjadi setelah ibu pulang kerumah, periode ini sangat
berpengaruh terhadap waktu dan perhatian yang diberikan oleh keluarga.
Ibu mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi dan ia harus
beradaptasi dengan segala kebutuhan bayi yang sangat tergantung
kepadanya. Hal ini menyebabkan berkurangnya hak ibu, kebebasan, dan
hubungan sosial.

E. MANIFESTASI KLINIS YANG MEMPENGARUHI SC


Manifestasi klinis sectio caesarea menurut Doenges (2010), antara lain:
a. Nyeri akibat ada luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokhea tidak
banyak)
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800ml
f. Emosi labil/perubahan emosional dengan mengekspresikan
ketidakmampuan menghadapi situasi baru
g. Biasanya terpasang kateter urinarius
h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah

F. MASALAH – MASALAH YANG TERJADI PADA SC


1. Infeksi Puerperalis Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat,
misalnya peritonitis, sepsis dan lain-lain.
2. Perdarahan Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
3. Luka kandung kemih
4. Embolisme paru-paru

G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Menurut (Green and Wilkinson, 2012) :
a. Pemerikasaan fisik
Ds : 1) Merasa lemas
2) Merasakan pusing
Do : 1) Keadaan umum sedang / cukup, tampak lemas
2) Tekanan darah meningkat
3) Oedema pada ekstermitas
b. Nutrisi
Ds : 1) Makanan/cairan saat ini
2) Mual/Muntah
3) Permintaan untuk makanan khusus
Do : 1) Berat badan pada akhir kehamilan
2) Berat badan saat ini
c. Eliminasi
Ds : 1) Berkemih dalam waktu 6 x jam setelah melahirkan (ya/tidak)
2) Waktu BAK/BAB terakhir
3) Sering berkemih atau panas berkemih.
4) Waktu defekasi pertama setelah melahirkan
Do : 1) Kandung kemih dapat dipalpasi (ya/tidak)
2) Bising usus
3) Adanya episiotomi/laserasi perineum (jelaskan derajatnya)
d. Aktifitas/Istirahat
Ds : 1) Jumlah tidur/istirahat sebelum persalinan
2) Rencana pengaturan istirahat setelah kembali ke rumah
3) Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri/bantuan
(sebutkan)
4) Rencana untuk pemahaman latihan fisik guna memulihkan
tonus otot abdomen dan perineum
Do : 1) Status mental, keterjagaan
2) Durasi persalinan
3) Melakukan ambulasi secara mandiri/dengan bantuan
(sebutkan)
e. Persepsi Diri
Ds : 1) Perasaan tidak berdaya atau putus asa
2) Mengungkapkan tentang persalinan dan kelahiran,
bagaimana persalinan dan kelahiran tersebut sama/beda dari
harapan ibu
3) Pernyataan tidak melakukan persalinan dan kelahiran
dengan baik.
Do : 1) Tingkat keterlibatan dalam pengambilan keputusan tentang
asuhan diri dan bayi
2) Jumlah kontak mata
f. Seksualitas
Ds : 1) Kekhawatiran seksual (misal, kapan kembali melakukan
hubungan seksual) Kekhawatiran pasangan
2) Jenis alat kontrasepsi yang direncanakan setelah pulang
Do: 1) Masalah/komplikasi/penanganan intrapartum.
2) Pemeriksaan perineum (edema, ekimosis, episiotomi,
leserasi)
3) Lokia (warna, jumlah, adanya bekuan)
4) Fundus uterus (keras/lunak, posisi)
5) Payudara (lunak, keras, bengkak, timbul kolostrum, kondisi
puting)
g. Kenyamanan
Ds : 1) Nyeri (lokasi, frekuensi, derajat, durasi): Faktor pencetus
(SC), tindakan untuk mengurangi, gejala terkait
2) Ketidaknyamanan lain (misal, gatal)
Do : 1) Manifestasi fisik (misal: meringis, berhati-hati)
2) Respons emosi

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (prosedur operasi).
b. Intoleransi aktivitas berhubungan tirah baring (efek anastesi).
c. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
d. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi pembedahan
e. Resiko infeksi berhubungan dengan luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA SLKI SIKI

1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri


asuhan keperawatan Obsevasi :
selama 1x24 jam, 1. Identifikasi lokasi,
diharapkan nyeri yang karakteristik, durasi, frekuensi,
dirasakan px kualitas, intensitas nyeri.
berkurang. 2. Identifikasi skala nyeri.
Kriteria Hasil : 3. Identifikasi respons nyeri non
- Kluhan nyeri verbal.
menurun 4. Identifikasi faktor yang
- Meringis memperberat dan
menurun memperingan nyeri.
- Gelisah menurun 5. Identifikasi pengaruh budaya
- Kesulitan tidur terhadap respon nyeri.
menurun 6. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan.
7. Monitor efek samping
penggunaan analgesik.
Terapeutik :
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgesik secara tepat.
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
analgesik
Pemberian Analgesik
Observasi :
1. Identifikasi karakteristik nyeri.
2. Identifikasi riwayat alergi
obat.
3. Identifikasi kesesuaian jenis
analgesik dengan tingkat
keparahan nyeri.
4. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik.
5. Monitor efektifitas analgesik.
Terapeutik :
1. Diskusikan jenis analgesik
yang disukai untuk mencapai
analgesik optimal.
2. Pertimbangkan penggunaan
infus kontinu.
3. Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan respons
pasien.
4. Dokumentasikan respons
terhadap efek analgesik dan
efek yang tidak diinginkan.
Edukasi :
1. Jelaskan efek terapi dan
efeksamping obat.
2. Kolaborasi :
3. Kolaborasi pemberian dan
jenis analgesik.
2 Intoleransi Setelah dilakukan Observasi
aktivitas tindakan keperawatan 1. Identifikasi defisit tingkat
selama 2x24 jam aktivitas
diharapkan intoleransi 2. Identifikasi kemampuan
aktifitas menurun berpartisipasi dalam aktivitas
dengan kriteria hasil : 3. Identifikasi sumber daya untuk
- Frekuensi nadi aktifitas yang diinginkan
membaik 4. Identifikasi straategi
- Saturasi meningkatkan partisipasi dalam
oksigen aktivitas
meningkat 5. Monitor respon emosional,
- Keluhan lelah fisik, sosial dan spiritual
menurun terhadap aktivitas
- Warna kulit Terapeutik
membaik 1. Fasilitasi focus pada
- Tekanan darah kemampuan, bukan defisit yang
membaik dialami
- Frekuensi nafas 2. Komitmen untuk meningkatkan
membaik frekuensi dan rentang aktivitas
- Ekg iskemia 3. Fasilitasi memilih aktivitas dan
membaik tetapkan tujuan aktivitas yang
- Kemudahan konsisten sesuai kemampuan
melakukan 4. Koordinasi pemilihan aktivitas
aktivitas 5. Fasilitasi transport untuk
membaik menghindari aktivitas, jika
- Kecepatan sesuai
berjalan 6. Fasilitasi aktivitas fisik rutin
membaik 7. Fasilitasi aktivitas pengganti
saat mengalami keterbatasan
waktu, energy, gerak
8. Fasilitasi aktivitas motorik
kasar untuk px hiperaktif
9. Fasilitasi aktivitas motorik
untuk merelaksasi otot
10. Libatkan keluarga dalam
aktivitas jika perlu
11. Jadwalkan aktivitas rutin sehari
hari
12. Berikan penguat positif atas
partisipasi dalam aktivitas
Edukasi
1. Jelaskan metode aktivitas fisik
sehari-hari, jika perlu
2. Ajarkan cara melakukan
aktivitas yang dipilih
3. Anjurkan melakukan aktivitas
fisik,sosial spiritual dan kognitif
dalam menjaga fungsi dan
kesehatan
4. Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok atau terapi,
jika perlu
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan terapi
okupasi dalam merencanakan
dan memonitoring program
aktifitas, jika sesuai
2. Rujuk pada pusat atau program
aktivitas komunitas, jika perlu
3. hipervolemi Setelah dilakukan Manajemen hipervolemia
tindakan keperawatan Observasi
diharapkan masalah 1. Periksa tanda dan gejala
hipervolemi berkurang hipervolemia (mos. Ortopnea,
dengan kriteria hasil : dyspnea, JVP/CVP meningkat,
- Asupan cairan reflek hepatojugular positif,
sesuai toleransi suara nafas tambahan
- Keluaran urin 2. Identivikasi penyebab
meningkat hipervolemia.
- Kelembapan 3. Monitor status hemodinamik
membrane (mis, frekuensi jantung, tekanan
mukosa darah, MAP, CVP, PAP, PCWP,
membaik CO,CI), jika ada.
- Edema 4. Monitor intake output cairan
menurun 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
- Tekanan darah, (mis, kadar natrium, BUN,
nadi dalam hematokrit, berat jenis urin)
rentang normal 6. Monitor tanda peningkatan
- Turgor kulit tekanan onkotik plasma (mis.
membaik Kadar protein dan albumin
meningkat)
7. Monitor kecepatan infus secara
ketat.
8. Monitor efek samping diuretic
(mis. Hipertensi otorstatik,
hipovolemia, hipokalemia,
hiponatremia)
Terapeutik
1. Timbang berat badan setiap hari
pada waktu yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan kepala tempat tidur
30o - 40o
Edukasi
1. Anjurkan melapor jika haluaran
urine < 0,5 ml/kgBB/jam dalam
6 jam
2. Anjurkan melapor jika BB
bertambah >1 kg dalam sehari
3. Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan
4. Anjurkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian diuretic
2. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretic
3. Kolaborasi pemberian
continuous renal replacement
therapy (CRRT), jika perlu
4 Gangguan Setelah dilakukan Perawatan integritas kulit
integritas kulit tindakan keperawatan Observasi
2x24 jam diharapkan 1. Indentifikasi penyebab
integritas kulit dan gangguan integritas kulit
jaringan meningkat (perubahan sirkulasi, perubahan
dengan luaran : status nutrisi, penurunan
- Elastisitas cukup kelembaban, suhu lingkungan
meningkat ekstream, penutunan mobilitas)
- Perfusi jaringan Terapeutik
meningkat 1. Ubah posisi setian 2 jam jika
- Kerusakanlapisa tirah baring.
n kulit menurun 2. Lakukan pemijatan pada area
- Kemerahan penonjolan tulang, jika perlu
mnurun 3. Bersihkan perineal dengan air
- Tekstur membaik hangat, terutama selama periode
diare.
4. Gunakan produk berbahan
petroleum atau minyak pada
kulit kering
5. Gunakna produk perbahan
ringan/alami dan hipoalergic
pada kulit sensitive
6. Hindari produk berbahan dasar
alcohol pada kulit kering
Edukasi
1. Anjurkan menggunakan
pelembab
2. Anjurkan minum air cukup
anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
3. Anjurkan meningkatkan asupan
buah dan sayur
4. Anjurkan menghindari paparan
suhu ekstream
5. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
5 Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi
tindakan keperawatan Observasi
2x24 jam diharapkan 1. Monitor tanda gejala infeksi
pasien terhindar dari local dan sistemik
resiko atau tanda gejala Terapeutik
infeksi dengan luaran : 1. Batasi jumlah pengunjung
- tanda dan gejala 2. Berikan perawatan kulit pada
infeksi menurun area edema atau luka
- Menunjukkan 3. Cuci tangan sebelum dan
kemampuan sesudah kontak dengan pasien
untuk mencegah dan lingkungan pasien
timbulnya infeksi 4. Pertahankan teknik aseptic pada
- Jumlah leukosit pasien beresiko tinggi
dalam batas Edukasi
normal 1. Jelaskan tanda gejala infeksi
- Menunjukkan 2. Ajarkan cara mencuci tangan
perilaku hidup dengan benar
sehat 3. Ajarkan cara memeriksa
kondusi luka pasca operasi
4. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
5. Anjurkan meningkatakna
asupan cairan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Ari Sulistyawati. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta :
ANDI
Bramantyo. 2003. Melahirkan tanpa rasa sakit dan nyeri. Jakarta : Rinerka Swara
Doengoes. M. E, Et. Editor Monica, E. 2010. Nursing Care Plans Guidelines for
Planning and Documenting Patient Care, Edisi 3. Alih Bahasa: Kariasa IM.
Jakarta: EGC
Farrer, H. (2001). Keperawatan Maternitas. Edisi 4, Vol 2, Alih Bahasa: dr. Andry
Hartono. Jakarta: EGC
Kasdu, D. 2003. Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara.
Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika.
Mitayani. 2013. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika.
Medforth, Jannet, dkk. 2012. Kebidanan Oxford. Jakarta : ECG
Green,C. J and J. M. Wilkinson. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal &
Bayi Baru Lahir. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai