Etnis Budaya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

ETNIS BUDAYA

Etnis Budaya Orang Tua


a. Ibu
Nama : Emmy Farida S.Pd MM

Suku : Aceh

Suku Aceh adalah nama sebuah suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian
pedalaman Aceh, Sumatra, Indonesia. Orang Aceh mayoritas beragama Islam. Bahasa yang dituturkan
adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan
berkerabat dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja.

Populasi suku Aceh antara 3.600.000 - 4.000.000 jiwa, mayoritas tinggal di Provinsi Acehserta
terdapat pula minoritas diaspora yang cukup banyak di Malaysia, Australia Kanada Amerika Serikat dan
negara-negara Skandinavia. Suku Aceh sesungguhnya merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan
bangsa yang menetap di tanah Aceh. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam bahasa,
agama, dan adat khas Aceh.

Suku Aceh di masa pra-modern hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di pemukiman
yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk mukim. Masa keemasan
budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, seiring kejayaan kerajaan Islam Aceh Darussalam, dan kemudian
mencapai puncaknya pada abad ke-17. Orang Aceh pada umumnya dikenal sebagai pemegang teguh
ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang militan dalam melawan penaklukan kolonial Portugis dan
Belanda.

Asal keturunan

Artikel utama: Sejarah Aceh

Bukti-bukti arkeologis terawal penghuni Aceh adalah dari masa pasca Plestosen, di mana mereka
tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang), dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid.
Mereka terutama hidup dari hasil laut, terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat
seperti babi dan badak. Mereka sudah memakai api dan menguburkan mayat dengan upacara tertentu.

Selanjutnya terjadi perpindahan suku-suku asli Mantir dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku
Champa, Melayu, dan Minang (deutro Melayu) yang datang belakangan turut membentuk penduduk
pribumi Aceh. Bangsa asing, terutama bangsa India selatan, serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia,
Turki, dan Portugis juga adalah komponen pembentuk suku Aceh. Posisi strategis Aceh di bagian utara
pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi tempat persinggahan dan percampuran berbagai
suku bangsa, yaitu dalam jalur perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina.
b. Ayah
Nama : Iskandar Hasibuan S.Pd MM

Suku : Batak Mandailing ( Hasibuan )

Batak Mandailing yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Di antara sekian subetnis
Batak, persamaan yang jelas terlihat dari sistem kekerabatan yang menganut patrilineal menurut garis
keturunan ayah. Maksud dari garis keturunan ayah bahwa marga dari ayah secara otomatis akan
menurun kepada anak-anaknya. Dan beberapa nama marga yang termasuk Batak Mandailing adalah
Harahap, Lubis, Nasution, Batubara, Hasibuan, Tanjung dan masih banyak lagi.

Hasibuan adalah salah satu marga Batak Toba, jika dirunut dari si Raja Batak maka Si Raja Hasibuan
berada pada keturunan (sundut) kedelapan : Si Raja Batak -- Raja Isumbaon -- Tuan Sorbadibanua alias
Sisuanon -- Siraja Sobu alias Toga Sobu -- Hasibuan. Dalam silsilah masyarakat suku batak (dalam
struktur tarombo) bahwa si Raja Hasibuan adalah keturunan dari si Raja Sobu, si Raja Sobu yang hidup
pada abad xv atau sekitar tahun 1455 adalah keturunan ke V dari si Raja Batak, ayahnya bernama Tuan
Sorbadibanua anak dari istrinya yang ke dua bernama si Boru Basopaet (Putri Mojopahit). Si Raja Sobu
memiliki dua orang anak putra yang bernama Raja Tinandang atau lebih dikenal dengan bernama Toga
Sitompul dan si Raja Hasibuan. Di masa kecil, Toga Sitompul dan si Raja Hasibuan tinggal bersama orang
tuanya di Desa Lobu Galagala yang terletak di kaki Gunung Dolok Tolong (Kabupaten Toba Samosir saat
ini) dan setelah beranjak dewasa si Raja Hasibuan pergi merantau ke Desa Sigaol – Uluan dan menetap
di sana yang pada akhirnya menjadi bonapasogit marga Hasibuan, dan ia pun meminang boru
Simatupang dari Muara.

ADAT ISRIADAT SUKU MANDAILING


Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang
selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan
Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa,
bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna,
dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup
tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun
amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-
pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang
baik dan buruk, serta ramalan mimpi.

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik Patrilineal maupun Matrilineal. Dalam
sistem Patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja
berbeda di suku Batak lainnya, yang mengenal hampir 500 marga. Seperti halnya di Karo, Nias, Gayo ,
Alas, marga-marga di Mandailing umumnya tak mempunyai keterkaitan kekerabatan dengan Batak.
Marga-marga di Mandailing, antara lain : Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang,
Harahap, Hasibuan (Nasibuan), rambe , Dalimunthe,Rangkuti , Tanjung, Mardia, Daulay (Daulae),
Matondang, Hutasuhut. Marga-Marga Mandailing, menurut hatobangon ( orang yang di tuakan ), di
Mandailing Julu dan Pakantan, seperti berikut: Lubis yang terbagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis
Singa Soro, Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-
marga di Mandailing Godang pula adalah: Nasution yang terbahagi kepada Nasution Panyabungan,
Tambangan, Borotan, Lancat, Jior, Tonga, Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Lubis, Hasibuan, Harahap,
Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan,
Rambe, Mangintir, Nai Monte, Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan
Parinduri asalnya satu marga). Di Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan, Baumi, Harahap,
Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay,
Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang Lawas. Menurut Basyral Hamidy Harahap dalam
buku berjudul Horja, marga-marga di Mandailing antara lain Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe,
Dasopang, Daulae, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu,
Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, Sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.

Upacara Adat saat ini yang sering dilakukan masyarakat mandailing adalah:

(1) Upacara Adat Siriaon/Horja Haroan Boru/Pabuat Boru(Upacara Adat Perkawinan),

(2) Upacara Adat Siluluton/Mambulungi (Upacara Adat Kematian) dan

(3) Horja Siulaon (Upacara Adat Berkarya).

 UPACARA ADAT PERKAWINAN ( ADAT SARIAON / HORJA SAROAN BORU / PABUAT


BORU
1. Manyapai Boru

Masa pendekatan masih menjadi proses penting dalam kelanjutan sebuah hubungan. Dalam adat
Batak Mandailing pun mengenal masa pendekatan yang disebut manyapai boru. Dan jika boru na ni oli
(calon mempelai wanita) memberi respon positif kepada bayo pangoli (calon mempelai pria) akan
dilanjutkan dengan prosesi mangairirit boru.

2. Mangairirit Boru

Mangairirit boru merupakan tahapan dimana orang tua mempelai pria akan mencari tahu seluk beluk
sang wanita idaman anaknya tersebut. Menghindari agar tidak salah pilih, tidak seperti membeli kucing
dalam karung yang belum jelas bibit bebet bobotnya. Merasa cocok, barulah orang tua sang pria
mendatangi kediaman wanita untuk menanyakan kesediaannya. Jawaban tidak diberikan pada saat itu
juga, tapi di lain kesempatan pada prosesi selanjutnya.

3. Padamos Hata

Sekali lagi, keluarga pria menyambangi rumah kediaman wanita untuk mendapatkan jawaban. Dalam
ritual ini pula akan dibahas kapan waktu yang tepat untuk melamar, serta syarat apa saja yang harus
disanggupi pihak keluarga pria.
4. Patobang Hata

Inti dari seremoni ini adalah untuk memperkuat perjanjian antara dua belah pihak, keluarga
mempelai wanita dan keluarga mempelai pria. selain itu akan dibicarakan berapa sere yang akan diantar
pada prosesi selanjutnya, manulak sere.

5. Manulak Sere

Sesuai kesepakatan, pihak keluarga pria datang bersama kerabat yang berjumlah 10-15 orang untuk
mengantarkan sere atau hantaran. Barang hantaran yang diberikan di antaranya silua (oleh-oleh) dan
batang boban (berupa barang berharga).

6. Mangalehen Mangan Pamunan

Seorang gadis yang akan dinikahi kelak akan ikut bersama suami meninggalkan rumah orang tuanya.
Maka sebelum melepas kepergian anak perempuannya itu diadakan makan bersama/ mangan
pamunan. Makan bersama tidak hanya bersama keluarga inti saja, di masa sekarang prosesi ini diadakan
besar-besaran mengundang kerabat serta teman-teman terdekat sang calon pengantin untuk
merayakan perpisahan.

7. Horja Haroan Boru

Seusai dilaksanakan pesta adat yang diselenggarakan di kediaman bayo pangoli, sebelum pergi
meninggalkan kedua orang tuanya, boru na ni oli akan menari tor-tor sebagai ungkapan perpisahan.

8. Marpokat Haroan Boru

Satu langkah sebelum pernikahan adat berlangsung, terlebih dahulu akan dimusyawarahkan
(marpokat) membagi-bagi tugas sesuai prinsip dalihan na tolu yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan
mora.

9. Mangalo-Alo Boru Dan Manjagit Boru

Diarak dua orang pencak silat, pembawa tombak, pembawa payung, serta barisan keluarga pria dan
wanita, terakhir iringan penabuh, kedua mempelai berjalan menuju rumah. Sesudahnya, kedua
pengantin serta keluarga akan mangalehen mangan (makan bersama)menyantap makanan yang dibawa,
dilanjutkan pemberian pesan dari tetua kepada kedua mempelai. Selesai memberi petuah, secara
bersama-sama rombongan akan menuju ke rumah suhut (tempat pesta).

10. Panaek Gondang

Pada prosesi ini akan dimainkan gordang sambilan yang sangat dihormati masyarakat Mandailing,
maka sebelum dibunyikan harus meminta izin terlebih dulu. Dan setelah mendapat izin, gordang
sambilan ditabuh seiring markobar (pembicaraan) yang dihadiri suhut dan kahangginya, anak boru,
penabuh gondang, namora natoras dan raja-raja adat. Dalam prosesi ini pula diselingi tari sarama yang
seirama dengan ketukan gordang sambilan. Serta manortor atau menari tor tor.
11. Mata Ni Horja

Mata ni horja menjadi acara puncak yang diadakan di rumah suhut. Sekali lagi tari tor tor ditarikan
oleh para raja, yang disusul oleh suhut, kahanggi, anak boru, raja-raja Mandailing dan raja panusunan.

12. Membawa Pengantin Ke Tapian Raya Bangunan

Melaksanakan prosesi ini dipercaya dapat membuang sifat-sifat yang kurang baik ketika masih lajang.
Dengan jeruk purut yang dicampur air, kedua mempelai akan dipercikan air tersebut menggunakan daun
silinjuang (seikat daun-daunan berwarna hijau).

13. Mangalehen Gorar (Menabalkan Gelar Adat)

Maksud dari upacara ini adalah untuk menabalkan gelar adat kepada bayo pangoli. Sebelum
diputuskan gelar apa yang cocok, harus dirundingkan terlebih dahulu. Gelar adat diperoleh mengikuti
dari kakeknya dan bukan mengambil gelar dari orang tuanya.

14. Mangupa

Inti dari prosesi ini dengan menyampaikan pesan-pesan adat kepada kedua mempelai, bayo pangoli
dan boru na ni oli. Mangupa merupakan wujud kegembiraan telah usai seluruh rangkaian upacara adat,
dan kedua mempelai pun telah sah menjadi sepasang suami istri di mata adat.

 Kamus Bahasa Batak Mandailing

Bayo Pangoli: calon mempelai pria

Boru Na Ni Oli: calon mempelai wanita

Kahanggi: keluarga laki-laki dari garis keturunan orang tua laki-laki

Anak Boru: keluarga laki-laki dari suami adik/kakak perempuan yang sudah menikah

Mora: keluarga laki-laki dari saudara istri

 UPACARA ADAT KEMATIAN KEMATIAN ( ADAT SILULUTON / MAMBULUNGI)

Didalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya dilaksanakan dengan
upacara adat perkawinan, maka pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat
kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing. Seorang anak keturunan Raja, apabila
ayahnya meninggal dunia wajib mengadati (Horja Mambulungi). Jika belum mengadati seorang anak
atau keluarganya tetap menjadi kewajiban /utang adat bagi keluarga yang disebut mandali di paradaton
dan jika ada yang akan menikah, tidak dibenarkan mengadakan pesta adat perkawinanan (horja
siriaon).

Pelaksanaan Upacara Adat Kematian dilaksanakan:

1. Pada saat penguburan.

2. Pada hari lain yang akan ditentukanm kemudian sesuai dengan kesempatan dan kemampuan
keluarganya.

Jika dalam Horja Siriaon bendera-bendera adat yang dipasang di halaman menghadap keluar, maka
pada horja siluluton bendera-bendera adat dibalik menghadap kerumah sebagai tanda duka cita.
Setelah beberapa tahun wafatnya Partomuan Lubis gelar Patuan Dolok III dan Suti Nasution gelar Na
Duma I, maka diadakan upacara adat kematian (Horja Mambulungi) di Tamiang untuk
mengucapkanbanyak terima kasih, meminta maaf atas perbuatan yang disengaja maupun tidak sengaja
kepada seluruh keturunan Baitang dan masyarakat Mandailing.

 UPACARA ADAT BERKARYA ( HORJA SIULAON)

Horja Siulaon adalah upacara adat memulai suatu bekerja (berkarya) secara bersama-sama untuk
menyelesaikan suatu perkerjaan, seperti: mendirikan rumah baru, membuka sawah,dan lain-lain. Horja
Siulaon merupakan kearifan-kearifan lokal (local genius) pada dasarnya dapat dipandang sebagai
landasan bagi pembentukan jati diri suku Bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang
membuat budaya lokal memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan
sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru. Pada dasarnya kearifan lokal yang dapat
dilihat dengan mata (tangible), seperti obyek-obyek budaya, warisan budaya bersejarah dan kegiatan
keagamaan dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau
makna dari suatu obyek atau kegiatan budaya.

Kearifan lokal Mandailing adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing di daerah
tertentu yang merupakan ciri keaslian dan kekhasan daerah tersebut tanpa adanya pengaruh atau
unsur campuran daerah lainnya. Pengembangan kearifan lokal suatu daerah akan mendorong rasa
kebanggaan akan budayanya dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta
dalam menyumbang pembangunan budaya bangsa. Kearifan lokal (horja siulaon) dapat dijadikan
jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dengan generasi
sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal dapat
dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antargenerasi. Tujuan utama melestarikan kearifan
lokal untuk menjamin keberlangsungan dan keberadaan dari kearifan-kearifan lokal agar generasi
terdahulu, sekarang dan yang akan datang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati
kearifan lokal yang ada.

Anda mungkin juga menyukai