Lapkas Saddle Block

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen atau lebih vena-vena


hemoroidalis. Secara kasar hemoroid biasanya dibagi dalam 2 jenis, hemoroid
interna dan hemoroid eksterna. Hemoroid interna merupakan varises vena
hemoroidalis superior dan media. Sedangkan hemoroid eksterna merupakan
varises vena hemoroidalis inferior. Sesuai istilah yang digunakan, maka hemoroid
interna timbul di sebelah luar otot sfingter ani, dan hemoroid eksterna timbul di
sebelah dalam sfingter. Hemoroid timbul akibat kongesti vena yang disebabkan
gangguan aliran balik dari vena hemoroidalis. Kedua jenis hemoroid ini sangat
sering terjadi dan terdapat pada sekitar 35% penduduk baik pria maupun wanita
yang berusia lebih dari 25 tahun. Walaupun keadaan ini tidak mengancam jiwa,
tetapi dapat menyebabkan perasaan yang sangat tidak nyaman
Penatalaksanaan hemoroid adalah tindakan bedah berupa hemoroidektomi.
Pada pembedahan ini menggunakan teknik anestesi spinal (subaraknoid).
10,11,12
Tindakan ini melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi
spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut
juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal
dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub
arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5. Kelebihan
utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan,peralatan yang minimal,
memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa
gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta
membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.[1]
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. ME
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 28 tahun
Berat Badan : 55 kg
Agama : Islam
Alamat : Jln. Raya Desa Kapur Gg H.M Yusuf 011/003, Kapur,
Sungai Raya, Kubu Raya
No. RM : 170781
Diagnosis : Hemoroid Interna Grade III

2.2 Anamnesis
Anamnesis didapat dari rekam medis pasien saat dirawat di RS TK.II
Kartika Husada pada tanggal 5 Desember 2019
a. Keluhan utama : Benjolan di dubur
b. Riwayat penyakit sekarang :
Laki-laki 28 tahun dengan hemoroid interna grade III direncanakan
tindakan hemoroidektomi. Dari pemeriksaan praoperasi didapatkan
keluhan
terdapat benjolan di dubur, keluhan dirasakan sejak 1 bulan terakhir.
Awalnya benjolan terasa nyeri saat BAB namun, lama kelamaan terdapat
benjolan di dubur yang semakin lama semakin menonjol, tapi masih bisa
dimasukkan lagi dengan bantuan jari. Keluhan lain yang dirasakan adalah
adanya darah segar yang keluar saat BAB tapi tidak tercampur feces, nyeri
saat BAB, kadang terdapat lendir dan mengganggu kenyamanan pasien.
Keluhan demam,pusing, mual, muntah, dan lemas disangkal. Sebelumnya
pasien mengaku BAB tidak lancar dan sulit BAB. Pasien belum pernah
berobat sebelumya
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
3) Riwayat hipertensi disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan
pasien disangkal.
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien jarang mengkonsumsi sayur dan buah-buahan

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada 05 Desember 2019
Berat Badan : 55 kg

GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit

Suhu : 36,6C
Pernafasan : 18 x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut hitam , distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Mulut : Oral hygiene baik
Leher : KGB leher tidak membesar
Thorax : Paru : SNV (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II Reg, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : Nyeri tekan (-) , hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat (+) Oedem (-) Sianosis (-)
Status Fisik
American Society of Anesthesiologists (ASA) :
1. Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik & biokimia.
2. Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
3. Pasien dengan penyakit sistemik berat, aktivitas rutin terbatas.
4. Pasien dengan penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan sehari-harinya.
5. Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
Leukosit 2,8 x 103/ul 3,5 -10,6
Eritrosit 5 x 106 / mm3 3.30-5.50
Hemoglobin 15.1 g/dL 11,5 – 16,5
Trombosit 194 x 103/ul 150-400
Hitung Jenis
Granulosit 30 35– 80%
Limfosit 61,5% 20 – 40%
Mid% 8,5 2 – 15%
GDS
Glukosa Darah Sewaktu 107 < 200 mg/Dl

Fungsi Ginjal

Ureum 26 15-45 mg/dl

Creatinin 0,61 0,9-1.3 mg/dl


Faktor Koagulasi
BT (Pasien) 3’00” 1-3 menit
CT (Pasien) 4’00” 2-6 menit
2.5 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulkan :
Diagnosis pre operatif : Hemorhoid Interna grade III
Status Operatif : ASA 1, Mallampati I
Jenis Operasi : Hemoroidektomi
Jenis Anastesi : Spinal anastesi- saddle block

2.6 Operatif
Jenis Anestesi : Spinal anastesi- saddle block
2.6.1. Pre-operatif
- Diagnosa pre operasi : Hemoroid interna grade III
- Tindakan operasi : Hemoroidektomi
- Cek Informed consent (+)
- Pasien dipuasakan selama 6 jam pre-operatif
- IV line terpasang pada tangan kiri pasien dengan infus RL
- Persiapan obat dan alat anestesi regional
- Menyiapkan meja operasi dan mesin dan alat anestesi
- Menyiapkan obat anestesi spinal yang diperlukan: Bunascan
(Bupivacain HCl in Dextrose injection) 20 mg, Catapress 5 mg
- Menyiapkan obat-obat resusitasi: ephedrine, sulfat atropine,
- Menyiapkan obat-obat lainnya : tramadol, ketorolac, ondansentron,
- Menyiapkan monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi dan EKG
- Menyiapkan alat-alat anestesi regional: Spuit, Handscoon, Antiseptic,
Kassa, Jarum spinal (Spinocain).
- Keadaan umum
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital :
o Tekanan darah : 130/90 mmHg
o Saturasi O2 : 99 %
o Nadi : 90x/menit
o RR : 20x/menit
2.6.2. Intra Operatif
2.6.2.1. Tindakan anestesi
1) Pasien masuk ruang operasi dengan hanya mengenakan baju operasi.
Kemudian di posisikan di atas meja operasi, dipakaikan topi opersi, dan
dipasang alat monitoring.
2) Pasien diminta duduk tegak dengan kepala menunduk, lalu dilakukan
tindakan aseptic dan antiseptic dengan betadine dan kasa steril secara
melingkar dari sentral ke perifer.
3) Tentukan lokasi penyuntikan yaitu pada L3-L4, tepat pada perpotongan
garis antar crista iliaca dextra dan sinistra.
4) Kemudian dilakukan penyuntikan dengan menggunakan jarum spinal no
25 G menuju ke ruang subarachnoid, tunggu sampai LCS mengalir
keluar pada jarum spinal, lalu pasang spuit yang berisi Bupivacaine.
Lakukan aspirasi untuk memastikan LCS mengalir, lalu injeksikan
Catapres 50 mg dan Bunascan 5 mg secara perlahan, kemudian aspirasi
kembali untuk memastikan LCS mengalir dan posisi jarum tetap di
subarachnoid.
5) Setelah semua obat habis di injeksi, cabut jarum spinal perlahan,
Selanjutnya pasien dibiarkan duduk selama 10 menit kemudian
posisikan pasien berbaring pada meja operasi dengan posisi litotomi.
6) Kemudian, dipasang juga kanul oksigen 2 L/menit

2.6.2.2. Keadaan Intra operasi


Jenis Anestesi : Anestesi regional ( Spinal )
Jenis Operasi : Hemoroidektomi
Lama Anestesi : 08.35 – 09.15 ( 40 menit)
Lama Operasi : 08.40 – 09.10 (30 menit)
Teknik anestesi : Saddle block
Respirasi : Spontan dengan O2 2 LPM via nasal kanul
Posisi : Litotomi
Infus : RL 20 tpm
Medikasi :
- Catapress 50 mg
- Bunascan 5 mg
- Efedrin 15 mg
- Tramadol 100 mg
- Ketorolac 30 mg
- Ondansetron 4 mg
- Midazolam 2 mcg
Jumlah cairan : RL 500 cc 2 kolf
Tekanan darah dan frekuensi nadi :

Pukul Tekanan Darah Nadi Tindakan


(WIB) (mmHg) (kali/menit)
08.35 80/40 70  Desinfeksi lokal lokasi suntikan
anestesi lokal. Posisi pasien duduk
tegak dengan kepala menunduk,
dilakukan tindakan anestesi spinal
dengan menggunakan jarum
spinal no 27 diantara L3-L4
dengan Bupivacaine 15 mg, LCS
(+), darah (-)
 Maintanance oksigenasi dengan
O2 menggunakan selang kanul
oksigen (3 L/menit)
 Injeksi Ephedrine 20 mg IV
08.40 130/70 90 Operasi dimulai
08.45 140/60 92
08.50 150/70 88
Kondisi terkontrol selama proses
08.55 140/70 94
hemoroidektomi
09.00 150/70 89
09.05 150/70 87
09.10 150/70 76 Operasi selesai
09.15 140/80 80 Pasien dipindahkan ke ruang
Recovery Room
Dilakukan monitoring pada
Recovery Room

2.7 Ruang Pemulihan


Pasien tiba di recovery room jam 09.15 WIB
Cairan infus : RL kolf ke-3
TD : 140/80
Nadi : 94 x/menit
SPO2 : 99 %
Aldrete’s score :

Variabel Skor Skor pasien


Aktivitas Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2 2
Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah 1
Tidak merespon 0
Respirasi Dapat bernapas dalam dan batuk 2 2
Dispnoe, hipoventilasi 1
Apneu 0
Sirkulasi Perubahan <20% TD sistol pre operasi 2 1
Perubahan 20-50% sistol pre operasi 1
Perubahan >50% TD sistol pre operasi 0
Kesadaran Sadar penuh 2 2
Dapat dibangunkan 1
Tidak merespon 0
Warna Merah 2 2
kulit Pucat 1
Sianotik 0
Skor total 9
Instruksi post operasi  observasi : Selama 24 jam
1) Infus : RL + Drip Tramadol, Ketorolac, Ondansentron 20 tpm
2) Monitoring Kesadaran, tanda vital, dan keseimbangan cairan
3) Bed rest total 24 jam post op dengan bantal tinggi. Boleh miring kanan
kiri, tak boleh duduk
4) Ukur TD dan N tiap 30 menit selama 1 jam pertama.
5) bila tidak ada mual muntah boleh minum sedikit-sedikit dengan sendok
6) Antibiotik dan obat-obatan lain : Sesuai operator

Prognosis : Dubia ad Bonam

Pasien bisa dipindahkan ke ruang rawat.


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Anestesi Regional
Anestesi regional adalah penggunaan obat analgetik lokal untuk
menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversible). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya dan dengan keadaan pasien tetap sadar.(1)

3.2.Klasifikasi Anestesi Regional(1)


a) Blok sentral (blok neuroaksial) meliputi blok spinal, epidural dan kaudal.

 Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang dihasilkan


dengan menghambat saraf spinal di dalam ruang subaraknoid oleh zat-
zat anestetik lokal.

 Anestesi epidural merupakan blokade saraf dengan menempatkan obat


di ruang epidural (peridural, ekstradural). Ruang epidural berada
diantara ligamentum flavum dan duramater.

 Anestesi kaudal blokade saraf yang menempatkan obat di kanalis


kaudalis melalui hiatus sakralis, kanalis kaudalis merupakan
kepanjangan dari ruang epidural. Ruang kaudal berisi saraf sakral,
pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura.

b) Blok perifer (blok saraf) meliputi blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia
regional intravena, dan lain-lainnya

3.3.Anestesi Spinal
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang dihasilkan
dengan menghambat saraf spinal di dalam ruang subaraknoid oleh zat-zat
anestetik lokal. Teknik anestesia spinal banyak digunakan karena merupakan
teknik yang sederhana, efektif, aman terhadap sistem saraf, tidak menyebabkan
konsentrasi plasma yang berbahaya, memberikan tingkat analgesia yang kuat,
pasien tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih sedikit,
risiko aspirasi pasien dengan lambung penuh lebih kecil, dan juga pemulihan
fungsi saluran pencernaan lebih cepat.(1)

3.3.1. Indikasi Anestesi Spinal (1)


a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rektum dan perineum
d) Bedah obstetri-ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
g) Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi
dengan anestesi umum ringan

3.3.2. Kontra Indikasi


Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.

Kontra indikasi absolut :


a) Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
b) Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
c) Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
d) Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa
menimbulkan komplikasi neurologis
e) Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus
dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
f) Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
g) Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :


a) Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.
b) Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
c) Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada
pada pasien sebelumnya.
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit,
bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150
menit.
f) Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah
jantung akibat efek obat anestesi local.
g) Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
h) Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal
ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang,
dapat membuat pasien tidak nyaman [1][3]

3.3.3. Persiapan anestesi spinal (1)


Pada dasarnya persiapan untuk anestesi spinal sepeti persiapan pada
anestesi umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelaianan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal-hal dibawah ini :

1. Informed consent ( izin dari pasien )


Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal.
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung daln lain-
lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hemotokrit, PT (protombine time ) dan PTT ( partial
thromboplastine time )

3.3.4. Peralatan anestesi spinal (1)

1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut ( pulse oximeter) dan EKG
2. Peralatan resusitasi / anestesi umum arum spinal
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam ( ujung bambu runcing, Quincke Babcock )
atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point. Whitecare)

Gambar 3.1. Peralatan anestesi spinal


3.3.5. Teknik anestesi spinal (1)
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan dimeja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi decubitus lateral.


Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk

Gambar 3.2. Posisi pasien untuk anestesi spinal


1. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4/5 . tentukan tempat tusukan misalnya L2/3, L3/4
atau L4/5. Tusukan pada L1/2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medula spinalis.
2. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
3. Berikan anastetik local pada tempat tusukan, misalnya dengan lidicain 1-3
%, 2-3 ml.
4. Cara rusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G
atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (intoducer), yaitu jarum
suntuk biasa spuit 10 cc. tusukan introducer kira-kira sedalam 2 cm agak
sedikit kearah sefal, kemudian masukan jarum spinal jarum berikut
mandrinnya kelubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke/Babcock) irisan jarum ( bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bavel mengarah keatas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran liquor yang dapat berakibat
timbulmya nyeri kepala pasca spina. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicbut, dan keluar liquor, pasang spuit berisi obat dan
obat dapat dimasukan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan pisisi jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum
spinal pada pisisi yang benar dan liquor tidak keluar, putar arah jarum 90 o
biasanya liquor keluar. Untuk anestesi spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit/ligamentum
flaflum dewasa kurang lebi 6 cm.

3.3.6. Tinggi blok anestesi spinal(3)


Faktor yang mempengaruhi :
a) Volume obat anestesi lokal : makain besar makin tinggi daerah anestesi
b) Konsentrasi obat : makin pekat makin tinggi batas daerah anestesi
c) Barbotase : penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan daerah
batas anestesi
d) Kecepatan : penyuntikan yang cepat menghasilkan batas anestesi yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan : 3 detik untuk1 ml larutan
e) Maneuver valsava : mengajan meninggikan tekanan liquor serebro spinalis
dengan akibat batas anestesi bertambah tinggi
f) Tempat pungsi : pengaruhnya besar, pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul kecaudal ( saddle block ) pungsi L2-3 atau L3-4 obat lebih mudah
menyebar kekranial
g) Berat jenis larutan : hiperiso atau hipobarik
h) Tekanan abdominal yang meninggi : dengan dosis yang sama didapt batas
anestesi yang lebih tinggi.
i) Tinggi pasien : makin tinggi panjang kolumna vertebralis, makin besar dosis
yang diperlukan. ( berat badan tidak berpengaruh untuk dosis obat ).
j) Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan anestesi
sudah menetap ( tidak berubah ) sehingga batas anestesi tidak dapat diubah
lagi dengan mengubah posisi pasien.

3.3.7. Anetesi Lokal untuk Anestesi Spinal


Obat anestesia lokal yang ideal mempunyai mula kerja yang cepat, durasi
kerja dan juga tinggi blokade dapat diperkirakan sehingga dapat disesuaikan
dengan lama operasi, tidak neurotoksik, serta pemulihan blokade motorik
pascaoperasi yang cepat sehingga mobilisasi dapat lebih cepat dilakukan.
Beberapa faktor yang dianggap akan memengaruhi penyebaran obat anestesia
lokal antara lain karakteristik obat anestesia lokal (barisitas, dosis, volume,
konsentrasi, dan juga zat aditif), teknik (posisi tubuh, tempat penyuntikan,
barbotase, serta tipe jarum), dan juga karakteristik pasien (usia, tinggi, berat
badan, tekanan intraabdomen, kehamilan, dan anatomi dari tulang belakang).
Faktor yang dianggap paling berperan adalah barisitas dan juga posisi tubuh.
Barisitas obat sangat menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian
blokade.(4)
Obat anestesi lokal disebut hipobarik bila mempunyai densitas ±3 (tiga)
standar deviasi (SD) di bawah densitas cairan serebrospinal. Berat jenis cairan
serebrospinal pada suhu 370 ialah 1.003-1.008. Penyuntikan obat jenis hipobarik
pada posisi duduk akan menyebar ke arah sefalad. Pada posisi miring (posisi
lateral) atau berbaring penyebaran obat hipobarik sangat ditentukan oleh bentuk
vertebra dan penyebaran ke arah kaudal.(5)
Anestetik lokal hiperbarik adalah obat yang memiliki densitas ±3 (tiga)
standar deviasi (SD) di atas densitas dari cairan serebrospinalis. Hal ini
menyebabkan distribusi obat anestesia lokal jenis hiperbarik akan sangat
dipengaruhi oleh posisi pasien yang berhubungan dengan gaya gravitasi. Pada saat
penyuntikan dengan posisi duduk, obat anestesia lokal hiperbarik tersebut
menyebar ke daerah kaudal, apabila sesaat setelah dilakukan penyuntikan, posisi
pasien berbaring dengan kepala ke arah bawah maka obat anestesia lokal akan
menyebar ke arah sefalad, namun pada posisi miring (posisi lateral) obat anestesia
lokal hiperbarik dapat menyebar ke arah sefalad.(5
Obat anestesia lokal isobarik adalah obat lokal anestesia yang mempunyai
densitas yang sama dengan cairan serebrospinalis dan tidak ada efek gaya
gravitasi atau posisi tubuh. Obat anestesia lokal hiperbarik menyebabkan
pemendekan waktu blokade sensorik dan juga motorik jika dibandingkan dengan
isobarik. Namun, obat anestesi lokal hiperbarik mampu menghasilkan mula kerja
dan juga pemulihan lebih cepat, penyebaran yang lebih luas, serta tingkat
keberhasilan lebih dapat diandalkan jika dibandingkan dengan isobarik.(5)
Anestesi lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestesi lokal dengan dektrose. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.(5)
Anestesi spinal yang paling sering digunakan6):

Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis


Lidokain (Xylokain,
Lignokain)
- 2% plain 1.006 isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
- 5% dalam Dextrosa 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
7,5%
Bupivikain (Markain)
- 0,5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
- 0,5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3 ml)
Dextrosa 8,25%

1. Lidokain
Sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil, dapat didihkan
selama 8 jam dalam luran HCL 30%t tanpa resiko dekomposisi. Dapar
disterilkan beberapa kali dengan proses autoklaf tanpa kehilangan potensi.
Tidak iritatif terhadap jaringan walzupun diberikan dalam konsentrasi
larutan 88%. Diperlukan waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat
suntikan. Apabila larutan ini ditimbah adrenalin, maka waktu yang
diperlukan untuk hilang sama sekali dari tempat suntikan 4 jam.
Mempunyai afinitas tinggi pada jaringan lemak. Deoksikasi terjadi oleh
hati. Daya penetrasinya sangat baik.(7)
Untuk infiltrasi lokal diberikan larutan 0,5%, untuk blok saraf yang
kecil diberikan larutan 1%, untuk bloksaraf yang lebih besar diberikan
larutan 1,5%, untuk blok epidural diberikan larutan 1,5%-2%. Untuk blok
subarakhnoid diberikan larutan hiperbarik 5%.(7)

2. Bupivikain
Ikatan dengan HCL mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat
diautoclaf berulang. potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-
5 Kli lidokain. Sifat hambatan sensorisnya lebih dominan dibandingkan
dengan hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih
banyak dibandingkan dengan yang bebas didalam tubuh. Dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui ginjal sebagian kecil dan dalam bentuk utuh dan
sebagian besar dalam bentuk metabolitnya.(7)
Untuk infiltrasi lokaldigunakan larutan 0,25%, blok saraf kecil
digunakan larutan 0,25%, blok saraf yang lebih besar digunakan larutan
0,5%, blok epidural digunakan larutan 0,5%-0,7%, untuk blok spinal
digunakan larutan 0,5%-0,75%. (7)

3.3.8. Komplikasi anestesi spinal


Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
yang terjadi kemudian. Komplikasi dini berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi
dan gastrointestinal.
a) Komplikasi sirkulasi :
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi
blok makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan
memberikan infus cairan kristaloid ( NaCL, Ringer Lactat, dll) secara cepat
sebanyak 10-15 ml/kgBB dalam 10 menit segera setealah penyuntikan
anestesi spinal. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi
harus diobati dengan vasopresor seperti efedrin iv sebanyak 10 mg diulang
tiap 3-4 menit sampai tercapai tekanan darah yang dikehendaki. ( sebaiknya
penurunan tidak lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal). Bradikardi
dapat terjadi, karena aliran darah balik berkurang, atau karena blok simpatis
T1-T4, dapat diatasi denga pemberian sulfas atropin 1/8-1/4 mg iv.(3)
b) Komplikasi respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi
paru-paru normal.
2. Penderita PPOM/COPD (Penyakit paru-paru obstruktif menahun),
merupakan kontraindikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apneu : dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan oksigen dan nafas buatan.(3)

c) Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah, karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi kemudian ( dekayed), pusing kepala pasca
pungsi lumbal ( post lumbal puncture headache ) merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas : terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur keposisi
yang bervariasi ( kurang dari 10% dengan jarum no. 22 ) pada usia tua lebih
jarang, dan pada kehamilan meningkat.(3)
3.4.Pembedahan pada hemoroid
Menurut Acheson dan Scholefield (2006), penatalaksanaan hemoroid dapat
dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan jenis dan derajat daripada hemoroid.
Sebagian besar kasus hemoroid derajat I dapat ditatalaksana dengan pengobatan
konservatif. Tatalaksana tersebut antara lain koreksi konstipasi jika ada, meningkatkan
konsumsi serat, laksatif, dan menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan kostipasi
seperti kodein. Kombinasi antara anestesi lokal, kortikosteroid, dan antiseptik dapat
mengurangi gejala gatal-gatal dan rasa tak nyaman pada hemoroid. Penggunaan steroid
yang berlama-lama harus dihindari untuk mengurangi efek samping. Selain itu suplemen
flavonoid dapat membantu mengurangi tonus vena, mengurangi hiperpermeabilitas serta
efek antiinflamasi meskipun belum diketahui bagaimana mekanismenya (Acheson dan
Scholrfield, 2008). Acheson dan Scholfield (2008) menyatakan apabila hemoroid internal
derajat I yang tidak membaik dengan penatalaksanaan konservatif maka dapat dilakukan
tindakan pembedahan. HIST (Hemorrhoid Institute of South Texas) menetapkan indikasi
tatalaksana pembedahan hemoroid antara lain:
a) Hemoroid internal derajat II berulang.
b) Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala.
c) Mukosa rektum menonjol keluar anus.
d) Hemoroid derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura.
e) Kegagalan penatalaksanaan konservatif.
f) Permintaan pasien.

Pembedahan yang sering dilakukan yaitu:


a) Skleroterapi. Teknik ini dilakukan menginjeksikan 5 mL oil phenol 5 %, vegetable
oil, quinine, dan urea hydrochlorate atau hypertonic salt solution. Lokasi injeksi
adalah submukosa hemoroid. Efek injeksi sklerosan tersebut adalah edema, reaksi
inflamasi dengan proliferasi fibroblast, dan trombosis intravaskular. Reaksi ini akan
menyebabkan fibrosis pada sumukosa hemoroid. Hal ini akan mencegah atau
mengurangi prolapsus jaringan hemoroid (Kaidar-Person dkk, 2007). Senapati
(1988) dalam Acheson dan Scholfield (2009) menyatakan teknik ini murah dan
mudah dilakukan, tetapi jarang dilaksanakan karena tingkat kegagalan yang tinggi.
b) Rubber band ligation. Ligasi jaringan hemoroid dengan rubber band menyebabkan
nekrosis iskemia, ulserasi dan scarring yang akan menghasilkan fiksasi jaringan ikat
ke dinding rektum. Komplikasi prosedur ini adalah nyeri dan perdarahan.
c) Infrared thermocoagulation. Sinar infra merah masuk ke jaringan dan berubah
menjadi panas. Manipulasi instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur
banyaknya jumlah kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi,
dan sklerosis jaringan hemoroid. Teknik ini singkat dan dengan komplikasi yang
minimal.
d) Bipolar Diathermy. Menggunakan energi listrik untuk mengkoagulasi jaringan
hemoroid dan pembuluh darah yang memperdarahinya. Biasanya digunakan pada
hemoroid internal derajat rendah.
e) Laser haemorrhoidectomy.
f) Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation. Teknik ini dilakukan
dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan doppler probe yang dapat
melokalisasi arteri. Kemudian arteri yang memperdarahi jaringan hemoroid tersebut
diligasi menggunakan absorbable suture. Pemotongan aliran darah ini diperkirakan
akan mengurangi ukuran hemoroid.
g) Cryotherapy. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan temperatur yang sangat
rendah untuk merusak jaringan. Kerusakan ini disebabkan kristal yang terbentuk di
dalam sel, menghancurkan membran sel dan jaringan. Namun prosedur ini
menghabiskan banyak waktu dan hasil yang cukup mengecewakan.
h) Cryotherapy adalah teknik yang paling jarang dilakukan untuk hemoroid
i) Stappled Hemorrhoidopexy. Teknik dilakukan dengan mengeksisi jaringan hemoroid
pada bagian proksimal dentate line. Keuntungan pada stappled
hemorrhoidopexy adalah berkurangnya rasa nyeri paska operasi selain itu teknik ini
juga aman dan efektif sebagai standar hemorrhoidectomy (Halverson, 2007)

3.5.Saddle block anesthesia


Saddle Block merupakan bentuk dari anestesi spinal bawah. Posisi ini
memungkinkan agen anestetik lokal dapat dikontrol dan menghasilkan anestesi
yang terbatas sepenuhnya pada wilayah saddle. Dengan sedikit variasi dalam
teknik, memungkinkan penggunaan berbagai agen anestetik. Anestesi
berkepanjangan mungkin harus diamankan dengan penggunaan obat-obatan long
acting, seperti pontocaine atau nupercaine.
Posisi duduk sangat baik digunakan untuk anestesi lumbal bawah atau
sacral, pada kasus pasien gemuk/obesitas, dan bila ada kesulitan dalam mencari
garis tengah di posisi lateralis. Banyak ahli anestesi yang menggunakan posisi
duduk karena memudahan identifikasi batas. Dengan menggunakan bangku untuk
pijakan kaki dan bantal untuk pasien supaya dapat mempertahankan posisi ini.
Leher pasien harus fleksi dan mendorong keluar punggung bawah untuk
membuka ruang vertebra lumbalis.

Gambar 3.3 Pasien dalam posisi duduk dengan L4-L5 yang sudah ditandai

Ketika melakukan blok saddle, pasien harus tetap dalam posisi duduk
setidaknya 5 menit setelah hyperbaric anestesi spinal diinjeksikan sehingga
memungkinkan agen anestetik lokal bekerja pada daerah anelgesia. Jika
diperlukan level blokade yang lebih tinggi, pasien harus dibaringkan supine
segera setelah anestetik lokal diinjeksikan dan meja operasi telah disesuaikan.

3.6.Saddle block anesthesia pada hemorrhoidectomy


Hemorrhoidectomy bisa dilakukan dengan beberapa cara anestesi. Di
negara barat hemorrhoidectomy biasanya dilakukan di bawah anestesi umum,
namun mungkin ada komplikasi yang dihasilkan dari anestesi umum yang
berkaitan dengan penyakit pada usia lanjut. Anestesi caudal atau anestesi spinal
telah digunakan sebagai alternatif untuk anestesi umum (General Anesthesia, GA)
untuk operasi hemorrhoid; namun membutuhkan pengawasan ahli anestesi dan
telah dikenal memiliki banyak komplikasi. Karena ahli anestesi yang tidak selalu
ada ditempat, menjadikan anestesi lokal sebagai alternatif cara anestesi yang
memungkinkan para ahli bedah dapat dengan aman melakukan sendiri.
Anestesi lokal (Local Anesthetia, LA) menghasilkan hilangnya sensasi dan
kelumpuhan otot di area tubuh yang dibatasi oleh efek anestesi pada ujung saraf
perifer. Anestesi lokal mampu memberikan relaksasi kanal anus sepenuhnya yang
merupakan pengaturan ideal untuk berbagai prosedur bedah anorectal. Hasil
operasi hemorrhoid di bawah model anestesi ini telah dibuktikan dalam banyak
publikasi ilmiah. Anestesi lokal adalah teknik yang aman dan efektif dengan
sedikit risiko dan komplikasi dibandingkan dengan anestesi umum atau anestesi
spinal. Di Thailand, anestesi spinal dan lokal perianal blok telah digunakan rutin
untuk berbagai macam operasi anorectal. Namun, sejauh ini tidak ada penelitian
yang valid untuk membandingkan antara kedua teknik anestesi tersebut.5

Tabel 3.2 Perbandingan Hemmorhoidectomy dengan berbagai Anestesi Lokal


Anestesi spinal untuk operasi perianal dapat dipilih dengan berbagai
variasi berkaitan dengan sasaran blokade sensorik, tergantung pada jenis operasi,
posisi selama operasi, atau jenis anestesi lokal. Dalam kasus-kasus di mana pasien
mengalami operasi dalam sebuah posisi jack-knife, saddle block biasanya dapat
dilakukan menggunakan anestesi lokal hyperbaric. Induksi anestesi menggunakan
saddle block konvensional ini relatif mudah; namun, hal ini juga memiliki
beberapa kekurangan. Untuk mencegah terjadinya hipotensi karena re-distribusi
anestesi setempat mengikuti perubahan posisi untuk prosedur bedah, pasien
dianjurkan untuk mengambil posisi duduk selama beberapa menit setelah injeksi
agen anestesi. Hal ini berpengaruh pada waktu penundaan dari inisiasi prosedur
bedah dan untuk menambah dukungan selama perubahan posisi karena
perpanjangan blokade motorik ke ekstremitas bawah. Juga, akan menghasilkan
perpanjangan waktu rawat inap di rumah sakit yang dapat meningkatkan kejadian
retensi urine post operasi. Faktor risiko retensi urine postoperasi yang berkaitan
dengan pembedahan perianal dibawah anestesi spinal telah banyak dilaporkan
dalam rentang 7.9%-20.3%.7 Dalam hubungannya dengan anestesi spinal, otot
detrusor kandung kemih akan menerima reflek kekosongan (voiding reflex) ketika
lingkup anestesia diturunkan lebih rendah dari tingkat sacral III. Berdasarkan
karakteristik posisi jack-knife, dipertimbangkan adanya peningkatan tekanan
abdominal yang berefek pada distribusi intratechal anestetik lokal; namun hal ini
tidak berkaitan dengan Body Mass Index (BMI).
Rasa tidak nyaman selama operasi mungkin berkaitan dengan peningkatan
paralisis intestinal karena blokade sistem saraf simpatis dari persebaran anestesi
lokal. Rendahnya insiden retensi urine pada beberapa penelitian mungkin
dikarenakan adanya pembatasan penggantian kebutuhan cairan selama operasi.
Akan tetapi, hal ini dapat juga disimpulkan bahwa anestesi lokal yang di re-
distribusikan tanpa menetap di daerah sacral ketika posisi duduk hanya akan
bertahan selama satu menit. Meskipun retensi urine post operasi mungkin dapat
terjadi karena kontraktur reflektif dari sfingter uretra interna yang terinduksi oleh
rasa nyeri anal setelah operasi, hal ini diduga bahwa rasa nyeri itu diperburuk oleh
retensi urine, bukan sebaliknya.
Posterior perineal blok memungkinkan ahli bedah untuk melakukan
hemorrhoidectomy radikal dengan analgesia durante dan postperasi yang aman
dan efektif, relaksasi sfingter, dan insiden retensi urine yang rendah.4 Telah
terdapat beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan antara durasi posisi
duduk sebelum perubahan postur dan distribusi intrathecal yang diberi anestesi
lokal. Jika pasien harus ditempatkan di posisi supine/terlentang setelah
pemeliharaan terus-menerus dalam posisi duduk selama sepuluh menit dengan
saddle block, daerah blokade sensorik akan terbatas pada tingkat sacral atau spinal
lumbal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Park SY, MD, et. al. (2010)
menggunakan fiksasi intrathecal dengan bupivakain, dalam waktu 10 menit untuk
maintenance dalam posisi lateral decubitus sangat cukup untuk memblokade
motorik unilateral. Akan tetapi, untuk pengeblokan saraf sensorik unilateral dan
sistem saraf autonom dibutuhkan waktu lebih dari 30 menit dalam posisi lateral
decubitus. Selanjutnya, penggunaan fiksasi intratechal dengan bupivakain
membutuhkan waktu setidaknya 60 menit. Selama waktu itu anestesi lokal secara
terus-menerus dipindahkan ke Cerebrospinal Fluid (CSF), dan lingkup blokade
sensorik secara maksimal akan muncul setelah sekitar 20 menit. Bahkan dalan
kasus dimana posisi duduk dipertahankan selama 2 menit kemudian diubah
menjadi posisi supine, lingkup blokade sensorik secara maksimal muncul 20-30
menit kemudian.
Anestesi lokal pertama kali diperkenalkan dalam melakukan prosedur
operasi hemorrhoid dengan tujuan mengontrol nyeri yang biasanya menjadi
komplikasi dari prosedur pembedahan. Lama kelamaan prosedur LA ini dilakukan
sepenuhnya untuk setiap operasi hemorrhoid. Banyak pasien merasa takut dengan
komplikasi postoperasi dan karenanya sebagian besar menolak operasi padahal
grade hemmorhoid sudah terindikasi untuk dilakukan operasi.
Pencapaian analgesia yang adekuat selama ligasi-eksisi hemorrhoidectomy
membuat para ahli bedah lebih memilih anestesi spinal atau general. Beberapa
studi terkini memperlihatkan bahwa kontrol nyeri yang adekuat dapat dicapai
dengan penggunaan anestesi lokal ketika pasien benar-benar siap secara medis
dan psikologis untuk prosedur operasi. Penelitian yang dilakukan Alatise OI et. al
(2010) memperkuat fakta bahwa hemorrhoidectomy dengan anestesi lokal bukan
hanya baik ditoleransi tapi juga praktis dan layak dilakukan.1
Penelitian terkini menunjukkan bahwa bupivakain intratechal dosis rendah
(1,5 mg) dapat bermanfaat untuk tindakan perianal singkat. Pembatasan blokade
sebagian besar serabut saraf spinal caudal (S4-coccygeal) yang mempersarafi
daerah perianal, berkurangnya blokade sensorik dan motorik pada tungkai bawah
dan kemampuan ambulasi yang lekas pulih dan memberikan waktu hospitalisasi
yang lebbih singkat. Semua pasien tidak menunjukkan rasa ketidaknyamanan
terhadap tindakan pembedahan.8
Teknik spinal perianal bertujuan untuk pembatasan bupivakain dosis
rendah bekerja di ujung-ujung saraf dan dural sac. Waktu yang dibutuhkan
sepenuhnya dalam teknik posisi duduk ini berefek pada blokade dermatom S4.
Sekitar 5% pasien mengungkapkan perasaan subjektif kelemahan otot yang sangat
ringan (Skala Bromage = 0, proprioception utuh) secara tiba-tida pada akhir
operasi yang menghilang setelah 10-15 menit setelah regresi blok sensorik S4. Hal
ini menguatkan bukti bahwa blok spinal perianal sepenuhnya dapat diterima dan
tidak memiliki komplikasi.8
BAB IV
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam


ASA I karena penderita berusia 28 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat
organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia. Rencana jenis anestesi yang akan
dilakukan yaitu anestesi regional dengan saddle block
Induksi anestesi pada kasus ini menggunakan anestesi lokal yaitu
bupivacaine sebanyak 1 ampul. Kerja bupivacain adalah dengan menghambat
konduksi saraf yang menghantarkan impuls dari saraf sensoris. Kebanyakan obat
anestesi lokal tidak memiliki efek samping maupun efek toksik secara berarti.
Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang
akan dilakukan.
Pada pasien ini dilakukan pembiusan dengan menggunakan anestesi
regional dengan teknik spinal, oleh karena operasi yang akan dilakukan pada
pasien hanyalah bagian tubuh inferior, sehingga cukup dengan memblok bagian
tubuh tersebut. Teknik ini mampu menurunkan kehilangan darah intraoperative,
menurunkan kejadian tromboemboli pasca bedah serta dapat menurunkan
mortalitas dan morbiditas pada pasien berisiko tinggi.
Posisi pasien saat akan dilakukan pembiusan diminta untuk duduk tegak
dengan kepala menunduk, kemudian dilakukan desinfeksi lokal lokasi suntikan
anestesi spinal untuk mencegah terjadinya infeksi pada lokasi penyuntikkan
tersebut. Pengaturan posisi ini juga cukup penting untuk menjamin keberhasilan
tindakan anestesi. Penyuntikkan obat anestesi local ini menggunakan jarum
spinal nomor 25G diantara L3-L4, hal ini bertujuan untuk menghindari trauma
medulla spinalis akibat jarum spinal, karena medulla spinalis pada orang dewasa
normalnya berakhir setinggi L1.
Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah Bupivacaine 15 mg.
Bupivacain Ikatan dengan HCL mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat
diautoclaf berulang. Potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 Kli
lidokain. Sifat hambatan sensorisnya lebih dominan dibandingkan dengan
hambatan motorisnya. Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih banyak
dibandingkan dengan yang bebas didalam tubuh. Dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui ginjal sebagian kecil dan dalam bentuk utuh dan sebagian besar dalam
bentuk metabolitnya
Selain diberikan obat anestesi spinal, digunakan pula obat- obatan
analgesik yaitu tramadol. Tramadol adalah analgesik opioid sintesis golongan
amino sikloheksanol yang bekerja sentral dan berefek pada neurotransmitter
noradrenergik dan serotonergik. Tramadol bekerja dengan dua macam mekanisme
yang saling memperekuat yaitu berikatan dengan reseptor opioid yang ada di
spinal sehingga menghambat transmisi sinyal nyeri dari perifer ke otak dan
mekanisme ke dua ialah meningkatkan aktivitas saraf penghambah
monoaminergik yang berjalan dari otak ke spinal sehingga terjadi inhibisi
transmisi sinyal nyeri. Ketamin dibiotransformasi dihati dan dieliminasi melalui
urine. Kontraindikasi digunakannya tramadol yaitu pada pasien dengan
hipersensitivitas terhadap tramadol, pasien yang menggunakan inhibitor MAO
dalam waktu 14 hari terakhir.
Selain obat analgesic, juga diberikan efedrin dikarenakan pada saat
operasi tekanan darah pasien menurun. Efedrin adalh stimulator langsung alfa
dan beta adrenergic dan membeskan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin)
dari tempat reseptor. Obat ini menghambat penghancuran adrenaline dan nor
adrenalin sehingga memperthankan kadar katekolamin dalam darah tetap tinggi.
Oabat ini membeskan noradrenaline pada ujung saraf dalam pembuluh darah yang
berefek yaitu suatu rangsangan simpatis yang kuat. Denyutan jantung menguat
dan frekuensinya bertambah serta tekanan darah naik. Relaksasi dari otot polos
bronchus.merangsang cortex dan medulla serebrum dengan perasaan subjektif
takut pada suatu, geram dan tidak nyaman. Dosis yang digunakan 5-20 mg iv dan
25-50 im.
Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR (Recovery Room).
Pemulihan pasien pasca anestesi spinal ini dapat dinilai dengan penilaian ………..
BAB V
KESIMPULAN

Pasien Tn. EM didiagnosis Hemoroid interna grade III yang didapatkan dari
catatan rekam medik pasien dan dilakukan tindakan Hemoroidektomi. Pasien
masuk dalam ASA I. Anastesi menggunakan induksi anestesi spinal dengan
Bupivacaine 15 mg. Analgetik yang diberikan selama operasi adalah Ketorolac
dan Tramadol HCl 200 mg IV. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak
ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan
operasinya. Selama di ruang pemulihan pasien tenang, stabil, alderette score 9 lalu
pasien dipindahkan ke ruang perawatan. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anestesi berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai