Makalah Kelompok 2 Gempa Bumi Fix

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pasca peristiwa terjadinya bahaya yang memicu bencana, terdapat kelompok
masyarakat yang selamat dan bertahan hidup. Namun, mereka harus merasakan
dampak tidak hanya pada segi fisik, tetapi mereka juga dapat menghadapi adanya
potensi dampak sosial, seperti stagnasi pertumbuhan ekonomi, melemahnya
hubungan sosial, meningkatnya angka kemiskinan, hilangnya mata pencaharian
dan lainnya (Olshansky and Chang, 2009). Bencana dapat menghancurkan sistem
infrastruktur fisik, sosial, dan ekonomi yang telah ada maupun yang telah
diusulkan sebelumnyayang telah diusulkan dalam rencana jangka panjangnya
sebelumnya.
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar.
Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja,
ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak
psikologis akibat bencana, misalnya ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati
rasa secara emosional, dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang,
dampak ini memudar dengan berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain,
bencana memberikan dampakpsikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas
misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah
psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap
kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan
menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang
dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-
anak, remaja, wanita dan lansia.
Berdasarkan latar belakang di atas, kami tertarik untuk membagas tentang
perawatan psikososial dan spiritual pada korban bencana dan perawatan untuk
populasi rentan.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana dampak psikososial pada korban bencana?
2. Bagaimana perawatan spiritual pada korban bencaba?
3. Bagaimana asuhan keperawatan psikososial dan spiritual pada korban
bencana?
4. Apa pengertian kelompok rentan?
5. Bagaimana perawatan pada kelompok rentan pasca bencana?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui dampak psikososial dan spritual pasca bencana.
2. Memahami asuhan keperawatan psikososial dan spiritual pada korban
bencana.
3. Mengetahui pengertian populasi rentan.
4. Memahami perawatan pada kelompok rentan korban bencana.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DAMPAK BENCANA PADA ASPEK PSIKOSOSIAL


Psikososial merupakan salah satu istilah yang merujuk pada perkembangan
psikologi manusia dan interaksinya dengan lingkungan sosial. Hal ini terjadi
karena tidak semua individu mampu berinteraksi atau sepenuhnya menerima
lingkungan sosial dengan baik. (http: //wikipedia.org/wiki.psychocial) psikososial
adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup psikis dan social
atau sebaliknya secara terintegrasi. Aspek kejiwaan berasal dari diri kita,
sedangkan aspek sosial berasal dari luar, dan kedua aspek ini saling berpengaruh
kala mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan.
Definisi lain menyebutkan bahwa aspek psikososial merupakan aspek
hubungan yang dinamis antara dimensi psikologis/kejiwaan dan sosial.
Penderitaan dan luka psikologis yang dialami individu memiliki kaitan erat
dengan keadaaan sekitar atau kondisi sosial. Pemulihan psikososial bagi individu
maupun kelompok masyarakat di tujukan untuk merah kembali fungsi normalnya
sehingga tetap menjadi produktiv dan menjalani hidup yang bermakna setelah
perstiwa yang traumatik (Iskandar, Dharmawan & Tim Pulih,2005). Dengan
demikian dampak psikososial adalah suatu perubahan psikis dan sosial yang
terjadi setelah adanya bencana atau peristiwa traumatik misalnya tsunami, banjir,
tanah longsor atau seperti luapan lumpur lapindo. Respon individu pada trauma
bervariasi tergantung dari persepsi dan kestabilan emosi yang dimilikinya.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1) PENGKAJIAN
1. Identifikasi kejadian pencetus dam situasi krisis psikososial Tentukan
persepsi klien tentang krisis yang dihadapi, meliputi kebutuhan utama
yang terancam krisis, tingkat gangguan hidup, dan gejala-gejala yang
dialami klien.
2. Tentukan faktor-faktor penyeimbang yang ada, meliputi apakah klien
memiliki persepssi yang realistis terhadap krisis yang terjadi,

3
dukungan situasional (mis,keluarga, teman, sumber daya finansial,
sumber daya spiritual, dukungan masyarakat), dan penggunaan
mekanisme koping.
3. Identifikasi kelebihan klien
a. Apa yang terjadi pada Anda? = Persepsi individu terhadap hal yang
terjadi (realistik atau terdistorsi)
b. Apa yang Anda pikir dan rasakan? = Gejala kognitif atau
emosional atas apa yang terjadi.
c. Apakah Anda mengalami gejala fisik atau perubahan prilaku Anda
yang biasanya? = Gejala fisik, prilaku
d. Apakah Anda sudah pernah mengalami hal yang serupa dengan
kejadian ini dalam hidup Anda? Kalau ya, bagaimana Anda
melakukan koping pada saat itu ? = Pengalaman di masa lalu
tentang krisis dan koping yang digunakan
e. Menurut Anda apa yang menjadi kelebihan pribadi Anda? =
Pengakuan individu atas kelebihannya
f. Siapa yang Anda rasa sangat banyak membantu atau mendukung
Anda? = Sistem pendukung dalam hidup Anda
g. Apa yang telah Anda coba selama ini untuk mengatasi krisis
tersebut ? = Penggunaan tindakan koping dalam situasi saat ini.

2) DIAGNOSIS
Tentukan diagnosa keperawatan spesifik untuk klien, keluarga,
masyarakart, atau gabungan dari itu, termasuk, namun tidak terbatas pada
yang berikut ini :
1. Gangguan citra tubuh
2. Ketegangan peran pemberi asuhan
3. Koping komunitas tidak efektif
4. Koping individu tidak efektif
5. Penyangkalan tidak efektif
6. Koping keluarga : potensi untuk pertumbuhan
7. Disfungsi berduka

4
8. Respon pasca trauma
9. Ketidakberdayaan
10. Sindrom trauma perkosaan
11. Distres spiritual

3) PERENCANAAN
1. Bantu klien,keluarga, masyarakat, atau gabungan dari itu, dalam
menetapkan tujuan jangka pendek yang realistis untuk pemulihan
seperti sebelum bencana.
2. Tentukan kriteria hasil yang diinginkan untuk klien, kelurga,
masyarakat, atau gabungan dari itu. Individu yang mengalami krisis
akan :
a. Mengungkapkan secara verbal arti dari situasi krisis
b. Mendiskusikan pilihan –pilihan yang ada untuk mengatasinya.
c. Mengidentifikasi sumber daya yang ada yang dapat memberikan
bantuan
d. Memilih strategi koping dalam menghadapi krisis
e. Mengimplementasikan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi
krisis.
f. Menjaga keselamatan bila situasi memburuk

4) IMPLEMENTASI
1. Bentuk hubungan dengan mendengarkan secara aktif dan
menggunakan respon empati
2. Anjurkan klien untuk mendiskusikan situasi krisis dengan jelas, dan
bantu kien mengutarakan pikiran dan perasaannya.
3. Dukung kelebihan klien dan penggunaan tindakan koping.
4. Gunakan pendekatan pemecahan masalah.
5. Lakukan intervensi untuk mencegah rencana menyakiti diri sendiri
atau bunuh diri.
a. Kenali tanda-tanda bahaya akan adanya kekerasan terhadap diri
sendiri. (mis ; klien secara langsung mengatakan akan melakukan

5
bunuh diri, menyatakan secara tidak langsung bahwa ia merasa
kalau orang lain akan lebih baik jika ia tidak ada, atau adanya
tanda-tanda depresi)
b. Lakukan pengkajian tentang kemungkinan bunuh diri
c. singkirkan semua benda yang membahayakan dari tempat atau
sekitar klien.
d. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan jiwa untuk menentukan
apakah hospitalisasi perlu dilakukan atau tidak.

C. PERAWATAN SPIRITUAL
Kita sebagai perawat harus memberikan pengertian bahwa Idealnya
bencana sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Bencana
ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama
berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu, sebagai sebuah musibah,
bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi sesuatu
yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.
Sebagai seorang perawat harus bisa memberikan pemulihan secara
spiritual kepada korban pasca bencana. Korban bencana yang tingkat
spiritualitasnya tinggi akan menjadikan sesorang senantiasa hidup dalam
nuansa keimanan kepada Tuhan. seseorang akan memaknai aktivitasnya dalam
kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas
dan konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan
aturan Sang Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan
menjadikan seseorang kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka
dapat mengambil hikmah atas musibah yang menimpanya, tidak putus asa,
dan menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui pasca-bencana sebagai
tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa
bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah menjadi suatu
pengalaman positif yang memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna
atas pengalaman hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk
memberikan makna luar biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu

6
mengarahkan individu untuk memberikan penerimaan tulus atas musibah yang
terjadi. Kondisi tersebut memungkinkan individu untuk memaknai kembali
hidupnya dengan membuat perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi
setelah mengalami musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada masa
yang datang.

D. KELOMPOK RENTAN
1) Pengertian Kelompok Rentan
Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan
dalam situasi bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak
lebih berat diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang
dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih
besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak;ibu yang sedang
mengandung/ menyusui; penyandang cacat (disabilitas) dan orang lanjut
usia.
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak
dijelaskan secara rinci. Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999
pasal 5 ayat 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang termasuk
kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.Kelompok
masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Sedangkan menurut
Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar Husein disebutkan
bahwa yang tergolong ke dalam
Kelompok Rentan adalah:
1. Refugees (pengungsi)
2. Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang
terlantar/ pengungsi
3. National Minorities (kelompok minoritas)
4. Migrant Workers (pekerja migrant)
5. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
6. Children (anak)

7
7. Women (Perempuan)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok
rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban.Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan
sebagai: (1) mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa.
Kelompok yanglemah inilazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,
sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan
juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi Pengertian
kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama,
karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah
dipengaruhi.

2) Identifikasi Kelompok Beresiko


Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang
mengganggu dan mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat
disebabkan oleh alam ataupun manusia,ataupun keduanya.Untuk
menurunka dampak yang ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan
dukungan berbagai pihak termasuk keterlibatan perawat yang
merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya terbanyak di dunia
dan salah satu petugas kesehatan yang berada di lini terdepan saat
bencana terjadi (Powers & Daily, 2010) Peran perawat dapat dimulai
sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase
prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat yang lebih rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana
yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah

8
kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok-kelompok ini
diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil dan menyusui,
lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan
kecacatan.Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui
pengumpulan informasi dan data demografi akan mempermudah
perencanaan tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian
bencana di masyarakat (Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World
Health Organization (WHO)& International Council of Nursing (ICN),
2009).
a) Bayi dan Anak-anak
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe
bencana karena ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah
bahaya. Ketika Pakistan diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000
anak meninggal karena Gedung sekolah mereka runtuh.Tanah longsor
yang erjadi di Leyte, Filipina,beberapa tahun lalu mengubur lebih dari 200
anak sekolah yang tengahbelajar didalam kelas (Indriyani 2014).
Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana adalah
anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang
disebabkan oleh manusia (Powers & Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang
tua atau wali mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000
anak-anak Indonesia kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat
kejadian tsunami 2004.Terdapat juga laporan adanya perdagangan anak
(Child Trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang
tua/wali (Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah
kesehatan jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis
karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan
hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri,
kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping.Kondisi
tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani

9
dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010;
Veenema, 2007).
b) Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah
menjadi isu vital yang memerlukan perhatian dan penanganan
khusus. Oleh karena itu intervensi-intervensi kemanusiaan dalam
penanganan bencana yang memperhatikan standar internasional
perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua
stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari, & Mukhier,2007).Studi
kasu bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola
kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada,
meski tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan,
terlebi lagi yang hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko karena
keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000;
Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001yang berjudul "Women, Disaster
Reduction, and Sustainable Development"menyebutkan bahwa perempuan
menerima dampak bencana yang lebih berat.Dari120 ribu orang yang
meninggal karena badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari
kaum perempuan menempati jumlah terbesar.Hal ini disebabkan karen
normakultural membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan
akses ke tempat perlindungan (Fatimah,2009 dikutip dalam Indriyani,
2014).

c) Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik,
mental,dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena
penurunan kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami
masalah kesehatan kronis (Klynman et al., 2007). Di Amerika
Serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai Katrina
adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang hidup
mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai

10
jompo setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010) Pasca
bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan
finansial pasca bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia
kadang-kadang terlupakan yang dapat memperparah masalah
kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynman et al.,
2007)

3) Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari
kelompok kelompok rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam
perencanaan dan penanganan bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily,
2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya
ventilisator untuk anak,alat bantu untuk individu yang cacat, alat-alat
bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanaka intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan
informasi dan komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses

1. Pra bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran
atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak
pada saat bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok
berisiko

11
2. Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar
yang digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya,misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak disamakan
dengan orang dewasa. Selama proses evakuasi, transportasi,
sheltering dan dalam pemberian pelayanan fasilitas kesehatan, hindari
memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali mereka.
3. Pasca Bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain
dan sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan
dan emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di
lokasi evakuasi sebagai voluntir untuk
mencegah,mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada
anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka.

4) Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada ibu hamil dan
menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam
kondisi kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas
harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan
menolong janinnya sehingga meningkatkab kondisi fisik dan mental
wanita hamildapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya.

12
Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi
darah,peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih
rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penanggulangan ibu hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen Penyebab kematian janin adalah
kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang mengalami keadaan bahaya
secara fisik berfungsi untuk membantu menyelamatkan nyawanya
sendiri daripada nyawa si janin dengan mengurangi voleme perdarahan
pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman dalam situasi bencana, petugas harus
mendapatkan informasi yang jelas dan terpercaya dalam
menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang
perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril
dan obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke
tempat perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
a) Pra bencana
a. Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan
penanganan bencana
b. Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok
rentan
c. Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada
seluruh anggota keluarga
d. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam
mitigasi bencana
b) Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak
meningkatkan risiko kerentanan bumil dan busui, misalnya:
1. Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi
dan transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu
hamil
2. Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi

13
b. Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong
korban bumil dan busui

c) Pasca bencana
a. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat,
cairan dan emosional
b. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling
dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
c. Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depesi pasca
bencana.

5) Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia


a) Pra bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi
disaster plan di rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.
c. Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia
sebelum bencana yakni :
1. Memfasilitasi rekonstruksi komunitas sejak sebelum bencana
dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara penduduk dengan
cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu pun
berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa
orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan
pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa
hidup di pengungsian dengan tenang. Menyiapkan pemanfaatan
tempat pengungsian Diperlukan upaya untuk penyusun
perencanaan pelaksanaan pelatihan praktek dan pelatihan
keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat
akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)

14
b) Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka
meningkatkan risiko kerentanan lansia, misalnya meminimalkan
guncangan/trauma pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi untuk menghindari trauma sekunder
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya
kursi roda, tongkat, dll.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana
adalah:
1. Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah
memindahkan orang lansia ke tempat yang aman.Orang lansia sulit
memperoleh informasi karena penuruman daya pendengaran dan
penurunan komunikasi dengan luar
2. Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
Tanah dan rumah sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang
lain.
3. Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera
orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses
menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan
respon pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah
terkena mati rasa.
c) Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi
komunitas dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia,
diantaranya:
1. Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan
kegiatan-kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi

15
empati dan interaksi orang muda dan lansia (community
awareness)
2. Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator
dalam kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir
oleh agency perlindungan anak di posko perlindunga korban
bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan
sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan
dan skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia
setelah bencana adalah
1. Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi
berbagai ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang
disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu
sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di tempat
pengungsian. Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga
mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang lansia yang lebih
parah lagi.
2. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak
hanya ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi
orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh.
Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan
kegelisahan.
3. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah
sendiri. Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama

16
membereskan perabotannya di luar dan dalam rumah.
Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia tidak
bisa memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga
tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan optimal.
4. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara Lansia
yang Masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/ menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan
baru (lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik)
dalam waktu yang singkat
5. Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun
daya Adaptasi,sehingga mudah terkena dampak secara fisik
oleh stressor. Namun demikian, orang lansia itu
berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena
dampak dan tidak mengekspresikan perasaan dan keluhan.

6) Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang


dengan kecacatan dan penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit
kronis akan memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi
orang-orang dengan penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang
terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau
terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-bencana,
sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum
bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak
terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan,
sehingga kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi
lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai
kehidupan sehari-hari lagi. Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu
sendiri, timbulnya penyakit kronis disebabkan oleh perubahan gaya
hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang memiliki resiko penyakit
kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan

17
menjadi pemicu meningkatnya penyakitkronis seperti diabetes mellitus
dan gangguan pernapasan.
a) Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat
dan berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang orang
dengan keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan
kegawatdaruratan bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk
menanganni korban dengan kebutuhan khusus (cacat dan penyakit
kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan
sebelum bencana bagi korban dengan penyakit kronik
1. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama
pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang
merawat.
2. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi
dari obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
3. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal

b) Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang
cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi
lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat
BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat
yakni:
1. Bantuan evakuasi

18
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat
dalam mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka
informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan
kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi
2. Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet
(email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone
yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag
dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
a) Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil
dan mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam
perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat
melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya
tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi
roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi roda
dan keluarga
b) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut
karena menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu
diberitahukan tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman
untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak
familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah
siku dan pundak, atau genggamlah secara lembut
pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka
serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
c) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya
karena tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode

19
komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca
gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya
dapat menggunakan bahasa isyarat
d) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada
umunya karena kurang mampu untuk bertanya dan
mengungkapkan pendapatnya sendiri dan seringkali mudah
menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu
menandakan bahwa mereka belum mengerti sehingga gunakan
kata-kata sederhana yang mudah dimengerti (Farida, Ida. 2013).

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat


bencana adalah
1. Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang
paling penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan
masalah kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka
memburuk.Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat
pengobatan dari orang-orang yang berada ditempat dengan mendengarkan
secara seksama dan memahami penyakit mereka yang sedang dalam
proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana,
diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung,
ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan
gula di darah bagi pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan
yang tidak bisa membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah
2. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan
teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke
tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit
kronis yang mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan

20
kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di
rumah sakit.

c) Pasca bencana
a. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat
mengembalikan kemandirian individu dengan keterbatasan fisik
di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda, tongkat, dll
b. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan
individu-individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
c. Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan
kebutuhannya.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada
penyandang cacat:
a) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut,
dan tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan
adat.
b) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-
obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan
perawatan kejiwaan
c) Tempat ibadah sementara
d) Keamanan wilayah
e) Kebutuhan air
f) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air
bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat
komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport,
gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara,
pos kesehatan alat dan bahan-bahan.

21
7) Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan
Kelompok Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana
terhadap kelompok –kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak
jangka pendek maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang
terlibat dalam penanganan encana perlu mengidentifikasikan sumber
daya apa saja yang tersedia di lngkungan yang dapat digunakan saat
bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000; Federa Emergency
Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema,
2007 ) :
1. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area
yang rentan terhadap kejadian bencana.
2. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korbaan
bencana dari kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun
ketenagaan seperti : beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir,
tempat tidur untuk pasien anak, ventilator anak, fasilitas persalinan,
fasilitas perawatan pasien dengan penyakit kronis, dsb
3. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh
individu- individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur
evakuasi, lokasi pengungsian dll.
4. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang
khusus menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan
mengidentifikasi dini kondisi depresi pasca bencana pada kelompok
tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat diberikan untuk merawat
mereka.
5. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non
pemerintah (NGO) yang membantu korban bencana terutama
kelompok-kelompok beresiko seperti : agensi perlindungan anak dan
perempuan, agency pelacakan keluarga korban bencana ( tracking centre),
dll. Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian
yang berisi informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan

22
legawatdaruratan dan bencana pada kelompok-kelompok dengan
kebutuhan khusus dan beresiko.
Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko
Setelah kejadian bencana , adalah penting sesegera mungkin untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan
kelompok berisiko untuk berfungsi secara mandiri sebagaimana
sebelum kejadian bencana, diantaranya
a. Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu
menyusui untuk terus memberikan ASI kepada anaknya dengan
cara memberikan dukungan moril, menyediakan konsultasi laktasi dan
pencegahan depresi.
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular
sebagaimana sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan
kebersihan diri, belajar/ sekolah, dan bermain.
c. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program
lintas generasi misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk
mengurangi resiko isolasi social dan depresi.\
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk
individu dengan keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat
diakses oleh mereka.
e. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan
penyakit kronis dan infeksi.

23
BAB III
TINJAUAN KASUS

Table Top

Skenario Bencana Gempa Bumi : konsep Pre Hospital Dan Penanganan

Gempa bumi di kecamatan Angsana Kabupaten Pandeglang

a. Tema : bencana Gempa Bumi


b. Jumlah Korban : 240 orang (yang terkena dampak )
Jumlah korban fisik 15 dengan pembagian label
merah
1. Label Merah : 50 orang ( 50 orang
mengalami luka-luka : 20 anak-anak, 20 dewasa,
7 orang lansia, dan 3 ibu hamil mengalami
perdarahan
2. Label Kuning : 70 orang ( luka pada bagian
kepala, ekstremitas, dan fraktur
3. Label hijau : 80 orang ( anak-anak
histeris kehilangan orang tua, lansia yang
mengalami luka lecet, ibu menyusui)
4. Label Hitam : 40 Orang
c. Sektor yang terlibat : Polisi dan dandim, polres, dinas social, dinas
kesehatan, PMI, dinas pekerjaan umum, TNI, Tim SAR, petugas ambulans,
BPBD Kota Batu/Kab Pandeglang Pantai sawarna, wisata batu juga
bermapak ke ekonomi pariwasata, askses jalan putus
d. Ilustrasi Kasus :
Pada tanggal 02 agustus 2019, pukul 19.05 WIB telah terjadi gempa bumi
bermagnitudo 7,4 di Angsana, Banten. Guncangan gempa terasa hingga 55
detik di Kabupaten Pandeglang. Pusat gempa berada di darat, 147 KM barat
daya kecamaatan Angsana, Pandeglang, Banten. Lokasi gempa berada di 7,54
Lintang Selatan, 104,58 Bujur Timur dengan kedalaman 13 KM. Dampak
yang ditimbulkan yakni sebagian rumah penduduk runtuh, kerusakan

24
bangunan akibat gempa bumi. Beberapa penduduk belum ditemukan, korban
jiwa tertimbun gedung yang runtuh, akibat gedung ambruk, beberapa pohon
roboh dan akses jalan putus akibat jembatan roboh.
Di pinggir sebelah timur wilayah Angsana terdapat permukiman padat
penduduk yang dihuni lebih dari 400 orang, sedangkan lebih ke arah timur
lagi dengan jarak sekitar 500 meter terdapat komplek perumahan
penduduk dan lingkungan sekolah yang penghuninya sekitar 2000 orang
dan 400 meter sebelah utaranya terdapat pasar tradisional untuk kegiatan
transaksi jual beli yang ketika dini hari selalu dipadati dan mulai sibuk
mempersiapkan dagangan mereka. Masyarakat di kompleks perumahan
kebanyakan telah lebih dulu mengungsi kearea yang aman dari zona
gempa dengan mendirikan tenda seadanya disebelah utara atau pergi ke
tempat kerabat mereka yang aman dari gempa bumi, sedangkan sebagian
masyarakat lainnya mengikuti petugas evakuasi ke tempat pengungsian
yang telah disiapkan, sebagian lainnya tetap menunggu diluar rumah
mereka masing-masing karena tidak mau meninggalkan rumah mereka,
namun petugas masih membujuk mereka agar bersedia mengungsi karna di
khawatirkan akan ada gempa bumi susulan. Berdasarkan hasil pendataan
awal, telah diperoleh informasi ada.
1. 30 rumah rusak berat
2. 8 rumah rusak ringan
3. Beberapa jalan retak
4. Korban jiwa :
a) 40 orang meninggal akibat gempa bumi diantaranya 5 orang balita, 7
orang remaja, 6 orang lansia wanita dan laki-laki, 10 orang wanita,
12 orang laki-laki.
b) 3 ibu hamil yang mengalami perdarahan hebat, ada orang
diantaranya 20 anak-anak, 20 dewasa, 7 orang lansia yang
mengalami luka-luka berat akibat tertimpa bangunan yang
diakibatkan gempa bumi.
c) 70 orang mengalami luka ringan pada bagian kepala, ekstremitas,
dan fraktur.

25
d) 80 orang ( anak-anak histeris kehilangan orang tua, lansia yang
mengalami luka lecet, ibu menyusui).
e) Ada 4 orang yang hilang kemungkinan masih tertimbun bangunan
yang runtuh.

Scene 1 :

Pada tanggal 2 Agustus 2019, pukul 16.10 WIB BPBD mengumumkan bahwa
telah terjadi gempa bumi dikabupaten Pandeglang Banten dengan magnitudo 2,0.
Kepala desa/ lurah menerima informasi dan perintah dari BPPD untuk
mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan adanya gempa susulan dan
menghimbau agar masyarakat tetap tenang dan waspada.. Posko komando telah
didirikan dan tenda-tenda serta sarana lain yang dibutuhkan untuk pengungsian.

Ketua BPPD : selamat siang pak, kami dari BPPD ingin menyampaikan
informasi bahwa wilayah Angsana dan sekitarnya status
waspada gempa susulan. Kami menghimbau kepada bapak
untuk memimpin persiapan peralatan pendukung
penanggulangan bencana.
Kepala desa/lurah : terima kasih pak atas informasinya. Saya akan
menyampaikan kepada masyarakat untuk mempersiapkan
diri ketempat pengungsian.

Scene 2:
Pada pukul 19.05 WIB, gempa susulan terjadi didaerah Angsana dengan
magnitudo 7,4 selama 55 detik. Beberapa wilayah yang terkena gempa mengalami
kerusakan, diantaranya puluhan rumah warga runtuh, jalanan retak, jembatan
putus dan pohon roboh.
(percakapan antara petugas dan tokoh masyarakat).

Kepala desa/lurah : menerima laporan dan memerintahkan kepada sector untuk


menurunkantim dengan cepat. Dengan berkoordinasi

26
dengan Polisi dan dandim, polres, dinas social, dinas
kesehatan, PMI, dinas pekerjaan umum, TNi, Tim SAR,
petugas ambulans, Tim rumah sakit untuk mengambil
langkah-langkah penanganan selanjutnya.
Sector : siap pak. Akan segera turunkan dengan berkoordinasi
dengan Dandim, dan tim terkait.

Semua pihak terkait menuju ke lokasi..


Kepala sector melaporkan kejadian gempa bumi kepada polres melalui sambungan
telpon selular
Sector : selamat malam pak, polres, dengan ini kami menginformasikan
bahwa telah terjadi gempa bumi susulan di wilayah Angsana,
diperkirakan menimbulkan korban jiwa, telah merusak rumah
penduduk dan akses jalan, diminta kepada bapak untuk menurunkan
personil kepolisian kelokasi bencana untuk pengamanan masyarakat.
Polres : laporan diterima pak, kami akan menurunkan personil kepolisian
menuju ke lokasi kejadian bencana untuk pengamanan sekarang juga.

Kepala sector melaporkan kejadian gempa bumi ke satpol PP melalui sambungan


telepon
Sector : selamat malam pak kepala satpol PP , dengan ini kami
menginformasikan bahwa telah terjadi gempa bumi susulan di wilayah
Angsana, diperkirakan menimbulkan korban jiwa, telah merusak
rumah penduduk, diminta kepada bapak untuk menurunkan personil
kepolisian kelokasi bencana untuk pengamanan masayrakat.
Satpol PP : laporan diterima pak, kami akan menurunkan personil satpo PP
menuju ke lokasi kejadian bencana untuk pengamanan sekarang juga.
Sector : selamat malam ibu dinas social, dengan ini kami menginformasikan
bahwa telah terjadi gempa bumi susulan di wilayah Angsana,
diperkirakan menimbulkan korban jiwa, telah merusak rumah
penduduk, diminta kepada bapak untuk berkoordinasi dengan Tim

27
Dapur Umum BPBD untuk membangun dapur umum dan tempat
pengungsian serta mengaktifkan tagana.
Dinas sosial: laporan diterima pak, kami akan segera berkoordinasi dengan Tim
Dapur Umum BPBD untuk membangun dapur umum dan tempat
pengungsian serta mengaktifkan tagana.
Sector : selamat malam kepala dinas kesehatan, dengan ini kami
menginformasikan bahwa telah terjadi gempa bumi di wilayah
Angsana, diperkirakan menimbulkan korban jiwa, telah merusak
rumah penduduk, diminta kepada bapak untuk segera membangun pos
kesehatan dan menurunkan tim dari PMI dilokasi bencana.
Dinas kesehatan : laporan diterima pak, kami akan segera berkoordinasi dengan
tim untuk menurunkan bantuan tenaga kesehatan ke lokasi.

Komando Memerintahkan untuk membangun posko komando.


Korban dari masyarakat : tolong.. tooolongg.. tolooong

Komando segera memerintahkan kepada tim SAR untuk mencari korban.


Tim SAR mencari korban dan setelah beberapa saat ditemukan korban dan
melaporkan melalui radio.
Tim SAR : lapor komandan, kami telah menemukan 24 orang korban, 10
orang meninggal dan 14 orang lainnya luka-luka.
Komandan : laoran diterima, segera lakukan evakuasi ke posko kesehatan
Tim SAR : siap laksanakan.

Tim SAR mambawa korban ke posko kesehatan.

Sebelum dibawa ke posko bencana para korban telah diberi label masing-masing.
Korban yang diprioritaskan adalah korban yang tidak perlu pertolongan cepat
tetapi tetap memerlukan pertolongan diberi label hijau, sedangkan korban tidak
gawat tetapi perlu pertolongan segera diberi label kuning, korban yang dengan
ancaman kematian (gawat) perlu pertolongan segera dberi label merah dan korban

28
meninggal diberi label hitam. Ketika di dalam posko korban dipisahkan sesuai
dengan triase masing-masing.

Di posko PB Kantor Lurah/ kades, koordinator bencana menginstruksikan kepada


sektor; semua satgas untuk membantu kegiatan di lapangan; semua bantuan harus
dilaporkan ke posko dan di koordinasikan penempatan dan penyalurannya;
dilakukan pendataan dan pencatatan tentang jumlah pengungsi, korban, batuan dll;
dibuka information center; dan mendirikan dapur umum. Kondisi di lapangan;
sebagian rumah runtuh, akses jalan terputus karena ada jembatan yang roboh.
Warga yang mengalami luka sebanyak 200 orang segera di bawa ke sektor
kesehatan untuk mendapatkan perawatan.

Pukul 08.00 WIB warga masih panik. Warga yang rumahnya dalam kondisi
tidak rusak berat belum diizinkan kembali ke rumah masing – masing. Sektor
pendidikan dan petugas kesehatan bekerja sama dalam memberikan penyuluhan
kepada warga mengenai dampak kesehatan yang mungkin timbul akibat gempa
bumi, dan apa yang harus dilakukan ketika kembali kerumah. Dinas PU, LSM,
dan relawan mulai mencari korban yang belum ditemukan, membebaskan akses
serta mulai menghitung berbagai kerusakan sarana dan prasarana lingkungan
akibat gempa bumi. Petugas dinas kesehatan melakukan penyemprotan
desinfektan untuk menurunkan resiko terjadinya penyakit menular pasca bencana.
Dinas sosial menginventarisir permasalahan sosial yang perlu dibantu. Setelah 7
hari berlalu yakni pada tanggal 9 agustus 2019, kondisi wilayah gempa telah
normal beberapa wargapun kembali kerumah masing-masing untuk dibenahi dan
warga diminta untuk selalu menjaga kebersihan diri serta keluarganya. Sektor
kesehatan dan dinas kesehatan menyelenggarakan tim survey untuk mendeteksi
dini penyebaran penyakit menular pasca gempa bumi. Dinas PU, LSM, relawan
beserta warga mulai membebaskan akses ke rumah-rumah penduduk. RAPI
melakukan pemantauan dan koordinasi antar posko tentang kondisi terkini.

29
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut Undang-UndangNo.24Tahun2007,bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan,baik oleh factor alam dan atau factor
non alam maupun factor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,dan dampak
psikologis.Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur,yaitu ancaman
bencana,kerentanan,dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.
Psikososial merupakan salah satu istilah yang merujuk pada
perkembangan psikologi manusia dan interaksinya dengan lingkungan sosial. Hal
ini terjadi karena tidak semua individu mampu berinteraksi atau sepenuhnya
menerima lingkungan sosial dengan baik. (http: //wikipedia.org/wiki.psychocial)
psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup psikis
dan sosial atau sebaliknya secara terintegrasi. Aspek kejiwaan berasal dari diri
kita, sedangkan aspek sosial berasal dari luar, dan kedua aspek ini saling
berpengaruh kala mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan.

B. SARAN
Diharapkan bagi perawat dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada
korban bencana yang mengalami masalah pada aspek psikososial.

30
DAFTAR PUSTAKA

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar


II:Keperawatan Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan.
Jerome R. Ravertz, 2007, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam (sejarah dan
ruang lingkup bahasan), Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Mustamir, Rizal. Munir, Misnal, 2007, Ilmu Pengetahuan Alam, Pustaka Pelajar :
Yogyakarta
Rahman, Dhohir Taufik dan Tarsisius, 2000, Indonesia Negara Bencana
Jakarta : Yudhistira
Tim Dosen, 1996, Ilmu Pengetahuan , Liberty Yogyakarta : Yogyakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/banjir
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

31

Anda mungkin juga menyukai